Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN

RESPIRASI

Nama : Ahmad Arsyadi

NIM : 12640024

Asisten : Mbak Galih

Kelompok :1

Program Studi Biologi

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

2014
I. Tujuan
a. Mengetahui pengaruh suhu terhadap laju respirasi ikan
b. Membandingkan pengaruh suhu terhadap tingkat produksi CO2 ikan
II. Dasar Teori
Sistem tubuh makhluk hidup pada dasarnya mempunyai karakteristik yang
prinsipnya sama pada setiap individu. Dari prinsip karakteristik sama ini sistem tubub
makhluk hidup dapat dapat dipelajari. Misalnya, cara oksigen masuk ke dalam tubuh,
cara zat makanan diserap dari saluran pencernaan, cara sel mendapatkan makanan,
dan lain sebagainya (Irianto, 2012).
Menurut Irianto (2012), setiap tubuh organism hidup terdiri dari berbagai
sistem fungsional, misalnya sistem pernafasan, sistem pencernaan, sistem saraf, dan
sebagainya. Sistem-sistem tersebut terdiri dari beberapa organ pendukungnya,
misalnya sistem pencernaan terdiri dari mulut, esophagus, lambung, usus halus, usus
besar, dan anus. Organ-organ tubuh yang mempunyai fungsinya masing-masing
tersebut terdiri dari jaringan-jaringan. Jaringan tersebut dibentuk dari sel-sel yang
sama.
Tubuh makhluk hidup tersusun sedemikian rupa sehingga dapat mengatur jika
ada sesuatu yang berubah. Pengaturan ini bertujuan agar kehidupan terus
berlangsung. Dalam ilmu fisiologi dikenal istilah homeostasis yaitu pengaturan
kondisi-kondisi konstan dalam tubuh. Pada dasarnya semua organ dan jaringan tubuh
berfungsi membantu mempertahankan kondisi yang tetap ini berupa tersedianya
bahan-bahan yang dibutuhkan untuk kehidupan sel atau dikeluarkannya bahan-bahan
sisa metabolsime yang tidak dibutuhkan lagi (Irianto, 2012).
Menurut Fox (2008), mekanisme pengaturan (sistem regulasi) ini merupakan
suatu kesatuan fungsi yang saling berhubungan dalam mengatur lingkungan internal
tubuh tetap konstan. Kondisi yang relatif konstan (homeostasis) ini menurutnya
diatur oleh efektor yang teregulasi dengan informasi yang ditangkap oleh sensor dari
lingkungan internal tubuh itu sendiri.
Homeostasis adalah manifestasi keberadaan sejumlah faktor biologis yang
konstan seperti indikasi kuantitatif, karakteristik suatu organisme pada kondisi
normal. Termasuk temperatur tubuh, tekanan osmotik pada cairan, konsentrasi ion
hydrogen, kandungan protein dan gula, konsentrasi ion dan rasio ion-ion aktif yang
berhubungan dengan biologis, dan sebagainya. Keberadaan mineral sebagai garam
yang larut dalam medium sel, cairan interstitial, darah, dan limpa berperan langsung
maupun tidak langsung dalam menjaga parameter-parameter biologis dalam keadaan
konstan (Davis & Mertz, 1987).
Sebagian besar ilmu faal berkepentingan dengan mekanisme pengatur yang
bekerja mempertahankan menetapnya lingkungan internal. Banyak mekanisme
pengatur tersebut bekerja pada prinsip umpan balik, penyimpangan dari patokan
normal (set point system) akan dideteksi oleh suatu sensor, dan sensor mengirim
sinyal untuk mencetuskan perubahan-perubahan kompensatorik yang terus
berlangsung sampai titik patokan tersebut tercapai kembali (Ganong, 2003).
Fisiologi ikan dalam mempertahankan kondisi tubuhnya agar tetap stabil
(homeostasis) mencakup proses osmoregulasi, sistem sirkulasi, sistem respirasi,
bioenergetik dan metabolisme, pencernaan, organ-organ sensor, sistem saraf, sistem
endokrin, dan reproduksi. Metabolisme adalah semua reaksi kimia yang terjadi di
dalam tubuh makhluk hidup, terdiri atas anabolisme dan katabolisme (Tarwiyati et
al., 2011).
Menurut Irianto (2012), sistem respirasi selalu berhubungan dengan aktivitas
metabolisme. Hal ini dikarenakan setiap makhluk hidup memerlukan energi yang
berasal dari sari-sari makanan. Agar sari-sari makanan itu dapat diubah menjadi
energy, maka makanan harus dioksidasi. Oksidasi ini berlangsung di dalam sel yang
menghasilkan energy dan sisa berupa karbondioksida (CO2), dan uap air (H2O). Pada
peristiwa ini terjadi reaksi sebagai berikut:
enzim
C6H12O6 + 6O2 oksidasi 6CO2 + 6H2O + Energi
Berdasarkan persamaan tersebut jelas bahwa karbondioksida dan uap air
dilepas ke udara bersama hembusan napas, sedang energi sebagian berupa panas
untuk memelihara suhu badan dan sebagian berupa energi yang berguna untuk
melakukan aktivitas tubuh (Irianto, 2012).
Organisme hewani mengoksidasi karbohidrat, protein, dan lemak serta
menhasilkan CO2, H2O, dan energi yang diperlukan untuk proses kehidupan. CO2,
H2O, dan energi juga dihasilkan kalau makanan dibakar di luar tubuh. Akan tetapi, di
dalam tubuh, oksidasi bukan merupakan reaksi semieksplosif satu tahap melainkan
suatu proses bertahap, lambat, dan kompleks yang disebut katabolisme, yang
melepaskan energi dalam jumlah kecil yang dapat dimanfaatkan (Ganong, 2003).
Energi dapat disimpan di dalam tubuh dalam bentuk senyawa-senyawa fosfat
khusus kaya energi dan dalam bentuk protein, lemak, dan senyawa karbohidrat
kompleks yang disintesis dari molekul-molekul yang lebih sederhana. Pembentukan
zat-zat ini dengan proses yang mengambil energi, dan bukan melepaskannya disebut
anabolisme (Ganong, 2003).
Menurut Ganong (2003) banyaknya energi yang dibebaskan oleh katabolisme
makanan di dalam tubuh sama besar dengan jumlah yang dibebaskan kalau makanan
tersebut dibakar di luar tubuh. Energi yang dibebaskan oleh proses katabolisme di
dalam tubuh digunakan untuk memelihara fungsi tubuh, mencerna, dan
memetabolisme makanan, termoregulasi, serta aktivitas fisik. Energi ini tampil
sebagai kerja eksternal, panas, dan simpanan energi:
Pengeluaran energi = kerja eksternal + simpanan energi + panas
Jumlah energi yang dibebaskan per satuan waktu disebut taraf metabolisme.
Dalam menentukan kecepatan metabolisme, konsumsi O2 biasanya diukur dengan
beberapa bentuk spirometer yang diisi oksigen dan sebuah sistem pengabsorbsi CO2.
Banyaknya O2 (dalam millimeter) yang dikonsumsi per satuan waktu dikoreksi
terhadap temperatur standar dan tekanan lalu dikonversi ke produksi energi dengan
mengalikan terhadap 4,82 kkal/L O2 yang dikonsumsi (Ganong, 2003).
Menurut Ganong (2003), kecepatan metabolisme dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti pengerahan otot dan kondisi suhu lingkungan. Konsumsi O2 meningkat
selama dan sesudah masa pengerahan otot (misalnya sesaat setelah makan) serta saat
terjadinya peningkatan suhu dan begitu juga sebaliknya. Adapun faktor lain yang
mempengaruhi kecepatan metabolisme suatu organism adalah tinggi, berat, dan luas
permukaan badan, jenis kelamin, umur, pertumbuhan, reproduksi, laktasi, keadaaan
emosi, suhu badan, kadar hormone tiroid dalam sirkulasi, serta kadar epinefrin dan
norepinefrin dalam sirkulasi.
Proses peningkatan oksigen dan pengeluaran karbondioksida oleh darah
melalui permukaan alat pernafasan organisme dengan lingkungannya dinamakan
pernafasan (respirasi). Sistem organ yang berperan pada ikan dalam hal ini adalah
insang. Oksigen merupakan bahan pernafasan yang dibutuhkan oleh sel untuk
berbagai reaksi metabolisme. Bagi ikan, oksigen diperlukan oleh tubuhnya untuk
menghasilkan energi melalui oksidasi lemak dan gula (Triastuti et.al,. 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi oksigen ikan terbagi
menjadi dua, yaitu faktor luar dan dalam. Faktor luar dipengaruhi oleh tekanan parsial
oksigen dan suhu. Peningkatan suhu pada batas tertentu akan diikuti dengan
peningkatan laju metabolisme. Sedangkan faktor dari dalam adalah yang berkaitan
langsung dengan ikan itu sendiri, seperti ukuran ikan, aktifitas, kondisi kesehatan
ikan, dan seks (Anwar et al., 2009).
Menurut Ratningsih (2008), respirasi pada ikan berhubungan luas dengan
permukaan organ respirasi, darah, dan kemampuan dari organisme untuk mendeteksi
pengurangan oksigen pada lingkungan dan upaya penyesuaian fisiologis untuk
mengimbangi kekurangan oksigen. Partikel-partikel bahan organik terlarut yang ikut
terhisap bersama air secara terus-menerus dapat mengganggu proses respirasi pada
ikan serta berakibat mengakibatkan menurunnya laju konsumsi oksigen.
Oksigen (O2) terlarut adalah salah satu jenis gas terlarut dalam air dengan
jumlah yang sangat banyak, yaitu menempati urutan kedua setelah nitrogen. Namun
jika dilihat dari segi kepentingan untuk budidaya ikan, oksigen menempati urutan
teratas. Oksigen yang diperlukan ikan untuk pernafasannya harus terlarut dalam air.
Hanya jenis ikan tertentu, seperti lele, gurami, dan tambakan yang mampu menghirup
oksigen di udara bebas karena mempunyai alat pernafasan tambahan (Kordi, 2008).
. Sumber oksigen terlarut (dalam air) dapat berasal dari difusi oksigen yang
terdapat di atmosfer (sekitar 35%) dan aktifitas fotosintesis dari tumbuhan air dan
fitoplankton. Difusi oksigen dari atmosfer ke dalam air dapat terjadi secara langsung
pada kondisi air diam (stagnant). Difusi juga dapat terjadi karena agitasi atau
pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau ombak dan air terjun. Namun,
pada hakikatnya difusi oksigen dari atmosfer ke perairan berlangsung relatif lambat,
meskipun terjadi pergolakan massa air. Oleh karena itu, sumber utama oksigen di
perairan adalah fotosintesis (Effendi & Hefni, 2003).
Menurut Arrignon dan Jacques (1999), oksigen dalam perairan juga dapat
berasal dari faktor biologis, diantaranya adalah aktifitas klorofil pada tanaman dari
perifiton di sungai mengalir. Alga planktonik di dalam kolam atau danau, dan
tanaman air berbunga. Di pesisir yang membentang di perairan. Hal ini juga
menyebabkan kelimpahan oksigen apabila tumbuhan air berlimpah dari cahaya
matahari.
Respirasi eksternal sangat dipengaruhi oleh kadar oksigen didalam
lingkungan organisme yang bersangkutan. Untuk lingkungan air, kadar oksigen
dipengaruhi oleh kelarutan oksigen dalam air. Menurut Tim Dosen Fisiologi Hewan
(2013), kelarutan oksigen dalam cairan secara umum dipengaruhi oleh:
1. Tekanan parsial oksigen (O2) di atas permukaan cairan. Makin tinggi tekanan O2
di atas permukaan cairan, makin tinggi pada kelarutan oksigen di dalam cairan.
2. Suhu cairan atau medium. Makin tinggi suhu cairan atau medium, makin rendah
kelarutan oksigen dalam cairan atau medium.
3. Kadar garam di dalam cairan. Makin tinggi kadar garam, makin rendah kelarutan
oksigen di dalam cairan.
Makhluk hidup dapat diklasifikasikan atas dasar sumber panas bagi tubuhnya.
Endoterm adalah kelompok hewan yang mampu memproduksi sendiri panas yang
diperlukan untuk tubuhnya. Sedangkan suhu tubuh kelompok hewan Ektoterm berasal
dari suhu di sekelilingnya yang merupakan sumber panas tubuh. Kelompok hewan
ketiga adalah Heteroterm, tubuh hewan ini dapat memproduksi panas seperti halnya
pada endoterm, tetapi tidak mempertahankan suhu tubuhnya dalam kisaran suhu yang
sempit (Yuliani dan Raharjo, 2009).
Ikan merupakan organisme vertebrata yang hidup atau habitatnya berada di
air, baik air tawar, air payau, maupun air laut (air asin) dan termasuk kelompok
hewan ektoterm (poikiloterm). Ikan merupakan salah satu organisme vertebrata yang
hidup atau habitatnya berada di air baik air tawar, air payau maupun air laut (Anonim,
2008).
Ikan mas merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, berbadan memanjang
pipih kesamping dan lunak, yang termsuk dalam golongan teleostei. Tubuhnya
terbungkus oleh kulit yang bersisik, berenang dengan menggunakan sirip dan
bernafas dengan menggunakan insang. Ikan mas sudah dipelihara sejak tahun 475
sebelum masehi di Cina. Di Indonesia ikan mas mulai dipelihara sekitar tahun 1920.
Ikan mas yang terdapat di Indonesia merupakan merupakan ikan mas yang dibawa
dari Cina, Eropa, Taiwan dan Jepang. Ikan mas Punten dan Majalaya merupakan hasil
seleksi di Indonesia. Sampai saat ini sudah terdapat 10 ikan mas yang dapat
diidentifikasi berdasarkan karakteristik morfologisnya (Anonim, 2008).
Menurut Anonim (2008), ikan mas mempunyai ciri-ciri badan memanjang,
agak pipih, lipatan mulut dengan bibir yang halus, dua pasang kumis (babels), ukuran
dan warna badan sangat beragam Ikan Mas dikenal sebagai ikan pemakan segala
(omnivora) yang antara lain memakan serangga kecil, siput cacing, sampah dapur,
potongan ikan, dan lain-lain.
Klasifikasi Ikan Mas menurut Anonim (2008) adalah sebagai berikut:
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub Ordo : Cyprinoidea
Famili : Cyprinidea
Genus : Cyprinus
Spesies : Cyprinus caprio L.
Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) dapat digunakan sebagai hewan uji hayati
karena sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Di Indonesia ikan yang termasuk
famili Cyprinidae ini termasuk ikan yang populer dan paling banyak dipelihara
rakyat, serta mempunyai nilai ekonomis. Ikan mas sangat peka terhadap faktor
lingkungan pada umur lebih kurang tiga bulan dengan ukuran 8 – 12 cm. Disamping
itu ikan mas di kolam biasa (Stagnan water) memiliki kecepatan tumbuh yang relatif
cepat, yaitu sekitar 3 cm setiap bulannya (Anonim, 2008).
III. Bahan dan Metode Kerja
a. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah gelas beker 600 mL,
gelas beker 250 mL, termometer, timbangan, counter, dan pH kit tester.
Bahan yang dibutuhkan adalah air kran, air panas, air es, dan ikan mas
koki.
b. Metode Kerja
Percobaan ini dilakukan dengan disiapkannya dua gelas beker 600 mL dan
diberi label A dan B. Masing-masing gelas beker kemudian diisi dengan 150 mL
air lalu dicatat suhu serta pHnya. Setelah itu, ke dalam setiap gelas beker
dimasukkan seekor ikan mas koki dengan berat dan ukuran yang relatif sama
(gelas beker A berisi ikan kontrol dan gelas beker B berisi ikan yang akan diuji).
Langkah selanjutnya dilakukan dengan dihitungnya gerakan buka-tutup
mulut (operkulum) ikan pada kedua gelas beker selama satu menit dengan
pengulangan sebanyak enam kali dan dihitung rata-rata gerakan operkulum
masing-masing ikan tersebut per menit.
Setelah langkah di atas, selanjutnya ditambahkan air panas ke dalam gelas
beker kemudian diukur suhu air hingga diperoleh kenaikan suhu air 2°C lalu
disamakan volume air pada gelas beker A dan B untuk dilakukan uji seperti
langkah di atas.
Percobaan ini dilanjutkan dengan diukurnya pH air menggunakan pH kit
tester kemudian diulangi kedua langkah di atas untuk setiap kenaikan suhu 4°C,
6°C, dan 8°C dari suhu awal air kran. Selanjutnya, ikan dalam gelas beker B
diangkat dan disimpan dalam air kran biasa lalu dibiarkan selama 5-10 menit
sebelum perlakuan berikutnya.
Langkah selanjutnya adalah air di dalam gelas B digantikan dengan air
kran biasa, diukur, dan dicatat kembali suhu airnya. Kemudian ke dalam gelas
tersebut dimasukkan ikan mas dan dihitung gerakan operkulum ikan tersebutr
selama satu menit dengan pengulangan sebanyak enam kali lalu dihitung rata-rata
gerakan operkulum ikan tersebut.
Setelah langkah di atas, selanjutnya ditambahkan air es ke dalam gelas B
kemudian diukur suhu air hingga diperoleh 2°C lebih rendah dari suhu awal air
kran tersebut dan disamakan volume air pada gelas beker A dan B. Setelah itu,
dihitung gerakan operkulum ikan pada kedua gelas beker selama satu menit
dengan pengulangan sebanyak enam kali lalu dihitung rata-rata gerakan
operkulum masing-masing ikan tersebut per menit.
Percobaan ini dilanjutkan dengan diukurnya pH air menggunakan pH kit
tester kemudian diulangi kedua langkah di atas untuk setiap penurunan suhu 4°C,
6°C, dan 8°C dari suhu awal air kran. Selanjutnya, data yang diperoleh
dimasukkan ke dalam tabel berikut:

Jumlah gerakan mulut/operkulum per menit


Perlakuan Keterangan
Ulangan pH
aktivitas ikan
1 2 3 4 5 6 Rata-rata
Kontrol
Suhu …°C
Kontrol
Suhu …°C
Kontrol
Suhu …°C
Kontrol
Suhu …°C

Langkah terakhir dari percobaan ini adalah dengan dibuatkannya grafik


perbandingan hubungan antara suhu dengan gerakan operkulum pada setiap
perlakuan.
IV. Hasil dan Pembahasan
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap laju
respirasi ikan serta untuk membandingkan pengaruh suhu terhadap tingkat
produksi CO2 ikan. Adapun prinsip kerja pada praktikum kali ini dilakukan
dengan dimasukkannya seekor ikan mas pada gelas A (kontrol) dan gelas B (yang
akan diuji), lalu pada gelas B diberikan perlakuan suhu air berupa air panas dan
air es masing-masing dengan interval kenaikan dan penurunan suhu sebesar 2°C,
4°C, 6°C, dan 8°C kemudian dihitung dan dibandingkan jumlah gerakan buka-
tutup operkulum ikan yang terjadi pada setiap perlakuan.
Setelah praktikan melakukan percobaan ini, didapatkan hasil sebagai
berikut:
a. Grafik hubungan antara jumlah operkulum (Y) dengan perubahan suhu (X)
pada setiap penurunan suhu sebesar 2°C, 4°C, 6°C, dan 8°C dari suhu awal
air:

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa pada setiap kenaikan


suhu sebesar 2°C maka jumlah gerakan operkulum ikan yang diuji juga akan
semakin meningkat, atau semakin tinggi suhu air maka semakin banyak pula
gerakan buka-tutup mulut ikan yang terjadi.
Hasil percobaan pertama ini sesuai dengan teori sebenarnya, yaitu apabila
suhu meningkat, maka laju metabolisme ikan akan meningkat sehingga gerakan
membuka dan menutupnya operkulum ikan pun akan lebih cepat daripada suhu
awal air (Ganong, 2003).
Peristiwa ini terjadi dikarenakan semakin tingginya suhu air akan memicu
laju respirasi ikan mas semakin cepat. Peningkatan suhu air juga berpengaruh
terhadap peningkatan aktivitas metabolisme ikan. Enzim-enzim yang berperan
dalam proses tersebut juga akan semakin aktif untuk memecah substrat sehingga
metabolisme naik. Bila metabolisme naik maka akan menghasilkan semakin
banyak metabolit. Semakin banyak metabolit maka darah akan melakukan
transport metabolit untuk diedarkan ke seluruh tubuh menjadi lebih cepat
sehingga frekuensi denyut jantung juga menjadi meningkat (Salmin, 2005).
Menurut Salmin (2005), untuk mengimbangi proses transport metabolit
yang cepat maka organisme harus menyediakan oksigen yang juga cepat untuk
memecah hasil metabolisme menjadi suatu bentuk energi melalui suatu proses
katabolisme. Respirasi harus cepat dilakukan agar pemcahan karbohidrat menjadi
energi juga menjadi cepat. Karena alasan itulah pada semakin tinggi suhu maka
proses respirasi semakin cepat yang menyebabkan gerakan operkulum juga
semakin cepat.
Kecepatan respirasi pada kenaikan suhu tersebut meyebabkan kadar
oksigen yang terlarut dalam air semakin sedikit karena bayaknya oksigen yang
telah digunakan untuk proses respirasi. Jadi semakin tinggi suhu maka oksigen
yang terlarut dalam air semakin sedikit (Salmin, 2005).
Selain itu, pada saat suhu air naik juga terlihat bahwa ikan menjadi lebih
aktif dibandingkan ketika berada pada suhu awal air. Hal ini juga dikarenakan
proses respirasi ikan pada kenaikan suhu dipercepat untuk mengimbangi antara
energi yang digunakan dengan energi yang tersedia, dengan mempercepat
respirasi sehingga proses pemecahan karbohidrat untuk menghasilkan energi juga
akan dipercepat. Kecepatan respirasi dapat terlihat pada kecepatan gerakan
operkulumnya yang semakin meningkat (Salmin, 2005).
Menurut Ganong (2003), semakin tinggi aktivitas metabolisme tubuh
maka tingkat CO2 yang dihasilkan pun juga akan semakin tinggi. Hal ini
dikarenakan proses metabolisme berhubungan dengan laju respirasi yang
menghasilkan produk berupa gas karbondioksida. Sehingga, praktis ketika terjadi
kenaikan suhu maka aktivitas metabolisme, laju respirasi, dan tingkat produksi
CO2 ikan juga akan semakin tinggi.
b. Grafik hubungan antara jumlah operkulum (Y) dengan perubahan suhu (X)
pada setiap penurunan suhu sebesar 2°C, 4°C, 6°C, dan 8°C dari suhu awal
air:

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa pada setiap penurunan


suhu sebesar 2°C maka jumlah gerakan operkulum ikan yang diuji juga akan
semakin sedikit, atau semakin rendah suhu air maka semakin sedikit pula gerakan
buka-tutup mulut ikan yang terjadi.
Hasil percobaan kedua ini juga sesuai dengan teori sebenarnya, yaitu
apabila suhu air turun, maka laju metabolisme ikan akan ikut menurun sehingga
gerakan membuka dan menutupnya operkulum ikan pun akan lebih lambat
daripada suhu awal air (Ganong, 2003).
Peristiwa ini terjadi dikarenakan saat terjadinya penurunan temperatur,
maka terjadi penurunan metabolisme pada ikan yang mengakibatkan kebutuhan
O₂ menurun, sehingga gerakan operkulumya melambat. Adapun metabolisme
yang menurun pada suhu rendah disebabkan karena ikan tidak memerlukan
banyak oksigen untuk memecah karbohidrat menjadi bentuk gula yang sederhana.
Sehingga respirasi dan gerakan operkulum juga lambat (Salmin, 2005).
Menurut Salmin (2005), penurunan suhu juga dapat menyebabkan
kelarutan O₂ di lingkungannya meningkat. Jadi semakin rendah suhu maka
semakin lambat respirasi yang menyebabkan lambatnya pula gerakan
operculumnya. Proses respirasi yang lambat memberi dampak pada semakin
tingginya ketersediaan oksigen di dalam air disebabkan oleh laju respirasi yang
rendah sehingga tingkat konsumsi oksigen terlarut pun menurun (kelarutan
oksigen dalam air semakin tinggi).
Selain itu, pada saat suhu air turun juga terlihat bahwa ikan menjadi lebih
tenang dibandingkan ketika berada pada suhu awal air. Hal ini juga dikarenakan
proses respirasi ikan pada saat penurunan suhu diperlambat untuk mengimbangi
antara energi yang sedikit digunakan dengan energi yang tersedia, dengan
memperlambat respirasi sehingga proses pemecahan karbohidrat untuk
menghasilkan energi juga akan diperlambat. Kecepatan respirasi dapat terlihat
pada kecepatan gerakan operkulumnya yang semakin melambat (Salmin, 2005).
Menurut Ganong (2003), semakin rendah aktivitas metabolisme tubuh
maka tingkat CO2 yang dihasilkan pun juga akan semakin sedikit. Hal ini
dikarenakan proses metabolisme berhubungan dengan laju respirasi yang
menghasilkan produk berupa gas karbondioksida. Sehingga, praktis ketika terjadi
penurunan suhu maka aktivitas metabolisme, laju respirasi, dan tingkat produksi
CO2 ikan juga akan semakin rendah.
Ganong (2003) mengatakan bahwa selain faktor suhu, proses
penimbangan ikan pada saat praktikum juga berfungsi untuk mengetahui tentang
pengaruh berat ikan terhadap kecepatan respirasinya yang berkaitan juga terhadap
pengaruh luas bidang penyerapan difusi oksigen dengan kecepatan respirasi.
Namun, pada percobaan kali ini berat rata-rata dari semua ikan yang digunakan
adalah relatif sama sehingga faktor ini pun tidak begitu di bahas dalam kedua
percobaan tersebut.
V. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa:
a. Laju respirasi ikan meningkat (cepat) saat terjadi kenaikan suhu air dan akan
melambat (turun) ketika terjadi penurunan suhu dari suhu awal air.
b. Tingkat produksi CO2 ikan meningkat saat terjadi kenaikan suhu air dan akan
menurun ketika terjadi penurunan suhu dari suhu awal air.

VI. Daftar Pustaka


Anonim. (2008). Ikan Mas (Cyprinus caprio L.) sebagai Early Warning
System pencemaran lingkungan. Diakses melalui
http://smk3ae.wordpress.com/2008/07/24/ikan-mas-cyprinus-caprio-l-sebagai-
early-warning-system-pencemaran-lingkungan/. Diakses pada tanggal 19 April
2014, pukul 17.39 WIB.
Anwar, D., Setiawibowo, D.A., dan Triwijiwati, Y. (2009). Respirasi
(Tingkat Konsumsi Oksigen) dan Ketahanan Ikan di luar Media Air.
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal.pdf. Diakses pada tanggal 19 April 2014,
pukul 16.07 WIB.
Arrignon and Jacques. (1999). Management of Freshwater Fisheries
Science. USA: Publishers, INC..
Davis, G.K., and Mertz, W. (1987). Trace Elements in Human and Animal
Nutrition. San Diego: Academic Press, Inc.
Effendi & Hefni dan Hefni. (2003). Telaah Kualitas Air. Yogyakarta:
Kanisius.
Fox, S.I. (2008). Human Physiology Tenth Edition. New York: McGraw-
Hill.
Ganong, W.F. (2003). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Irianto, K. (2012). Anatomi dan Fisiologi. Bandung: Alfabeta.
Kordi, M. G. (2008). Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Jakarta:
Rinneka Cipta.
Salmin. (2005). Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi
(BOD) Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan.
Oseana, 110 (3), 21-26.
Tarwiyati, L., Rizqi, N., Dzulliana, E.A., dan Fakhriah, R. (2011).
Laporan Praktikum Fisiologi Hewan: Penyesuaian Hewan Poikilotermik
terhadap Oksigen Lingkungan dan Observasi Pembuluh Kapiler Darah. Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah.
Tim Dosen Fisiologi Hewan. (2013). Petunjuk Praktikum Fisiologi
Hewan. Jember: Universitas Jember.
Triastuti, J., Sulmartiwi, L., dan Dhamayanti, Y. (2009). Ichtyologi.
Surabaya: Universitas Airlangga.

Yogyakarta, 22 April 2014

Asisten, Praktikan,

( ) (Ahmad Arsyadi)

Anda mungkin juga menyukai