Disusun Oleh :
KELOMPOK 6 :
1. Muhammad Alfadila (11210331000025)
2. Kansalia Aurel (11210331000102)
Puji serta syukur atas kehadirat Allah SWT. Atas rahmat dan pertolongan-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang bertemakan
“MANUSIA SEBAGAI CITRA/WAKIL TUHAN : Ibn Arabi & Al-Jilli”. Makalah
ini dibuat bertujuan untuk menambahkan wawasan serta literasi kepada pembaca
tentang tema tersebut.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Aktobi Gozali, MA.
selaku dosen mata kuliah Filsafat Manusia. Berkat tugas yang diberikan ini dapat
menambah wawasan kepada kami terkait topik yang diberikan.
Serta berterima kasih atas kerja keras yang di lakukan oleh kolega saya dalam
hal ini Adinda Kansalia Aurel dalam pengupayaan pengumpulan materi guna
menjadikan makalah ini sebagai salah satu sumber literasi dan pembahasan yang
komperhensif.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini masih
terdapat banyak kesalahan. Oleh karena itu kami memohon maaf atas kesalahan dan
ketidaksempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga
mengharap adanya kritik serta saran yang bersifat mendidik untuk kesempurnaan
makalah ini dari pembaca. Semoga dikemudian hari kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini agar lebih baik.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………..……………..ii
DAFTAR ISI……………………………………..………………………………iii
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………...……………..4
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................6
Kesimpulan....................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dari seluruh ciptaan yang telah diciptakan Tuhan, manusia merupakan makhluk yang
memiliki nilai spesial. Karena ia adalah makhluk yang secara khusus mengemban tugas sebagai
wakil Tuhan (khalifah) dan Makhluk yang dianggap paling mampu merepresentasikan citra Tuhan.
Tugas ini merupakan beban yang sangat berat, karena mengemban amanat Tuhan adalah
kewajiban melaksanakan kebaikan dan meninggalkan keburukan yang tujuannya untuk mencapai
rido-Nya. Untuk itu tentu ada hubungan yang harus dilakukan antara manusia dengan Tuhan agar
manusia selalu dibimbing dalam setiap pelaksanaan amanat yang telah diberikan-Nya.
Maka pertanyaanya adalah kenapa manusia yang diberikan sifat kebaikan untuk dijadikan
pengemban tugas wakil Tuhan (khalifah). Dalam hal ini sufisme yang diwakili Ibn Al-'Arabi dan
Al-Jilli hingga Frederick Nietsze berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Salah satu contohnya
menuntut kepada pemikiran Al-arabi , ia berpendapat bahwa manusia dijadikan sebagai
pengemban tugas wakil Tuhan (khalifah), karena dalam kejadiannya manusia memiliki nilai
kesempurnaan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Ia merupakan pengejawantahan nama-nama
Tuhan secara keseluruhan, sehingga ia adalah cermin bagi Tulis yang bersih dan bening. Tuhan
dapat melihat citra Diri-Nya dengan sempurna melaluinya. Maka manusialah yang dapat dijadikan
wakil Tuhan di bumi untuk melaksanakan kewajiban syari'at dan mengelola alam.
Akan tetapi tidak semua manusia berhasil menjadikan dirinya sebagai wakil Tuhan
(khalifah), karena tidak semua orang dapat mengejawantahkan nama-nama Tuhan. Dalam anti
bahwa, bagi manusia yang tidak dapat melaksanakan kebaikan dan tidak bisa menjauhkan segala
hal yang buruk, ia adalah manusia yang tidak dapat menggunakan nama-nama Tuhan secara
proprosional, yang menurut bahasa Ibn Al-`Arabi tidak berakhlak dengan akhlak Allah. Manusia
seperti ini adalah manusia hewan atau hamba nalar, Sedangkan manusia yang dapat melaksanakan
kebaikan dan manjauhkan keburukan dengan baik, ia akan mendapatkan pengetahuan hakikat
segala realitas dan mejadikan diri-Nya dekat dengan Tuhan. Manusia seperti ini menurut Ibn Al-
`Arabi dinamakan insan kamil, berbeda dengan Al-Arabi menurut Frederick Nietsze manusia
tidaklah membutuhkan pihak lain ataupun juga berorientasi pada hal lain untuk menciptakan versi
terbaik bagi dirinya, manusia harus meninggalkan otoritas Tuhan atau lebih dikenal sebagai God
is death untuk mencapai tingkat Ubermensch atau Manusia ideal yang di maksudkan. Namun
dengan yang demikian itu Nietsze dan sufisme tetap bersepakat bahwasanya untuk mencapai
maqqom akhir tersebut haruslah melalui proses yang berjenjang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Manusia Sebagai wakil dan citra Tuhan itu dipahami
2. Bagaimana Pandangan Al-Arabi
3. Bagaimana Pandangan Al-jilli
4. Bagaimana Pandangan Frederick Nietsze
C. Tujuan
PEMBAHASAN
Secara bahasa, manusia ideal terdiri dari dua kata “Manusia” dan “Ideal”.
Manusia dalam bahasa arab “alInsan”(Achmad Warson Munawir, 2007) dan bahasa
inggris “Man” (John M. Echols, 1992). Begitu juga dengan “Ideal” diartikan sebagai
“al-Kamil” dalam bahasa Arab dan “Perfect” bahasa inggrisnya. Sehingga
terjemahaan secara keseluruhan dari manusia ideal adalah “al-Insan al-Kamil atau
Perfect Man”—sebagaimana yang akan dibahas nantinya.
Pengertian secara istilah, manusia adalah makhluk yang berakal atau نواط
( حيووانAli al-Jurjani, 1983) dan ideal dalam kamus KBBI diartikan “sangat sesuai
dengan yang dicita-citakan atau diangan-angankan atau dikehendaki”. Dengan kata
lain manusia ideal adalah manusia yang dicitacitakan atau dihendaki. Hal ini
berkaitan tentang gambaran dalam benak secara umum manusia, tentang ciri-ciri
manusia yang dianggap terbaik (Syafril dan Zelhendri Zen, 2017). Ini berarti
manusia ideal adalah suatu bentuk dan tujuan setiap manusia yang dihendaki serta
dianganangankan yang memiliki ciri-ciri yang terbaik juga. Hal ini bisa dicapai
dengan latihan-latihan atau proses tiada akhir. Dan setiap manusia memiliki
kesempatan untuk menjadi lebih baik meskipun jauh dari kesempurnaan atau yang
dikehendaki.
Seorang khalifah harus memiliki empat sisi karakter yang saling terkait.
B. Pandangan Ibn-Arabi
Manusia dalam pemikiran Ibn ‘Arabi (wahdah al-wujud) merupakan bagian
martabat terakhir dari rangkaian martabat wujud. Manusia adalah puncak tertinggi
segala yang diciptakan (al-mawjudat), manusia merupakan tempat penampakan
seluruh hakikat al-mawjudat (alam) dan tingkatan-tingkatannya, dan juga tempat
penampakan hakikat ketuhanan atau majla alIlahiyyah. Ia merupakan akhir al-
mawjudat dan juga awal al-mawjudat. Sebagai penguat dalam menggambarkan
insan kamil, kitab Fukuhat yang ditulis Ibnu Arabi mengatakan: Insan kamil
diposisikan al-Haqq dalam posisi tengah (yang memisah dan menghubung) antara
al-Haqq dan alam, sehingga ia menampakkan namanama Tuhan, sehingga ia
menampakkan hakikat hal yang mungkin (ada dan tidaknya bergantung pada yang
lain, yaitu al-Haqq, maka ia adalah makhluk. ²
Penyebutan manusia sebagai mikrokosmos dan bagian dari citra Ilahi itu jelas
merupakan sebuah anugerah yang luar biasa mulia. Mungkin hanya Ibn‘Arabi-lah
yang mengagungkan diri manusia hingga ke tingkat tertinggi hingga berdekatan
dengan sifat Tuhan, bila dibanding dengan pemikir-pemikir lain. Dihadapan Ibn
‘Arabi, kelebihan manusia dibanding makhluk lain (binatang) tidak dipandang dari
segi kemampuannya berfikir, sebagaimana banyak diungkap oleh para ahli kalam,
kaum teolog dan pandangan umum lainnya. Bagi Ibn ‘Arabi, perbedaan yang paling
mendasar antara manusia dengan makhluk lain (atau yang sering dibandingkan
dengan binatang) bukan karena manusia itu memiliki akal untuk berfikir dibanding
dengan binatang. Tetapi tidak lain adalah karena penciptaannya yang merupkan dari
“bentuk Ilhai” (as-surah al-ilahiyah). Hal tersebut sesuai dengan hadis yang terkenal
di kalangan sufi: “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menurut bentuk-Nya”
(Inna Allah khalaqa Adam ‘ala suratihi) (H.R. Bukhari dan Muslim). Makna dari
hadis ini dapat dipahami secara letterlick dan secara nyata telah tergambar secara
eksplisit, bahwa “bentuk Tuhan” melekat pada diri manusia. Karenanya, Allah
menuntun Adam sejak diciptakannya sebagai manusia pertama layaknya seorang
“ibu melahirkan bayinya”. Firmannya, “Dia telah mengajari Adam semua nama”, ⁴
. Dan ruh yang ditiupkan ke dalam diri manusia pun sebagaimana disebutkan al-
Qur’an juga bagian dari “Ruh Tuhan” (Q.S. al-Hijr: 29). Manusia adalah “kata” yang
memisahkan (kalimah fa silah),artinya ia berdiri sebagai batas pemisah atau
pembeda antara Tuhan dan alam karena ia adalah bentuk Tuhan dan alam adalah
cermin yang memantulkan bentuk itu, sedangkan Tuhan adalah Dzat yang
bentuknya adalah manusia.
Manusia yang dimaksud oleh Ibn ‘Arabi pada ungkapan itu merujuk pada
gagasan pemikirannya yang lain, yaitu tentang manusia sempurna (insan alkamil).
Benar bahwa manusia sebagai perantara antara alam dan Tuhan, agar Dia dapat
dikenal, dan karenanya, manusia adalah sebab bagi adanya alam.tujuan awal
penciptaan alam dan segala isinya agar Dia dapat dikenal. Karenanya, setiap
makhluk merupakan lokus penampakan diri Tuhan, dan manusia (dalam hal ini
manusia sempurna) menjadi lokus dari penampakan diri Tuhan itu secara sempurna.
Hanya manusia sempurnalah yang dapat menerima anugerah nama dan sifat-sifat
Tuhan itu. Ibn ‘Arabi mengatakan, alam adalah cermin Tuhan. Sementara alamtanpa
manusia ibarat cermin buram yang tidak dapat memantulkan gambar. Gambar Tuhan
tidak dapat dilihat dengan jelas dalam cermin seperti itu. Karenanya, perintah Tuhan
mengharuskan kebeningan cermin (alam) itu agar dapat memantulkan gambar-Nya
dengan jelas. Adam, atau manusia, adalah kebeningan cermin itu sendiri dan
sekaligus roh bentuk atau gambar. Cermin itu menjadi bening dan memantulkan
gambar Tuhan dengan jelas. Itu sebabnya, menurut Masataka Takeshita, tiga dari
tujuh penyebutan frase manusia sempurna dalam Fushus al-Hikam digunakan
dengan merujuk pada Adam. Jadi konsep manusia sempurna sangat berkaitan
dengan spekulasinya atas Adam, yang diciptakan dalam citra Tuhan sebagai wakil-
Nya di muka bumi. Pantaslah Adam (manusia) diangkat oleh Allah sebagai khalifah
di muka bumi ini.
Menurut Ibn Arabi, manusia ideal (Insan kamil) juga memiliki dua
kedudukan, yaitu:
Dalam hal ini manusia ideal dianggap merupakan sebab muncul dan
terpeliharanya alam semesta ini. Artinya, tanpa adanya manusia ideal, maka alam
semesta beserta isinya akan lenyap. Hal ini karena tujuan penciptaan alam semesta,
Yaitu agar alam dapat memanifestasikan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan secara
sempurna, tidak dapat terpenuhi selain pada diri manusia ideal. Sebagai wakil tuhan
manusia ideal juga berfungsi melestarikan masyarakat dengan cara menciptakan
kemakmuran, keadilan, serta ketentraman didalamnya. Konsep Khalifah (wakil)
Tuhan ini kalau ditelusuri nampaknya diambil oleh Ibn Arabi dari konsep Islam
tentang manusia, yang pada satu sisi menekankan ketinggian manusia (yakni sebagai
khalifah Nya) dan di sisi lain menekankan kerendahan manusia (sebagai abdi Nya).
Kedua sisi ini bersama sama membentuk sifat fundamental manusia.
C. Pandangan Al-Jilli
1. Pertama, Uluhiyyah. Tahap ini adalah tingkat tertinggi dalam proses tajalli Tuhan
karena didalamnya segala realitas dari segala sesuatu. Martabat tersebut
merupakan esensi dari zat primordial, yang menjadi sumber dari Yang Wujud
dan yang ‘adam, Qadim dan hadits, al-Haqq dan al-Khalq. Dalam kaitannya
dengan tajalli berikutnya, martabat uluhiyyah merupakan sumber primer dari
segalanya, baik yang wujud maupun yang ‘adam.
2. Kedua, Ahadiyah, tahap ini merupakan sebutan dari zat murni (al-dzat al-sadzi)
yang tidak memiliki nama dan sifat, dan tidak ada satu gejala apapun yang
muncul darinya. Lalu, dalam tahap ini menurut al-Jili mengalami tiga penurunan
(tanazzul); Ahadiyah, Huwaiyah dan Aniyah.
3. Ketiga, Wahidiyah yakni tajalli zat pada sifat. Dimana pada tahap ini zat Tuhan
menunjukkan diri-Nya pada sifat dan nama, tetapi sifat dan nama itu sendiri
masih identik dengan zat Tuhan karena zat ini masih berupa potensi-potensi dan
belum mampu mengaktualisasikan secara keseluruhan.
4. Keempat, Rahmaniyyah. Dalam tahap ini Tuhan bertajalli pada realitas-realitas
asma dan sifat, dan dengan kalimat “kun (jadilah)”, muncullah realitas-realitas
potensial yang terdapat dalam tahap wahidiyah tadi menjadi wujud aktual, yakni
alam semesta. Penciptaan inilah menurut al-Jili sebagai permulaan rahmat yang
dicurahkan Allah Swt.
5. Kelima, Rububiyyah. Dalam tahap ini merupakan pengembangan dari martabat
rahmaniyyah yang dimana Tuhan bertajalli pada alam semesta yang sudah
mengalami partikularisasi (terbagi-bagi) dan sudah beragam, khususnya pada diri
manusia—sebagai makhluk yang terbatas—untuk memanifestasikan diri-Nya
yang tidak terbatas itu dengan menunjukkan citra-Nya dalam diri manusia, dan
citra Tuhan yang paling utuh bisa ditemukan dalam Insan Kamil. (al-Jili, 1975)
Berkenaan dengan pembagian tingkatan Insan Kamil, yang bisa sampai pada
tingkatan paling tertinggi hanyalah Nabi Muhammad Saw. Walaupun sebenarnya
memang banyak dari beberapa makhluk ciptaan Tuhan yang kedudukannya sampai
pada tingkat manusia sempurna. Namun, berbeda dengan Nabi Saw. Beliau telah
sampai pada ditingkat paling sempurna (al-Kamil) secara hakiki. (Yunasril Ali,
1997). Sebagaimana yang ditegaskan dalam surat al-Ahzab: 21, “Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah”. Jadi setiap manusia secara potensial merupakan citra Tuhan, hal ini bisa
terbukti dengan adanya pencapaian nabi Muhammad Saw menjadi manusia
sempurna atau Insan Kamil yang didalam dirinya termanifestasi nama-nama dan
sifat Tuhan (Mahmud, 2014).
Hal ini sesuai dengan tujuan akhir bagi Nietzsche yaitu untuk menjadi
manusia unggul (Ubermensch). Puncak dari manusia unggul ini adalah tidak adanya
campur tangan Tuhan. Ia menegaskan dalam salah satu bukunya yang Berjudul
“Twilight of Idols” menyatakan bahwa ketik manusia berTuhan maka manusia
secara tidak langsung akan terbelenggu dan ia tidak bebes dalam melakukan
sesuatu—hawa nafsunya terkukung. Jika manusia berTuhan maka ia ingin
mendirikan kerajaan Tuhan (Nietzsche, 1959). Dengan pernyataan ini sebenarnya ia
berkeinginan agar manusia bebas dalam bertindak dan terhindar dari otoritas dan
doktrin agama. Yang sampai pada akhirnya ia mengemakan “God is dead”. Kalau
Tuhan itu mati, maka manusialah yang menjadi Tuhan (Nietzsche, 1905), Walaupun
ia sadar bahwa adanya keberwujudan Tuhan, ia tetap menolaknya demi kemanusiaan
(A. Wolf, n.d.). Setelah menolak ketiadaan Tuhan, maka manusia akan lebih bebas
mengeluarkan potensi yang ada dalam dirinya sehingga kehendak untuk berkuasa
ini bisa teraplikasikan dalam diri.
Dengan adanya The Will To Power (kehendak untuk berkuasa) ini, menurut
Nietzsche seseorang bisa menghadapi realitas Dunia. Manusia mampu menemukan
jati dirinya. Apalagi jika dijadikan doktrin dalam diri seseorang maka ia akan
menemukan motivasi dan kekuatan yang sebelumnya tersembunyi. Jika itu sudah
dirasakan, maka manusia akan semakin berkeinginan menggalinya lebih dalam dan
akan menjadikannya dasar dari seluruh tindakan (Paul Strathern, 2001).
Sebagaimana Nietzsche dengan proses perjalanannya yang berusaha untuk
menumbuhkan cita-citanya menjadi manusia unggul pada akhir perkembangannya.
Ia menempuh perjalanan secara bertahap, hidup bermoral tuan, berasas pada
kemauan untuk berkuasa dan bersikap ateistis (Martin Sardy, 1983).
Dari hal ini semuanya, untuk mencapai tingkat manusia unggul sebagaimana
yang dikonsepsikan Nietzsche memang diperlukan waktu dan proses yang lama serta
bertahap. Melalui dukungan diri sendiri dengan dorongan kehendak yang terus-
menerus cita-cita menjadi manusia unggul bisa tercapai. Sehingga dengan begitu,
manusia unggul itu diciptakan oleh dirinya sendiri dengan membangun cipta dan
keunggulannya.
2. Tingkatan Ubermensch
1. Fase pertama adalah “Unta”. Dalam fase ini manusia berperilaku seperti unta
yang selalu dibebani, tidak bisa menolak, dan tunduk terhadap sesuatu. Unta selalu
dimanfaatkan orang lain dengan membawa beban tuannya ketika ia melakukan
perjalanan di padang pasir. Dan tidak pernah mengeluh dalam menopang tuannya
serta melaksanakan perintahnya (Setyo Wibowo, 2004). Dari sini Nietzsche
berpendapat bahwa dalam fase unta ini manusia dalam keadaan tidak mengeluh dan
selalu mengatakan “Ya” dalam segala tindakan. Kekuatannya akan terukur setelah
ia dibebani suatu hal. Fase ini juga bagi Nietzsche manusia selalu mengiyakan dalam
segala aktivitas dan tindakannya. Ia tidak bisa menolak dan patuh serta hormat
kepada manusia yang memerintahnya. Namun, baginya hal ini masih dalam tingkat
rendah untuk mencapai Ubermensch. Karena kehendak untuk berkuasanya masih
terhalangi oleh sang tuannya atau seseorang yang memerintah (Nietzsche, 1905).
Dengan begitu setelah mencapai fase unta ini maka ia diwajibkan untuk berusaha
lagi untuk mencapai fase selanjutnya.
2. Fase kedua adalah “Singa”. Dalam fase ini manusia selalu dituntut untuk
berani, tak pernah takut dalam bertindak dan siap siaga dalam menghadapi suatu
permasalahan yang ada didepannya. Ia tidak akan pernah berkata “iya” dalam
melakukan segala sesuatu. Fase ini berani berkata “tidak” jika ia tidak mau
melakukannya. Hal ini bermaksud ia tidak tunduk kepada sesuatu diluar dirinya
(Nietzsche, 1905). Fase ini manusia menjadi tuan bagi dirinya sendiri tidak ada tuan
diluar dirinya. Ia tidak mau diatur oleh orang lain. Ia menjadi raja untuk dirinya
sendiri. Dengan keberanian dalam bertindak tersebut menjadikan seseorang untuk
berkuasa dan bebes berkehendak. Ini bermaksud berbanding terbalik dengan fase
sebelumnya—Unta (Akhmad Santosa, 2009). Nietzsche melihat pada fase ini
manusia menjadi “seseorang yang tinggi” dan memiliki ego yang tidak mau
diperintah. Karena ia merasa seperti orang raja maka ia akan selalu mengatakan
“tidak” jika ia diperintah oleh orang lain. Walupun begitu dalam dirinya terdapat
kehendak untuk berkuasa sebagai jalan Ubermensch. Namun masih belum cukup
untuk mencapainya.
3. Fase yang terakhir adalah “Bayi”. Menurut Nietzsche gambaran bayi adalah
sangat tepat. Karena bayi memiliki kepolosan dan perlupaan, jujur dalam berkata,
suka bermain, ia selalu ingin bergerak dengan keinginan dirinya sendiri. Dengan
berbagai sifat itu, maka ketika bayi dalam bertindak ia bisa memilih antara “iya dan
tidak”, karena sesuai dengan keinginannya. Dalam fase ini Nietzsche menegaskan
bahwa jika manusia bisa sampai pada fase ini maka ia sudah sampai pada
Ubermensch sebagaimana yang ia maksudkan (Nietzsche, 1905). Karena pada fase
bayi manusia bebas dalam melakukan apapun sesuai dengan kehendak dirinya.
Sebagaimana “The Will To Power” atau kehendak atas kuasa seseorang sampai pada
manusia unggul yang dimaksud—Ubermensch (Friedrich Copleston, 1975).
Memang pada masa bayi ini sebagaimana yang kita tahu. Ia memiliki kebebasan
kehendak atas dirinya. Maka ia akan bertindak mengikuti sifatnya tadi
kepolosannya, kejujurannya dan ingin melakukan sesuatu sesuai dengan
keinginannya. Jika ia tidak mampu maka ia tidak akan melakukan hal tersebut. Di
sinilah titik akhir manusia unggul yang dimaksud oleh Nietzsche.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Achmad Warson Munawir. 2007. Kamus Al-Munawir Indonesia-Arab
’Ilmiyyah
KENCANA.
Asep Usman Ismail. 2005. Apakah Wali Itu Ada? Menguak Makna Kewalian
Dalam Tasawuf Pandangan al-hakim alTirmidji dan Ibn Taymiyyah. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Franz Magnis Suseno. 1997. 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai
Abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius.