Anda di halaman 1dari 24

REVIEW ARTIKEL

Laporan Kasus Status Epileptikus setelah Pemberian Anestesi Lokal pada


Orang Dewasa Sehat

Oleh:
Ria Augusta Selge Manullang
20/475562/KG/12387

Pembimbing:
drg. Yosaphat Bayu Rosanto, M.DSc, Sp.BMM

PROFESI DOKTER GIGI


DEPARTEMEN BEDAH MULUT DAN MAKSILOFASIAL
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2023
IDENTITAS JURNAL

Judul : Case Report Status Epilepticus Following Local Anesthesia In A Previously


Healthy Adult
Penulis : Rana Alnasser Alsukhni , Mohamed Sourat Ghoubari, M.Taher Farfouti, dan
Yasmin Adib Aboras
Tahun : 2016
Jurnal : BioMed Research Note
ABSTRAK

Anestesi lokal berfungsi untuk meghilangkan rasa sakit ketika dilakukan tindakan
invansif, sehingga sering digunakan di bidang kedokteran gigi. Anestesi lokal yang sering
digunakan dalam perawatan dental adalah Lidocaine. Mekanisme kerja anestesi Lidocaine
yaitu mengganggu konduksi syaraf dengan menghambat saluran ion natrium sehingga Na+
tidak bisa masuk, hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan ambang depolarisasi dan
kegagalan potensial aksi impuls syaraf. Administrasi anestesi lokal yang tidak tepat dapat
menyebabkan komplikasi lokal dan sistemik. Komplikasi lokal yang umum terjadi yaitu
edema, trismus, dan hematoma. Komplikasi sistemik yang sering terjadi yaitu reaksi
psikogenik, toksisitas sistemik, alergi, dan methemoglobinemia.
Toksisitas sistemik merupakan komplikasi anestesi lokal yang dapat disebabkan oleh
injeksi pada area bervaskularisasi tinggi. Injeksi intravaskular dapat menyebabkan toksisitas
sistemik karena konsentrasi anestesi lokal meningkat pada plasma darah. Injeksi intra-arterial
anestesi lokal menyebabkan terjadinya retrograde flow, sehingga agen anestesi masuk ke
sirkulasi serebral. Gejala toksisitas sistemik anestesi lokal yang menyerang sistem syaraf
pusat antara lain yaitu eksitasi, kejang, kehilangan kesadaran, dan henti nafas.
Status epileptikus adalah kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit atau kejang
berulang yang berlangsung lebih dari 30 menit disertai kehilangan kesadaran. Status
epileptikus merupakan kejadian emergensi yang dapat terjadi di praktik kedokteran gigi dan
mengancam nyawa pasien. Kejadian kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat
menyebakan kerusakan struktural dari sistem syaraf pusat. Laporan kasus ini membahas
kejadian status epileptikus diikuti kehilangan kesadaran setelah injeksi anestesi blok nervus
alveolaris inferior pada pasien dewasa sehat. Pasien yang mengalami status epileptikus
biasanya tidak memiliki riwayat epilepsi. Kesimpulan dari laporan kasus yaitu tindakan
aspirasi sebelum injeksi anestesi lokal penting untuk dilakukan agar mencegah terjadinya
injeksi intravaskular yang dapat menyebabkan toksisitas sistemik. Dokter gigi harus
memahami gejala yang timbul akibat toksisitas sistemik anestesi lokal. Penanganan status
epileptikus harus dilakukan dengan tepat, sehingga dokter gigi perlu pelatihan bantuan hidup
dasar untuk menangani pasien ketika kehilangan kesadaran.

Kata kunci: status epileptikus, kejang, anestesi lokal, Lidocaine, dan komplikasi anestesi
lokal.
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Anestesi lokal banyak digunakan dalam prosedur dental untuk meredakan rasa
nyeri pada pasien ketika dilakukan tindakan invansif seperti tindakan bedah.
Teknik anestesi lokal pada kedokteran gigi yang sering digunakan yaitu anestesi
blok, infiltrasi, dan topikal (Tom dan Aps, 2019). Anestesi lokal yang sering
digunakan dalam perawatan dental salah satunya adalah Lidocaine (Decloux dan
Ouanounou, 2021). Lidocaine merupakan anestesi golongan amida yang memiliki
mekanisme kerja yaitu dengan menghambat aktivasi kanal sodium (Na +) sehingga
konduksi impuls saraf menjadi terganggu (Rahimi dkk., 2018). Pemberian anestesi
lokal yang tidak tepat ketika melakukan prosedur perawatan dental dapat
menyebabkan komplikasi secara lokal dan sistemik. Komplikasi lokal yang biasa
terjadi yaitu rasa sakit saat injeksi, jarum suntik patah, perpanjangan efek anestesi,
edema, trismus, hematoma, dan luka pada jaringan lunak. Komplikasi sisemik
akibat anestesi lokal antara lain reaksi psikogenik, toksisitas sistemik, alergi, dan
methemoglobinemia (Boparai dkk., 2019; Tripathy, 2020).
Toksisitas sistemik akibat anestesi lokal dapat bermanifestasi sebagai
toksisitas sistem syaraf pusat (CNS) dan sistem kardiovaskular (CVS) (Rahimi
dkk.,2018). Toksisitas sistemik anestesi lokal dapat disebabkan karena dosis yang
tidak tepat, injeksi intravaskular, dan absorbsi ke pembuluh darah terlalu cepat
karena injeksi dilakukan di area yang memiliki banyak pembuluh darah. Injeksi
intravaskular merupakan penyebab yang paling sering terjadinya toksisitas
sistemik. Injeksi intravaskular anestesi lokal dapat menyebabkan toksisitas
sistemik karena agen anestesi dalam plasma meningkat, sehingga pasien dapat
mengalami kehilangan kesadaran, kejang, detak jantung tidak stabil serta kolaps
kardiovaskular (Boparai dkk., 2019; Santamaria dkk., 2017).
Kasus kejang setelah pemberian anestesi lokal merupakan kejadian emergensi
yang dapat terjadi ketika tindakan perawatan dental (Townsend dkk., 2020).
Kejadian kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dinamakan status
epileptikus. Penanganan pasien yang mengalami status epileptikus harus
dilakukan dengan tepat karena status epileptikus yang berkepanjangan memiliki
prognosis buruk. Status epileptikus dapat disebabkan karena gangguan metabolik,
genetik, inflamasi, infeksi, dan toksisitas (Trinka dkk., 2015). Jurnal ini
menyajikan kasus status epileptikus pasca pemberian anestesi lokal Lidocaine
pada pasien yang memiliki riwayat kesehatan baik.

B. Tujuan
Studi literatur ini bertujuan untuk menginformasikan pentingnya memahami
prosedur injeksi anestesi yang tepat untuk menghindari terjadinya toksisitas
sistemik dan pengenalan gejala awal dari toksisitas sistemik anestesi lokal salah
satunya yaitu kejang, serta penanganan emergensi yang tepat apabila pasien
mengalami kejang saat tindakan perawatan dental.

II. Tinjauan Pustaka


A. Status Epileptikus
Status epileptikus adalah kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit atau
kejadian kejang berulang yang berlangsung lebih dari 30 menit disertai kehilangan
kesadaran (Ong dkk., 2015). Insidensi status epileptikus sebesar 5-40 orang dari
100.000 populasi di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia (Marawar dkk., 2018).
Status epileptikus merupakan kejadian emergensi yang harus segera ditangani
karena dapat mengancam keselamatan pasien, sebab kejang yang berlangsung
lebih dari 30 menit dapat menyebakan kerusakan struktural dari sistem syaraf
pusat (Ong dkk., 2015). Status epileptikus dapat dialami oleh semua usia, namun
paling sering terjadi pada anak-anak dan lansia (Al-Sofyani, 2021).
Pasien yang mengalami status epileptikus biasanya tidak memiliki riwayat
epilepsi, sehingga status epileptikus bukan sebuah penyakit melainkan gejala
dengan berbagai etiologi (Trinka dkk., 2015). Etiologi status epileptikus antara
lain yaitu gangguan metabolik, inflamasi, infeksi, genetik, dan toksisitas (Trinka
dkk., 2015). Kejang yang tidak berhenti disebabkan adanya ketidakseimbangan
antara jalur inhibisi GABA (gamma- aminobutyric acid) dan jalur eksitatori asam
glutamat. Adanya disfungsi inhibisi GABA menyebabkan eksitasi berlebihan
sehingga memicu terjadinya kejang berulang (Al-Sofyani, 2021; Fernandez dkk.,
2019). Denyut nadi, tekanan darah, dan tekanan cairan serebrospinal pasien yang
mengalami kejang akan meningkat dengan cepat sehingga laju aliran darah ke
otak juga meningkat (Fernandez dkk., 2019). Status epileptikus dapat
menyebabkan edema fokal otak dan hipoperfusi fokal dapat terjadi bersamaan
dengan gangguan sawar darah otak (Mendes dan Sampaio, 2016).
Kejadian kejang dapat terjadi ketika dilakukan tindakan perawatan dental.
Menejemen kasus kejang di dental klinik yaitu dengan menghentikan perawatan,
melepaskan benda asing dari mulut pasien dan memindahkan benda di sekitar
pasien untuk menghindari cedera. Apabila kejang terjadi di kursi gigi maka
operator memposisikan kursi gigi ke posisi supine, jika memungkinkan pindahkan
pasien ke lantai dengan posisi digulingkan dan berikan bantalan di kepala pasien.
Operator tidak boleh menahan gerakan pasien, namun diperbolehkan untuk
memegang pasien dengan tujuan mencegah pasien terbentur benda di sekitarnya
atau mencegah pasien jatuh dari kursi gigi. Posisikan pasien secara lateral ketika
kejang sudah berhenti dan pasien dalam keadaan sadar, jika pasien tidak sadarkan
diri maka pasien diposisikan supine. Operator harus memastikan jalan nafas
pasien tidak terhambat dan ketika kejang berhenti, pasien mengalami fase postikal
dan biasanya akan tertidur (Mohideen dkk., 2017).
Kejang biasanya berhenti dalam beberapa menit, namun apabila kejadian
kejang terus berlangsung lebih dari 5 menit, maka dapat dilakukan injeksi
intravena Diazepam 10 mg selama 2 menit (2,5 mg setiap 30 detik) atau titrasi
Midazolam intravena 1 mg/menit untuk menghentikan kejang. Injeksi intravena
pada pasien kejang sulit untuk dilakukan, sehingga administrasi Midazolam
melalui intranasal dapat menjadi alternatif. Dosis Midazolam untuk dewasa dan
anak-anak usia >10 tahun yaitu 10 mg, dosis anak usia 5-10 tahun 7,5 mg, dan
usia 1-5 tahun dengan dosis 5 mg. Pengulangan satu kali dosis dapat dilakukan
setelah 10 menit atau dapat diberikan Phenytoin 50 mg setiap 12 jam sekali
sebagai dosis pemeliharaan. Alternatif lain yang dapat diberikan yaitu
Phenobarbital 50 mg. Apabila kejang tidak berhenti lebih dari 5 menit, tidak
mengalami pemulihan kesadaran dan henti nafas, maka tindakan yang harus
dilakukan adalah menelpon ambulans dan berikan bantuan nafas dengan oksigen
8-10 liter/menit dan mulai lakukan cardiopulmonary resuscitation (CPR)
(Mohideen dkk., 2017). Prosedur CPR berdasarkan American Heart Association
(2015) yaitu memeriksa circulation, airway, dan breathing (C-A-B) pasien, jika
nadi tidak teraba, segera lakukan kompresi 100-120 kali/menit pada pertengahan
dada korban (sternum) dengan kedalaman 5-6 cm dan pastikan dada mengembang
terlebih dahulu (recoil) sebelum dilakukan kompresi selanjutnya. Perbandingan
kompresi dan ventilasi yaitu 30 : 2. CPR dilakukan selama 5 siklus atau selama 2
menit kemudian periksa nafas dan nadi pasien, jika sudah kembali maka tindakan
CPR dihentikan (Kwon, 2019).

B. Anestesi Lokal
Anestesi lokal banyak digunakan di bidang kedokteran gigi karena berfungsi
untuk menghilangkan rasa sakit ketika dilakukan tindakan perawatan dental.
Anestesi lokal bekerja di dalam serabut saraf dengan menurunkan permeabilitas
membran sel terhadap ion natrium sehingga mencegah terjadinya potensial aksi.
(Tom dan Aps, 2015). Anestesi lokal dibagi menjadi 2 golongan yaitu tipe amida
dan ester. Anestesi lokal golongan amida antara lain adalah Lidocaine, Articaine,
Bupivacaine, Mepivacaine, dan Prilocaine. Anestesi lokal golongan ester antara
lain yaitu Procaine, Benzocaine, dan Tetracaine (Kim dkk., 2020). Golongan ester
jarang digunakan di bidang kedokteran gigi, namun golongan ester biasanya
digunakan dalam bentuk sediaan anestesi topikal sebelum dilakukan injeksi di
mukosa oral untuk mengurangi rasa sakit pada pasien (Decloux dan Ouanounou,
2021). Komposisi anestesi lokal terdiri dari agen anestesi lokal, vasokonstrikor,
sodium metabisulfat, metil paraben, sodium klorida, dan H2O steril (Jaan dkk.,
2020).
Onset dan durasi anestesi lokal dipengaruhi beberapa faktor. Onset anestesi
lokal dipengaruhi oleh dua faktor yaitu kelarutan dalam lipid dan PKa agen
anestesi. Semakin tinggi tingkat kelarutan dalam lemak, maka semakin besar
potensi agen anestesi tersebut. Onset anestesi lokal berkaitan dengan proporsi
molekul yang berubah menjadi struktur yang larut dalam lipid ketika berada di pH
fisiologis yaitu pH 7,4, oleh sebab itu anestesi lokal sulit bekerja pada pasien yang
mengalami infeksi sebab suasana pHnya bersifat asam (pH 5,2) dan molekulnya
bersifat larut dalam air. Faktor PKa dalam onset anestesi lokal yaitu semakin
tinggi PKa anestesi lokal, semakin sedikit molekul yang larut dalam lipid,
sehingga onset anestesi lokal semakin lama (Decloux dan Ouanounou, 2021).
Durasi kerja obat anestesi lokal dipengaruhi oleh dua faktor yaitu tingkat
pengikatan protein dan redistribusi protein. Semakin tinggi tingkat pengikatan
protein dan redistribusi protein semakin lama durasi anestesi lokal bekerja. Area
injeksi dengan vaskularisasi tinggi akan memiliki tingkat redistribusi agen
anestesi lokal yang tinggi sehingga obat akan cepat diserap ke dalam sirkulasi
sistemik (Decloux dan Ouanounou, 2021; Kim dkk., 2020).
Potensi dan durasi anestesi lokal dibagi menjadi beberapa klasifikasi. Anestesi
lokal dengan potensi rendah dan durasi pendek antara lain yaitu Procaine dan
Chloroprocaine, potensi dan durasi intermediet antara lain Lidocaine dan
Prilocaine, potensi tinggi dan durasi panjang antara lain Bupivacaine dan
Tetracaine (Jaan dkk., 2020). Anestesi lokal bupivacaine memiliki daya ikat
protein yang tinggi sehingga mampu memberikan durasi anestesi yang lebih lama
(Decloux dan Ouanounou, 2021; Kim dkk., 2020).

Tabel 1. Fisikokemikal, famakologikal, dan aplikasi anestesi lokal (Yu dkk.,


2019).
Durasi anestesi lokal dapat diperpanjang dengan penambahan agen
vasokonstriktor. Vasokontriktor menyebabkan pembuluh darah mengalami
vasokontriksi, sehingga obat anestesi terabsorbi dengan lambat ke dalam sistem
sirkulasi darah dan durasi anestesi meningkat (Decloux dan Ouanounou, 2021).
Agen vasokontriktor antara lain yaitu Epinephrine, Fellypressin, dan
Levanordefrine. Epinephrine merupakan agen vasokontriktor yang paling sering
digunakan di kedokteran gigi karena memiliki beberapa keunggulan yaitu
mengurangi toksisitas, meningkatkan efek anestesi, dan hemostatis sehingga
bermanfaat dalam kontrol perdarahan (Amez dkk., 2021). Epinephrine
merupakan vasokonstriktor tipe katekolamin dan bersifat adrenergik non-selektif.
Epinephrine dapat memperkecil diameter pembuluh darah perifer sehingga
meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, oleh sebab itu penggunaan
Epinephrine pada pasien hipertensi perlu dilakukan konsultasi dokter terlebih
dahulu untuk menghindari terjadinya disritmia jantung (Amez dkk., 2021;
Decloux dan Ouanounou, 2021).
Pemberian anestesi lokal kepada pasien harus memperhatikan indikasi dan
kontraindikasi untuk menghindari efek yang merugikan. Indikasi anestesi lokal
dalam perawatan dental antara lain yaitu tindakan ekstrasi gigi, alveoloplasty,
preparasi kavitas yang dalam, bedah periodontal, enukleasi, insisi, dan drainase.
Kontraindikasi pemberian anestesi lokal antara lain yaitu pasien yang memiliki
kecemasan berlebih dan menolak untuk diinjeksi, alergi anestesi lokal, hipertiroid,
perdarahan internal, dan infeksi akut (Jaan dkk., 2020).

C. Lidocaine
Lidocaine merupakan salah satu agen anestesi lokal golongan amida (Gambar
1) yang mulai digunakan pada tahun 1948. Lidocaine banyak digunakan untuk
anestesi infiltrasi, anestesi epidural, dan anestesi blok (Yu dkk., 2019).
Mekanisme kerja Lidocaine sebagai agen anestesi yaitu mengganggu konduksi
syaraf dengan menghambat saluran ion natrium sehingga Na+ tidak bisa masuk,
hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan ambang depolarisasi dan kegagalan
potensial aksi impuls syaraf (Rahimi dkk.,2018). Daya ikat Lidocaine terhadap
protein sebesar 60-80% dan sebagian besar mengikat α-1-acidic glycoprotein.
Lidocaine mampu melintasi sawar darah otak melalui difusi pasif dalam bentuk
terionisasi dan tidak terionisasi. Sebanyak 25% Lidocaine pada kondisi fisiologis
pH 7,4 memiliki bentuk tidak terionisasi (Hermanns dkk., 2019).

Gambar 1. Struktur kimia Lidocaine (Yu dkk., 2019).

Lidocaine dimetabolisme oleh organ liver sebesar 95% melalui N-dealkylation


terutama oleh CYP3A4 sebagai metabolisme farmakologi aktif,
monoethylglycinexylidide (MEGX), glycinexylidide (GX), 2,6-xylidine, dan N-
ethylglycine (EG). Ekskresi Lidocaine melalui urine sebesar 90-95% sebagai sisa
metabolisme. Eleminasi paruh waktu Lidocaine rata-rata 90-120 menit dan dapat
terjadi perpanjangan durasi pada pasien penyakit liver dan gagal jantung
(Hermanns dkk., 2019).
Dosis administrasi Lidocaine sebesar 1-1,5 mg/kg secara intravena dan dosis
maksimum yang biasa digunakan adalah Lidocaine 2% dengan Epinephrine
1:100.000 sebanyak 4.4 mg/kg (Karagoz dan Turkoglu, 2018; Decloux dan dan
Ouanounou, 2021). Lidocaine juga memiliki sifat antikonvulsan pada dosis
rendah, dan dapat menyebabkan rangsangan kejang pada dosis di atas 5 g/mL
(Karagoz dan Turkoglu, 2019). Pemberian dosis anestesi Lidocaine harus
diperhatikan karena overdosis Lidocaine dapat memberikan efek samping yang
merugikan. Toksisitas Lidocaine dapat menganggu sistem saraf pusat dan dapat
menyebabkan parestesi, tremor, kejang, serta kehilangan kesadaran (Yu dkk.,
2019). Lidocaine bersifat larut dalam lemak sehingga mudah untuk melewati
sawar darah otak dan memblokir sinapsis inhibitor kortikal dengan menghambat
pelepasan GABA (gamma- aminobutyric acid) sehingga dapat menyebabkan
eksitasi sistem saraf pusat (Karagoz dan Turkoglu, 2018; Hermanns dkk., 2019).

D. Komplikasi Anestesi Lokal


Komplikasi anestesi lokal dapat terjadi secara lokal dan sistemik. Komplikasi
anestesi secara lokal antara lain yaitu rasa sakit ketika injeksi, trismus, edema,
hematoma, infeksi dan komplikasi ophthalmologic. Komplikasi anestesi secara
sistemik yaitu toksisitas sistemik, reaksi psikogenik, alergi, dan
methemoglobinemia (Tripathy dkk., 2020).
1. Komplikasi lokal :
a. Rasa sakit ketika injeksi
Rasa sakit ketika injeksi anestesi lokal dapat disebabkan oleh beberapa
hal antara lain suhu larutan anestesi, jarum tumpul, kecepatan injeksi,
ukuran jarum suntik, tingkat keasaman larutan anestesi, dan tingkat
kekhawatiran pasien. Anestesi Lidocaine biasanya menyebabkan sensasi
terbakar dan ketika injeksi jarum suntik, pasien biasanya merasakan
kejutan seperti tersengat listrik sehingga biasanya pasien dengan refleks
menggerakan kepalanya, hal ini dapat berisiko terjadinya injuri pada area
injeksi. Pemberian sodium bikarbonat menjadi solusi untuk mengurangi
sensasi terbakar ketika dilakukan injeksi anestesi. Penggantian jarum
suntik yang baru juga perlu dilakukan apabila dilakuakan injeksi multiple
untuk menghindari jarum tumpul (Tripathy, 2020).
b. Trismus
Trismus merupakan kondisi sulit untuk membuka rahang karena
adanya spasme otot mastikasi. Trismus dapat disebabkan karena injeksi
intramuskular sehingga menyebabkan hematoma dan fibrosis, posisi
injeksi yang salah ketika melakukan anestesi blok mandibular, dan
multiple injeksi dengan waktu berdekatan pada area yang sama.
Penanganan trismus akibat anestesi lokal dapat dilakukan dengan
pemberian analgesic dan diet lunak, jika trismus masih dirasakan pasien
maka dapat dilakukan fisioterapi (Decloux dan Ouanounou, 2021;
Tripathy, 2020).
c. Edema
Edema dapat terjadi karena adanya trauma ketika injeksi, infeksi,
alergi, dan perdarahan. Penanganan edema tergantung dari penyebabnya,
jika edema disebabkan karena adanya reaksi alergi maka dapat dilakukan
dengan injeksi intramuskular Epinephrine, pemberian antihistamin, dan
kortikosteroid. Penanganan edema yang disebabkan karena infeksi dapat
diberikan antibiotic (Tripathy, 2020).
d. Hematoma
Hematoma dapat terjadi ketika jarum suntik menusuk struktur
pembuluh darah. Pembuluh darah yang terluka menyebabkan darah keluar
dari celah endothel dan menumpuk di area ekstravaskular. Gejala yang
dapat dirasakan pasien yaitu rasa nyeri, bengkak, dan kemerahan.
Penanganan hematoma dengan memberikan tekanan pada area tersebut
untuk membantu hemostatis pembuluh darah. Hematoma dapat dicegah
dengan aspirasi sebelum dilakukannya injeksi anestesi lokal (Decloux dan
Ouanounou, 2021; Tripathy, 2020).
e. Infeksi
Infeksi dapat terjadi karena adanya penetrasi jarum pada area yang
terkontaminasi. Virus laten dapat teraktivasi kembali jika terjadi trauma
pada prosedur injeksi anestesi, sehingga dapat menyebabkan infeksi.
Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan menginstruksikan pasien
untuk berkumur chlorhexidine glukonat dan tidak melakukan injeksi
anestesi pada area yang mengalami infeksi (Tripathy, 2020).
f. Komplikasi ophthalmologic
Komplikasi ophthalmologic biasanya terjadi ketika administrasi
anestesi blok nervus alveolar inferior. Gejala yang dirasakan antara lain
diplopia, amaurosis, ptosis, mydriasis, dan total opyhalmoplegia. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa komplikasi ini dapat disebabkan karena
injeksi intravaskular pada arteri maksilaris dapat menyebabkan anestesi
lokal mengalami retrograde flow dari arteri meningea media melalui
foramen spinosum kembali ke arteri lakrimal dan optic sehingga
mengakibatkan anestesi saraf kranial III, IV, dan VI. Apabila komplikasi
ini terjadi biasanya dalam beberapa waktu akan teratasi dengan sendirinya
namun sebaiknya dilakukan rujukan ke dokter spesialis (Decloux dan
Ouanounou, 2021).
2. Komplikasi sistemik
a. Toksisitas sistemik
Toksisitas sistemik akibat anestesi lokal dapat bermanifestasi sebagai
toksisitas sistem syaraf pusat (CNS) dan sistem kardiovaskular (CVS)
(Rahimi dkk.,2018). Gejala toksisitas sistemik yang menyerang sistem
syaraf pusat antara lain eksitasi, kejang, kehilangan kesadaran dan
respiratory arrest, sedangkan gejala toksisitas yang menyerang sistem
kardiovaskular antara lain hipertensi, takikardia, dan kontraksi prematur
ventrikular (Tripathy, 2020). Toksisitas sistemik anestesi lokal dapat
disebabkan karena dosis yang tidak tepat, injeksi intravaskular, dan
absorbsi ke pembuluh darah terlalu cepat karena injeksi dilakukan di area
yang memiliki banyak pembuluh darah. Onset reaksi toksisitas sistemik
biasanya muncul beberapa menit setelah dilakukan injeksi anestesi lokal
dengan gejala toksisitas CNS (Boparai dkk., 2019; El-Boghdadly dan
Chin., 2016).
Toksisitas sistemik anestesi lokal terjadi ketika konsentrasi anestesi
lokal meningkat pada plasma darah, hal ini dapat disebabkan oleh injeksi
intra-arterial, injeksi intravena, dan absorbsi sistemik. Injeksi
intravaskular anestesi lokal memiliki efek instan tehadap toksisitas
sistemik dan sistem syaraf pusat secara umum yang pertama kali terkena
dampaknya (Decloux dan Ouanounou, 2021; El-Boghdadly dan Chin.,
2016). Injeksi intra-arterial dapat menyebabkan retrograde flow anestesi
lokal masuk ke dalam sirkulasi serebral dengan gejala yang umum terjadi
yaitu kejang, sehingga harus dilakukan aspirasi terlebih dahulu sebelum
injeksi anestesi lokal untuk menghindari toksisitas sistemik (Kostadinov
dkk., 2019). Aspirasi negatif tidak menutup kemungkinan tetap dapat
menimbulkan efek merugikan karena ada kemungkinan bahwa ujung
jarum berada pada dinding pembuluh darah atau berada di pembuluh
darah kecil sehingga false-negative dapat terjadi (Boparai dkk., 2019; El-
Boghdadly dkk., 2016). Aspirasi disarankan untuk dilakukan setidaknya
dua kali sebelum injeksi anestesi lokal dengan ukuran jarum yang
memadai (>25 gauge) dan deponir larutan anestesi secara perlahan untuk
menghindari terjadinya retrograde blood flow (Ulutürk dkk., 2020).
Pencegahan terjadinya toksisitas sistemik dari injeksi anestesi lokal
yaitu dengan memperhatikan dosis administrasi anestesi lokal berdasarkan
berat badan pasien (Tabel 2), usia, penyakit sistemik, konsumsi obat-
obatan, dan lokasi injeksi anestesi (Decloux dan Ouanounou, 2019;
Tripathy, 2020). Dosis anestesi lokal pada usia bayi dibawah 4 bulan
dikurangi 15% dari dosis normal karena hepatic enzyme system yang
belum matang dan dosis untuk pasien lansia sebaiknya dikurangi 10-20%
karena pada lansia terjadi peribahan elektrofisilogi yang membuat sistem
saraf tepi lansia lebih sensitif terhadap efek anestesi lokal. Pasien dengan
penyakit sistemik seperti penyakit jantung, hati, dan ginjal memiliki
resiko yang lebih tinggi untuk mengalami toksisitas sistemik anestsi lokal
sehingga operator sebaiknya melakukan evaluasi pasien sebelum
administrasi anestesi lokal (El-Boghdadly dan Chin., 2016).

Tabel 2. Dosis maksimal anestesi lokal (Decloux dan Ouanounou,


2019).

b. Reaksi psikogenik
Reaksi psikogenik biasanya disebabkan kecemasan pasien terhadap
tindakan dental atau adrenaline sebagai vasokonstriktor pada anestesi
lokal (Tripathy, 2020). Reaksi psikogenik yang sering terjadi adalah
sinkop dan merupakan kejadian emergensi yang dapat terjadi saat
perawatan dental. Sinkop merupakan kejadian pasien kehilangan
kesadarannya dan tekanan darah pasien menurun. Gejala yang dapat
timbul antara lain yaitu mual, muntah, hiperventilasi, pucat, dan
berkeringat (Mohideen dkk., 2017). Pencegahan terjadi reaksi psikogenik
dapat dilakukan dengan membuat pasien nyaman selama tindakan
perawatan dental dan apabila pasien memiliki rasa kecemasan berlebih
dapat diberikan obat penenang sebelum dilakukan tindakan dental
(Subramaniam dkk., 2019; Tripathy, 2020).
Penanganan pasien sinkop ketika tindakan perawatan dental yaitu
menghentikan prosedur perawatan dan pasien diposisikan tredelenburg
yaitu kaki pasien lebih tinggi daripada kepala pasien dengan tujuan agar
aliran darah menuju kepala. Periksa circulation, airway, dan breathing
pasien, untuk membebaskan airway dengan teknik Head tilt-Chin lift.
Pasien diadministrasikan oksigen 8-10 liter/menit dan cek vital sign
pasien. Apabila pasien tidak kunjung sadarkan diri maka lakukan CPR
dan segera panggil ambulans (Mohideen dkk., 2017).
c. Alergi
Alergi merupakan reaksi hipersensitivitas yang dimediasi
immunoglobulisn E tipe I atau sel T tipe IV. Alergi anestesi lokal
golongan amida jarang terjadi, namun sekitar 0,1-1% insidensi alergi
terjadi pada obat anestesi Lidocaine. Pencegahan reaksi alergi anestesi
lokal pada pasien dapat dilakukan dengan skin prick test untuk
memastikan apakah pasien memiliki alergi terhadap anestesi lokal, jika
hasilnya negatif maka dilakukan intradermal test dengan konsentrasi
rendah dan secara bertahap konsetrasinya ditingkatkan (Decloux dan
Ouanounou, 2021; Tripathy, 2020).
Reaksi alergi paling sering terjadi pada anestesi lokal golongan ester
yaitu Benzocaine yang banyak digunakan secara topikal. Alergi
Benzocaine dapat menimbulkan apthous ulcer pada beberapa pasien.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa reaksi alergi dapat disebabkan
karena anestesi lokal dengan vasokonstriktor mengandung sodium
metabisulfat sebagai bahan pengawet (Decloux dan Ouanounou, 2021).
Tanda dan gejala pasien yang mengalami reaksi alergi dapat
dikategorikan menjadi gejala ringan dan gejala berat. Gejala ringan reaksi
alergi antara lain urtikaria, eritama, dan rasa gatal. Reaksi alergi yang
parah dengan gejala berat dan dapat mengancam jiwa disebut anafilaksis.
Gejala anafilaksis dapat melibatkan sistem pernafasan seperti mengi dan
angioedema yang menyebabkan dyspnea serta dapat melibatkan sistem
gastrointestinal seperti melilit, mual, dan diare (Decloux dan Ouanounou,
2021; Tripathy, 2020).
Anafilaksis merupakan kegawat daruratan yang dapat terjadi pada
praktik dokter gigi sehingga harus dilakukan penanganan yang tepat
(Gambar 2). Penanganan anafilaksis yaitu dengan menghentikan kontak
allergen dan periksa airway, breathing dan circulation pasien, kemudian
meminta bantuan emergency service. Segera baringkan pasien dan
angakat kaki pasien ke posisi lebih tinggi. Berikan oksigen 15 liter / menit
dan pantau saturasi oksigen dengan oksimeter. Apabila gejala yang
ditimbulkan berat, lakukan injeksi intramuskular Adrenalin 500 mcg dan
pantau airway, breathing, dan circulation pasien. Injeksi intramuskular
Adrenaline dapat dilakukan kembali setelah 5 menit apabila gejala berat
belum berkurang (Jevon dan Shamsi, 2020).

Gambar 2. Penanganan anafilkatik dan dosis Injeksi IM Adrenaline


(Jevon dan Shamsi, 2020).
d. Methemoglobinemia
Methemoglobinemia adalah kondisi kandungan besi dalam hemoglobin
stabil dalam bentuk Fe3+ yang tidak dapat mengikat oksigen. Kondisi ini
dapat terjadi ketika pemberian anestesi lokal dalam dosis yang berlebih.
Kondisi methemoglobinemia menyebabkan hemoglobin tidak dapat
mendistribusikan oksigen ke seluruh tubuh, sehingga timbul gejala
sianosis yang dapat diamati pada kuku dan membrane mukosa yang
berwarna pucat. Kasus yang berat dapat menimbulkan sakit kepala,
dyspnea, dan takikardia. Penanganan kasus methemoglobinemia dapat
dilakukan dengan pemberian oksigen dan metilen biru yang merupakan
senyawa heterosiklik aromatic, dapat meningkatkan laju konversi
methemoglobin menjadi hemoglobin (Decloux dan Ouanounou, 2021;
Tripathy, 2020).

III. Metode
Metode yang digunakan dalam studi ini menggunakan metode kualitatif
dengan peninjauan 32 literatur. Sumber pustaka diperoleh dari jurnal internasional
yang tersedia di Google Scholar, Science Direct, Pubmed, PMC, Elsevier, Springer,
Hindawi, dan Scopus. Tinjauan pustaka dilakukan setelah pembuatan rumusan
masalah dan tujuan, lalu dipilih menggunakan Boolean Algebra dengan kata kunci
status epileptikus, kejang, anestesi lokal, Lidocaine, dan komplikasi anestesi lokal.
Pustaka yang masuk dalam kriteria inklusi yaitu sedikitnya terdapat satu kata kunci
dan dipublikasikan tahun 2015-2021. Pustaka yang masuk dalam kriteria inklusi
kemudian ditinjau dan dianalisis datanya.

IV. Hasil
Seorang perempuan berusia 15 tahun datang ke dokter gigi untuk melakukan
perawatan endodontik. Dokter gigi yang merawatnya memberikan injeksi anestesi
lokal Lidocaine 2% sebanyak 1,5 ml (dosis total 30 mg) dan Epinefrin 1:100.000
untuk anestesi blok nervus alveolaris inferior. Injeksi dilakukan di sisi kiri tanpa
dilakukan aspirasi. Injeksi dilakukan selama dua menit dan diakhir injeksi anestesi,
pasien kehilangan kesadaran diikuti kejang tonik-klonik secara intermiten. Pasien
mengalami kejang sekitar selama 30 menit dan masih dalam kondisi tidak sadarkan
diri, sehingga pasien segera dilarikan ke ruang gawat darurat.
Pasien memiliki riwayat medis yang sehat dan riwayat kesehatan keluarga
tidak berkontribusi dalam kejadian kejang yang dialami pasien. Hasil pemeriksaan
pasien memiliki nilai tingkat kesadara berskala 3 berdasarkan Glasglow Coma Scale
(GCS), refleks batang otak baik, tidak mengalami demam, dan tanda vital pasien
dalam batas normal. Pemeriksaan intraoral ditemukan adanya edema dan hematoma
yang luas pada gingiva sisi kiri dan pemeriksaan ekstraoral terlihat adanya
pembengkakan pada pipi kiri pasien. Pemeriksaan diskus optikus tidak menunjukan
adanya edema. Hasil elektrokardiogram (EKG) normal kecuali sinus takikardia pasien
120 bpm dan hasil elektrosefalografi (EEG) menunjukan aktivitas difus lambat,
didominasi irama theta, serta tidak ada tanda status epileptikus berkelanjutan.
Pemeriksaan computed tomography (CT) pada otak menunjukan adanya penurunan
diferensiasi white-grey matter disertai penipisan sulkus serebral yang menandakan
adanya edema serebral.
Hasil MRI, MRV (Gambar 3), dan MRA (Gambar 4) otak menunjukan adanya
edema serebral, lesi T2 hipertens bilateral dan hampir simetris dengan difus terbatas
pada lobus frontal dan oksipital (Gambar 5), serta tidak ditemukan adanya cerebral
venous thrombosis (CVT). Pungsi lumbal dilakukan dan menunjukan hasil adanya
peningkatan protein 50 mg/dl, limfosit 10%, dan pemeriksaan gram stain menunjukan
hasil negatif menandakan tidak ada infeksi bakteri. Hasil pemeriksaan gula darah 50
mg/dl dan glukosa cairan serebrospinal (CSF) 70 mg/dl. Pemeriksaan laboratorium
seperti kadar kalsium, albumin, magnesium, natrium, kalium, kreatinin, urea, Liver
Function Test (LFTs), Complete Blood Count (CBC), jumlah trombosit (Plt), PT,
PTT, dan INR menunjukan hasil dalam batas normal, namun hasil troponin negatif.

Gambar 3. Hasil Magnetik Resonance Venogram (MRV) sinus vena serebral


Gambar 4. Hasil Magentic Resonance Angiogram (MRA) arteri serebral normal

Gambar 5. Hasil Magentic Resonance Imaging (MRI) menunjukan adanya difusi


kortikal bilateral terbatas pada lobus frontal, parietal, dan oksipital.

Pasien dirawat di ICU dan diintubasi. Pasien diberikan Phenytoin dengan


dosis 15 mg/kg dan dilakukan monitoring jantung secara ketat. Pasien diberikan
Phenytoin 100 mg dua kali sehari sebagai dosis pemeliharaan yang dimulai pada hari
kedua. Mannitol 1 g/kg diberikan kepada pasien secara intravena dan diikuti dengan
dosis pemeliharaan yaitu 0,5 g/kg setiap delapan jam. Tingkat kesadaran pasien
berdasarkan GCS meningkat menjadi skala 9 dalam waktu 2 hari. Pasien sepenuhnya
pulih dan dipulangkan dari rumah sakit setelah satu minggu dirawat di rumah sakit.

V. Pembahasan
Anestesi lokal Lidocaine merupakan anestesi lokal golongan amida yang
memiliki mekanisme kerja mengganggu konduksi syaraf dengan menurunkan
permeabilitas membran syaraf dan menghambat saluran ion natrium, sehingga Na+
tidak bisa masuk, hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan ambang depolarisasi
dan kegagalan potensial aksi impuls syaraf (Rahimi dkk.,2018). Pemberian anestesi
lokal Lidocaine dosis rendah menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh darah,
namun pada dosis tinggi dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan
penurunan systemic vascular resistance (SVR) (Busardo dkk., 2015; Zhang dkk.,
2016). Penambahan adrenaline sebagai vasokonstriktor pada agen anestesi lokal dapat
menurunkan absorbsi Lidocaine dan memperpanjang durasi anestesi. Adrenaline
merupakan agen vasopressor yang bersifat adrenergik non-selektif yaitu bekerja
menstimulasi α- dan β-adrenergic receptors (Decloux dan Ouanounou, 2021).
Toksisitas sistemik anestesi lokal pada sistem syaraf pusat biasanya terjadi
mendahului toksisitas sistem kardiovaskular. Munculnya gejala toksisitas sistemik
disebabkan karena terjadi blokade jalur inhibitor pada korteks serebral. Hal ini dapat
memungkinkan terjadi disinhibisi neuron yang mengakibatkan aktivasi sel eksitatori
secara berlebihan, sehingga biasanya muncul tanda dan gejala seperti kepala terasa
ringan dan pusing, sulit fokus, tinnitus, kebingungan, mati rasa di sekitar mulut.
Tanda dan gejala eksitasi yang terlihat karena toksisitas anestesi lokal antara lain yaitu
menggigil, mioklonus, tremor, kontraksi otot, dan kejang tonik-klonik. Gejala eksitasi
sistem syaraf pusat kemudian diikuti dengan tanda-tanda depresi sistem syaraf pusat.
Aktivitas kejang biasanya berlangsung cepat kemudian diikuti depresi pernafasan atau
henti nafas (Boparai dkk., 2019; El-Boghdadly dan Chin., 2016).
Toksisitas sistemik dapat terjadi tidak hanya disebabkan injeksi anestesi lokal
dengan dosis berlebih, namun dapat terjadi ketika injeksi dilakukan di area
vaskularisasi tinggi dan berisiko terjadi injeksi intraarteri atau intravena. Kejadian
injeksi intravaskular dapat menyebabkan toksisitas sistemik dan ditandai dengan
adanya komplikasi lokal yaitu hematoma pada area gingiva. Hematoma yang terjadi
disebabkan karena jarum anestesi melukai dinding pembuluh darah sehingga darah
keluar dari pembuluh darah dan merembes ke jaringan (Tripathy, 2020).
Suplai darah di area kepala dan wajah berasal dari arteri karotis eksterna yang
salah satu cabangnya yaitu arteri maksilaris interna. Menurut Kostadinov dkk. (2019)
anestesi lokal dapat mencapai sistem syaraf pusat salah satunya yaitu melalui injeksi
intraarteri. Larutan anestesi yang secara tidak sengaja terinjeksi pada cabang arteri
karotis eksterna dalam kasus ini yaitu injeksi arteri alveolaris inferior yang merupakan
salah satu cabang arteri maksilaris, dapat menimbulkan efek samping merugikan yaitu
terjadinya retrograde flow, sehingga larutan anestesi mengalir ke arteri karotis interna
dan langsung menuju otak tanpa harus melewati sirkulasi sistemik. Teori “reverse
carotid flow” ini didukung oleh hasil peneltitan Aldrete dkk. (1977) yaitu ditemukan
konsentrasi Lidocaine yang tinggi pada arteri karotis interna segera setelah dilakukan
injeksi Lidocaine pada arteri fasialis anjing.
Kasus ini memiliki diagnosis banding yaitu meningitis aseptik dan ensefalitis
karena hasil pemeriksaan menujukan gula darah pasien 50 mg/dl dan glukosa cairan
serebrospinal (CSF) 70 mg/dl. Kedua diagnosis banding tersebut ditolak karena
pasien tidak mengalami demam, terjadi kejang akut, pemulihan pasien cepat, dan
pemeriksaan MRI tidak menunjukan gejala meningitis maupun ensefalitis, sehingga
pemeriksaan lanjut PCR tidak dilakukan. Diagnosis banding berupa emboli udara juga
ditolak karena larutan anestesi yang diinjeksikan adalah 1,5 ml sehingga gelembung
udara dengan ukuran signifikan tidak ditemukan, jika larutan anestesi diinjeksi secara
intraarteri maka kejang berulang daripada kejang tunggal selama setengah jam tidak
terjadi karena injeksi berlangsung dengan singkat, dan jika larutan anestesi disuntikan
secara intravena maka tidak mungkin gelembung udara melebihi kapasitas
penyaringan udara dari pembuluh darah paru-paru (>0,3 ml/kg/menit). Emboli udara
pada arteri serebral merupakan komplikasi injeksi anestesi blok nervus alveolaris
inferior yang dapat menimbulkan gejala berupa sakit kepala, kejang, kehilangan
kesadaran hingga koma. Pencegahannya dapat dilakukan dengan melakukan aspirasi
terlebih dahulu sebelum injeksi anestesi lokal (Gillespie dan Gunsolly, 2020).
Hasil pemeriksaan MRI ditemukan adanya difusi bilateral terbatas pada lobus
frontal, parietal, dan oksipital. Hal ini mungkin disebabkan karena injeksi Lidocaine
dapat menyebabkan vasokonstriksi dari pembuluh darah dalam dosis yang rendah dan
pada kasus ini Lidocaine yang diinjeksikan 1,5 ml dengan dosis total 30 mg (Zhang
dkk., 2016). Hasil pemeriksaan computed tomography (CT) pada otak menunjukan
adanya edema serebral ditandai dengan penurunan diferensiasi white-grey material.
Status epileptikus yang dialami pasien dapat menyebabkan edema fokal otak dan
hipoperfusi fokal bersamaan dapat terjadi dengan gangguan sawar darah otak
(Mendes dan Sampaio, 2016).
Penanganan pasien dengan pemberian Phenytoin menjadi pilihan dengan
pemantauan kardiovaskular karena pemberian Phenytoin pasca injeksi Lidocaine
berisiko menyebabkan toksisitas kardiovaskular. Penggunaan Phenytoin sebaiknya
dihindari dan penanganan epilepsi pasien dapat dilakukan dengan pemberian
Diazepam sebagai pengobatan lini pertama dan Phenobarbital sebagai pengobatan lini
kedua. Pemberian Diazepam dapat dilakukan melalui intravena dengan dosis 10-20
mg untuk orang dewasa dan 0,2-0,3 mg/kg untuk anak-anak. Administrasi diazepam
dilakukan 2-5 mg/menit. Diazepam mencapai konsentrasi yang sesuai pada sistem
syaraf pusat setelah 1 menit administrasi secara intravena dan konsentrasi maksimum
dicapai setelah 15 menit setelah pemberian dosis (Jędrzejczak dkk., 2018).
Phenytoin merupakan obat lini kedua dalam penanganan status epileptikus
ketika Diazepam tidak mampu menangani kejang (Hall dkk., 2020). Phenytoin
bekerja dengan menghambat kanal sodium sehingga ion sodium yang masuk
berkurang. Hal tesebut menyebabkan terjadinya pengurangan rangsangan neuron
kortikal dan stabilitas membran sel pada syaraf pusat. Administrasi Phenytoin dapat
dilakukan melalui intravena dengan dosis 20 mg/kg. Konsentrasi Phenytoin pada
jaringan otak 3-4 kali lebih tinggi dibandingkan pada aliran darah dalam beberapa
jam. Kelebihan penggunaan Phenytoin yaitu memiliki efek terapeutik jangka panjang,
mampu mencapai konsentrasi tinggi pada cairan serebrospinal dengan waktu yang
cepat, dan ketersediaan obat yang luas. Pemberian Phenytoin juga memiliki efek
merugikan yaitu dapat berisiko menyebabkan gangguan aritmia jantung dan hipotensi,
sehingga ketika pemberian Phenytoin monitoring kardiovaskular harus dilakukan
(Jędrzejczak dkk., 2018).
Edema serebral dapat disebabkan karena non-traumatik injuri otak salah
satunya yaitu status epileptikus. Edema serebral dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial yang berisiko pada kematian. Pemberian Mannitol dalam kasus
ini dapat mengurangi tekanan intrakranial pada edema serebral. Mekanisme Mannitol
dalam menurunkan tekanan intrakranial yaitu dengan mengurangi resorbsi air dan
sodium melalui tubulus renal sebagai efek diuretik, meningkatkan perfusi serebral
dengan menurunkan viskositas darah atau mengurangi rigiditas sel darah merah, dan
mengurangi volume darah dengan memicu vasokonstriksi. Pemberian Mannitol
sebelum 24 jam pasca kejadian koma dengan dosis tinggi (~1,4 g/kg) memiliki laju
penyembuhan yang lebih cepat dibandingkan pemberian dosis rendah (~0,7 g/kg)
(Sekarningrum dkk., 2018).
VI. Kesimpulan
Tindakan aspirasi sebelum dilakukan injeksi anestesi lokal sangat penting
dilakukan oleh dokter gigi untuk mengindari injeksi intravaskular yang dapat
menyebabkan toksisitas sistemik. Gejala toksisitas sistem syaraf pusat (CNS) salah
satunya yaitu kejang merupakan kejadian emergensi yang harus dikelola dengan tepat.
Kejang diikuti kehilangan kesadaran pasien dapat terjadi di klinik dental, sehingga
dokter gigi perlu pelatihan CPR dan sebaiknya peralatan resusitasi yang sesuai
tersedia di klinik kedokteran gigi.

VII. Daftar Pustaka

1. Al-Sofyani, K. A. (2021) Review Article an Insight into the Current


Understanding of Status Epilepticus: From Concept to Management. Neurology
Research International. Hindawi. 1-12.
2. Amez, M.S., Navarro, B. G., Montero, R. A., Salas, E. J., dan Lopez, J. L. (2021)
Use of Local Anesthehtics with a Vasoconstrictor Agent during Dental Treatment
in Hypertensive and Coronary Disease Patients: A Systematic Review. Journal of
Evidence-Based Dental Practice. Elsevier. 21(20): 1-13.
3. Boparai, J.K., Chopra, D., Pandey, S. K., dadn Bhandari, B., (2019) Generalized
Seizure Following Lignocaone Administration : Case Report and Literature
Review. Journal of Family Medicine and Primary Care. 8(10): 3440-3442.
4. Busardo, F., Tritapepe, L., Montana, A., Indorato, F., Zaami, S., dan Romano, G.
(2015) A Fatal Accidental Subarachnoid Injection of Lidocaine and
Levobupivacaine during a Lumbar Paravertebral Block. Forensic Science
International. 256(11): 17-20.
5. Decloux, D., dan Ouanounou, A. (2021) Concise Clinical Review Local
Anaesthesia in Dentistry: A Review. International Dental Journal. 71(1): 87-95.
6. El-Boghdady, K dan Chin, K. J. (2016) Local Anesthetic Systemic Toxicity:
Continuing Professional Development. Canadian Journal of Anesthesia. Springer.
63(1): 330-349.
7. Farandez, I. S., Goodkin, H., dan Scott, R. C. (2019) Review Pathophysiology of
Convulsive Status Epilepticus. European Journal of Epilepsy. 68: 16-21.
8. Gillespie, M. dan Gunsolly, C. (2020) Intracranial Air Embolism after Inferior
Alveolar Nerve Block: A Case Report. Clinical Practioce and Cases in
Emergency Medicine. 4(4): 649-652.
9. Hall, E. A., Wheless, J. W., Phelps, S. J. (2020) Status Epilepticus: The Slowand
Agonizing Death of Phenytoin. Journal of Pediatric Pharmacology and
Therapeutics. 25(1): 4-6.
10. Hermanns, H., Hollmann, M. W., Stevens, M. F., dan Lirk, P. (2019) Molecular
Mechanism of Action of Systemic Lidocaine in Acute and Chronic Pain: A
Narrative Review. British Journal of Anesthesia. 123(3): 335-349.
11. Jaan, A., Munshi, R., Sareen, K., Parmar, E., Thakur, P., Anindita, A. (2020)
Review Article Local Anesthesia – Solution to Pain: An Overview. Journal of
Current Medical Research and Opinion. 3(7): 537-548.
12. Jędrzejczak, J., Mazurkiewicz-Bełdzińska, M., Szmuda, M.,
Majkowska-Zwolińska, B., Steinborn, B., Ryglewicz, D., Owczuk, R.,
Bartkowska-Śniatkowska, A., Widera, E., Rejdak, K., Siemiński, M., Nagańska,
E. (2018) Convulsive Status Epilepticus Management in Adults and Children:
Report of The Working Group. Neurologia I Neurochirgia Polska. Elsevier. 52:
419-426.
13. Jevon, P. dan Shamsi, S. (2020) Management of Anaphylaxis in The Dental
Practice: An Update. British Dental Journal. 299(22): 721-727.
14. Karagoz, I dan Turkoglu, K. (2018) A case of Epileptic Seizure due to Lidocaine
Local Anesthesia. International Journal Medical Surgical Sciences. 5(3): 112-
114.
15. Kim, E,J., Kim, H. Y., dan Ahn, J. H. (2020) Neurotoxicity of Local Anesthetics
in Dentistry. Journal Dental Anesthesia Pain Medicine. 20(2): 55-61.
16. Kostadinov, I., Hostnik, A., Cvenkel, B., Dan Potocnik, I. (2019) Brainstem
Anesthesia after Retrobulbar Block. De Gruyter. 14: 287-291.
17. Kwon, O. Y. (2019) The Changes in Cardiopulmonary Resuscitation Guidelines:
from 2000 to The Present. Journal of Exercise Rehabilitation. 15(6): 738-746.
18. Marawar, R., Basha, M., Mahulikar, A., Desai, A., Suchdev, K., dan Shah, A.
(2018) Review Article Updates in Refractory Status Epilepticus. Critical Care
Research and Practice. 1-19.
19. Mendes, A. dan Sampaio, L. (2016) Review Brain Magnetic Resonance Seizure.
Seizure. Elsevier. 38: 63-67.
20. Mohideen, K., Thayumanavan,B., Balaji, S., Balasubramaniam, M., Vidya, K. M.,
dan Rajkumari, S. (2017) Management of Medical Emergencies in Dental Office-
A Review. International Journal of Medical and Health Sciences. 6(3): 170-175.
21. Ong,C T., Wong, Y. S, Sung, S. F, Wu, C. S, Hsu, Y.C., Su, Y. H., dan Hung,
L.C. (2015) Underestimated Rate of Status Epilepticus According Traditional
Definition of Status Epilepticus. The Scientific World Journal. 1(1): 1-5.
22. Rahimi, M., Elmi, M., Hassanian-Moghaddam, H., Zamani, N., Soltaninejad, K.,
Forouzanfar, R., dan Shadnia, S. (2018) Acute Lidocaine Toxicity; a Case Series.
The Official Journal of Emergency Departement. 6(1): e38.
23. Santamaria, C. M, Woodruff, A., Yang, R., dan Kohane, D. S. (2017) Drug
Delivery System for Prolonged Duration Local Anesthesia. Materials Today.
Elsevier. 20(1): 22-31.
24. Sekarningrum, P. A., Wati, D. K., Suwarba, I. G. N. M., Hartawan, I. N. B.,
Mahalini, D. S., Suprayatha, I. B. G. (2018) Early Mannitol Administration
Improves Clinical Outcomes of Pediatric Patient with Brain Edema. Medical
Journal of Indonesia. 27: 244-249.
25. Subramaniam, K., Laksmi, T., dan Lochana, P. (2019) Adverse Effects of
Lignocaine Local Anesthetic Drug. Drug Invention Today. 11(8): 1976-1978.
26. Trinka E., Cock, H., Hesdorferr, D., Rossetti, A. O., Scheffer, I. E., Shinar, S.,
Shorvon, S., dan Lowenstein, D. H. (2015) A Definition and Classification of
Status Epilepticus – Report of the ILAE Task Force on Classification of Status
Epilepticus. Epilepsia. International League Against Epilepsy. 56(10): 1515-1523.
27. Tripathy, S., (2020) Complication of Local Anesthesia. Indian Journal of
Forensic Medicine & Toxicology. 14(4): 9079-9082.
28. Tom, K. dan Aps, J. (2019) Intraosseous Anesthesia as a Primary Technique for
Local Anesthesia in Dentistry. Clinical Research in Infectious Disease. 2(1):
1012-1020.
29. Townsend, J. A., Spiller, H., Hammersmith, K., dan Casamassimo, P. S. (2020)
Dental Local Anesthesia-Related Pediatric Cases Reported to U.S. Poison Control
Centers. Pediatric Dentistry. 42(2): 116-122.
30. Ulutürk, h., Eberlikose, G., Ozcan, G., dan Yilmaz, D. (2020) Rare Cutaneous
Ischemia and Pain during Infiltrative Anaesthesia for Dental Surgery Case Report
and Literature Review. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 14(2):
ZD01-ZD04.
31. Yu, S., Wang, B., Zhang, J., Fang, K. (2019) Review Article The Development of
Local Anesthetics and Their Applications beyond Anesthesia. International
Journal Clinical and Experimental Medicine. 12(12): 13203-13220.
32. Zhang S, X., Li, X., Ren, Q. M., Niu, D. L., Gao, L., dan Wang, H. B. (2016)
Changes of Lidocaine Concentration and Physiological Indices in Dogs during
Anesthesia with Lidocaine and Isoflurane Combined with Ketamine or Fentanyl.
Acta Veterinaria Brno. 85(1): 91-97.

Anda mungkin juga menyukai