Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN IMUNOLOGI DAN HEMATOLOGI


TENTANG GANGGUAN IMUN PADA ASMA

oleh

Felisia Ines Iswani


Hassael (30120112036)
Marcelina Inti Sari Jamin (30120112040)
Natalia Normarita Br Silalahi (30120112018)
R. Rexsi Chrisdinatha Putera (30120112046)

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS
2013
A. PENGERTIAN
Asma adalah penyakit paru dengan ciri khas yakni saluran napas sangat
mudah bereaksi terhadap berbagai rangsangan atau pencetus dengan
manifestasi berupa serangan asma (Ngastiyah, 2005).
Asma adalah penyakit yang menyebabkan otot-otot di sekitar saluran
bronchial (saluran udara) dalam paru-paru mengkerut, sekaligus lapisan
saluran bronchial mengalami peradangan dan bengkak (Espeland, 2008).
Asma adalah suatu peradangan pada bronkus akibat reaksi hipersensitif
mukosa bronkus terhadap bahan alergen (Riyadi, 2009).
Asma adalah penyakit saluran napas kronis yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius diberbagai negara diseluruh dunia.
Meskipun penyakit ini bukan merupakan penyebab kematian yang utama
tetapi penyakit ini mempunyai dampak sosial yang cukup besar terhadap
produktifitas kerja dan kehilangan angka sekolah yang tinggi serta angka
kejadiannya meningkat terus dari waktu kewaktu. Asma dapat terjadi pada
segala usia dengan manifestasi yang sangat bervariasi dan berbeda-beda antara
satu individu dengan individu lainnya.
Eosinofil merupakan inflamasi utama pada asma, terbukti setelah inhalasi
dengan allergen didapatkan peningkatan eosinofil pada cairan kurasan
bronkoalveolar (BAL) pada saat reaksi asma lambat yang disertai dengan
inflamasi.
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi yang terjadi pada asma adalah inflamasi
yang khas yaitu inflamasi yang disertai infiltrasi eosinofil, hal ini yang
membedakan asma dari gangguan inflamasi jalan napas lainnya.
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAPASAN

1. Hidung
Merupakan saluran udara pertama yang mempunyai 2 lubang,
dipisahkan oleh sekat hidung. Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang
berfungsi untuk menyaring, melembabkan dan menghangatkan udara.

2. Faring
Merupakan persimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan,
terdapat di dasar tengkorak, di belakang rongga hidung dan mulut sebelah
depan ruas tulang leher. Terdapat epiglotis yang berfungsi menutup laring
pada waktu menelan makanan.

3. Laring
Merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan
suara terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis
dan masuk ke dalam trakea di bawahnya.

4. Trakea
Merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16-20 cincin
yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk seperti kuku kuda
(huruf C). Sebelah dalam diliputi oleh sel bersilia yang berfungsi untuk
mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama-sama dengan udara
pernafasan. Percabangan trakea menjadi bronkus kiri dan kanan disebut
karina.

5. Bronkus
Bronkus terdiri atas 2 bagian yaitu bronkus kanan dan kiri.
Bronkus kanan lebih pendek dan lebar, merupakan kelanjutan dari trakhea
yang arahnya hampir vertikal. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih sempit,
merupakan kelanjutan dari trakhea dengan sudut yang lebih tajam. Cabang
utama bronkus kanan dan kiri bercabang menjadi bronkus lobaris
kemudian bronkus segmentaliis. Bronkus dan bronkiolus dilapisi oleh sel –
sel yang permukaannya dilapisi oleh rambut pendek yang disebut silia,
yang berfungsi untuk mengeluarkan lendir dan benda asing menjauhi paru
menuju laring.
Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis
yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus terminalis
kemudian menjadi bronkiolus respiratori yang menjadi saluran transisional
antara jalan udara konduksi dan jalan udara pertukaran gas.

6. Alveoli
Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli. Terdapat tiga jenis sel-
sel alveolar, sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang membentuk dinding
alveolar. Sel alveolar tipe II sel – sel yang aktif secara metabolik,
mensekresi surfactan, suatu fosfolipid yang melapisi permukaan dalam
dan mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveolar tipe III adalah
makrofag yang merupakan sel – sel fagositosis yang besar yang memakan
benda asing dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan penting.

Proses pernapasan :
Proses bernapas terdiri dari menarik dan mengeluarkan napas. Satu
kali bernapas adalah satu kali inspirasi dan satu kali ekspirasi. Bernapas
diatur oleh otot-otot pernapasan yang terletak pada sumsum penyambung
(medulla oblongata). Inspirasi terjadi bila muskulus diafragma telah dapat
rangsangan dari nervus prenikus lalu mengkerut datar. Ekspirasi terjadi
pada saat otot-otot mengendor dan rongga dada mengecil. Proses
pernapasan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara rongga
pleura dan paru-paru.
Proses fisiologis pernapasan dimana oksigen dipindahkan dari
udara ke dalam jaringan-jaringan dan karbondioksida dikeluarkan ke udara
ekspirasi dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah
ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru-
paru. Stadium kedua adalah transportasi yang terdiri dari beberapa aspek
yaitu difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi
eksterna) dan antara darah sistemik dengan sel-sel jaringan, distribusi
darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan distribusi
udara dalam alveolus-alveolus dan reaksi kimia, fisik dari oksigen dan
karbondioksida dengan darah.
Stadium akhir yaitu respirasi sel dimana metabolit dioksida untuk
mendapatkan energi dan karbon dioksida yang terbentuk sebagai sampah
proses metabolisme sel akan dikeluarkan oleh paru-paru (Price, 2005).

Hipersensitivitas
Suatu reaksi hipersensitivitas biasanya akan terjadi sesudah kontak
pertama kali dengan sebuah antigen. Reaksi terjadi pada kontak ulang sesudah
seseorang yang memiliki predisposisi mengalami sensitisasi. Sensitisasi
memulai respon humoral atau pembentukan antibodi. Untuk menambah
pemahaman mengenai imunopatogenesis penyakit, reaksi hipersensitivitas
telah diklasifikasikan oleh Gell dan Coombs menjadi 4 tipe reaksi yang
spesifik.
1. Hipersensitivitas Anafilaktik (Tipe I)
Keadaan ini merupakan hipersensitivitas anafilaktik, reaksi yang
dimulai dalam tempo beberapa menit sesudah terjadi kontak dengan
antigen. Jika mediator kimia terus dilepaskan, reaksi lambat dapat berlanjut
sampai selama 24 jam. Reaksi ini diantarai oleh antibody IgE dan bukan
oleh antibody IgG atau IgM.
Hipersensitivitas tipe I memerlukan kontak sebelumnya dengan
antigen yang spesifik sehingga terjadi produksi antibody IgE oleh sel-sel
plasma. Proses ini berlangsung dalam kelenjar limfe tempat sel-sel Th (T
Helper) membantu menggalakan reaksi ini. Antibody IgE akan terikat
dengan reseptor membran pada sel mast yang dijumpai dalam jaringan ikat
dan basofil.
Pada saat kontak ulang, antigen akan terikat dengan antibody IgE
didekatnya dan pengikatan ini mengaktifkan reaksi seluler yang memicu
proses degranulasi serta pelepasan mediator kimia. Mediator kimia primer
bertanggung jawab atas berbaagai gejala pada hipersensitivitas tipe I karena
efeknya pada kulit, paru-paru dan traktus gastrointestinal.

2. Hipersensitivitas Sitotoksik (Tipe II)


Hipersensitivitas sitotoksik terjadi jika sistem kekebalan secara keliru
mengenali konstituen tubuh yang normal sebagai benda asing. Reaksi ini
mungkin merupakan akibat dari antibody yang melakukan reaksi silang dan
pada akhirnya dapat menimbulkan kerusakan sel.
Hipersensitivitas tipe II meliputi pengikatan antibody IgG atau IgM
dengan antigen yang terikat sel. Akibat pengikatan antigen –antibody
berupa pengaktifan rantai komplemen dan destruksi sel yang menjadi
empat antigen terikat.
Reaksi hipersensitivitas tipe II dalam penyakit miastenia gravis
dimana tubuh secara keliru menghasilkan antibody terhadap reseptor
normal ujung saraf. Contoh lainnya adalah sindrom Goodpasture yang pada
sindrom ini dihasilkan antibody terhadap jaringan paru dan ginjal sehingga
terjadi kerusakan paru dan gagal ginjal. Anemia hemolitik imun karena
obat, kelainan hemolitik Rh pada bayi baru lahir dan reaksi transfusi darah
yang tidak kompatibel merupakan contoh hipersensitivitas tipe II yang
menimbulkan destruksi sel darah merah

3. Hipersensitivitas Kompleks Imun (Tipe III)


Kompleks imun terbentuk ketika antigen terikat dengan antibody dan
dibersihkan dari dalam sirkulasi darah lewat kerja fagositik. Jika kompleks
ini bertumpuk dalam jaringan atau endothelium vaskuler, terdapat dua buah
faktor yang turut menimbulkan cedera, yaitu : peningkatan jumlah
kompleks imun yang beredar dan adanya aminavasoaktif.
Sebagai akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler dan
jaringan. Persendian dan ginjal merupakan organ yang terutama rentan
terhadap cedera ini. Hipersensitivitas tipe III berkaitan dengan sistemik
lupus eritematosus, atritis rematoid, serum sickness, tiper tertentu nefritis
dan beberapa tipe endokarditis bakterialis.

4. Hipersensitivitas Tipe Lambat (Tipe IV)


Reaksi ini yang juga dikenal sebagai hipersensitivitas seluler, terjadi
24 jam hingga 72 jam sesudah kontak dengan allergen. Hipersensitivitas
tipe IV diantarai oleh makrofag dari sel-sel T yang sudah tersensitisasi.
Contoh reaksi ini adalah efek penyuntikan intradermal antigen tuberculin
atau PPD (purified protein derivative).
Sel-sel T yang tersensitisasi akan bereaksi dengan antigen pada atau
didekat tempat penyuntikan. Pelepasan limfokin akan menarik,
mengakktifkan dan mempertahankan sel-sel makrofag pada tempat
tersebut.
Lisozim yang dilepas oleh sel-sel makrofag akan menimbulkan
kerusakan jaringan. Edema dan fibrin merupakan penyebab timbulnya
reaksi tuberculin yang positif. Dermatitis kontak merupakan
hipersensitivitas tipe IV yang terjadi akibat kontak dengan allergen seperti
kosmetika, plester, obat-obatan topical, bahan aditif obat dan racun
tanaman.
Kontak primer akan menimbulkan sensitisasi, kontak ulang
menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang tersusun dari molekul dengan
berat molekul rendah yang terikat dengan protein atau pembawa dan
kemudian diproses oleh sel-sel Langerhans dalam kulit. Gejala yang terjadi
mencakup keluhan gatal-gatal, eritema dan lesi yang menonjol.

C. ETIOLOGI
Asma dapat terjadi karena :
1. Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu binatang,
serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi)
b. Ingestan, yang masuk melalui mulut (makanan dan obat-obatan)
c. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan, logam
dan jam tangan)
2. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan
dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal
ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
3. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.
Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma
yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi
maka gejala asmanya belum bisa diobati.
4. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang
bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu
lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
5. Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling
mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas
biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

D. PATOFISIOLOGI
Mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung
pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan
mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang
disebut reaksi hipersensitivitas. Mekanisme imun yang mendasari terjadinya
alergi adalah mekanisme tipe I dalam klasifikasi Gell dan Coomb yang
diperankan oleh IgE. Seratus tahun yang lalu Paul Erlich mengemukakan sel
mast dan basofil, dimana sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang
dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.Dermatitis atopik
terjadi imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe
lambat akan menurun pada penderita DA. Paparan awal, alergen akan dikenali
oleh sel penyaji antigen (APC) untuk selanjutnya mengekpresikan pada sel
limfosit T secara langsung atau melalui sitokin. Pada fase akut sel T helper
(Th2) memproduksi macam-macam sitokin seperti IL-4 dan IL-13. Sitokin ini
menginduksi antibodi switchingpembentukan IgE dan ekspresi molekul adhesi
endotel sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Sel limfosit T
tersensitisasi akan merangsang sel limfosit B menghasilkan antibodi dari
berbagai kelas. Alergen yang utuh diserap oleh usus dan mencapai pembentuk
antibodi di dalam mukosa usus dan organ limfoid usus (plak Peyer) dan akan
membentuk imunoglobulin tipe IgG, IgM, IgA dan IgE. Pada anak atopi, IgE
dibentuk secara berlebihan dan akan menempel pada reseptornya di sel mast,
basofil dan eosinofil yang terdapat sepanjang saluran cerna, kulit dan saluran
nafas. Produksi dari IgE dipengaruhi dari sitokin yang diproduksi dari Th2
yaitu IL-4, IL-9, IL-13, sedangkan sitokin yang berfungsi mengaktifkan
makrofag dan mensupresi Th1 adalah IL-4, IL-10 dan IL-13. Kombinasi
alergen dengan paparan alergen berikutnya adalah dua molekul IgE yang
terikat pada reseptornya akan mengalami degranulasi dan mengeluarkan
mediator yang sudah ada dalam sel (preformed mediator) dan mediator yang
terbentuk kemudian (newly performed mediator).
1. Mediator yang sudah ada dalam sel, Ada 3 jenis mediator yang penting
yaitu histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A),
dan neutrophil chemotactic factor (NCF).
2. Mediator yang terbentuk kemudian
Mediator yang terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat, faktor
aktivasi trombosit, serotonin dan lain-lain. Metabolisme asam
arakidonat terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase
yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang berperan sebagai
mediator bagi berbagai proses inflamasi.

Produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2, PGE2, PGF2)


sertatromboksan A2. Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase.
Leukotrien LTE4 adalah zat yang membentuk slow reacting substance
of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik
untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah
zat yang dinamakan SRS-A yang dibebaskan dari jaringan paru yang
tersensitisasi. Slow reacting substance of anaphylaxis, secara in vitro
mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja yang
lebih lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya
didapatkan sedikit perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut.
Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari
histamin dalam hal terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek
bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga
meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus.
Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme
asam arakidonat, yaitu LTC4, LTD4 serta LTE4.

E. MANIFESTASI KLINIK
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan
gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernapas cepat dan
dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot
bantu pernapasan bekerja dengan keras.
Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak napas, mengi (whezing),
batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-
gejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan. Pada serangan asma yang
lebih berat, gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain : silent chest,
sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi dan pernapasan
cepat dangkal. Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.

F. TEST DIAGNOSTIK
Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya :
a. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari
cabang bronkus.
b. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
c. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat
mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
2. Pemeriksaan darah
a. Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
b. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
c. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3
dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada
waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni
radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka
kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
a. Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan
bertambah.
b. Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran
radiolusen akan semakin bertambah.
c. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
d. Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
e. Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan
pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen
pada paru-paru.

2. Pemeriksaan Tes Kulit


Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen
yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.

3. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat
dibagi menjadi 3 bagian dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi
pada empisema paru yaitu :
a. perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis
deviasi dan clock wise rotation.
b. Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya
RBB ( Right bundle branch block).
c. Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES,
dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.
4. Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa
redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.

5. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang
paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon
pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan
sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau
nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak
lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol
bronkodilator lebih dari 20%.
Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan
diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek
pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan obstruksi.
G. PENATALAKSANAAN
Prinsip umum pengobatan asma adalah :
1. Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara.
2. Mengenal dan menghindari fakto-faktor yang dapat mencetuskan serangan
asma.
3. Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai
penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan
penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuan penngobatan yang
diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawatnnya.

Pengobatan pada asma terbagi 2, yaitu:

1. Pengobatan non farmakologik:


a. Memberikan penyuluhan
b. Menghindari faktor pencetus
c. Pemberian cairan
d. Fisiotherapy
e. Beri O2 bila perlu.

2. Pengobatan farmakologik :
Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2
golongan :
a. Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin)
1) Orsiprenalin (Alupent)
2) Fenoterol (berotec)
3) Terbutalin (bricasma)

Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet,


sirup, suntikan dan semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered
dose inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup
(Ventolin Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan
broncodilator (Alupent, Berotec, brivasma serta Ventolin) yang oleh
alat khusus diubah menjadi aerosol (partikel-partikel yang sangat
halus) untuk selanjutnya dihirup.

b. Santin (teofilin)
1) Aminofilin (Amicam supp)
2) Aminofilin (Euphilin Retard)
3) Teofilin (Amilex). Efek dari teofilin sama dengan obat golongan
simpatomimetik, tetapi cara kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua
obat ini dikombinasikan efeknya saling memperkuat. Cara
pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai pada
serangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke
pembuluh darah. Karena sering merangsang lambung bentuk tablet
atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya
penderita yang mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati
bila minum obat ini. Teofilin ada juga dalam bentuk supositoria
yang cara pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus. Supositoria
ini digunakan jika penderita karena sesuatu hal tidak dapat minum
teofilin (misalnya muntah atau lambungnya kering).
4) Kromalin. Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat
pencegah serangan asma. Manfaatnya adalah untuk penderita asma
alergi terutama anak-anak. Kromalin biasanya diberikan bersama-
sama obat anti asma yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah
pemakaian satu bulan. Ketolifen mempunyai efek pencegahan
terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan dosis
dua kali 1mg / hari. Keuntungnan obat ini adalah dapat diberika
secara oral.

H. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Anamnesis
Seperti: nama,umur, jenis kelamin, tempat tinggal, alamat, status
perkawinan, dan gangguan emosional
2. Keluhan utama
Batuk-batuk dan sesak napas.
3. Riwayat penyakit sekarang
Batuk, bersin, pilek, suara mengi dan sesak napas.
4. Riwayat penyakit terdahulu
Anak pernah menderita penyakit yang sama pada usia sebelumnya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit ini ada hubungan dengan faktor genetik dari ayah atau ibu,
disamping faktor yang lain.
6. Riwayat kesehatan lingkungan
Bayi dan anak kecil sering berhubungan dengan isi dari debu
rumah, misalnya tungau, serpih atau buluh binatang, spora jamur yang
terdapat di rumah, bahan iritan: minyak wangi, obat semprot nyamuk dan
asap rokok dari orang dewasa. Perubahan suhu udara, angin dan
kelembaban udara dapat dihubungkan dengan percepatan terjadinya
serangan asma.

7. Riwayat nutrisi
Kebutuhan kalori 4-6 tahun yaitu 90 kalori/kg/hari. Pembatasan
kalori untuk umur 1-6 tahun 900-1300 kalori/hari. Untuk pertambahan
berat badan ideal menggunakan rumus 8 + 2n.
BBSekarang
= ×100 %
Status Gizi BBideal
Klasifikasinya sebagai berikut :

 Gizi buruk kurang dari 60%


 Gizi kurang 60 % - <80 %
 Gizi baik 80 % - 110 %
 Obesitas lebih dari 120 %
8. Pemeriksaan Fisik / Pengkajian Persistem
a. Sistem Pernapasan / Respirasi
Sesak, batuk kering (tidak produktif), tachypnea, orthopnea, barrel
chest, penggunaan otot aksesori pernapasan, Peningkatan PCO 2 dan
penurunan O2, sianosis, perkusi hipersonor, pada auskultasi terdengar
wheezing, ronchi basah sedang, ronchi kering musikal.
b. Sistem Cardiovaskuler
Diaporesis, tachicardia, dan kelelahan.
c. Sistem Persyarafan / neurologi
Pada serangan yang berat dapat terjadi gangguan kesadaran :
gelisah, rewel, cengeng → apatis → sopor → coma.
d. Sistem perkemihan
Produksi urin dapat menurun jika intake minum yang kurang
akibat sesak nafas.
e. Sistem Pencernaan / Gastrointestinal
Terdapat nyeri tekan pada abdomen, tidak toleransi terhadap
makan dan minum, mukosa mulut kering.
f. Sistem Integument
Berkeringat akibat usaha pernapasan klien terhadap sesak nafas.

I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Diagnosa
a. Diagnosa I : ketidakefektifan jalan nafas yang berhubungan dengan
adanya bronkhokonstriksi, bronkhopasme, edema mukosa dan dinding
bronchus, serta sekresi mucus yang kental.
b. Diagnosa II: gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan
gangguan suplai oksigen dan kerusakan alveoli.
c. Diagnosa III: gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh yang berhubungan dengan penurunan nafsu makan
d. Diagnosa IV : Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan
informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan
pengobatan.

2. Intervensi
a. Diagnosa I : ketidak efektifan jalan nafas yang berhubungan dengan
adanya bronkhokonstriksi, bronkhopasme, edema mukosa dan dinding
bronchus, serta sekresi mucus yang kental.
Kriteria hasil:
1) Pasien dapat mendemonstrasikan batuk efektif.
2) pasien dapat menyebutkan strategi untuk menurunkan kekentalan
sekresi.
3) tidak ada lagi suara nafas tambahan dan wheezing.
Intervensi yang di lakukan secara mandiri:

1) kaji warna, kekntalan, dan jumlah sputum.


2) atur posisi semifowler.
3) ajarkan cara batuk efektif.
4) bantu klien latihan napas dalam.
Intervensi yang dilakukan secara kolaborasi :

1) kolaborasi pemberian obat Bronkodilator , misalnya: Nebulizer via


inhalasi
2) kolaborasi pemberian obat Xantin, misalnya : aminofilin, oxtrifilin
dan lain-lain.
b. Diagnosa II: gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan
gangguan suplai oksigen dan kerusakan alveoli.
Kriteria hasil:
1) dapat mendemonstrasikan batuk efektif
2) menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat
dengan GDA dalam rentang normal.
Intervensi yang dilakukan secara mandiri :

1) kaji frekuensi, kedalaman pernafasan, catat penggunaan otot


aksesori, nafas bibir, ketidakmampuan bicara.
2) atur posisi semifowler
- Auskultasi bunyi nafas , catat area penurunan aliran udara dan/atau
bunyi tambahan.
- palpasi fremitus.
- awasi tanda vital dan irama jantung.
Intervensi yang dilakukan secra kolaborasi

1) awasi/gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.


2) berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA
dan toleransi pasien.

b. Diagnosa III : gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


yang berhubungan dengan penurunan nafsu makan.
Kriteria hasil :
1) Menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat
2) Menunjukkan perilaku atau perubahan pola hidup untuk
meningkatkan atau mempertahankan berat badan yang tepat.
Intervensi yang dilakukan secara mandiri:

1) Kaji kebiasaan diet, masukkan makanan saat ini. Catat derajat


kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.

a) Auskultasi bunyi usus


b) Berikan perawatan oral, buang sekret, berikan wadah khusus untuk
sekali pakai dan tisu
c) Dorong periode istirahat semalam 1 jam setelah dan sebelum makan.
Berikan makan porsi kecil tapi sering
d) Hindari makanan yang panas atau dingin
e) Timbang berat badan sesuai indikasi

Intervensi yang dilakukan secara kolaborasi :

1) Konsul ahli gizi untuk memberikan makanan yang mudah dicerna,


secara nutrisi seimbang
2) Kaji pemeriksaan laboratorium, misalnya albumin serum, transferin,
profil asam amino.

c. Diagnosa IV : Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan


informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.
Kriteria hasil :
1) Menyatakan pemahaman kondisi atau proses penyakit dan tindakan
2) Mengidentifikasi hubungan tanda/gejala yang ada dari proses
penyakit dan menghubungkan dengan faktor penyebab.
3) Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam ptogram
pengobatan.
Intervensi yang dilakukan secara mandiri :

1) Instruksikan rasional untuk latihan napas,batuk efektif,latihan


kondisi umum
2) Diskusikan obat pernapasan, efek samping,dan reaksi yang tak
diinginkan.
3) Tekankan pentingnya perawatan oral
4) Diskusikan pentingnya menghindari orang yang sedang infeksi
pernapasan aktif. Tekankan perlunya vaksinasi influenza
5) Diskusikan faktor individu yang meningkatkan kondisi. Dorong
pasien untuk mencari cara mengontrol faktor ini dan sekitar rumah
6) Kaji efek bahaya merokok dan menasehatkan menghentikan rokok
pada pasien atau orang terdekat
7) Berikan informasi tentang pembatasan aktivitas dan aktivitas
pilihan dengan periode istirahat untuk mencegah kelemahan, cara
menghemat energi selama aktivitas
8) Diskusikan pentingnya mengikuti perawatan medik, foto dada
periodik, dan kultur sputum.
9) Kaji kebutuhan oksigen untuk pasien yang pulang dengan oksigen
tambahan
10) Anjurkan pasien atau orang terdekat dalam penggunaan oksigen
aman dan merujuk ke perusahaan penghasil sesuai indikasi
11) Rujuk untuk evaluasi perawatan di rumah bila diindikasikan.
Berikan rencana rencana perawatan detil dan pengakjian dasar fisik
untuk perawatan di rumah sesuai kebutuhan pulang dari perawatan
akut.

3. Implementasi
Melakukan tindakan sesuai intervensi dan kebutuhan pasien.

4. Evaluasi
a. Tidak ada lagi suara nafas tambahan ( wheezing)
b. Dapat mendemonstrasikan batuk efektif
c. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi
d. Jalan nafas kembali efektif
e. Kebutuhan nutrisi terpenuhi.

DAFTAR PUSTAKA

Soetjningsih. (1998). Tumbuh kembang anak . Cetakan kedua. EGC. Jakarta


Wordpress.com//2013/02/22/tipe-tipe-hipersensitivitas

Anda mungkin juga menyukai