Anda di halaman 1dari 21

Perawatan Untuk Populasi dan Kelompok Rentan"

Oleh :

Risnawati.r Noho_N21021102
Nopriyanti olii_N21021079
Nurul salsabila_N21021070
Yandri mursalim_N21021089
Fatimah nurinayah_N21021098
Fatimah Suriyani_N210210

PRODI DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah “Asuahn
kEperawatan Komunitas pada Agregat Populasi Rentan” ini bisa selesai pada waktunya. Terima kasih
juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan memberikan ide-idenya
sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi. Kami berharap semoga makalah ini bisa
menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi. Bandung, 21 Maret 2020

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR----------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR ISI--------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB I PENDAHULUAN-----------------------------------------------------------------------------------
1.1. Latar Belakang-------------------------------------------------------------------------------------------
1.2. Rumusan Masalah---------------------------------------------------------------------------------------
1.3 Tujuan------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAB II TINJAUAN TEORI---------------------------------------------------------------------------------
2.1. Populasi Rentan------------------------------------------------------------------------------------------
2.2. Populasi Rentan Penyakit Mental----------------------------------------------------------------------
2.3. Populasi Rentan Kecacatan-----------------------------------------------------------------------------
2.4. Populasi Terlantar----------------------------------------------------------------------------------------
2.5. Bencana---------------------------------------------------------------------------------------------------
2.6. Factor-Faktor Yang Mempengaruhi Bencana--------------------------------------------------------
2.7. Jenis Bencana Alam-------------------------------------------------------------------------------------
2.8. Kelompok Rentan----------------------------------------------------------------------------------------
2.9. Peran Perawat Dalam Bencana------------------------------------------------------------------------
2.10. Pelayanan Medis Bencana Berdasarkan Siklus Bencana------------------------------------------
2.11. Permasalahan Di Bidang Kesehatan-----------------------------------------------------------------
2.12. Penanggulangan Bencana di Bidang Kesehatan----------------------------------------------------
BAB III PENUTUP------------------------------------------------------------------------------------------
4.1. Kesimpulan-----------------------------------------------------------------------------------------------
4.2. Saran------------------------------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA-----------------------------------------------------------------------------------------

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakakang

Populasi berasal dari bahasa latin yaitu populous (rakyat, berarti penduduk). Didalam pelajaran
ekologi, populasi adalah sekelompok individu yang sejenis. Apabila kita membicarakan populasi,
haruslah disebut jenis individu yang dibicarakan dengan menentukan batas – batas waktunya serta
tempatnya. Jadi, populasi adalah Kumpulan individu sejenis yang hidup pada suatu daerah dan waktu
tertentu. Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi seseorang
atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat(Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam Stanhope &
Lancaster, 2004).

Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain genetik, usia, karakteristik biologi,
kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika seseorang dikatakan rawan apabila mereka
berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik,
biologi atau psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok sosial yang
memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk menerima pelayanan kesehatan. Kenyataan
menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan perundangundangan yang mengatur tentang
Kelompok Rentan, tetapi tingkat implementasinya sangat beragam.

Sebagian undang-undang sangat lemah pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi


manfaat bagi masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang belum
sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan kebutuhan bagi perlindungan
kelompok rentan. Keberadaan masyarakat kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini
memerlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka melalui
penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi orang-orang yang diposisikan sebagai
masyarakat kelompok rentan belum terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi
kehidupan diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak bagi
masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksut dengan agregat populasi rentan?


2. Macam-macam populasi rentan
3. Bagaimana asuhan keperawatan untuk agregat dalam komunitas populasi rentan saat
bencana?

1.3. Tujuan penulisan

1. Mengetahui apayang di maksut dengan agregat populasi rentan

4
2. Mengetahui macam-macam populasi rentan

3. Mengetahui asuhan keperawatan agregat komunitas populasi rentan saat bencana

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Populasi Rentan

Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang
undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) UndangUndang No.39 Tahun 1999 yang
menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam
Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang
rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil dan
penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference 3 disebutkan, bahwa yang
tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:

a. Refugees,

b. Internally Displaced Persons (IDPs);

c. National Minorities,

d. Migrant Workers;

e. Indigenous Peoples,

f. Children; dan

g. Women. Keberadaan

kelompok rentan yang antara lain mencakup anak, kelompok perempuan rentan,penyandang
cacat, dan kelompok minoritas mempunyai arti penting dalam, masyarakat yang tetap menjunjung
tinggi nilai-nilai HAM. Untuk memberikan gambaran keempat kelompok masyarakat tersebut selama
ini, maka penelaahan perlu diawali dengan mengetahui keadaan sebenarnya yang terjadi di dalam
masyarakat. Berbagai bukti empiris menunjukan bahwa masih dijumpai keadaan dari kelompok
rentan yang belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Upaya perlindungan guna mencapai
pemenuhan hak kelompok rentan telah banyak dilakukan Pemerintah bersama masyarakat, namun
masih dihadapkan pada beberapa kendala yang antara lain berupa: kurangnya koordinasi antar instansi
pemerintah, belum terlaksananya sosialisasi dengan baik, dan kemiskinan yang masih dialami
MasyarakatJadi, populasi adalah Kumpulan individu sejenis yang hidup pada suatu daerah dan waktu
tertentu. Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang-
undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang
menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

6
Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok
masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil
dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa yang
tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:

a. Refugees (pengungsi)
b. Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)
c. National Minoritie (kelompok minoritas)
d. Migrant Workers (pekerja migran )
e. Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat pemukimannya)
f. Children (anak)
g. Women (wanita)

Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah semua orang
yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi
kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan
dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena
kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.

2.2. Populasi Rentan Penyakit Mental

Gangguan kesehatan mental bukanlah sebuah keluhan yang hanya diperoleh dari garis
keturunan. Tuntutan hidup yang berdampak pada stress berlebih akan berdampak pada gangguan
kesehatan mental yang lebih buruk. Di berbagai pelosok Indonesia masih ditemui cara penanganan
yang tidak tepat bagi para penderita gangguan kesehatan mental. Penderita dianggap sebagai makhluk
aneh yang dapat mengancam keselamatan seseorang untuk itu penderita layak diasingkan oleh
masyarakat.

2.3 Populasi Rentan Kecacatan

Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan penyandang cacat adalah
setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau
merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan 7 Firman Lubis, Kesehatan Hak Asasi
Manusia: Perspektif Indonesia, t.t. kegiatan secara selayaknya. Dari sisi pengelompokkannya, maka
penyandang cacat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) hal :

a) Penyandang cacat fisik


b) Penyandang cacat mental
c) Penyandang cacat fisik dan mental.

7
Pasal 14 UU No.4 tahun 1997 Pasal 28 - Pasal 31 PP No.43 tahun 1998 tentang "Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat" mewajibkan bahwa setiap pengusaha yang
memiliki jumlah karyawan 100 orang atau lebih pada perusahaannya wajib mempekerjakan minimal
satu orang penyandang cacat untuk memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan, atau
kurang dari 100 orang jika perusahaan tersebut menggunakan teknologi tinggi.

Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan HAM di Medan dan Surabaya tahun 2002
menunjukkan, bahwa kuota tenaga kerja bagi penyandang cacat yang diwajibkan oleh UU tersebut di
atas belum dipatuhi oleh perusahaan.

Padahal UU No.4 Tahun 1997 memiliki daya paksa untuk dijatuhkannya sanksi pidana bagi
pengusaha atau perusahaan yang tidak mematuhinya. Oleh karena itu pihak Kepolisian dan Kejaksaan
berwenang melakukan penyidikan atas pelanggaran UU tersebut karena termasuk tindak pidana.
Rendahnya implementasi disebabkan antara lain ketidaktahuan, enggan melaksanakan, tidak ada
pengawasan baik dari pemerintah maupun masyarakat, serta tidak ada

2.4. Populasi Terlantar

Homeless atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak memiliki tempat tinggal
secara tetap maupun yang hanya sengaja dibuat untuk tidur. Tunawisma biasanya di golongkan ke
dalam golongan masyarakat rendah dan tidak memiliki keluarga. Masyarakat yang menjadi
tunawisma bisa dari semua lapisan masyarakat seperti orang miskin, anak-anak, masyarakat yang
tidak memiliki keterampilan, petani, ibu rumah tangga, pekerja sosial, tenaga kesehatan profesional
serta ilmuwan. Beberapa dari mereka menjadi tunawisma karena kemiskinan atau kegagalan sistem
pendukung keluarga mereka. Selain itu alasan lain menjadi tunawisma adalah kehilangan pekerjaan,
ditinggal oleh keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, pecandu alkohol, atau cacat. Walaupun begitu
apapun penyebabnya, tunawisma lebih rentan terhadap masalah kesehatan dan akses ke pelayanan
perawatan kesehatan berkurang.

Faktor Penyebab Munculnya Tunawisma

1. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan banyaknya gelandangan,
pengemis dan anak jalanan. Kemiskinan dapat memaksa seseorang menjadi gelandangan
karena tidak memiliki tempat tinggal yang layak, serta menjadikan mengemis sebagai
pekerjaan. Ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan
keluarga membuatnya dalam garis kemiskinan.
2. Rendah Tingginya Pendidikan
Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang. Pendidikan
sangat berpengaruh terhadap persaingan didunia kerja. Seseorang dengan pendidikan

8
rendah akan sangat sulit mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak. Sedangkan mereka
juga memerlukan biaya untuk mencukupi semua kebutuhan hidupnya.
3. Keluarga
Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang dan perlindungan yang
lebih daripada lingkungan lain. Namun, hubungan keluarga yang tidak harmonis atau
anak dengan keluarga broken home membuat mereka merasa kurang
perhatian,kemyamanan dan ketenangan sehingga mereka cenderung mencari kebebasan,
belas kasih dan ketenangan dari orang lain
4. Umur
Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang menurun, membuat seseorang
lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk memenuhi
kebutuhannya. Menjadi tunawisma merupakan alternatif terakhir mereka untuk bertahan
hidup.
5. Cacat Fisik
Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit mendapatkan pekerjaan.
Kebanyakan seserang yang memiliki cacat fisik memilih menjadi tunawisma untuk dapat
bertahan hidup. Menurut Kolle (Riskawati dan Syani, 2012) kondisi kesejahteraan
seseorang dapat diukur melalui kondisi fisiknya seperti kesehatan.
6. Rendahnya Keterampilan
Ketrampilan sangatlah penting dalam kehidupan,dengan ketrampilan seseorang dapat
memiliki asset produksi. Namun, ketrampilan perlu digali salah satunya melalui
pendidikan serta membutuhkan modal pendukung untuk dikembangkan. Hal inilah yang
menjadi penghambat seseorang dalam mengembangkan ketrampilan yang dimilki.
Ketidak berdayaan inilah yang membuat seseorang memilih menjadi tunawisma untuk
bertahan hidup. Pada umumnya gelandangan dan pengemis tidak memiliki keterampilan
yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
7. Masalah Sosial Budaya
Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan seseorang menjadi gelandangan
dan pengemis. Antara lain:
a. Rendahnya harga diri Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang,
mengakibatkan mereka tidak memiliki rasa malu untk meminta-minta. Dalam hal
ini, harga diri bukanlah sesuatu yang berharga bagi mereka. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya tunawisma yang berusia produktif.
b. Sikap pasrah pada nasib Mereka manggap bahwa kemiskinan adalah kondisi
mereka sebagai gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada
kemauan untuk melakuan perubahan.
c. Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang

9
8. Faktor Lingkungan

Menjadi gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang
mendukungnya. Contohnya saja jika bulan ramadhan banyak sekali ibu-ibu rumah tangga
yang bekerja sebagai pengemis. Momen ini digunakan mereka mencari uang untuk membantu
suaminya mencari nafkah. Tentu hal ini akan mempengaruhinya untuk melakukan pekerjaan
yang sama, terlebih lagi melihat penghasilan yang didapatkan lumayan untuk emmenuhi
kebutuhan hidup.

9. Letak Geografis
Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi alamnya membuat masyarakat yang
tinggal di daerah tersebut mengalami kemiskinan dan membuat masyarakat harus
meninggalkan tempat tersebut untuk mencari peruntungan lain. Akan tetapi, keputusannya
untuk pindah ke kota lebih memperburuk keadaan. Tidak adanya potensi yang alam
10. Lemahnya penangan
masalah gelandangan dan pengemis Penanganan masalah gelandangan dan pengemis yang
dilakukan oleh pemerintah hanya setengah hati. Selama ini penanganan yang telah nyata
dilakukan adalah razia, rehabilitasi dalam panti sosial, kemudian setelah itu dipulangkan
ketempat asalnya.

Masalah Kesehatan Pada Tunawisma

1. Gangguan Fisik Akut Pada umumnya tunawisma akan mengalami gangguan fisik akut seperti:
No Gangguan fisik akut Gangguan fisik kronik
a. ISPA (infeks sistem pernfasan atas) Kecanduan alkohol dan zat lain
b. Trauma-cedera ringan hingga berat Hipertensi
c. Penyakit kulit Gangguan pencernaan
d. TBC Gangguan sistem saraf tepi
e. Terserng kutu dan tungau Masalah gigi
f. Gizi buruk/ kekurangan gizi Diabetes melitus
g. HIV/AIDS
2. Masalah Kesehatan pada Tunawisma Anak-Anak Selain masalah kesehatan fisik, masalah lain
juga banyak timbul seperti :
a. Kegelisahan
b. Tidak mendapatkan/tidak lengkap untuk imunisasi

UUD 1945 Undang - Undang Dasar 1945 adalah Landasan konstitusional Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Para pendiri negeri ini telah merumuskannya, sejak Bangsa Indonesia Merdeka
dari jajahan para kolonialisme. UUD 1945 adalah sebagai hukum dasar tertinggi dalam
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

10
UUD 1945 telah di amandemen empat kali pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 yang telah
menghasilkan rumusan Undang - Undang Dasar yang jauh lebih kokoh menjamin hak konstitusional
warga negara dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, di Indonesia
masih banyak terdapat gelandangan, pengemis, masyarakat dalam keadaan fakir, miskin dan terlantar.
Dalam UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 berbunyi “Fakir Miskin dan anak - anak yang terlantar dipelihara
oleh negara”

Program atau kebijakan pemerintah tentang penanggulangan homeless atau gelandangan di


Indonesia Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980, gelandangan dan pengemis tidak
sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, karena
itu perlu diadakan usahausaha penanggulangan. Penanggulangan tersebut bertujuan untuk
memberikan rehabilitasi kepada gelandangan dan/atau pengemis agar mereka mampu mencapai taraf
hidup, kehidupan, dan penghidupan yang layak sebagai seorang warna negara Republik
Indonesia.Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 pasal 1, 5 dan 6, ada beberapa usaha
untuk menanggulangi gelandangan adalah sebagai berikut:

1) Usaha preventif Adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan,
dan pendidikan, pemberian bantuan, pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang
ada hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan sehingga akan tercegah terjadinya :

a. Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluargakeluarga terutama yang sedang
berada dalam keadaan sulit penghidupannya
b. Meluasnya pengaruh dan akibat adanya pergelandangan dan pengemisan di dalam
masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban dan kesejahteraan pada umumnya
c. Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan pengemis yang telah
direhabilitir dan telah ditransmigrasikan ke daerah pemukiman baru ataupun telah
dikembalikan ke tengah masyarakat. Dalam hal ini, usaha yang di maksud adalah dengan :
a. Penyuluhan dan bimbingan sosial
b. Pembinaan sosial
c. Bantuan sosial
d. Perluasan kesempatan kerja
e. Pemukiman lokal
f. Peningkatan derajat kesehatan

2) Usaha represif Adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui lembaga maupun bukan dengan
maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan, serta mencegah meluasnya di dalam
masyarakat. Usaha represif yang di lakukan sesuai PP No. 31 Tahun1980 Pasal 9 adalah razia,
penampungan sementara untuk di seleksi, dan pelimpahan. Dalam pasal 12 disebutkan bahwa setelah
gelandangan di seleksi, tindakan selanjutnya terdiri dari :

11
a. Dilepaskan dengan syarat
b. Dimasukkan dalam panti sosial
c. Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya
d. Diserahkan ke pengadilan
e. Diberikan pelayanan kesehatan

3) Usaha Rehabilitatif Adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi usaha-usaha penyantunan,


pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali baik ke daerah-
daerah pemukiman baru melalui transmigrasi maupun ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta
pembinaan lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki
kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai Warganegara Republik
Indonesia. Dalam Peraturan Pemerintah

2.5. Bencana

Bencana adalah suatu fenomena alam yang terjadi yang menyebabkan Kerugian baik materiil
dan spiritual pada pemerintah dan masyarakat (Urata, 2008).Fenomena atau kondisi yang menjadi
penyebab bencana disebut hazard ( Urata,2008). Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia
bencana adalah Peristiwa pada suatu wilayah yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kerugian
ekologi,kerugian hidup bagi manusia serta menurunnya derajat kesehatan sehingga memerlukan
bantuan dari pihak luar (Effendy & Mahfudli, 2009).

2.6. Factor-Faktor Yang Mempengaruhi Bencana

1. Faktor alami Faktor alami merupakan keadaan mudah terjadinya bencana atau kerentanan
tergantung kondisi alam seperti bentuk geografis, geologi, cuaca, iklim (Urata, 2008).
2. Faktor sosial Faktor social adalah kerentanan akibat ulah manusia, contohnya: pembangunan
bangunan di daerah yang miring, meningkatnya angka urbanisasi, kemiskinan, pengendalian
bencana yang tidak tepat (Urata, 2008).

2.7. Jenis Bencana Alam Jenis-jenis bencana alam terdiri 3 bagian (Urata, 2008)

1. Bencana alam ( natural disaster) Bencana yang terjadi akibat kerusakan ekosistem dan telah
terjadi kelebihan kapasitas komunitas yang terkena dampaknya

a. Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi yang
disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif, akitivitas gunung api atau
runtuhan batuan. Gempa bumi menyebabkan kerusakan fisik sarana dan prasarana dan
menyebabkan banyak korban.

12
b. Letusan gunung api merupakan bagian dari aktivitas vulkanik yang dikenal dengan istilah
"erupsi". Bahaya letusan gunung api dapat berupa awan panas, lontaran material (pijar),
hujan abu lebat, lava, gas racun, tsunami dan banjir lahar.
c. Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang berarti gelombang ombak lautan ("tsu" berarti
lautan, "nami" berarti gelombang ombak). Tsunami adalah serangkaian gelombang ombak
laut raksasa yang timbul karena adanya pergeseran di dasar laut akibat gempa bumi. Tsunami
menyebabkan kerusakan bangunan, tanah, sarana dan prasarana umum, kerusakan sumber air
bersih.
d. Tanah longsor merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun
percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah
atau batuan penyusun lereng.
e. Banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah atau daratan karena
volume air yang meningkat. Banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba
dengan debit air yang besar yang disebabkan terbendungnya aliran sungai pada alur sungai.

2. Bencana buatan manusia Bencana buatan manusia adalah penyebabnya ditimbulkan oleh aktivitas
manusia contohnya kecelakaan kereta, kecelakaan kereta, kecelakaan lalulintas, kebocoran gas.

3. Bencana khusus Bencana khusus dibedakan menjadi empat kategori yaitu:


a. Tipe menyebar ke wilayah yang luas contohnya radio aktif dan nuklir
b. Tipe komplek jika terjadi bencana pertama di susul bencana kedua dank ke tiga serta di susul
penyebarannya.
c. Tipe gabungan atau campuran, bencana ini terjadi campuran antara bencana alam dengan
bencana akibat ulah manusia.
d. Tipe jangka panjang, tipe ini memerlukan waktu pengecekan lokasi kejadian dan
penyelamatan korban.

2.8. Kelompok Rentan

Memahami akibat dari bencana adalah manusia potensial menjadi korban, sehingga perlu kita
perlu memahami dua hal yang perlu mendapatkan fokus utama adalah mengenali kelompok rentan
dan meningkatkan kapasitas dan kemampuan masyarakat dalam menanggulangi bencana. Kerentanan
adalah keadaan atau sifat manusia yang menyebaabkan ketidakmampuan menghadapi bencana yang
berfokus pada pencegahan, menjinakkan, mencapai kesiapan, dan dalam menghadapi dampak
tertentu.

Undang-undang penanggulangan bencana pada pasal 56 dan pasal 26 (1) menjelaskan bahwa
masyarakat yang rentan adalah masyarakat yang membutuhkan bantuan diantaranya bayi, balita,
anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui, lansia. Kerentanan dalam masyarakat dapat dikelompokkan
menjadi:

13
1. Kerentanan fisik Adalah resiko yang dihadapimasyarakat dalam menghadapi ancaman
bahaya tertentu, misalnya kekuatan rekonstruksi bangunan rumah pada daerah rawan banjir
dan gempa.
2. Kerentanan ekonomi Adalah kemampuan ekonomi individu atau masyarakat dalam
mengalokasikan dana utuk mencegas dan penanggulangan bencana.
3. Kerentanan social Kerentanan social dilihat dari aspek pendidikan, pengetahuan tentang
ancaman dan penanggulangan bencana, serta ingkat kesehatan yang rendah.
4. Kerentanan lingkungan Kerentanan yang melihat aspek tempat tinggal masyarakat dan
lingkungan sekitarnya

2.9. Peran Perawat Dalam Bencana

Peran perawat diharapkan dalam setiap bencana yang terjadi. Peran perawat menurut fase bencana:
1. Fase pre impact

a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam penanggulangan
ancaman bencana untuk setiap fasenya.
b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai kegiatan pemerintahan, organisasi lingkungan, Palang
Merah Nasinal, maupun lembagalembaga kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan
dan simulasi memberikan tanggap bencana.
c. Perawat terlibat dalam promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan tanggap bencana,
meliputi usaha pertolongan diri sendiri, pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga dan
menolong anggota keluarga yang lain, pembekalan informs cara menyimpan makanan dan
minuman untuk persediaan, perawat memberikan nomer telepon penting seperti nomer
telepon pemadam kebakaran, ambulans, rumah sakit, memberikan informasi peralatan yang
perlu dibawa (pakaian, senter).

2. Fase impact

a. Bertindak cepat.
b. Perawat tidak memberikan janji apapun atau memberikan harapan palsu pada korban
bencana.
c. Konsentrasi penuh pada hal yang dilakukan.
d. Berkoordinasi dengan baik dengan tim lain.
e. Bersama pihak yang terkait mendiskusikan dan merancang master plan revitalizing untuk
jangka panjang. Perawat harus melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan
tindakan pertolongan pertama.

Ada saat dimana ”seleksi” pasien untuk penanganan segera (emergency) akan lebih efektif.
(Triase). TRIASE :

14
a. Merah — paling penting, prioritas utama. keadaan yang mengancam kehidupan sebagian
besar pasien mengalami hipoksia, syok, trauma dada, perdarahan internal, trauma kepala
dengan kehilangan kesadaran, luka bakar derajat I-II.
b. Kuning — penting, prioritas kedua. Prioritas kedua meliputi injury dengan efek sistemik
namun belum jatuh ke keadaan syok karena dalam keadaan ini sebenarnya pasien masih
dapat bertahan selama 30-60 menit. Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel, fraktur
terbuka, cedera medulla spinalis, laserasi, luka bakar derajat II.
c. Hijau — prioritas ketiga. Yang termasuk kategori ini adalah fraktur tertutup, luka bakar
minor, minor laserasi, kontusio, abrasio, dan dislokasi.
d. Hitam meninggal. Ini adalah korban bencana yang tidak dapat selamat dari bencana,
ditemukan sudah dalam keadaan meninggal.

3. Fase post-impact

a. Memberikan terapi bagi korban bencana untuk mengurangi trauma.


b. Selama masa perbaikan perawat membantu korban bencana alam untuk kembali ke
kehidupan normal.
c. Beberapa penyakit dan kondisi fisik yang memerlukan pemulihan dalam jangka waktu lama
memerlukan bekal informasi dan pendampingan.

2.10. Pelayanan Medis Bencana

Berdasarkan Siklus Bencana Kehidupan dan kondisi fisik serta psikis orang banyak akan
mengalami perubahan saat berhdapan dengan setiap siklus bencana. Oleh karena itu, pelayanan medis
yang dibutuhkan adalah yang juga akan berubah dalam menanggulangi setiapsiklus bencana. Secara
singkat akan diuraikan seperti di bawah ini.

1. Fase akut dalam siklus bencana Dilokasi bencana, pertolongan terhadap korban luka dan
evakuasi dari lokasi berbahaya ke tempat yang aman adalah hal yang paling diprioritaskan.
Untuk menyelamatkan korban luka sebanyak mungkin, maka sangat diperlukan lancarnya
pelaksanaan Triage ( triase), Treatment ( pertolongan pertama), dan transportation ( transportasi)
pada korban luka, yang dalam pelayanan medis bencana disebut dengan 3T
2. Fase menengah dan panjang pada siklus bencana. Pada fase ini, terjadi perubahan pada
lingkungan tempat tinggal yaitu dari tempat pengungsiam ke rumah sementara dan rumah yang
direhabilitasi. Hal-hal yang dilakukan diantaranya adalah : memperhatikan segi keamanan
supaya dapat menjalankan aktivitas hidup yang nyaman dengan tenang, membantu terapi
kejiwaan korban bencana, membantu kegiatan-kegiatan untuk memulihkan kesehatan hidup dan
membangun kembali komunitas social
3. Fase tenang pada siklus bencana Pada fase tenang diman tidak terjadi bancana, diperlukan
pendidikan penanggulangan bencana sebagai antisipasi saat bencana terjadi, pelatihan

15
pencegahan bencana pada komunitas dengan melibatkan penduduk setempat, pengecekan dan
pemeliharaan fasilitas peralatan pencegahan bencana baik di daerah-daerah maupun pada
fasilitas medis, srta membangun sistem jaringan bantuan.

2.11. Permasalahan Di Bidang Kesehatan

Berikut ini merupakan akibat – akibat bencana yang dapat muncul baik langsung maupun
tidak langsungterhadap bidang kesehatan.

1. Korban jiwa, luka, dan sakit ( berkaitan dengan angka kematian dan kesakitan)
2. Adanya pengungsi yang pada umumnya akan menjdai rentan dan beresiko mengalami kurang
gizi, tertular penyakit, dan menderita stress.
3. Kerusakan lingkungan sehingga kondisi menjadi darurat dan menyebabkan keterbatasan air
dan sanitasi serta menjadi tempat perindukan vector penyakit.
4. Seringkali system pelayanan kesehatan terhenti, selain karena rusak, besar kemungkinan
tenaga kesehatan setempat juga menjadi korban bencana.
5. Bila tidak diatasi segera, maka derajat kesehatan semakin menurun dan berpotensi
menyebabkan terjadinya KLB.

Penyakit penyakit yang sering kali diderita para pengungsi di Indonesia tidak lepas dari kondisi
kedaruratan lingkungan, antara lain diare, ISPA, campak dan malaria. WHO mengidentifikasi empat
penyakit tersebut sebagai The Big Four. Kejadian penyakit spesifik sering muncul sesuai dengan
bencana yang terjadi. Banjir di Jakarta pada awal tahun 2007 selain menimbulkan peningkatan kasus
Diareyang tinggi, juga memunculkan kasus leptospirosis yang relative besar, yaitu 248 kasus dengan
19 kematian (CFR 7,66 %). Sedangkan, gempa di DIY dan jateng pada tahun 2006 mengakibatkan 76
penduduk menderita tetanus dan 29 di antaranya meninggal dunia. Meskipun dapat dikatakan dengan
sepatah kata, ada bermacam-macam penyebab bencana, kondisi kerusakannya, serta massa-massa
terkena dampak, dan lain-lain. Biasanya dalam menanggulangi bencana, maka bencana tersebut akan
dibagi menjadi 4 fase, yaitu:

1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana (prevention and preparedne phase)


2. Fase tindakan (responsephase) yang terdiri dari fase akut (acute phase) dan fase sub akut
(subacute phase)
3. Fase pemulihan (recovery phase)
4. Fase rehabilitasi / rekonstruksi.

Fase fase ini terjadi secara berurutan sebelum dan sesudah bencana, dan tindakan terhadap
bencana pertama berhubungan dengan kesiapsiagaan untuk bencana selanjutnya, sehingga hal ini
disebut siklus bencana

16
1. Fase pencegahan dan kesiapsiagaan bencana Fase kesiapsiagaan adalah fase dimana
dilakukan persiapan yang baik dengan memikirkan berbagai tindakan untuk meminimalsisir
berbagai kerugian yang ditimbulkan akibat bencanadan menyusun perencanaan agar dapat
melakukan kegiatan pertolongan serta perawatan yang efektif pada saat terjadi bencana.
Tindakan terhadap bencana menurut PBB ada 9 kerangka, yaitu:
a. Pengkajian terhadap kerentanan
b. membuat perencanaan ( pencegahan bencana)
c. Pengorganisasian
d. Sistem informasi
e. Pengumpulan sumber daya
f. Sistem alarm
g. Mekanisme tindakan
h. Pendidikan dan pelatihan penduduk
i. Gladi resik.
2. Fase tindakan Fase tindakan adalah fase dimana dilakukan berbagai aksi darurat yang nyata
untuk menjaga diri sendiri dan harta kekayaan. Aktivitas yang dilakukan secara kongkret
yaitu :
a. Instruksi pengungsian
b. Pencarian dan penyelamatan korban
c. Menjamin qkeamanan dilokasi bencana
d. Pengkajian terhadap kerugian akibat bencana
e. Pembagian dan penggunaan alat perlengkapan pada kondisi darurat,
f. Pengiriman dan penyerahan barang material
g. Menyediakan tempat pengungsian dan lain-lain
3. Fase pemulihan Fase pemulihan dibedakan secara akurat dari dan sampai kapan, tetapi fase
ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat dengan kemampuannya sendiri dapat
memulihkan fungsinya seperti sedia kala, ( sebelum terjadi bencana), orang-orang melakukan
perbaikan darurat tempat tinggalnya, pindah kerumah sementara, mulai masuk sekolah
ataupun bekerja kembali sambil memulihkan lingkungan tempat tinggalnya.
Kemudian mulai dilakukan rehabilitasi lifeline dan aktivitas untuk membuka kembali
usahanya. Institusi pemerintah juga memulai memberikan kembali pelayanan seqqcara
normal serta mulai menyusun rencana-rencana untuk rekonstruksi sambil terus memberikan
bantuan kepada para korban. Fase ini bagaimanapun juga hanya merupakan fase pemulihan
dan tidak sampai mengembalikan fungsi-fungsi normal seperti sebelum bencana terjadi.
Dengan kata lain, fase ini merupakan masa peralihan dari kondisi darurat ke kondisi tenang.
4. Fase Rehabilitasi / Rekonstruksi. Jangka waktu fase Rehabilitasi / Rekonstruksi juga tidak
dapat ditentukan, namun ini merupakan fase dimana individu atau masyarakat berusaha

17
menegembalikan fungsi-fungsinya seperti sebelum bencana dan merencanakan rehabilitasi
terhadap seluruh komunitas. Tetapi, seseorang atau masyarakat tidak dapat kembali pada
keadaan yang sama seperti sebelum mengalami bencana, sehingga dengan menggunaan
pengalamannya tersebut diharapkan kehidupan individu serta keadaan komunitas pun dapat
dikembangkan secara progresif.

2.12. Penanggulangan Bencana di Bidang Kesehatan

Dengan melihat faktor resiko yang terjadi akibat bencana, maka penanggulangan bencana
sector kesehatan bisa dibagi menjadi aspek medis dan aspek kesehatan masyarakat. Pelaksanaanya
tentu harus melakukan koordinasi dan kloaborasi dengan sector dan program terkait. Berikut ini
merupakan ruang lingkup bidang pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan, terutama saat
tanggap darurat dan pasca bencana.

1. Sanitasi darurat. Kegiatannya adalah penyediaan serta pengawasan air bersih dan
jamban :kualitas tempat pengungsian, serta pengaturan limbah sesuai standard. Kekurangan
jumlah maupun kualitas sanitasi ini akan meningkatkan resiko penularan penyakit.
2. Pengendalian vector. Bila tempat pengungsian dikategorikan tidak ramah, maka kemungkinan
terdapat nyamuk dan vector lain disekitar pengungsi. Ini termasuk timbunann sampah dan
genagan air yang memungkinkan tejadinya perindukan vector. Maka kegiatan pengendalian
vector terbatas saat diperlukan baik dalam bentuk spraying, atau fogging, larvasiding, maupun
manipulasi lingkungan.
3. Pengendalian penyakit. Bila dari laporan pos pos kesehatan diketahui terdapat peningkatan
kasus penyakit, terutama yang berpotensi KLB, maka dilakukan pengendalian melalui
intensifikasi penatalaksanaan kasus serta penanggulangan faktor resikonya. Penyakit yang
memerlukan perhatian adalah diare dan ISPA.
4. Imunisasi terbatas. Pengungsi pada umumnya rentan terhadap penyakit, terutama orang tua, ibu
hamil, bayi dan balita. Bagi bayi dan balita perlu imunisasi campak bila dalam catatan program
daerah tersebut belum mendapatkan crash program campak.
Jenis imunisasi lain mungkin diperlukan ssuai dengan kebutuhan setempat seperti yang
dilakukan untuk mencegah kolera bagi sukarelawan di Aceh pada tahun 2005 dan Kegiatan ini
dilakukan untuk memperoleh informasi epidemologi penyakit potensi KLB dan faktor
resiko.atas informasi inilah maka dapat ditentukan pengendalian penyakit, pengendalian vector,
dan pemberian imunisasi, informasi epidemologi yang harus diperoleh melalui kegiatan
surveilens epidemologi adalah :
a. Reaksi social
b. Penyakit menular
c. Perpindahan penduduk

18
d. Pengaruh cuaca
e. Makanan dan gizi
f. Persediaan air dan sanitasi
g. Kesehatan jiwa h. Kerusakan infrastruktur kesehatan.

Menurut DepKes RI (2006a) untuk mengetahui manajemen penanggulangan bencana secara


berkesinambungan, perlu dipahami siklus penanggulangan bencana dan peran tiap komponen pada
setiap tahapan, sebagai berikut:

1. Kejadian bencana (impact) Kejadian atau peristiwa bencana yang disebabkan oleh alam atau
ulah manusia, baik yang terjadi secara tiba-tiba atau perlahan-lahan, dapat menyebabkan
hilangnya jiwa manusia, trauma fisik dan psikis, kerusakan harta benda dan lingkungan, yang
melampaui kemampuan dan sumberdaya masyarakat untuk mengatasinya.
2. Tanggap darurat (acute response) Upaya yang dilakukan segera setelah kejadian bencana yang
bertujuan untuk menanggulangi dampak yang timbul akibat bencana, terutama penyelamatan
korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian.
3. Pemulihan (recovery) Proses pemulihan kondisi masyarakat yang terkena bencana baik dampak
fisik dan psikis, dengan memfungsikan kembali sarana dan prasarana pada keadaan semula. Hal
ini dilakukan dengan memperbaiki prasaran dan pelayanan dasar (jalan, listrik, air bersih, pasar,
Puskesmas dll) dan memulihkan kondisi trauma psikologis yang dialami anggota masyarakat.

BAB III
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Di beberapa daerah di Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana. Dengan banyaknya
bencana, kesiagaan dan pelaksanaan tanggap bencana harus dilakukan dengan baik. Karena

19
dampak yang ditimbulkan bencana tidaklah sederhana, maka penanganan korban bencana
harus dilakukan dengan terkoordinasi dengan baik sehingga korban yang mengalami berbagai
sakit baik fisik, sosial, dan emosional dapat ditangani dengan baik dan manusiawi. Perawat
sebagai kaum yang telah dibekali dasar-dasar kejiwaan kebencanaan dapat melakukan
berbagai tindakan tanggap bencana. Seharusnya modal itu dimanfaatkan oleh mahasiswa
keperawatan agar secara aktif turut melakukan tindakan tanggap bencana.
4.2. Saran
Perawat adalah tenaga kesehatan yang sangat berkompeten untuk melakukan pelayanan
kesehatan di daerah yang sedang mengalami bencana, oleh karena itu diharapkan bagi mahasiswa
keperawatan maupun perawat yang sudah berpengalaman dalam praktik pelayanan kesehatan mau
untk berperan dalam penanggulangan bencana yang ada di sekitar kita. Karena ilmu yang didapat
di bangku perkuliahan sangat relevan dengan yang terjadi di masyarakat, yaitu fenomena masalah
kesehatan yang biasanya muncul di tempat yang sedang terjadi bencana.

20
DAFTAR PUSTAKA
Wulandari, Sri. Dkk. 2017.Asuhan Keperawatan Pada Agregat dalam Komunikasi Populasi
Rentan :Penyakit Mental, Kecacatan, dan Populasi Terlantar .
Darmawan, Lili. Dkk. 2017. Penyakit Mental, Kecacatan dan Populasi Terlantar. Imam B,
Aisiyah. Dkk.2017. Askep Pada Agregat dalam Komunitas Populasi Rentan (Penyakit Mental,
Kecacatan, dan Populasi Terlantar).

21

Anda mungkin juga menyukai