Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH

UPAYA PEMENUHAN LAYANAN KESEHATAN MELALUI ASPEK NON-


MEDIS

Disusun Oleh :
1. NADIYAH SUNGKAR P07134122001
2. QATHRUNNADA DIAN RATRI OKTAVIA P07134122002
3. ARNU MUZAMMIL P07134122003
4. LINTANG HANAN DIA DEANTY P07134122004
5. FAUZYAH AMJAD P07134122005
6. GINA MUIZA RIZQI ABDILLAH P07134122006
7. JEANI EKA SULISTYANINGRUM P07134122007
8. JIHAN NUR HANIFAH P07134122008
9. KHARISMA NUR AISYAH P07134122009
10. LETA MARIA ANJELIKA P07134122010

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA
JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
PROGRAM STUDI DIPLOMA III
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan masyarakat merupakan modal utama pertumbuhan
bangsa dalam membangun kesejahteraan masyarakatnya. Dalam
mewujudkan derajat kesehatan setinggi-tingginya bagi masyarakat
diselenggarakan upaya kesehatan terpadu dan menyeluruh untuk memenuhi
hak masyarakatnya. Upaya pemenuhan kesehatan tidak selalu dilakukan
dengan aspek medis, akan tetapi juga aspek non-medis yaitu; etnomedisin,
etnopsikiatri dan sistem medis non-barat dengan berbagai kekuatan dan
kelemahan. Hal yang paling penting dalam upaya pemenuhan kesehatan
adalah perbaikan keadaan dan kesehatan lingkungan untuk kenyamanan
hidup dan efisiensi kerja.
Upaya kesehatan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
meningkatkan kesehatan. Upaya kesehatan dilangsungkan dengan beberapa
pendekatan yang dilangsungkan secara menyeluruh (Menkes, 2004).
Teori kesehatan menurut HL. Blum (1980) menjelaskan mengenai
status kesehatan seseorang dipengaruhi oleh faktor dominan yaitu; perilaku
atau gaya hidup, faktor lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya), faktor
pelayanan kesehatan dan faktor genetik. Keempat hal tersebut saling
berinteraksi mempengaruhi kesehatan perorangan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana upaya pemenuhan kesehatan melalui aspek non-Medis


Etnomedisin?
2. Bagaimana upaya pemenuhan kesehatan melalui aspek non-Medis
Etnopsikiatri?
3. Bagaimana upaya pemenuhan kesehatan melalui aspek non-Medis
dengan sistem medis non-barat yang mencakup kekuatan dan
kelemahan?

1
2

C. Tujuan

1. Memahami upaya pemenuhan kesehatan melalui aspek non-Medis


Etnomedisin.
2. Memahami upaya pemenuhan kesehatan melalui aspek non-Medis
Etnopsikiatri.
3. Memahami upaya pemenuhan kesehatan melalui aspek non-Medis
dengan sistem medis non-barat yang mencakup kekuatan dan
kelemahan.
BAB II
ISI
A. Etnomedisin
1. Pengertian Etnomedisin

Secara etimologi etnomedisin berasal dari dua kata yaitu


Ethno yang berarti etnis dan medicine yang berarti obat. Sedangkan
secara ilmiah etnomedisin adalah persepsi dan konsepsi masyarakat
lokal dalam memahami kesehatan atau studi yang mempelajari
sistem medis etnis tradisional (Bhasin, 2007; Daval, 2009).
Etnomedisin adalah pengobatan yang dilakukan secara tradisional
akan tetapi etnomedisin ini lebih dominan mengarah kepada
kebudayaan yang ada di lingkungan sekitar masyarakat dimana
masyarakat pada lingkungan tersebut tidak melibatkan medis atau
lebih mempercayai pengobatan primitif. Selain itu, etnomedisin
didasarkan juga oleh pemikiran-pemikiran masyarakat di
lingkungan tersebut yang percaya akan roh leluhur atau di satu
wilayah yang kerap sekali untuk menggunakan pengobatan
menggunakan tumbuhan obat. Menurut Foster dan Anderson (1986)
etnomedisin memiliki arti yaitu cabang antropologi medis yang
bahasannya mengenai gejala-gejala penyakit, asal mula penyakit
dan penyebab penyakit. Secara umum etnomedisin merupakan
praktek medis tradisional yang tidak berasal dari medis modern
namun berasal dari tumbuh kembang dari pengetahuan setiap suku
dalam memahami suatu penyakit dan makna kesehatan (Fatimah,
2018).
Etnomedisin mempunyai dua tujuan utama. Tujuan yang
pertama adalah untuk menguji hubungan antara teori dan
pengetahuan manusia tentang kesehatan yang telah diwariskan dan
dipelajari dari hidup di alam. Hal ini akan membentuk dasar dari
budaya pengobatan yang lazim atau pengobatan yang masuk akal
yang umum diaplikasikan manusia dalam pengobatan penyakit.

3
4

Tujuan yang kedua adalah mengartikan suatu penyakit dan tidak


terbatas pada cara pengobatan oleh komunitas tertentu tapi
membandingkan pemikiran antar budaya menjadi pemahaman yang
lebih luas di tingkat regional dan global (Walujo, 2009).

2. Sejarah Etnomedisin
Etnomedisin di Indonesia telah digunakan sejak lama
menurut Basri (2013) dari segi etnomedisin konsep naturalistik yaitu
terjadi ketika suhu tubuh naik dan cairan dalam tubuh tidak
seimbang atau dengan kata lain sistem imun dalam tubuh yang
menurun oleh karena itu untuk pengobatannya diperlukan tumbuhan
obat ataupun hewan namun biasanya kedua hal tersebut
digabungkan tergantung dengan penyakit yang diderita. Menurut
Basri juga di zaman sekarang pengobatan naturalistik dibagi
menjadi tiga bagian yang sangat mendominasi etnomedisin di dunia
yaitu:
a. Konsep patologi humoral (terdapat di Amerika Latin)
Konsep patologi humoral ini berdasarkan cairan
dalam tubuh manusia yang pada masa Hippocrates
menghasilkan 4 konsep humor (cairan) antara lain yaitu:
darah (panas lembab), flegma atau lendir (dingin lembab),
empedu hitam atau melankoli (dingin kering) dan empedu
kuning (panas kering). Penyakit akan menonjol pada saat
musim yang cocok dengan sifatnya
b. Pengobatan Ayurveda (India dan negara di sekelilingnya)
Pengobatan ayurveda memiliki prinsip yaitu
keseimbangan humor (tridosha: flegma, empedu dan gas
dalam pencernaan) dalam tubuh. Sumber pengobatan
ayurveda ini berasal dari tulisan Vedda.
c. Pengobatan tradisional Cina
5

Pengobatan tradisional Cina merupakan hasil


pertama kali pengembangan dari sistem toko obat atau
apotek. Pengobatan ini berdasarkan 2 konsep utama yaitu
“yin” dan “yang” yang artinya “yin” merupakan
penggambaran dari sifat dingin, pasif, lendir, bulan dan
wanita. Sedangkan “yang” yaitu penggambaran dari sifat
panas, api, cahaya, aktif, matahari dan jantan. Praktik
penyembuhannya dilakukan dengan metode akupuntur dan
tabib atau shin she.
Etnomedisin termasuk kedalam antropologi kesehatan yang
dimana etnomedisin ini merupakan pengobatan yang dilakukan
tidak secara medis. Menurut ahli antropologi kesehatan Erwin
Ackerknecht (1940) masyarakat yang melakukan atau berkenan
dengan pengobatan primitif ini dikarenakan telah dilakukan
penelitian pada masyarakat primitif. Namun setelah Perang II, studi
antropologi berubah dari masyarakat primitif ke masyarakat desa
dan membuat para ahli antropologi kebingungan dalam
mendeskripsikan sistem medis yang berbeda dengan sistem medis
primitif mengenai peristilahan.
3. Macam-Macam dan Manfaat Etnomedisin
Konsep etnomedis dibagi menjadi personalistik dan
naturalistik. Foster dan Anderson (1986) menyatakan bahwa
personalistik adalah suatu sistem kesehatan penyakit yang
menyatakan bahwa penyakit manusia disebabkan oleh masuknya
hal-hal yang tidak terlihat oleh manusia, seperti makhluk gaib atau
dewa; hal-hal yang tidak dapat dilihat oleh manusia dan tidak
disebabkan oleh manusia, seperti hantu, roh leluhur, roh jahat,
penyihir, dan tukang tenung. Menurut pengertian naturalistik, suhu
di dalam tubuh naik dan keseimbangan cairan dalam tubuh tidak
seimbang (sistem kekebalan tubuh menurun), dan pengobatannya
6

menggunakan tumbuhan atau hewan, biasanya digabungkan


keduanya tergantung pada penyakit yang dideritanya.
Dalam bidang penelitian, etnomedisin bermanfaat karena
memiliki beberapa manfaat. Pentingnya etnomedisin adalah untuk
meneliti hasil penelitian, menemukan tumbuhan obat baru yang
belum diketahui masyarakat sekitar, menemukan jenis tumbuhan
obat yang belum tersentuh karena kekayaan tumbuhan yang dapat
digunakan masyarakat untuk pengobatan, dan menghidupkan
kembali kearifan lokal masyarakat dalam praktik pengobatan.
Menurut Abdan (2012), banyak orang di Indonesia dari kalangan
menengah kebawah yang menggunakan pengobatan etnomedis,
yang menunjukkan bahwa penelitian etnomedis juga
menguntungkan ekonomi. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa
penggunaan etnomedisin, termasuk penggunaan tumbuhan obat,
mungkin lebih ekonomis dan terjangkau bagi masyarakat kelas
menengah kebawah. Selain itu, etnomedisin masih kuat dalam
kebudayaan Indonesia dan dipercaya masyarakat.

B. Etnopsikiatri
1. Pengertian Etnopsikiatri
Pengertian etnopsikiatri menurut asal katanya (etimologi)
berasal dari dua kata, yaitu kata ethnicity dan psychiatry. Etno
didefinisikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan budaya yang
terkait erat dengan kepercayaan masyarakat tentang etiologi
penyakit. Psikiatri sekarang adalah cabang kedokteran yang
berhubungan dengan kesehatan mental. Dengan kata lain,
etnopsikiatri adalah ilmu yang mempelajari terjadinya gangguan
jiwa dan konsep budaya masing-masing kelompok (Muslimin, dkk,
2022).
Etnopsikiatri dimulai dengan pemahaman tentang hubungan
antara kepribadian dan kekuatan budaya yang mempengaruhi dan
7

membentuk kepribadian. Menurut WHO, ada hubungan erat antara


penyakit fisik dan mental. Pendapat masyarakat tentang hal-hal
misterius pada gangguan jiwa seperti dewa, nenek moyang, setan
atau dukun. Ini juga berlaku ketika penyakit terjadi karena hilangnya
keseimbangan antara tubuh, pikiran dan alam. Dalam hal ini,
pemulihan adalah mengembalikan keseimbangan elemen untuk
memastikan pemulihan yang sehat. Dalam konsep etnopsikiatri, cara
berpikir dapat dipengaruhi oleh perilaku normal dan abnormal.
Suatu disiplin ilmu muncul karena adanya hubungan sebab akibat
dan besarnya peran yang dimainkan oleh berbagai faktor. Ini juga
berlaku untuk konsep etnopsikiatri. Etnopsikiatri muncul karena
beberapa alasan dan faktor yang mempengaruhinya (Muslimin, dkk,
2022).
Etnopsikiatri muncul dari keingintahuan masing-masing
masyarakat terhadap disiplin ilmu baru yang didasarkan pada
keanekaragaman budaya, yang pada gilirannya menimbulkan
perbedaan pengobatan penyakit jiwa di masyarakat. Setiap budaya
selalu menawarkan hal yang berbeda tentang setiap metode
pengobatan yang berkaitan dengan gangguan jiwa. Tiga faktor
utama penyebab munculnya etnopsikiatri, yaitu munculnya sikap
normal dan abnormal dalam masyarakat, pemahaman tentang
penyebab gangguan jiwa, dan perbedaan cara pandang dalam
penanganan gangguan jiwa. Sikap yang normal adalah sikap pikiran
yang sehat dan tidak terganggu, sedangkan sikap yang tidak normal
adalah penyakit jiwa yang diderita seseorang (Muslimin, dkk,
2022).
2. Definisi Budaya Normal dan Abnormal
Budaya normal mengacu pada pola perilaku, keyakinan dan
norma-norma yang mendominasi di dalam suatu kelompok budaya
di wilayah tersebut, ini mencakup cara berpikir, perasaan dan
bertindak yang dianggap wajar dan dapat diterima dalam masyarakat
8

tersebut. Sedangkan budaya abnormal mengacu pada pola perilaku,


keyakinan, dan norma-norma yang dianggap berbeda atau
menyimpang dari mayoritas kelompok budaya di wilayah tersebut.
Tingkah laku abnormal pada masyarakat non -Barat
dianggap sebagai penyakit jiwa, namun kemudian muncul kasus
teori label. Kasus teori label dalam etnopsikiatri mengacu pada
fenomena di mana penandaan atau penempatan label terhadap
individu dari latar belakang budaya tertentu dapat mempengaruhi
persepsi, penilaian, dan intervensi terhadap kesehatan mental
mereka. Dalam konteks ini, label atau diagnosis medis sering
digunakan untuk menggambarkan gejala-gejala gangguan mental,
dan hal ini dapat berdampak pada cara individu tersebut dan
masyarakatnya memahami dan merespons masalah kesehatan
mental. Pada akhirnya pasien akan menerima diagnosis dan
bertingkah laku sesuai yang diinginkan. Meskipun teori tersebut
menarik perhatian namun banyak dari pihak ahli yang menentang
teori tersebut karena dengan alasan sebagai berikut :
a. Stereotip dan Stigma: Pemberian label psikiatri sering kali
menciptakan stereotip negatif dan stigma sosial terhadap
individu atau kelompok budaya tertentu. Hal ini dapat
menyebabkan diskriminasi, pengucilan, dan marginalisasi
sosial yang lebih lanjut, yang bisa merugikan individu yang
mengalami gangguan mental dan komunitasnya.
b. Perbedaan Budaya dalam Manifestasi Gejala: Gejala
gangguan mental dapat berbeda dalam berbagai kelompok
budaya. Penilaian berdasarkan standar budaya yang salah
dapat menyebabkan penafsiran yang tidak akurat dan
diagnosis yang tidak tepat, mengarah pada intervensi yang
kurang efektif.
c. Konteks Budaya: Penting untuk memahami konteks budaya
di mana individu hidup. Gejala dan perilaku yang mungkin
9

tampak tidak biasa dalam satu budaya bisa jadi merupakan


respons yang wajar dan adaptif dalam budaya lain. Oleh
karena itu, label psikiatrik yang diterapkan secara universal
dapat mengabaikan perbedaan budaya yang relevan.
d. Pandangan Alternatif tentang Kesehatan Mental: Beberapa
budaya memiliki pandangan yang berbeda tentang kesehatan
mental dan cara mengatasi gangguan mental. Pendekatan
medis atau psikiatri mungkin tidak selalu dianggap sebagai
solusi yang paling tepat oleh beberapa kelompok budaya,
yang lebih cenderung mengandalkan praktik spiritual atau
tradisional.
e. Dampak Terhadap Diri Sendiri dan Identitas Budaya:
Pemberian label psikiatrik dapat mempengaruhi cara
individu melihat diri mereka sendiri dan identitas budaya
mereka. Terkadang, label tersebut dapat menyebabkan
perasaan rendah diri, rasa malu, atau penyangkalan identitas
budaya mereka.
f. Kesalahan Diagnostik: Kurangnya pemahaman tentang
budaya tertentu dapat menyebabkan kesalahan dalam proses
diagnostik. Gejala yang dianggap sebagai gangguan mental
di satu budaya mungkin dianggap sebagai reaksi normal
terhadap peristiwa atau tekanan lingkungan di budaya lain.
3. Etiologi Penyakit Jiwa Non-Barat
Pada orang yang memiliki penyakit jiwa di daerah non barat
lebih dijelaskan secara personalistik, masyarakat tradisional
menganggap hal tersebut dikarenakan mereka melanggar hal-hal
yang bersifat pantangan atau karena ilmu sihir. Seseorang dengan
tingkah laku abnormal namun tidak membuat kerusuhan akan
dibiarkan leluasa oleh masyarakat non barat, sedangkan keperluan
sehari-harinya akan dipenuhi oleh pihak keluarga dari penderita
10

tersebut. Pemahaman ini seringkali dipengaruhi oleh faktor sosial,


spiritual, dan budaya.
4. Cara Budaya Dalam Menangani Penyakit Jiwa
a. Siapa yang Menyembuhkannya?
Banyak tulisan antropologi mengatakan bahwa
dukun adalah orang yang tidak stabil dan sering mengalami
delusi dan dapat menjadi waria atau homoseksual (Nelwan,
2021).
b. Perawatan orang sakit
Khususnya bila penyakit jiwa dianggap disebabkan
oleh guna-guna atau kerasukan, orang yang sakit dipandang
sebagai ancaman bagi kelompok; Sejak awal dia
diperlakukan dengan kejam (Nelwan, 2021).
c. Tujuan pengobatan
Tujuan perawatan dari kedua sistem ini juga sangat
berbeda. Perawatan dalam terapi barat berkisar
dari pengobatan simptomatik dan dari terapi gejala tics,
fobia hingga rekonstruksi kepribadian pasien (Nelwan,
2021).

C. Sistem-Sistem Medis Non-Barat: Berbagai Kekuatan dan Kelemahan


Sistem medis alternatif disebut sebagai sistem medis primitif, non-
ilmiah, pribumi, non-Barat, tradisional dan rakyat (folk medicine). Sistem
medis alternatif adalah upaya pengobatan tradisional di luar ilmu
kedokteran dan keperawatan. Sistem medis non-barat menjadi berkembang
karena sistem non-barat dinilai lebih baik terlebih lagi biayanya lebih murah
dibandingkan sistem medis modern yang memiliki
keterbatasan(Nugrahaeni dkk., 2018).
1. Kekuatan dari Berbagai Pengobatan Non-Barat
Kekuatan sistem kesehatan non-barat secara sah dapat
dimasukkan dalam kategori dukungan psikososial dan tindakan
11

klinis khususnya farmakope asli pribumi. Hal ini mungkin


dikarenakan kisaran penyakit tradisional seperti di negara barat
setidaknya lebih besar dari yang kita miliki. Seperti yang telah kita
lihat, penyakit dalam masyarakat tradisional setidaknya bersifat
terminal yang menunjukkan disfungsi tidak hanya dalam tubuh
pasien, tetapi juga dalam masyarakat dan mungkin masyarakat itu
sendiri. Kerangka hubungan manusia dan lingkungan inilah yang
mendasari pandangan penyakit di banyak masyarakat non-barat,
yang menjelaskan mengapa peran penyembuh yang kuat seperti
dukun jauh lebih luas dari peran seorang dokter. Seorang
penyembuh seperti dukun biasanya dipercaya bukan hanya
penyembuh, tetapi juga ahli dalam mengobati gejala. Menurut
sebagian besar antropolog, sebagai keseimbangan, jika diukur tidak
hanya dalam hal penghentian pengobatan tetapi juga dalam fungsi
psikoreligius, hukum dan sosial yang harus dilakukan oleh sistem
non-barat, maka sistem kesehatan non-barat cukup baik untuk
menjadi lembaga yang adaptif secara budaya yang memajukan
kesejahteraan masyarakat yang terlibat.
Ada banyak manfaat dari pencarian pengobatan alternatif
atau non-barat dan menerima pengobatan yang menggabungkan
obat-obatan tradisional dan obat-obatan non tradisional. Bagi
banyak orang, mereka merasa bahwa pengobatan barat saja yang
benar-benar mengobati penyakit, namun sebaliknya mereka hanya
ditekan dengan obat mahal yang hanya mengatasi gejalanya. Pada
pengobatan non-barat dengan tidak hanya berfokus pada resep obat,
pasien tidak perlu menghadapi banyak efek samping yang
berpotensi buruk dan dapat meningkatkan kualitas hidup mereka
(Foster dan Anderson, 2006).
2. Kelemahan dari Berbagai Pengobatan Non-Barat
Banyak ahli antropologi, bahkan Hippler dan Stein, setuju
bahwa banyak unsur farmakopea pribumi memiliki nilai terapi yang
12

khusus dan bahwa banyak penyembuh pribumi tidak dapat


diragukan lagi memiliki keterampilan. Selain itu, ditunjukkan
bahwa antibiotik dan obat lain yang mudah didapat oleh dokter yang
berpendidikan ilmiah lebih efektif dibandingkan dengan sistem
medis non-barat dan bahwa tidak semua metode pengobatan non-
barat memiliki nilai positif. Selain itu, bahwa pengobatan non-barat
tidak memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat saat ini. Ini
bertentangan dengan pengobatan ilmiah dalam hal aspek preventif
dan klinisnya, serta semua kekurangan perawatan kesehatannya.
Konsumen tradisional yang semakin meningkat dalam memilih
antara pengobatannya sendiri dengan pengobatan ilmiah lain(Foster
dan Anderson, 2006).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Upaya pemenuhan pelayanan kesehatan masyarakat tidak selalu
dilakukan melalui aspek medis namun juga melalui aspek non medis, yaitu
dengan: etnomedisin, etnopsikiatri dan sistem-sistem medis non-barat.
Etnomedisin merupakan pengobatan yang dilakukan secara tradisional
namun pengobatan ini lebih dominan mengarah kepada kebudayaan yang
ada di lingkungan sekitar masyarakat dimana masyarakat pada lingkungan
tersebut tidak melibatkan medis atau lebih mempercayai pengobatan
primitif. Etnomedisin juga merupakan sebuah kepercayaan dan praktek-
praktek yang berkaitan dengan penyakit yang merupakan hasil dari
perkembangan kebudayaan asli dan tidak berasal dari kerangka kedokteran
modern.
Etnopsikiatri adalah ilmu yang mempelajari terjadinya gangguan
jiwa dan konsep budaya masing-masing kelompok. Dengan kata lain
etnopsikiatri adalah studi tentang bagaimana masyarakat tradisional
memandang dan menangani penyakit jiwa. Seseorang akan dikatakan
normal apabila memiliki perilaku yang lazim dilakukan oleh orang-orang di
lingkungan tersebut.
Sistem medis non-barat disebut sebagai sistem medis alternatif,
primitif, non-ilmiah, pribumi, tradisional dan rakyat (folk medicine). Sistem
medis alternatif adalah upaya pengobatan tradisional di luar ilmu
kedokteran dan keperawatan. Sistem medis non-barat menjadi berkembang
karena dinilai lebih baik terlebih lagi biayanya lebih murah dibandingkan
sistem medis modern yang memiliki keterbatasan. Sistem medis non-Barat
mengacu pada praktik medis yang tidak termasuk dalam perawatan medis
tradisional Barat.

13
14

B. Saran
Upaya pemenuhan layanan kesehatan melalui aspek non-medis
menjadi penting dalam meningkatkan kualitas sistem kesehatan secara
keseluruhan. Berikut adalah beberapa saran yang dapat diimplementasikan
dalam makalah tentang upaya pemenuhan layanan kesehatan melalui aspek
non-medis:
1. Pendidikan Kesehatan Masyarakat: Tingkatkan upaya edukasi
kesehatan kepada masyarakat dengan menyediakan informasi yang
akurat dan mudah dipahami tentang pencegahan penyakit, gaya
hidup sehat, kebersihan, gizi, dan lain-lain. Pendidikan kesehatan
yang baik akan membantu masyarakat memahami pentingnya
pencegahan dan deteksi dini penyakit.
2. Promosi Kesehatan: Dukung program-program promosi kesehatan,
seperti kampanye gaya hidup sehat, imunisasi, dan kegiatan-
kegiatan yang mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam
menjaga kesehatannya. Hal ini dapat membantu mencegah
timbulnya penyakit dan meningkatkan kesad
DAFTAR PUSTAKA
Fatimah, Tina. 2018. Etnomedisin Tumbuhan Obat untuk Penyakit Diare di
Kecamatan Pacet Kabupaten Bandung. http://repository.unpas.ac.id/35778/
(Diakses pada Tanggal 25 Juli 2023).
Foster, G. M. dan Anderson, B G. 2006. Antropologi Kesehatan; Penerjemah,
Priyanti Pakan Suryadarma, Meutia F. Hatta Swasono. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press), 2006.
Bhasin, V. 2007. Medical Anthropology: A Review. Ethno.Med, 1 (1), 1-20. Dan,
B., Pada, P.,
Di, M., Ciwalen, D., Warungkondang, K., Cianjur, K.,Depkes, K. (2005). Sudibyo
Supardi dan Mulyono Notosiswoyo, II(3), 134– 144.
Menteri, Kesehatan RI. 2004. Kepmenkes RI No 284.
Muslimin, I., dkk. 2022. Teori Antropologi Kesehatan. Aceh: Yayasan Penerbit
Muhammad Zaini.
Nelwan, E., J. 2021. Sosio- Antropologi Kesehatan. Yogyakarta: Deepublish
Publisher.
Nugraheni, H., Wiyatini, T. dan Wiradona, I. 2018. Kesehatan Masyarakat Dalam
Determinan Sosial Budaya. Yogyakarta: Deepublish

15

Anda mungkin juga menyukai