Anda di halaman 1dari 36

I.

PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini atau
berdasarkan Undang-undang lainnya. Notaris mempunyai
peranan yang sangat penting dalam lalu lintas hukum,
khususnya dalam bidang hukum keperdataan, karena Notaris
berkedudukan sebagai pejabat publik, yang mempunyai
kewenangan untuk membuat akta autentik dan kewenangan
lainnya1.
Pasal 1 angka 1 dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut
UUJN-P), secara tegas memberikan kewenangan kepada
Notaris untuk membuat akta autentik. Istilah akta autentik
dalam bahasa Inggris, disebut dengan authentic deed,
sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan authentieke
akte van, yang telah diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan
KUHPerdata) dan berbagai peraturan perundang-undangan
lainnya.
Akta autentik diberikan para pihak beserta ahli warisnya atau
orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang
sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya 2. Notaris
sebagai pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah, dan
pemerintah sebagai organ Negara mengangkat Notaris bukan
semata untuk kepentingan Notaris itu sendiri, melainkan juga
untuk kepentingan masyarakat luas. Jasa yang diberikan oleh
1
Salim, H.S. Teknik Pembuatan Akta Satu Konsep Teoritis, Kewenangan
Notaris, Bentuk dan Minuta Akta, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2015), hlm.33
2
Pasal 1870 KUHPerdata
Notaris terkait erat dengan persoalan trust (kepercayaan antara
para pihak) artinya Negara memberikan kepercayaan yang
besar terhadap Notaris.
Berdasarkan pada Putusan Pengadilan Negeri Surakarta
Nomor: 17/Pdt.G/2013/PN. Ska mengenai proses penyelesaian
sengketa dalam perkara pembagian harta warisan dalam
sidang pemeriksaan Majelis Hakim telah memeriksa dan
meneliti alat-alat bukti yang diajukan oleh Penggugat dan
Tergugat yang terindikasi terjadi pemalsuan akta warisan.
Setelah majelis hakim memeriksa dan meneliti gugatan
Penggugat dan Jawaban/Bantahan dari Tergugat serta setelah
dihubungkan dengan bukti-bukti tertulis yang diajukan baik oleh
Penggugat maupun Tergugat di persidangan, maka
berdasarkan pada pemeriksaan persidangan tersebut dapat
diambil kesimpulan tentang hasil pembuktian dan telah
diperoleh fakta-fakta hukum sebagai berikut:
1) Pertama, benar berdasarkan bukti P–3 berupa Akta
Kelahiran Angka 604/1957 tanggal 26 Oktober 1957
yang dikeluarkan Pegawai Luar Biasa Tjatatan Sipil
Surakarta disebutkan pada tanggal 16 Agustus 1957
telah lahir HIOE, LIONG TUNG anak laki-laki dari
suami isteri Hioe Haij Jan dan Lie, Joe Moy, dan P–4
berupa Kartu Keluarga No. 3372041103086039 atas
nama Hioe Liong Tung dalam kolom nama orang tua
tertera nama ayah Hioe Haij Jan dan nama ibu Lie
Joe. Sehingga Penggugat merupakan anak sah serta
merupakan salah satu ahli waris dari orang tua
bernama Hioe Haij Jan dan Lie Joe Moy.
2) Kedua, benar berdasarkan bukti P–7 yang berupa
Surat Wasiat Akta Notaris Nomor 21 tanggal 13 Maret
1972 yang dibuat oleh alm. Hioe Hoy Jan telah
diwasiatkan Perusahaan Anggur “WAN NEN” Cap
Lonceng akan diberikan kepada istrinya Lie Joe Moy
dan keempat anak laki-lakinya bernama Hioe Liong
Hiang (Tergugat I), Hioe Liong Fen, Hioe Liong Wie
dan Hioe Liong Tung (Penggugat).
3) Ketiga, benar berdasarkan bukti P. 13 yang dikuatkan
keterangan saksi Penggugat bernama The Hin Ti dan
Alandriek Tjandra ternyata sejak tahun 1982 sampai
dengan sekarang perusahaan hanya dikelola oleh
Tergugat I dan hasilnya dinikmati bersama oleh
Tergugat I, II, III, IV dan V, sedangkan untuk
Penggugat sama sekali tidak diberikan kesempatan
untuk bersama-sama mengelola perusahaan tersebut
dan hanya diberikan hasil dari perusahaan ala
kadarnya yang sangat merugikan Penggugat,
karenanya perbuatan Tergugat I yang mengelola
sendiri perusahaan dan menikmati hasilnya bersama
Tergugat II, III, IV dan V sejak tahun 1982 sampai
dengan sekarang tergolong dalam perbuatan
melawan hukum yang merugikan Penggugat.
4) Keempat, atas bantahan Tergugat I, II, III, IV dan V
yang menyatakan perusahaan adalah milik Tergugat I
secara perorangan ternyata dari bukti yang diajukan
tidak ada satupun yang menerangkan atas
kepemilikan perusahaan tersebut oleh Tergugat I.
5) Kelima, Tergugat I, II, III, IV dan V tidak dapat
membuktikan dalil bantahannya yang menyatakan
Perusahaan Anggur “WAN NEN” Cap Lontjeng
adalah perusahaan miliknya sendiri, karenanya
Majelis Hakim berpendapat Perusahaan Anggur
“WAN NEN” Cap Lontjeng adalah harta peninggalan
alm. Hioe Hoy Jan.
Notaris yang tidak menjaga dan melaksanakan ketentuan
dalam kode etik ataupun dalam Undang-undang Jabatan
Notaris, maka memungkinkan adanya pelanggaran-
pelanggaran yang lain, yakni Notaris tersebut membuat salinan
akta yang tidak sesuai dengan minuta akta, Notaris tidak
membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri
saksi paling sedikit 2 orang saksi dan ditandatangani langsung
(pada saat itu juga) oleh para penghadap. Dengan pelanggaran
yang dilakukan Notaris tersebut, maka menimbukan kerugian
bagi orang lain.
b. Rumusan Masalah
1) Apa tanggung jawab Notaris atas pelanggaran kode etik
dalam pembuatan akta autentik?
2) Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan atas
perkara pembagian harta warisan?
c. Kerangka Teori dan Konsep
1) Kerangka Teori
Hukum sengaja diciptakan dan dibuat oleh manusia
untuk diberlakukan, dilaksanakan, dan ditegakkan karena
tanpa hukum, kehidupan masyarakat tidak akan berjalan
secara baik, masyarakat sendiri juga dibangun atas fondasi
hukum3.Kerangka teori dapat diartikan sebagai kerangka
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis
mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem),
yang menjadi bahan perbandingan, pegangan yang
mungkin disetujui atau tidak disetujui4.

3
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980), hlm. 85
4
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994),
hlm 80
a) Teori Kepastian Hukum (Gustav Radbruch)
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus
mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai
berikut:
1. Asas kepastian (rechtmatigheid): Asas ini
meninjau dari sudut yuridis
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini
meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan
adalah kesamaan hak untuk semua orang di
depan pengadilan
3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau
doelmatigheid atau utility).
Kepastian hukum yang mendekati realistis adalah
kepastian hukum dan kemanfaatan hukum Kaum
Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum,
sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan
kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan
bahwa ”summum ius, summa injuria, summa lex,
summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras
dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat
menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan
bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan
tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah
keadilan5.
Sebagaimana diketahui bersama bahwa tiga (3)
nilai-nilai dasar yang dikemukakan di atas dikemukakan
oleh Gustav Radbruch, dimana orientasinya adalah

5
Dominikus Rato, Filsfat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,
laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010, hlm. 59
untuk menciptakan harmonisasi pelaksanaan hukum.
Sebagaimana yang menjadi tujuan hukum adalah untuk
mengayomi manusia baik secara aktif maupun secara
pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk
menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang
manusia dalam proses yang berlangsung secara wajar.
Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah
mengupayakan pencegahan atas upaya yang
sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara
tidak adil.
Usaha mewujudkan pengayoman ini termasuk di
dalamnya diantaranya adalah mewujudkan ketertiban
dan keteraturan, mewujudkan kedamaian sejati,
mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat,
mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat. Nilai dasar
yang pertama, tentang keadilan, keadilan merupakan
salah satu tujuan dari hukum selain dari kepastian
hukum itu sendiri dan juga kemanfaatan hukum.
Sedangkan makna keadilan itu sendiri masih menjadi
perdebatan. Namun keadilan itu terkait dengan
pendistribusian yang merata antara hak dan kewajiban.
Gustav Radbruch menyatakan rechct ist wille zur
gerechtigkeit (hukum adalah kehendak demi untuk
keadilan). Hukum adalah alat untuk menegakkan
keadilan dan menciptakan kesejahteraan sosial. Tanpa
keadilan sebagai tujuan ultimumnya, hukum akan
terperosok menjadi alat pembenar kesewenang-
wenangan mayoritas atau pihak penguasa terhadap
minoritas atau pihak yang dikuasai. Itulah sebabnya
maka fungsi utama dari hukum pada akhirnya
menegakkan keadilan. keadilan merupakan tujuan
hukum yang paling penting, bahkan ada yang
berpendapat, bahwa keadilan adalah tujuan hukum
satu-satunya.
Nilai dasar yang kedua, tentang kemanfaatan
hukum. Penganut aliran utilitas menganggap bahwa
tujuan hukum semata-mata untuk memberikan
kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya
bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat.
Penanganannya didasarkan pada filsafat sosial, bahwa
setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan
hukum merupakan salah satu alatnya.
Nilai dasar yang ketiga, tentang kepastian hukum.
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu
peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena
mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian
tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan
logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma
dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma.
Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidak
pastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma,
reduksi norma atau distorsi norma. Disisi lain ada
sebagian pemikir beranggapan, bahwa kepastian
hukum merupakan keadaan dimana perilaku manusia,
baik individu, kelompok, maupun organisasi, terikat dan
berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh
aturan hukum.
Tiga asas tersebut masing-masing menjadi
substansi hukum yang menjadi perspektif dari produk
suatu keputusan hukum. Tidak jarang, orang yang
mengutamakan satu perspektif akan berbeda
pandangan dengan orang yang memegang prinsip lain.
Misalnya antara asas kepastian hukum versus asas
keadilan.
b) Teori Bekerjanya Hukum (Robert B. Seidman dan
William J. Chambliss)
Robert B. Seidman dan William J. Chambliss
menyusun suatu model mengenai bekerjanya hukum di
dalam masyarakat, menurutnya bahwa setiap sistem
hukum mempengaruhi, mendorong, atau memaksakan
agar suatu kegiatan dilakukan oleh lembaga pembuat
peraturan perundang-undangan dan lembaga
kekuasaan negara6.
Penegakan hukum di masyarakat melibatkan
beberapa unsur yang saling memiliki keterkaitan
sebagai suatu sistem. Unsur tersebut diantaranya
adalah lembaga pembuat hukum, lembaga penerapan
sanksi, pemegang peran, serta kekuatan societal
personal, budaya hukum serta umpan balik dari proses
hukum yang sedang berjalan.
Basis bekerjanya hukum adalah masyarakat,
maka hukum akan dipengaruhi oleh faktor-faktor atau
kekuatan sosial mulai dari tahap pembuatan sampai
dengan pemberlakuan. Kekuatan sosial akan berusaha
masuk dalam setiap proses legislasi secara efektif dan
efesien. Peraturan dikeluarkan diharapkan sesuai
dengan keinginan, tetapi efek dari perturan tersebut
tergantung dari kekuatan sosial seperti budaya
hukumnya baik, maka hukum akan bekerja dengan baik
pula, tetapi sebaliknya apabila kekuatannya berkurang

6
Suteki, Hukum dan Alih Teknologi Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta:
Thafa Media, 2013), hlm 190-192
atau tidak ada maka hukum tidak akan bisa berjalan.
Karena masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum.
Pendekatan model Seidman bertumpu pada
fungsinya hukum, berada dalam keadaan seimbang.
Artinya hukum akan dapat bekerja dengan baik dan
efektif dalam masyarakat yang diaturnya. Diharapkan
ketiga elemen tersebut harus berfungsi optimal.
Memandang efektifitas hukum dan bekerjanya hukum
dalam masyarakat perlu memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
Pertama, lembaga pembuat peraturan; apakah
lembaga ini merupakan kewenangan maupun legitimasi
dalam membuat aturan atau undang-undang. Berkaitan
dengan kualitas materi normatifnya, apakah sudah
memenuhi syarat dan jelas perumusannya. Kedua,
pentingnya penerap peraturan; pelaksana harus tegas
melaksanakan perintah undang-undang tanpa
diskriminasi atau equal justice under law. Ketiga,
pemangku peran; diharapkan mentaati hukum, idealnya
dengan kualitas internalization. Perilaku dan reaksi
pemangku peran merupakan umpan balik kepada
lembaga pembuat peraturan maupun pelaksanan
peraturan. Apakah kedua elemen tersebut telah
melakukan fungsinya dengan optimal.
Hukum dapat bekerja dan berfungsi tidak sekedar
apa yang diharapkan oleh pembuat peraturan hukum,
tetapi perlu diteliti pada komponen elemen yang tidak
bekerja sebagaimana mestinya. Maksudnya tidak
bekerja itu, bisa datangnya dari pembuat peraturan
hukum, atau dari para penerap peraturan/pelaksana,
ataukah dari pemangku peran. Selain itu dapat dikaji
kendala-kendala eksternal global yang menyebabkan
hukum tidak dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya. Seperti ada tekanan-tekanan dari pihak luar
negeri yang tergabung dalam organisiasi internasional.
c) Teori Pertanggungjawaban Hukum
Pertanggungjawaban terdapat dua makna yaitu
liability (the state of being liable), yang dimaksud
dengan liability adalah suatu konsep dari semua
karakter hak dan kewajiban, dimana kondisi tunduk
kepada kewajiban secara actual atau potensial, kondisi
bertanggungjawab terhadap hal-hal yang aktual atau
mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan,
biaya,atau beban, kondisi yang menciptakan tugas
unjtuk melaksanakan Undang-undang dengan segera
atau pada masa yang akan datang, sedangkan
responsibility (the state or fact being responsible),
merupakan kewajiban bertanggungjawab atas Undang-
undang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau
sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apapun
yang telah ditimbulkannya7.
Pendapat Hans Kelsen tentang konsep
tanggungjawab hukum merupakan Seseorang yang
bertanggungjawab secara hukum atas perbuatan
tertentu dan dijatuhi sanksi dalam perbuatannya yang
bertentangan dari ketentuan yang ada. Kewajiban
hukum merupakan suatu kewajiban yang diberikan dari
luar diri manusia, dimana kewajiban hukum diterima
sebagai kewajiban moral yang mencakup pembahasan
etika.Menurut hukum tanggung jawab adalah suatu

7
Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara (Jakarta : Rajawali Pers, 2011),
Hlm.318-319.
akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang
perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral
dalam melakukan suatu perbuatan8.
Teori Pertanggungjawaban dapat diliat
berdasarkan kesalahan (based on fault) dan
pertanggungjawaban mutlak (absolute respobility),
dimana tanggung jawab mutlak yaitu sesuatu perbuatan
menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh
pembuat Undang-undang dan ada suatu hubungan
antara perbuatannya dengan akibatnya, dalam hal ini
Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang
membuat akta autentik memiliki tanggung jawab atas
perbuatannya sehubungan dengan pekerjaannya
dalam membuat akta tersebut. Ruang lingkup
pertanggungjawaban Notaris meliputi kebenaran
materiil atas akta yang dibuatnya. Dalam hal ini dapat
dibedakan menjadi empat 4 poin yakni:
1. Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap
kebenaran materiil terhadap akta yang dibuatnya.
2. Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap
kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya.
3. Tanggung jawab Notaris berdasarkan peraturan
jabatan Notaris terhadap kebenaran materiil dalam
akta yang dibuatnya.
4. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya berdasarkan kode etik Notaris9.

8
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta,
2010), hlm. 11
9
Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, (Yogyakarta : Center for
Documentation and Studies of Business Law, 2003).
2) Kerangka Konsep
a) Kode Etik Profesi Notaris
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
ini atau berdasarkan Undang-undang lainnya 10. Notaris
mempunyai peranan yang sangat penting dalam lalu
lintas hukum, khususnya dalam bidang hukum
keperdataan, karena Notaris berkedudukan sebagai
pejabat publik, yang mempunyai kewenangan untuk
membuat akta autentik dan kewenangan lainnya.
Dengan kewenangan yang diberikan oleh Undang-
undang yang sangat luas, maka Organisasi Notaris
(Ikatan Notaris Indonesia) menetapkan sebuah aturan
yang dituangkan dalam bentuk kode etik profesi yang
mengatur mengenai kewajiban, larangan, pengecualian
maupun penegakan hukum atas perbuatan Notaris
yang melanggar ketentuan Kode Etik Profesi Notaris 11.
Kode etik profesi merupakan produk etika terapa
karena dihasilkan berdasarkan penerapan pemikiran
etis atau suatu profesi. Kode etik profesi dapat berubah
dan diubah seiring dengan perkembangan ilmu dan
teknologi, sehingga anggota kelompok profesi tidak
akan ketinggalan zaman. Kode etik merupakan hasil
pengaturan diri profesi yang bersangkutan, dan ini
merupakan perwujudan nilai moral yang hakiki 12.

10
Pasal 1 angka 1,Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, jo. Pasal 1 angka 2
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2016 Tentang Majelis Kehormatan Notaris
11
Salim, H.S. Teknik Pembuatan Akta Satu Konsep Teoritis, Kewenangan
Notaris, Bentuk dan Minuta Akta, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2015), hlm.33
12
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2006), Hlm. 77.
Kode etik profesi merupakan kriteria prinsip
profesional yang telah digariskan, sehingga dapat
diketahui dengan pasti kewajiban profesional anggota
lama, baru maupun calon anggota kelompok profesi.
Kode etik telah menentukan standarisasi kewajiban
profesional anggota kelompok profesi. Dengan
demikian, pemerintah atau masyarakat tidak perlu lagi
ikut campur tangan dalam menentukan bagaimana
seharusnya anggota kelompok profesi melaksanakan
kewajiban profesionalnya. Hubungan antara
pengemban profesi dan masyarakat 13.Tentunya, Notaris
dalam mengemban jabatannya harus
bertanggungjawab, artinya:
1. Notaris dituntut melakukan perbuatan akta
dengan baik dan benar, artinya akta yang
dibuatnya itu memenuhi kehendak hukum
dan permintaan pihak berkentingan karena
jabatatannya.
2. Notaris dituntut menghasilkan akta yang
bermutu, artinya akta yang dibuatnya itu
sesuai dengan aturan hukum dan kehendak
para pihak berkepentingan dalam arti yang
sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris
harus menjelaskan kepada pihak yang
berkepentingan kebenaran isi dan prosedur
akta yang dibuatnya itu.
3. Berdampak positif, artinya siapapun akan
mengakui akta Notaris itu mempunyai
kekuatan bukti yang sempurna.

13
Pasal 1 huruf b Perubahan Kode Etik Notaris Kongres Luar Biasa Ikatan
Notaris Indonesia
b) Warisan
Warisan adalah suatu cara penyelesaian
perhubungan-perhubungan hukum dalam masyarakat,
yang melahirkan sedikit banyaknya kesulitan akibat
meninggalnya seseorang14. Penyelesaian hak-hak dan
kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya
seseorang diatur oleh hukum waris. Menurut Ali Afandi
hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-
ketentuan di mana berhubung dengan meninggalnya
seseorang, akibat-akibatnya di dalam bidang
kebendaan, diatur yaitu: akibat dari beralihnya harta
peninggalan dari seorang yang meninggal kepada ahli
waris, baik di dalam hubungannya antara mereka
sendiri, maupun dengan pihak ketiga15.
Kewarisan (al-mawarits kata tunggalnya al-mirats)
lazim juga disebut dengan fara‟idh, yaitu jamak dari
kata faridhah diambil dari kata fardh yang bermakna
“ketentuan atau takdir”. Al-fardh dalam terminologi
syar’i ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli
waris.16
Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang
mengatur segala yang berkenaan dengan peralihan
hak dan kewajiban atas harta kekayaan seseorang
setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya 17.
Kompilasi Hukum Islam pasal 171 (a) dinyatakan
bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur

14
Oemarsalim, 1991, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, Jakarta: Rineka
Cipta, Hal 1.
15
Ali Afandi, 1986, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta:
Bina Aksara, Hal 7.
16
Muhammad Ali Ash-Sahabuni, Al-Mawaris Fisy Syari‟atil Islamiyyah „Ala Dhau
„Al-Kitab wa Sunnah. Terj. A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995), hal. 33.
17
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2000), hal. 4.
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.
Menurut hukum Islam yang dimaksud dengan ahli
waris adalah para anggota keluarga dekat, pria dan
wanita yang sepertalian darah, menurut garis bapak
dan juga garis ibu, termasuk suami atau isri (janda atau
duda) dan orang yang membebaskan pewaris, yang
seluruhnya berjumlah 25 orang. Para ahli waris tersebut
mempunyai hak atas bagian harta warisan yang tidak
ada lagi sangkut pautnya dengan pihak ketiga dan
ketentuan agama, termasuk pula waris karena wasiat. 18
Ketentuan tentang pembagian warisan (boedel-
scheiding) sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal
1069 KUHPerdata, sesungguhnya bukan semata-mata
menyangkut pembagian warisan, tetapi juga berarti
pemisahan harta boedel, yaitu harta kekayaan bersama
yang belum terbagi, yaitu berupa harta bersama
perkawinan, harta warisan. Dalam hal pewarisan,
apabila semua ahli waris dapat bertindak bebas dengan
harta benda mereka dan para waris itu semua berada
di tempat, maka pembagian harta warisan itu dilakukan
dengan cara sedemikian rupa oleh para waris sendiri 19.

II. PEMBAHASAN
a. Tanggung jawab Notaris atas pelanggaran kode etik dalam
pembuatan akta autentik

18
Hilman Hadikusuma, 1991, Hukum Waris Indonesia menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Bandung: PT Citra Aditya Bakti
19
Hilman Hadikusuma, 1991, Hukum Waris Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, Hal 2.
Profesi Notaris berlandaskan pada nilai moral, sehingga
pekerjaannya harus berdasarkan kewajiban, yaitu ada
kemauan baik pada dirinya sendiri, tidak tergantung pada
tujuan atau hasil yang dicapai. Sikap moral penunjang etika
profesi Notaris adalah bertindak atas dasar tekad, adanya
kesadaran berkewajiban untuk menjunjung tinggi etika profesi,
menciptakan idealisme dalam mempraktikkan profesi, yaitu
bekerja bukan untuk mencari keuntungan, mengabdi kepada
sesama. Jadi, hubungan etika dan moral adalah bahwa etika
sebagai refleksi kritis terhadap masalah moralitas, dan
membantu dalam mencari orientasi terhadap norma-norma dan
nilai-nilai yang ada. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
pada Pasal 2 Undang-Undang Bantuan Hukum disebutkan
bahwa Bantuan Hukum dilaksanakan berdasarkan asas
keadilan, persamaan kedudukan di dalam hukum, keterbukaan,
efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas.
Pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma yang
menganut asas diatas sesuai dengan teori Triadism Law yang
dikemukakan oleh Gustav Radbruch. Sebagaimana diketahui,
Gustav Radbruch menjelaskan bahwa hukum harus memuat
tiga nilai dasar yaitu: Nilai keadilan (aspek filosofis); nilai
kepastian (aspek yuridis); dan nilai kemanfaatan (aspek
sosiologis). Setiap peraturan hukum harus dapat dikembalikan
keabsahannya pada tiga nilai dasar tersebut. Oleh karena itu,
hukum sebagai pengemban nilai keadilan, dapat menjadi
ukuran bagi adil tidaknya tata hukum. Karenanya, nilai keadilan
juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Keadilan
adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang
beradab. Hukum diciptakan agar agar setiap individu anggota
masyarakat dan penyelenggara negara melakukan sesuatu
tindakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan
mencapai tujuan kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak
melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan
keadilan. Jika tindakan yang diperintahkan tidak dilakukan atau
suatu larangan dilanggar, tatanan sosial akan terganggu karena
terciderainya keadilan. Untuk mengembalikan tertib kehidupan
bermasyarakat, keadilan harus ditegakkan. Setiap pelanggaran
akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran
itu sendiri.
Notaris secara profesional harus bersedia memberikan
bantuan hukum kepada klien tanpa membeda-bedakan agama,
kepercayaan, suku, keturunan, kedudukan sosial, atau
keyakinan politiknya tidak semata-mata untuk mencari imbalan
materil, tetapi terutama untuk turut menegakan hukum,
keadilan, dan kebenaran dengan cara yang jujur dan
bertanggung jawab. Perlakuan adil tanpa diskriminasi dalam
menjalankan sebuah profesi perlu dilakukan oleh seorang
Notaris, karena hal tersebut merupakan tuntutan sifat
profesionalitas bagi profesi yang disandang, dalam hal ini
seorang Notaris tidak boleh membedakan antara kasus atau
masalah yang dihadapi oleh klien yang mampu atau yang tidak
mampu. Pembedaan layanan tersebut pasti ada, tetapi sebagai
sebuah profesi yang professional, maka seorang Notaris tidak
diperbolehkan membedakan antara status social dari kliennya
atau karena besar atau kecilnya pendapatan dan secara tidak
langsung hal tersebut harus dilakukan, dan hal inilah yang
membedakan antara profesi Notaris dengan profesi lain.
Secara tidak langsung sebagai sebuah profesi yang mulia
dan terhormat (officium nobile) dan sebagai sebuah profesi
yang membutuhkan keprofesionalitasan, maka tanggung jawab
seorang profesional terhadap klien sangat berat, tetapi secara
tidak langsung hal tersebut mau tidak mau harus dijalankan
sesuai dengan standar kode etik Notaris yang berlaku. Dimana
Notaris harus memegang teguh etika profesi, memegang teguh
etika profesi sangat erat hubunganya dengan pelaksanaan
tugas profesi dengan baik, karena di dalam kode etik profesi
itulah ditentukan segala prilaku yang dimiliki oleh seorang
Notaris.
Beberapa bentuk pelanggaran kode etik oleh notaris
biasanya seperti memberikan jasa imbalan berupa uang komisi
kepada instansi yang bersangkutan, bahkan dengan
permufakatan menyetujui untuk dipotong langsung secara
presentase dari jumlah honorarium. Besarnya cukup bahkan
ada yang sampai 60%. Atau mengajukan permohonan seperti
dan semacam rekanan dan menandatangani suatu perjanjian
dengan instansi yang sebetulnya adalah klien.
Terdapat pula kemungkinan terjadinya berbagai tindak
pidana yang dilakukan oleh notaris, sebab notaris berwenang
dalam peralihan hak seseorang sehingga sangat punya potensi
dalam menimbulkan kerugian bagi seseorang. Selain itu salah
satu tindak pidana yang memiliki potensi kuat dapat terjadi
dengan adanya bantuan notaris adalah tindak pidana
pencucian uang. Seorang notaris dapat membuat akta jual beli
yang merupakan transaksi keuangan mencurigakan yang
dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga
berasal dari hasil tindak pidana. Hal tersebut mungkin saja
terjadi, sebab notaris tidak memiliki kewajiban untuk mencari
tahu asal-usul harta kekayaan dari pengguna jasa/kliennya.
Pelanggaran terhadap kode etik notaris dapat dilihat dalam
kasus berikut: Terlapor seorang Notaris dilaporkan oleh pelapor
yaitu salah satu pihak pengguna jasa notaris atas pembuatan
akta kuasa menjual dimana para pihak tidak menandatangani
akta tersebut dihadapan terlapor. Para pihak yang dirugikan
kemudian melaporkan kasus ini ke Majelis Kehormatan Notaris
dengan Surat yang ditujukan kepada Majelis Pengawas Daerah
Notaris atas kasus bahwa terlapor tidak bertindak jujur,
seksama, mandiri, berpihak dan menjaga kepentingan pihak
yang terkait dalam perbuatan hukum, selain itu terlapor
membuat salinan akta yang tidak sesuai dengan minuta akta,
terlapor tidak membacakan akta dihadapan para penghadap
dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh para penghadap
perbuatan terlapor telah mengakibatkan kerugian orang lain
berupa peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Posisi kasus terhadap pelanggaran kode etik yang telah
dijelaskan pada sub bab sebelumnya didapatkan data bahwa
notaris melakukan pelanggaran jabatan yang otomatis
melanggar kode etik Notaris terutama dalam Bab III Pasal 3
ayat (4) Perubahan Kode Etik Notaris Hasil KLB 2015 yang
berbunyi Notaris maupun orang lain (selama yang
bersangkutan menjalankan jabatan Notaris) wajib berperilaku
jujur, mandiri, tidak berpihak, amanah, seksama, penuh rasa
tanggungjawab berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan isi sumpah jabatan Notaris. Selain melanggar pasal 3 ayat
(4) Perubahan Kode Etik Notaris Hasil KLB 2015, Notaris juga
melanggar ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dan c
UUJN yang berbunyi : Dalam menjalankan jabatannya, Notaris
wajib: bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak
berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam
perbuatan hokum selain itu Notaris Wajib melekatkan surat dan
dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta dan
mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara
Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya
dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang
bersangkutan20.
Pertanggungjawaban, disini dapat kita telaah bahwa
terdapat dua makna pertanggungjawaban yaitu liability (the
state of being liable), yang dimaksud dengan liability adalah
suatu konsep dari semua karakter hak dan kewajiban, dimana
kondisi tunduk kepada kewajiban secara actual atau potensial,
kondisi bertanggungjawab terhadap hal-hal yang aktual atau
mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya,atau
beban, kondisi yang menciptakan tugas unjtuk melaksanakan
Undang-undang dengan segera atau pada masa yang akan
datang, sedangkan responsibility (the state or fact being
responsible), merupakan kewajiban bertanggungjawab atas
Undang-undang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau
sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apapun yang
telah ditimbulkannya. Atas dasar kasus ini,
pertanggungjawaban notaris atas akta yang dibuat tidak sesuai
dengan minuta, menguntungkan salahsatu pihak dan
melanggar pasal 16 ayat (1) huruf a dan c UUJN, Notaris
mempunyai tanggungjawab responsibility (the state or fact
being responsible) dimana kewajiban Notaris harus
memperbaiki dan/atau memberi ganti kerugian atas kerusakan
apapun yang ditimbulkannya.
Hubungan antara kode etik notaris dengan UUJN
memberikan arti terhadap profesi notaris itu sendiri. UUJN dan
kode etik notaris menghendaki agar notaris dalam menjalankan
tugas jabatannya sebagai pejabat umum, selain harus tunduk
pada UUJN juga harus taat pada kode etik profesi serta harus
bertanggungjawab terhadap masyarakat yang dilayaninya,
organisasi profesi (Ikatan Notaris Indonesia atau INI) maupun

20
Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN
terhadap negara. Dengan adanya hubungan ini maka terhadap
notaris yang mengabaikan keluhuran dari martabat jabatannya
selain dapat dikenai sanksi moril, ditegur atau dipecat dari
keanggotaan profesinya juga dapat dipecat dari jabatannya
sebagai notaris.128 Pemecatan dilakukan apabila notaris telah
melakukan pelanggaran kode etik yang berulang-ulang dan
banyaknya laporan yang masuk atas pelanggaran yang
dilakukan oleh notaris.
Pelanggaran terkait dengan kode etik notaris adalah
perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh anggota
perkumpulan organisasi Ikatan Notaris Indonesia maupun
orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan notaris
yang melanggar ketentuan kode etik dan/atau disiplin
organisasi. Ruang lingkup dari kode etik berlaku bagi seluruh
anggota perkumpulan organisasi Ikatan Notaris Indonesia
maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan
notaris baik dalam pelaksanaan jabatan maupun dalam
kehidupan sehari-hari. Terkait dengan sanksi sebagai bentuk
upaya penegakan kode etik notaris atas pelanggaran kode etik
didefinisikan sebagai suatu hukuman yang dimaksudkan
sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin
notaris. Sanksi dalam kode etik notaris dituangkan dalam Pasal
6 yang menyatakan bahwa saksi yang dikenakan terhadap
anggota yang melakukan pelanggaran kode etik dapat berupa
teguran, peringatan, schorsing (pemecatan sementara) dari
keanggotaan perkumpulan, onzetting (pemecatan) dari
keanggotaan perkumpulan dan pemberhentian dengan tidak
hormat dari keanggotaan perkumpulan.
Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang
berwenang membuat akta autentik dapat dibebani tanggung
jawab atas perbuatannya sehubungan dengan pekerjaannya
dalam membuat akta tersebut. Ruang lingkup pertanggung
jawaban notaris meliputi kebenaran materiil atas akta yang
dibuatnya. Mengenai tanggung jawab notaris selaku pejabat
umum yang berhubungan dengan kebenaran materiil, dapat
dibedakan menjadi empat poin yakni:
1) Tanggungjawab notaris secara perdata terhadap
kebenaran materiil terhadap akta yang dibuatnya;
2) Tanggungjawab notaris secara pidana terhadap
kebenaran materiil dalam akta yang dibuat
3) Tanggungjawab notaris berdasarkan Peraturan
Jabatan Notaris terhadap kebenaran materiil dalam
akta yang dibuatnya;
4) Tanggungjawab notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya berdasarkan kode etik notaris.
Kode etik Notaris dilandasi oleh kenyataan bahwa Notaris
sebagai pengemban profesi adalah orang yang memiliki
keahlian dan keilmuan dalam bidang kenotariatan, sehingga
mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan
pelayanan dalam bidang kenotariatan, dan tidak membeda-
bedakan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat mampu
atau masyarakat yang tidak mampu. Secara pribadi Notaris
bertanggung jawab atas mutu pelayanan jasa yang
diberikannya. Kode etik profesi sebagai seperangkat kaidah
perilaku yang disusun secara tertulis dan sistematis sebagai
pedoman yang harus dipatuhi dalam mengembankan suatu
profesi bagi suatu masyarakat.

b. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Atas


Perkara Pembagian Harta Warisan
Seorang pewaris mempunyai kekayaan yang berupa dua
bentuk yaitu harta benda (materiil) dan harta cita (non materiil).
Harta benda merupakan peninggalan yang berwujud, berupa
hak-hak kebendaan, seperti hak pakai, hak tagihan (hutang-
piutang) dan hak-hak lainnya. Sedangkan harta cita tidak
berwujud, misalnya jabatan atau hak cipta. Namun di dalam
hukum Indonesia, pewarisan dengan menganut sistem
individual, dimana harta warisan tersebut harus segera
dibagikan dan setiap ahli waris mendapatkan pembagian
warisan untuk dapat menguasai atau memiliki harta warisan
menurut bagiannya masing-masing. Adapun harta warisan ini
kemudian diadakan yang berakibat para waris dapat
menguasai dan memiliki bagian untuk dapat dinikmati,
diusahakan ataupun, dialihkan kepada anggota kerabat,
ataupun orang lain21. Jadi, cara pembagian harta warisan
merupakan salah satu cara bagaimana pewaris berbuat untuk
meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang
ditinggalkan kepada para waris ketika pewaris itu masih hidup
dan bagaimana cara waris itu diterukan pengurusan dan
pemakaiannya atau cara melaksanakan pembagian warisan
kepada ahli waris setelah pewaris wafat.
Pembagian harta warisan sering kali menimbulkan
masalah-masalah yang rumit diantara para ahli waris. Konflik ini
disebabkan karena para waris tidak dapat saling bertenggang
rasa, menjaga diri dan menahan hawa nafsu dari godaan
kebendaan dan kebutuhan hidup yang konsumtif sehingga tidak
dapat menjaga kerukunan hidup dalam keluarga serta
menimbulkan pertentangan antara para waris untuk berebut
harta peninggalan dari pewaris. Dalam pembagian warisan
biasanya dilakukan oleh janda yang hidup terlama atau anak
laki-laki tertua pewaris dengan kesepakatan semua ahli waris.

21
Hilman hadikusuma, 2003. Hukum Waris Adat. Bandung. PT.Citra Aditya Bakti.
hal 33
Pembagiannya harus dialihkan secara adil dengan semua ahli
waris mendapatkan bagiannya masing-masing. Hal ini
dilakukan untuk menghindari timbulnya pertentangan dan
permusuhan persaudaraan karena warisan. Tetapi apabila
dalam pembagian warisan tidak dapat dilaksanakan secara adil
dengan kesepakatan bersama karena ada ahli waris yang
berselisih bahkan ada yang ingin mendapatkan bagian harta
yang lebih besar dari bagian yang seharusnya didapatkan.
Maka untuk mendapatkan penyelesaian yang adil pihak yang
tidak puas dapat membawa perkaranya ke Pengadilan Negeri
jika musyawarah kekeluargaan dan peradilan adat mengalami
kegagalan untuk menyelesaiakan masalah tersebut.
Pengadilan Negeri adalah solusi terakhir yang diharapkan
dapat membantu mereka yang sedang bersengketa. Untuk
membawa perkara ke Pengadilan Negeri penggugat
menyerahkan surat gugatannya kepada ketua Pengadilan
Negeri tempat tinggal tergugat atau tempat kediamaan
tergugat. Selain itu surat gugatan harus bertanggal, menyebut
dengan jelas nama penggugat dan tergugat, tempat tinggal
mereka serta jabatan kedudukan penggugat dan terguggat. Di
dalam kasus warisan penggugat harus melawan salah satu ahli
waris sebagai tergugat. Pada saat penggugat mengajukan
surat gugatannya harus memuat apa yang dituntut terhadap
tergugat, dasar-dasarnya penututan tersebut dan bahwa
tuntutan itu harus terang dan tertentu.

Setelah ditanda tanganinya atau ditanda tangani oleh


wakilnya penggugat mendaftarkan surat gugatannya. Pada
waktu memasukkan gugatan, penggugat harus pula membayar
beaya perkara yang meliputi beaya kantor kepaniteraan, beaya
pemanggilan dan pemberitahuan kepada para pihak. Jadi
beracara perdata memang tidaklah tanpa beaya, tetapi
terhadap asas tersebut ada pengecualiannya bagi mereka yang
tidak mampu. Bagi mereka yang tidak mampu dimungkinkan
untuk beracara secara cuma-cuma, dengan mengajukan
permohonan izin kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang harus
disertai dengan surat keterangan tidak mampu dari camat yang
membawahkan tidak permohonan. Permohonan itu harus
dijawab pada hari sidang pertama (pasal 283 ayat 2 HIR, 247
ayat 2 Rbg)22.
Sesudah surat gugatan atau catatan yang dibuat itu telah
didaftarkan oleh panitera di dalam daftar yang disediakan untuk
itu, maka Ketua menentukan hari dan jam waktu perkara itu
akan diperiksa di muka pengadilan23. Selama perkara tersebut
sedang diperiksa dan perdamaian dilakukan didepan hakim.
Menurut ketentuan ayat 1 pasal 130 H.I.R., hakim sebelum
memeriksa perkara perdata tersebut, harus berusaha
mendamaikan kedua belah pihak, malah usaha perdamaian
dapat dilakukan sepanjang proses berjalan, juga taraf banding
oleh Pengadilan Tinggi24.
Ketika perdamaian tidak berhasil hakim dapat melanjutkan
penyelesaian perkara dengan pelaksanaan jawaban tergugat
(rekonvensi). Isi jawaban tergugat dapat berupa pengakuan
yang membenarkan isi gugatan penggugat, baik untuk
sebagian maaupun seluruhnya, sehingga kalau tergugat
membantah penggugat harus membuktikannya. Selain itu isi
jawaban tergugat dapat berupa bantahan atau sangkalan yang
dilakukan dengan tujuan agar gugatan batal atau ditolak. Oleh

22
Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, S.H. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia.
Yogyakarta: Liberty. Hal 99-100.
23
K.Wantjik Saleh, S.H. 1981, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, Jakarta. Ghalia
Indonesia. Hal 19
24
Retnowulan Sutantio,S.H dan Iskandar Oeripkantawinata S.H. 1989, Hukum
Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung. Mandar Maju. Hal 30
karena itu akibat hukum daripada adanya jawaban ialah
penggugat tidak diperkenankan mencabut gugatannya, kecuali
dengan persetujuan tergugat dan tidak diperbolehkan
mengajukan eksepsi serta kesempatan untuk mengajukan
rekonvensi tertutup.
Dalam duplik penggugat juga masih diberi kesempatan
untuk memberikan tanggapannya dari jawaban tergugat
kemudian dari repliknya tergugat juga masih diberi kesempatan
untuk menanggapi duplik penggugat. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui dan menentukan pokok sengketa yang akan terjadi
sekurang-kurangnya tiga kali sidang. Apabila dari jawab
menjawab antara penggugat dan tergugat telah diketahui pokok
sengketannya maka jawab-menjawab dianggap selesai oleh
hakim dan dimulai dengan acara pembuktian.
Meskipun peristiwa atau faktanya itu disajiakan oleh para
pihak, hakim harus tahu pasti akan peristiwa yang disajikan itu.
Hakim harus mengkonstatir hakim harus mengakui kebenaran
peristiwa yang bersangkutan. Dan kebenaran peristiwa ini
hanya dapat diperoleh dengan pembuktian. Segala peristiwa
yang menimbulkan sesuatu hak harus dibuktikan oleh yang
menuntut hak tersebut, sedang peristiwa yang menghapuskan
hak harus dibuktikan oleh para pihak25.

Pada hakekatnya yang harus dibuktikan adalah


peristiwanya dan bukan hukumnya oleh karena itu
membuktikan peristiwanya atau mengajukan alat bukti adalah
para pihak, sedang hakim harus menentukan hukumnya
terhadap peristiwa yang telah terbukti tersebut. Jadi hakim
didalam proses perkara perdata harus menetapkan dan

25
R. Subekti.2001, Hukum Pembuktian. Jakarta. Pradnya Paramita. Hal 82
menemukan kebenaran peristiwa atau hubungan hukum yang
telah ditetapkan itu.
Menurut asas hukum acara perdata yang harus dilakukan
seorang hakim adalah sebagai berikut:
a) Hakim hanya bersifat menunggu artinya hakim
hanya menunggu adanya perkara yang datang
kepadanya, karena yang mengajukan tuntutan
adalah pihak yang berperkara sehingga hakim tidak
boleh menolak untuk memeriksa dan mengadiali
suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan untuk
memeriksa dan mengadili, pada hakekatnya seorang
hakim hanya diharapkan atau diminta untuk
mempertimbangakan tentang benar atau tidaknya
suatu peristiwa yang diajikan kepadanya. Oleh
karena itu hakim harus memeriksa dam mengadili
setiap perkara yang diajukan kepadanya. Andaikata
hukumnya tidak ada atau kurang jelas sebagai
penegak hukum hakim wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat.
b) Hakim di dalam pemeriksaan perkara perdata
bersikap pasif ialah bahwa ruang lingkup atau luas
pokok sengketa yang diajukan kepada hakim itu
untuk diperiksa pada sasanya ditentukan oleh para
pihak yang berperkara dan bukan hakim sebab
hakim hanya membantu para pencari keadilan dan
berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan
untuk tercapainya peradilan. Sehingga hakim hanya
menggunakan pembuktian dalam mencari
kebenaran.
c) Hakim bersifat terbuka ialah bahwa setiap orang
diperbolehkan hadir dan mendengarkan
pemeriksaan di persidangan. Tujuan untuk
memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia
dalam bidang peradilan serta untuk menjamin
objektivitas pengadilan dengan mempertanggung
jawabkan putusan yang fair, tidak memihak serta
putusan yang adil kepada masyarakat.
Seorang hakim diharapkan dapat memberi pertimbangan
tentang benar tidaknya suatu peristiwa yang diajukan
kepadanya dan kemudian mampu memberikan atau
menentukan hukumnya. Secara konkrit dalam mengadili suatu
perkara hakim harus melakukan tiga tindakan secara bertahap,
yaitu:
a) Mengkonstatir ialah melihat kebenaran dari suatu
peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi sesui
dengan surat gugatan penggugat yang kemudian
peristiwa tersebut dibuktikan dan menghasilkan
peristiwa konkrit.
b) Mengkwalifisir ialah menilai peristiwa konkrit tersebut
dijadikan peristiwa hukum.
c) Mengkonstituir ialah setelah terjadi peristiwa hukum,
kemudian hakim menjatuhkan putusan atau
memberiakan hukumnya atau memberikan hak-
haknya kepada yang berhak.
Oleh karena itu bahwa hakim harus memiliki ilmu
pengetahuan yang luas serta hakim harus dapat memberikan
penilaian yang objektif kepada para pihak yang berperkara
guna memberikan penyelesaian secara adil kepada pihak yang
berperkara. Hakim tidak boleh memihak kepada salah satu
pihak dalam memberikan putusannya sebab hakim dalam hal
ini bertindak sebagai orang ketiga yang harus netral. Putusan
hakim sangat diperlukan untuk menyelesaikan suatu perkara
perdata. Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang
diucapkan oleh seorang hakim dalam persidanga untuk
memberikan penyelesaian kepada para pihak yang berperkara
atau bersengketa. Jadi putusan hakim sangat diperlukan dalam
memberikan penyelesaian akhir yang adil bagi pihak yang
dilanggar haknya.
Sebelum membuat putusan seorang hakim harus
mempertimbangan apa yang ada dalam pembuktian melalui
alat bukti yang diajukan para pihak yang berperkara dan juga
seorang hakim harus mendengarkan keterangan para pihak
sebab seorang hakim tidak boleh hanya mendengarkan satu
pihak saja tetapi semua pihak harus didengarkan
keterangannya. Pertimbangan hakim sangat diperlukan demi
tercapainya sebuah putusan yang memiliki dasar-dasar hukum
yang tepat dan mencerminkan nilai-nilai keadilan, kebenaran,
penguasaan hukum, fakta, etika serta moral dari seorang
hakim.
Hakim telah memberikan pertimbangan-pertimbangan
hukumnya yang akan dijadikan pedoman dalam menjatuhkan
putusan mengenai proses penyelesaian perkara pembagian
harta warisan sebagaimana yang tertuang dalam Putusan
Nomor: 17/Pdt.G/2013/PN. Ska. Berdasarkan pada
pemeriksaan persidangan tersebut dapat diambil Kesimpulan
tentang Hasil Pembuktian dan telah diperoleh Fakta-Fakta
Hukum bahwa terbukti telah terjadi peristiwa Perbuatan
Melawan Hukum sebagaimana sesuai dalam Pasal 1365
KUHPerdata. Adapun inti pertimbangan hukum tersebut adalah
sebagai berikut:
Berdasarkan keseluruhan pertimbangan alat bukti yang
diajukan Penggugat dan Tergugat I, II, III, IV dan V tersebut
diatas Majelis Hakim berkesimpulan pemilik Perusahaan
Anggur ”WAN NEN” Cap Lontjeng berdasarkan bantahan
Tergugat I, II, III, IV dan V yang menyatakan perusahaan
adalah milik Tergugat I secara perorangan ternyata dari bukti
yang diajukan tidak ada satupun yang menerangkan atas
kepemilikan perusahaan tersebut oleh Tergugat I, karena dari
bukti TI-V.2 yang menyatakan Hioe Hay Jien (Jan) adalah
pemilik Perusahaan Pabrik Anggur merek “JAN NEN” Tjap
Lontjeng begitu pula dengan bukti TI-V. 3 sampai dengan TI-V.
5 dan TI-V. 8 sampai dengan TI-V. 21 yang hanya berupa
perijinan perusahaan tersebut dan tidak ada satupun yang
menerangkan kepemilikan Perusahaan Anggur tersebut
merupakan milik pribadi Tergugat I, dengan demikian Tergugat
I, II, III, IV dan V tidak dapat membuktikan dalil bantahannya
karenanya Majelis Hakim berpendapat Perusahaan Anggur
“WAN NEN” Cap Lontjeng adalah harta peninggalan alm. Hioe
Hoy Ja.
Pertimbangan hukum di atas telah terbukti secara jelas
bahwa Perusahaan Anggur “WAN NEN” Cap Lonceng adalah
harta peninggalan alm. Hioe Hoy Jan (ayah Penggugat dan
Tergugat I) dan berdasarkan bukti P. 7 yang berupa Surat
Wasiat Nomor 21 tanggal 13 Maret 1972 perusahaan tersebut
telah diwasiatkan akan diberikan kepada isterinya (Lie Joe
Moy) dan keempat anak laki-lakinya bernama Hioe Liong
Hiang, Hioe Liong Fen, Hioe Liong Wie dan Hioe Liong Tung
dengan bagian yang sama, dan oleh karena Lie Joe Moy sudah
meninggal dunia maka perusahaan tersebut adalah hak dari
keempat anak laki-laki tersebut.
Berdasarkan bukti-bukti tersebut Majelis Hakim
berpendapat Penggugat (Hioe Liong Tung) adalah anak sah
pasangan Hioe Hoy Jan dan Lie Yoe Moy dan oleh karena
kedua orang tuanya tersebut telah meninggal dunia, maka
Penggugat adalah ahli waris sah dari Hioe Hoy Jan dan Lie Yoe
Moy dan berhak atas warisan sebagaimana yang tertuang
dalam Surat Wasiat Akta Notaris Nomor 21 tanggal 13 Maret
1972. Pada intinya menyatakan bahwa Perusahaan Anggur
“WAN NEN” Cap Lonceng merupakan harta peninggalan alm.
Hioe Hoy Jan, dan karena telah terbukti Penggugat adalah ahli
waris alm Hioe Hoy Jan, maka ia juga berhak atas harta
peninggalan alm. Hioe Hoy Jan tersebut yang berupa
Perusahaan Anggur “WAN NEN” Cap Lonceng tersebut.
Berdasarkan hasil analisis di atas dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa Putusan Nomor: 17/Pdt.G/2013/PN. Ska
pada pokoknya Penggugat dapat membuktikan atas dalil
gugatan yang diajukannya bahwa Penggugat merupakan salah
satu ahli waris sah HIOE HOY JAN dan LIE JOE MOY dan
berhak atas harta peninggalan berupa Perusahaan Anggur
“WAN NEN” Cap Lonceng. Sehingga terbukti telah terjadi
peristiwa Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana dalam
Pasal 1365 KUHPerdata, yang dilakukan oleh Para Tergugat
yaitu dengan menghilangkan hak dari Penggugat sebagai ahli
waris atas harta warisan yaitu Perusahaan Anggur “WAN NEN”
Cap Lonceng, yang dikelola oleh Tergugat I dan hasilnya
dinikmati bersama oleh Tergugat I, II, III, IV dan V, sedangkan
untuk Penggugat sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk
bersama-sama mengelola perusahaan tersebut dan hanya
diberikan hasil dari perusahaan ala kadarnya yang sangat
merugikan Penggugat.
III. PENUTUP
a. Simpulan
1) Tanggung Jawab Notaris Atas Pelanggaran Kode Etik
Dalam Pembuatan Akta Autentik yaitu dengan
memperbaiki akta atau mengganti akta dengan akta
yang baru sesuai minuta akta. Perbaikan dan
pembaruan itu dilakukan agar para pihak yang dirugikan
mendapatkan kepastian hukum atas akta notariil yang
dibuat sehingga akta tersebut menjadi sempurna dan
autentik. Akan tetapi dalam prakteknya, para pihak yang
dirugikan tidak menggunakan notaris semula untuk
perbaikan akta karena rasa kepercayaan yang sudah
berkurang. Padahal sesungguhnya, akta tersebut masih
dapat diperbaiki dan menjadi tanggungjawab notaris
untuk memperbaikinya. Tanggungjawab notaris atas
perbaikan akta yang dibuatnya mengacu pada Pasal 51
UUJN. Implikasi hukum atas akta yang dibuat notaris
yang melakukan pelanggaran maka akta yang dihasilkan
akan kehilangan keotentisitasnya dan terdegradasi
menjadi akta dibawah tangan. Meskipun akta tersebut
tidak terdegradasi, hal ini dikarenakan Notaris masih
dianggap cakap oleh Majelis Pengawas Notaris. Notaris
dalam menjalankan tugasnya membuat suatu akta
autentik haruslah memperhatikan kaidah dan aturan-
aturan yang dinyatakan dalam Peraturan jabatan Notaris
mengenai tatacara dalam pembuatan akta autentik agar
aktanya tidak kehilangan keotentisitasnya.
2) Pembagian harta warisan menurut Hukum Islam, Hukum
Adat dan KUHPerdata/BW. Sistem hukum Indonesia
masih terjadi kemajemukan tatanan hukum. Masalah
pembagian warisan ada tiga sistem hukum waris yang
berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia.
Berdasarkan pada Putusan Nomor
17/Pdt.G/2013/PN.Ska mengenai sengketa pembagian
harta warisan milik orang tua yang bernama HIOE HOY
JAN dan LIE JOE MOY yang keduanya sudah
meninggal dunia, meninggalkan 4 (empat) orang anak
laki-laki. Berdasarkan pembagian harta warisan menurut
hukum islam, adat, maupun perdata harta warisan
tersebut harus dibagi sama rata kepada 4 (empat) orang
anaknya dengan bagian yang sama besarnya. Hakim
dalam menentukan pembuktian atas perkara pembagian
harta warisan. Berdasarkan pada pemeriksaan
persidangan tersebut telah diperoleh fakta-fakta hukum
bahwa pada intinya Penggugat mampu membuktikan
dalil-dalil gugatannya dan Para Tergugat tidak mampu
membuktikan dalil-dalil bantahannya. Dengan demikian
dari fakta-fakta hukum tersebut, Majelis Hakim dapat
mengambil Kesimpulan tentang Hasil Pembuktian yaitu
terbukti telah terjadi peristiwa Perbuatan Melawan
Hukum sebagaimana sesuai dalam Pasal 1365
KUHPerdata, yang dilakukan oleh Para Tergugat yaitu
dengan menghilangkan hak dari Penggugat sebagai ahli
waris atas harta warisan yaitu Perusahaan Anggur “WAN
NEN” Cap Lonceng, yang dikelola oleh Tergugat I dan
hasilnya dinikmati bersama oleh Tergugat I, II, III, IV dan
V, sedangkan untuk Penggugat sama sekali tidak
diberikan kesempatan untuk bersama-sama mengelola
perusahaan tersebut dan hanya diberikan hasil dari
perusahaan ala kadarnya yang sangat merugikan
Penggugat.
b. Saran
1) Hendaknya Notaris memahami betul-betul mengenai
etika profesi notaris agar tidak terjadi pelanggaran kode
etik Notaris yang mengakibatkan kerugian bagi
masyarakat pengguna jasa notaris.
2) Para pihak pengguna jasa Notaris hendaknya kritis dan
jeli dalam memilih Notaris yang amanah sehingga
tidak .dirugikan karena pelanggaran kode etik yang
dilakukan notaris dalam pembuatan akta yang
cenderung menguntungkan salah satu pihak.
3) Majelis Pengawas Notaris hendaknya memberikan
sanksi yang lebih berat kepada Notaris yang terbukti
melanggar etika profesi agar ke depan pelanggaran
terhadap etika notaris dapat diminimalisir.

DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad. 2006. Etika Profesi Hukum. Bandung: Citra Aditya
Bakti

Ali Afandi. 1986. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian,


Jakarta: Bina Aksara

Amir Syarifudin. 2000. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana

Dominikus Rato. 2010. Filsfat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami


Hukum. Yogyakarta: Pressindo

Hilman Hadikusuma. 1991. Hukum Waris Indonesia, Bandung: PT Citra


Aditya Bakti.

K.Wantjik Saleh. 1981. Hukum Acara Perdata RBG/HIR. Jakarta: Ghalia


Indonesia. 19

M. Solly Lubis. 1994. Filsafat Ilmu dan Penelitian. Bandung: CV. Mandar
Maju

Nico. 2003. Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum,


(Yogyakarta : Center for Documentation and Studies of Business
Law

Oemarsalim. 1991. Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia. Jakarta:


Rineka Cipta

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkantawinata. 1989. Hukum Acara


Perdata Dalam Teori dan Praktek. Bandung. Mandar Maju

Ridwan H.R. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.

R. Subekti. 2001. Hukum Pembuktian. Jakarta. Pradnya Paramita

Salim, H.S. 2015. Teknik Pembuatan Akta Satu Konsep Teoritis,


Kewenangan Notaris, Bentuk dan Minuta Akta. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada

Satjipto Rahardjo. 1980. Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa

Soekidjo Notoatmojo. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Rineka


Cipta

Sudikno Mertokusumo. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia.


Yogyakarta: Liberty
Suteki. 2013. Hukum dan Alih Teknologi Suatu Tinjauan Sosiologis,
Yogyakarta: Thafa Media

Perundangan:

Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN

Pasal 1870 KUHPerdata

Pasal 1 angka 1,Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang


Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris, jo. Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016
Tentang Majelis Kehormatan Notaris

Pasal 1 huruf b Perubahan Kode Etik Notaris Kongres Luar Biasa Ikatan
Notaris Indonesia

Anda mungkin juga menyukai