Oleh:
Ria Augusta Selge Manullang
20/475562/KG/12387
Pembimbing:
drg. Yosaphat Bayu Rosanto, M.DSc, Sp.BMM
Anestesi lokal berfungsi untuk meghilangkan rasa sakit ketika dilakukan tindakan
invansif, sehingga sering digunakan di bidang kedokteran gigi. Anestesi lokal yang sering
digunakan dalam perawatan dental adalah Lidocaine. Mekanisme kerja anestesi Lidocaine
yaitu mengganggu konduksi syaraf dengan menghambat saluran ion natrium sehingga Na+
tidak bisa masuk, hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan ambang depolarisasi dan
kegagalan potensial aksi impuls syaraf. Administrasi anestesi lokal yang tidak tepat dapat
menyebabkan komplikasi lokal dan sistemik. Komplikasi lokal yang umum terjadi yaitu
edema, trismus, dan hematoma. Komplikasi sistemik yang sering terjadi yaitu reaksi
psikogenik, toksisitas sistemik, alergi, dan methemoglobinemia.
Toksisitas sistemik merupakan komplikasi anestesi lokal yang dapat disebabkan oleh
injeksi pada area bervaskularisasi tinggi. Injeksi intravaskular dapat menyebabkan toksisitas
sistemik karena konsentrasi anestesi lokal meningkat pada plasma darah. Injeksi intra-arterial
anestesi lokal menyebabkan terjadinya retrograde flow, sehingga agen anestesi masuk ke
sirkulasi serebral. Gejala toksisitas sistemik anestesi lokal yang menyerang sistem syaraf
pusat antara lain yaitu eksitasi, kejang, kehilangan kesadaran, dan henti nafas.
Status epileptikus adalah kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit atau kejang
berulang yang berlangsung lebih dari 30 menit disertai kehilangan kesadaran. Status
epileptikus merupakan kejadian emergensi yang dapat terjadi di praktik kedokteran gigi dan
mengancam nyawa pasien. Kejadian kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat
menyebakan kerusakan struktural dari sistem syaraf pusat. Laporan kasus ini membahas
kejadian status epileptikus diikuti kehilangan kesadaran setelah injeksi anestesi blok nervus
alveolaris inferior pada pasien dewasa sehat. Pasien yang mengalami status epileptikus
biasanya tidak memiliki riwayat epilepsi. Kesimpulan dari laporan kasus yaitu tindakan
aspirasi sebelum injeksi anestesi lokal penting untuk dilakukan agar mencegah terjadinya
injeksi intravaskular yang dapat menyebabkan toksisitas sistemik. Dokter gigi harus
memahami gejala yang timbul akibat toksisitas sistemik anestesi lokal. Penanganan status
epileptikus harus dilakukan dengan tepat, sehingga dokter gigi perlu pelatihan bantuan hidup
dasar untuk menangani pasien ketika kehilangan kesadaran.
Kata kunci: status epileptikus, kejang, anestesi lokal, Lidocaine, dan komplikasi anestesi
lokal.
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Anestesi lokal banyak digunakan dalam prosedur dental untuk meredakan rasa
nyeri pada pasien ketika dilakukan tindakan invansif seperti tindakan bedah.
Teknik anestesi lokal pada kedokteran gigi yang sering digunakan yaitu anestesi
blok, infiltrasi, dan topikal (Tom dan Aps, 2019). Anestesi lokal yang sering
digunakan dalam perawatan dental salah satunya adalah Lidocaine (Decloux dan
Ouanounou, 2021). Lidocaine merupakan anestesi golongan amida yang memiliki
mekanisme kerja yaitu dengan menghambat aktivasi kanal sodium (Na +) sehingga
konduksi impuls saraf menjadi terganggu (Rahimi dkk., 2018). Pemberian anestesi
lokal yang tidak tepat ketika melakukan prosedur perawatan dental dapat
menyebabkan komplikasi secara lokal dan sistemik. Komplikasi lokal yang biasa
terjadi yaitu rasa sakit saat injeksi, jarum suntik patah, perpanjangan efek anestesi,
edema, trismus, hematoma, dan luka pada jaringan lunak. Komplikasi sisemik
akibat anestesi lokal antara lain reaksi psikogenik, toksisitas sistemik, alergi, dan
methemoglobinemia (Boparai dkk., 2019; Tripathy, 2020).
Toksisitas sistemik akibat anestesi lokal dapat bermanifestasi sebagai
toksisitas sistem syaraf pusat (CNS) dan sistem kardiovaskular (CVS) (Rahimi
dkk.,2018). Toksisitas sistemik anestesi lokal dapat disebabkan karena dosis yang
tidak tepat, injeksi intravaskular, dan absorbsi ke pembuluh darah terlalu cepat
karena injeksi dilakukan di area yang memiliki banyak pembuluh darah. Injeksi
intravaskular merupakan penyebab yang paling sering terjadinya toksisitas
sistemik. Injeksi intravaskular anestesi lokal dapat menyebabkan toksisitas
sistemik karena agen anestesi dalam plasma meningkat, sehingga pasien dapat
mengalami kehilangan kesadaran, kejang, detak jantung tidak stabil serta kolaps
kardiovaskular (Boparai dkk., 2019; Santamaria dkk., 2017).
Kasus kejang setelah pemberian anestesi lokal merupakan kejadian emergensi
yang dapat terjadi ketika tindakan perawatan dental (Townsend dkk., 2020).
Kejadian kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dinamakan status
epileptikus. Penanganan pasien yang mengalami status epileptikus harus
dilakukan dengan tepat karena status epileptikus yang berkepanjangan memiliki
prognosis buruk. Status epileptikus dapat disebabkan karena gangguan metabolik,
genetik, inflamasi, infeksi, dan toksisitas (Trinka dkk., 2015). Jurnal ini
menyajikan kasus status epileptikus pasca pemberian anestesi lokal Lidocaine
pada pasien yang memiliki riwayat kesehatan baik.
B. Tujuan
Studi literatur ini bertujuan untuk menginformasikan pentingnya memahami
prosedur injeksi anestesi yang tepat untuk menghindari terjadinya toksisitas
sistemik dan pengenalan gejala awal dari toksisitas sistemik anestesi lokal salah
satunya yaitu kejang, serta penanganan emergensi yang tepat apabila pasien
mengalami kejang saat tindakan perawatan dental.
B. Anestesi Lokal
Anestesi lokal banyak digunakan di bidang kedokteran gigi karena berfungsi
untuk menghilangkan rasa sakit ketika dilakukan tindakan perawatan dental.
Anestesi lokal bekerja di dalam serabut saraf dengan menurunkan permeabilitas
membran sel terhadap ion natrium sehingga mencegah terjadinya potensial aksi.
(Tom dan Aps, 2015). Anestesi lokal dibagi menjadi 2 golongan yaitu tipe amida
dan ester. Anestesi lokal golongan amida antara lain adalah Lidocaine, Articaine,
Bupivacaine, Mepivacaine, dan Prilocaine. Anestesi lokal golongan ester antara
lain yaitu Procaine, Benzocaine, dan Tetracaine (Kim dkk., 2020). Golongan ester
jarang digunakan di bidang kedokteran gigi, namun golongan ester biasanya
digunakan dalam bentuk sediaan anestesi topikal sebelum dilakukan injeksi di
mukosa oral untuk mengurangi rasa sakit pada pasien (Decloux dan Ouanounou,
2021). Komposisi anestesi lokal terdiri dari agen anestesi lokal, vasokonstrikor,
sodium metabisulfat, metil paraben, sodium klorida, dan H2O steril (Jaan dkk.,
2020).
Onset dan durasi anestesi lokal dipengaruhi beberapa faktor. Onset anestesi
lokal dipengaruhi oleh dua faktor yaitu kelarutan dalam lipid dan PKa agen
anestesi. Semakin tinggi tingkat kelarutan dalam lemak, maka semakin besar
potensi agen anestesi tersebut. Onset anestesi lokal berkaitan dengan proporsi
molekul yang berubah menjadi struktur yang larut dalam lipid ketika berada di pH
fisiologis yaitu pH 7,4, oleh sebab itu anestesi lokal sulit bekerja pada pasien yang
mengalami infeksi sebab suasana pHnya bersifat asam (pH 5,2) dan molekulnya
bersifat larut dalam air. Faktor PKa dalam onset anestesi lokal yaitu semakin
tinggi PKa anestesi lokal, semakin sedikit molekul yang larut dalam lipid,
sehingga onset anestesi lokal semakin lama (Decloux dan Ouanounou, 2021).
Durasi kerja obat anestesi lokal dipengaruhi oleh dua faktor yaitu tingkat
pengikatan protein dan redistribusi protein. Semakin tinggi tingkat pengikatan
protein dan redistribusi protein semakin lama durasi anestesi lokal bekerja. Area
injeksi dengan vaskularisasi tinggi akan memiliki tingkat redistribusi agen
anestesi lokal yang tinggi sehingga obat akan cepat diserap ke dalam sirkulasi
sistemik (Decloux dan Ouanounou, 2021; Kim dkk., 2020).
Potensi dan durasi anestesi lokal dibagi menjadi beberapa klasifikasi. Anestesi
lokal dengan potensi rendah dan durasi pendek antara lain yaitu Procaine dan
Chloroprocaine, potensi dan durasi intermediet antara lain Lidocaine dan
Prilocaine, potensi tinggi dan durasi panjang antara lain Bupivacaine dan
Tetracaine (Jaan dkk., 2020). Anestesi lokal bupivacaine memiliki daya ikat
protein yang tinggi sehingga mampu memberikan durasi anestesi yang lebih lama
(Decloux dan Ouanounou, 2021; Kim dkk., 2020).
C. Lidocaine
Lidocaine merupakan salah satu agen anestesi lokal golongan amida (Gambar
1) yang mulai digunakan pada tahun 1948. Lidocaine banyak digunakan untuk
anestesi infiltrasi, anestesi epidural, dan anestesi blok (Yu dkk., 2019).
Mekanisme kerja Lidocaine sebagai agen anestesi yaitu mengganggu konduksi
syaraf dengan menghambat saluran ion natrium sehingga Na+ tidak bisa masuk,
hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan ambang depolarisasi dan kegagalan
potensial aksi impuls syaraf (Rahimi dkk.,2018). Daya ikat Lidocaine terhadap
protein sebesar 60-80% dan sebagian besar mengikat α-1-acidic glycoprotein.
Lidocaine mampu melintasi sawar darah otak melalui difusi pasif dalam bentuk
terionisasi dan tidak terionisasi. Sebanyak 25% Lidocaine pada kondisi fisiologis
pH 7,4 memiliki bentuk tidak terionisasi (Hermanns dkk., 2019).
b. Reaksi psikogenik
Reaksi psikogenik biasanya disebabkan kecemasan pasien terhadap
tindakan dental atau adrenaline sebagai vasokonstriktor pada anestesi
lokal (Tripathy, 2020). Reaksi psikogenik yang sering terjadi adalah
sinkop dan merupakan kejadian emergensi yang dapat terjadi saat
perawatan dental. Sinkop merupakan kejadian pasien kehilangan
kesadarannya dan tekanan darah pasien menurun. Gejala yang dapat
timbul antara lain yaitu mual, muntah, hiperventilasi, pucat, dan
berkeringat (Mohideen dkk., 2017). Pencegahan terjadi reaksi psikogenik
dapat dilakukan dengan membuat pasien nyaman selama tindakan
perawatan dental dan apabila pasien memiliki rasa kecemasan berlebih
dapat diberikan obat penenang sebelum dilakukan tindakan dental
(Subramaniam dkk., 2019; Tripathy, 2020).
Penanganan pasien sinkop ketika tindakan perawatan dental yaitu
menghentikan prosedur perawatan dan pasien diposisikan tredelenburg
yaitu kaki pasien lebih tinggi daripada kepala pasien dengan tujuan agar
aliran darah menuju kepala. Periksa circulation, airway, dan breathing
pasien, untuk membebaskan airway dengan teknik Head tilt-Chin lift.
Pasien diadministrasikan oksigen 8-10 liter/menit dan cek vital sign
pasien. Apabila pasien tidak kunjung sadarkan diri maka lakukan CPR
dan segera panggil ambulans (Mohideen dkk., 2017).
c. Alergi
Alergi merupakan reaksi hipersensitivitas yang dimediasi
immunoglobulisn E tipe I atau sel T tipe IV. Alergi anestesi lokal
golongan amida jarang terjadi, namun sekitar 0,1-1% insidensi alergi
terjadi pada obat anestesi Lidocaine. Pencegahan reaksi alergi anestesi
lokal pada pasien dapat dilakukan dengan skin prick test untuk
memastikan apakah pasien memiliki alergi terhadap anestesi lokal, jika
hasilnya negatif maka dilakukan intradermal test dengan konsentrasi
rendah dan secara bertahap konsetrasinya ditingkatkan (Decloux dan
Ouanounou, 2021; Tripathy, 2020).
Reaksi alergi paling sering terjadi pada anestesi lokal golongan ester
yaitu Benzocaine yang banyak digunakan secara topikal. Alergi
Benzocaine dapat menimbulkan apthous ulcer pada beberapa pasien.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa reaksi alergi dapat disebabkan
karena anestesi lokal dengan vasokonstriktor mengandung sodium
metabisulfat sebagai bahan pengawet (Decloux dan Ouanounou, 2021).
Tanda dan gejala pasien yang mengalami reaksi alergi dapat
dikategorikan menjadi gejala ringan dan gejala berat. Gejala ringan reaksi
alergi antara lain urtikaria, eritama, dan rasa gatal. Reaksi alergi yang
parah dengan gejala berat dan dapat mengancam jiwa disebut anafilaksis.
Gejala anafilaksis dapat melibatkan sistem pernafasan seperti mengi dan
angioedema yang menyebabkan dyspnea serta dapat melibatkan sistem
gastrointestinal seperti melilit, mual, dan diare (Decloux dan Ouanounou,
2021; Tripathy, 2020).
Anafilaksis merupakan kegawat daruratan yang dapat terjadi pada
praktik dokter gigi sehingga harus dilakukan penanganan yang tepat
(Gambar 2). Penanganan anafilaksis yaitu dengan menghentikan kontak
allergen dan periksa airway, breathing dan circulation pasien, kemudian
meminta bantuan emergency service. Segera baringkan pasien dan
angakat kaki pasien ke posisi lebih tinggi. Berikan oksigen 15 liter / menit
dan pantau saturasi oksigen dengan oksimeter. Apabila gejala yang
ditimbulkan berat, lakukan injeksi intramuskular Adrenalin 500 mcg dan
pantau airway, breathing, dan circulation pasien. Injeksi intramuskular
Adrenaline dapat dilakukan kembali setelah 5 menit apabila gejala berat
belum berkurang (Jevon dan Shamsi, 2020).
III. Metode
Metode yang digunakan dalam studi ini menggunakan metode kualitatif
dengan peninjauan 32 literatur. Sumber pustaka diperoleh dari jurnal internasional
yang tersedia di Google Scholar, Science Direct, Pubmed, PMC, Elsevier, Springer,
Hindawi, dan Scopus. Tinjauan pustaka dilakukan setelah pembuatan rumusan
masalah dan tujuan, lalu dipilih menggunakan Boolean Algebra dengan kata kunci
status epileptikus, kejang, anestesi lokal, Lidocaine, dan komplikasi anestesi lokal.
Pustaka yang masuk dalam kriteria inklusi yaitu sedikitnya terdapat satu kata kunci
dan dipublikasikan tahun 2015-2021. Pustaka yang masuk dalam kriteria inklusi
kemudian ditinjau dan dianalisis datanya.
IV. Hasil
Seorang perempuan berusia 15 tahun datang ke dokter gigi untuk melakukan
perawatan endodontik. Dokter gigi yang merawatnya memberikan injeksi anestesi
lokal Lidocaine 2% sebanyak 1,5 ml (dosis total 30 mg) dan Epinefrin 1:100.000
untuk anestesi blok nervus alveolaris inferior. Injeksi dilakukan di sisi kiri tanpa
dilakukan aspirasi. Injeksi dilakukan selama dua menit dan diakhir injeksi anestesi,
pasien kehilangan kesadaran diikuti kejang tonik-klonik secara intermiten. Pasien
mengalami kejang sekitar selama 30 menit dan masih dalam kondisi tidak sadarkan
diri, sehingga pasien segera dilarikan ke ruang gawat darurat.
Pasien memiliki riwayat medis yang sehat dan riwayat kesehatan keluarga
tidak berkontribusi dalam kejadian kejang yang dialami pasien. Hasil pemeriksaan
pasien memiliki nilai tingkat kesadara berskala 3 berdasarkan Glasglow Coma Scale
(GCS), refleks batang otak baik, tidak mengalami demam, dan tanda vital pasien
dalam batas normal. Pemeriksaan intraoral ditemukan adanya edema dan hematoma
yang luas pada gingiva sisi kiri dan pemeriksaan ekstraoral terlihat adanya
pembengkakan pada pipi kiri pasien. Pemeriksaan diskus optikus tidak menunjukan
adanya edema. Hasil elektrokardiogram (EKG) normal kecuali sinus takikardia pasien
120 bpm dan hasil elektrosefalografi (EEG) menunjukan aktivitas difus lambat,
didominasi irama theta, serta tidak ada tanda status epileptikus berkelanjutan.
Pemeriksaan computed tomography (CT) pada otak menunjukan adanya penurunan
diferensiasi white-grey matter disertai penipisan sulkus serebral yang menandakan
adanya edema serebral.
Hasil MRI, MRV (Gambar 3), dan MRA (Gambar 4) otak menunjukan adanya
edema serebral, lesi T2 hipertens bilateral dan hampir simetris dengan difus terbatas
pada lobus frontal dan oksipital (Gambar 5), serta tidak ditemukan adanya cerebral
venous thrombosis (CVT). Pungsi lumbal dilakukan dan menunjukan hasil adanya
peningkatan protein 50 mg/dl, limfosit 10%, dan pemeriksaan gram stain menunjukan
hasil negatif menandakan tidak ada infeksi bakteri. Hasil pemeriksaan gula darah 50
mg/dl dan glukosa cairan serebrospinal (CSF) 70 mg/dl. Pemeriksaan laboratorium
seperti kadar kalsium, albumin, magnesium, natrium, kalium, kreatinin, urea, Liver
Function Test (LFTs), Complete Blood Count (CBC), jumlah trombosit (Plt), PT,
PTT, dan INR menunjukan hasil dalam batas normal, namun hasil troponin negatif.
V. Pembahasan
Anestesi lokal Lidocaine merupakan anestesi lokal golongan amida yang
memiliki mekanisme kerja mengganggu konduksi syaraf dengan menurunkan
permeabilitas membran syaraf dan menghambat saluran ion natrium, sehingga Na+
tidak bisa masuk, hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan ambang depolarisasi
dan kegagalan potensial aksi impuls syaraf (Rahimi dkk.,2018). Pemberian anestesi
lokal Lidocaine dosis rendah menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh darah,
namun pada dosis tinggi dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan
penurunan systemic vascular resistance (SVR) (Busardo dkk., 2015; Zhang dkk.,
2016). Penambahan adrenaline sebagai vasokonstriktor pada agen anestesi lokal dapat
menurunkan absorbsi Lidocaine dan memperpanjang durasi anestesi. Adrenaline
merupakan agen vasopressor yang bersifat adrenergik non-selektif yaitu bekerja
menstimulasi α- dan β-adrenergic receptors (Decloux dan Ouanounou, 2021).
Toksisitas sistemik anestesi lokal pada sistem syaraf pusat biasanya terjadi
mendahului toksisitas sistem kardiovaskular. Munculnya gejala toksisitas sistemik
disebabkan karena terjadi blokade jalur inhibitor pada korteks serebral. Hal ini dapat
memungkinkan terjadi disinhibisi neuron yang mengakibatkan aktivasi sel eksitatori
secara berlebihan, sehingga biasanya muncul tanda dan gejala seperti kepala terasa
ringan dan pusing, sulit fokus, tinnitus, kebingungan, mati rasa di sekitar mulut.
Tanda dan gejala eksitasi yang terlihat karena toksisitas anestesi lokal antara lain yaitu
menggigil, mioklonus, tremor, kontraksi otot, dan kejang tonik-klonik. Gejala eksitasi
sistem syaraf pusat kemudian diikuti dengan tanda-tanda depresi sistem syaraf pusat.
Aktivitas kejang biasanya berlangsung cepat kemudian diikuti depresi pernafasan atau
henti nafas (Boparai dkk., 2019; El-Boghdadly dan Chin., 2016).
Toksisitas sistemik dapat terjadi tidak hanya disebabkan injeksi anestesi lokal
dengan dosis berlebih, namun dapat terjadi ketika injeksi dilakukan di area
vaskularisasi tinggi dan berisiko terjadi injeksi intraarteri atau intravena. Kejadian
injeksi intravaskular dapat menyebabkan toksisitas sistemik dan ditandai dengan
adanya komplikasi lokal yaitu hematoma pada area gingiva. Hematoma yang terjadi
disebabkan karena jarum anestesi melukai dinding pembuluh darah sehingga darah
keluar dari pembuluh darah dan merembes ke jaringan (Tripathy, 2020).
Suplai darah di area kepala dan wajah berasal dari arteri karotis eksterna yang
salah satu cabangnya yaitu arteri maksilaris interna. Menurut Kostadinov dkk. (2019)
anestesi lokal dapat mencapai sistem syaraf pusat salah satunya yaitu melalui injeksi
intraarteri. Larutan anestesi yang secara tidak sengaja terinjeksi pada cabang arteri
karotis eksterna dalam kasus ini yaitu injeksi arteri alveolaris inferior yang merupakan
salah satu cabang arteri maksilaris, dapat menimbulkan efek samping merugikan yaitu
terjadinya retrograde flow, sehingga larutan anestesi mengalir ke arteri karotis interna
dan langsung menuju otak tanpa harus melewati sirkulasi sistemik. Teori “reverse
carotid flow” ini didukung oleh hasil peneltitan Aldrete dkk. (1977) yaitu ditemukan
konsentrasi Lidocaine yang tinggi pada arteri karotis interna segera setelah dilakukan
injeksi Lidocaine pada arteri fasialis anjing.
Kasus ini memiliki diagnosis banding yaitu meningitis aseptik dan ensefalitis
karena hasil pemeriksaan menujukan gula darah pasien 50 mg/dl dan glukosa cairan
serebrospinal (CSF) 70 mg/dl. Kedua diagnosis banding tersebut ditolak karena
pasien tidak mengalami demam, terjadi kejang akut, pemulihan pasien cepat, dan
pemeriksaan MRI tidak menunjukan gejala meningitis maupun ensefalitis, sehingga
pemeriksaan lanjut PCR tidak dilakukan. Diagnosis banding berupa emboli udara juga
ditolak karena larutan anestesi yang diinjeksikan adalah 1,5 ml sehingga gelembung
udara dengan ukuran signifikan tidak ditemukan, jika larutan anestesi diinjeksi secara
intraarteri maka kejang berulang daripada kejang tunggal selama setengah jam tidak
terjadi karena injeksi berlangsung dengan singkat, dan jika larutan anestesi disuntikan
secara intravena maka tidak mungkin gelembung udara melebihi kapasitas
penyaringan udara dari pembuluh darah paru-paru (>0,3 ml/kg/menit). Emboli udara
pada arteri serebral merupakan komplikasi injeksi anestesi blok nervus alveolaris
inferior yang dapat menimbulkan gejala berupa sakit kepala, kejang, kehilangan
kesadaran hingga koma. Pencegahannya dapat dilakukan dengan melakukan aspirasi
terlebih dahulu sebelum injeksi anestesi lokal (Gillespie dan Gunsolly, 2020).
Hasil pemeriksaan MRI ditemukan adanya difusi bilateral terbatas pada lobus
frontal, parietal, dan oksipital. Hal ini mungkin disebabkan karena injeksi Lidocaine
dapat menyebabkan vasokonstriksi dari pembuluh darah dalam dosis yang rendah dan
pada kasus ini Lidocaine yang diinjeksikan 1,5 ml dengan dosis total 30 mg (Zhang
dkk., 2016). Hasil pemeriksaan computed tomography (CT) pada otak menunjukan
adanya edema serebral ditandai dengan penurunan diferensiasi white-grey material.
Status epileptikus yang dialami pasien dapat menyebabkan edema fokal otak dan
hipoperfusi fokal bersamaan dapat terjadi dengan gangguan sawar darah otak
(Mendes dan Sampaio, 2016).
Penanganan pasien dengan pemberian Phenytoin menjadi pilihan dengan
pemantauan kardiovaskular karena pemberian Phenytoin pasca injeksi Lidocaine
berisiko menyebabkan toksisitas kardiovaskular. Penggunaan Phenytoin sebaiknya
dihindari dan penanganan epilepsi pasien dapat dilakukan dengan pemberian
Diazepam sebagai pengobatan lini pertama dan Phenobarbital sebagai pengobatan lini
kedua. Pemberian Diazepam dapat dilakukan melalui intravena dengan dosis 10-20
mg untuk orang dewasa dan 0,2-0,3 mg/kg untuk anak-anak. Administrasi diazepam
dilakukan 2-5 mg/menit. Diazepam mencapai konsentrasi yang sesuai pada sistem
syaraf pusat setelah 1 menit administrasi secara intravena dan konsentrasi maksimum
dicapai setelah 15 menit setelah pemberian dosis (Jędrzejczak dkk., 2018).
Phenytoin merupakan obat lini kedua dalam penanganan status epileptikus
ketika Diazepam tidak mampu menangani kejang (Hall dkk., 2020). Phenytoin
bekerja dengan menghambat kanal sodium sehingga ion sodium yang masuk
berkurang. Hal tesebut menyebabkan terjadinya pengurangan rangsangan neuron
kortikal dan stabilitas membran sel pada syaraf pusat. Administrasi Phenytoin dapat
dilakukan melalui intravena dengan dosis 20 mg/kg. Konsentrasi Phenytoin pada
jaringan otak 3-4 kali lebih tinggi dibandingkan pada aliran darah dalam beberapa
jam. Kelebihan penggunaan Phenytoin yaitu memiliki efek terapeutik jangka panjang,
mampu mencapai konsentrasi tinggi pada cairan serebrospinal dengan waktu yang
cepat, dan ketersediaan obat yang luas. Pemberian Phenytoin juga memiliki efek
merugikan yaitu dapat berisiko menyebabkan gangguan aritmia jantung dan hipotensi,
sehingga ketika pemberian Phenytoin monitoring kardiovaskular harus dilakukan
(Jędrzejczak dkk., 2018).
Edema serebral dapat disebabkan karena non-traumatik injuri otak salah
satunya yaitu status epileptikus. Edema serebral dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial yang berisiko pada kematian. Pemberian Mannitol dalam kasus
ini dapat mengurangi tekanan intrakranial pada edema serebral. Mekanisme Mannitol
dalam menurunkan tekanan intrakranial yaitu dengan mengurangi resorbsi air dan
sodium melalui tubulus renal sebagai efek diuretik, meningkatkan perfusi serebral
dengan menurunkan viskositas darah atau mengurangi rigiditas sel darah merah, dan
mengurangi volume darah dengan memicu vasokonstriksi. Pemberian Mannitol
sebelum 24 jam pasca kejadian koma dengan dosis tinggi (~1,4 g/kg) memiliki laju
penyembuhan yang lebih cepat dibandingkan pemberian dosis rendah (~0,7 g/kg)
(Sekarningrum dkk., 2018).
VI. Kesimpulan
Tindakan aspirasi sebelum dilakukan injeksi anestesi lokal sangat penting
dilakukan oleh dokter gigi untuk mengindari injeksi intravaskular yang dapat
menyebabkan toksisitas sistemik. Gejala toksisitas sistem syaraf pusat (CNS) salah
satunya yaitu kejang merupakan kejadian emergensi yang harus dikelola dengan tepat.
Kejang diikuti kehilangan kesadaran pasien dapat terjadi di klinik dental, sehingga
dokter gigi perlu pelatihan CPR dan sebaiknya peralatan resusitasi yang sesuai
tersedia di klinik kedokteran gigi.