Anda di halaman 1dari 52

PANDUAN PELAYANAN ANESTESI DAN SEDASI

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN MESUJI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RAGAB BEGAWE
CARAM

Jalan Z.A Pagar Alam Brabasan Tanjung Raya Mesuji Kode Pos, 34598
Email: rsud.rbcmesuji@gmail.com
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga Panduan Pelayanan Anestesi dan Sedasi
RSUD Ragab Begawe Caram telah berhasil kami susun. Panduan ini
disusun Tim dari Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif dan diharapkan
dapat menjadi dasar dalam membuat Standar Prosedur Operasional
Pelayanan Anestesi dan Sedasi
Kami ucapkan banyak terima kasih pada pihak-pihak yang telah
membantu dalam penyusunan Panduan Pelayanan Anestesi dan Sedasi ini.
Kritik dan saran demi perbaikan Panduan ini sangat kami harapkan.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Mengetahui, 2 Oktober 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
DAFTAR TABEL 4
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
BAB II 3
RUANG LINGKUP 3
2.1. Definisi 3
2.2. Ketenagaan 5
2.3. Prosedur Sedasi 5
2.4. Evaluasi Praanestesi/Prasedasi 6
2.5. Monitoring Sedasi 10
2.6. Sarana, Prasarana dan Peralatan 15
2.7. Pasca Anestesi dan Sedasi 17
2.8. Konsiderasi khusus 20
BAB III 25
FARMAKOLOGI OBAT SEDATIF-HIPNOTIK 25
3.1. Benzodiazepin 25
3.2. Opioid 27
3.3. Ketamin 29
3.4. Propofol 30
3.5. Dexmedetomidin 31
3.6. Kloral hidrat 31
3.7. Barbiturat 32
BAB IV 39
DOKUMENTASI 39

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perubahan Fisiologis Tubuh Terhadap Kedalaman Sedasi 4


Tabel 2. Sistem Klasifikasi Status Fisik ASA 7
Tabel 3. Prosedur Penilaian Jalan Nafas Untuk Sedasi 9
Tabel 4. Persiapan Puasa 10
Tabel 5. Komplikasi Sedasi 11
Tabel 6. Peralatan Emergensi Untuk Sedasi 15
Tabel 7. Kriteria Pemulihan dan Pengeluaran Setelah Sedasi 15
Tabel 8. Aldrete Score 18
Tabel 9. Steward Score 19
Tabel 10. PADSS 19
Tabel 11. Farmakologi Agen Hipnotik-Sedatif 34

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Saat ini, keamanan dan kenyamanan pasien menjadi salah


satu prioritas utama pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.
Semakin berkembangnya prosedur diagnostik dan intervensi
menyebabkan diperlukannya suatu pelayanan sedasi, terutama
untuk pasien yang tidak kooperatif atau pediatri. Keberhasilan
dari pelayanan sedasi adalah pasien merasa nyaman, tanpa rasa
sakit, dan aman. Pelayanan sedasi adalah pelayanan yang
diberikan oleh dokter spesialis anestesiologi dan terapi intensif
atau dokter lain yang mempunyai kompetensi berupa tindakan
memberikan obat-obatan golongan sedatif-hipnotik dengan tujuan
untuk membuat pasien dalam kondisi turun kesadaran sampai
suatu kedalaman tertentu.
Pemilihan atau target sedasi tergantung dari jenis prosedur
yang akan dilakukan. AmericanSociety of Anesthesiologist (ASA)
mengklasifikasikan sedasi menjadi 4 tingkat, yaitu sedasi minimal
(anxiolysis), sedasi moderat (conscious sedation), sedasi dalam, dan
anestesi. Saat ini terdapat banyak skala sedasi yang dibuat oleh
beberapa institusi. Skala sedasi tersebut diantaranya MSAT
(Minnesota Sedation Assessment Tool), SAS (Sedation Agitation
Scale), MAAS (Motor Activity Assessment Scale) UMSS (Univesity of
Michigan Sedation Scale), ATICE (Adaptation to Intensive Care
Environment), VICS (Vancouver Interactive and Calmness Scale),
RSS (Ramsay Sedation Scale) dan RASS (Richmond Agitation
Sedation Scale).
Dengan diperkenalkannya obat-obatan sedatif-hipnotik,
opioid, dan antidotumnya, serta ketersediaan peralatan

1
pemantauan intensif, maka pelayanan sedasi sekarang dapat
diberikan dengan aman dalam pelayanan kesehatan.
Pelayanan sedasi merupakan suatu proses berkelanjutan
karena respon pasien terhadap obat-obat sedatif-hipnotik yang
diberikan tidak sama dan tidak bisa diperkirakan. Dalam
pelaksanaannya prosedur sedasi memerlukan berbagai persiapan.
Persiapan ini dimulai dari persiapan pasien, pemilihan
obat-obatan yang akan dipakai, sampai monitoring selama dan
setelah tindakan sedasi, agar dapat mencegah atau meminimalisir
terjadinya komplikasi.
Tujuan untuk dibuat panduan sedasi pada pelayanan
Rumah Sakit adalah keselamatan pasien, meminimalkan rasa
sakit dan kecemasan terkait dengan prosedur, meminimalkan
gerakan pasien selama prosedur, memaksimalkan kemungkinan
keberhasilan dari prosedur, dan pasien dapat kembali sadar
setelah prosedur selesai. Panduan ini juga bertujuan untuk
memberikan pelayanan sedasi yang seragam dan standar di
seluruh lingkungan RSUD Ragab Begawe Caram.

2
BAB II
RUANG LINGKUP

2.1. Definisi
Pengertian sedasi adalah penurunan kesadaran dimana
terjadi penurunan kecemasan, stres, iritabilitas, atau
rangsangan yang disebabkan oleh pemberian obat-obatan
sedatif.
Menurut American Society of Anesthesiologist (ASA), sedasi
dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu:
1. Sedasi minimal (anxiolysis): pasien respon normal terhadap
perintah verbal. Pasien tidak mengalami gangguan pada
sistem respirasi dan kardiovaskuler, sedangkan fungsi
kognitif dan koordinasi dapat terganggu.
2. Sedasi moderat (conscious sedation): pasien memberikan
respon yang bertujuan, terhadap perintah verbal atau
stimulasi taktil ringan. Fungsi kardiovaskuler tidak
terganggu. Biasanya tidak diperlukan intervensi untuk
menjaga patensi jalan nafas. Pernafasan spontan adekuat.
Keadaan ini merupakan tingkat sedasi yang paling sering
dipakai untuk berbagai prosedur sedasi.
3. Sedasi dalam: pasien tidak mudah untuk dibangunkan,
tetapi memberikan respon yang bertujuan terhadap
stimulasi berulang atau nyeri. Fungsi kardiovaskuler
terjaga. Kemampuan untuk menjaga fungsi ventilasi dapat
terganggu. Ventilasi spontan dapat inadekuat. Pasien
memerlukan bantuan untuk menjaga patensi jalan nafas.
4. Anestesi: merupakan anestesi umum, dimana terjadi
penumpulan atau eliminasi refleks protektif jalan nafas.
Pasien tidak dapat dibangunkan, bahkan dengan stimulasi

3
nyeri. Pasien memerlukan bantuan untuk menjaga patensi
jalan nafas. Tekanan positif mungkin diperlukan karena
terjadi depresi ventilasi spontan. Fungsi kardiovaskuler
dapat terganggu.

Tabel 1. Perubahan Fisiologis Tubuh Terhadap Kedalaman


Sedasi

Sedasi Sedasi Sedasi Anestesi


minimal moderat dalam
(ansiolisis)
Tingkat Respon Memberikan Respon Tidak dapat
responsivitas normal respon bertujuan dibangunkan
hingga bertujuan setelah , bahkan
stimulasi terhadap stimulasi dengan
verbal stimulasi berulang stimulasinyer
verbal atau atau nyeri i
taktil
Jalan nafas Tidak Tidak Mungkin Memerlukan
terpengaru memerluka memerluka intervensi
hi n intervensi n
intervensi
Ventilasi Tidak Adekuat Mungkin inadekuat
spontan terpengaru inadekuat
hi

4
Fungsi Tidak Tidak Biasanya Dapat
kardiovaskul terpengaru tepengaruhi dapat terganggu
er hi dipertahan
kan
Sumber:Practice Guidelines for sedation and analgesia by
Non-anesthesiologists; 2002.

Adapun area dimana dapat dilakukan prosedur sedasi sedang


dan dalam di luar kamar operasi,diantaranya manajemen jalan
nafas emergensi pada ruang gawat darurat
2.2. Ketenagaan
Pelayanan sedasi moderat dan dalam, anestesi dilaksanakan
oleh dokter spesialis anestesiologi, dalam hal teknik dan
jenis sedasi, farmakologi obat-obatan sedasi dan
antidotumnya, pemantauan sedasi, dan respon terhadap
komplikasi.

2.3. Prosedur Sedasi


Sedasi prosedural dilakukan oleh dokter spesialis
anestesiologi. Pada prosedur emergensi, DPJP utama
mengkonsulkan ke anestesi emergensi.
Pelayanan sedasi meliputi evaluasi, memantau dan
mengelola pasien pra, intra dan pasca sedasi. Individu-individu
tim pemberi akan melakukan informed consent dan edukasi
kepada pasien, keluarga, dan/ atau yang mewakili (pembuat
keputusan) mengenai prosedur sedasi, tujuan, risiko,
komplikasi, keuntungan dan alternatif prosedur sedasi.
Informed consent ini didokumentasikan di dalam rekam medis
pasien. Analgesia untuk pasca tindakan juga
dijelaskan/didiskusikan dan diberi edukasi oleh pemberi

5
sedasi kepada pasien, keluarga, atau yang mewakili. Jenis atau
derajat kedalaman sedasi direncanakan saat kunjungan
prasedasi sesuai dengan prosedur atau tindakan yang akan
dilakukan.

2.4. Evaluasi Praanestesi/Prasedasi


Penilaian prasedasi membantu mengidentifikasi hal-hal yang
dapat mempengaruhi respon pasien terhadap tindakan sedasi
dan mengidentifikasi hal-hal penting yang dapat terjadi selama
monitoring saat dan setelah prosedur sedasi sehingga
menjamin keamanan dan keselamatan pasien. Pemberi sedasi
melakukan kunjungan prasedasi untuk menilai kelayakan
(pertimbangan manfaat dan risiko) untuk dilakukan prosedur
sedasi. Evaluasi risiko pasien dilakukan berdasarkan
klasifikasi status fisik dari ASA (American Society of
Anesthesiologist).
Penilaian prasedasi didokumentasikan dalam lembar
penilaian preanestesi/sedasi. Riwayat keadaan pasien yang
dapat mempengaruhi respon pasien terhadap prosedur sedasi
diantaranya:
1. Kelainan system organ utama
2. Terapi obat-obatan yang dapat berinteraksi dengan obat
sedasi
3. Alergi obat
4. Riwayat efek samping terhadap anestesi atau sedasi
5. Waktu dan jenis intake oral terakhir
6. Riwayat pemakaian alkohol atau obat-obat terlarang

6
Tim pemberi sedasi yang berkualifikasi bertanggung jawab
melakukan pengkajian presedasi dari pasien untuk:
1. Mengidentifikasi masalah jalan nafas yang dapat
mempengaruhi jenis sedasi yang digunakam
2. Mengevaluasi pasien-pasien beresiko untuk ketepatan
sedasi prosedural
3. Merencanakan jenis sedasi dan tingkat sedasi yang
diperlukan pasien berdasarkan prosedur yang dilakukan
4. Memberikan sedasi dengan aman
5. Menginterpretasikan temuan dari pemantauan pasien
selama prosedur sedasi dan pemulihan

Tabel 2. Sistem Klasifikasi Status Fisik ASA


Klasifikasi Definisi Contoh
Status Fisik
ASA
ASA I Pasien sehat Sehat, tidak merokok, tidak
normal atau minimal pengguna alkohol
ASA II Pasien dengan Penyakit ringan tanpa
penyakit sistemik keterbatasan fungsi. Contoh:
ringan perokok, peminum alkohol,
hamil, obesitas (30 < BMI < 40),
hipertensi atau DM terkontrol,
penyakit paru ringan
ASA III Pasien dengan Keterbatasan fungsional; satu
penyakit sistemik atau lebih penyakit sedang
berat sampai berat. Contoh:
hipertensi atau DM yang tidak
terkontrol, PPOK, morbid obese
(BMI > 40), hepatitis aktif,
ketergantungan alkohol,
pacemaker implan, penurunan
fraksi ejeksi sedang, penyakit
ginjal stadium akhir yang
teratur menjalani dialisis, bayi
prematur dengan usia post
konsepsi < 60 minggu, riwayat
infark miokard, stroke,

7
transient ischemic attack, atau
penyakit jantung koroner/stent
(> 3 bulan)
ASA IV Pasien dengan Contoh: riwayat infark
penyakit sistemik miokard, stroke, transient
berat yang konstan ischemic attack, atau penyakit
mengancam nyawa jantung koroner/stent (< 3
bulan), sedang mengalami
iskemik kardiak atau disfungsi
katup berat, penurunan ejeksi
fraksi berat, sepsis, DIC,
penyakit ginjal akut atau
penyakit ginjal stadium akhir
yang tidak menjalani dialisis
rutin
ASA V Pasien kritis yang Contoh ruptur aneurisma
tidak diperkirakan abdomen/torak, trauma masif,
dapat hidup tanpa perdarahan intrakranial
operasi dengan efek massa, iskemik
usus akibat patologi kardiak
yang signifikan atau disfungsi
organ multipel
ASA VI Pasien mati batang
otak yang organnya
diambil untuk
keperluan donor
*Penambahan “E” menunjukkan operasi emergensi.
Sumber: ASA physical status classification system; 2014
Pasien yang akan mendapatkan sedasi harus menjalani
pemeriksaan fisik seksama, meliputi tanda-tanda vital,
auskultasi jantung dan paru dan evaluasi jalan nafas.
Pemeriksaan laboratorium penunjang sesuai indikasi
berdasarkan kondisi medis pasien dan kemungkinan bahwa
hasil ini akan mempengaruhi penatalaksanaan sedasi.

8
Tabel 3. Prosedur Penilaian Jalan Nafas Untuk Sedasi
Ventilasi tekanan positif, dengan atau tanpa intubasi
trakea, mungkin diperlukan jika terjadi gangguan
respirasi selama sedasi. Hal ini mungkin sulit pada
pasien anatomi jalan nafas atipikial. Sebagai
tambahan, beberapa kelainan jalan nafas dapat
meningkatkan kemungkinan obstruksi jalan nafas
selama ventilasi spontan.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan kesulitan
penatalaksanaan jalan nafas meliputi:
Riwayat:
Masalah sebelumnya dengan anestesi atau sedasi
Stridor, snoring atau apnea saat tidur
Artritis rheumatoid lanjut
Kelainan kromosom
Pemeriksaan Fisik:
Habitus
Obesitas yang signifikan (terutama yang melibatkan
leher dan struktur wajah)
Kepala dan leher
Leher pendek, terbatasnya ekstensi leher, jarak
hyoid-mental yang pendek (<3 cm pada dewasa),
masa leher, penyakit spinal servikal atau trauma,
deviasi trakea, dismorfik wajah (misal: Sindrom
Pierre-Robin)
Mulut
Buka kecil (<3 cm pada dewasa); edentulous;
insisivus menonjol; gigi longgar atau capped teeth;
dental appliances; palatum melengkung, tinggi;
makroglossia; hipertrofi tonsilar; uvula tidak terlihat.

9
Rahang
Micrognathia, retrognathia, trismus, maloklusi yang
signifikan
Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by
Non-anesthesiologists; 2002
Tabel 4. Persiapan Puasa
Jenis Waktu minimum
makanan puasa
Cairan jernih 2 jam
ASI 4 jam
Susu Formula 6 jam
Makanan 6 jam
ringan
Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by
Non-anesthesiologists; 2002
Pemilihan obat sedasi disesuaikan dengan tingkat sedasi
yang ingin dicapai. Pada prosedur sedasi minimal dan moderat,
dapat dipakai golongan benzodiazepin atau opioid atau
kombinasi keduanya dengan dosis bertahap Selain itu, perlu
disediakan antidotumnya. Pada prosedur sedasi dalam dan
anestesi, dapat digunakan propofol atau ketamin.

2.5. Monitoring Sedasi


Respon pasien terhadap perintah selama prosedur yang
difasilitasi sedasi bertindak sebagai panduan terhadap tingkat
kesadarannya. Skala sedasi dapat digunakan untuk
memonitoring kedalaman sedasi selama prosedur berlangsung.
Peralatan emergensi harus selalu tersedia karena respon
masing-masing individu terhadap obat sedatif-hipnotik
berbeda. Pemberi sedasi prosedural harus dapat

10
mengantisipasi bila pasien tersedasi lebih dalam dari pada
yang diharapkan.
Monitoring selama periode sedasi dilakukan oleh Dokter
Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) orang yang kompeten
(telah mendapat pelatihan sedasi dan tersertifikasi) dalam:
kebutuhan monitoring; respon terhadap komplikasi;
penggunaan agen antidotum; dan kriteria pemulihan.Semua
dokumentasi selama prosedur sedasi tercatat dengan baik di
rekam medis.
Tabel 5. Komplikasi Sedasi
Over- atau undersedation
Henti jantung
Insufisiensi respirasi
Nyeri
Obstruksi jalan nafas
Mual dan muntah
Aspirasi
Hipertermi maligna
Instabilitas hemodinamik
Reaksi paradoksikal (seperti: agitasi,
disforia, bingung)
Disritmia
Sumber: Moderate Sedation/Analgesia; 2014

Sedasi sering menimbulkan komplikasi. Oleh sebab itu,


individu yang memberikan sedasi maupun yang melakukan
monitoring harus mengetahui apa saja yang harus dilakukan jika
terjadi komplikasi, diantaranya:

11
1. Over- atau undersedation
Oversedasi maupun undersedasi dapat dicegah dengan
pemberian dosis dan tehnik yang tepat, dan mengetahui
pasien yang berisiko. Pemberian obat dosis kecil dengan
frekuensi yang lebih sering sesuai keperluan dapat
mengurangi terjadinya risiko ini. Jika terjadi overdosis, agen
antidotum dapat diberikan.
2. Henti jantung
Segera lakukan Resusitasi Jantung Paru. Individu yang
kompeten dalam melakukan bantuan hidup lanjut harus
dapat segera tiba untuk memberikan bantuan resusitasi
selama sedasi dilakukan.
3. Insufisiensi respirasi
Pencegahan dengan monitor respirasi dan saturasi oksigen
tiap 5 menit dengan menggunakan oxymetri. Pemberian
suplemen oksigen mengurangi terjadinya risiko. Agen
antidotum dapat diberikan jika terjadi depresi nafas
berlebihan.
4. Nyeri
Penilaian prasedasi harus menilai apakah prosedur yang akan
dilakukan menimbulkan nyeri. Agen sedasi yang mempunyai
efek analgesik ataupun agen analgesik lain dapat diberikan
untuk mengatasi nyeri.
5. Obstruksi jalan nafas
Head tilt, jaw trush dapat dilakukan untuk membuka jalan
nafas. Suctioning dilakukan dengan hati-hati jika terdapat
sekret karena suctioning berlebihan dapat menimbulkan
laringospasme.

12
6. Mual dan muntah
Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi risiko mual dan
muntah. Bila terjadi distensi lambung yang berlebihan,
pemasangan pipa nasogastrik dapat membantu mengurangi
risiko. Hipovolemia harus dikoreksi, dan nyeri harus diatasi
dengan pemberian agen analgesik.
7. Aspirasi
Risiko aspirasi dapat dikurangi dengan pemberian obat yang
dapat mengurangi isi lambung atau pH lambung. Elevasi
kepala dapat dilakukan pada pasien yang berisiko. Jika terjadi
aspirasi, suctioning dan proteksi jalan nafas dengan intubasi
diperlukan.
8. Hipertermi maligna
− Hentikan pemberian obat-obatan, dan segera minta
bantuan
− Kombinasikan dantrolene dengan aqua steril dan berikan
2,5mg/kg iv secepatnya
− Berikan bikarbonat untuk asidosis metabolik
− Berikan tindakan pendinginan (bilas lambung, selimut
pendingin, carian infus dingin)
− Terapi hiperkalemia berat dengan dextrosa 25-50 g iv, dan
insulin regular, 10-20 unit iv (dosis dewasa)
− Berikan obat antiaritmia jika diperlukan tanpa melihat
hiperkalemia dan asidosis
− Monitor end tidal CO2, elektrolit, kreatinin kinase serum
myoglobin, temperatur, produksi urin, status koagulasi
9. Instabilitas hemodinamik
Pemberian cairan untuk mengatasi hipovolemia dan transfusi
darah jika terjadi perdarahan. Obat vasopressor dapat
diberikan untuk menjaga stabilitas hemodinamik.

13
10. Reaksi paradoksikal (seperti: agitasi, disforia, bingung)
Jika disebabkan karena hipoksia dapat diberikan
suplementasi oksigen. Agen antidotum dapat menyebabkan
reaksi ini. Pemberian obat antidotum sebaiknya secara titrasi.

11. Disritmia
Evaluasi penyebab distrimia. Berikan oksigen jika disebabkan
karena hipoksia, kelebihan cairan dapat diberikan diuretik,
nyeri dapat diberikan agen analgetik, dan hipovolemia dapat
diberikan cairan. Obat antidisritmia dan defibrilator tetap
tersedia.

14
2.6. Sarana, Prasarana dan Peralatan
Untuk memberikan pelayanan sedasi yang seragam di
lingkungan rumah sakit, perlu ditunjang dengan ketersediaan
fasilitas, peralatan dan perlengkapan yang memadai sesuai
dengan standar. Prosedur sedasi mempunyai potensi risiko
yang signifikan terhadap pasien sehingga dibutuhkan
peralatan emergensi untuk mengatasi komplikasi yang dapat
terjadi.
Tabel 6. Peralatan Emergensi Untuk Sedasi
Peralatan emergensi yang harus tersedia jika
tindakan sedasi mengakibatkan depresi
kardiorespirasi. Daftar berikut harus
digunakan sebagai panduan, yang dapat
dimodifikasi tergantung pada keadaan
individu.
Peralatan intravena:
Sarung tangan
Swap alkohol
Kateter dan cairan intravena
Infus makro/mikro
Plester
Peralatan penatalaksana jalan nafas dasar:
Sumber oksigen (tabung/sentral)
Sumber suction
Kateter suction
Sungkup wajah
Ambu bag
Jalan nafas oral/nasal
Lubricant/jelly

15
Peralatan penatalaksanaan jalan nafas
lanjut:
Laryngeal mask airway
Gagang laryngoskop
Blade laryngoskop (0-4)
Endotracheal tube (2,5.0/3-8.0)
Mandrin/stylet
Antagonis:
Naloxon
Flumazenil
Pengobatan emergensi:
Epinefrin
Atropin
Amiodaron
Lidokain
Glukosa 40%
Metilprednisolon atau deksametason
Diazepam atau midazolam
Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by
Non-anesthesiologists; 2002
Kebutuhan alat-alat monitoring disesuaikan dengan tingkat
kedalaman sedasi yang dicapai. Untuk sedasi moderat dan
dalam peralatan yang diperlukan antara lain:
1. ECG
2. NIBP
3. Pulse oxymetry
4. Sumber oksigen
5. Sumber suction

16
2.7. Pasca Anestesi dan Sedasi
Setelah tindakan sedasi, pasien harus diobservasi oleh staf
(dokter/perawat) khusus. Pasien masih berisiko untuk
mengalami komplikasi setelah selesai prosedur. Berkurangnya
stimulasi prosedur, absorbsi dan eliminasi obat yang lambat
dapat menyebabkan residu sedasi dan depresi kardiorespirasi
selama periode pemulihan. Kriteria pengeluaran/ discharge
didesain untuk meminimalkan depresi system saraf pusat dan
kardiorespirasi.
Tabel 7. Kriteria Pemulihan dan Pengeluaran Setelah Sedasi
Tiap-tiap fasilitas pelayanan pasien dimana dilakukan
pemberian sedasi harus menetapkan kriteria pemulihan dan
pemulangan yang cocok untuk pasien dan prosedur tertentu.
Prinsip umum:
Supervisi medis pemulihan dan pengeluaran setelah sedasi
moderat atau dalam merupakan tanggung jawab praktisi
yang melakukanan atau klinisi yang berlisensi
Area pemulihan harus dilengkapi dengan, atau memiliki
akses langsung ke, monitoring yang tepat dan perlatan
resusitasi
Pasien yang mendapat sedasi moderat atau dalam harus
dimonitor hingga kriteria pengeluaran terpenuhi.

Sumber: Practice Guidelines for sedation and analgesia by


Non-anesthesiologists; 2002
Kriteria pemindahan pasien dewasa (termasuk geriatri) dari
ruang pemulihan yang dilakukan anestesi umum menggunakan
Aldrete Score. Pada pasien pediatri menggunakan Steward Score.
Pemulangan pada pasien rawat jalan dapat menggunakan Post
Anesthetic Discharge Scoring System (PADSS). Pada pasien-pasien

17
dengan kelainan khusus yang dirasakan diperlukan monitoring
post sedasi lebih ketat seperti seperti anak dengan kelainan sistem
syaraf pusat (hidrocefalus, microencefali), anak dengan kelaian
jantung bawaan maka pasien-pasien tersebut dilakukan
pemantauan selama 24 jam pertama di ruang rawat inap.
Tabel 8. Aldrete Score
1. Aktivitas
2 = dapat menggerakkan 4 ekstremitas
1 = dapat menggerakkan 2 ekstremitas
0 = tidak ada gerakan
2. Pernafasan
2 = nafas dalam dan batuk
1 = Dypnea/ nafas dangkal
0 = Apnea
3. Sirkulasi
2 = TD + 20 mmHg dari preoperatif
1 = TD + 20-50 mmHg dari preoperatif
0 = TD + 50 mmHg dari preoperatif
4. Kesadaran
2 = sadar penuh, mudah dipanggil
1 = bangun jika dipanggil
0 = tidak ada respon
5. Warna kulit
2 = kemerahan/normal
1 = pucat
0 = sianosis
(Total skor > 9 untuk pemulangan)
Sumber: Clinical Anesthesia, 6th edition; 2009

18
Tabel 9. Steward Score
1. Kesadaran
2 = bangun
1 = respon terhadap stimulus
0 = tidak respon terhadap stimulus
2. Jalan nafas
2 = aktif menangis / batuk
1 = dapat menjaga patensi jalan nafas
0 = perlu bantuan nafas
3. Gerakan
2 = gerak bertujuan
1 = gerak tanpa tujuan
0 = tidak bergerak
(Total skor> 5 untuk pemulangan)
Sumber: Essentials of Pediatric Anesthesiology, 2014

Tabel 10. PADSS


1. Tanda vital
2 = TD + nadi 20% dari preoperatif
1 = TD + nadi 20-40% dari preoperatif
0 = TD + nadi >40% mmHg dari
preoperatif
2. Aktivitas
2 = berjalan stabil, tidak pusing atau
sama saat preoperatif
1 = memerlukan bantuan
0 = tidak dapat berjalan
3. Mual dan muntah
2 = minimal/teratasi dengan obat oral
1 = sedang/teratasi dengan obat
parenteral
0 = berat/terus menerus walaupun
dengan terapi
4. Nyeri
Terkontrol dengan analgetik oral dan
dapat diterima pasien
2 = ya
1 = tidak

19
5. Perdarahan pembedahan
2 = minimal
1 = sedang
0 = berat
(Total skor> 9 untuk pemulangan)
Sumber: Clinical Anesthesia, 6th edition; 2009

2.8. Konsiderasi khusus


1. Pasien pediatri
Pemberian sedasi pada pasien pediatri merupakan
metode yang aman dan efektif untuk mengatasi agitasi dan
ketidaknyamanan pada anak. Namun, perilaku anak untuk
dapat bekerja sama terhadap suatu prosedur tergantung
dari kronologis dan usia perkembangan. Anak usia kurang
dari 6 tahun dan dengan keterlambatan tumbuh kembang
biasanya memerlukan sedasi dalam untuk memberikan
kontrol perilaku yang adekuat. Pada anak-anak dengan
kelainan bawaan seperti hidrosefalus, microenchephali,
kelainan syaraf dan jantung bawaan diperlukan
pemantauan ketat selama 24 jam post sedasi, sehingga
pada pasien-pasien seperti di atas diperlukan pemantauan
di ruang rawat inap selama 24 jam pertama post tindakan
sedasi. Penting untuk mengantisipasi/mengatasi sedasi
yang lebih dalam karena pasien anak-anak lebih sering
mengalami oversedasi. Pemberian agen sedasi juga
memberikan efek yang lebih besar pada usaha nafas,
patensi jalan nafas, dan refleks protektif pada anak-anak.
Pemberian agen sedasi harus dimodifikasi dengan
mempertimbangkan perbedaan anatomi dan fisiologi pada
anak. Jalan nafas anak secara anatomis berbeda dengan
dewasa. Laring terletak lebih sefalad dan anterior, serta
kepala yang relatif lebih besar, sehingga memposisikan

20
kepala berbeda pada anak. Patensi jalan nafas menjadi
perhatian karena lidah yang besar, yang dapat menutup
jalan nafas dan menyebabkan obstruksi. Pasien dengan
masalah jalan nafas sebaiknya diposisikan “sniffing”,
dengan dagu diangkat keatas dan kedepan. Memposisikan
anak dengan manuver standar head-tilt/jaw-thrust secara
tidak sengaja dapat menyebabkan kolapsnya jalan nafas.
Usaha nafas pada anak berbeda karena alveoli yang
lebih terbatas untuk pertukaran gas. Kebutuhan oksigen
juga lebih besar sehingga ventilasi semenit lebih besar. Laju
respirasi normal pada anak lebih cepat dari pada dewasa,
sehingga penurunan usaha nafas akibat pemberian obat
sedasi dapat menyebabkan insufisiensi respirasi yang
signifikan. Sternum dan tulang iga lebih kartilaginous dan
lunak pada anak, menyebabkan tanda-tanda distres
pernafasan secara visual dapat diidentifikasi dengan
adanya retraksi dinding dada dan penggunaan otot
abdominal. Pasien anak sebaiknya diberikan suplemen
oksigen saat diberikan agen sedasi karena kebutuhan
oksigen yang besar.
Laju nadi dan tekanan darah bervariasi tergantung
usia anak, evaluasi harus memperhatikan perbedaan ini.
Curah jantung pada anak dikontrol melalui peningkatan
laju nadi, dan obat yang menurunkan laju nadi akan
menyebabkan penurunan curah jantung dengan
konsekuensi berkurangnya waktu sirkulasi. Penurunan
curah jantung ini menyebabkan onset obat yang lebih lama
dan durasi yang lebih panjang. Pada anak, respon sirkulasi
terhadap hipoksia adalah terjadinya bradikardi. Jadi, laju
nadi merupakan parameter yang penting.

21
Menilai tingkat kesadaran pada anak harus
mempertimbangkan usia perkembangan anak. Sistem
neurologis tidak berkembang sepenuhnya sampai usia 8-10
tahun. Mengetahui perilaku yang sesuai dengan usia
normal pada anak akan membantu untuk mengidentifikasi
perubahan tingkat kesadaran pada anak.
Fungsi hepar dan ginjal pada anak belum berkembang
dengan baik dan akan mempengaruhi metabolisme obat
dan ekskresi. Pemanjangan efek obat dapat terjadi akibat
berkurangnya fungsi hepar. Sebaliknya, pada anak dapat
mengalami ekskresi yang lebih cepat karena volume
sirkulasi yang lebih besar. Monitoring respon obat pada
anak sangat penting karena respon terhadap obat yang
sulit diprediksi.
Teknik pemberian agen sedasi pada pasien pediatri
berbeda dengan pasien dewasa. Faktor internal (misalnya
usia, tingkat perkembangan) dan faktor eksternal (misalnya
interaksi orang tua dengan anak, persiapan, kemampuan
klinisi, lingkungan dimana akan dilakukan prosedur) akan
menentukan respon anak. Dosis individual dan pemberian
agen secara titrasi sangat penting. Efek farmakologis
obat-obatan dipengaruhi oleh curah jantung yang lebih
tinggi dan respon metabolik anak. Dosis anak miligram per
kilogram berat badan lebih besar dibanding dewasa. Dosis
yang lebih besar ini mengakibatkan risiko terjadinya
penumpukan obat di lemak dan otot, menyebabkan
pemanjangan durasi dan risiko resedasi karena obat secara
lambat dilepas dari jaringan ini. Pemberi sedasi harus
berhati-hati karena komplikasi lebih sering terjadi pada
anak.

22
2. Pasien geriatri
Pemberian sedasi pada pasien geriatri dapat
memberikan ketenangan, lingkungan yang nyaman pada
pasien dengan ansietas tinggi. Namun, masalah psikologis
pada populasi ini besar, dan risiko komplikasi meningkat.
Pemberi sedasi harus memberikan perhatian yang lebih baik
saat prasedasi, intrasedasi, maupun postsedasi. Dimulai
dari penilaian prasedasi sangat penting, termasuk evaluasi
jalan nafas pasien. Mengetahui kondisi komorbid penting
untuk mengurangi risiko komplikasi.
Pasien geriatri mengalami penurunan refleks laringeal
dan faringeal, sehingga meningkatkan risiko gangguan jalan
nafas. Hilangnya gigi geligi merubah bentuk mulut, dan
dapat memberikan kesulitan dalam memberikan ventilasi.
Osteoartritis pada leher dapat menghalangi posisi manuver
standar head-tilt/jaw-thrust. Jika manuver
head-tilt/jaw-thrust tidak memungkinkan, memposisikan
pasien dengan posisi lateral dekubitus dapat mengurangi
risiko terjadinya aspirasi.
Salah satu komplikasi mayor dari penuaan dan
pemberian sedasi terjadi saat digunakan benzodiazepin dan
opioid. Kedua agen ini meningkatkan depresi usaha nafas
pasien, yang merupakan perubahan normal pada proses
penuaan. Dengan meningkatnya kadar CO2 dan
menurunnya kadar oksigen, orang muda akan
meningkatkan kedalaman dan kecepatan respirasi untuk
memenuhi oksigenisasi jaringan yang adekuat. Kemampuan
ini menumpul pada geriatri, menyebabkan risiko terjadinya
hipoksemia. Selain itu kadar oksigen darah menurun seiring
dengan dengan peningkatan usia; tidak jarang bagi geriatri

23
memiliki kadar oksigen darah 80 torr dengan saturasi
oksigen sekitar 93% sampai 95%. Keadaan ini memperberat
risiko untuk terjadinya hipoksia dan hiperkapnia sehingga
diperlukan monitoring ketat untuk mencegah hal ini terjadi.
Proses penuaan menyebabkan penurunan curah
jantung, sehingga terjadi penurunan aliran darah ginjal dan
hepar. Pada usia 80 tahun, curah jantung mengalami
penurunan setengah dari individu usia 20 tahun.
Penurunan curah jantung ini menyebabkan onset yang lebih
lambat, waktu paruh dan ekskresi yang memanjang,
sehingga pemulihan dari sedasi lebih panjang. Sistem
konduksi jantung juga mengalami penurunan. Disertai
dengan adanya hipoksia, tidak jarang terjadi disritmia.
Ikatan obat dalam darah juga terganggu pada geriatri.
Obat yang berikatan dengan protein mengalami peningkatan
konsentrasi dalam sirkulasi karena berkurangnya albumin
yang terjadi pada penuaan. Dengan lebih banyaknya obat di
sirkulasi, efek obat akan semakin meningkat dan
meningkatkan risiko terjadinya oversedasi. Pada obat yg
larut air akan terjadi peningkatan kadar obat karena jumlah
air total pada tubuh berkurang seiring dengan peningkatan
usia. Keadaan ini akan memperberat risiko oversedasi.
Sebaliknya, kadar obat larut lemak akan berkurang karena
meningkatnya lemak pada geriatri. Obat ini akan
menumpuk di lemak dan akan dilepas secara lambat
sehingga akan memperpanjang durasi.

24
BAB III
FARMAKOLOGI OBAT SEDATIF-HIPNOTIK

Agen sedasi dapat diberikan melalui jalur intravena, oral,


intramuskular, maupun per rektal. Tehnik sedasi ini dipilih sesuai
dengan kedalaman sedasi yang ingin dicapai dan agen sedatif yang
akan digunakan.

3.1. Benzodiazepin
Struktur kimia benzodiazepin terdiri dari cincin benzen
dan cincin diazepin. Subtitusi cincin ini pada posisi tertentu
mempengaruhi potensi dan biotransformasi. Cincin imidazol
midazolam menyebabkan sifatnya mudah larut air pada pH
rendah. Diazepam dan lorazepam yang tidak larut dalam air
memerlukan preparat parenteral mengandung propilen
glikol, yang berhubungan dengan iritasi vena.
Golongan benzodiazepin diantaranya diazepam,
clobazam, alprazolam, midazolam, lorazepam. Semua obat
benzodiazepin larut dalam lipid, dimetabolisme di hati, dan
diekskresikan di urin.
a. Mekanisme kerja
Benzodiazepin berinteraksi dengan reseptor spesifik di
sistem saraf pusat terutama di korteks serebri. Ikatan
reseptor-benzodiazepin meningkatkan efek inhibisi
beberapa neurotransmiter seperti reseptor GABA.
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: benzodiazepin memiliki efek depresan
minimal terhadap jantung. Tekanan darah, curah
jantung, dan resistensi vaskuler perifer sedikit menurun.

25
Respirasi: menekan respon ventilasi terhadap CO2. Depresi
ini tidak signifikan bila obat tidak diberikan secara
intravena atau bersamaan dengan depresan lain.
Serebral: mengurangi konsumsi oksigen serebral, aliran
darah otak, dan tekanan intrakranial. Benzodiazepin
sangat efektif dalam mencegah dan mengontrol kejang
grand mal. Mempunyai efek amnesia.
c. Dosis:
- Midazolam
Intravena: dosis awal 0,01-0,1 mg/kg, pemeliharaan
0,04-0,2 mg/kg/jam,
- Pediatri intramuskular: 0,1-0,15 mg/kg; peroral:
0,3-0,5 mg/kg, dosis maksimal 15 mg
- Diazepam
Intravena: 0,04-0,2 mg/kg
Pediatri peroral: 0,2-0,5 mg/kg, dosis maksimal 15 mg
d. Antidotum
Flumazenil merupakan antagonis spesifik dan kompetitif
terhadap reseptor benzodiazepin. Walaupun secara cepat
(onset < 1 menit) dapat mengatasi efek hipnotik, amnesia
masih dapat terjadi. Efek pada pasien geriatri sulit untuk
diprediksi, dan pada pasien ini berisiko untuk terjadi
resedasi.
Dosis flumazenil diberikan secara titrasi melalui intravena
0,2 mg/menit (8-15 µg/kg iv) sampai mencapai derajat
reversal yang diinginkan. Dosis total biasanya 0,6-1,0 mg.
Dosis pediatri: titrasi 0,01 mg/kg/menit
Karena flumazenil mengalami metabolisme yang cepat di
hepar, pengulangan dosis dapat diperlukan setelah 1-2 jam
untuk mencegah resedasi.

26
3.2. Opioid
a. Klasifikasi
Berdasarkan kerja obat, opioid dibagi menjadi:
- Agonis, obat berikatan dan menstimulasi reseptor
hingga batas maksimal. Contoh: morfin, kodein,
hidromorfin, heroin, meperidin, fentanil.
- Antagonis, obat yang berikatan dengan reseptor namun
gagal menstimulasinya. Contoh: nalokson, naltrekson.
- Agonis parsial: obat yang berikatan dengan reseptor
namun tidak dapat menstimulasi reseptor hingga
ambang maksimal. Contoh: buprenorfin, pentazosin.
- Campuran agonis antagonis: obat yang berikatan
dengan berbagai subtipe reseptor dan menghasilkan
stimulasi subtipe reseptor yang berbeda-beda (bisa
agonis atau antagonis). Contoh: nalbufin.
b. Mekanisme kerja
Opioid berikatan dengan reseptor spesifik (mu, kappa,
delta, sigma) yang teletak di sepanjang sistem saraf pusat
dan jaringan lain. Aktivasi reseptor opioid menghambat
pelepasan presinaptik dan respon postsinaptik terhadap
neurotransmiter eksitasi (misalnya asetilkolin, substansi P)
dari neuron nosiseptif. Mekanisme seluler dari
neuromodulasi ini melibatkan perubahan konduksi ion
potasium dan kalsium. Walaupun memiliki efek sedasi,
opioid sangat efektif dalam menghasilkan analgesia.
c. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: opioid tidak banyak mempengaruhi fungsi
kardiovaskuler, vagus mediated bradycardia, penurunan
tekanan darah.
Respirasi: depresi ventilasi, terutama laju respirasi, hypoxic
drive menurun.

27
Serebral: mengurangi konsumsi oksigen serebral, aliran
darah serebral, dan tekanan intrakranial.
Gastrointestinal: memperlambat pengosongan lambung
dengan mengurangi peristaltik, spasme bilier, mual dan
muntah.
Morfin dan meperidin dapat menyebabkan pelepasan
histamindan menghasilkan metabolit yang aktif.
d. Dosis
Efek sedasi timbul pada dosis analgetik untuk manajemen
nyeri sedang sampai berat. Morfin memiliki onset yang
lebih lambat dan durasi yang lebih panjang (4-5 jam).
- Morfin
Dewasa intravena: 2,5-10 mg
Pediatri intravena: 0,01-0,2 mg/kg iv; intramuskular:
0,1 mg/kg
Pemeliharaan: 10-50 μg/kg/jam
- Meperidin:
Dewasa intravena: 25-50 mg
Pediatri intravena: 1-2 mg/kg
- Fentanil:
Dewasa intravena: 25-100 μg
Pediatri intravena: 0,5-2 μg/kg
Pemeliharaan: 0,01-0,05 μg/kg/menit

28
e. Antidotum
Naloxon merupakan antagonis opioid murni. Naloxon
berikatan dengan reseptor opioid namun tidak
mengaktivasi reseptor tersebut. Dosis intravena (vial 0,4
mg/ml diencerkan menjadi 0,04 mg/ml) dititrasi 0,5-1
μg/kg setiap 3-5 menit sampai tercapai ventilasi yang
adekuat dan sadar penuh.

3.3. Ketamin
a. Mekanisme kerja
Ketamin memiliki banyak efek terhadap sistem saraf pusat,
diantaranya memblok refleks polisinaptik pada corda
spinalis dan menghambat efek neurotransmiter eksitasi
pada daerah tertentu di otak. Ketamin mendisosiasi
talamus (yang menghantarkan impuls sensorik dari
reticular activating system ke korteks serebri) dari korteks
limbik (termasuk sensorik).
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: stimulasi sentral terhadap sistem saraf
simpatis, meningkatkan tekanan darah, laju nadi, dan
curah jantung.
Respirasi: sedikit mempengaruhi respirasi, bronkodilator
poten.
Serebral: meningkatkan konsumsi oksigen serebral, aliran
darah serebral, dan tekanan intrakranial
c. Ketamin mempunyai onset 45-60 detik dan durasi 10-20
menit
d. Dosis
- Intravena: 0,5-1 mg/kg
- Pemeliharaan: 25-75 µg/kg/menit
- Pediatri peroral: 6-10 mg/kg; intramuskular: 3-4 mg/kg

29
3.4. Propofol
Propofol merupakan obat sedasi kerja cepat (< 1 menit) yang
digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi serta
sedasi kerja singkat (10-15 menit). Propofol sangat larut pada
lipid dengan sediaan emulsi lipid 10%.
a. Mekanisme kerja
Propofol bekerja pada neurotransmisi inhibisi yang
dimediasi oleh GABA.
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: hipotensi akibat penurunan resistensi
vaskuler perifer (inhibisi aktivitas vasokonstriksi simpatis),
kontraktilitas jantung dan preload. Perubahan terhadap
laju nadi dan curah jantung biasanya transien dan tidak
signifikan.
Respirasi: Pada dosis induksi biasanya menyebabkan apnu.
Pada dosis subanestetik, infus propofol menghambat
hypoxic ventilatory drive dan mendepresi respon terhadap
hiperkarbia.
Serebral: menurunkan konsumsi oksigen serebral, aliran
darah serebral, dan tekanan intrakranial. Mempunyai efek
antiemetik.

30
c. Dosis
- Intravena: 0,25-1 mg/kg
- Pemeliharaan: 25-200 μg/kg/menit
- Pemeliharaan pediatri: 60-250 μg/kg/menit

3.5. Dexmedetomidin
a. Mekanisme kerja
Dexmedetomidin merupakan α2 adrenergik agonis selektif
yang bekerja secara sentral yang mempunyai efek sedasi
dan analgetik. Dexmedetomidin mempunyai onset yang
cepat (1-3 menit) dan waktu paruh terminal 2 jam. Obat ini
dimetabolisme di hati dan dieliminasi di urin. Dapat
digunakan untuk sedasi jangka pendek (<24 jam)
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskuler: bradikardi, hipotensi
Respirasi: tidak signifikan mendepresi ventilatory drive
Serebral: sedasi, amnesia
c. Dosis dexmedetomidin bolus 1 μg/kg iv dalam 10 menit,
infus 0,2-0,7 μg/kg/jam
3.6. Kloral hidrat
Kloral hidrat sering digunakan pada anak-anak untuk sedasi
atau hipnotik jangka pendek. Pada dosis terapeutik, kloral
hidrat mempunyai efek minimal terhadap respirasi dan
kardiovaskuler.
a. Mekanisme kerja
Kloral hidrat dimetabolisme menjadi trikloroetanol yang
mempunyai sifat farmakologis. Mekanisme depresi SSP
yaitu dengan potensiasi fungsi reseptor GABA,
menghambat eksitasi yang dimediasi N-metil-D-aspartat,
yang bekerja mirip dengan benzodiazepin dan barbiturat.
b. Efek terhadap sistem organ

31
Kardiovaskular: dosis tinggi dapat menyebabkan hipotensi,
aritmia atrial atau ventrikel, torsades de pointes, depresi
kontraktilitas miokard dan memperpendek periode
refraktori.
Respirasi: dosis sedasi tidak mempengaruhi respirasi dan
refleks batuk
Serebral: efek samping akibat depresi SSP yaitu ataxia,
mimpi buruk, vertigo, sakit kepala, malaise. Reaksi
idiosinkratik jarang terjadi (halusinasi, delirium,
disorientasi, inkoheren, paranoid)
Gastrointestinal: iritatif, menyebabkan mual, muntah diare,
nyeri perut
Hematologi:leukopenia dan eosinofilia
c. Dosis kloral hidrat per oral/per rektal 50-75 mg/kg.
Efek sedasi timbul dalam 10 sampai 15 menit dan tertidur
biasanya selama 30 sampai 60 menit.

3.7. Barbiturat
Barbiturat merupakan derivat asam barbiturik. Barbiturat
terdiri dari oksibarbiturat (phenobarbital, methohexital,
secobarbital, dan pentobarbital) dan tiobarbiturat (tiopental
dan thiamilal). Tiobarbiturat lebih larut dalam lemak sehingga
lebih poten, mempunyai onset lebih cepat dan durasi yang
lebih singkat. Tiopental mempunyai onset < 1 menit. Pasien
biasanya mulai kehilangan kesadaran dalam 30 detik dan
bangun dalam 20 menit.
a. Mekanisme kerja
Barbiturat mendepresi reticular activating system (RAS) di
batang otak, yang mengontrol berbagai fungsi vital
termasuk kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat
lebih poten mempengaruhi fungsi sinapsis saraf dibanding

32
akson. Barbiturat menghasilkan efek hipnotik sedatif
melalui neurotransmiter inhibisi asam γ-aminobutirat
(GABA) di sistem saraf pusat.
b. Efek terhadap sistem organ
Kardiovaskular: bolus barbiturat intravena dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah dan kenaikan laju
nadi. Depresi pusat vasomotor medula menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah perifer. Takikardi mungkin
disebabkan karena efek vagolitik sentral dan respon refleks
terhadap penurunan tekanan darah.
Respirasi: depresi terhadap pusat ventilasi medula
menyebabkan penurunan respon ventilasi terhadap
hiperkapnia dan hipoksia. Sedasi dengan barbiturat sering
menyebabkan sumbatan jalan nafas atas.
Serebral: konstriksi vaskularisasi serebal menyebabkan
penurunan aliran darah serebral, volume darah serebral,
dan tekanan intrakranial. Penurunan tekanan intrakranial
lebih menurun dibanding tekanan darah arteri sehingga
tekanan perfusi serebral biasanya meningkat.
Renal: penurunan aliran darah renal dan laju filtrasi
glomerular proporsional dengan penurunan tekanan darah.
Hepar: aliran darah hepar menurun. Pemakaian jangka
panjang dapat mempengaruhi biotransformasi obat.
c. Dosis
Tiopental diberikan secara intravena dengan dosis awal 2-4
mg/kg, dilanjutkan dengan pemeliharaan 30-80
µg/kg/menit.
Setiap vial 500 mg tiopental dilarutkan dengan 20 ml, atau
vial 1 g tiopental dilarutkan dengan 40 ml aqua injeksi atau

33
NaCl 0,9% atau glukosa 5% untuk menghasilkan larutan
2,5% (25 mg/ml).
Tabel 11. Farmakologi Agen Hipnotik-Sedatif
Ons Duras Antagoni Waktu
Agen Dosis Catatan
et i s Paruh
Benzodiazepin
Midazolam IV: IV: Flumazeni 1-4 jam IV: dosis IV diberikan
30-6 15-80 l awal secara
0 menit 0,01-0,1 perlahan.
detik IM: 1-6 mg/kg, Dapat
IM: jam pemeliharaa diulang
5-10 n 0,04-0,2 setiap 5
menit mg/kg/jam menit.
PO: PO: 0,3-0,5 Pada pediatri
20-4 mg/kg, dapat terjadi
5 maksimal 15 reaksi
menit mg paradoks.
IM: 0,1-0,15 Dosis
mg/kg dikurangi
30% (50%
pada
geriatri), jika
pasien
mendapat
narkotik
atau agen
depresan
lain.
Diazepam IV: IV: Flumazeni 48-96 IV: 0,04-0,2 Dapat
1-5 20-30 l jam mg/kg diulang
menit menit PO: 0,2-0,5 setiap 5-10
PO: mg/kg, menit. Waktu
15-6 maksimal 15 paruh
0 mg meningkat
menit pada
neonatus
dan geriatri.

34
Opioid
Morfin IV: IV: 1-4 Naloxon 2-4 jam Dewasa IV:Dapat
5-10 jam 2,5-10 mg diulang 2-5
meint IM: 4-5 Pemeliharaa
mg setiap 5
IM:10 jam n: 10-50 menit.
-30 μg/kg/jam Berikan
menit Pediatri: secara
IV: 0,01-0,2
perlahan.
mg/kg Dinilai skala
IM: 0,1 nyeri,
mg/kg hipotensi,
mual dan
muntah.
Meperidin IV: 2-4 Naloxon 2,5-4 Dewasa IV: Dapat
2-5 jam jam 25-50 mg diulang
menit Pediatri: 10-15 mg
IV: 1-2 setiap 5-10
mg/kg menit.
Diberikan
secara
hati-hati
pada pasien
dengan
gangguan
hepar;
hindari
penggunaan
pada pasien
dengan
gangguan
ginjal.
Fentanil IV: IV: Naloxon 2-4 jam Dewasa IV: Dapat
1-3 30-60 25-100 μg diulang 25
menit menit Pemeliharaa μg setiap 5
n: 0,01-0,05 menit.
μg/kg/menit Berikan
Pediatri: secara
IV: 0,5-2 perlahan.
μg/kg

35
Dinilai skala
nyeri,
hipotensi,
mual dan
muntah.
Disosiatif
Ketamin IV: IV: Tidak ada 10-15 IV: 0,5-1 Dapat
45-6 10-20 menit mg/kg menyebabka
0 menit Pemeliharaa n disosiasi,
detik IM: n: 25-75 seperti
PO: 12-25 µg/kg/menit mimpi
10 menit Pediatri: buruk,
menit PO: 6-10 halusinasi,
IM: 5 mg/kg atau
menit IM: 3-4 delirium
mg/kg
Hipnotik Sedatif
Propofol 30-6 10-15 Tidak ada 4-7 jam IV: 0,25-1 Dapat
0 menit mg/kg menyebabka
detik Pemeliharaa n hipotensi,
n: 25-200 bradikardi,
μg/kg/menit atau depresi
Pediatri: pernafasan
Pemeliharaa
n: 60-250
μg/kg/menit
Dexmedetomidin 1-3 6-10 Tidak ada 2 jam Dosis awal Dapat
menit menit IV: 1 μg/kg menyebabka
dalam 10 n hipotensi,
menit bradikardi
Pemeliharaa atau
n: 0,2-0,7 sympathetic
mg/kg/jam rebound
pada infus >
24 jam
Kloral hidrat 10-1 4-8 Tidak ada 8-11 jam Pediatri: Monitoing
5 jam (lebih Oral/rektal: jalan nafas
menit lama 50-75 dan saturasi
pada mg/kg oksigen.

36
neonatu Kegagalan
s) sedasi
meningkat
dengan
bertambahny
a usia.
Sering
digunakan
pada anak
usia di
bawah 3
tahun

Onse Duras Antagoni Waktu


Agen Dosis Catatan
t i s Paruh
Barbiturat
Tiopental IV: 5-30 Tidak ada 10-12 Dosis awal Dapat
30-60 menit jam IV: 2-4 menyebabka
menit mg/kg n nekrosis
Pemeliharaa jaringan
n: 30-80 dengan
µg/kg/menit ekstravasasi.
Pengulangan
dosis dapat
menyababka
n efek
kumulatif
Antagonis
Flumazenil < 1 1 jam - 40-80 IV: 0,2 Observasi
menit menit mg/menit. resedasi
maksimal 3
mg/jam.
Dapat
diulang
setiap menit
sampai

37
maksimal 1
mg.
Pediatri:
IV: 0,01
mg/kg/meni
t.
Naloxon IV: 30-120 - 60-90 IV: 0,5-1 Observasi
1-2 menit menit μg/kg. resedasi.
menit (3-4 jam Dapat Dapat
IM: pada diulang menyebabka
2-5 neonatu setiap 3-5 n edema
menit s) menit. paru non
(vial 0,4 kardiogenik.
mg/ml
diencerkan
menjadi 0,04
mg/ml)

38
Daftar Pustaka

The Royal College of Anaesthetists and The College of Emergency


Medicine. Safe Sedation of Adults in the Emergency Department;
2012.
Schneider PJ. Sedation Therapy: Improving Safety and Quality of
Care. Sixth Conference Center for Safety and Clinical Excellence.
San Diego; 2005
American Society of Anesthesiologists. Practice Guidelines for
sedation and analgesia by Non-anesthesiologists. Anesthesiology;
2002.
Barash et al. Post Anesthesia Recovery. Clinical Anesthesia.
Dalam: Clinical Anesthesia. Edisi ke-6. Lippincott; 2009.
Sessler CN, Grap MJ, Ramsay MAE. Evaluating and Monitoring
Analgesia and Sedation in the Intensive Care Unit. BioMed Central;
2008.
Marino PL. Analgesia dan Sedation. Dalam: The ICU Book. Edisi
ke-3. Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
Malviya S, Lewis TV, Tail AR. A Comparison of Observational and
Objective Measures to Differentiate Depth of Sedation in Children
from Birth to 18 Years of Age. Anesth Analg; 2006; 102:389-94.
Khan et al. Comparison and Agreement Between the Richmond
Agitation-Sedation Scale and the Riker Sedation-Agitation Scale in
Evaluating Patients’ Eligibility for Delirium Assesment in the ICU.
Chest; 2012; 48-54.
Elliot D, Aitken L, Chaboyer W. Psychological Care. Dalam:
ACCCN’s Critical Care Nursing. Edisi ke-2. Elsevier Australia;
2012.
Schweickert WD, Kress JP. Strategies to Optimize Analgesia and
Sedation. Critical Care; 2008.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Inhalation Anesthetics.
Dalam: Morgan’s Clinical Anesthesiology. Edisi ke-4. Appleton &
Lange; 2006.

47
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Nonvolatile Anesthetic
Agents. Dalam: Morgan’s Clinical Anesthesiology. Edisi ke-4.
Appleton & Lange; 2006.
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Adjuncts to Anesthesia.
Dalam: Morgan’s Clinical Anesthesiology. Edisi ke-4. Appleton &
Lange; 2006.
Barash PG, dkk. Intravenous Anesthetics. Dalam: Clinical
Anesthesia. Edisi ke-6. Lippincott Williams & Wilkins; 2009.

Miller RD, dkk. Intravenous Anesthetics. Dalam: Miller’s


Anesthesia. Edisi ke-7. Elsevier; 2010.
Wathen JE, Upshaw G. Procedural Sedation and Analgesia of the
Pediatric Patient. Dalam: Anesthesia Secrets. Edisi ke-4. Elsevier;
2011; 463.
Concise International Chemical Assessment Document.
Chloralhydrate. World Health Organization; Geneva; 2000.

48

Anda mungkin juga menyukai