Anda di halaman 1dari 389

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

FARMASI RUMAH SAKIT

DI RUMAH SAKIT dr. ZAINOEL ABIDIN – BANDA ACEH


13 DESEMBER 2021 – 18 FEBRUARI 2022

Disusun Oleh :

DESTARI, S.Farm Nim : 210213018


PUTRI WAHYUNINGSIH, S.Farm Nim : 210213036
RAIHAN FATIA AMIRUDDIN, S.Farm Nim : 210213037

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
MEDAN
2022
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER


FARMASI RUMAH SAKIT

DI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN


BANDA ACEH

Laporan ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Apoteker pada Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia

Disusun Oleh:

DESTARI, S.Farm

NIM: 210213018

Pembimbing,

apt. Cut Masyitah, M.Si apt. Fitri Yani, S.Farm., M.Clin.Pharm


NIDN. 0101018106 NIP. 198001152009042004
Staf Pengajar Apoteker RSUD dr. Zainoel Abidin
Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Banda Aceh
Universitas Sari Mutiara Indonesia Medan

Medan, Februari 2022 Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker


Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia Universitas Sari Mutiara Indonesia
Dekan, Ketua,

Taruli Rohana Sinaga, SP., MKM apt. Dra. Modesta Tarigan, M.Si
NIDN 0116107103 NIDN 0119036801
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER


FARMASI RUMAH SAKIT

DI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN


BANDA ACEH

Laporan ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Apoteker pada Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia

Disusun Oleh:

PUTRI WAHYUNINGSIH, S.Farm

NIM: 210213036

Pembimbing,

apt. Yosy Cinthya Eriwati Silalahi, S.Farm., M.Si apt. Fitri Yani, S.Farm., M.Clin.Pharm
NIDN 0101108304 NIP. 198001152009042004
Staf Pengajar Apoteker RSUD dr. Zainoel Abidin
Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Banda Aceh
Universitas Sari Mutiara Indonesia Medan

Medan, Februari 2022 Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker


Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia Universitas Sari Mutiara Indonesia
Dekan, Ketua,

Taruli Rohana Sinaga, SP., MKM apt. Dra. Modesta Tarigan, M.Si
NIDN 0116107103 NIDN 0119036801
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER


FARMASI RUMAH SAKIT

DI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN


BANDA ACEH

Laporan ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Apoteker pada Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia

Disusun Oleh:

RAIHAN FATIA AMIRUDDIN, S.Farm

NIM: 210213037

Pembimbing,

apt. Grace Anastasia Br Ginting, S.Farm., M.Si apt. Fitri Yani, S.Farm., M.Clin.Pharm
NIDN 0106059201 NIP. 198001152009042004
Staf Pengajar Apoteker RSUD dr. Zainoel Abidin
Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Banda Aceh
Universitas Sari Mutiara Indonesia Medan

Medan, Februari 2022 Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker


Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia Universitas Sari Mutiara Indonesia
Dekan, Ketua,

Taruli Rohana Sinaga, SP., MKM apt. Dra. Modesta Tarigan, M.Si
NIDN 0116107103 NIDN 0119036801
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
FARMASI RUMAH SAKIT

PENGELOLAAN SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN


DAN BAHAN MEDIS HABIS PAKAI

DI RUMAH SAKIT dr. ZAINOEL ABIDIN – BANDA ACEH


13 DESEMBER 2021 – 18 FEBRUARI 2022

Disusun Oleh :

DESTARI, S.Farm Nim : 210213018


PUTRI WAHYUNINGSIH, S.Farm Nim : 210213036
RAIHAN FATIA AMIRUDDIN, S.Farm Nim : 210213037

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberi rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktik Kerja Profesi Apoteker di
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Shalawat beserta salam semoga selalu
tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad saw. kiblat dalam perjalanan kita
sebagai generasi penerusnya hingga akhir zaman.
Praktek Kerja Profesi Apoteker ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti
Program Studi Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia untuk memperoleh gelar Apoteker.
Terlaksananya Praktek Kerja Profesi Apoteker ini tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Taruli Rohana Sinaga S.Kep, MKM selaku
Dekan Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia,
kepada Ibu apt. Dra. Modesta Tarigan, M.Si sebagai Ketua Program Studi
Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari
Mutiara Indonesia.
Dan juga kepada Ibu apt. Fitri Yani, S.Farm., M.Clin.Pharm., Ibu apt Azizah
Vonna, M.Pharm.Sci., Ibu apt. Yunita Suffiana, M.Sc., Ibu apt. Rita Novika,
S.Farm., Ibu apt Ika Fitri Ramadhana, S.Farm., selaku pembimbing di RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh yang telah berkenan memberikan arahan, bimbingan
dan berbagi pengalamannya kepada penulis selama melaksanakan Praktek Kerja
Profesi Apoteker hingga selesainya penulisan laporan ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak dan Ibu Staf Pengajar
Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas
Sari Mutiara Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada
penulis, seluruh karyawan di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh atas kerja sama
dan bantuan yang telah diberikan selama penulis melaksanakan Praktik Kerja
Profesi Apoteker ini.
Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dan tak
terhingga kepada kedua orang tua, suami serta keluarga besar saya atas doa, kasih
sayang, nasihat dukungan baik moril maupun materil, dan tak lupa juga kepada
teman-teman satu tim dalam melaksanakan Praktek Kerja Profesi yang telah
bekerja sama dengan baik selama masa praktik kerja profesi di RSUD dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi
kesempurnaan laporan ini.
Penulis berharap semoga laporan Praktek Kerja Profesi ini dapat menambah
ilmu pengetahuan di bidang farmasi, khususnya farmasi rumah sakit dan dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Banda Aceh, Februari 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

JUDUL ....................................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................................. 1
B. Tujuan ........................................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ 3
A. Pemilihan ...................................................................................................................... 3
B. Perencanaan ................................................................................................................. 5
C. Pengadaan .................................................................................................................... 6
D. Penerimaan ................................................................................................................... 7
E. Penyimpanan ................................................................................................................ 7
F. Pendistribusian............................................................................................................. 9
G. Pemusnahan dan Penarikan ....................................................................................... 9
H. Pengendalian dan Administrasi ................................................................................ 10
BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................................... 12
3.1. Sejarah dan Perkembangan RSUD dr. Zainoel Abidin ......................................... 12
3.2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin..................... 13
3.3. Visi dan Misi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin ............................ 14
3.4. Struktur Organisasi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin ................ 14
3.5. Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin ..................... 16
1. Pemilihan .................................................................................................................... 18
2. Perencanaan ............................................................................................................... 19
3. Pengadaan .................................................................................................................. 19
4. Penerimaan ................................................................................................................. 20
5. Penyimpanan .............................................................................................................. 21
6. Distribusi .................................................................................................................... 22
7. Pemusnahan ............................................................................................................... 24
8. Pengendalian .............................................................................................................. 27
9. Pencatatan dan pelaporan......................................................................................... 27
10. Monitoring dan evaluasi ............................................................................................ 28
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 29

iv
A. Kesimpulan ................................................................................................................. 29
B. Saran ........................................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 31

v
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Struktur Organisasi RSUDZA .......................................................... 32


Lampiran 2. Forkit RSUDZA .................................................................................. 33
Lampiran 3. Depo Rawat Jalan ............................................................................... 34
Lampiran 4. Gudang Farmasi ................................................................................. 37
Lampiran 5. Depo Rawat Inap ................................................................................ 39
Lampiran 6. IPSL ..................................................................................................... 40
Lampiran 7. Onkologi .............................................................................................. 42
Lampiran 8. Lembar Rekonsiliasi ........................................................................... 44

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut PP No. 51 tahun 2009, pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan

termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,

penyimpanan dan pendistribusisian atau penyaluran obat, pengelolaan obat,

pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan

obat, bahan obat dan obat tradisional.

Menurut undang-undang Republik Indonesia No. 72 tahun 2016 tentang

Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Rumah Sakit merupakan institusi

pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan

secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat

darurat. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung

jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan mencapai hasil

yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Bagian yang melaksanakan

pelayanan farmasi rumah sakit adalah Instalasi Farmasi Rumah Sakit. Instalasi

Farmasi Rumah sakit (IFRS) adalah unit pelaksana fungsional yang

menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.

Instalasi Farmasi yang dimaksud dipimpin oleh seorang Apoteker sebagai

penanggung jawab. Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak ukur yang

dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan

pelayanan kefarmasian. Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi

standar pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis

Pakai serta Pelayanan Farmasi Klinik. (Permenkes RI No. 72, 2016)

1
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) dirumah sakit merupakan salah satu

cara yang dilakukan oleh institusi pendidikan untuk meningkatkan kompetensi dan

pengalaman bagi calon apoteker untuk menghadapi dunia kerja yang sebenarnya.

Oleh karena itu, Program Studi Profesi Apoteker Universitas Sari Mutiara

Indonesia bekerjasama dengan Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

untuk melaksanakan PKPA. Kegiatan ini diharapkan dapat menciptakan calon

apoteker yang kompeten, memahami peran dan tanggung jawab apoteker di rumah

sakit serta mengetahui semua aspek kegiatan kefarmasian yang berlangsung di

rumah sakit sehingga dapat menjadi pengalaman yang mendasari pekerjaannya

ketika nanti resmi menjadi apoteker dan menjalankan tugas dan tanggungjawab di

rumah sakit.

B. Tujuan

Tujuan diadakannya Praktek Kerja Profesi Apoteker di rumah sakit ini adalah

sebagai berikut :

1. Mengetahui tentang peran, fungsi, dan tanggung jawab Apoteker dalam

pelayanan kefarmasian di rumah sakit.

2. Mengetahui tentang pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam Undang-Undang No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit disebutkan

bahwa pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai di

Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu, dengan

demikian instalasi farmasi menjadi satu-satunya penyelenggara pelayanan

kefarmasian. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP harus

dilaksanakan secara multi disiplin, terkoordinir dan menggunakan proses yang

efektif untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya. Berdasarkan Permenkes

72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit , Kegiatan

pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP meliputi pemilihan,

perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,

pemusnahan dan penarikan, serta pengendalian dan administrasi.

A. Pemilihan

Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan BMHP sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan BMHP ini berdasarkan:

1. Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi

2. Standar sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP yang telah ditetapkan

3. Pola penyakit

4. Efektifitas dan keamanan

5. Pengobatan berbasis bukti

6. Mutu

3
7. Harga

8. Ketersediaan dipasaran

Formularium Rumah Sakit disusun mengacu kepada Formularium Nasional.

Formularium Rumah Sakit merupakan daftar Obat yang disepakati staf medis,

disusun oleh Komite/Tim Farmasi dan Terapi yang ditetapkan oleh Pimpinan

Rumah Sakit.

Formularium Rumah Sakit harus tersedia untuk semua penulis Resep,

pemberi Obat, dan penyedia Obat di Rumah Sakit. Evaluasi terhadap Formularium

Rumah Sakit harus secara rutin dan dilakukan revisi sesuai kebijakan dan

kebutuhan Rumah Sakit.

Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit dikembangkan

berdasarkan pertimbangan terapetik dan ekonomi dari penggunaan Obat agar

dihasilkan Formularium Rumah Sakit yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi

kebutuhan pengobatan yang rasional. Tahapan proses penyusunan Formularium

Rumah Sakit:

a. Membuat rekapitulasi usulan Obat dari masing-masing Staf Medik

Fungsional (SMF) berdasarkan standar terapi atau standar pelayanan medik;

b. Mengelompokkan usulan Obat berdasarkan kelas terapi;

c. Membahas usulan tersebut dalam rapat Komite/Tim Farmasi dan Terapi, jika

diperlukan dapat meminta masukan dari pakar;

d. Mengembalikan rancangan hasil pembahasan Komite/Tim Farmasi dan

Terapi, dikembalikan ke masing-masing SMF untuk mendapatkan umpan

balik;

e. Membahas hasil umpan balik dari masing-masing SMF;

4
f. Menetapkan daftar Obat yang masuk ke dalam Formularium Rumah Sakit;

g. Menyusun kebijakan dan pedoman untuk implementasi; dan

h. Melakukan edukasi mengenai Formularium Rumah Sakit kepada staf dan

melakukan monitoring.

Kriteria pemilihan Obat untuk masuk Formularium Rumah Sakit:

a. Mengutamakan penggunaan Obat generik;

b. Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling

menguntungkan penderita;

c. Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas;

d. Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan;

e. Praktis dalam penggunaan dan penyerahan;

f. Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien;

g. Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan

biaya langsung dan tidak lansung; dan

h. Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan aman (evidence based

medicines) yang paling dibutuhkan untuk pelayanan dengan harga yang

terjangkau. Dalam rangka meningkatkan kepatuhan terhadap formularium

Rumah Sakit, maka Rumah Sakit harus mempunyai kebijakan terkait dengan

penambahan atau pengurangan Obat dalam Formularium Rumah Sakit

dengan mempertimbangkan indikasi penggunaaan, efektivitas, risiko, dan

biaya.

B. Perencanaan

Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan

periode pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP sesuai dengan hasil

5
kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah,

tepat waktu dan efisien. Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan

obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-

dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi,

kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan disesuaikan dengan anggaran

yang tersedia. Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan:

1. Anggaran yang tersedia.

2. Penetapan prioritas.

3. Sisa persediaan.

4. Data pemakaian periode yang lalu.

5. Waktu tunggu pemesanan.

6. Rencana pengembangan.

C. Pengadaan

Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan

perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,

jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar

mutu. Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari

pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan

dana, pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi

kontrak, pemantauan proses pengadaan, dan pembayaran. Hal-hal yang perlu

diperhatikan dalam pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP antara

lain:

1. Bahan baku obat harus disertai sertifikat analisa.

2. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet (MSDS).

6
3. Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP harus mempunyai nomor izin

edar.

4. Expired date minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan BMHP tertentu (vaksin, reagensia, dan lain-lain).

D. Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifiksi,

jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak atau surat

pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua dokumen terkait penerimaan

barang harus tersimpan dengan baik

E. Penyimpanan

Setelah barang diterima di instalasi farmasi perlu dilakukan penyimpanan

sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas

dan keamanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP sesuai dengan

persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi

persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan

penggolongan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP.

Komponen yang harus diperhatikan antara lain:

1. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan obat diberi label

yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama kemasan dibuka,

tanggal kadaluwarsa dan peringatan khusus.

2. Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali untuk

kebutuhan klinis yang penting.

7
3. Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan pasien

dilengkapi dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan disimpan pada

area yang dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah penatalaksanaan yang

kurang hati-hati.

4. Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP yang dibawa oleh pasien harus

disimpan secara khusus dan dapat diidentifikasi. Sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan BMHP yang harus disimpan terpisah yaitu :

a. Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan diberi

tanda khusus bahan berbahaya.

b. Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat dan diberi penandaan

untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis.

Penyimpanan tabung gas medis kosong terpisah dari tabung gas medis

yang ada isinya. Penyimpanan tabung gas medis diruangan harus

menggunakan tutup demi keselamatan.

5. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk menyimpan barang

lainnya yang menyebabkan kontaminasi.

Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk sediaan, dan

jenis sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP dan disusun secara alfabetis dengan

menerapkan prinsip First Expired First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO)

disertai sistem informasi manajeman. Penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan,

dan BMHP yang penampilan dan penamaan yang mirip (LASA, look Alike Sound

Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan khusus untuk

mencegah terjadinya kesalahan pengambilan obat. Rumah sakit harus dapat

menyediakan lokasi penyimpanan obat emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan.

8
Tempat penyimpanan harus mudah diakses dan terhindar dari penyalahgunaan dan

pencurian

F. Pendistribusian

Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka menyalurkan/

menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP dari tempat penyimpanan

sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis,

jumlah, dan ketepatan waktu. Rumah sakit harus menentukan sistem distribusi yang

dapat menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan BMHP di unit pelayanan. Sistem distribusi di unit pelayanan dapat

dilakukan dengan cara:

1. Sistem persediaan lengkap di ruangan (floor stock).

2. Sistem resep perorangan.

3. Sistem unit dosis.

4. Sistem kombinasi.

Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) sangat dianjurkan untuk pasien

rawat inap mengingat dengan sistem ini tingkat kesalahan pemberian obat dapat

diminimalkan sampai kurang dari 5% dibandingkan dengan sistem floor stock atau

resep individu yang mencapai 18%. Sistem distribusi dirancang atas dasar

kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan efisiensi dan

efektifitas sumber daya yang ada dan metode sentralisasi atau desentralisasi.

G. Pemusnahan dan Penarikan

Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP yang

tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan

9
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemusnahan dilakukan

untuk sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP bila:

1. Produk tidak memenuhi persyaratan mutu.

2. Telah kadaluwarsa.

3. Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau

kepentingan ilmu pengetahuan.

4. Dicabut izin edarnya.

H. Pengendalian dan Administrasi

Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan

penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP. Pengendalian penggunaan

sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP dapat dilakukan oleh instalasi farmasi

harus bersama dengan Tim Farmasi dan Terapi (TFT) di Rumah Sakit. Tujuan

pengendalian persediaan adalah untuk:

1. Penggunaan obat sesuai dengan formularium Rumah Sakit.

2. Penggunaan obat sesuai dengan diagnosis dan terapi.

3. Memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan

kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa dan kehilangan serta

pengembalian pesanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP.

Admisnistrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk

memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu. Kegiatan administrasi

terdiri dari:

1. Pencatatan dan pelaporan

Pencatatan dan pelaporan terhadap kegiatan pengelolaan sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan BMHP yang meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan,

10
penerimaan, pendistribusian, pengendalian persediaan, pengembalian,

pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP. Pelaporan

dibuat secara perodik yang dilakukan instalasi farmasi dalam periode waktu

tertentu (bulanan, triwulanan, semester atau pertahun). Jenis-jenis pelaporan yang

dibuat menyesuaikan dengan peraturan yang berlaku.

2. Administrasi Keuangan

Apabila instalasi farmasi Rumah Sakit harus mengelola keuangan maka perlu

menyelenggarakan administrasi keuangan. Administrasi keuangan merupakan

pengaturan anggaran, pengendalian dan analisa biaya, pengumpulan informasi

keuangan, penyiapan laporan, penggunaan laporan yang berkaitan dengan semua

kegiatan pelayanan kefarmasian secara rutin atau tidak rutin dalam periode bulanan,

triwulanan, semesteran atau tahunan.

3. Administrasi Penghapusan

Administrasi penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap

sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP yang tidak terpakai karena

kadaluwarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar dengan cara membuat usulan

penghapusan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP kepada pihak terkait

sesuai dengan prosedur yang berlaku.

11
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Sejarah dan Perkembangan RSUD dr. Zainoel Abidin

Pada mulanya Rumah Sakit ini dikenal sebagai Rumah Sakit Umum Daerah

Banda Aceh terhitung sejak tanggal 7 Mei 1979 sebagai Rumah Sakit Kelas C,

kemudian sesuai dengan surat keputusan Gubernur kepala daerah istimewa aceh No

445/173.1979, Rumah Sakit Umum Daerah Banda Aceh diubah namanya menjadi

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin. Pemberian nama ini adalah untuk

mengenang putera Aceh pertama yang menjadi Dokter pertama.

Pada tahun 1998 berdasarkan SK Menkes RI No.153/Menkes/SK/11/1998

tentang Persetujuan Rumah Sakit Umum Daerah digunakan sebagai tempat

pendidikan calon Dokter Spesialis, dan berdasarkan peningkatan mutu dan

pelayanan di RSUD dr. Zainoel Abidin maka RSUD dr. Zainoel Abidin berubah

menjadi Rumah Sakit Kelas B.

Sesuai dengan keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor

HK.03.05/III/327/2011, tentang penetapan RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

sebagai Rumah Sakit pendidikan utama Fakultas Kedokteran Universitas Syiah

Kuala Banda Aceh yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 Januari 2011.

Peningkatan mutu dan kemampuan pelayanan kesehatan dalam upaya

kebutuhan masyarakat akan pelayanan sejalan dengan keberhasilan pembangunan,

maka berdasarkan analisis organisasi ternyata fasilitas dan kemampuannya untuk

menjadi kelas A sesuai dengan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

12
Nomor: 1062/MENKES/SK/2011, tentang peningkatan kelas Rumah Sakit Umum

Daerah dr. Zainoel Abidin dan ditetapkan pada tanggal 1 Juni 2011.

3.2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin

A. Tugas RSUD dr. Zainoel Abidin

RSUD dr. Zainoel Abidin mempunyai tugas memberikan pelayanan

kesehatan perorangan secara paripurna yaitu pelayanan kesehatan yang meliputi

promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

B. Fungsi RSUD dr. Zainoel Abidin

a. Menyelenggarakan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan

sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit.

b. Memelihara dan meningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan

kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan

medis.

c. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia

dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan

kesehatan.

d. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan serta penapisan

teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan

kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang

kesehatan (Presiden RI, 2009).

13
3.3. Visi dan Misi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin

A. Visi

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh terkemuka dalam

pelayanan dan pendidikann yang bertaraf internasional.

B. Misi

a. Meningkatkan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) melalui

pendidikan, penelitian, dan pengembangan ilmu kedokteran dan ilmu

kesehatan lainnya serta pengembangan sistem dan prosedur pelayanan

administrasi yang bertaraf internasional;

b. Memberikan pelayanan kesehatan individu yang menyenangkan dan

mampu memberikan kepuasan terhadap pelanggan;

c. Mendukung upaya pemerintah aceh dalam meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat untuk mencapai melenium development goals

yang di aplikasikan melalui human development indeks.

d. Menerapkan prinsip efektifitas dalam memberikan pelayanan kesehatan

dan pengelolaan keuangan.

3.4. Struktur Organisasi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin

Sesuai Qanun nomor 5 Tahun 2007, Susunan Organisasi Rumah Sakit umum dr.

Zainoel Abidin, terdiri dari Direktur dan 4 wakil direktur:

a. Direktur

b. Wakil Direktur:

i. Wakil Direktur Administrasi dan Umum, terdiri dari:

a) Bagian Tata Usaha, terdiri dari:

- Sub bagian umum

14
- Sub bagian kepegawaian

- Sub bagian rumah tangga dan perlengkapan

b) Bagian keuangan, terdiri dari;

- Sub bagian administrasi penerimaan dan mobilisasi dana

- Sub bagian administrasi pengeluaran

c) Bagian akutansi, terdiri dari;

- Sub bagian akutansi keuangan

- Sub bagian akutansi manajemen

- Sub bagian verifikasi dan pelaporan

d) Bagian bina program dan pemasaran, terdiri dari;

- Sub bagian perencanaan dan anggaran

- Sub bagian informasi, komunikasi dan kerja sama

- Sub bagian evaluasi dan pelaporan program.

ii. Wakil Direktur Pengembangan Sumber Daya Manusia, terdiri dari;

a) Bidang Pendidikan dan Latihan terdiri dari:

- Seleksi pendidikan medis dan non medis

- Seleksi pelatihan medis dan non medis

b) Bidang penelitian dan pengembangan terdiri dari :

- Seleksi penelitian medis dan non medis

- Seleksi pengembangan medis dan non medis

iii. Wakil Direktur Pelayanan, terdiri dari:

a) Bidang pelayanan medis terdiri dari:

- Seleksi pelayanan spesialistik danrujukan

- Seleksi pengembangan fasilitas medis dan non medis

15
b) Bidang keperawatan terdiri dari:

- Seksi ketenangan dan etika profesi

- Seksi asuhan keperawatan

iv. Wakil Direktur Penunjang terdiri dari:

a) Bidang pengadaan sarana penunjang, terdiri dari:

- Seksi penunjang medis

- Seksi penunjang non medis

b) Bidang logistik dan fasilitas

- Penunjang logistis medis dan non medis

- Seksi pemeliharaan medis

3.5. Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin

Instalasi Farmasi RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dipimpin oleh

seorang Apoteker yang berada bawah bidang logistic dan fasilitas. Instalasi Farmasi

RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh merupakan fasilitas untuk melakukan

pengelolaan perbekalan farmasi, alat Kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta

pelayanan farmasi klinis.

Instalasi Farmasi bertugas menyelenggarakan, mengkoordinasikan,

merencanakan, mengawasi dan mengevaluasi seluruh kegiatan pelayanan

kefarmasian di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

Dalam melaksanakan kegiatan pelayanan kefarmasian sesuai dengan

Permenkes No. 72 tahun 2016, kepala instalasi dibantu oleh wakil kepala instalasi,

administrasi, dan Apoteker lainnya yang bertanggung jawab terhadap unit

pelayanan farmasi yaitu lima belas (15) depo farmasi dan 1 gudang farmasi.

A. Kepala Instalasi Farmasi

16
Kepala instalasi farmasi RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh mempunyai

tugas memimpin, menyelenggarakan, mengkoordinasi, merencanakan, mengawasi,

dan mengevaluasi seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di RSUD dr. Zainoel

Abidin Banda Aceh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Wakil Kepala Instalasi Farmasi

Wakil kepala instalasi farmasi RSUD dr. Zainoel Abidin mempunyai tugas

membantu kepala instalasi farmasi dalam menyelenggarakan, mengkoordinasikan,

merencanakan, mengawasi, dan mengevaluasi seluruh kegiatan pelayanan

kefarmasian sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menggantikan

tugas kepala instalasi farmasi apabila berhalangan hadir.

C. Administrasi

Tata usaha farmasi yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung

kepada kepala instalasi farmasi RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, mempunyai

tugas membantu kepala instalasi farmasi dalam hal mengkoordinasikan kegiatan

ketatausahaan, pelaporan, mengarsipkan surat masuk dan keluar, serta urusan

kepegawaian instalasi farmasi.

D. Gudang Farmasi

Gudang Farmasi sebagai salah satu unsur pelaksana utama dipimpin oleh

seorang Apoteker yang bertugas membantu kepala Instalasi untuk menyimpan, dan

mendistribusikan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP ke depo-depo farmasi

dan ruang rawat inap, mengusulkan pelaksanaan pemusnahan perbekalan farmasi

yang kadaluarsa dan rusak serta administrasi perbekalan farmasi. Dalam

melaksanakan tugasnya, kepala gudang farmasi dibantu oleh beberapa Tenaga

Teknis Kefarmasian (TTK).

17
E. Unit Pelayanan Farmasi

Unit pelayanan farmasi di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh terdiri dari

depo-depo farmasi yang dipimpin oleh seorang Apoteker yang bertanggungjawab

langsung kepada kepala instalasi farmasi. Depo farmasi di instalasi farmasi RSUD

dr. Zainoel Abidin Banda Aceh terdiri dari 15 depo farmasi, yaitu: Depo Rawat

Jalan, Depo IGD, Depo Intensif, Depo OK, Depo Raudhah 1,2,3, Depo Raudah 4,5,

Depo Raudhah 6,7, Depo Shafa – Nabawi, Depo Arafah, Depo Mina, Depo Aqsha,

Depo Marwah, Depo Tursina, Depo Poli Pinere, Depo IGD Pinere dan 1 Gudang

Farmasi.

1. Pemilihan

Kegiatan pemilihan sediaan farmasi berupa obat-obatan berdasarkan :

1. Formularium Nasional (FORNAS) adalah daftar obat yang disusun

berdasarkan bukti ilmiah mutakhir oleh Komite Nasional Penyusunan Fornas.

Selain itu, Fornas juga dapat memudahkan perencanaan dan penyediaan obat,

serta meningkatkan efisiensi anggaran pelayanan kesehatan.

2. Formularium Rumah Sakit (FORKIT) merupakan daftar obat yang disepakati


staf medis, disusun oleh komite/Tim Farmasi dan Terapi, dimana Komite/Tim

Farmasi dan Terapi dapat diketuai oleh seorang dokter atau seorang Apoteker,

apabila diketuai oleh dokter maka sekretarisnya adalah Apoteker, namun

apabila diketuai oleh Apoteker, maka sekretarisnya adalah dokter. Di Rumah

Sakit Umum dr.Zainoel Abidin Banda Aceh Komite Farmasi dan Terapi

diketuai oleh dokter spesialis dan apoteker sebagai sekretarisnya.

Pemilihan Alkes serta BMHP di Rumah Sakit Umum dr.Zainoel Abidin

Banda Aceh berdasarkan pada:

18
1) Pemakaian periode terdahulu

2) Pola penyakit

3) Daftar harga dan spesifikasi yang ditetapkan oleh rumah sakit

2. Perencanaan

Perencanaan perbekalan farmasi merupakan proses kegiatan untuk

menentukan jumlah dan periode perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan

dan anggaran untuk menghindari kekosongan obat. Perencanaan di RSUDZA

dilakukan oleh Instalasi Farmasi menggunakan metode kombinasi konsumsi dan

epidemiologi dari data yang diperoleh pada penggunaan obat, alat kesehatan dan

bahan medis habis pakai periode sebelumnya.

Perencanaan skala depo (unit terkecil) meliputi Rawat Jalan dan Rawat Inap

berdasarkan kebutuhan pemakaian sebelumnya.

3. Pengadaan

Pengadaan sediaan farmasi di RSUD dr. Zainoel Abidin merupakan kegiatan

untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui serta

dilaksanakan sesuai kebijakan Rumah Sakit. Pengadaan sediaan farmasi, alat

Kesehatan, dan bahan medis habis pakai dilakukan oleh bagian pengadaan.

Pengadaan Depo Farmasi meliputi Rawat Jalan dan Rawat inap dilakukan

sesuai kebutuhan. Dimana pengadaan dilakukan melalui pengamprahan dilakukan

setiap dua kali dalam seminggu melalui aplikasi SIMRS (Sistem Informasi

Manajemen Rumah Sakit) ke Instalasi Farmasi Rumah Sakit sebelum jam 09.00

WIB. Biasanya petugas melakukan pengamprahan 1 hari sebelumnya.

Apabila terjadi kekosongan obat, pihak Rumah Sakit juga bekerja sama

dengan Kimia Farma yang berada di lingkungan Rumah Sakit. Dimana saat terjadi

19
kekosongan obat pihak Depo Farmasi membuat permintaan dengan copy resep ke

Apotek Kimia Farma.

4. Penerimaan

a) Gudang Farmasi

Prosedur penerimaan perbekalan farmasi di RSUD dr. Zainoel Abidin adalah

sebagai berikut:

a) Tim penerima barang memeriksa kesesuaian surat pesanan dengan faktur

yang meliputi:

a) Nama, satuan, jumlah, jenis dan bentuk sediaan

b) Kondisi fisik.

c) Tanggal kadaluarsa.

2. Bila telah memenuhi syarat, barang akan diterima oleh tim penerima barang

farmasi kemudian diserahkan kepada petugas penanggungjawab untuk

masing-masing barang.

3. Bila tidak memenuhi syarat barang tersebut dikembalikan ke supplier untuk

diganti.

4. Penanggung jawab masing-masing barang melakukan pencatatan di dalam

kartu stok dan dilaporkan pada Apoteker penanggung jawab.

5. Apoteker penanggung jawab akan merekapitulasi stok yang telah dibuat oleh

masing-masing penanggungjawab

b) Depo Farmasi

Prosedur penerimaan perbekalan farmasi di Depo Farmasi baik Rawat Jalan

maupun Rawat Inap adalah

20
1. Petugas memeriksa kesesuaian surat permintaan dengan penerimaan

meliputi:

a) Nama, satuan, jumlah, jenis dan bentuk sediaan

b) Kondisi fisik.

c) Tanggal kadaluarsa.

2. Bila telah memenuhi syarat, barang akan diterima

3. Bila tidak memenuhi syarat akan dikonfirmasi ke bagian Instalasi Farmasi

5. Penyimpanan

Setelah dilakukan penerimaan di instalasi farmasi RSUD dr. Zainoel Abidin

Banda Aceh, sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai disimpan

sesuai tempatnya. Penyimpanan perbekalan farmasi sesuai dengan persyaratan

untuk menjamin kualitas dan keamanan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan

medis habis pakai yang disusun berdasarkan:

1) Bentuk sediaan.

2) Alfabetis.

3) FIFO (First In First Out) dan FEFO (First expired First Out), dimana

barang yang baru diterima disimpan di bagian belakang dari barang yang

diterima sebelumnya, dan sistem FEFO yang berdasarkan tanggal

kadaluarsa barang.

4) Penyimpanan perbekalan farmasi sesuai dengan suhu. Untuk sediaan yang

termolabil disimpan dalam lemari pendingin disertai alat pengukur suhu

(suhu 2–8 °C). sedangkan sediaan yang stabil pada suhu ruangan disimpan

pada rak penyimpanan disertai alat pengukur suhu dan kelembaban.

5) Narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari khusus dan terkunci.

21
6) Penyimpanan obat-obat kemoterapi, hemofili, dan obat HIV/AIDS dalam

ruang khusus yang terpisah dari obat lainnya

7) Obat-obat yang perlu diwaspadai “High Alert” contohnya larutan pekat

MgSO4 40%, NaCl 3% diberi tanda High Alert dan obat LASA seperti

injeksi ephinefrin dan ephedrin diberi tanda “LASA” pada tempat

penyimpanannya. Penyimpanan obat High Alert di gudang farmasi

disimpan dalam lemari khusus dan diberi stiker garis merah di sekeliling

lemari.

Di RSUDZA karena sudah memiliki sertifikat syariah, maka untuk obat

yang haram diletakkan terpisah dan diberi label “Haram”.

6. Distribusi

a) Gudang Farmasi

Pendistribusian dilakukan oleh Gudang Farmasi RSUD dr. Zainoel Abidin ke

unit-unit terkait seperti depo farmasi, poliklinik, dan ruang rawatan.

Instalasi farmasi dalam hal ini bertanggung jawab terhadap efektifitas dan

keamanan perbekalan farmasi yang ada di depo farmasi, dimana pada masing-

masing depo farmasi mempunyai seorang Apoteker penanggung jawab.

b) Depo Farmasi Rawat Jalan

Depo farmasi rawat jalan menerapkan sistem distribusi resep perseorangan.

Obat dan BMHP diserahkan kepada pasien berdasarkan resep Dokter. Resep pasien

rawat jalan dibedakan berdasarkan kronis dan tidaknya penyakit. Untuk pasien

dengan penyakit kronis biasanya Dokter meresepkan jumlah obat untuk 30 hari

pemakaian, sedangkan untuk pasien biasa Dokter meresepkan obat tidak lebih dari

10 hari pemakaian.

22
Depo farmasi rawat jalan melayani pasien yang datang ke poliklinik RSUD

dr. Zainoel Abidin, setelah selesai pemeriksaan di poliklinik dan pasien

mendapatkan resep dari Dokter, selanjutnya pasien membawa resep ke depo

farmasi rawat jalan, kemudian pasien diberi nomor antrian dan nomor antrian

tersebut juga dicatat pada lembaran resep. Pemberian nomor antrian bertujuan

untuk menghindari kesalahan pemberian obat kepada pasien karena jumlah pasien

rawat jalan di RSUD dr. Zainoel Abidin ± 700 orang setiap harinya. Setelah obat

disiapkan sesuai resep, obat diserahkan kepada pasien beserta informasi yang

diperlukan.

Pencatatan obat yang digunakan oleh pasien rawat jalan dengan penyakit

kronis (hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung dan pembuluh) dan non-

kronis dilakukan secara komputerisasi, hal ini dapat mencegah pemberian obat yang

berulang untuk pasien dengan penyakit kronis dalam bulan yang sama.

c) Depo Farmasi Rawat Inap

Depo Farmasi Rawat Inap menerapkan sistem distribusi UDD (Unit Dose

Dispensing) dan Floor Stock. Setiap harinya petugas mengisi KCO (Kartu Catatan

Obat) berdasarkan DIMF dan menyiapkan obat, alat kesehatan, dan BMHP. Sistem

distribusi UDD dimana pasien mendapat obat dalam dosis satu hari pemakaian.

Pemberian obat dibedakan dari warna etiket berdasarkan waktu pemakaian,

dimana hijau untuk pagi hari, kuning untuk siang hari, dan merah untuk malam hari.

Kemudian petugas meletakkan obat yang telah disiapkan pada masing-masing loker

pasien. Penerapan sistem UDD bertujuan untuk mengurangi resiko kehilangan obat

karena Apoteker dapat mengontrol jumlah obat yang digunakan pasien sehingga

penggunaan obat rasional dan efektif dapat dicapai.

23
7. Pemusnahan

Pemusnahan dan Penarikan dilakukan oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit

mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No.72 tahun 2016 tentang standar

pelayanan kefarmasian di rumah sakit yaitu pemusnahan resep oleh pihak Rumah

Sakit setiap 5 tahun sekali dengan membuat berita acara pemusnahan dan membuat

laporan kepada kepala Rumah Sakit.

Pemusnahan obat dan BMHP dilakukan oleh IPSLRS (Instalasi Pemeliharaan

Sanitasi Lingkungan Rumah Sakit). Awalnya obat yang sudah mendekati tanggal

kadaluarsa dikumpulkan dan dikembalikan ke Instalasi Farmasi. Kemudian

diteruskan ke IPSL untuk dimusnahkan.

IPSLRS menangani semua limbah hasil kegiatan dari semua instalasi, unit-

unit dan ruangan di RSUD dr. Zainoel Abidin meliputi limbah padat (limbah padat

medis dan limbah padat non medis), limbah cair dan limbah gas. Pengelolaan

limbah medis di Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin sudah sesuai dengan Kepmenkes

RI No. 1204/MENKES/SK/X 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan

Rumah Sakit.

a) Limbah Padat

Limbah padat Rumah Sakit terdiri dari limbah padat medis dan limbah padat

non medis. Limbah padat medis terdiri dari limbah infeksius, limbah benda tajam,

limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah kimiawi dan limbah radioaktif sedangkan

limbah padat non medis terdiri dari limbah dapur, limbah perkantoran dan limbah

taman. Pengelolaan limbah medis yang dilakukan di RSUD dr. Zainoel Abidin

adalah sebagai berikut:

24
1. Pemilahan jenis limbah sesuai dengan Kepmenkes No.

1204/MENKES/SK/X/2004 yaitu untuk limbah infeksius dengan kantong

plastik warna kuning dan limbah benda tajam dimasukkan ke dalam safety

box isi 5 Liter.

2. Pengumpulan sampah medis di RSUD dr. Zainoel Abidin dilakukan oleh

petugas cleaning service pada masing-masing ruangan yang menghasilkan

limbah medis, dan di masukkan pada tong sampah medis berwarna kuning

dengan kapasitas 240 liter diletakkan pada collection point.

3. Pengangkutan atau pengambilan limbah medis dari ruangan penghasil limbah

medis diambil oleh petugas cleaning service dengan menggunakan troli

berwarna kuning kapasitas 660 liter ke tempat pembuangan pada incinerator.

4. Pengukuran berat limbah medis dilakukan sebelum pembakaran untuk

mengetahui beratnya (maksimal 30 kg untuk 1 x pembakaran di incenerator).

5. Pemusnahan limbah medis dilakukan melalui proses pembakaran

menggunakan incenerator dengan suhu 1200ºC.

Pengelolaan limbah non-medis yang dilakukan di Rumah Sakit Umum daerah dr.

Zainoel Abidin adalah sebagai berikut:

a. Sampah umum dimasukkan kedalam tong sampah non-medis yang dilapisi

dengan plastik warna hitam oleh petugas.

b. Sampah sisa makanan dari dapur dimasukkan ke dalam kantong plastik dan

dikeluarkan oleh pramusaji kemudian dimasukkan ke dalam tong sampah

yang selanjutnya diambil oleh petugas cleaning service dibawa ke tempat

penampungan sementara (TPS) yang disediakan oleh RSUD dr. Zainoel

Abidin dan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Banda Aceh.

25
c. Pengangkutan sampah dari ruangan dilakaukan 4 kali sehari menggunakan

troli khusus sampah non-medis berwarna hitam kapasitas 660 liter.

d. Sampah umum yang ada di container sampah (tempat penampungan

sementara) diangkut oleh petugas dinas kebersihan dan pertamanan Kota

Banda Aceh di bawa ke tempat penampungan akhir (TPA) di Gampong Jawa

Banda Aceh 1 hari sekali.

b) Limbah Cair

Pengolahan air limbah yang berasal dari semua aktivitas Rumah Sakit umum

dr. Zainoel Abidin mempunyai karakteristik infeksi dan non infeksi. Pada

Pengolahan Air Limbah (IPAL), limbah cair dan tinja dari semua unit pelayanan

Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin dialirkan ke bak sumpit (bak

pengumpulan utama) dengan sistem gravitasi. Khusus limbah cair dari Instalasi

Gizi sebelum dialirkan kebak sumpit terlebih dahulu ke bak penangkapan lemak.

Bak sumpit dibagi dua bagian yang dibatasi dengan bak skren yang berfungsi

untuk penyaringan benda-benda terapung agar tidak masuk kedalam pompa

distribusi. Air limba dari bak sumpit (bak penampung utama di pompa ke IPAL

dengan menggunakan pompa sumersible ukuran 4 inchi dengan sistem automatis,

proses pengolahan menggunakan sistem aerob. Air limbah dari bak sumpit

dipompakan ke bak pengolahan pertama (septik tank). Kemudian masuk ke bufer

reaktor dengan sistem over flow. Lalu masuk ke bak an-aerobic filter dengan sistem

over flow yang dilengkapi dengan biodex. Dari bak an-aerobic filter air limbah

tersebut dipompakan ke bak aerasi. Dari bak aerasi setelah proses penguraian air

masuk ke bak sedimentasi dengan sisitem over flow. Dari bak sedimentasi air yang

26
telah bersih masuk ke bak kaporisasi. Dari bak kaporisasi masuk ke bak uji biologis,

baru dibuang kesaluran umum/ drainase kota.

Pengelolaan limbah cair di Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin sudah sesuai

dengan keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. Kep/58/MenLH/12/1995, hal ini

dapat dilihat dari adanya pemeriksaan keamanan oleh laboratorium Kesda NAD

setiap enam bulan sekali terhadap limbah cair yang di buang ke drainase kota.

c) Limbah Gas

Pengolahan dan pemusnahan limbah medis padat dengan incenerator yang

dilakukan di Rumah Sakit dr. Zainoel Abidin mengacu pada Keputusan menteri

Lingkungan Hidup No. Kep/13/MenLH/12/1995 tentang baku mutu limbah gas

(emisi) sumber tidak bergerak. Pemeriksaaan limbah gas dilakukan oleh PT.

Scopindo Medan setiap enam bulan sekali.

8. Pengendalian

Kegiatan pengendalian di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda

Aceh dengan melakukan stock opname dilakukan secara periodik dan berkala yaitu

setiap akhir bulan pada tanggal 30. Tujuan pengendalian untuk memastikan

persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan, kekurangan/kekosongan,

kerusakan kadaluarsa, kehilangan serta pengendalian pesanan sediaan farmasi alat

kesehatan dan bahan medis habis pakai.

9. Pencatatan dan pelaporan

Setiap unit instalasi farmasi rumah sakit melakukan pencatatan dan

pelaporan yang dapat dilakukan secara komputerisasi atau Software SIMRS

(Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit) dan manual dengan

menggunakan kartu stok.

27
10. Monitoring dan evaluasi

Salah satu upaya untuk mempertahankan mutu pengelolaan perbekalan

farmasi rumah sakit adalah melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi.

Monitoring yang dilakukan adalah melalui stok opname yaitu pemeriksaan barang

yang dilakukan satu bulan sekali, dimana jumlah fisik barang dibandingkan dengan

data persediaan. Indikator yang digunakan dalam melakukan evaluasi antara lain:

1. Alokasi dana pengadaan obat

2. Jumlah hutang dan piutang

3. Biaya obat per kunjungan resep

4. Presentase dan nilai obat rusak

28
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang telah

dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin dapat diambil

kesimpulan bahwa:

1. Melalui PKPA calon apoteker telah memahami Peran, fungsi, dan tanggung

jawab apoteker dalam pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.

2. Pasien RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh merupakan pasien rujukan dari
puskesmas atau rumah sakit daerah yang merupakan peserta jaminan

kesehatan BPJS.

3. Sistem pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP di RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh melalui penunjukan langsung dan E-Katalog

4. Sistem penyimpanan dan pengeluaran sediaan farmasi, alat kesehatan dan


BMHP menggunakan sistem FIFO dan FEFO

5. Sistem pendistribusian di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh


menggunakan sistem perseorangan, UDD (Unit Dose Dispensing), dan Floor

stock.

B. Saran

Dari hasil Praktik Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit Umum Daerah dr.

Zainoel Abidin Banda Aceh diharapkan dapat meningkatkan pelayanan

kefarmasiannya dan terus memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk

29
mahasiswa agar dapat menggali ilmu dan menambah pengalaman dalam melakukan

PKPA di RSUD dr.Zainoel Abidin Banda Aceh.

30
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
PerMenkesRI, 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56
Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
PerMenKesRI, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72
Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
PresidenRI, 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia
PresidenRI, 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

31
Lampiran 1. Bagan Organisasi RSUDZA

Bagan Organisasi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin

32
Lampiran 2. Formularium Rumah Sakit

Formularium RSUDZA

33
Lampiran 3. Depo Rawat Jalan

Lemari penyimpanan obat Sitostatika

Tempat Penyimpanan Stok Obat Rawat Jalan

34
Ruang Verifikasi/Penerimaan Resep Rawat Jalan

Ruang Pengambilan Obat dan Pengemasan Rawat Jalan

35
Rak Obat Tablet (kiri) Salap dan Tetes Mata (kanan) Rawat Jalan

Rak Obat Rawat Jalan

36
Lampiran 4. Gudang Farmasi

Lemari Penyimpanan Obat High Alert di Gudang Farmasi

Tempat Penyimpanan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)

37
Lembar Pencatatan Pemantauan Suhu Lemari Pendingin Obat

38
Lampiran 5. Depo Rawat Inap

Rak Obat di Depo Farmasi

39
Lampiran 6. IPSL Rumah Sakit

IPSL Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin

40
IPAL Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin

Tempat Pengumpulan Sampah Non Medis

41
Lampiran 7. Ongkologi

Penyiapan Obat Peracikan Kemoterapi

42
Rak obat Regimen Kemoterapi

43
Lampiran 8. Lembar Rekonsiliasi

44
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
FARMASI RUMAH SAKIT

PELAYANAN FARMASI KLINIS

DI RUMAH SAKIT dr. ZAINOEL ABIDIN – BANDA ACEH


13 DESEMBER 2021 – 18 FEBRUARI 2022

Disusun Oleh :

DESTARI, S.Farm Nim : 210213018


PUTRI WAHYUNINGSIH, S.Farm Nim : 210213036
RAIHAN FATIA AMIRUDDIN, S.Farm Nim : 210213037

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberi rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktik Kerja Profesi Apoteker
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Shalawat beserta salam semoga selalu
tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad saw. kiblat dalam perjalanan kita
sebagai generasi penerusnya hingga akhir zaman.
Praktek Kerja Profesi Apoteker ini merupakan salah satu syarat dalam
mengikuti Program Studi Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia untuk memperoleh gelar Apoteker.
Terlaksananya Praktek Kerja Profesi Apoteker ini tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Taruli Rohana Sinaga S.Kep, MKM selaku
Dekan Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia,
kepada Ibu apt. Dra. Modesta Tarigan, M.Si sebagai Ketua Program Studi
Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari
Mutiara Indonesia.
Dan juga kepada Ibu apt. Fitri Yani, S.Farm., M.Clin.Pharm., Ibu apt Azizah
Vonna, M.Pharm.Sci., Ibu apt. Yunita Suffiana, M.Sc., Ibu apt. Rita Novika,
S.Farm., Ibu apt Ika Fitri Ramadhana, S.Farm., selaku pembimbing di RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh yang telah berkenan memberikan arahan, bimbingan
dan berbagi pengalamannya kepada penulis selama melaksanakan Praktek Kerja
Profesi Apoteker hingga selesainya penulisan laporan ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak dan Ibu Staf Pengajar
Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas
Sari Mutiara Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada
penulis, seluruh karyawan di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh atas kerja sama
dan bantuan yang telah diberikan selama penulis melaksanakan Praktik Kerja
Profesi Apoteker ini.
Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dan tak
terhingga kepada kedua orang tua, suami serta keluarga besar saya atas doa, kasih

ii
sayang, nasihat dukungan baik moril maupun materil, dan tak lupa juga kepada
teman-teman satu tim dalam melaksanakan Praktek Kerja Profesi yang telah
bekerja sama dengan baik selama masa praktik kerja profesi di RSUD dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi
kesempurnaan laporan ini.
Penulis berharap semoga laporan Praktek Kerja Profesi ini dapat menambah
ilmu pengetahuan di bidang farmasi, khususnya farmasi rumah sakit dan dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Banda Aceh, Februari 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

JUDUL .......................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................. 1
B. Tujuan ................................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................ 3
2.1. Pengkajian dan Pelayanan Resep ................................................................... 3
2.2.Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat ......................................................... 4
2.3.Rekonsiliasi Obat ............................................................................................... 6
2.4.Pelayanan Informasi Obat (PIO) ..................................................................... 7
2.5.Konseling ............................................................................................................ 8
2.6.Visite ................................................................................................................... 9
2.7.Pemantauan Terapi Obat (PTO) ................................................................... 10
2.8.Monitoring Efek Samping Obat (MESO) ..................................................... 11
2.9.Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) ................................................................. 11
2.10.Dispensing Sediaan Steril ............................................................................. 12
2.11.Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah (PKOD) ...................................... 12
BAB III PEMBAHASAN ........................................................................................ 13
3.1.Pengkajian dan Pelayanan Resep .................................................................. 13
3.2.Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat ....................................................... 14
3.3.Rekonsiliasi Obat ............................................................................................. 15
3.4.Pelayanan Informasi Obat (PIO) ................................................................... 15
3.5.Konseling .......................................................................................................... 16
3.6.Visite ................................................................................................................. 16
3.7.Pemantauan Terapi Obat (PTO) ................................................................... 16
3.8.Monitoring Efek Samping Obat (MESO) ..................................................... 17
3.9.Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) ................................................................. 18
3.10.Dispensing Sediaan Steril ............................................................................. 18
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 20
3.1.Kesimpulan ...................................................................................................... 20

iv
4.1.Saran ................................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 22

v
DAFTAR LAMPIRAN
HALAMAN

Lampiran 1. Penyampaian informasi obat langsung pada pasien terkait

obat yang diterima .................................................................... 23

Lampiran 2. Penyuluhan pada pasien mengenai cara pemakaian Inhaler,

Insulin, dan Sendok Takar ....................................................... 23

Lampiran 3. PIO melalui Media Cetak mengenai profil antibiotik ............... 25

Lampiran 4. lembar form PTO ...................................................................... 44

Lampiran 5. Standar Prosedur Operasional MESO........................................ 45

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut undang-undang Republik Indonesia No. 72 tahun 2016 tentang

Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Pelayanan Kefarmasian adalah

suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan

dengan sediaan farmasi dengan mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan

mutu kehidupan pasien. Pelayanan farmasi klinis merupakan bagian dari kegiatan

pelayanan kefarmasian yang dilakukan dirumah sakit.

Apoteker khususnya yang bekerja di Rumah Sakit dituntut untuk

merealisasikan perluasan paradigma Pelayanan Kefarmasian dari orientasi produk

menjadi orientasi pasien. Untuk itu kompetensi Apoteker perlu ditingkatkan secara

terus menerus agar perubahan paradigma tersebut dapat diimplementasikan.

Apoteker harus dapat memenuhi hak pasien agar terhindar dari hal-hal yang tidak

diinginkan termasuk tuntutan hukum. Dengan demikian, para Apoteker Indonesia

dapat berkompetisi dan menjadi tuan rumah di negara sendiri. Perkembangan di

atas dapat menjadi peluang sekaligus merupakan tantangan bagi Apoteker untuk

maju meningkatkan kompetensinya sehingga dapat memberikan Pelayanan

Kefarmasian secara komprehensif dan simultan baik yang bersifat manajerial

maupun farmasi klinik.

Apoteker dalam melaksanakan kegiatan Pelayanan Kefarmasian tersebut

juga harus mempertimbangkan faktor risiko yang terjadi yang disebut dengan

manajemen risiko. Beberapa risiko yang berpotensi terjadi dalam melaksanakan

1
pelayanan farmasi klinik adalah factor risiki yang terkait dengan kondisi klinik

pasien seperti umur, gender, etnik, ras, status kehamilan, status nutrisi, system

imun, fungsi ginjal, dan fungsi hati, kemudian factor risiko yang terkait dengan

penyakit pasien seperti tingkat keparahan, persepsi pasien terhadap tingkat

keparahan, tingkat cedera yang ditimbulkan oleh keparahan penyakit, dan risiko

yang terjadi terkait farmakoterapi pasien seperti toksisitas, profil reaksi obat yang

tidak dihendaki, rute dan teknik pemberian, dan ketepatan terapi.

Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) dirumah sakit merupakan salah satu

cara yang dilakukan oleh institusi pendidikan untuk meningkatkan kompetensi dan

pengalaman bagi calon apoteker untuk menghadapi dunia kerja yang sebenarnya.

Oleh karena itu, Program Studi ProfesiApoteker Universitas Sari Mutiara Indonesia

bekerjasama dengan Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh untuk

melaksanakan PKPA. Kegiatan ini diharapkan dapat menciptakan calon apoteker

yang kompeten, memahami peran dan tanggung jawab apoteker di rumah sakit serta

mengetahui semua aspek kegiatan kefarmasian yang berlangsung di rumah sakit

sehingga dapat menjadi pengalaman yang mendasari pekerjaannya ketika nanti

resmi menjadi apoteker dan menjalankan tugas dan tanggungjawab di rumah sakit.

B. Tujuan

Tujuan diadakannya Praktek Kerja Profesi Apoteker di rumah sakit ini adalah

sebagai berikut:

1. Mengetahui tentang peran, fungsi, dan tanggung jawab Apoteker dalam

pelayanan kefarmasian di rumah sakit.

2. Mengetahui tentang pelayanan farmasi klinis di rumah sakit.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Permenkes No 72 Tahun 2016, Pelayanan farmasi klinik

merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam

rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek

samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga

kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin. Pelayanan farmasi klinik yang

dilakukan menurut Peraturan Menteri Kesehatan No 72 Tahun 2016 tentang

Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi:

2.1. Pengkajian dan Pelayanan Resep

Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,

pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP termasuk

peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap

tahap alur pelayanan resepdilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan

pemberian obat (medication error). Kegiatan ini untuk menganalisa adanya

masalah terkait obat, bila ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan

kepada dokter penulis resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai

persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk

pasien rawat inap maupun rawat jalan.

• Persyaratan administrasi meliputi:

A. Nama, Umur, Jenis Kelamin, Berat Badan dan Tinggi Badan Pasien,

3
B. Nama, Nomor Ijin, Alamat dan Paraf Dokter,

C. Tanggal Resep, dan

D. Ruangan/Unit Asal Resep.

• Persyaratan farmasetik meliputi:

A. Nama Obat, Bentuk dan Kekuatan Sediaan,

B. Dosis dan Jumlah Obat,

C. Stabilitas, dan

D. Aturan dan Cara Penggunaan.

• Persyaratan klinis meliputi:

A. Ketepatan Indikasi, Dosis dan Waktu Penggunaan Obat,

B. Duplikasi Pengobatan,

C. Alergi dan Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki (ROTD),

D. Kontraindikasi, dan

E. Interaksi Obat.

2.2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat

Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk

mendapatkan informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah

dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau

data rekam medik/pencatatan penggunaan obat pasien.

Tahapan penelusuran riwayat penggunaan Obat:

A. Membandingkan riwayat penggunaan obat dengan data rekam

medik/pencatatan penggunaan obat untuk mengetahui perbedaan informasi

penggunaan obat;

4
B. Melakukan verifikasi riwayat penggunaan obat yang diberikan oleh tenaga

kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika diperlukan;

C. Mendokumentasikan adanya alergi dan reaksi obat yang tidak dikehendaki

(ROTD);

D. Mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi obat;

E. Melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan obat;

F. Melakukan penilaian rasionalitas obat yang diresepkan;

G. Melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap obat yang

digunakan;

H. Melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan obat;

I. Melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan obat;

J. Memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap obat dan alat bantu kepatuhan

minum obat (Concordance Aids);

K. Mendokumentasikan obat yang digunakan pasien sendiri tanpa

sepengetahuan dokter; dan

L. Mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan pengobatan alternatif

yang mungkin digunakan oleh pasien

Informasi yang harus didapatkan:

1. Nama obat (termasuk obat non resep), dosis, bentuk sediaan, frekuensi

penggunaan, indikasi dan lama penggunaan obat.

2. Reaksi obat yang tidak dikehendaki termasuk riwayat alergi.

3. Kepatuhan terhadap regimen penggunaan obat (jumlah obat yang tersisa).

5
2.3. Rekonsiliasi Obat

Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan intruksi pengobatan

dengan obat yang telah didapatkan pasien. Rekonsiliasi dilakukan kuntuk

mencegah terjadinya kesalahan obat (Medication Error) seperti obat yang tidak

diberikan, duplikasi, kesalahan dosis, atau interaksi obat. Tujuan dilakukan

rekonsiliasi obat adalah:

1. Memastikan informasi yang akurat tentang obat yang digunakan pasien

2. Mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi

dokter

3. Mengindetifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya intruksi dokter.

Tahap proses rekonsiliasi Obat yaitu:

a. Pengumpulan data

Mencatat data dan memverifikasi Obat yang sedang dan akan digunakan

pasien, meliputi nama Obat, dosis, frekuensi, rute, Obat mulai diberikan, diganti,

dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek samping Obat yang

pernah terjadi. Khusus untuk data alergi dan efek samping Obat, dicatat tanggal

kejadian, Obat yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan efek samping, efek

yang terjadi, dan tingkat keparahan.

Data riwayat penggunaan Obat didapatkan dari pasien, keluarga pasien,

daftar Obat pasien, Obat yang ada pada pasien, dan rekam medik/medication chart.

Data Obat yang dapat digunakan tidak lebih dari 3 (tiga) bulan sebelumnya. Semua

Obat yang digunakan oleh pasien baik Resep maupun Obat bebas termasuk herbal

harus dilakukan proses rekonsiliasi.

6
b. Komparasi

Petugas kesehatan membandingkan data Obat yang pernah, sedang dan akan

digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan adalah bilamana ditemukan

ketidakcocokan/perbedaan diantara data-data tersebut. Ketidakcocokan dapat pula

terjadi bila ada Obat yang hilang, berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada

penjelasan yang didokumentasikan pada rekam medik pasien. Ketidakcocokan ini

dapat bersifat disengaja (intentional) oleh dokter pada saat penulisan Resep maupun

tidak disengaja (unintentional) dimana dokter tidak tahu adanya perbedaan pada

saat menuliskan Resep.

c. Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidaksesuaian

dokumentasi.

2.4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan

pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, terkini dan

komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, Apoteker, perawat,

profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar Rumah Sakit.

Pelayanan Informasi Obat (PIO) bertujuan untuk:

1. Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan

di lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain di luar Rumah Sakit.

2. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan

dengan obat/sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP, terutama bagi tim

farmasi dan terapi.

3. Menunjang penggunaan obat yang rasional.

7
2.5. Konseling

Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait

terapi obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya.

Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan

dapat dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau

keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien

dan/atau keluarga terhadap Apoteker. Pemberian konseling obat bertujuan untuk

mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak

Dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya

meningkatkan keamanan penggunaan obat bagi pasien (patient safety).

Kegiatan dalam konseling Obat meliputi:

A. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien;

B. Mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan Obat

melalui Three Prime Questions;

C. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien

untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat;

D. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah

pengunaan Obat;

E. Melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman pasien;

dan

F. Dokumentasi.

8
Kriteria pasien yang diberi konseling yaitu:

1. Pasien kondisi khusus (pediatric, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil

dan menyesui).

2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi,

dll).

3. Pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus.

4. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit.

5. Pasien yang menggunakan banyak obat/polifarmasi.

6. Pasien yang mempunayai riwayat kepatuhan rendah (PMK No.72, 2016).

2.6. Visite

Visite merupakan kegiatan kunjungan kepasien rawat inap yang dilakukan

Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati

kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat,

memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi

obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien serta

professional kesehatan lainnya. Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah

keluar Rumah Sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program

Rumah Sakit yang biasa disebut dengan pelayanan kefarmasian di rumah (Home

Pharmacy Care). Sebelum melakukan kegiatan visite Apoteker harus

mempersiapkan diri dengan mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan

memeriksa terapi obat dari rekam medik atau sumber lain.

9
2.7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup

kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.

Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko

Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).

• Kegiatan dalam PTO meliputi:

A. Pengkajian pemilihan Obat, dosis, cara pemberian Obat, respons terapi,

Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);

B. Pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat; dan

C. Pemantauan efektivitas dan efek samping terapi Obat.

• Tahapan PTO:

A. Pengumpulan data pasien;

B. Identifikasi masalah terkait obat;

C. Rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat;

D. Pemantauan; dan

E. Tindak lanjut.

• Faktor yang harus diperhatikan:

A. Kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kritis terhadap bukti

terkini dan terpercaya (evidence based medicine);

10
B. Kerahasiaan informasi; dan

C. Kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat).

2.8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan

setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim

yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek

Samping Obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja

farmakologi. MESO bertujuan:

1. Menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang

berat, tidak dikenal, frekuensinya jarang.

2. Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru

saja ditemukan.

3. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi

angka kejadian ESO.

2.9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)

Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan

obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.

Tujuan EPO yaitu: Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas polapenggunaan

obat, Membandingkan pola penggunaan obat pada periode waktu tertentu,

Memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat, Menilai pengaruh

intervensi atas pola penggunaan obat.

11
2.10. Dispensing Sediaan Steril

Dispensing sediaan steril harus dilakukan di instalasi farmasi Rumah Sakit

dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan

melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya

kesalahan pemberian obat. Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi

pencampuran obat suntik, penyiapan nutrisi parenteral, dan penanganan sediaan

sitostaik.

2.11. Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah (PKOD)

Pemantauan Kadar Dalam Darah merupakan interpretasi hasil pemeriksaan

kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi

yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada Dokter. PKOD bertujuan untuk:

Mengetahui kadar obat dalam darah, Memberikan rekomendasi kepada Dokter

yang merawat (PMK No.72, 2016).

12
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Pengkajian dan Pelayanan Resep

Proses pengkajian dan pelayanan resep di Rumah Sakit Umum Daerah dr.

Zainoel Abidin (RSUDZA) dimulai dari proses penerimaan resep, resep dikaji

sesuai :

a. Persyaratan Administrasi

- Nama, SIP dan alamat Dokter

- Tanggal penulisan resep

- Tanda tangan atau paraf dokter

- Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang di minta

- Cara pemakaian

- Informasi lain

b. Persyaratan farmasetik

- Bentuk sediaan

- Sediaan

- Dosis

- Potensi

- Stabilitas

- Inkompatibilitas

- Cara dan lama pemberian

13
c. Persyaratan klinis

- Reaksi alergi

- Efek samping

- Interaksi

- Kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dll)

Sebagai apoteker dalam melakukan pengkajian dan pelayanan resep pada

Depo Rawat Jalan dan Rawat inap yang pertama dilakukan adalah melihat

elegalibilitas pasien, kemudian mengecek obat mengacu pada fornas dengan

melihat dari RPO (Riwayat Penggunaan Obat), melihat duplikasi obat, dosis obat

tidak lazim, dan kesesuaian persyaratan klaim dengan hasil penunjang yang sesuai.

Selain itu pemeriksaan ketersediaan terhadap obat yang diresepkan apakah tersedia

atau tidak dengan melihat data stok pada komputer. Bila terdapat obat yang kosong

apoteker memberikan informasi obat kosong dan alternative penggantinya kepada

dokter. Jika tidak ada obat alternative lainnya, Apoteker mencari obat pada apotek

Kimia Farma yang telah bekerja sama sebagai apotek pelengkap. Setelah obat

dinyatakan ada, pasien diberikan nomer antrian, selanjutnya dilakukan penyiapan

resep. Resep yang telah disiapkan di cek ulang sebelum diserahkan pada pasien.

Selanjunya dilakukan penyerahan obat disertai dengan pemberian informasi obat

seperti nama obat, indikasi, dosis, aturan pakai, efek samping, dan penyimpanan

obat.

3.2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat

Di RSUDZA baik pada Rawat Jalan maupun Rawat Inap penulusuran

riwayat penggunaan obat pasien dilakukan dalam kegiatan wawancara. Wawancara

dilakukan saat pasien di IGD kemudian keluarga pasien di wawancara terkait

14
dengan obat yang sebelumnya sedang digunakan atau telah digunakan. Wawancara

yang dilakukan di IGD dilakukan oleh tenaga kesehatan, baik dokter, apoteker

ataupun perawat. Untuk penelusuran Riwayat penggunaan obat pada depo Rawat

Jalan emngacu kepada RPO pada sistim aplikasi SIMRS, sedangkan penelusuran

penggunaan obat pada depo Rawat Inap dilakukan saat pasien masuk ruang rawatan

dengan melihat lembar pengantar IGD dan wawancara langsung dengan pasien.

3.3. Rekonsiliasi Obat

Rekonsiliasi obat di RSUDZA dilakukan saat melakukan visite ruangan ke

pasien. Pada rekam medis pasien form rekonsiliasi obat diisi data yang ditulis

diperoleh dari data rekam medis pasien. Rekonsiliasi obat dilakukan dengan

membandingkan obat dari IGD (Instalasi Gawat Darurat) dibandingkan dengan

obat diruangan. Obat selanjunya ditulis lagi dilembar rekonsiliasi obat.

3.4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat (PIO) di RSUDZA dilaksanakan pada pasien

rawat jalan dan rawat inap. Untuk pasien rawat jalan, Pelayanan Informasi Obat

(PIO) dilakukan saat proses penyerahan obat kepada pasien. Pada saat penyerahan

obat, pasien diberikan informasi mengenai obat yang diresepkan seperti informasi

nama obat, indikasi, efek samping, penyimpanan obat, aturan pakai, dll. Informasi

diberikan dalam bentuk lisan. Jenis PIO yang dilakukan di Rawat Jalan meliputi

penyampaian informasi obat langsung pada pasien terkait obat yang diterima

(Lampiran 1), penyuluhan pada pasien mengenai cara pemakaian Inhaler, Insulin,

dan Sendok Takar (Lampiran 2), dan melalui media cetak dengan membuat

rangkuman profil antibiotic (Lampiran 3). Untuk pasien rawat inap dilakukan

dengan pemberian Informasi obat secara lisan saat visite. Pasien yang mendapatkan

15
Pelayanan Informasi Obat (PIO) biasanya adalah pasien-pasien tertentu seperti anak

(pediatri), orang tua (geriatri), kondisi khusus seperti pemakaian insulin, inhaler,

tetes mata, tetes hidung, tetes telinga, penyakit kronis, dan lain-lain.

3.5. Konseling

Konseling di RSUDZA dilakukan oleh apoteker kepada pasien rawat inap

maupun rawat jalan. Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan

pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker. Pemberian konseling obat bertujuan

untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi obat yang tidak

dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya

meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi pasien (patient safety).

3.6. Visite

Visite di RSUDZA dilakukan secara mandiri yaitu saat edukasi langsung

kepada pasien dan atau bersama PPA (Profesional Pemberi Asuhan) yaitu visite

bersama tim kesehatan lainya untuk mengamati kondisi klinis pasien secara

langsung. Kegiatan visite dilakukan setiap hari oleh apoteker ke ruang-ruangan

rawat inap dengan memonitoring terapi, rekonsilisasi terapi, serta melakukan KIE

(Komunikasi Informasi dan Edukasi). Apoteker mengisi rekam medis pasien yang

meliputi: Form edukasi pasien, Form lembar CPPT (Catatan Perkembangan Pasien

Terintegrasi), Form lembar rekonsiliasi obat.

3.7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Pemantauan Terapi Obat merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan

untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan

PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat

16
yang Tidak Dikehendaki (ROTD). Langkah-langkah yang diambil dalam

melakukan pemantauan terapi obat yaitu :

a) Menentukan kasus pasien yang diambil (high volume, high risk, geriatri,

polifarmasi, dan duplikasi obat).

b) Menentukan metode yang akan digunakan.

c) Penentuan masalah medis pasien.

d) Penentuan tujuan terapi pasien.

e) Pemberiaan assesment serta rencana tindak lanjut.

Pemantauan terapi obat yang dilakukaan kepada pasien dituliskan pada

lembar form PTO (Lampiran 4). Jika pada saat melakukan PTO terdapat masalah,

Apoteker langsung menuliskan SOAP (Subjektif, Objektif, Assesment dan Plan)

pada lembar CPPT dan kemudian mengkonfirmasi terkait permasalahan yang

terjadi, baik pada pasien, Perawat ataupun Dokter.

3.8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Di RSUDZA pelaksanaan monitoring efek samping obat sudah sesuai SPO

(Standar Prosedur Operasional) (Lampiran 5). Apabila ada keluhan atau informasi

mengenai efek samping obat terhadap pasien/reaksi obat merugikan yang serius dan

jarang terjadi pada dosis lazim. MESO di RSUDZA dilakukan secara kolaboratif

dan dikelola oleh KFT. Pelaporan MESO menggunakan formulir kuning MESO

yang dilengkapi dengan Algoritma Naranjo yang digunakan untuk menilai

kausalitas reaksi obat yang merugikan.

Efek samping obat yang dilaporkan adalah efek samping yang jarang terjadi,

tidak tertera pada label efek samping obat tersebut, serta efek samping yang

mengancam jiwa. Pelaporan MESO dilakukan sebagai suatu alat yang dapat

17
digunakan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya efek samping obat yang

serius dan jarang terjadi.

3.9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)

Evaluasi penggunaan obat di RSUDZA dilakukan berdasarkan metode

retrospektif. Contoh pelaksanaan kegiatan Evaluasi Penggunaan Obat di RSUDZA,

yaitu rasionalisasi penggunaan antibiotik. Rasionalitas antibiotik adalah

penggunaan obat antibiotik sesuai indikasi pada pasien, dengan dosis dan durasi

pemberian yang sesuai. Penggunaan obat yang rasional dapat meningkatkan

kualitas pengobatan dan efektivitas biaya terapi, serta menjamin bahwa obat hanya

digunakan sesuai keperluan. Evaluasi rasionalitas penggunaan antibiotik dilakukan

dengan menganalisis apakah pemberian antibiotik pada penderita dengan riwayat

penyakit tertentu sudah sesuai dengan parameter tepat indikasi, tepat pasien, tepat

dosis, tepat rute pemberian, dan tepat durasi pemberian.

3.10. Dispensing Sediaan Steril

Pelayanan dispensing sediaan steril atau yang lebih dikenal dengan aseptic

dispensing adalah penyiapan sediaan obat steril dengan teknik aseptik dan

dikerjakan dalam ruang bersih yang memenuhi syarat. Dari aspek keselamatan

pasien (patient safety), dispensing sediaan steril merupakan pelayanan yang penting

untuk dilakukan oleh Instalasi Farmasi. Umumnya sediaan steril diberikan secara

intravena. Di RSUDZA dilakukan dispensing sediaan steril. Adapun pencampuran

obat kemoterapi secara aseptik dispensing menggunakan Biological Safety Cabinet

(BSC) dan N5 yang digunakan segera dan diracik dengan aseptis.

18
3.11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)

Merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas

permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas

usulan dari Apoteker kepada dokter. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah

bertujuan untuk mengetahui kadar obat dalam darah dan memberikan rekomendasi

kepada dokter yang merawat. Obat yang mempunyai indeks terapi sempit harus

diperhatikan jika terjadi interaksi dengan obat lain, karena dapat dengan mudah

mempengaruhi efek klinis (obat berkurang khasiatnya atau meningkatkan

toksisitas).

Kegiatan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) belum

dilaksanakan di RSUDZA Banda Aceh. Kegitan ini belum dilaksanakan, karena

selain membutuhkan sumber daya manusia yang mampu menganalisis hasil

pemeriksaan kadar obat dalam darah, juga membutuhkan modal sarana dan

prasarana yang cukup besar.

19
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang telah

dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dapat

diambil kesimpulan bahwa:

1. Melalui PKPA calon apoteker telah memahami Peran, fungsi, dan tanggung

jawab apoteker dalam pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.

2. Pasien RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh merupakan pasien rujukan dari

puskesmas atau rumah sakit daerah yang merupakan peserta jaminan

kesehatan BPJS.

3. Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan di RSUDZA yaitu Pengkajian dan

pelayanan resep, Penelusuran Riwayat penggunaan obat, Rekonsiliasi obat,

Pelayanan Informasi Obat (PIO), Konseling, Visite, Pemantauan terapi Obat

(PTO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO), Evaluasi Penggunaan Obat

(EPO), dan Dispensing Sediaan Steril.

4. Pelayanan farmasi klinik yang belum dilaksanakan di RSUDZA adalah

Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) diakrenakan sumber daya

manusia yang mampu menganalisis hasil pemeriksaan kadar obat dalam

darah juga membutuhkan modal sarana dan prasarana yang cukup besar.

20
4.1. Saran

Dari hasil Praktik Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit Umum Daeras dr.

Zainoel Abidin Banda Aceh diharapkan dapat meningkatkan pelayanan

kefarmasiannya dan terus memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk

mahasiswa agar dapat menggali ilmu dan menambah pengalaman dalam melakukan

PKPA di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.

21
DAFTAR PUSTAKA

PerMenKesRI, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72

Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.

Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

PresidenRI, 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia

PresidenRI, 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009

tentang Rumah Sakit. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.

22
Lampiran 1. Penyampaian informasi obat langsung pada pasien terkait obat yang

diterima

Lampiran 2. Penyuluhan pada pasien mengenai cara pemakaian Inhaler, Insulin,

dan Sendok Takar

Penyuluhan pemakian insulin

23
Penyuluhan Pemakaian Inhaler

Penyuluhan Pemakaian Sendok Takar Obat

24
Lampiran 3. PIO melalui Media Cetak mengenai profil antibiotik

Golongan Nama Antibiotik Coverape Bakteri Dosis Maksimum Stabilitas Referensi


Antibiotik Original Rekonstitusi
Beta Laktam Penicilin Drug
1. Penicillin G 1. Gram + 1. 600 mg – 1,2 Simpan pada Information
Coccus g IM atau IV suhu dibawah gunakan vial Handbook
gram – tiap 6 jam 25ºC pemulihan dan
Beberapa siapkan infus Injectable Drugs
bakteri gram segera Guide

2. Penicillin V 2. Gram + 2. 2-4 g/hari Stabil pada penyimpanan pada


dalam 4 suhu kamar suhu dingin setelah
dosis terbagi direkonstitusi
selama 8
minggu

3. Cloxacillin 3. Gram + 3. 250-500 mg Simpan pada • disimpan pada


IV/IM tiap 6 suhu dibawah suhu kamar
jam 25ºC ±25ºC setelah
rekonstitusi
• 48 jam di
bawah
pendinginan

25
4. Dicloxacillin 4. Gram + 4. 125-1000 mg Simpan pada • stabil selama 3
tiap 6 jam suhu dibawah hari pada suhu
25ºC kamar
• 7 hari pada 2-
8ºC.
• Untuk I.V. infus
di NS atau
D5W, larutan
stabil selama 6
jam pada suhu
kamar.

5. Nafcillin 5. Gram + 5. I.M.: 500 mg Simpan pada • stabil selama 3


tiap 4-6 jam suhu dibawah hari pada suhu
I.V.: 500- 25ºC kamar
2000 mg tiap • 7 hari pada 2-
4-6 jam 8ºC.
• Untuk I.V. infus
di NS atau
D5W, larutan
stabil selama 6
jam pada suhu
kamar.

26
6. Oxacillin 6. Gram + 6. Infeksi Simpan pada harus segera
ringan- suhu dibawah digunakan
sedang: 250- 25ºC
500 mg
IV/IM tiap
4-6 jam
Infeksi berat:
1-2 gram IV
tiap 4-6 jam

7. Ampicillin 7. Gram + dan 7. 1-2 g tiap 4- Simpan pada harus segera


gram – 6 jam atau suhu dibawah digunakan
tertentu 50-250 25ºC
mg/kg/hari
dalam dosis
terbagi (max
12 g/hari

8. Amoxicillin 8. Gram + dan 8. 250-500 mg Simpan pada


gram – tiap 8 jam suhu dibawah
tertentu atau 500-750 25ºC
mg tiap 12
jam -

27
Cephalosporin
Generasi I
1. Cefadroxil 1. Gram + dan 1. 1–2 gram PO Simpan pada -
gram – dalam dosis suhu dibawah
tertentu terbagi 12 25ºC
jam

2. 250 mg –1,5
2. Cefazolin 2. Gram + dan gram IV/IM Simpan pada • Stabil selama
gram – 6–12 jam suhu 20 – 25º 24 jam pada
tertentu (maksimal: C suhu kamar
12 • selama 10 hari
gram/hari) dalam lemari
pendingin.

3. Cephalexin 3. Gram + dan 3. 250 mg – 1g -


gram – PO tiap 6 Simpan pada
tertentu jam suhu 15 -30 º
(maksimal C
4g/hari)

Genersi II
1. Cefotetan 1. Gram – 1. IM, IV 1-6 Simpan pada • Larutan
g/hari dalam suhu dibawah rekonstitusi
dosis 25ºC stabil selama 24
jam pada suhu
kamar

28
• 96 jam pada
suhu kulkas

2. Cefoxitin 2. Gram – 2. 1-2 g/hari Simpan pada • larutan stabil


tiap 6-8 jam suhu dibawah selama 6 jam
25ºC pada suhu
kamar
• 7 hari bila suhu
kulkas
3. Cefuroxim 3. Gram – 3. 750 mg IV Simpan pada
atau IM tiap suhu dibawah • stabil selama 24
6-8 jam 25ºC jam pada suhu
kamar dan
• 48 jam pada
suhu kulkas
Generasi III
1. Cefotaxime 1. Gram – 1. 1 gram IM, Simpan pada dapat disimpan
IV taip 12 suhu dibawah pada 2-8ºC selama
jam 25ºC 24 jam

2. Ceftazidime 2. Gram – 2. 500 mg – 2g Simpan pada • Stabil 12 jam


tiap 8-12 jam suhu 15 -30 º pada suhu
IM IV C ruang

29
• 3 hari pada
suhu kulkas
• 12 minggu
jika dibekukan
pada suhu -
20ºC

3. Ceftriaxone 3. Gram – 3. 1-2 g tiap Simpan pada • 2 hari pada


12-24 jam suhu dibawah suhu ruang
IM, IV 25ºC • 10 hari pada
suhu 4ºC
• 26 minggu
jika
dibekukan
pada suhu -
20ºC
4. Cefoperazone 4. Gram – 4. 1-2 g tiap 12 Simpan pada • 5 hari pada 2-
jam IM, IV suhu dibawah 8 ºC
25ºC

• 24 jam pada
5. Cefixime 5. Gram – 5. 400 mg/hari Simpan pada
suhu ruang
PO dalam suhu dibawah
dosis terbagi 25ºC
tiap 12–24
jam

30
6. Cefditoren 6. Gram – 6. 200 - 400 mg Simpan pada -
tiap 12 jam suhu 15 -30 º
PO C

Generasi IV
1. Cefepime 1. Gram + dan 1. 1-2 g tiap 8- Simpan pada -
Gram – 12 jam IV suhu 15 -30 º
0,5-1 g tiap C
12 jam IM

2. Cefpirome 2. Gram + dan 2. 1-2 g tiap 12


Gram - jam (max 4 Simpan pada 24 jam pada suhu
g/ hari) suhu dibawah ruang
25ºC

Carbapenem
1. Imipenem 1. Gram + dan 1. 0.5–1 g Simpan pada harus segera
Gram – (imipenem) suhu dibawah digunakan, dari
IV tiap 6–8 25ºC sudut pandang
jam
(maksimal:
50 mg/kg
atau 4 g/hari)
atau 500–

31
750 mg IM
tiap 12 jam

2. Meropenem 2. Gram + dan 2. 0.5–2 g IV Simpan pada Harus segera


Gram – tiap 8 jam suhu dibawah digunakan
25ºC

3. Doripenem 3. Gram + dan 3. 0,5 g IV tiap Simpan pada • infus dalam


Gram – 8 jam suhu dibawah Dex 5% harus
25ºC segera
digunakan dan
diinfuskan lebih
dari 1 jam
(tidak cukup
stabil untuk
infus 4 jam)
• infus yang
disiapkan dalam
NaCl 0,9%
harus segera
digunakan

4. Ertapenem 4. Gram + dan 4. 1 g IV IM Simpan pada • infus yang


Gram – tiap 24 jam suhu dibawah disiapkan harus
25ºC digunakan
segera, namun

32
• vial yang
dilarutkan
untuk Injeksi
IM harus
digunakan
dalam waktu 1
jam
Monobactam
1. Aztreonam 1. Gram - 1. 1–2 g IV/IM Simpan pada dapat disimpan
tiap 8–12 suhu dibawah pada 2-8 dan
jam hingga 2 25ºC diinfuskan (pada
g tiap 6–8 suhu kamar) dalam
jam waktu 24 jam
(maksimal: 8
g/hari)
Polipeptida
1. Vancomicyn 1. Gram + 1. Dewasa: 500 25°C 24 jam pada 2-8°C
mg tiap 6
jam, atau 1 g
tiap 12 jam.
Anak-anak
usia ≥1
bulan: 10
mg/kgbb tiap
6 jam.
2. Bacitracin 2. Gram +
2. 1-3 kali 20–25 °C 1 minggu pada 2-
sehari 8°C

33
Golongan Nama Coverape Dosis Stabilitas Referensi
Antibiotik Antibiotik Bakteri Maksimum original rekonstitusi
Menghambat Sintesis Aminoglikosida • Gram positive Aerobs Gentamicin 48 jam suhu Lexicomp
Protein 1. Gentamicin hampir semua S.aureus ➢ Gentamisin 20-25º c ruangan online
and coagulase negative
staph viridans Profilaksis Permenkes No
streptococci; 3-5 mg/kgBB. 28 Tahun 2021
enterococcus sp
Empiris
• Gram negatif Gentamisin i.v. 4-6
Aerobes mg/kgBB setiap 24
-E.coli, jam 7-10 hari
- K.pneumonia,Proteus
sp Anak
-pseudomonas Gentamisin i.v. 6-8
aeroginosa mg/kgBB atau i.m.
setiap 24 jam
• Mycobacteria
-tuberculosis, Gentamisin 0,3%
streptomycin tetes mata setiap 2
-atypical-streptomycin jam, atau salep
or amikacin mata setiap 8 jam

20-25ºc • 60 hari 4ºc

34
• 30 hari 15ºc
2. Amikacin ➢ Amikasin • 24jam suhu
ruangan
Anak
15 mg/kgBB setiap
24 jam

Adult
Amikasin i.v. 750-
1000 mg setiap 24
jam

20-25ºc
➢ Streptomycin

3. Streptomycin 15- 30mg/kgBB


1-2 g/hari
20-25ºc • 24 jam suhu
ruangan
➢ Neomisin • 96 jam 2-8ºc
tetes tiap 6 jam
4. Neomycin selama 7 hari
20-25ºc

➢ Tobramisin

5. Tobramisin topikal 1 tetes


setiap 4 jam

35
3-5mg/kgBB/hari
Tiap 8 jam 20-25ºc

➢ Tetrasiklin

• Tetrasiklin Tetrasiklin oral 500


• Infeksi bakteri mg setiap 6 jam
gram –
• Gram + Anak >8 tahun:
-Termasuk anaerob 12,5-25 mg/kgBB
tertentu, Riketsia, setiap 6 jam
Mikoplasma (3-5hari) 20-25ºc
pneumonia, chlamydia
(pneumonia) Tetrasiklin salep
mata setiap 8 jam

➢ Doksisiklin

• Dosisiklin Adult
100–200 mg setiap
12 jam
Anak: Doksisiklin 20-25ºc
oral 5 mg/kgBB
setiap 12 jam
(5-10 hari)
>8Tahun

36
➢ Kloramfenikol

Chloramphenicol • N.gonorrhoeae, Anak:


Brucella, Bordetella oral 25 mg/kgBB
pertussis, atau i.v. setiap 6
Clostridium, B. jam (maksimal 2
Fragilis, S.pyogenes, gram/hari)
E.coli, Klebsiella •
Bakterisidal klorampenikol 500
:S.pneumoniae, mg setiap 6 jam
H.influenzae ,
Neiserria Kloramfenikol
meningitidis salep mata 1%
setiap 8 jam selama
• Gram - 7-14 hari
seperti Neisseria,
Bordetella pertussis,
dll
• Gram + aerob cocci , 20-25ºc
basili

37
➢ Eritromisin
• Makrolida
Anak : 15-30ºc
Eritromisin, Eritromisin oral
10mg/kgBB setiap
6 jam

Eritromisin oral 500


mg setiap 6 jam,
selama 7 hari

20-25ºc
➢ Azitromisin
Azitromisin.
Oral 500 mg setiap
24 jam ( 3 hari)

Azitromisin sirup
kering oral 20
mg/kgBB setiap 24
jam selama 3 hari

➢ Klaritromisin
Klaritromisin
250-500 mg setiap
12 jam 20-25c
(3hari)

38
Anak : 7.5
mg/kgBB, setiap 12
jam

Gram-positif, kuman
klindamycin anaerob, dan ➢ Klindamisin
Plasmodium spp
p.o: 300 mg setiap
8 jam i.v: 600 mg
setiap 8 jam

Anak: 5-10
mg/kgBB) setiap 6
jam

p.o: 300 mg setiap


8 jam i.v: 600 mg
setiap 8 jam

Anak: 5-10
mg/kgBB)

39
Golongan Nama Antibiotik Coverape Bakteri Dosis Maksimum Stabilitas Referensi
Antibiotik
Original Rekonstitusi

Antagonis Folat Sulfisoxazole Gram + dan Gram - Dewasa: 4–8 gram per hari, 20–25 °C Drug Information
Sulfonamida dibagi menjadi 4–6 dosis. Handbook
Anak-anak >2 bulan: 75 Injectable Drugs
mg/kgbb per hari, dibagi
Guide
menjadi 4–6 dosis.
Sulfamethoxazole Gram + dan Gram - Dewasa: Dosis awal adalah 15-30 °C
2.000 mg, dilanjutkan dengan
1.000 mg, 2 kali sehari.

Anak usia >2 bulan: Dosis awal


adalah 50–60 mg/kgbb,
dilanjutkan dengan 25–30
mg/kgbb, 2 kali sehari. Dosis
maksimal adalah 75 mg/kgbb.
Sulfadizine Gram + dan Gram - Dewasa: 2–4 gram sebagai 25°C 7 hari pada suhu 2-8°C
dosis awal, dilanjutkan dengan
2–4 gram per hari. Maksimal
waktu pengobatan adalah 7
hari.

Anak-anak: 0,075 gram/kgbb


sebagai dosis awal, dilanjutkan
dengan 0,150 gram/kgbb per

40
hari. Dosis maksimal 6 gram
per hari.

Sulfasalazine Gram + dan Gram - Dewasa: Dosis minggu 20–25 °C


pertama 500 mg per hari.
Setelah itu, dosis dapat
dinaikkan sebanyak 500 mg
tiap minggu. Dosis maksimal
3.000 mg per hari.

Anak-anak usia ≥6 tahun:


Dosisnya 30–50 mg/kgbb per
hari.
Sulfacetamide Gram + dan Gram - Salep oftalmik: Oleskan pita Salep 28 hari pada suhu 2-8°C
1,25 cm (½ inci) ke dalam 20–25 °C
kantung konjungtiva mata yang
terkena setiap 3 atau 4 jam dan
sebelum tidur.

Larutan oftalmik: Teteskan 1 Larutan


atau 2 tetes larutan ke dalam 8–25 °C
kantung konjungtiva mata yang

41
terkena setiap 2-3 jam pada
awalnya.

Sulfadiazine - Gram + dan Gram - Dewasa, salep dioleskan 20–25 °C 30 hari pada suhu 2-8°C
Silver sebanyak 1 atau 2 kali sehari.
Sulfadoxine Gram + dan Gram - 1 tablet, diminum 1-2 hari 20–25 °C

Diaminopirimidine Trimethoprim Gram + dan Gram - Dewasa: 100 atau 200 mg, 2 20–25 °C
kali sehari, selama 3–14 hari.

Anak-anak usia 4 bulan s/d 12


tahun: 6 mg/kgbb
Quinolone Asam Pipemidat Gram - dan Gram + 400 mg, 2–3 kali sehari, selama 20–25 °C
2 minggu
Asam Nalidiksat Gram - dan Gram + Dosis: 1 gram tiap 6 jam selama 20–25 °C
7 hari.

Anak > 3 bulan, maksimum 50


mg/kg bb/hari
Fluoroquinolone Ciprofloxacin Gram - dan Gram + Dewasa: 500 mg, 2 kali sehari, 20–25 °C Gunakan segera setelah
selama 7 hari atau 1000 mg, 1 botol dibuka
kali sehari, selama 7-14 hari.

Anak-anak: 10-20 mg/kgbb, 2

42
kali sehari, selama 10-21 hari,
dosis maksimal 750 mg per kali
pemberian.

Ofloxacin Gram - dan Gram + Dewasa: 200 mg setiap 12 jam, 20–25 °C Gunakan segera setelah
selama 10 hari. botol dibuka

Dosis alternatif 200 mg atau


400 mg 2 kali sehari, selama 7–
21 hari.
Pefloxacin Gram - dan Gram + Dewasa : 400 mg 2 kali sehari 20–25 °C

Norfloxacin Gram - dan Gram + 400 mg 2 kali sehari, selama 28 20–25 °C


hari.
Levofloxacin Gram - dan Gram + Dosis: 250-500 mg per hari. 3 20–25 °C Gunakan segera setelah
hari hingga 8 minggu. botol dibuka
Moxifloxacin Gram - dan Gram + Dosis 400 mg, 1 kali sehari. 20–25 °C 1 minggu

43
Lampiran 4. lembar form PTO

44
Lampiran 5. Standar Prosedur Operasional MESO

45
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

PELAYANAN FARMASI KLINIS

Pelayanan Informasi Obat (PIO) pada Pasien Diagnosa Squamous Cell


Carcinoma ar Intra Oral

DI RUMAH SAKIT DR. ZAINOEL ABIDIN – BANDA ACEH

PERIODE 13 DESEMBER 2021 – 18 FEBRUARI 2022

DISUSUN OLEH :

DESTARI, S.Farm

NIM 210213018

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI

APOTEKER FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

MEDAN

2022
DAFTAR ISI

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

KATA PENGANTAR ................................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1

1.2 Tujuan ................................................................................................................ 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................ 3

2.1 Definisi ................................................................................................................ 3

2.2 Etiologi ................................................................................................................ 4

2.3 Patofisiologi ........................................................................................................ 4

2.4 Penatalaksanaan Terapi ................................................................................... 5

BAB III Kasus Squamous cell Carcinoma ar intra oral ......................................... 6

3.1 Identitas Pasien .................................................................................................. 6

3.2 Peran Apoteker .................................................................................................. 6

3.2.1 Verifikasi Resep .......................................................................................... 6

3.2.2 Peracikan Obat ........................................................................................... 7

BAB IV ....................................................................................................................... 11

PEMBAHASAN ........................................................................................................ 11

BAB V KESIMPULAN ........................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 16

LAMPIRAN ............................................................................................................... 17

ii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Terapi carcinoma oral menurut NCCN ............................................ 17

Lampiran 2 Dosis menurut BCCA .......................................................................... 17

Lampiran 3 Protokol Kemoterapi ........................................................................... 18

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberi rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktik Kerja Profesi

Apoteker di RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh. Shalawat beserta salam semoga

selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, kiblat dalam perjalanan

kita sebagai generasi penerusnya hingga akhir zaman.

Praktek Kerja Profesi Apoteker ini merupakan salah satu syarat dalam

mengikuti Program Studi Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi dan Ilmu

Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia untuk memperoleh gelar Apoteker.

Terlaksananya Praktek Kerja Profesi Apoteker ini tidak terlepas dari bantuan

berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat

dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Taruli Rohana Sinaga S.Kep,

MKM selaku Dekan Fakultas Farmasi Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara

Indonesia, kepada Ibu Apt. Dra. Modesta Tarigan, M.Si sebagai Ketua Program

Studi Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan

Universitas Sari Mutiara Indonesia, kepada ibu apt. Cut Masyitah Thaib, S.Farm.,

M. Si sebagai pembimbing saya yang telah mengarahkan dan membimbing dalam

penyusunan laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker dan ibu Fitri Yani, S. Farm.,

Apt., M.Clin.Pharm, Ibu Azizah Vonna, M.Pharm.Sci., Apt, Ibu Yunita Suffiana,

M.Sc., Apt. Ibu Rita Novika, S.Farm., Apt. Ibu Ika Fitri Ramadhana, S.Farm.,

Apt, selaku pembimbing di RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh. kepada Ibu selaku

Pembimbing yang telah berkenan memberikan arahan, bimbingan dan berbagi

pengalamannya kepada penulis selama melaksanakan Praktik Kerja Profesi

Apoteker hingga selesainya penulisan laporan ini.

iv
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak dan Ibu Staf Pengajar

Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas

Sari Mutiara Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan

kepada penulis, seluruh karyawan di RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh atas kerja

sama dan bantuan yang telah diberikan selama penulis melaksanakan Praktik

Kerja Profesi Apoteker ini.

Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dan tak

terhingga kepada kedua orang tua saya, suami, anak – anak serta keluarga besar

saya atas doa, kasih sayang, nasihat dukungan baik moril maupun materil, dan

teman-teman yang telah mendukung dalam doa. Tak lupa juga kepada teman-

teman satu tim dalam melaksanakan praktik kerja profesi yang telah bekerja sama

dengan baik selama masa praktik kerja profesi di RSUD Zainoel Abidin Banda

Aceh.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk

itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak

demi kesempurnaan laporan ini.

Banda Aceh, Januari 2022

Penulis,

Destari, S.Farm

NIM 210213018

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker adalah sekelompok penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan sel

yang tidak teratur serta menembus jaringan-jaringan disekitarnya kemudian sel

akan berproliferasi dan menyebar dari tempat asal atau tempat utama ke tempat

lain di dalam tubuh (Pecorino, 2012). Pengobatan kanker dikenal beberapa cara

yaitu terapi utama dan terapi tambahan (adjuvant). Terapi utama adalah terapi

yang ditujukan pada penyakit kanker itu sendiri yaitu dapat dengan cara bedah,

radioterapi, kemoterapi, hormonoterapi dan bioterapi. Terapi tambahan (adjuvant)

adalah terapi yang ditambahkan pada terapi utama untuk menghancurkan sisa sel-

sel kanker yang mikroskopik yang mungkin masih ada.Tidak jarang walaupun

pada terapi utama penderita kelihatan telah bebas kanker setelah beberapa lama

timbul residif atau metastase. Ini berarti waktu selesai terapi utama masih ada sisa

kanker yang mikroskopik. Adapun terapi tambahan ini dapat berupa adjuvant

kemoterapi, adjuvant hormonterapi, adjuvant radioterapi dan adjuvant operasi

(Sukardja, 2000).

Kemoterapi yaitu pengobatan dengan menggunakan obat-obatan yang dapat

menghambat atau membunuh sel-sel kanker (Remesh, 2012). Kemoterapi

menyebabkan beberapa efek samping. Efek samping kemoterapi bervariasi

tergantung regimen kemoterapi yang diberikan. Berdasarkan National Cancer

Institute, efek samping yang dapat terjadi akibat kemoterapi antara lain mual,

muntah, diare, alopesia, trombositopenia, neuropati, myalgia. Selain itu dapat

berupa toksisitas hematologi seperti anemia, neutropenia, dan trombositopenia.

1
Toksisitas gastrointestinal seperti anoreksia, nausea, dan vomiting. Toksisitas oral

seperti stomatitis, disfagia, diare, ulserasi mulut, oesofagitis, dan proctitis dengan

nyeri serta pendarahan. Toksisitas folikel rambut berupa alopesia serta toksisitas

sistem syaraf berupa neurotoksisitas (Remesh, 2012).

1.2 Tujuan

1. Memahami peran, fungsi dan tanggung jawab Apoteker mengenai pekerjaan

kefarmasian di Rumah Sakit khususnya pada penanganan sitostatika.

2. Meningkatkan interaksi dengan masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.

3. Mampu memahami dan mempraktekkan konsep Pharmaceutical Care dalam

pelayanan kepada pasien.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Oral Squamous Cell Carcinoma (OSCC) adalah jenis kanker mulut yang

paling umum dan ditemukan hampir pada 90% dari semua kasus karsinoma di

rongga mulut.1,2 Lebih dari 90% kanker mulut terjadi pada pasien yang berusia di

atas 45 tahun dengan predileksi tersering pada laki-laki. Etiologi OSCC adalah

multifaktorial. Penggunaan tembakau, konsumsi alkohol berlebihan, konsumsi

sayur dan buah yang lebih sedikit, genetika, trauma dan virus dianggap sebagai

faktor risiko OSCC.

OSSC biasanya muncul sebagai ulserasi dengan pinggiran eksofitik dan

persisten dalam jangka waktu lebih dari 2 minggu.2 Terlambatnya deteksi dan

diagnose dari OSCC akan menunda dimulainya perawatan dan hal ini merupakan

salah satu faktor utama berkurangnya tingkat kelangsungan hidup pasien.

Terapi sistemik tanpa perawatan lain digunakan untuk mengobati beberapa

kanker mulut. Kadang-kadang, lebih dari satu obat digunakan karena obat berbeda

dalam cara kerjanya. Di lain waktu, hanya satu obat yang digunakan sehingga

efek sampingnya tidak parah.

Obat kanker pertama yang diberikan disebut terapi lini pertama. Pilihan untuk

terapi lini pertama antara lain Cisplatin + 5-FU + cetuximab, Karboplatin + 5-FU

+ cetuximab, Cisplatin + docetaxel atau paclitaxel, Karboplatin + docetaxel atau

paclitaxel, Cisplatin + cetuximab, Cisplatin + 5-FU, Cisplatin + docetaxel +

cetuximab, Karboplatin + docetaxel + cetuximab, Cisplatin + paclitaxel +

cetuximab, Karboplatin + paclitaxel + cetuximab.

3
2.2 Etiologi

Etiologi squamous cell carcinoma dirongga mulut sampai sekarang masih

belum diketahui dengan pasti karena etiologi tumor ganas bersifat multifaktorial

dan kompleks. Terdapat dua faktor yang berperan dalam terjadinya squamous cell

carcinomamulut yaitu faktor instrinsik (genetik) dan faktor ekstrinsik (konsumsi

tembakau, alkohol, menyirih, defisiensi nutrisi dan virus). Resiko terjadinya

squamous cell carcinomaakan lebih meningkat apabila terdapat beberapa factor

predisposisi, misalnya merokok dengan minum alkohol atau menyirih dengan

tembakau.

2.3 Patofisiologi

Squamous cell carcinoma berasal dari sel epitel mukosa yang melapisi rongga

mulut, faring, laring dan traktus sinonasal. Secara histologis, perkembangan

menjadi HNSCC invasif mengikuti rangkaian berurutan langkah dimulai dengan

hiperplasia sel epitel, diikuti oleh displasia (ringan, sedang) dan parah), karsinoma

in situ dan, akhirnya, karsinoma invasive.

Namun, sebagai catatan, kebanyakan pasien yang didiagnosis dengan

HNSCC tidak memiliki riwayat premaligna sebelumnya luka. Mengingat sifat

HNSCC yang heterogen, sel asal tergantung pada anatomi lokasi dan agen etiologi

(karsinogen versus virus). Namun, dalam setiap kasus, normal sel induk atau sel

progenitor dewasa kemungkinan merupakan kandidat untuk sel asal, sehingga

menimbulkan, mengikuti transformasi onkogenik, menjadi sel punca kanker

(CSC) dengan sifat self HNSCC berasal dari sel epitel mukosa yang melapisi

rongga mulut, faring, laring dan traktus sinonasal.

4
2.4 Penatalaksanaan Terapi

Menurut NCCN,2018 Terapi lokal meliputi ;

1. Pembedahan

Pembedahan adalah pengobatan yang mengangkat tumor atau seluruh organ

yang terkena kanker. Ini adalah pengobatan yang sangat umum untuk kanker

mulut.

2. Terapi radiasi

Terapi radiasi paling sering menggunakan sinar-x berenergi tinggi untuk

mengobati kanker mulut. Sinar-x merusak DNA dalam sel kanker. Ini

membunuh sel kanker atau menghentikan pembentukan sel kanker baru

3. Kemoterapi bekerja dengan menghentikan siklus hidup sel. Akibatnya, sel

kanker tidak dapat membuat sel baru. Kemoterapi juga dapat menyebabkan sel-

sel menghancurkan diri mereka sendiri. Cisplatin adalah obat kemoterapi yang

umum digunakan untuk kanker mulut. Kadang kadang digunakan dengan terapi

radiasi untuk mengobati kanker mulut.

Menurut Nuwa, M.S. dan Kiik, S.M. 2020 terapi non farmakologis yang

dapat dilakukan untuk pasien kanker yang menerima tindakan kemoterapi yaitu:

a) Memberikan dukungan emosional

b) Terapi kognitif-perilaku

c) Nutrisi yang cukup

d) Memberikan informasi mengenai cara mengatasi efek samping dari

pengobatan

e) Spiritual Guided Imagery and Music (SGIM)

5
BAB III

Kasus Squamous cell Carcinoma ar intra oral

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. A

Umur : 60 Tahun

Jenis Kelamin : Laki - Laki

BSA : 1,44

No. MR : 1290xxx

Diagnosis : Squamous cell Carcinoma ar intra oral

Hipatologi : Keratinizing squamous cell carcinoma

Jaminan : BPJS

Siklus : 1

3.2 Peran Apoteker

3.2.1 Verifikasi Resep

First line terapi untuk oral cancer berdasarkan NCCN 2018 yaitu,

Cisplatin + 5-FU + Cetuximab atau


Carblopatin + 5-FU + Cetuximab
Cisplatin + Docetaxel atau Paclitaxel atau
Carboplatin + Docetaxel atau Paclitaxel
Cisplatin + Cetuximab
Cisplatin + 5-FU
Cisplatin + Docetaxel atau Cetuximab atau
Carboplatin + Docetaxel atau Cetuximab
Cisplatin + Paclitaxel atau Cetuximab atau
Carboplatin + Paclitaxel atau Cetuximab

6
Regimen dalam Hasil Verifikasi
Singkatan
Resep BCCA FORNAS
Cisplatin 145 mg 25 mg/m2 Daily for 3 to 4 Dosis paklitaksel:
days 100 mg/m2/hari
diulang tiap 3
minggu
HNAVFUP
5-Fluorouracil 1,000 mg/m2 /day for 4 1.000 mg/m2/hari
860 mg days selama seminggu
(total dose = 4,000 mg/m2
over 96 h)

3.2.2 Peracikan Obat

A. Perhitungan dosis

• Cisplatin

Dosis lazim 25 mg/m²/daily 3-4 days


Dosis resep = BSA x 25 mg
= 1,44 x 25 = 36 mg,
= 36 x 4 = 144 mg, Dosis yang diminta 145 mg.

• 5-Fluorouracil

Dosis lazim 1000 mg/m²/hari


Dosis resep = BSA x 1000 mg
= 1,44 x 1000 =1440 mg, Dosis yang diminta 860 mg.

B. Persiapan Obat

• Cisplatin

Dosis yang diminta 145 mg.


Dosis yang tersedia : 50 mg/ 50 ml
Maka diambil : 2 vial 50mg/50mL
45 𝑚𝑔
: 1 vial 50mg/50ml sebanyak = 50 𝑚𝑔 x 50ml = 45 ml/cc

Sisa : 50ml – 45 ml = 5 ml

7
Cisplatin dapat disimpan selama 72 jam pada suhu 4-25°c untuk digunakan pada

pasien yang juga menggunakan cisplatin

Penyimpanan : suhu ruangan, lemari pendingin,terlindung dari cahaya

• 5-Fluorouracil

Dosis yang diminta : 860 mg


Dosis yang tersedia : 500 mg/ 10 mL
Maka diambil : 1 vial 500 mg/10mL
360 𝑚𝑔
: 1 vial 500mg/10ml = 500 𝑚𝑔 x 10ml = 7,2 ml/cc

Sisa : 10ml – 7,2 ml = 2,8 ml

5-Fluorouracil dapat disimpan selama 72 jam pada suhu ruangan untuk digunakan

pada pasien yang juga menggunakan 5-Fluorouracil

Penyimpanan : suhu ruangan, simpan terlindung dari cahaya

C. Peran KIE ( Komunikasi Informasi dan Edukasi)

Efek Samping Pengelolaan

Reaksi Alergi Beritahu perawat jika hal itu terjadi

dan hubungi pihak onkologi jika

terjadi setelah meninggalkan rawatan

Cisplatin terbakar jika terjadi Beritahu dokter atau perawat

kebocoran di bawah kulit langsung

Nyeri dan panas di area suntikan Kompres dengan air dingin 15-20

menit beberapa kali sehari

8
Sariawan - Sikat gigi dengan lembut setelah

makan dan pada waktu tidur dengan

sikat gigi yang sangat lembut.

- Buat obat kumur dengan 1 sendok teh

soda kue dan garam dalam 1 cangkir

air hangat dan bilas beberapa kali

Kerontokan rambut adalah hal biasa - Oleskan minyak mineral ke kulit

dan mungkin dimulai dalam kepala untuk mengurangi gatal.

beberapa hari atau minggu - Gunakan shampoo dan gosok dengan

pengobatan. Rambut Anda mungkin lembut

tipis atau Anda mungkin

kehilangannya sama sekali. Rambut

akan tumbuh kembali setelah Anda

perawatan sudah selesai dan

terkadang saat perawatan.

Ruam kulit kadang terjadi - Jika gatal sangat menjengkelkan,

hubungi dokter. Jika tidak, pastikan

untuk menyebutkannya di kunjungan

berikutnya.

Diare - Minum banyak air

- Makan dalam jumlah sedikit tapi

sering

9
Kulit mudah terbakar sinar matahari - Hindari sinar matahari langsung

- Pakailah topi dan pakaian tertutup

- Oleskan tabir

- Surya

Mual dan Muntah - Diberikan antiemetic

- Banyak minum air

- Makan sering dalam jumlah sedikit

Hilang nafsu makan - Minumlah minuman pengganti

makanan

- Makan sering dalam jumlah sedikit

- Makan berkalori tinggi,padat

nutrisi,tinggi protein.

10
BAB IV

PEMBAHASAN

Kemoterapi bekerja dengan menghentikan siklus hidup sel. Akibatnya sel

kanker tidak dapat membuat sel baru. Kemoterapi juga dapat menyebabkan sel

menghancurkan diri mereka sendiri. Cisplatin adalah obat Kemoterapi yang

umum digunakan untuk kanker mulut. Kadang-kadang digunakan dengan terapi

radiasi untuk mengobati kanker mulut. (NCCN, 2018)

Cisplatin adalah agen kemoterapi kanker yang banyak digunakan dan sangat

efektif. Salah satu efek samping yang membatasi penggunaan cisplatin adalah

nefrotoksisitas. Hidrasi dengan natrium klorida telah menjadi cara utama untuk

mengurangi nefrotoksisitas cisplatin. Meskipun banyak rejimen hidrasi termasuk

penggunaan manitol atau furosemide, tidak ada bukti yang baik bahwa diuretik

memberikan manfaat tambahan. (Ronald. P, dkk, 2010)

Peran apoteker yaitu verifikasi, menyiapkan obat kemoterapi dan

menyampaikan KIE. Verifikasi yang dilakukan apoteker yaitu memastikan

regimen dan dosis yang akan diberikan kepada pasien apakah sudah sesuai dengan

guidline yang berlaku. Guidline yang diunakan adalah British Columbia Cancer

Agency (BCCA). Berdasarkan perhitungan dosis regimen HNAVFUC diperoleh

dosis cisplatin yang diresepkan tidak berbeda signifikan dengan dosis menurut

BCCA. Cisplatin hitung 144 mg dan cisplatin order 145 mg. Sedangkan pada

perhitungan 5-FU, dosis yang diresepkan tidak sesuai dengan dosis hitung, yaitu

berbeda 40% lebih sedikit dari dosis hitung. Seorang apoteker ketika mengetahui

dosis yang diresepakan terlalu jauh dari dosis hitung maka hal yang harus

diperhatikan seorang apoteker adalah melakukan konfirmasi kebenaran dosis

11
dosis yang diminta untuk mengurangi terjadinya medication error. Dosis hitung 5-

Fluorouracil adalah 1440 mg sedangkan dosis order adalah 860 mg. pada kasus ini

platin adalah obat kemoterapi yang mengandung platinum yang menghambat

pembentukan DNA sel sehingga bisa memperlambat dan menghentikan

pertumbuhan sel kanker. Sedangkan Fluorouracil adalah antimetabolit analog

pirimidin yang mengganggu sintesis DNA dan RNA; setelah aktivasi, F-UMP

(suatu metabolit aktif) dimasukkan ke dalam RNA untuk menggantikan urasil dan

menghambat pertumbuhan sel; metabolit aktif F-dUMP, menghambat sintetase

timidilat, menghabiskan timidin trifosfat (komponen penting dari sintesis DNA).

(lexicomp)

Peran apoteker di Rumah Sakit sebagai pengendali obat, baik mutu juga

menerapkan efisiensi pengobatan. Pada kasus ini dalam menyiapakan obat

kemoterapi, efisiensi yang dapat dilakukan oleh apoteker adalah memanfaatkan

obat kemoterapi yang berlebih yang berasal dari sisa obat pasien sebelumnya yang

mendapat obat yang sama. Saat menyiapkan obat kemoterapi yang pertama

dilakukan adalah menghitung berapa banyak vial yang dibutuhkan untuk

peracikan obat tersebut. Berdasarkan perhitungan didapatkan cisplatin yang

dibutuhkan sebanyak 2 vial 50mg/50ml dan 1 vial 50mg/50ml sebanyak 45 ml,

sisa 5 ml dapat disimpan pada suhu 4-25°c selama 72 jam. Sisa dari regimen

tersebut dapat digunakan untuk peracikan selanjutnya, asalkan tidak melewati

batas penyimpanannya. Sedangkan 5-Fluorouracil yang dibutuhkan yaitu 1 vial

500mg/10ml dan 1 vial 500mg/10ml sebanyak 7,2 ml, sisa 2,8 ml dapat disimpan

dalam 72 jam pada suhu ruangan dan dapat digunakan untuk peracikan

selanjutnya.

12
Pre medikasi yang diberikan kepada pasien yaitu injeksi granon 3 mg,

dexametason, diphenhidramin, dan furosemide 40 mg. Granisetron dan

Ondancetron merupakan antagonis reseptor 5-HT3 merupakan antiemetic untuk

CINV (Chemotherapy induced nausea and vomiting), obat ini diberikan sebagai

pre medikasi untuk pencegahan mual dan muntah yang mungkin akan dialami

pasien selama kemoterapi. Kortikosteroid deksametason juga digunakan sebagai

anti emetik dan digunakan sebagai kombinasi dengan preparat lain. Mekanisme

antiemetik kortikosteroid belum jelas, diduga melalui mekanisme penghambatan

sintesis prostaglandin di hipotalamus. Diphenhidramin digunakan untuk

pencegahan terjadinya alergi dari regimen maupun pelarut yang diberikan pada

saat kemoterapi. Furosemide dalam penggunaan bersama dengan obat kemoterapi

bertujuan untuk meningkatkan diuresis pada pasien yang menerima cisplatin

dengan tujuan untuk mengurangi risiko nefrotoksisitas (Baxter, K, 2010).

Selanjutnya apoteker menyampaikan KIE (Komunikasi Informasi dan

Edukasi). Dalam tahap ini apoteker akan menyampaikan mengenai potensi efek

samping yang akan terjadi setelah kemoterapi. Efek samping yang mungkin atau

akan terjadi pada kemoterapi dengan regimen cisplatin dan 5-Fluorouracil yaitu

nyeri di area suntikan, mual dan muntah, diare, hilang nafsu makan, kulit mudah

terbakar, sariawan, dan juga kerontokan rambut. Hal ini dapat hilang atau berhenti

Ketika kemoterapi telah selesai.

Efek samping yang dialami pasien belum diketahui, karena pasien baru

menjalani kemoterapi siklus 1, namun kita dapat memberikan edukasi dan

penanganan mengenai efek samping yang mungkin akan terjadi. Nyeri dan panas

13
area suntikan dapat diredakan dengan mengompres dengan air dingin. Gunakan

sampo dan gosok kepala dengan lembut untuk menghindari kerontokan rambut.

Obat pulang yang diterima pasien yaitu Lansoprazole 30 mg tiap 8 jam

selama 3 hari dan Dexamethason 0,5 mg tiap 12 jam sebanyak 3 tablet selama 3

hari. Obat tersebut dapat meringankan mual dan muntah serta nyeri.

14
BAB V

KESIMPULAN

a. Mahasiswa calon apoteker memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan

tentang terapi dan penatalaksaan pada pasien penderita squamous cell carcinoma

ar oral

b. Regimen yang digunakan pada kemoterapi yaitu cisplatin dan 5-fluorouracil.

c. Dosis regimen yang digunakan pada kemoterapi sesuai dengan perhitungan dosis.

d. Telah dilakukan pemantauan terapi obat pada pasien dan pemberian informasi dan

edukasi terkait efek – efek samping yang mungkin akan ditimbulkan setelah

menjalani kemoterapi

15
DAFTAR PUSTAKA

Baxter, K. 2010. Stockley’s Drug Interactions. A source book of interactions, their


mechanisms, clinical importance and management, Ninth edition.
Pharmaceutical Press. Chicago

BCCA (2019). Cisplatin handout

BCCA (2021). HNAVFUP protocol

Belkahla, H.,Herlem, G., Picaud, F., Gharbi, T., Hemadi, M., Ammar, S., Micheu,
O., 2017, TRAIL-NP hybrid for cancer therapy : review, Nanoscale

Bisen PS. Khan Z. Bundela S. Biology of oral cancer key apoptotic regulators.
Boca Raton: CRC Press, 2014; 39-40

Cawson RA. Odell EW. Cawson's essentials of oral pathology and oral medicine.
7th ed. Spain: Churchill Livingstone, 2002; 243- 254.
cme.medicinus.co/file.php/i/IN_DEPTH_REPORTING_Mengenal_Lebih_Dal
am_tentang_Kanker.pdf

Ferlay, J., dkk., 2014, Cancer incidence and mortality worldwide : soueces ,
method and major patterns in GLOBOCAN 2012, Int J Cancer 1

J. Daniel, dkk. 2021., Head and neck squamous cell carcinoma. USA .Ramesh,
G., Reeves, W.B. Mechanisms of Cisplatin Nephrotoxicity. 2010. Journal
Toxins

Medicinus, 2016. Mengenal Lebih Dalam tentang Kanker, Vol 29, No 1. http : //

NCCN (2018). Guidelines for patients, Oral Cancers

Pecorino, L., 2012, Molecular Biology of Cancer: Mechanisms, Targets, and


Therapeutics, Third Edition, Oxford University Press, New York

Remesh,A., 2012, Toxicities of anticancer drugs and its management,


International Journal of Basic & Clinical Pharmacology

Sukardja, Gede dewa , 2000, Onkologi Klinik, Airlangga University Press,


Surabaya

16
LAMPIRAN

Lampiran 1 Terapi carcinoma oral menurut NCCN

Lampiran 2 Dosis menurut BCCA

17
Lampiran 3 Protokol Kemoterapi

18
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

PELAYANAN FARMASI KLINIS


DI RUMAH SAKIT DR. ZAINOEL ABIDIN – BANDA ACEH

PELAYANAN INFORMASI OBAT (PIO) PADA PASIEN DIAGNOSE


INVASIVE BREAST CARCINOMA GRADE 3

PERIODE 13 DESEMBER 2021 – 18 FEBRUARI 2022

DISUSUN OLEH :

PUTRI WAHYUNINGSIH, S.Farm


NIM 210213036

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI


APOTEKER FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan

rahmat Nya dapat menyelesaikan Praktik Kerja Profesi Apoteker di RSUD Zainoel

Abidin Banda Aceh. Laporan ini ditulis berdasarkan teori dan hasil pengamatan

selama melakukan Praktik Kerja Profesi Apoteker di RSUD Zainoel Abidin Banda

Aceh. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Taruli Rohana

Sinaga S.Kep, MKM selaku Dekan Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan

Universitas Sari Mutiara Indonesia dan Ibu Apt. Dra. Modesta Tarigan, M.Si selaku

Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan Ilmu

Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu apt. Syarifah Maraiyuna, S.Si.,

selaku kepala instalasi di RSUD Zainoel Abidin, Ibu apt. Fitri yani, S.Farm., M.Clin

Pharm, Bapak apt. Makrifatullah, S.Farm dan Ibu apt. Yossy Cinthya Eriwati

Silalahi, S.Farm, M.Si selaku Pembimbing Praktik Kerja Profesi Apoteker yang

telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab hingga

selesainya penulisan laporan ini.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak

dr Isra Firmansyah, Sp. A (K), Ph. D sebagai Direktur RSUD dr. Zainoel Abidin

Banda Aceh yang telah memberikan fasilitas untuk melaksanakan PKPA, dan juga

seluruh Apoteker, Asisten Apoteker, Staf Instalasi Farmasi, Dokter serta Perawat

yang telah banyak membantu penulis selama melakukan Praktik Kerja Profesi di

RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh. Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima

ii
kasih kepada orang tua yang selalu memberikan dukungan moril maupun materil

serta selalu mendoakan yang terbaik selama melaksanakan praktik kerja profesi

yang di RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh. Penulis berharap semoga laporan

Praktik Kerja Profesi ini dapat menambah ilmu pengetahuan di bidang farmasi,

khususnya farmasi rumah sakit dan dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Banda Aceh, Januari 2022


Penulis

Putri Wahyuningsih
210312036

iii
DAFTAR ISI

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER ....................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... v
DAFTAR TABEL .................................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Tujuan .......................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3
2.1 Definisi ......................................................................................................... 3
2.2 Etiologi ......................................................................................................... 3
2.3 Patofisiologi ................................................................................................. 3
2.4 Penatalaksanaan Terapi ................................................................................ 4
BAB III.................................................................................................................... 7
KASUS CA MAMMAE ......................................................................................... 7
3.1 Identitas Pasien............................................................................................. 7
3.2 Peran Apoteker ............................................................................................. 7
3.2.1 Verifikasi Resep ................................................................................... 7
3.2.2 Peracikan Obat ..................................................................................... 9
a. Perhitungan dosis ......................................................................................... 9
b. Persiapan Obat ........................................................................................... 10
3.2.3 Peran KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) ..................................... 11
BAB IV ................................................................................................................. 13
PEMBAHASAN ................................................................................................... 13
BAB V ................................................................................................................... 17
KESIMPULAN ..................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18

v
DAFTAR TABEL

HALAMAN
Tabel 1. Hasil Verifikasi ............................................................................... 9

Tabel 2. Efek Samping dan Pengelolaan ...................................................... 11

vi
DAFTAR LAMPIRAN

HALAMAN
Lampiran 1. Terapi Invasive Breast Carcinoma for TNBC (Triple
Negative Breast Carcinoma) menurut NCCN9 ....................... 20
Lampiran 2. Dosis Menurut BCCA................................................................ 21

Lampiran 3. Protokol Terapi ......................................................................... 22

vii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada

pelayanan pasien, penyediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis

Habis Pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk

pelayanan farmasi klinik (Permenkes, 2016).

Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan

Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan

meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan

keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life)

terjamin (Permenkes, 2016).

Salah satu pelayanan farmasi klinik di rumah sakit yakitu dispensing sediaan

steril. Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan teknik

aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari

paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat.

Penanganan sediaan sitostatik merupakan penanganan Obat kanker secara aseptis

dalam kemasan siap pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi yang terlatih

dengan pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas maupun

sediaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi, dengan menggunakan alat

pelindung diri, mengamankan pada saat pencampuran, distribusi, maupun proses

pemberian kepada pasien sampai pembuangan limbahnya (Permenkes, 2016).

1
Kanker payudara merupakan salah satu kanker yang banyak terjadi dan sering

menyebabkan kematian akibat kanker pada wanita. Berdasarkan data dari

International Agency for Research on Cancer dalam GLOBOCAN (Global Cancer

Statistic) 2018, jumlah kasus baru kanker payudara yang ditemukan di seluruh

dunia berkisar 2,1 juta orang (11,6%) dengan jumlah kematian sebesar 626.679

orang (6.6%). Angka kejadian sampai saat ini masih terus meningkat pada wanita

usia di antara 40-45 tahun, diagnosis dini serta terapi yang dilakukan secara cepat

dan tepat merupakan pendekatan utama penataan pada penderita kanker payudara

(Bray et al., 2018)

1.2 Tujuan

1. Memahami peran, fungsi dan tanggung jawab Apoteker mengenai

pekerjaan kefarmasian di Rumah Sakit khususnya pada penanganan

sitostatika.

2. Meningkatkan interaksi dengan masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya

3. Mampu memahami dan mempraktekkan konsep Pharmaceutical Care

dalam pelayanan kepada pasien.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kanker payudara merupakan kanker yang berasal dari kelenjar, saluran

kelenjar dan jaringan yang menunjang payudara. Sejumlah sel dalam payudara

tumbuh dan berkembang dengan tidak terkendali inilah yang disebut dengan kanker

payudara (ariani, 2015).

2.2 Etiologi

Kanker payudara terjadi ketika sel-sel di payudara tumbuh secara tidak

normal dan tidak terkendali. Sel-sel ini membelah dengan cepat dan berkumpul

hingga membentuk benjolan, lalu bisa menyebar ke jaringan yang sehat, kelenjar

getah bening, atau ke organ lain.Belum diketahui apa yang menyebabkan sel-sel

tersebut berubah menjadi sel kanker. Akan tetapi, terdapat dugaan bahwa faktor

genetik, gaya hidup, lingkungan, dan hormon memiliki keterkaitan dengan

terbentuknya kanker payudara (Mayo Clinic, 2020).

2.3 Patofisiologi

Menurut nccn (2020) :


1. tumor primer

Seiring waktu, sel kanker membentuk massa yang disebut tumor primer.

2. invasif

Sel kanker dapat tumbuh menjadi jaringan di sekitarnya. Kanker payudara

invasif adalah kanker payudara yang memiliki menyebar dari saluran mik

3
atau lobulus ke dalam jaringan payudara atau kelenjar getah bening di

dekatnya.

3. Metastasis

Tidak seperti sel normal, sel kanker dapat menyebar dan membentuk tumor

di bagian tubuh lainnya. Kanker yang sudah menyebar disebut metastasis.

Dalam proses ini, sel kanker melepaskan diri dari tumor pertama (primer)

dan berjalan melalui darah atau pembuluh limfe ke tempat yang jauh. Sekali

di situs lain, sel kanker dapat membentuk sekunder tumor.

• Kanker yang telah menyebar ke tubuh terdekat bagian seperti

kelenjar getah bening aksila disebut metastasis lokal. Mungkin

disebut sebagai penyakit lokal/regional atau maju secara lokal,

• Kanker yang telah menyebar ke bagian tubuh yang jauh dari tumor

primer disebut jauh metastasis,

Kanker payudara dapat bermetastasis ke tulang, paru-paru, hati, tulang

belakang, atau otak. Kanker payudara itu telah menyebar ke bagian lain dari

tubuh adalah ambang yang disebut kanker payudara.

2.4 Penatalaksanaan Terapi

Menurut kepmenkes (2018) :

a. Pembedahan

Pembedahan merupakan terapi yang paling awal dikenal untuk pengobatan

kanker payudara. Pembedahan pada kanker payudara bervariasi menurut

luasnya jaringan yang diambil dengan tetapi berpatokan pada kaidah

4
onkologi. Terapi pembedahan yang umumnya dikenal adalah terapi atas

masalah lokal dan regional (mastektomi, breast conserving surgery, diseksi

aksila dan terapi terhadap rekurensi lokal/regional). Terapi pembedahan

dengan tujuan terapi hormonal berefek sistemik (ovariektomi, adrenalektomi,

dsb), terapi terhadap tumor residif dan metastase, dan terapi rekonstruksi

yaitu terapi memperbaiki konsmetik atas terapi lokal/regional, dapat

dilakukan pada saat bersamaan (immediate) atau setelah beberapa waktu

(delay).

b. Terapi Radiasi

Radioterapi merupakan salah satu modalitas penting dalam tata laksana

kanker payudara. Radioterapi dalam tata laksana kanker payudara dapat

diberikan sebagai terapi kuratif ajuvan dan paliatif.

c. Kemoterapi

Kemoterapi yang diberikan dapat berupa obat tunggal atau berupa gabungan

beberapa kombinasi obat kemoterapi. Kemoterapi diberikan secara bertahap,

biasanya sebanyak 6 – 8 siklus agar mendapatkan efek yang diharapkan

dengan efek samping yang masih dapat diterima. Hasil pemeriksaan

immunohistokimia memberikan beberapa pertimbangan penentuan regimen

kemoterapi yang akan diberikan.

d. Terapi Hormonal

Pemeriksaan immunohistokimia memegang peranan penting dalam

menentukan pilihan kemo atau hormonal sehingga diperlukan validasi

pemeriksaan tersebut dengan baik. Terapi hormonal diberikan pada kasus-

kasus dengan hormonal positif.

5
e. Terapi Target

Pemberian terapi anti target hanya diberikan di rumah sakit tipe A/B.

pemberian anti-HER2 hanya pada kasus-kasus dengan pemeriksaan IHK

yang HER2 positif. Pilihan utama anti-HER2 adalah herceptin, lebih

diutamakan pada kasuskasus yang stadium dini dan yang mempunyai

prognosis baik (selama satu tahun setiap 3 minggu).

6
BAB III

KASUS CA MAMMAE

3.1 Identitas Pasien

- Nama : Ny. SF

- Umur : 36 Tahun

- Jenis Kelamin : Perempuan

- BSA : 1,84

- No. MR : 1292xxxx

- Diagnosis : Ca Mammae dextra T4bN1M0

- Hipatologi : Invasive Breast Carcinoma Mammae

- Jaminan : BPJS

- Siklus : 2

- BB : 74 kg

3.2 Peran Apoteker

3.2.1 Verifikasi Resep

Ada berbagai jenis kemoterapi yang digunakan untuk mengobati invasive breast

cancer (NCCN, 2020)

7
1. Agen alkilasi merusak DNA dengan menambahkan bahan kimia ke

dalamnya. kelompok obat ini termasuk siklofosfamid. agen alkilasi berbasis

platinum mengandung logam berat yang mencegah sel kanker dari

menyelam. obat ini termasuk carboplatin dan cisplatin.

2. Antrasiklin merusak dan merusak pembuatan DNA yang menyebabkan

kematian sel baik sel kanker maupun non-kanker. obat ini termasuk

doxorubicin, doxorubicin injeksi liposomal dan epirubicin.

3. Antimetabolit mencegah "bahan penyusun" DNA digunakan. obat ini

termasuk capecitabine, fluorouracil, gemcitabine dan methotrexate,

4. Inhibitor mikrotubulus menghentikan sel membelah menjadi dua sel. obat

ini antara lain docetaxel, eriribulin, ixabepilone, paclitaxel, dan paclitaxel

terikat albumin disebut juga taxanes

Tabel 1. Hasil Verifikasi

Regimen dalam Hasil Verifikasi


Singkatan
Resep BCCA FORNAS
175 mg/m2 (range 135-175 Dosis paklitaksel: 175
mg/m2) IV for one dose on day 1 mg/m2/kali.
BRAVTAX Paclitaxel 320 mg
(total dose per cycle 135-175
mg/m2 )
AUC-based carboplatin dose IV for AUC (Area Under the
one dose on day 1 Calculate Curve) 5-6 setiap 3 minggu
Carboplatin 900
BRLACTWACG carboplatin dose with Calvert
mg
formula: Dose (mg) = AUC x
(GFR + 25) where AUC = 4-7

8
3.2.2 Peracikan Obat

a. Perhitungan dosis

a. Perhitungan Dosis Paclitaxel

Dosis 175mg/m2/kali

Maka = BSA x 175mg

= 1,84 x 175

= 322 mg

Dosis yang diminta 320mg, maka sesuai karena tidak jauh selisih dari

dosis seharusnya.

b. Perhitungan Dosis Carboplatin

Dose (mg) = AUC x (GFR + 25) where AUC = 4-7

(140−𝑈𝑚𝑢𝑟)𝑥 𝐵𝐵 𝑥 0,85
GFR = 72 𝑥 𝑆𝑒𝑟𝑢𝑚 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛)

(140−36)𝑥 74 𝑥 0.85
GFR = 72 𝑥 0,60

6541,6
GFR = 43,2

GFR = 151,42

Dosis = AUC x (GFR + 25)

= 5 x ( 151,42 + 25)

= 5 x (176,42)

9
= 882.1

Dosis yang diminta 900 mg, maka sesuai karna tidak jauh selisih dari
dosis yang seharusnya.

b. Persiapan Obat

a. Paclitaxel

Dosis yang diminta : 320 mg

Dosis yang tersedia : 100 mg/ 16,7 mL

: 30 mg/5ml

Maka : 3 vial 100mg/16,7mL

: 1 vial 30 mg/5ml sebanyak

20 𝑚𝑔
x 5 mL = 3,3 mL/cc
30 𝑚𝑔

sisa : 5mL – 3,3 mL = 2,7 mL

Paclitaxel stabil selama 27 jam pada suhu ruangan.

Penyimpanan : suhu ruangan, simpan dengan botol kaca terlindung dari cahaya

b. Carboplatine

Dosis yang diminta : 900 mg

Dosis yang tersedia : 450 mg/ 45 mL

: 150 mg/15 mL

Maka : 2 vial 450 mg/16,7mL

10
Carboplatin stabil selama 8 jam pada suhu ruangan, 24 jam dalam lemari pendingin.

Penyimpanan : suhu ruangan, simpan dengan botol kaca terlindung dari cahaya

3.2.3 Peran KIE (Komunikasi Informasi Edukasi)

Tabel 2. Efek samping dan Pengelolaan


Efek Samping Pengelolaan
Nyeri dan panas di area suntikan Kompres dengan air dingin 15-20
menit beberapa kali sehari
Mual dan Muntah - Diberikan antiemetic
- Banyak minum air
- Makan sering dalam jumlah
sedikit
Nyeri otot atau sendi mungkin sering dapat menggunakan asetaminofen
terjadi beberapa hari setelah perawatan setiap 4-6 jam maksimum 4 g (4000
mg) per hari atau
ibuprofen untuk ringan sampainyeri
sedang

Sariawan - Sikat gigi dengan lembut setelah


makan dan pada waktu tidur
dengan sikat gigi yang sangat
lembut.
- Buat obat kumur dengan 1 sendok
teh soda kue dan garam dalam 1
cangkir air hangat dan bilas
beberapa kali satu hari.

Kerontokan rambut adalah hal biasa - Oleskan minyak mineral ke


dan mungkin dimulai dalam beberapa kulit kepala untuk
hari atau minggu pengobatan. Rambut mengurangi gatal.

11
Anda mungkin tipis atau Anda - Gunakan shampoo dan
mungkin kehilangannya sama gosok dengan lembut
sekali. Rambut akan tumbuh kembali
setelah Anda perawatan sudah selesai
dan terkadang
saat perawatan.

Ruam kulit kadang terjadi Jika gatal sangat menjengkelkan,


hubungi dokter. Jika tidak, pastikan
untuk menyebutkannya di kunjungan
berikutnya.
Mati rasa atau kesemutan pada jari - Berhati-hatilah saat memegang
atau jari kaki mungkin sering terjadi. barang yang tajam, panas, atau
Ini akan perlahan kembali normal dingin.
setelah perawatan Anda lebih. Ini - Beritahu dokter pada
mungkin memakan waktu beberapa kunjungan berikutnya,
bulan terutama jika memiliki
masalah dengan menulis, atau
mengambil benda-benda kecil
Konstipasi - Perbanyak olahraga
- Minum banyak air
Diare - Minum banyak air
- Makan dalam jumlah sedikit
tapi sering

12
BAB IV

PEMBAHASAN

Kemoterapi merupakan terapi sistemik yang diindikasikan untuk tumor

malignansi sistemik yaitu tumor yang telah dibuktikan atau diduga telah menyebar

secara sitemik salah satu obat yang sering digunakan pada kanker payudara adalah

carboplatin, obat ini merupakan sitostatika golongan zat pengalkil yang mempunyai

gugus alkil reaktif sebagai basa analog sitosin yang berikatan dengan guanin.

Peran apoteker yaitu verifikasi, menyiapkan obat kemoterapi dan

menyampaikan KIE. Verivikasi yang dilakukan apoteker yaitu memverifikasi

regimen dan dosis regimen. Verifikasi regimen terapi untuk memastikan bahwa

regimen tersebut sudah sesuai dengan guideline yang berlaku, sedangkan verivikasi

dosis adalah untuk memastikan dosis yang diperoleh sudah sesuai dengan guideline

kemoterapi yang berlaku. Dalam hal ini, pada kasus breast carcinoma, regimen

yang diperoleh pasien ini adalah paclitaxel 320 mg dan carboplatin 900 mg.

Paclitaxel bekerja bekerja dengan menginduksi pembentukan mikrotubulus dan

menghambat penguraiannya menjadi tubulin, sehingga sel akan terhenti pada fase

G2-M, dan terjadi hambatan proliferasi sel (BCCA, 2019). Carboplatin bekerja

bekerja dengan berikatan dengan DNA interstrand dan intrastrand sehingga

menghambat replikasi dan transkripsi DNA dan sintesis DNA (BCCA, 2014).

Setelah dilakukan verifikasi, diperoleh selisih yang tidak terlalu signifikan dari

dosis yang diresepkan. Berdasarkan perhitungan dosis paclitaxel 322mg dan dosis

carboplatin 882,1 mg.

Perhitungan dosis pasien kanker payudara berdasarkan body surface area

(BSA) untuk obat paclitaxel yaitu 175mg/m2, sedangkan untuk obat kemoterapi

13
carboplatin menggunakan calvert formula. AUC adalah singkatan dariArea Under

the Curve, yaitu suatu bagian dari kurva yang menunjukkan konsentrasi obat

Carboplatin yang diperlukan bagi seseorang untuk mencapai efek terapi yang

optimal.

Penggunaan AUC tersebut dalam rumus perhitungan tertentu sangat penting

untuk menjaga agar pasien dapat mendapatkan dosis obat yang bekerja secara

optimal dan meminimalisir terjadinya efek samping (toksisitas) yang ditimbulkan

oleh obat tersebut, khususnya terhadap organ ginjal. Apabila AUC terlalu tinggi,

maka risiko terjadinya toksisitas semakin meningkat, dan bila terlalu rendah akan

menyebabkan obat tidak bekerja efektif.

Fungsi apoteker di Rumah Sakit dalam penyiapan obat, baik mutu juga

menerapkan efisiensi. Pada kasus ini, efisiensi yang dapat dilakukan oleh apoteker

adalah memanfaatkan obat kemoterapi yang berlebih yang berasal dari sisa obat

pasien sebelumnya yang mendapat obat yang sama. Yang pertama dilakukan adalah

menghitung berapa banyak vial yang dibutuhkan untuk peracikan obat tersebut.

Berdasarkan perhitungan didapatkan paclitaxel yang dibutuhkan sebanyak 3 vial

100mg/16,7 ml dan 1 vial 30mg/5ml sebanyak 3,3 ml, sisa 2,7 ml dapat disimpan

pada suhu ruangan selama 72 jam. Sisa dari regimen tersebut dapat digunakan untuk

peracikan selanjutnya yang tidak melewati batas waktu simpan. Sedangkan

carboplatin yang dibutuhkan yaitu 2 vial 450mg/16,7 ml.

Pre medikasi yang diberikan kepada pasien yaitu injeksi granon 3 mg,

dexametason, diphenhidramin, ondancetron, dan furosemide 40 mg. Granisetron

dan Ondancetron merupakan antagonis reseptor 5-HT3 merupakan antiemetic

untuk CINV (Chemotherapy induced nausea and vomiting), diberikan sebagai pre

14
medikasi untuk mengurangi mual dan muntah yang mungkin akan dialami pasien

selama kemoterapi. Kortikosteroid seperti deksametason merupakan anti emetik

dan digunakan sebagai kombinasi dengan preparat lain. Mekanisme antiemetik

kortikosteroid belum jelas, diduga melalui mekanisme penghambatan sintesis

prostaglandin di hipotalamus (Shinta, 2016). Diphenhidramin digunakan untuk

pencegahan terjadinya alergi dari regimen maupun pelarut yang diberikan pada saat

kemoterapi. Furosemide sendiri digunakan untuk meningkatkan diuresis pada

pasien yang menerima carboplatin dengan tujuan untuk mengurangi risiko

nefrotoksik (Baxter, 2010). Protokol kemoterapi pada kasus ini terlampir (Lampiran

3).

Kemudian yang dilakukan oleh apoteker yaitu menyampaikan KIE

(Komunikasi Informasi dan Edukasi). Dalam tahap ini apoteker akan

menyampaikan mengenai kemungkinan efek samping yang akan terjadi setelah

kemoterapi. Efek samping yang mungkin atau akan terjadi pada kemoterapi dengan

regimen paclitaxel dan carboplatin yaitu nyeri di area suntikan, mual dan muntah,

diare, konstipasi, nyeri otot, dan juga kerontokan rambut. Hal ini dapat hilang atau

berhenti Ketika kemoterapi telah selesai. Efek samping lain yang mungkin terjadi

yaitu leukopenia dimana sel darah putih pasien yang berfungsi untuk mencegah

infeksi menjadi berkurang, maka di edukasikan kepada pasien untuk meminimalisir

resiko infeksi seperti rajin mencuci tangan sebelum dan sesudah menggunakan

kamar mandi, hindari keramaian dan juga orang yang sakit Segera hubungi dokter

jika dirasakan tanda infeksi seperti demam (lebih dari 38 ° C dengan termometer

oral), menggigil dan batuk.

15
Efek samping yang dialami pasien yaitu Nyeri dan panas di area suntikan,

mual dan muntah, nyeri otot, dan kerontokan rambut. Mual dan muntah dapat

diatasi dengan pemberian antiemetic seperti ondansentron 4 mg. Nyeri dan panas

area suntikan dapat diredakan dengan mengompres dengan air dingin. Gunakan

sampo dan gosok kepala dengan lembut untuk menghindari kerontokan rambut.

Obat pulang yang diterima pasien yaitu ondancetron 8 mg tiap 12 jam

selama 3 hari dan Dexamethason 0,5 mg tiap 8 jam sebanyak 2 tablet selama 3 hari.

Obat tersebut dapat meringankan mual dan muntah serta nyeri.

16
BAB V

KESIMPULAN

1. Regimen yang digunakan pada kemoterapi yaitu paclitaxel dan carboplatin.

2. Dosis regimen yang digunakan pada kemoterapi sesuai dengan perhitungan

dosis.

3. Efek samping yang dirasakan pasen yaitu nyeri diluka suntikan, mual dan

muntah, nyeri otot, dan kerontokan rambut.

4. Pio telah diberikan kepada pasien mengenai pengelolaan dari efek samping

yang dialami yaitu jika mual dan muntah minum obat ondansetron 4 mg,

kompres dengan air dingin diarea suntikkan, minum paracetamol/ibuprofen

jika nyeri otot, dan gunakan shampoo dan gosok dengan lembut kepala

untuk menghindari kerontokan rambut.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ariani, S., (2015). STOP! KANKER. Yogyakarta. Istana Media.


Baxter, K. 2010. Stockley’s Drug Interactions. A source book of interactions, their
mechanisms, clinical importance and management, Ninth edition.
Pharmaceutical Press. Chicago
BCCA (2021). BC Cancer Protocol Summary for NEOAdjuvant Therapy for Triple
Negative Breast Cancer Using Carboplatin and Weekly PACLitaxel
Followed by DOXOrubicin and Cyclophosphamide
BCCA (2019). Paclitaxel Monograph
BCCA (2014). Carboplatin Monograp
BCCA (2021). BC Cancer Protocol Summary for Palliative Therapy for Metastatic
Breast Cancer using PACLitaxel
BCCA (2020). Paclitaxel Handout For The Patient
BCCA (2020). Carboplatin Handout For The Patient
Bray F, Ferlay J, Soerjomataram I, Siegel RL, Torre LA, Jemal A. (2018). Global
Cancer Statistics 2018: GLOBOCAN estimates of Incidence and Mortality
Worldwide for 36 Cancers in 185 Countries. CA Cancer J Clin, 68:394-
424.
Kepmenkes (2018). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Kanker Payudara. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
NCCN (2020). Guidelines for patients, Invasive Breast Cancer.
Permenkes (2016). Peraturan Menteri Kesehatan no 72 tahun 2016 tentang standar
pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta : Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Shinta, Nindia., Bakti Surarso (2016). Terapi Mual Muntah Pasca Kemoterapi.
Jurnal THT - KL Vol.9, No.2

18
Lampiran 1. Terapi Invasive Breast Carcinoma for TNBC (Triple Negative
Breast Carcinoma) menurut NCCN

20
Lampiran 2. Dosis Menurut BCCA

BC Cancer Protocol Summary for NEOAdjuvant Therapy for Triple Negative


Breast Cancer Using Carboplatin and Weekly PACLitaxel Followed by
DOXOrubicin and Cyclophosphamide

Protocol Code: BRLACTWAC

BC Cancer Protocol Summary for Palliative Therapy for Metastatic Breast Cancer
using PACLitaxel

Protocol Code: BRAVTAX

21
Lampiran 3. Protokol Terapi

22
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

FARMASI RUMAH SAKIT

PELAYANAN INFORMASI OBAT (PIO) PADA


PASIEN NON HODGKIN’S LYMPHOMA

DI RUMAH SAKIT dr. ZAINOEL ABIDIN – BANDA ACEH


PERIODE 13 DESEMBER 2021 – 18 FEBRUARI 2022

DISUSUN OLEH:

RAIHAN FATIA AMIRUDDIN, S.Farm


NIM: 210213037

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberi rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktik Kerja Profesi
Apoteker di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Shalawat beserta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad saw. kiblat dalam
perjalanan kita sebagai generasi penerusnya hingga akhir zaman.
Praktek Kerja Profesi Apoteker ini merupakan salah satu syarat dalam
mengikuti Program Studi Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi dan Ilmu
Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia untuk memperoleh gelar Apoteker.
Terlaksananya Praktek Kerja Profesi Apoteker ini tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Taruli Rohana Sinaga S.Kep, MKM
selaku Dekan Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara
Indonesia, kepada Ibu apt. Dra. Modesta Tarigan, M.Si sebagai Ketua Program
Studi Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia, kepada Ibu apt. Grace Anastasia Br Ginting,
S.Farm. M.Si sebagai pembimbing akademik saya yang telah mengarahkan dan
membimbing dalam penyusunan laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker.
Dan juga kepada Bpk. apt. Makrifatullah, S.Farm., Ibu apt. Fitri Yani,
S.Farm., M.Clin.Pharm., Ibu apt Azizah Vonna, M.Pharm.Sci., Ibu apt. Yunita
Suffiana, M.Sc., Ibu apt. Rita Novika, S.Farm., Ibu apt Ika Fitri Ramadhana,
S.Farm., selaku pembimbing di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang telah
berkenan memberikan arahan, bimbingan dan berbagi pengalamannya kepada
penulis selama melaksanakan Praktik Kerja Profesi Apoteker hingga selesainya
penulisan laporan ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak dan Ibu Staf
Pengajar Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan
pengetahuan kepada penulis, seluruh karyawan di RSUD dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh atas kerja sama dan bantuan yang telah diberikan selama penulis
melaksanakan Praktik Kerja Profesi Apoteker ini.
Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dan tak
terhingga kepada kedua orang tua, suami serta keluarga besar saya atas doa, kasih
sayang, nasihat dukungan baik moril maupun materil, dan tak lupa juga kepada
teman-teman satu tim dalam melaksanakan Praktik Kerja Profesi yang telah
bekerja sama dengan baik selama masa praktik kerja profesi di RSUD dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak demi kesempurnaan laporan ini.
Penulis berharap semoga laporan Praktik Kerja Profesi ini dapat
menambah ilmu pengetahuan di bidang farmasi, khususnya farmasi rumah sakit
dan dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Banda Aceh, Januari 2022


Penulis,

Raihan Fatia Amiruddin, S.Farm


NIM: 210213037

iii
DAFTAR ISI

JUDUL ................................................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................. Error! Bookmark not defined.
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2. Tujuan ........................................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 3
2.1. Definisi........................................................................................................................ 3
2.2. Etilogi ......................................................................................................................... 3
2.3. Patofisiologi ................................................................................................................ 3
2.4. Penatalaksanaan Terapi ........................................................................................... 4
BAB III STUDI KASUS ................................................................................................... 6
3.1. Identitas Pasien.......................................................................................................... 6
3.2. Peran Apoteker.......................................................................................................... 6
1. Verifikasi Resep.................................................................................................... 6
2. Peracikan Obat ..................................................................................................... 7
3. Peran KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) .................................................. 8
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................................... 10
BAB V KESIMPULAN .................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 16

v
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Regimen....................................................................................................... 6


Tabel 3.2. Efek Samping dan Pengelolaan ................................................................. 8

vi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Regimen CHOP...................................................................................... 18


Lampiran 2. Protokol Kemoterapi ............................................................................. 19
Lampiran 3. Penyiapan Obat Kemoterapi ................................................................ 20

vii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari

sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang utuh dan berorientasi kepada

pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi

klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Farmasi rumah sakit

bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi yang beredar di rumah sakit

tersebut.

Peran farmasis dalam farmasi klinis antara lain mengkaji instruksi

pengobatan atau resep pasien, mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan

penggunaan obat dan alat kesehatan, mencegah dan mengatasi masalah yang

berkaitan dengan obat dan alat kesehatan, memantau efektifitas dan keamanan

penggunaan obat dan alat kesehatan, memberikan informasi kepada petugas

Kesehatan serta pasien/keluarga, memberi konseling kepada pasien/keluarga,

melakukan pencampuran obat suntik, melakukan penyiapan nutrisi parenteral,

melakukan penanganan obat kanker, melakukan penentuan kadar obat dalam

darah, melakukan pencatatan setiap kegiatan dan melaporkan setiap kegiatan

(Permenkes, 2016).

1
1.2. Tujuan

1. Memahami peran, fungsi dan tanggung jawab Apoteker mengenai

pekerjaan kefarmasian di Rumah Sakit khususnya pada penanganan obat

kanker.

2. Meningkatkan interaksi dengan masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.

3. Mampu memahami dan mempraktekkan konsep pharmaceutical care

dalam pelayanan kepada pasien.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Limfoma non hodgkin adalah sekelompok tumor yang berasal dari sistem

limfoid, yang menginfiltrasi tidak hanya jaringan limfoid dan hematopoietik

namun juga organ-organ lainnya. Subtipe limfoma yang paling sering ditemukan

adalah diffuse large B cell lymphoma. Beberapa subtipe yang lainnya

adalah chronic lymphocytic leukaemia and small lymphocytic

lymphoma, Precursor T lymphoblastic leukemia/lymphoma, maupun limfoma sel

mantel. Limfoma secara umum dibagi menjadi 2, yaitu Limfoma Hodgkin (10%

dari semua limfoma) dan Limfoma Non Hodgkin (Mayo Clinic, 2015).

2.2. Etilogi

Etiologi Limfoma Non Hodgkin berasal dari banyak faktor, seperti

imunosupresi, modulasi system imun, virus, bakteri, genetik, infeksi, gaya hidup,

dan paparan pekerjaan. Secara umum, etiologi Limfoma Non Hodgkin masih

diteliti lebih lanjut, dan beberapa etiologi seperti infeksi dan genetik secara

spesifik berhubungan dengan subtipe spesifik Limfoma Non Hodgkin.

2.3. Patofisiologi

Berbeda dengan sel hematopoeitik yang lain, limfosit kecil (matang)

bukanlah merupakan sel tahap akhir dari perkembangannya, akan tetapi mereka

dapat merupakan permulaan limfopoeisis baru yang timbul sebagai reaksi

terhadap rangsangan antigen yang tepat. Seperti sel darah lainnya, sel limfosit

berasal dari sel-sel induk multipotensial di dalam sumsum tulang. Sel induk

3
multipotensial pada tahap awal bertransformasi menjadi sel progenitor limfosit

yang kemudian berdiferensiasi melalui dua jalur. Sebagian mengalami

pematangan dalam kelenjar timus untuk menjadi sel limfosit T dan sebagian lagi

menuju kelenjar limfe atau tetap berada dalam sumsum tulang dan berdiferensiasi

menjadi sel limfosit B. Apabila ada rangsangan oleh antigen yang sesuai maka

limfosit T maupun B akan bertransformasi menjadi bentuk aktif dan

berproliferasi. Limfosit T aktif menjalankan fungsi respon imunitas seluler

sedangkan limfosit B aktif menjadi imunoblas yang kemudian menjadi sel plasma

yang membentuk immunoglobulin. Perubahan sel limfosit normal menjadi sel

limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari

sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam proses transformasi

menjadi imunoblas.

2.4. Penatalaksanaan Terapi

Terapi Non Hodgkin Limfoma (NHL) tergantung pada histologi, stadium,

dan immunophenotype. Terdiri dari terapi spesifik untuk membasmi sel linfoma

dan terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum penderita atau untuk

menanggulangi efek samping kemoterapi atau radioterapi.

1. Tanpa Terapi (Watchful Waiting), jika Anda terdiagnosa limfoma yang

berkembang dengan lambat, tanpa terapi adalah rekomendasi yang

disarankan. Dokter akan tetap memeriksa kesehatan (check-up) Anda

secara rutin hingga terapi siap diberikan.

2. Kemoterapi, menggunakan obat-obat untuk membunuh sel kanker atau

memperlambat perkembangannya. Kemoterapi dapat dikombinasikan

dengan terapi yang lain seperti antibody monoclonal atau terapi steroid.

4
Kemoterapi adalah pilihan terapi utama untuk NHL yang bersifat agresif

(high-grade). Kemoterapi umumnya diberikan dalam beberapa siklus

selama 3-4 bulan.

3. Radioterapi, menggunakan sinar X untuk membunuh atau merusak sel

kanker dan umumnya digunakan pada NHL stadium awal (I atau II). Pada

limfoma stadium lanjut, kombinasi radioterapi dan kemoterapi umumnya

diberikan.

4. Transplantasi Sel Punca Darah (Blood Stem Cell Transplant), Dokter dapat

merekomendasikan transplantasi sel punca darah jika terdapat risiko

kanker menyerang kembali, kanker sudah menyerang kembali, atau jika

terapi yang sudah diberikan tidak memberikan respon yang baik.

5
BAB III

STUDI KASUS

3.1. Identitas Pasien

a. Nama :Ny. S

b. Umur : 45 Tahun

c. Jenis Kelamin : Perempuan

d. BSA : 1,72

e. Nomor MR : 0763xxx

f. Diagnosis Klinis : Limpadenopathy ar colli

g. Histopatologi : Non Hodgkin Lympoma

h. Siklus :3

3.2. Peran Apoteker

1. Verifikasi Resep

Kombinasi regimen terapi yang disarankan menurut BCCA untuk:

a. All stages of newly diagnosed Diffuse Large B-Cell Lymphoma

b. Mantle Cell Lymphoma

c. Follicular Lymphoma Grade 3B

d. Biopsy Confirmed Or Clinically Suspected Transformed Lymphoma

Tabel 3.1. Regimen berdasarkan BCCA dan FORNAS


REGIMEN PADA DOSIS
RESEP BCCA FORNAS
Doxorubicin 50 mg/m2 on day 1 500 mg/m2 dosis kumulatif
maks
Cyclophosphamide 750 mg/m2 on day 1 700 mg/m2 jika diberikan
kombinasi dengan obat lain
Vincristine 1,4 mg/m2 on day 1 1,5 mg/m2 maks weekly dose
2 mg

6
2. Peracikan Obat

a. Perhitungan Dosis

1) Doxorubicin 50 mg/m2

Maka = BSA x 50 mg/m2

= 1,72 x 50 mg/m2

= 86 mg

Dosis yang diminta 70 mg, kurang dari dosis seharusnya yaitu 86 mg.

2) Cyclophosphamide 750 mg/m2

Maka = 1,72 x 750 mg/m2

= 1290 mg

Dosis yang diminta 90 mg, kurang dari dosis seharusnya yaitu 1290 mg.

3) Vincristine 1,4 mg/m2

Maka = 1,72 x 1,4 mg/m2

= 2,4 mg

Dosis yang diminta 2 mg, hal ini merupakan dosis maksimal vinkristin

walaupun dosis seharusnya 2,4 mg.

b. Persiapan Obat

1) Doxorubicin

Dosis yang diminta = 70 mg

Dosis yang tersedia = 50 mg (1 vial)

= 10 mg (2 vial)

Stabil selama 48 jam pada suhu kamar 25˚C terlindung dari cahaya langsung

Penyimpanan: suhu kamar/ suhu dingin (2-25˚C)

7
2) Cyclophosphamide

Dosis yang diminta : 900mg

Dosis yang tersedia : 500mg (1 vial)

: 200mg (2 vial)

Stabil selama 24 jam pada suhu kamar; 6 hari dlm lemari pendingin

Penyimpanan: suhu kamar/ lemari pendingin/ terlindung cahaya

3) Vincristine

Dosis yang diminta : 2mg

Dosis yang tersedia : 2mg (1 vial)

Stabil selama 2 hari pd suhu ruangan; 7 hari dalam lemari pendingin

Penyimpanan: suhu ruangan/ lemari pendingan

(Sumber: Lacy et al, 2009; Trissel, 1998)

3. Peran KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi)

Tabel 3.2. Efek Samping dan Pengelolaan


EFEK SAMPING PENGELOLAAN
Mual dan muntah dapat terjadi dengan Anda akan diberikan resep obat antimual untuk
perawatan ini dan Anda perlu minum obat diminum sebelum perawatan IV dan kemudian
antimual sebelum dan sesudah kemoterapi di rumah.
Anda.

Gatal-gatal, sejenis reaksi alergi, dapat Ambil Difenidramin 25 atau 50 mg hingga 4 kali
terjadi. Reaksi ini biasanya terjadi selama sehari. (Catatan: diphenhydramine menyebabkan
atau hingga 24 jam setelah infus. kantuk)

Rambut rontok. Rambut Anda akan rontok 1) Memotong rambut pendek atau mencukur
2-4 minggu setelah perawatan dimulai. kepala mungkin lebih nyaman.
Kulit kepala Anda mungkin terasa lembut. 2) Hindari semprotan rambut, pemutih,
Anda mungkin kehilangan rambut di wajah pewarna.
dan tubuh Anda. Rambut Anda akan 3) Oleskan minyak mineral ke kulit kepala
tumbuh kembali setelah perawatan Anda Anda untuk mengurangi rasa gatal.
selesai dan terkadang di antara perawatan. 4) Jika Anda kehilangan bulu mata dan alis,
lindungi mata Anda dari debu dan pasir
dengan topi dan kacamata berbingkai lebar.

8
EFEK SAMPING PENGELOLAAN
Sariawan dapat terjadi beberapa hari setelah Sikat gigi Anda dengan lembut setelah makan
pengobatan. Sariawan dapat terjadi di lidah, dan sebelum tidur dengan sikat gigi yang
gusi dan sisi mulut atau di tenggorokan lembut. Jika gusi Anda berdarah, gunakan kain
Anda. Sariawan atau gusi berdarah dapat kasa sebagai pengganti sikat. Gunakan soda kue
menyebabkan infeksi. sebagai pengganti pasta gigi.
Beri tahu dokter Anda tentang sakit mulut,
karena dosis kemoterapi Anda mungkin perlu
dikurangi jika sariawan berat.

Kelelahan umum terjadi terutama dalam 1-2 Tingkat energi Anda akan meningkat secara
minggu pertama setelah perawatan Anda. perlahan (minggu-bulan) setelah perawatan
Karena jumlah siklus meningkat, kelelahan terakhir Anda selesai.
mungkin bertambah buruk.

Sembelit parah dapat terjadi karena Temui dokter Anda sesegera mungkin jika Anda
vincristine. mengalami sembelit parah.

Mati rasa atau kesemutan jari tangan atau a) Mati rasa dan kesemutan pada jari kaki dan
kaki dapat terjadi karena vincristine. jari tangan perlahan akan kembali normal
setelah kemoterapi terakhir Anda.
b) Beri tahu dokter Anda pada kunjungan
berikutnya jika Anda mengalami mati rasa
atau kesulitan mengambil benda kecil,
mengancingkan kancing, atau menulis.
c) Berhati-hatilah saat menangani benda tajam,
panas atau dingin.

Urin mungkin berwarna merah muda atau Ini diharapkan karena doksorubisin berwarna
kemerahan selama 1-2 hari setelah merah dan dikeluarkan melalui urin Anda.
perawatan Anda.

9
BAB IV

PEMBAHASAN

Kemoterapi adalah pemberian obat untuk membunuh sel kanker. Tidak

seperti radiasi atau operasi yang bersifat local, kemoterapi merupakan terapi

sistemik, yang berarti obat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mencapai sel

kanker yang telah menyebar jauh atau metastase ke tempat lain.

Peran apoteker yaitu verifikasi, menyiapkan obat kemoterapi dan

menyampaikan KIE. Tahap awal yang dilakukan apoteker yaitu memverifikasi

resep apakah regimen yang diberikan sudah tepat dosis berdasarkan literatur yang

ada. Berdasarkan BCCA regimen yang digunakan untuk diagnose penyakit

Limfoma Non Hodgkin sudah tepat yaitu regimen CHOP (Doxorubicin,

Cyclophosphamide, Vincristine dan Prednison).

Pada regimen CHOP, obat Doxorubicin tergantung pada siklus terapi yang

digunakan seperti halnya kondisi umum dan pra-pengobatan pada pasien. Pada

pasien yang tidak boleh mendapatkan dosis lengkap karena alasan tertentu (usia,

mielosupresi, imunosupresi, kontraindikasi terkait) maka siklus terapi untuk

mono- dan poli kemoterapi dianjurkan total dosis kumulatif tidak boleh melebihi

500-550 mg/m2, karena adanya kemungkinan efek samping terhadap jantung.

Dosis total harus diturunkan sampai 400 mg/m2. Overdosis akut dapat

menyebabkan mucositis, insufisiensi jantung dan aritmia jantung (dalam waktu 24

jam) demikian pula mielosupresi berkulminasi dalam waktu 14 hari. Toksisitas

kronis muncul seperti kardiomiopati (insufisiensi ventrikel kiri) terutama pada

penggunaan dosis kumulatif di atas 500 mg/m2 (U.S. FDA, 2013). Berbagai

10
penelitian mengenai mekanisme kerja doxorubicin telah dilakukan. Antibiotik

antrasiklin seperti doxorubicin memiliki mekanisme aksi sitotoksik melalui empat

mekanisme yaitu:

(1) Penghambatan topoisomerase II

(2) Interkalasi DNA sehingga mengakibatkan penghambatan sintesis DNA

dan RNA

(3) Pengikatan membran sel yang menyebabkan aliran dan transport ion

(4) Pembentukan radikal bebas semiquinon dan radikal bebas oksigen melalui

proses yang tergantung besi dan proses reduktif yang diperantarai enzim.

Mekanisme radikal bebas ini telah diketahui bertanggungjawab pada

kardiotoksisitas akibat antibiotik antrasiklin (Bruton et al, 2005).

Obat Cyclophosphamide memiliki spektrum klinis aktivitas yang sangat luas,

adakalanya terjadi radang mukosa kandung kemih dengan perdarahan. Pada

protocol terapi regimen ini terdapat hidrasi, untuk menghindari potensi terjadi

perdarahan pada kandung kemih maka sebelum dilaksanakan protocol diberikan

NaCl 0,9% sebanyak 500 cc, hal lainnya maka pasien perlu minum banyak air

selama terapi (Tjay dan Rahardja, 2007).

Adaapun mekanismenya, Siklofosfamid bekerja menghambat proses

replikasi dengan membentuk cross-link pada DNA. Hepatosit, sel mukosa

gastrointestinal, dan sel-sel prekursor darah cenderung lebih resisten terhadap efek

toksik siklofosfamid dibanding sel-sel pada organ lain. Sampai saat ini, penelitian

mengenai efek samping sistemik dan toksisitas siklofosfamid masih terus

dilakukan (WHO, 2018).

11
Adapun obat Vincristine penentuan pembatasan dosis karena mengingat

Vincristine memiliki karakteristik biologis yang khas yaitu mekanisme kerjanya

yang sitotoksik, yang disebabkan oleh kemampuan obat ini berikatan dengan

tubulin dalam DNA dan menghambat fase mitosis. Vincristine juga memiliki

beberapa mekanisme kerja lain yang bersifat sitotoksik. Mikrotubulus, selain

berfungsi dalam pembelahan sel, juga berfungsi mengatur struktur protein intrasel

yang bertugas dalam fungsi sekretori, vaskularisasi, migrasi, dan interaksi antar

sel (Martino et al, 2018).

Resiko efek samping neurotoksisitas yang sering terjadi, American Society

of Clinical Oncologi (ASCO) mengeluarkan panduan dosis Vincristine maksimal

yang boleh diberikan dengan regimen kombinasi CHOP (Cyclophosphamide,

Doxorubicin, Vincristine, Prednison) dan CVP (Cyclophosphamide, Vincristine,

Prednison) untuk kasus Limfoma Non Hodgkin yaitu sebesar 2 mg. Pada kondisi

neurotoksisitas, jika terdapat neuropati berupa gangguan fungsi motoric derajat

sedang, dosis diturunkan 50%. Jika terdapat gangguan fungsi motoric berat,

pemberian vincristine dihentikan. Pada pasien ini, efek samping ini tidak terjadi.

Penentuan dosis obat antikanker didasarkan pada luas permukaan tubuh,

namun pengelompokkan pasien berdasarkan umur penting juga dilakukan. Umur

pasien digunakan sebagai salah satu kriteria dalam memilih dan menentukan dosis

obat, jumlah obat, bentuk sediaan obat serta cara pemberian obat. Obat-obatan

yang digunakan pada pasien kanker tidak hanya obat sitotoksik namun juga

menggunakan obat-obat lain yang mendukung untuk mengatasi efek samping

kemoterapi, mengatasi penyakit penyerta pasien, serta sediaan-sediaan lain yang

berfungsi meningkatkan kualitas hidup pasien kanker.

12
Kemoterapi yang dijalankan pasien adalah siklus ke-3, dimana

premedikasi yang dilakukan dengan menginjeksikan Ondansetron 4mg 1 amp,

Dexametason 2 amp. Deksametason merupakan kortikosteroid yang digunakan

secara luas dan dikombinasikan dengan obat antiemetik lainnya. Selain untuk

mencegah terjadinya hipersensitivitas, deksametason juga berperan dalam

mencegah mual dan muntah. Deksametason mempunyai mekanisme kerja dengan

menurunkan 24 pelepasan serotonin dan meningkatkan kerja obat antiemetik

lainnya (Allen et al, 2007). Walaupun antiemetik tunggal seperti Ondansetron

juga memenuhi standard pengobatan, dalam standard pengobatan muntah obat

tersebut dapat diberikan secara tunggal bila pasien mengalami risiko muntah

sedang. Golongan antagonis serotonin dapat diberikan sebagai agen tunggal pada

level muntah sedang. Untuk risiko muntah tinggi dapat diberikan Aprepitant +

Deksametason, atau Serotonin antagonist + Dexametason ataupun Metoklopramid

+ Deksametason. Penggunaan Ondansetron sebagai agen tunggal untuk mengatasi

delayed emesis kurang bagus. Jadi, untuk mengurangi risiko delayed emesis dapat

dikombinasi dengan Deksametason. Antiemetik tersebut dapat membantu

mencegah timbulnya muntah setelah pasien menjalani kemoterapi.

Diphenhidramin 1amp diberikan sebelum kemoterapi karena

Difenhidramin merupakan obat golongan antihistamin dan antikolinergik yang

dapat mengurangi mual dan muntah (Dipiro, 2008). Difenhidramin memiliki

mekanisme dengan berkompetisi dengan histamin bebas untuk mengikat reseptor

H1 dan memblok CTZ dan menurunkan stimulasi vestibular (Copur et al, 2006).

dan Furosemide 40mg 1 amp diberikan untuk meningkatkan diuresis dengan

13
tujuan untuk mengurangi risiko neurotoksis (Baxter, 2010). Protokol kemoterapi

pada kasus ini terlampir (Lampiran 2).

Hal lain yang perlu dilakukan Apoteker di unit Onkologi yaitu

menyiapkan obat kemoterapi, yaitu dengan menghitung berapa banyak vial

regimen yang dibutuhkan dan kemudian melakukan peracikan. Dalam hal ini,

peracikan obat kemoterapi di RSUDZA dilakukan oleh Tenaga Teknis

Kefarmasian. Penyiapan obat dilakukan dengan menyesuaikan sediaan yang

tersedia di RSUDZA dengan tujuan untuk menghindari pemborosan dan

penghematan Rumah Sakit.

Tahap ketiga yaitu menyampaikan KIE (Komunikasi, Informasi dan

Edukasi), yang dilakukan oleh apoteker. Dalam hal ini apoteker akan

menyampaikan potensi efek samping yang akan terjadi setelah proses kemoterapi,

agar pasien dapat langsung menanggulangi dengan tujuan meminimalisir efek

tersebut. Efek samping kemoterapi yang tidak diinginkan merupakan bagian

penting dari pengobatan dan perawatan pendukung pada penyakit kanker. Pada

kasus ini pasien mengalami efek samping berupa mual-muntah, namun hal ini

terjadi setelah selesai perawatan kemoterapi dan segera diatasi dengan obat

antimual. Pasien juga telah mengalami kerontokan rambut, yang mana disarankan

menggunakan shampoo yang lembut, apabila merasakan nyeri dan rasa terbakar

pada area penyuntikan dapat diredakan dengan mengompreskan air dingin.

14
BAB V

KESIMPULAN

1. Peran Apoteker dalam penanganan obat Kanker yaitu verifikasi resep,

peracikan obat dan menyampaikan KIE.

2. Pada rumah sakit ini, peracikan dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian.

3. Regimen yang digunakan yaitu regimen CHOP (Doxorubicin, Vincristine,

Cyclophosphamide, Prednison).

4. Dosis regimen yang digunakan pada kemoterapi sesuai berdasarkan dosis

yang terdapat pada literatur.

5. Efek samping yang dirasakan pasien berupa nyeri pada area penyuntikan,

mual-muntah, dan kerontokan rambut.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ansell SM. Non-Hodgkin Lymphoma: Diagnosis and Treatment. Mayo Clinic


Proceedings. 2015
Baxter, K. 2010. Stockley’s Drug Interactions. A source book of interactions, their
mechanisms, clinical importance and management, Ninth edition. Pharmaceutical
Press. Chicago
British Columbia Cancer Agency. BC Cancer Agency Cancer Drug Manual – Vincristine.
2008.
Bruton, L., Lazo, J. S., and Parker, K. L., 2005, Goodman & Gilman’s The
Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th Edition, McGrawHill, Lange.
Cancer Care Ontario. CCO Drug Formulary – Vincristine. 2017.
Chiu BC-H, Hou N. Epidemiology and Etiology of Non-Hodgkin Lymphoma. In: Evens
AM, Blum KA, editors. Non-Hodgkin Lymphoma: Pathology, Imaging, and
Current Therapy [Internet]. Cham: Springer International Publishing; 2015 (Cancer
Treatment and Research).
http://www.bccancer.bc.ca/chemotherapy-protocols-site/Documents/Lymphoma-
Myeloma/LYCHOPR_Protocol.pdf
Martino E, Casamassima G, Castiglione S, Cellupica E, et al. Vinca alkaloids and
analogues as anti-cancer agents: Looking back, peering ahead. Biororganic and
Medicinal Chemistry Letters. 2018;28(17):2816-26.
NCCN Guidelines for Patients Diffuse Large B-Cell Lymphoma
Limfoma Non-Hodgkin https://iccc.id/limfoma-non-hodgkin
Permenkes (2016). Peraturan Menteri Kesehatan no 72 tahun 2016 tentang standar
pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Tjay, T.H & Rahardja, K., 2007, Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek
Sampingya, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.
U.S. Food and Drug Administration. Doxorubicin Hydrochloride. 2013.
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2013/050467s073lbl.pdf
World Health Organization. International Agency for Research on Cancer Monographs –
Cyclophosphamide. 2018. https://monographs.iarc.fr/wp-
content/uploads/2018/06/mono100A-9.pdf

16
Lampiran 1. Regimen CHOP

BCCA NCCN

17
Lampiran 2. Protokol Kemoterapi

18
Lampiran 3. Penyiapan Obat Kemoterapi

Penyiapan Obat Peracikan Kemoterapi

19
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

PELAYANAN FARMASI KLINIS

PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO) PADA PASIEN HEMIHIPESTESI


DEXTRA + PARESIS N VII,XII DEXTRA EC STROKE ISCEMIC
DI RUMAH SAKIT DR. ZAINOEL ABIDIN – BANDA ACEH

PERIODE 13 DESEMBER 2021 – 18 FEBRUARI 2022

DISUSUN OLEH :

DESTARI
NIM 210213018

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

MEDAN

2022
DAFTAR ISI

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii

DAFTAR TABEL ........................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR .................................................................................................. v

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1

1.2 Tujuan .................................................................................................................. 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................. 9

2.1 Definisi ................................................................................................................ 9

2.2 Etiologi ................................................................................................................ 9

2.3 Patofisiologi......................................................................................................... 9

2.4 Penatalaksanaan Terapi ....................................................................................... 9

1. Terapi Non Farmakologi .................................................................................... 9

2. Terapi Farmakologi............................................................................................ 9

BAB III KASUS STROKE ISKEMIK ...................................................................... 10

3.1 Identittas Pasien ................................................................................................. 10

3.2 Subjektif ............................................................................................................ 10

3.3 Objektif .............................................................................................................. 10

3.4 Assesment dan Plan ........................................................................................... 14

BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................................... 15

4.1 Kondisi Umum Pasien ....................................................................................... 21

4.2 Asuhan Kefarmasian ......................................................................................... 21

1. Rekonsiliasi pasien ........................................................................................ 21

2. Visite .............................................................................................................. 21

ii
3. Pemantauan Terapi Obat ................................................................................ 21

4.3 Drug Related Problem (DRP)............................................................................ 21

4.3.1 Pengkajian Tepat obat dan Tepat indikasi .............................................. 21

4.3.2 Pengkajian Tepat Dosis .......................................................................... 21

4.3.3 Pengkajian Tepat Rute ............................................................................ 21

4.3.4 Pengkajian Waspada Efek Samping ....................................................... 21

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 22

5.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 23

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 3. 1 Tanda – Tanda Vital ................................................................................... 11


Tabel 3. 2 Hasil Laboraturium .................................................................................... 12
Tabel 3. 3 Terapi Farmakologi .................................................................................... 13
Tabel 3. 4 Assesment dan Plan ................................................................................... 14

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberi rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktik Kerja Profesi

Apoteker di RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh. Shalawat beserta salam

semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, kiblat dalam

perjalanan kita sebagai generasi penerusnya hingga akhir zaman.

Praktek Kerja Profesi Apoteker ini merupakan salah satu syarat dalam

mengikuti Program Studi Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi dan Ilmu

Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia untuk memperoleh gelar

Apoteker. Terlaksananya Praktek Kerja Profesi Apoteker ini tidak terlepas

dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

Ibu Taruli Rohana Sinaga S.Kep, MKM selaku Dekan Fakultas Farmasi Ilmu

Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia, kepada Ibu Apt. Dra. Modesta

Tarigan, M.Si sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker

Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia,

kepada ibu apt. Cut Masyitah Thaib, S.Farm., M. Si sebagai pembimbing saya

yang telah mengarahkan dan membimbing dalam penyusunan laporan Praktik

Kerja Profesi Apoteker dan ibu Fitri Yani, S. Farm., Apt., M.Clin.Pharm, Ibu

Azizah Vonna, M.Pharm.Sci., Apt, Ibu Yunita Suffiana, M.Sc., Apt. Ibu Rita

Novika, S.Farm., Apt. Ibu Ika Fitri Ramadhana, S.Farm., Apt, selaku

pembimbing di RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh. kepada Ibu selaku

Pembimbing yang telah berkenan memberikan arahan, bimbingan dan berbagi

v
pengalamannya kepada penulis selama melaksanakan Praktik Kerja Profesi

Apoteker hingga selesainya penulisan laporan ini.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak dan Ibu Staf

Pengajar Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan Ilmu

Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia yang telah memberikan

bimbingan dan pengetahuan kepada penulis, seluruh karyawan di RSUD

Zainoel Abidin Banda Aceh atas kerja sama dan bantuan yang telah diberikan

selama penulis melaksanakan Praktik Kerja Profesi Apoteker ini.

Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dan tak

terhingga kepada kedua orang tua saya, suami, anak – anak serta keluarga

besar saya atas doa, kasih sayang, nasihat dukungan baik moril maupun

materil, dan teman-teman yang telah mendukung dalam doa. Tak lupa juga

kepada teman-teman satu tim dalam melaksanakan praktik kerja profesi yang

telah bekerja sama dengan baik selama masa praktik kerja profesi di RSUD

Zainoel Abidin Banda Aceh.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan.

Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua

pihak demi kesempurnaan laporan ini.

Banda Aceh, Januari 2022

Penulis,

Destari, S.Farm

NIM 210213018

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi standar pengelolaan

sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta pelayanan

farmasi klinik. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

habis pakai meliputi pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan,

penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian dan

administrasi. Sementara pelayanan farmasi klinik meliputi pengkajian dan

pelayanan resep penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat,

Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, visite, Pemantauan Terapi Obat

(PTO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO), Evaluasi Penggunaan Obat

(EPO), dispensing sediaan steril, dan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah

(PKOD) (Menkes RI, 2016).

Salah satu pelayanan kefarmasian adalah Pemantauan terapi obat (PTO), yaitu

proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif

dan rasional bagi pasien. Kegiatan tersebut mencakup pengkajian pilihan obat,

dosis, cara pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki

(ROTD), dan rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Pemantauan terapi

obat harus dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada

periode tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui.

Pasien yang mendapatkan terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah

terkait obat. Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respons pasien

yang sangat individual meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal

1
tersebut menyebabkan perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesi untuk

mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendak

(Depkes RI,2009).

Dalam pelaksaan PTO Apoteker dapat berkontribusi dalam perawatan pasien

dengan mengoptimalkan penggunaan obat dan meminimalisasi efek obat yang

tidak diharapkan dengan cara mengidentifikasi Drug Related Problems (DRPs)

atau masalah terkait obat, dan memberikan solusi melalui pelayanan farmasi

klinik (Kusharwanti, dkk., 2014).

Pada kesempatan ini akan dibahas tentang Pemantauan Terapi Obat pada

pasien Stroke atau disebut juga cerebrovascular accident adalah suatu kondisi

menurunnya aliran darah ke sistem saraf pusat (SSP) khususnya otak yang

disebabkan oleh iskemia atau perdarahan. Stroke menjadi gangguan yang

seringkali menghasilkan sequel serologis maupun medical yang berdampak

implikasi jangka panjang terhadap kualitas hidup, morbiditas, mortalitas. Hingga

saaat ini stroke masih menjadi penyebab kematian ketiga di Amerika dengan

stroke iskemik lebih banyak terjadi yakni berkisar 85-87 % dari kasus stroke.

(Widyati, 2016)

Pada kesempatan ini, akan dibahas pemantauan terapi obat pada penderita

stroke. Dimana Stroke itu adalah penyakit yang sangat mungkin terjadi terutama

pada penderita yang memiliki riwayat penyakit, baik itu Diabetes mellitus,

Hipertensi, Kolesterol, Jantung dan masih banyak lagi. Mengingat begitu banyak

permasalahan terapi yang muncul terkait stroke, maka diperlukan pelayanan

farmasi klinik RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada pasien dengan

diagnosa stroke.

2
1.2 Tujuan

1. Memahami peran, fungsi dan tanggung jawab Apoteker mengenai

pekerjaan kefarmasian di Rumah Sakit khususnya pada Pelayanan Farmasi

Klinis.

2. Meningkatkan interaksi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya

3. Mampu memahami dan mempraktekkan konsep Pharmaceutical Care

dalam pelayanan kepada pasien.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Ditinjau dari kejadiannya stroke dibedakan menjadi stroke akut atau stroke

kronik. Kasus akut maupun stroke kronik dapat dijumpai di rumah sakit. Apoteker

dapat berperan pada stroke akut maupun stroke kronik. Pada stroke akut farmasis

bersama anggota tim medis lain berperan dengan mengkaji pengobatan,

memberikan rekomendasi terapi, memonitor terapi obat. Sedangkan pada stroke

kronik Apoteker berperan dalam memberikan edukasi kepada pasien, memonitor

kepatuhan, pengawasan terapi obat untuk secondary prevention serta

kemungkinan interaksi obat – obat, obat penyakit. Peran dalam pemilihan obat

untuk mengatasi komplikasi, ataupun sesuai penyakit penyerta, pengawasan ESO

dan monitoring terapi menjadi sangat kritikal. (Widyati, 2016)

Dalam kasus stroke beberapa pasien mengalami Hemihipestesia yaitu

penurunan sensitivitas pada satu sisi tubuh. Seseorang dengan kondisi ini

mungkin tidak dapat merasakan sentuhan ringan di satu sisi, tetapi memiliki

fungsi normal di sisi tubuh yang lain. Dan juga mengalami kondisi Paresis yaitu

kelemahan atau kelumpuhan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu kondisi

yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu.

Kelemahan adalah hilangnya sebagian fungsi otot untuk satu atau lebih kelompok

otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas bagian yang terkena.

Saat melakukan pemeriksaan fisik pada pasien stroke akan dilakukan uji

motorik Nervus fasialis (N VII) yang merupakan saraf nomor VII yang

berpasangan kanan dan kiri. Fungsi dari nervus fasialis adalah

4
a. Motorik : inervasi dari otot ekspresi wajah, bagian posterior abdomen

digestif, otot stylohyoid, dan stapedius.

b. Sensorik: sebagian kecil area konka pada aurikula dan sensasi pengecap

pada 2/3 anterior lidah

c. Parasimpatik: beberapa kelenjar kepala dan leher yaitu submandibular,

sublingual, nasopalatine, mucus pharyngeal, dan kelenjar lakrimal.

Bebrapa factor penyebab stroke adalah diabetes. Dimana terjadinya disfungsi

endotel vaskular, peningkatan kekakuan arteri usia dini, peradangan sistemik dan

penebalan membran basal kapiler. Abnormalitas pada pengisian diastolik

ventrikel kiri awal biasanya terlihat pada diabetes tipe II. Mekanisme yang

diusulkan dari gagal jantung kongestif pada diabetes tipe II termasuk penyakit

mikrovaskuler, gangguan metabolisme, fibrosis interstisial, hipertensi dan

disfungsi otonom. Fungsi endotel vaskular sangat penting untuk menjaga

integritas struktural dan fungsional dinding pembuluh darah serta kontrol

vasomotor. Nitric oxide (NO) memediasi vasodilatasi, dan penurunan

ketersediaannya dapat menyebabkan disfungsi endotel dan memicu kaskade

aterosklerosis. Sebagai contoh, Vasodilatasi yang dimediasi NO terganggu pada

individu dengan diabetes, mungkin karena peningkatan inaktivasi NO atau

penurunan reaktivitas otot polos terhadap NO. Individu dengan diabetes tipe II

memiliki arteri yang lebih kaku dan elastisitas yang menurun dibandingkan

dengan subjek yang memiliki kadar glukosa normal. Respon inflamasi yang

meningkat sering terlihat pada individu dengan diabetes, inflamasi memainkan

peran penting dalam perkembangan plak aterosklerotik. Protein C-reaktif, sitokin

dan adiponektin adalah penanda serum utama peradangan. Protein C-reaktif dan

5
kadar plasma sitokin ini termasuk interleukin-1, interleukin-6 dan tumor necrosis

factor-α adalah prediktor independen risiko kardiovaskular. Adiponektin

tampaknya menjadi modulator metabolisme lipid dan peradangan sistemik. (Rong

chen dkk, 2016)

2.2 Etiologi

Stroke iskemik disebabkan oleh sumbatan klot yang bersumber dari thrombus

(stroke thrombotik) dan emboli (stroke embolik) pada arteri serebral. Pada stroke

thrombotik klot terbentuk dari fibrin, plak di dalam pembuluh darah pada area

yang terkena stroke. Sedangkan pada stroke embolik, klot terbentuk tidak di

lokasi stroke tetapi jauh (biasanya akibat atrial fibrilasi jantung), kemudian

terbawa aliran fibrilasi jantung), kemudian terbawa aliran darah dan menyumbat

arteri yang menyempit karena atherosclerosis. Klot baik emboli maupun thrombus

biasanya berasal dari pembuluh arteri yang dibnetuk dari fibrin. Setelah melalui

berbagai mekanisme di mana salah satunya melalui mekanisme inflamasi

sehingga akhirnya terbentuk dari lesi thrombotik. (Widyati, 2016)

2.3 Patofisiologi

Infark serebri diawali dengan terjadinya penurunan Cerebral Blood Flow

(CBF) yang menyebabkan suplai oksigen ke otak akan berkurang. Nilai kritis

CBF adalah 23 ml/100 gram per menit, dengan nilai normal 50 ml/100 gram per

menit. Penurunan CBF di bawah nilai normal dapat menyebabkan infark. Suatu

penelitian menyebutkan bahwa nilai CBF pada pasien dengan infark adalah 4,8-

8,4ml/100 gram per menit. (Mj Cipolla, 2019)

Patofisiologi stroke iskemik dibagi menjadi dua bagian: vaskular dan

metabolisme. Iskemia terjadi disebabkan oleh oklusi vaskular. Oklusi vaskular

6
yang menyebabkan iskemia ini dapat disebabkan oleh emboli, thrombus, plak, dan

penyebab lainnya. Iskemia menyebabkan hipoksia dan akhirnya kematian jaringan

otak. Oklusi vaskular yang terjadi menyebabkan terjadinya tanda dan gejala pada

stroke iskemik yang muncul berdasarkan lokasi terjadinya iskemia. Sel-sel pada

pada otak akan mati dalam hitungan menit dari awal terjadinya oklusi. Hal ini

berujung pada onset stroke yang tiba-tiba.

Gangguan metabolisme terjadi pada tingkat selular, berupa kerusakan pompa

natrium-kalium yang meningkatkan kadar natrium dalam sel. Hal ini

menyebabkan air tertarik masuk ke dalam sel dan berujung pada kematian sel

akibat edema sitotoksik. Selain pompa natrium-kalium, pertukaran natrium dan

kalsium juga terganggu. Gangguan ini menyebabkan influks kalsium yang

melepaskan berbagai neurotransmiter dan pelepasan glutamat yang memperparah

iskemia serta mengaktivasi enzim degradatif. Kerusakan sawar darah otak juga

terjadi, disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah oleh proses di atas, yang

menyebabkan masuknya air ke dalam rongga ekstraselular yang berujung pada

edema. Hal ini terus berlanjut hingga tiga sampai 5 hari dan sembuh beberapa

minggu kemudian. Setelah beberapa jam, sitokin terbentuk dan terjadi inflamasi.

(Ropper A.H, dkk, 2014)

Akumulasi asam laktat pada jaringan otak bersifat neurotoksik dan berperan

dalam perluasan kerusakan sel. Hal ini terjadi apabila kadar glukosa darah otak

tinggi sehingga terjadi peningkatan glikolisis dalam keadaan iskemia.

Stroke iskemik dapat berubah menjadi stroke hemorrhagik. Perdarahan yang

terjadi tidak selalu menyebabkan defisit neurologis. Defisit neurologis terjadi

apabila perdarahan yang terjadi luas. Hal ini dapat disebabkan oleh rusaknya

7
sawar darah otak, sehingga sel darah merah terekstravasasi dari dinding kapiler

yang lemah. ( W Philadelphia, 2010)

2.4 Penatalaksanaan Terapi

1. Terapi Non Farmakologi

Terapi Non farmakologi untuk menghindari terjadinya stroke adalah

dengan modifikasi gaya hidup, termasuk penurunan berat badan, melakukan

diet makanan, mengurangi asupan natrium atau garam, melakukan aktifitas

fisik seperti aerobic, mengurangi konsumsi alkohol dan menghentikan

kebiasaan merokok. (Theresia Eriyani, 2019)

2. Terapi Farmakologi

Terapi stroke iskemik bertujuan untuk mempertahankan jaringan

pada ischemic penumbra. Terapi yang dapat diberikan mencakup

pemberian recombinant tissue-type plasminogen activator (rtPA), aspirin,

antikoagulan, dan terapi suportif.

Pemberian rtPA (recombinant tissue-type plasminogen activator)

merupakan pilihan yang biasa dilakukan sebagai upaya revaskularisasi

sebagai agen trombolisis. Pemberian trombolisis harus dipertimbangkan pada

stroke iskemik. Pemberian recombinant tissue-type plasminogen

activator harus segera dilakukan dalam 3 jam sejak onset terjadinya stroke

dan kemungkinan stroke hemoragik telah disingkirkan. (Kevin N. Sheit, dkk

2015)

Penggunaan antiplatelet juga direkomendasikan oleh The American

Heart Association/American Stroke Association tahun 2018.

Pemberian aspirin diberikan 24-48 jam setelah onset. Pada pasien yang

8
mendapat r-tPA, pemberian aspirin dilakukan setelah 24 jam. European

Stroke Organization juga melaporkan bahwa pemberian aspirin pada stroke

akut (<48 jam) mengurangi angka kematian dan kejadian stroke. Dosis yang

dapat diberikan adalah 150-325mg. (Europian stroke Association, 2008)

Prevensi sekunder dengan memberikan antiplatelet seperti aspirin,

klopidogrel, kombinasi aspirin-diprydamol serta mengontrol factor resiko

metabolic yang meliputi tekanan darah, kdar lemak, kadar gula. Panduan dari

AHA/ASA merekomendasikan bahwa rejimen antihipertensi yang dipilih

sesuai karakteristik pasien, sifat farmakologi dan mekanisme kerja.

Peningkatan LDL dan total kolesterol dapat diterapi dengan statin, niacin

ataupun derivate fibrate untuk mencapai target LDL. (Widyati, 2016)

9
BAB III

KASUS STROKE ISKEMIK

3.1 Identittas Pasien

Nama : Tn. SYZ

No CM : 127***

Jenis kelamin : Laki – Laki

Tanggal lahir : 44 (8 Februari 1977)

Pekerjaan : Swasta

Ruang : Mina 1

Tanggal MRS : 18 Januari 2022

Tanggal MRR : 18 Januari 2022

Tanggal KRS : 24 Januari 2022

BB/TB : 60 kg/150 cm

• Riwayat penggunaan obat

- Lantus 0-0-0-10 IU

• Riwayat penyakit keluarga

- Diabetes Melitus

3.2 Subjektif

Pasien dengan keluhan kebas – kebas anggota gerak kanan sejak satu

minggu

3.3 Objektif

a. Diagnosa awal

Hemihipestasi dextra + Paresis N VII, XII dextra centra ec stroke iskemik.

10
b. Diagnosa akhir

Hemihipestasi dextra + Paresis N VII, XII dextra centra ec stroke iskemik traumatik

c. Tanda – tanda vital

Tabel 3. 1 Tanda – Tanda Vital

No Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


18/1 19/1 20/1 21/1 22/1 23/1 24/1
1 Tekanan 153/92 141/76 134/70 131/80 136/80 131/70 134/80 120/80 mmHg
Darah (TD)
2 Nadi 89 80 80 80 70 70 70 70-90 kali/menit
3 Pernafasan 18 20 20 20 20 20 20 10-20 kali/menit
(RR)
4 Temperatur 36,6 36,5 36,4 36,2 36,5 36,6 36,0 36,5-37,5 °c
6 GCS 15 15 15 15 15 15 15 E=4 V=5 M=6

Dari hasil pemeriksaan awal menunjukkan pasien memiliki tekanan darah di atas batas normal, nilai pernafasan, nadi dan

temperatur terlihat normal, juga tingkat kesadaran terlihat normal.

11
Berdasarkan keluhan dan pemeriksaan fisik tersebut, dilakukan pengobatan

terhadap pasien selama berada di IGD pemberian terapi adalah sebagai berikut :

IVFD RL 500 mg / 8 jam

Citicolin 1000 mg / 12 jam

Mecobalamin 500 mg / 12 jam

Xarelto 10mg / 24 jam

Lantus 10 IU / 24 jam

d. Hasil Laboraturium

Tabel 3. 2 Hasil Laboraturium

Pemeriksaan Nilai Hasil Pemeriksaan Satuan


Hematologi Normal 18/1 20/1 21/1 22/1 23/1 24/1 Unit
14,0-
Hemoglobin 14,1 13,5 g/dL
17,0
Hematocrit 45-55 39 37 %
Eritrosit 4,7-6,1 4,7 4,4 106/mm3
Trombosit 150-450 258 225 103/mm3
Leukosit 4,5-10,5 12,7 11,5 103/mm3
MCHC 32-36 37 36 %
MPV 7,2-11,1 10,9 12 fL
LED <15 55 mm/jam
Hb-A1c <6,5 8,50 %
Kolesterol total <200 285 mg/dL
Kolesterol HDL >55 29 mg/dL
Kolesterol LDL <100 199 mg/dL
Trigliserida <200 248 mg/dL
Glukosa darah
60-110 272 257 258 247 252 mg/dL
puasa
Berdasarkan hasil pemeriksaan pasien mengalami hyperglikemi, hal ini dapat

di tandai dengan kadar glukosa darah puasa.

e. Hasil CT Scan

Infark di capule interna crus posterior kiri hingga corona radiate kiri

f. Terapi Farmakologi

12
Tabel 3. 3 Terapi Farmakologi

Nama Tanggal
Dosis Frekuensi Rute
Obat 19/1 20/1 21/1 22/1 23/1 24/1
500
Ringer Laktat /8 jam IV √ √ √ - -
mg
500
Mecobalamin /12 jam PO √ √ √ √ √ √
mg
Lantus 10 IU /24 jam SC √ √ √ √ √ √
Piracetam 3 gr /8 jam IV √ √ √ - - -
Xarelto 10 mg /24 jam PO √ - - - - -
Lovenox 0,6 cc /12 jam SC √ - - - -
500
Citicolin /12 jam IV √ - - - - -
mg
Atorvastatin 20 mg /24 jam PO √ √ √ √

g. Terapi non farmakologi

Ubah pola hidup seperti hidup sehat, hindari makanan yang tinggi gula dan

tinggi lemak.

13
3.4 Assesment dan Plan

Tabel 3. 4 Assesment dan Plan

Plan (P)
Tanggal Subjektif (S) Objektif (O) Assesment (A)
Rencana Tindak
Hari Ke Keadaan Pasien Data Masalah terkait Obat
Lanjut
20/1/2022 Lemas dan kebas pada Glukosa darah puasa Hiperglikemi belum Monitoring kadar GDP
Hari ke 2 kaki dan tangan kanan 257 mg/dL teratasi
Lantus 0-0-0-10 IU

21/1/2022 Lemas dan kebas - Glukosa darah puasa Hiperglikemi belum - Disarankan
Hari ke 3 kebas 272 mg/dL teeratasi menambah dosis
Lantus 0-0-0-10 IU lantus 4 IU
(Perkeni,2019)
22/1/2022 Lemas pada kaki Glukosa darah puasa Hiperglikemi belum - Konfirmasi pada
Hari ke 4 kanan dan kebas kebas 258 mg/dL diterapi tadi malam petugas
sudah berkurang Lantus 0-0-0-10 IU - Edukasi pasien
terkait kepatuhan

14
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum Pasien

Pasien SFZ masuk ke RSUD dr. Zainoel Abidin pada tanggal 18 Januari 2022

melalui IGD (Instalasi Gawat Darurat) pukul 18.50. Pasien datang dengan keluhan

kebas – kebas pada anggota gerak kanan kurang lebih satu minggu sebelum

masuk rumah sakit. Pasien juga mengalami mulut merot dan bicara pelo. Saat

ditanyakan riwayat penyakit, ternyata pasien juga memiliki riwayat DM ± 5 tahun.

Dokter melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kondisi pasien dengan

melalakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, seperti patologi klinik,

foto thorax, CT Scan dan EKG. Hasil pemeriksaan ini sangat penting untuk

menegakkan diagnosis pasien sehingga ketepatan pasien sebagai salah satu factor

dalam penilaian rasionalitas penggunaan obat terpenuhi. Pasien di diagnosis

menderita Hemihipestesi Dextra + Paresis N Vii,Xii Dextra Centra ec Stroke

Iskemik.

4.2 Asuhan Kefarmasian

1. Rekonsiliasi pasien

Apoteker mengumpulkan data terkait obat yg digunakan dan yang akan

digunakan pasien, riwayat alergi. Riwayat obat di dapatkan dari pasien atau

keluarga pasien, rekam medik dan obat yang ada pada pasien. Kemudian

membandingkan obat yang akan digunakan dan yang sedang digunakan.

Selanjutnya memberi tahu dokter jika ditemukan ketidaksesuaian. Dalam hal

ini riwayat peggunaan obat pasien SFZ adalah insulin basal.

15
2. Visite

Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan

Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati

kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat,

memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan

terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter,

pasien serta profesional kesehatan lainnya. Kegiatan visite dilakukan setiap

hari ke ruang rawat inap. Hal yang perlu diperhatikan selama visite adalah

assessment kondisi pasien,hal terkait obat, rekonsiliasi obat, monitoring

terapi, serta melakukan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi).

3. Pemantauan Terapi Obat

Pemantauan terapi obat dilakukan setiap hari untuk melihat rasionalitas

penggunaan obat yang diberikan pada pasien yang meliputi Tepat Pasien,

Tepat indikasi, Tepat Obat, Tepat Rute, Tepat Frekuensi, Tepat Dosis,

Interaksi Obat dan waspada efek samping. Kesesuaian instruksi dengan

ketersediaan obat sangat penting terhadap kesembuhan pasien, sebagai

apoteker kita harus mengecek setiap locker guna melihat kesesuaian instruksi

dan ketersediaan obat yang ada, serta dapat mengetahui pasien sudah

menerima obat atau belum.

4.3 Drug Related Problem (DRP)

4.3.1 Pengkajian Tepat obat dan Tepat indikasi

Pasien mendapatkan terapi obat-obatan di rumah sakit mulai tanggal 18

Januari 2022 (Dirawat di ruang Mina 1). Obat yang digunakan pasien adalah

16
Ringer Laktat 500ml, Mecobalamin 50mg, Lantus 10 IU, Piracetam 3gr,

Xarelto 10mg, Lovenox 0,6cc, Citicolin 500mg, Atorvastatin 20mg.

Pasien diberikan terapi Mecobalamin tablet sebagai pengobatan neuropati

perifer. Dimana Methylcobalamin (atau mecobalamin) adalah bentuk vitamin

B12 yang aktif secara biologis bertindak sebagai koenzim dalam sintesis

metionin dari homosistein. Efek lain mempromosi asam nukleat dan sintesis

protein dalam sel saraf, promosi transportasi aksonal dan regenerasi aksonal

melalui efek pada transportasi protein rangka. Peningkatan mielinisasi

melalui promosi sintesis lesitin, peningkatan rangsangan serat saraf, promosi

pematangan dan pembagian eritroblas. Pemberian mecobalamin sudah tepat

indikasi. (Yi-Fei Zhang 2008).

Pasien diberikan terapi Lantus sebagai pengobatan diabetes melitus.

Pasien diberikan terapi insulin untuk mengendalikan glukosa darah. Dimana

Insulin bekerja melalui reseptor terikat membran spesifik pada jaringan target

untuk mengatur metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Organ target

untuk insulin termasuk hati, otot rangka, dan jaringan adiposa.

Di dalam hati, insulin merangsang sintesis glikogen hati. Insulin

meningkatkan sintesis asam lemak di hati, yang dilepaskan ke dalam sirkulasi

sebagai lipoprotein. Efek otot rangka insulin termasuk peningkatan sintesis

protein dan peningkatan sintesis glikogen. Di dalam jaringan adiposa, insulin

merangsang pemrosesan lipoprotein yang bersirkulasi untuk menyediakan

asam lemak bebas, memfasilitasi sintesis dan penyimpanan trigliserida oleh

adiposit; juga secara langsung menghambat hidrolisis trigliserida. Selain itu,

insulin merangsang pengambilan asam amino seluler dan meningkatkan

17
permeabilitas seluler terhadap beberapa ion, termasuk kalium, magnesium,

dan fosfat. Dengan mengaktifkan natrium-kalium ATPase, insulin

meningkatkan pergerakan kalium intraseluler.

Biasanya disekresikan oleh pankreas, produk insulin diproduksi untuk

penggunaan farmakologis melalui teknologi DNA rekombinan baik

menggunakan E. coli atau Saccharomyces cerevisiae. Insulin glargine

berbeda dari insulin manusia dengan menambahkan dua arginin ke C-

terminus dari rantai B selain mengandung glisin pada posisi A21

dibandingkan dengan asparagin yang ditemukan dalam insulin manusia.

Insulin dikategorikan berdasarkan onset, puncak, dan durasi efek (misalnya,

insulin kerja cepat, pendek, menengah, dan kerja panjang). Insulin glargine

(lantus) adalah analog insulin kerja panjang. Pemberian lantus untuk

mengendalikan glukosa darah puasa sudah tepat indikasi. (Lexicomp).

Pasien diberikan terapi piracetam untuk meningkatkan aliran darah di otak

pada pasien stroke akut. Pemberian piracetam sudah tepat (kataryzna, dkk,

2005) Dimana Mekanisme aktivitas dalam mengurangi gejala mioklonus

kortikal tidak diketahui, meskipun efek mimetik GABA telah disarankan.

Modulasi reseptor glutamat tipe AMPA yang mengarah pada peningkatan

kepadatan situs pengikatan AMPA ditunjukkan dalam kultur. Spektrum

aktivitas keseluruhan juga mencakup efek pada sel darah merah (peningkatan

deformabilitas membran, penurunan viskositas), trombosit (penurunan

agregasi), faktor koagulasi (penurunan faktor fibrinogen/von Willebrand), dan

stimulasi langsung sintesis prostasiklin dalam endotelium yang sehat.

(Lexicomp)

18
Pasien diberikan xarelto atau lovenox sebagai pencegah pembekuan darah,

untuk mencegah dan meluasnya pembekuan darah pasca stroke. Pemberian

xarelto atau lovenox sudah tepat indikasi (DIH,2017) mekanisme kerja dari

xarelto adalah menghambat aktivasi trombosit dan pembentukan bekuan

fibrin melalui penghambatan langsung, selektif dan reversibel faktor Xa

(FXa) di jalur koagulasi intrinsik dan ekstrinsik. FXa, sebagai bagian dari

kompleks protrombinase yang juga terdiri dari faktor Va, ion kalsium, faktor

II dan fosfolipid, mengkatalisis konversi protrombin menjadi trombin.

Trombin mengaktifkan trombosit dan mengkatalisis konversi fibrinogen

menjadi fibrin. Sedangkan lovenox bertindak sebagai antikoagulan dengan

meningkatkan laju penghambatan protease pembekuan oleh antitrombin III

mengganggu hemostasis normal dan penghambatan faktor Xa.

Pasien diberikan Citicoline untuk memperbaiki sirkulasi darah otak

termasuk stroke iskemik. Pemberian citicoline sudah tepat indikasi.

(DIH,2017). Pasien diberikan terapi Atorvastatin sebagai pengobatan

hiperlipidemia, dimana atorvastatin menurunkan kolesterol LDL,

meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan trigliserida. Pemberian

atorvastatin sudah tepat indikasi. (AHA/ASA Guidline, 2014). Dan menurut

cholesterol clinical practice guidline untuk pasien diabetes dengan LDL >70

mg/dL disarankan penggunaan atorvastatin.

4.3.2 Pengkajian Tepat Dosis

Tepat dosis sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis

yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang

sempit akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang

19
terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan

(Kemenkes RI,2011)

Mecobalamin yang diberikan sudah tepat untuk mengatasi neuropatik perifer.

Dosis lazim 500mg sampai 3 kali sehari. (Lexicomp)

Lantus yang diberikan masih kurang untuk mengendalikan Glukosa Darah

Puasa, sehingga menurut guidline AACE/ACE pada pasien dengan HbA1c

>8%, glukosa puasa >250 mg/dL direkomendasikan 0,2 hingga 0,3

unit/kgBB/hari untuk mencapai target kadar glukosa. Optimasi dosis 0,5

unit/kgBB/hari.

Piracetam yang diberikan sudah tepat, karena menurut Lexicomp untuk

pengobatan infark cerebral dosis yang digunakan 7,2 gram/hari dapat

dinaikkan 4,8 gram tiap 3-4 hari sampai dosis maksimal 24 gram.

Xarelto yang diberikan masih kurang tepat, karena menurut Guidline

AHA/ASA untuk pengobatan thrombosis pada stroke adalah 15mg/ hari.

Kemudian menurut Lexicomp untuk transisi dari Xarelto ke Lovenox dapat

diberikan ketika jadwal pemakaian Xarelto berikutnya.

Lovenox yang diberikan sudah tepat, karena menurut Lexicomp untuk

pengobatan thrombosis melalui subkutan, 1mg/kgBB tiap 12 jam. Namun

menurut guidline FDA pemakaian lovenox untuk kasus selama 5 hari.

Citicolin yang diberikan sudah tepat, karena menurut basic pharmacology and

drug notes untuk keadaan akut dosis citicolin 250-500mg, 1-2 kali sehari

secara drip iv atau bolus iv.

20
Atorvastatin yang diberikan sudah tepat, karena menurut guidline AHA dan

ASA untuk pengobatan hiperkolesterolemia dan dyslipidemia dosis yang

dapat digunakan adalah 10-20 mg/hari

4.3.3 Pengkajian Tepat Rute

Berdasarkan pemantauan terhadap pasien, diketahui pemberian obat sudah

tepat rute. Pemberian melalui oral seperti Mecobalamin dan atorvastatin,

lantus dan lovenox melalui sc, serta piracetam dan citicolin melalui iv.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari data rekam medic dan catatan

pemberian obat oleh perawat diketahui pemberian obat sudah tepat cara

pemberian.

4.3.4 Pengkajian Waspada Efek Samping

Efek samping obat adalah semua efek yang tidak dikehendaki yang

membahayakan atau merugikan pasien akibat penggunaan obat. Setiap obat

memiliki efek samping yang tidak diinginkan dalam terapi sehingga

pengkajian terhadap efek samping obat oleh apoteker menjadi sangat penting

untuk membantu dalam mengoptimalkan terapi obat pasien. Dalam kasus ini

waspada efek samping terhadap pemakaian insulin adalah hipoglikemi dan

pemakaian antikoagulan adalah pendarahan. Namun selama masa perawatan

di rumah sakit, pasien tidak mengeluhkan efek samping terhadap penggunaan

obat yang diberikan dan tidak ada gejala yang sangat mengganggu pasien.

21
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh terhadap studi kasus yang dilakukan di RSUD dr.

Zainoel Abidin Banda Aceh adalah sebagai berikut:

a. Mahasiswa calon Apoteker memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan

tentang terapi dan penatalaksanaan penyakit stroke.

b. Telah dilakukan pemantauan terapi obat pada pasien yaitu terdapat perbaikan

kondisi pasien selama mendapatkan terapi pengobatan, seperti stroke dalam

perbaikan.

c. Ditemukan Drug Related Problems (DRPs) terkait penggunaan obat, yaitu

kurangnya dosis insulin sehingga kadar gula belum stabil, serta Hiperglikemi

pasien tidak tertangani pada malam 22/1/2022

5.2 Saran

a. Berdasarkan pembahasan dan kesimpulam pada kasus ini, maka disarankan

calon apoteker selanjutnya lebih aktif berkomunikasi dengan dokter, perawat

dan keluarga pasien untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas.

b. Disarankan agar calon apoteker selalu mengikuti perkembangan pasien dan

ikut serta visite dengan dokter.

22
DAFTAR PUSTAKA

Bandera E, Botteri M, Minelli C, Sutton A, Abrams KR, Latronico N. Cerebral


blood flow threshold of ischemic penumbra and infarct core in acute ischemic
stroke: a systematic review. Stroke. 2006 May 1;37(5):1334-9.

Basel. S. Karger. Guidelines for Management of ischeamic stroke and TIA, ESO :
2008

Cipolla MJ. The cerebral circulation. Integrated systems physiology: From


molecule to function. 2009 Jan 1;1(1):1-59.

Eriyani, Theresia. Pengetahuan Pasien Tentang Upaya Pencegahan Stroke dengan


Terapi Non-Farmakologi, Garut : 2019

FDA. Enoxaparin. 2017.


https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2017/020164s110lbl.pd
f

Inzucchi, Silvio, E, dkk. 2015 Management of Hyperglicemia in type 2 Diabetes,


2015. USA : diabetes journal

Lexicomp’s Drug Reference Handbooks. . Drug Information Handbook.


Lexicomp: Amerika

Menkes RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia

Menteri kesehetan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik


Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Philadelphia W. Merritt’s Neurology. Neurology Asia. 2010;15(1):101.

Ropper A, Samuels M, Klein J. Adams and Victor's Principles of Neurology 10th.


2014

Sheit, N, Kevin, dkk. Drip and ship trombolytic therapy for acute Ischemic Stroke
America Heart association : 2015

Tim Medical Mini Notes. 2019. Basic Pharmacology & Drug Notes Edisi 2019.
Makassar: MMN Publishing.

Widyati, Praktik Farmasi klinik, Surabaya : 2016

Winnicka, katarzyna. 2005. Piracetam-an old drug with novel properties? Poland :
2005

23
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

PELAYANAN FARMASI KLINIS


PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO) KONSTIPASI +
FECALOMA+ANEMIA + ILEUS PARALITIK
DI RUMAH SAKIT DR. ZAINOEL ABIDIN – BANDA ACEH

PERIODE 13 DESEMBER 2021 – 18 FEBRUARI 2022

Disusun Oleh :

Putri Wahyuningsih, S.Farm

Nim : 210213036

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

MEDAN

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan

rahmat Nya dapat menyelesaikan Praktik Kerja Profesi Apoteker di RSUD Zainoel

Abidin Banda Aceh. Laporan ini ditulis berdasarkan teori dan hasil pengamatan

selama melakukan Praktik Kerja Profesi Apoteker di RSUD Zainoel Abidin Banda

Aceh. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Taruli Rohana

Sinaga S.Kep, MKM selaku Dekan Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan

Universitas Sari Mutiara Indonesia dan Ibu Apt. Dra. Modesta Tarigan, M.Si selaku

Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan Ilmu

Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu apt. Syarifah Maraiyuna,

S.Si., selaku kepala instalasi, Ibu apt. Ika Fitri Ramadhana, S.Farm, Ibu apt. Fitri

yani, S.Farm., M.Clin Pharm, Ibu apt. Azizah Vonna, M. Pharm, Sci., Ibu apt.

Yunita Suffiana, M.Sc., Ibu apt. Rita Novika. S.Farm, Ibu apt. zahraturriaz, S.Farm

dan Ibu apt. Yossy Cinthya Eriwati Silalahi, S.Farm, M.Si selaku Pembimbing

Praktik Kerja Profesi Apoteker yang telah membimbing penulis dengan penuh

kesabaran dan tanggung jawab hingga selesainya penulisan laporan ini.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak

dr Isra Firmansyah, Sp. A (K), Ph. D sebagai Direktur RSUD dr. Zainoel Abidin

Banda Aceh yang telah memberikan fasilitas untuk melaksanakan PKPA, dan juga

seluruh Apoteker, Asisten Apoteker, Staf Instalasi Farmasi, Dokter serta Perawat

yang telah banyak membantu penulis selama melakukan Praktik Kerja Profesi di

ii
RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh. Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima

kasih kepada orang tua yang selalu memberikan dukungan moril maupun materil

serta selalu mendoakan yang terbaik selama melaksanakan praktik kerja profesi

yang di RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh. Penulis berharap semoga laporan

Praktik Kerja Profesi ini dapat menambah ilmu pengetahuan di bidang farmasi,

khususnya farmasi rumah sakit dan dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Banda Aceh, Januari 2022

Penulis

Putri Wahyuningsih

210312036

iii
DAFTAR ISI

JUDUL ........................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 5
2.1 Definisi ................................................................................................................ 5
2.2 Etiologi ................................................................................................................ 6
2.3 Patofisiologi......................................................................................................... 6
2.4 Penatalaksanaan Terapi ....................................................................................... 7
1. Terapi Non Farmakologi.................................................................................... 7
2. Terapi Farmakologi............................................................................................ 8
BAB III KASUS KONSTIPASI + FECALOMA + ANEMIA+
ILEUS PARALITIK ...................................................................................... 10
3.1 Identitas Pasien .................................................................................................. 10
3.2 SubjeKtif............................................................................................................ 11
3.3 ObjeKtif ............................................................................................................. 11
3.4 Asessment dan Plan ........................................................................................... 13
BAB IV PEMBAHASAN ........................................................................................... 15
4.1 Kondisi Umum Pasien ....................................................................................... 15
4.2 Asuhan Kefarmasian ......................................................................................... 15
BAB V KESIMPULAN .............................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 24

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tanda-Tanda Vital Pasien .....................................................................11

Tabel 3.2 Hasil Laboratorium ...............................................................................12

Tabel 3.3 Terapi Farmakologi Pasien....................................................................12

Tabel 3.4 Assesment dan plan .............................................................................. 13

Tabel 4.1 Pemantauan terapi obat terkait tepat pasien, tepat indikasi, tepat obat,
tepat dosis, tepat rute pemberian dan tepat frekuensi ........................... 17

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut undang-undang Republik Indonesia No. 72 tahun 2016 tentang

Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Rumah Sakit merupakan institusi

pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan

secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat

darurat. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung

jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan mencapai hasil

yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Bagian yang melaksanakan

pelayanan farmasi rumah sakit adalah Instalasi Farmasi,Rumah Sakit. Instalasi

Farmasi Rumah sakit (IFRS) adalah unit pelaksana fungsional yang

menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.

Instalasi Farmasi yang dimaksud dipimpin oleh seorang Apoteker sebagai

penanggung jawab. Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak ukur yang

dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan

pelayanan kefarmasian. Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi

standar pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis

Pakai serta Pelayanan Farmasi Klinik. (Permenkes RI No. 72, 2016)

Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan

Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan

meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan

1
keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life)

terjamin (Permenkes, 2016).

Salah satu Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit yaitu Pemantauan

Terapi Obat (PTO). Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang

mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional

bagi pasien. Kegiatan tersebut mencakup: pengkajian pilihan obat, dosis, cara

pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) dan

rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Pemantauan terapi obat harus

dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada periode

tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui (Depkes, 2009).

Penyakit saluran cerna, ileus merupakan akibat dari penghambatan motilitas

usus yang disebabkan oleh obstruksi lumen usus atau gangguan peristaltik dinding

usus, luar usus yang menekan, kelainan vaskularisasi pada suatu segmen usus yang

menyebabkan nekrosis pada lumen tersebut (Sjamsuhidajat, 2014). Obstruksi usus

halus menempati sekitar 20% dari seluruh pembedahan darurat, apabila tidak

ditangani maka tingkat kematian mendekati 100%. Bila operasi dilakukan dalam

24-48 jam dapat menurunkan angka kematian hingga kurang dari 10%. Faktor-

faktor yang menentukan morbiditas meliputi usia pasien, komorbiditas, dan

keterlambatan dalam perawatan. Data yang diperoleh, mortalitas obstruksi usus

secara keseluruhan masih sekitar 5-8% (Behman R, 2018).

2
Retensi tinja dan flatus merupakan manifestasi klasik dari ileus, mungkin

tidak muncul sampai beberapa hari kemudian, ileus usus besar sering dimulai

dengan gejala ringan (kecuali volvulus dengan onset mendadak). Manifestasi

utamanya adalah kembung (80%), kram (60%), dan retensi tinja dan flatus (50%).

Penyakit yang jelas sering didahului oleh fase lama dari kebiasaan buang air besar

yang berubah dan konstipasi yang memburuk (Sjamsuhidajat R, 2014).

Anemia merupakan temuan yang umum pada pasien kanker, dengan

persentase kejadian antara 30%- 90%. Penyebab anemia pada pasien kanker antara

lain gangguan metabolik dan nutrisi, penyakit kronis, kelainan ginjal, kehilangan

darah, penurunan produksi karena penyakit sumsum tulang, penghancuran di

perifer karena kelainan autoimun, aplasia sel darah merah yang diinduksi obat, dan

anemia akibat kemoterapi (Kurtin, 2012). Agen kemoterapi menyebabkan anemia

secara langsung degan mengganggu hematopoiesis, termasuk sintesis prekursor sel

darah merah di sumsum tulang. Efek nefrotoksik dari agen sitotoksik tertentu (yang

mengandung platinum) juga dapat menimbulkan anemia dengan menurunkan

produksi eritropoietin. Regimen berbasis platinum, diketahui sebagai penyebab

anemia karena efek toksiknya pada sumsum tulang dan ginjal (Lyman G et all,

2006).

Pada kesempatan ini, akan dibahas pemantauan terapi obat pada pasien

dengan diagnose ileus paralitik dan juga anemia, pasien sudah melakukan

kemoterapi siklus 1 dengan riwayat squamos cell carcinoma ar intra oral.

Mengingat begitu banyak permasalahan terapi yang muncul terkait kemoterapi,

3
maka diperlukan pelayanan farmasi klinik RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

pada pasien dengan diagnosa konstipasi, fecaloma, ileus paralitik dan anemia

dengan Riwayat penyakit squamos cell carcinoma ar intra oral.

1.2 Tujuan

Tujuan diadakannya Praktek Kerja Profesi Apoteker di rumah sakit ini

adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui peran, fungsi, dan tanggung jawab Apoteker dalam pelayanan

kefarmasian di rumah sakit.

2. Mengetahui pelayanan farmasi klinik di rumah sakit.

3. Meningkatkan interaksi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya


4. Mampu memahami dan mempraktekkan konsep Pharmaceutical Care dalam
pelayanan kepada pasien.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Konstipasi adalah kondisi di mana feses mengeras sehingga susah

dikeluarkan melalui anus, dan menimbulkan rasa terganggu atau tidak nyaman pada

rectum (brown, 2011).

Fecaloma adalah massa feses yang mengeras yang sebagian besar terkena di

rektum dan sigmoid. Lokasi fekaloma yang paling umum adalah kolon sigmoid dan

rektum. Ada beberapa penyebab fekaloma dan telah dijelaskan terkait dengan

penyakit Hirschsprung, pasien psikiatri, penyakit Chagas, baik inflamasi maupun

neoplastik, dan pada pasien yang menderita konstipasi kronis (Musthaq, 2015).

Anemia adalah kondisi dimana jumlah sel darah merah lebih rendah dari

jumlah normal atau penyakit kurang darah yang salah satunya disebabkan oleh

kurangnya konsumsi zat besi. Anemia bisa terjadi karena sel-sel darah merah tidak

mengandung cukup hemoglobin (Nurbaya, 2019).

Ileus paralitik adalah penyakit dimana terjadi dismotilitas yang menghambat

pergerakan isi usus ke bagian distal, tanpa adanya obstruksi mekanis. Ileus paralitik

dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti ileus paralitik pasca operasi, ileus akibat

konsumsi obat, ileus metabolik, ileus vaskuler, juga pseudo obstruksi. Penyebab

yang paling sering ditemukan adalah ileus paralitik pasca operasi (Jacobs, 2015).

5
2.2 Etiologi

Penyebab sembelit dapat dibagi menjadi beberapa kategori berikut:

1. Fungsional (Non-Organik) atau Retentif: yang mencakup konstipasi karena

perilaku menahan tinja dan ketika semua penyebab organik telah

disingkirkan.

2. Penyebab anatomis termasuk stenosis atau atresia anal, anus yang bergeser

ke anterior, anus imperforata, striktur usus, striktur anal.

3. Penyebab terkait otot abnormal termasuk sindrom perut prune,

gastroschisis, sindrom down, distrofi otot.

4. Penyebab terkait kelainan saraf usus termasuk penyakit Hirschsprung,

pseudo-obstruksi, displasia saraf usus, cacat sumsum tulang belakang, tali

pusat, spina bifida

5. Obat-obatan seperti antikolinergik, narkotika, antidepresan, timbal,

keracunan vitamin D.

6. Penyebab metabolik dan endokrin seperti hipokalemia, hiperkalsemia,

hipotiroidisme, diabetes mellitus (DM).

7. Penyebab lain termasuk penyakit celiac, cystic fibrosis, alergi protein susu

sapi, penyakit radang usus, skleroderma, dan lain-lain (Sorangel Diaz et all,

2021)

2.3 Patofisiologi

Penyebab sembelit adalah multifaktorial. Masalahnya mungkin timbul di usus

besar atau rektum atau mungkin karena penyebab eksternal. Pada kebanyakan

6
orang, motilitas kolon lambat yang terjadi setelah bertahun-tahun penyalahgunaan

pencahar adalah masalahnya. Pada beberapa pasien, penyebabnya mungkin terkait

dengan obstruksi saluran keluar seperti prolaps rektum atau rektokel. Penyebab

eksternal sembelit mungkin termasuk kebiasaan diet yang buruk, kurangnya asupan

cairan, penggunaan obat-obatan tertentu secara berlebihan, masalah endokrin

seperti hipotiroidisme atau beberapa jenis masalah emosional (Sorangel Diaz et all,

2021)

Faktor-faktor yang terlibat dalam sembelit meliputi:

• diet rendah serat

• Penyalahgunaan kafein

• Terlalu sering menggunakan alcohol

• Obat-obatan

• Gangguan endokrin (hipotiroid)

• Penyakit saraf (neuropati)

• Masalah psikologis

2.4 Penatalaksanaan Terapi

1. Terapi Non Farmakologi

• Memperbanyak konsumsi serat dan buah setiap hari untuk memenuhi

kebutuhan serat harian, yaitu sekitar 25–31 gram untuk dewasa

• Minum air putih lebih sering dan menghindari konsumsi minuman

beralkohol

7
• Berolahraga rutin, untuk meningkatkan kerja otot saluran pencernaan

• Tidak menunda buang air besar

• Berusaha untuk buang air besar secara teratur dan tidak terburu-buru

• Menghentikan atau mengganti obat-obatan yang dapat menyebabkan

konstipasi, dengan terlebih dulu berkonsultasi dengan dokter (Mayo Clinic,

2021)

2. Terapi Farmakologi

• Obat pencahar osmotik

Obat ini bekerja dengan merangsang usus dan meningkatkan jumlah cairan

dalam usus sehingga feses menjadi lebih lunak dan mudah terdorong keluar.

Contoh obat ini adalah laktulosa dan magnesium hidroksida.

• Obat pelunak tinja

Obat ini berfungsi menghambat penyerapan air dan lemak dari tinja

sehingga tinja menjadi lunak dan lebih mudah dikeluarkan. Contoh obat ini

yaitu natrium dokusat.

• Obat perangsang kontraksi usus

• Obat perangsang kontraksi usus, seperti bisacodyl, berfungsi untuk

merangsang pergerakan usus sehingga feses lebih mudah dikeluarkan.

• Suplemen serat

seperti psyllium, calcium polycarbophil, dan methylcellulose fiber,

berfungsi untuk menambah massa pada tinja agar lebih lunak dan mudah

dikeluarkan.

8
• Obat pelumas

Obat ini berupa minyak khusus untuk mempermudah pengeluaran tinja dari

anus.

• Obat suppositoria

Obat ini digunakan dengan cara dimasukkan ke dalam dubur agar tinja lebih

lunak dan timbul keinginan untuk BAB. Contoh obat ini adalah gliserol

dan bisacodyl (Mayo Clinic, 2021)

9
BAB III

KASUS KONSTIPASI + FECALOMA + ANEMIA+ILEUS PARALITIK

3.1 Identitas Pasien

- Nama : A

- Jenis Kelamin : Laki-Laki

- Usia/Tanggal Lahir : 60 tahun/ 10 Agustus 1961

- Pekerjaan : Petani

- Alamat : Blang Tampu, Bener Meriah

- No CM : 12xxxxx

- Berat Badan : 45 kg

- Tinggi Badan : 155 cm

- Diagnosa : Konstipasi + Fecaloma + Anemia + Ileus

Paralitik

- Tanggal Masuk : 19 Januari 2022

- Tanggal Keluar : 24 Januari 2022

- Riwayat Penyakit pasien :

Squamos cell carcinoma ar intra oral

- Riwayat Perjalanan Penyakit Pasien Sebelum Masuk Rumah Sakit

Pasien datang dengan keluhan nyeri dirahang, pasien juga mengeluh tidak bisa

BAB sejak 14 hari yang lalu. Pasien Riwayat operasi tumor mandibula pada

bulan Desember 2021.

10
- Riwayat Penggunaan Obat

Kemoterapi siklus 1 dengan regimen 5-fluorouracil dan cisplatin.

3.2 SubjeKtif

Nyeri di rahang dan sulit BAB

3.3 ObjeKtif

3.3.1 Diagnosa Awal

Konstipasi + Fecaloma + Anemia + Ileus Paralitik

3.3.2 Diagnosa Akhir

Konstipasi + Fecaloma + Anemia + Ileus Paralitik

3.3.3 Tanda – Tanda Vital Pasien

Tabel 3.1 Tanda-tanda Vital Pasien

Range Tanggal
No Parameter
Normal 19/1/22 20/1/22 21/1/22 22/1/22 23/1/22 24/1/22
1 Tekanan Darah
120/80 116/80 110/80 120/80 120/80 110/80 110/80
(mmHg)
2 Nadi (/menit) 75-118 86 86 78 78 86 80
3 Respiratory rate
18-30 20 20 20 20 20 20
(/menit)
4 Suhu tubuh (ºC) 36,5-37,5 36,8 36,8 36,2 36,0 36,0 36,8
5 Skala Nyeri
- 2 3 3 3 3 3
(NRS)
Keterangan : NRS = Numeric Rating Scale

11
3.3.4 Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Tanggal
Parameter Nilai Normal
18/1/22 20/1/22 23/1/22
Hemoglobin 14,0-17,0 g/dL 9,0 8,5 10,6
Hematokrit 45-55 % 27 26 32
Eritrosit 4,7 – 6,1 106/mm3 3,6 3,4 4,1
Trombosit 150 – 450 103/mm3 255 192 221
Leukosit 4,5 – 10,5 103/mm3 3,8 1,6 2,6
MCV 80-100 fL 75 76 78
MCH 27-31 pg 25 25 26
Netrofil Batang 2-6 % 0 0 0
Netrofil Segmen 50-70 % 70 46 30
Albumin 3,5 – 5,2 g/dL 3,40 2,7

Keterangan :

: Nilai dibawah nilai normal

3.3.5 Terapi Farmakologi

Tabel 3.3 Terapi Farmakologi Pasien

Rute Tanggal
Nama Obat Dosis Frekuensi
pemberian 20/1 21/1 22/1 23/1 24/1
Dexketoprofen 50 mg /8 jam iv √ √
Omeprazole 40 mg /12 jam iv √ √ √ √ √
Fosen Enema 113 ml /24 jam Supp √ √ √ √ √
Leukogen 300mcg k/p iv √
Tramadol 100mg /8 jam iv √ √ √
Ondansetron 4mg /12 jam iv √ √
Dulcolax tablet 5 mg 20.00 – 22.00 po √
Graphalax sirup 120 ml /12 jam po √ √
Dulcolax supp 5 mg 05.00 supp √

12
3.4 Asessment dan Plan

Tabel 3.4 Asessment dan plan

Tanggal Subjektif (S) Objektif (O) Assessment (A) Plan (P)


Hari Ke- Keadaan Pasien Data Masalah Terkait Obat Rencana Tindak Lanjut
Skala nyeri: 3 Tidak ada masalah terkait Terapi dilanjutkan
terapi
Squamous cell Monitoring skala nyeri
carcinoma intra oral
Nyeri di rahang
20/1/2022
Terapi :
Dexketoprofen 50mg/8
jam
Indikasi konstipasi belum Disarankan untuk
teratasi dengan fosen enema penambahan golongan
osmotic laxative seperti
laktulosa sirup
(CCG laxative guideline,
Fosen Enema 1 kali
21/1/2022 Belum BAB 2015)
sehari pagi hari
Monitoring frekuensi BAB

13
Kadar leukosit : 1,6 Pemakaian leukogen Direkomendasikan untuk
103/mm3 melebihi dosis yang melanjutkan terapi selama 14
Kadar Netrofil batang : direkomendasikan yaitu 5 hari sampai kadar ANC
0% mcg/kgBB mencapai 1 x 109/L
Kadar netrofil segmen : (BCCA, 2019)
46%
22/1/2022 Neutropenia

Terapi :
Leukogen 300 mcg/ml

23/1/2022 Nyeri di rahang hilang Skala nyeri : 3 Tramadol tidak Disarankan untuk
timbul direkomendasikan untuk menggunakan parasetamol
Terapi : pemakaian pada skala nyeri atau golongan NSAID karena
Tramadol 100 mg/8 3 skala nyeri pasien 3
jam (Who, 2009)
Tramadol kurang tepat
untuk pasien dengan
Riwayat mual-muntah
akibat kemoterapi

14
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum Pasien

Pasien A masuk ke RSUD dr. Zainoel Abidin pada tanggal 19 Januari 2022

melalui IGD. Pasien datang dengan keluhan sulit buang air besar (BAB) sejak 14

hari yang lalu dan pasien juga mengeluh nyeri pada rahang.

4.2 Asuhan Kefarmasian

4.2.1 Rekonsiliasi Obat

Rekonsiliasi yang dilakukan yaitu menanyakan Riwayat penyakit yang

diderita pasien. Pasien mempunyai Riwayat penyakit squamos cell carcinoma ar

intra oral. Penyakit tersebut mulai di derita pasien pada tahun 2021 dan sudah

melakukan operasi pada bulan desember 2021, pasien juga sudah melakukan

kemoterapi siklus 1 pada tanggal 6 januari 2022 dengan regimen cisplatin dan 5-

fluorouracil. Obat oral yang diterima pasien yaitu Lansoprazol 30 mg per 8 jam dan

Dexametason 0,5 mg per 12 jam.

4.2.2 Visite

Dari pantauan selama visit di dapatkan bahwa kondisi pasien hari pertama

mengeluh nyeri dan sulit BAB juga perut kembung, hari kedua pasien juga

mengeluh nyeri dan masih sulit BAB, hari ketiga pasien diberikan fosen enema pagi

hari, Dulcolax tablet pukul 20.00 dan 22.00 WIB, dan juga graphalax sirup 10 ml

15
per 12 jam untuk persiapan colon in loop esok hari, pada hari terakhir yaitu tanggal

24 januari 2022, pasien sudah BAB sebelum dilakukan pemeriksaan colon in loop,

Nyeri yang dirasakan hilang timbul sesaat, untuk penanganan anemianya pasien

diberikan PRC (packed red cell) sebanyak 3 kali. Transfusi PRC adalah satu-

satunya terapi untuk pasien kemoterapi yang membutuhkan koreksi anemia segera.

Transfusi 1 unit PRC dapat meningkatkan Hb sekitar 1gr/dL atau hematokrit

sebanyak 3% pada orang dewasa dengan ukuran tubuh standar tanpa perdarahan

(Rodgers, 2012).

4.2.3 Pemantauan Terapi Obat

Pemantauan terapi dilakukan yaitu setiap hari memeriksa loker obat pasien

untuk melihat masih adakah obat yang tertinggal atau obat yang belum diberikan

untuk pasien. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan pasien menerima terapi

sesuai yang dibutuhkan. Dari hasil pemantauan terhadap loker tidak ditemukan

kesalahan atau tidak adanya obat yang tertinggal, hal itu menandakan bahwa pasien

sudah menerima obatnya sesuai waktu pemberiannya.

Dari hasil pemantauan juga didapatkan adanya medication error dimana obat

yang diberikan tidak tertulis dalam lembar DIMF (Daftar Informasi Medis

Farmakologi), hal ini terjadi dikarenakan adanya pergantian terapi obat tetapi

dokter masih belum menuliskannya. Obat yang tak tertulis didalam DIMF yaitu

Tramadol dan Ondansetron.

16
Tabel 4.1 Pemantauan terapi obat terkait tepat pasien, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat rute pemberian dan tepat

frekuensi

No Nama Obat,
Dosis Menurut Tepat Tepat Tepat Tepat Tepat Tepat
Kekuatan, Bentuk Indikasi
literatur Pasien Indikasi Obat Dosis Rute Frekuensi
Sediaan
1 Dexketoprofen 50 meredakan nyeri, Dexketoprofen merupakan
Dewasa : 50 mg
mg Iv golongan OAINS (Obat Anti Inflamasi Non
tiap 8-12 jam √ √ √ √ √ √
Steroid)
(PIONAS)
(PIONAS)
2 Omeprazol 40 mg Omeprazole digunakan untuk mengobati gejala 40 mg sekali sehari
iv penyakit gastroesophageal reflux (GERD) dan selama 4 sampai 8
kondisi lain yang disebabkan oleh kelebihan minggu √ √ √ √ √
asam lambung (Drug Information
(drugs.com) Handbook)
3 mengobati sembelit dan membersihkan usus
sebelum operasi usus besar, rontgen, atau 1 kali sehari 133ml
Fosen Enema √ √ √ √ √ √
pemeriksaan endoskopi (Drugs.com)
(Drugs.com)
4 Leukogen membantu sumsum tulang membentuk sel darah 5 mcg/kgBB via
putih baru. subcutan
Sel darah putih melindungi tubuh dengan (drugs.com)
√ √ √ √ √
melawan bakteri (kuman) yang menyebabkan
infeksi Maka :
(BCCA, 2017) 5 x 45kg = 225mcg

17
5 Tramadol Tramadol adalah obat nyeri yang mirip dengan
100mg/8 jam Iv opioid dan diklasifikasikan sebagai opioid
sintetik. Ia bekerja di sistem saraf pusat (SSP)
untuk menghilangkan rasa sakit.
50-100 mg
Tramadol digunakan untuk mengobati nyeri
diberikan 4-6 jam
sedang hingga berat pada orang dewasa
maksimal 400 √ √ √ √ √
(drugs.com)
mg/hari
(Drugs.com)
Antinyeri golongan opioid direkomendasikan
untuk skala nyeri 4-6
(Who,2009)

6 Ondancetron Antiemetic kemoterapi dan


radioterapi yang
menyebabkan
muntah tingkat
sedang: oral: 8 mg,
√ √ √ √
1-2 jam sebelum
terapi atau injeksi
intravena lambat, 8
mg sesaat sebelum
terapi,
7 Dulcolax 5 mg Bisacodyl digunakan untuk mengobati sembelit
tablet atau mengosongkan usus sebelum operasi,
5-15 mg per hari
kolonoskopi, rontgen, atau prosedur medis usus √ √ √ √ √ √
(drugs.com)
lainnya.
(drugs.com)

18
8 Graphalac sirup Laktulosa digunakan untuk mengobati sembelit 15-30 ml sebagai
kronis dosis tunggal atau
√ √ √ √ √ √
(drugs.com) terbagi
(Medscape)
9 Dulcolax Bisacodyl digunakan untuk mengobati sembelit
suppositoria atau mengosongkan usus sebelum operasi,
kolonoskopi, rontgen, atau prosedur medis usus 10 mg per hari
√ √ √ √ √ √
lainnya. (drugs.com)
(drugs.com)

19
4.2.4 Drug Related Problem (DRP)

1. Pengkajian Tepat Pasien

Upaya yang dilakukan yaitu dengan menyesuaikan nama, tanggal lahir dan

No. CM yang tertulis diresep dengan yang di gelang pasien, status pasien, kartu

catatan obat, daftar instruksi medis farmakologi, serta menyesuaikan juga nama

pasien yang ada pada etiket obat. Dari pengkajian yang dilakukan maka diketahui

obat yang diberikan sudah tepat pasien.

2. Pengkajian Tepat Obat, Tepat Indikasi

Dari hasil pemantauan didapatkan bahwa hanya 1 obat yang tidak tepat

indikasi yaitu tramadol, tramadol direkomendasikan untuk pasien dengan skala

nyeri 4-6 (Who, 2009). Skala nyeri pasien yaitu 3 dimana masih bisa diberikan

parasetamol atau obat dari golongan OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid).

3. Pengkajian Tepat Dosis

Dari 9 obat yang diterima pasien, terdapat 2 obat yang tidak tepat dosis

dimana dosis yang diberikan tidak sesuai dengan dosis lazim menurut literatur.

Obat yang tidak tepat dosis yaitu omeprazol. Omeprazole digunakan sebagai

profilaksis untuk mencegah efek samping dari dexketoprofen yang termasuk

gologan OAINS yaitu gangguan saluran cerna. Dosis yang direkomendasikan yaitu

40 mg/24 jam tetapi dosis yang diberikan untuk pasien yaitu 40mg/12 jam.

Selanjutnya ada obat Leucogen Injeksi dimana dosis yang direkomendasikan untuk

mengatasi neutropenia

20
setelah kemoterapi yaitu 5mvg/kgBB. Berdasarkan perhitungan didapatkan

kebutuhan dosis pasien yaitu 225mc, tetapi dosis yang diberikan kepada pasien

yaitu 300mcg.

4. Pengkajian Tepat Rute

Berdasarkan pemantauan terhadap pasien, diketahui pemberian obat sudah

tepat rute. Pemberian melalui oral seperti Dulcolax tablet dan graphalac sirup,

Pemberian secara suppositoria yaitu Dulcolax supp dan fosen enema, Pemberian

secara subcutan yaitu leucogen 300mcg/ml, dan pemberian secara intra vena yaitu

dexketoprofen 50mg, omeprazole 40 mg, dan tramadol 100mg. Berdasarkan

informasi yang diperoleh dari data rekam medic dan catatan pemberian obat oleh

perawat diketahui pemberian obat sudah tepat cara pemberian.

5. Pengkajian Waspada Efek Samping

Efek samping yang harus diwaspadai yaitu efek mual, muntah, dan juga

konstipasi. Efek samping dari leucogen yaitu mual-muntah, dan efek samping dari

tramadol yaitu mual-muntah dan juga konstipasi (Medscape). Selama perawatan

dirumah sakit pasien mengeluhkan mual, hal ini mungkin terjadi dikarenakan

penyakit pasien yaitu ileus paralitik yang menyebabkan perut kembung, konstipasi,

dan juga mual.

21
6. Pengkajian Drug Related Problems (DRPs) atau Masalah Terkait Obat

Menurut Cipolle, dkk. (1998), DRPs diklasifikasikan sebagai berikut:

indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, obat yang salah, dosis yang terlalu rendah

(underdose), dosis yang terlalu tinggi (overdose), interaksi obat dan masalah

kepatuhan pasien. DRPs pada kasus pasien ini adalah dosis tidak sesuai untuk

pemberian Leukogen, dosis yang diberikan kepada pasien adalah 300 mcg/ml

sedangkan menurut perhitungan dosis pasien membutuhkan dosis 225mcg.

Pemberian tramadol (golongan opioid) tidak direkomendasikan untuk skala nyeri 3,

skala nyeri 3 bisa diatasi dengan parasetamol atau golongan OAINS (WHO, 2009),

dan konstipasi belum teratasi dengan pemberian fosen enema.

22
BAB V

KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh terhadap studi kasus yang dilakukan di RSUD

dr. Zainoel Abidin Banda Aceh adalah sebagai berikut:

a. Mahasiswa calon apoteker memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan

tentang terapi dan penatalaksanaan nyeri dan juga konstipasi.

b. Telah dilakukan pemantauan terapi obat pada pasien yaitu terdapat perbaikan

kondisi pasien selama mendapatkan terapi pengobatan, seperti konstipasi

teratasi dan nyeri berkurang.

c. Ditemukan Drug Related Problems (DRPs) terkait penggunaan obat, yaitu dosis

leukogen yang tidak sesuai rekomendasi dan penggunaan tramadol yang tidak

tepat untuk skala nyeri 3.

23
DAFTAR PUSTAKA

Behman R, Nathens AB, Karanicolas PJ, 2018. Laparoscopic Surgery for Small
Bowel Obstruction: Is It Safe? Adv Surg. Sep;52(1):15-27.
Brown, J. E., Isaacs, J.S., Krinke, U.B., Lechtenberg, E., Murtaugh, M.A.,
Sharbaugh, C., Splett, P.L., Stang, J., Wooldridge, N.H.(2011). Nutrition
Through the Life Cycle. 4th edition. USA: Wadsworth Cengage Learning
Cipolle, R.J., Strand, L.M., Morley, P.C. (1998). Pharmaceutical Care Practice.
73-83. McGraw Hill: New York
Depkes (2009). Pedoman Pemantauan Terapi Obat. Jakarta : Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik.
Drugs.com. https://www.drugs.com/. [Diakses pada 25 Januari 2022].
Jacobs D (2015). Acute Intestinal Obstruction. In: Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 19th ed. McGraw-Hill
Kurtin S. Myeloid Toxicity of Cancer Treatment. J Adv Pr Oncol 2012;3(4):209–
224.
Lyman G, Glaspy J. Advances in the Management of Chemotherapy-Induced
Anemia and Its Treatment. Oncol J 2006;20(8):1517–1525.
Mayo Clinic (2021). Diseases & Conditions. Constipation.
Medscape. 2021. https://www.medscape.com/. [Diakses pada 25 Januari 2022].
Mushtaq, Mosin et all (2015). Giant Fecaloma Causing Small Bowel Obstruction:
Case Report and Review of the Literature
Myeloid Growth Factors (2017). In: NCCN Clinical Practice Guidelines in
Oncology (NCCN Guidelines). National Comprehensive Cancer Network,
Inc
Nurbaya, Siti, dkk (2019). Cerita Anemia. Jakarta : UI Publishing.
Permenkes RI. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta : Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
PIO Nas. http://pionas.pom.go.id/ioni [Diakses pada 25 Januari 2022].
Rodgers GM, Becker PS, Blinder M, Chanan-Khan A (2017). Cancer- and
Chemotherapy- Induced Anemia : Clinical Practice Guidelines in
Oncology. J Natl Compr Cancer Netw

24
Sjamsuhidajat R., De jong wim, 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, edisi 3.
Sorangel Diaz; Khaled Bittar; Magda D. Mendez (2021). Constipation. NCBI
Sunderland CCG (2015). Laxative Guidelines Algorithm V1.02
World Health Organization (2009). WHO’s Pain Relief Ladder.

25
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

PELAYANAN FARMASI KLINIS

PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO) PADA PASIEN


BRONKIEKTASIS TERINFEKSI + PPOK + DM TIPE 2

DI RUMAH SAKIT dr. ZAINOEL ABIDIN – BANDA ACEH

PERIODE 13 DESEMBER 2021 – 18 FEBRUARI 2022

DISUSUN OLEH:

RAIHAN FATIA AMIRUDDIN, S.Farm


NIM 210213037

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberi rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktik Kerja Profesi
Apoteker di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Shalawat beserta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad saw. kiblat dalam
perjalanan kita sebagai generasi penerusnya hingga akhir zaman.
Praktek Kerja Profesi Apoteker ini merupakan salah satu syarat dalam
mengikuti Program Studi Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi dan Ilmu
Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia untuk memperoleh gelar Apoteker.
Terlaksananya Praktek Kerja Profesi Apoteker ini tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Taruli Rohana Sinaga S.Kep, MKM
selaku Dekan Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara
Indonesia, kepada Ibu apt. Dra. Modesta Tarigan, M.Si sebagai Ketua Program
Studi Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia, kepada Ibu apt. Grace Anastasia Br Ginting,
S.Farm. M.Si sebagai pembimbing akademik saya yang telah mengarahkan dan
membimbing dalam penyusunan laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker.
Dan juga kepada Ibu apt. Suci Maulida Rahmah, S.Farm., Ibu apt. Ika
Wahyuningrum, S.Farm., Ibu apt. Sri Romaito Hasibuan., S.Farm, Ibu apt. Fitri
Yani, S.Farm., M.Clin.Pharm., Ibu apt Azizah Vonna, M.Pharm.Sci., Ibu apt.
Yunita Suffiana, M.Sc., Ibu apt. Rita Novika, S.Farm., Ibu apt Ika Fitri
Ramadhana, S.Farm., selaku pembimbing di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh yang telah berkenan memberikan arahan, bimbingan dan berbagi
pengalamannya kepada penulis selama melaksanakan Praktik Kerja Profesi
Apoteker hingga selesainya penulisan laporan ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak dan Ibu Staf
Pengajar Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan
pengetahuan kepada penulis, seluruh karyawan di RSUD dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh atas kerja sama dan bantuan yang telah diberikan selama penulis
melaksanakan Praktik Kerja Profesi Apoteker ini.
Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dan tak
terhingga kepada kedua orang tua, suami serta keluarga besar saya atas doa, kasih
sayang, nasihat dukungan baik moril maupun materil, dan tak lupa juga kepada
teman-teman satu tim dalam melaksanakan Praktik Kerja Profesi yang telah
bekerja sama dengan baik selama masa praktik kerja profesi di RSUD dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak demi kesempurnaan laporan ini.
Penulis berharap semoga laporan Praktik Kerja Profesi ini dapat
menambah ilmu pengetahuan di bidang farmasi, khususnya farmasi rumah sakit
dan dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Banda Aceh, Januari 2022


Penulis,

Raihan Fatia Amiruddin, S.Farm


NIM 210213037

iii
DAFTAR ISI

JUDUL ................................................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................. Error! Bookmark not defined.
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2. Tujuan ........................................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 3
2.1. Definisi ........................................................................................................................ 3
2.2. Etiologi ........................................................................................................................ 3
2.3. Patofisiologi ................................................................................................................ 5
2.4. Penatalaksanaan Terapi ............................................................................................ 7
A. Terapi Non Farmakologi ..................................................................................... 7
B. Terapi Farmakologi ............................................................................................. 8
BAB III STUDI KASUS ................................................................................................. 13
3.1. Identitas Pasien........................................................................................................ 13
3.2. Subjektif ................................................................................................................... 14
3.3. Objektif .................................................................................................................... 14
3.4. Assessment dan Plan ................................................................................................ 17
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................................... 18
4.1. Kondisi Umum Pasien ............................................................................................. 18
4.2. Asuhan Kefarmasian .............................................................................................. 18
1. Rekonsiliasi Pasien ............................................................................................. 18
2. Visite .................................................................................................................... 19
3. Pemantauan Terapi Obat .................................................................................. 19
4.3. Drug Related Problems (DRPs) .............................................................................. 20
1. Pengkajian Tepat Obat dan Tepat Indikasi .................................................... 20
2. Pengkajian Tepat Dosis ..................................................................................... 20
3. Pengkajian Tepat Rute ...................................................................................... 21
4. Pengkajian Waspada Efek Samping ................................................................ 21
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 23
5.1. Kesimpulan ............................................................................................................... 23
5.2. Saran ......................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 24

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. ......................................................................................................................... 4


Tabel 2.2. ......................................................................................................................... 11
Tabel 2.3. ......................................................................................................................... 12
Tabel 3.1. ......................................................................................................................... 14
Tabel 3.2. ......................................................................................................................... 14
Tabel 3.3. ......................................................................................................................... 15
Tabel 3.4. ......................................................................................................................... 16
Tabel 3.5. ......................................................................................................................... 17
Tabel 4.1. ......................................................................................................................... 22

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi standar

pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta

pelayanan farmasi klinik. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan

medis habis pakai meliputi pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan,

penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan,

pengendalian, dan administrasi. Sementara pelayanan farmasi klinik meliputi

pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat,

rekonsiliasi obat, Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, visite, Pemantauan

Terapi Obat (PTO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO), Evaluasi

Penggunaan Obat (EPO), dispensing sediaan steril, dan Pemantauan Kadar Obat

dalam Darah (PKOD) (Menkes RI, 2016).

Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup

kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi

pasien. Kegiatan tersebut mencakup: pengkajian pilihan obat, dosis, cara

pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan

rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Pemantauan terapi obat harus

dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada periode

tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui. Pasien yang

mendapatkan terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah terkait obat.

Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat, serta respons pasien yang sangat

1
individual meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal tersebut

menyebabkan perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesi untuk

mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendak

(Depkes RI, 2009).

Apoteker dapat berkontribusi dalam perawatan pasien dengan

mengoptimalkan penggunaan obat dan meminimalisasi efek obat yang tidak

diharapkan dengan cara mengidentifikasi Drug Related Problems (DRPs) atau

masalah terkait obat, dan memberikan solusi melalui pelayanan farmasi klinik

(Kusharwanti, dkk., 2014).

1.2. Tujuan

1. Memahami peran, fungsi dan tanggung jawab Apoteker mengenai

pekerjaan kefarmasian di Rumah Sakit khusunya Pelayanan Farmasi

Klinik.

2. Meningkatkan interaksi dengan masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.

3. Mampu memahami dan mempraktekkan konsep Pharmaceutical Care

dalam pelayanan kepada pasien.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Bronkiektasis adalah kondisi paru-paru yang menyebabkan batuk

berlendir. Di paru-paru, bronkus adalah saluran yang memungkinkan udara masuk

ke paru-paru. Pada bronkiektasis, permukaan bagian dalam bronkus menjadi lebih

tebal dari waktu ke waktu akibat peradangan yang meninggalkan bekas

luka. Dinding yang lebih tebal menyebabkan lendir terkumpul di saluran ini

karena dindingnya tidak cukup kuat untuk membuat lendir keluar dari paru-

paru. Selain itu, silia (untaian tipis yang terlihat seperti rambut dan yang

membantu memindahkan lendir) dihancurkan. Ketika itu terjadi, infeksi dapat

terjadi lebih mudah dan pernapasan menjadi sulit. Saat pernapasan atau batuk

memburuk disebut eksaserbasi.

2.2. Etiologi

Beberapa literatur menyebutkan bahwa penyebab yang paling umum dari

bronkiektasis adalah infeksi. Pada tabel 2.1. menunjukkan beberapa kondisi yang

berhubungan dengan bronkiektasis.

a. Infeksi

Mekanisme yang mungkin mendasari bronkiektasis pascainfeksi adalah adanya

infeksi pada saat awal kehidupan yang menyebabkan kerusakan struktural pada

saluran napas yang masih dalam tahan pengembangan, sehingga mengakibatkan

saluran napas rentan terhadap infeksi berulang, dan dengan berjalannya waktu

infeksi persisten tersebut mengakibatkan bronkiektasis. Beberapa infeksi saluran

3
napas yang dapat menyebabkan bronkiektasis termasuk: pertusis, bakteri gram

negatif (Pseudomonas aeruginosa, Haemophilus influenzae), virus (HIV,

Paramyxovirus, adenovirus, dan influenza), Mycobacterium tuberculosis, dan

atypical mycobacteria.

Table 2.1. Kondisi Yang Berhubungan Dengan Bronkisktasis

b. Asma

Proses airway remodelling yang terjadi pada pasien asma dapat bervariasi, mulai

dari penebalan dinding saluran napas yang ringan sampai dengan bronkiektasis

yang jelas. Penelitian Kohort yang dilakukan Grenier, dkk. mendapatkan data

bahwa 40% penderita asma mengalami bronkiektasis. Penelitian tersebut juga

mendapatkan data hasil pemeriksaan HRCT pasien asma didapatkan penebalan

4
dinding bronkus pada 82% pasien, tingginya angka tersebut menunjukkan

tingginya risiko terjadinya bronkiektasis pada pasien asma.

c. PPOK

Pada beberapa kasus, bronkiektasis adalah diagnosis primer yang disertai dengan

PPOK. Suatu penelitian mengemukakan pada penderita PPOK sedang dan berat

terdapat prevalens bronkiektasis sebesar 50%. Penderita PPOK dengan

bronkiektasis cenderung menderita eksaserbasi yang lebih berat dan peningkatan

kadar marker inflamasi pada sputum. Bakteri patogen seperti Pseudomonas

aeruginosa dan Haemophilus influenzae teridentifikasi pada 42% penderita dan

mungkin berperan penting dalam perkembangan bronkiektasis melalui mekanisme

vicious circle.

d. Rheumatoid Arthritis

Bronkiektasis sering dihubungkan dengan rheumatoid arthritis, di mana

bronkiektasis dapat mendahului kejadian rheumatoid arthritis atau bronkektasis

berkembang selama perjalanan rheumatoid arthritis.

e. Inflammatory Bowel Disease

Infeksi saluran napas berulang dan bronkiektasis sering dijumpai pada pasien

dengan inflammatory bowel disease terutama pada pasien chronic ulcerative

colitis. Tindakan reseksi saluran cerna tidak memperbaiki gejala respiratori dan

bahkan dapat memperparah gejala bonkiektasis (Wahyuni dan Helmia, 2016).

2.3. Patofisiologi

Belum diketahui secara sempurna perjalanan penyakit bronkiektasis,

namum dapat diperkirakan yang menjadi penyebab utama adalah peradangan

5
dengan destruksi otot, jaringan elastis dan tulang rawan dinding bronkus, oleh

mukopus yang terinfeksi yang kontak lama dan erat dengan dinding bronkus.

Ada beberapa jalur yang menerangkan terjadinya bronkiektasis. Secara

luas, bronkiektasis dapat terjadi sehubungan dengan kejadian insidental yang tidak

berhubungan dengan kondisi dasar intrinsik pertahanan tubuh penderita, dapat

pula berkaitan dengan kondisi dasar konstitusional genetik penderita. Perbedaan

dua mekanisme diatas merupakan elemen penting yang menentukan prognosis

dan penatalaksanaan penderita.

Gambar 2.1. Patofisiologi Bronkiektasis

Bentuk saluran napas yang khas tersebut memungkinkan impaksi,

sedimentasi, dan deposisi partikel dan mikroorganisme ke mukosa saluran napas.

Partikel dan mikroorganisme yang terdeposisi pada mukosa selanjutnya akan

6
dibuang melalui mekanisme gerakan mukosilier atau langsung keluarkan dari

saluran napas melalui mekanisme bersin, batuk, atau penelanan (Wahyuni dan

Helmia, 2016).

Gambar 2.2. Alur Diagnostik Bronkiektasis

2.4. Penatalaksanaan Terapi

A. Terapi Non Farmakologi

• Pemeriksaan Fisik

Ditemukan suara napas tambahan pada pemeriksaan fisik dada, crickles,

wheezing dan ronkhi adalah petunjuk diagnosis.

• Pemeriksaan Laboratorium

1. Darah : Leukositosis pada bronkiektasis akut

: Anemia ringan

2. Sputum : terdapat bakteri penyebab

7
• Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan Rontgen penting dilakukan untuk diagnosis bronkiektasis.

Dengan pemeriksaan rontgen dapat ditemukan gambaran di bawah ini:

1. Rhing Shadow : terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai

ukuran dapat mencapai 1 cm. bayangan cincin tersebut menunjukkan

kelainan pada bronkus.

2. Tramline Shadow : dapat terlihat pada bagian perofer paru. Bayangan

ini terdiri atas dua garis parallel yang putih dan tebal yang dipisahkan

oleh daerah berwarna hitam.

3. Tubular shadow : bayangan putih dan tebal, lebarnya mencapai 8

mm. Gambaran ini menunjukkan bronkus yang penuh dengan sekret,

jarang ditemukan namun khas untuk bronkiektasis.

• Pemeriksaan Bronkografi

• Pemeriksaan CT scan thorax

B. Terapi Farmakologi

Pengelolaan pasien bronkiektasis terdiri dari pengelolaan secara

konservatif dan pembedahan.

Pengelolaan Konservatif

1. Pengelolaan umum yang meliputi menciptakan lingkungan yang baik dan

tepat bagi pasien yaitu dengan membuat ruangan hangat dan kering serta

bebas asap rokok, debu dsb.

2. Memperbaiki drainase sekret bronkus yaitu dengan melakukan drainase

postural, mencairan sputum yang kental, mengatur posisi tempat tidur

pasien dan mengontrol infeksi saluran nafas.

8
Pengelolaan Khusus

1. Kemoterapi pada bronkiektasis, dapat digunakan secara koninyu untuk

mengontrol infeksi bronkus, untuk pengobatan eksaserbasi akut pada

bronkus atau paru atau keduanya. Kemoterapi yang digunakan adalah

antibiotik terpilih. Pemilihan antibiotik sebaiknya harus berdasarkan uji

sensitivitas kuman terhadap antibiotik atau penggunaan antibiotik secara

empirik.

2. Drainase sekret dengan Bronkoskop. Cara ini penting dilakukan terutama

pada permulaan perawatan pasien. Keperluannya antara lain untuk

menentukan dari mana asal sekret, mengidentifikasi lokasi stenois atau

obstruksi bronkus dan menghilangkan obstruksi bronkus dengan suction

drainage daerah obstruksi tadi.

3. Pengobatan simpomatik

a. Pengobatan obstruksi bronkus. Dapat diberikan bronkodilator

b. Pengobatan hipoksia, dapat diberikan oksigen

c. Pengobatan hemoptisis. Tindakan harus dilakukan untuk

menghentikan perdarahan dan diberi obat-obat hemostatik

d. Pengobatan demam. Perlu diberikan antibiotic yang sesuai dan

antipiretik

• Antibiotik

Pada saat eksaserbasi, antibiotik dapat diberikan secara oral maupun intravena

sesuai dengan derajat klinis penderita. Antibiotik oral yang digunakan, bila

memungkinkan, sebaiknya berdasarkan hasil pemeriksaan kultur sputum (tabel

2.2.). Menurut British Thoracic Society guideline for non-CF Bronchiectasis

9
2010, apabila tidak terdapat data bakteriologis, maka antibiotik lini pertama yang

dapat digunakan adalah amoksisilin 500 mg tiga kali sehari atau klaritromisin 500

mg dua kali sehari (untuk penderita alergi penisilin) selama 14 hari. Regimen

dosis tinggi (misalnya amoksisilin 1 gram tiga kali sehari, atau amoksisilin 3 gram

dua kali sehari) mungkin diperlukan pada penderita dengan bronkiektasis berat

yang telah terjadi kolonisasi kronis Haemophilus influenzae. Ciprofloxacin dapat

diberikan pada penderita dengan kolonisasi Pseudomonas aeruginosa, dimana

penggunaannya harus hati-hati pada orangtua. Antibiotik kombinasi tidak

diperlukan pada pasien dengan infeksi Haemophilus influenzae, Moraxella

catarrhalis, Staphylococcus aureus (methicillin-sensitive) dan Streptococcus

pneumoniae. Apabila didapatkan lebih dari satu patogen, dapat dipilih antibiotik

yang mencakup kedua patogen. Kombinasi dapat dilakukan jika didapatkan pola

resistensi yang tidak memungkinkan dilakukan terapi tunggal. Pada penderita

dengan kultur Pseudomonas aeruginosa sensitif terhadap ciprofloxacin,

monoterapi dengan ciprofloxacin oral dapat digunakan sebagai terapi lini pertama.

Antibiotik kombinasi harus digunakan untuk infeksi Pseudomonas aeruginosa

yang resisten.

10
Table 2.2. Organisme yang sering dihubungkan dengan Bronkiektasis Eksaserbasi
Akut dan Antibiotik yang direkomendasikan

Tabel 2.2. memperlihatkan rekomendasi antibiotik lini pertama dan alternatifnya

untuk bakteri patogen yang umum ditemukan pada eksaserbasi. Antibiotik dapat

disesuaikan apabila tidak ada perbaikan klinis dan berdasarkan hasil sensitivitas

antibiotik terbaru. Antibiotik intravena dipertimbangkan pada penderita dengan

keadaan umum kurang baik, terinfeksi organisme resisten, atau gagal dengan

antibiotik oral (hal tersebut terutama terjadi pada penderita dengan Pseudomonas

aeruginosa). Penderita dengan eksaserbasi berat memerlukan antibiotik intravena,

terapi empiris dapat diberikan cefuroxime atau cetriaxone, kecuali kecurigaan

adanya infeksi P. aeruginosa. Terapi empiris pasien dengan P. aeruginosa adalah

dengan β-Laktam, misalnya Ceftazidime. Monoterapi dapat diberikan pada P.

aeruginosa yang masih sensitif, sedangkan untuk organisme yang resisten atau

infeksi kronis dimana terdapat kemungkinan pasien akan mengalami terapi ulang

di masa yang akan datang, direkomendasikan untuk melakukan terapi kombinasi

11
dengan aminoglikosida. Kombinasi dilakukan untuk menurunkan risiko resistensi

dan mendapatkan manfaat efek sinergistik antara aminoglikosida dan β-Laktam.

Table 2.3. Antibiotik Intravena yang dapat digunakan untuk Terapi Eksaserbasi
Bronkiektasis

Tabel 2.3. menunjukkan regimen antibiotik intravena yang dapat digunakan pada

eksaserbasi akut. Antibiotik jangka panjang dapat diberikan pada penderita

dengan eksasebasi lebih dari 3 kali per tahun atau penderita dengan eksaserbasi

lebih jarang namun terjadi morbiditas yang signifikan. Dosis tinggi tidak

dianjurkan untuk meminimalkan efek samping. Antibiotik jangka panjang dapat

berisiko resistensi pada pasien dan antibiotik alternatif dapat digunakan sesuai

dengan hasil sensitivitas (Wahyuni dan Helmia, 2016).

12
BAB III

STUDI KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama : Tn. AM

Tanggal Lahir : 01 Juli 1942

Umur : 79 Tahun

No. RM : 107xxxx

BB/TB : 55 kg/160 cm

Alamat : Peukan Baro, Pidie

Pekerjaan : Petani/Pekebun

Agama : Islam

Ruangan : Shafa

Diagnosa : Bronkiektasis Terinfeksi

Tanggal MRS : 23 Januari 2022

Riwayat Penggunaan Obat :

• Ventolin (teruskan)

• Flexotide (teruskan)

• Omeprazole iv (teruskan)

• Zink po (hentikan)

• Asam Folat po (hantikan)

Riwayat Penyakit :

• Hipertensi dan DM

13
3.2. Subjektif

Nyeri pada Dada Kiri, Sesak Nafas, Batuk, Lemas, Demam, Perut Kembung,

Susah BAB

3.3. Objektif

a. Diagnosa Awal : Bronkiektasis Terinfeksi

b. Diagnosa Selama Dirawat : PPOK Stabil

DM Tipe 2

c. Tanda-Tanda Vital

Tabel 3.1. Tanda-Tanda Vital Pasien


Range Tanggal
NO. Parameter Satuan Normal 23/01/22 24/01/22 25/01/22 26/01/22
1 TD mmHg 120/80 126/79 125/82 167/76 150/70
2 Nadi x/menit 75-118 95 96 102 99
3 RR x/menit 18-30 26 24 23 22
4 Suhu Tubuh ˚C 36,5-37,5 36,7 36,5 38,1 36,4
5 SPO2 % 98-100 91 96 98 97
6 GCS 15
7 Nyeri NRS 3 3 3 3
GSC: Derajat Kesadaran
NRS: Numeric Rating Scale

d. Terapi Non Farmakologi

Tabel 3.2. Terapi Non Farmakologi Pasien


No. Tanggal/Jam Intruksi Non Farmakologis Hasil
1 25-01-22 Diet DM 1700 kkal rendah garam Dilakukan
2 25-01-22 USG Abdomen Tanggal 2/2/2022

14
e. Terapi Farmakologi

Tabel 3.3. Terapi Farmakologi Pasien


Tanggal
No. Nama Obat Dosis Frekuensi Rute 23/01/22 24/01/22 25/01/22 26/01/22
1 Levofloxacin 750 mg /24 jam IV √ √ √ √
2 NaCl 500 cc /8 jam IVFD √ √ √ √
3 Omeprazole 40 mg /24 jam IV √ √ √ √
4 Paracetamol 1g /8 jam IV TAP TAP √ √
5 Resfar 8-8-9 /24 jam IV √ √ √ √
6 Ventolin 1 respul /8 jam Nebul √ √ √ √
7 Flexotide 1 respul /24 jam Nebul √ √ √ √
8 Curcuma 1 tablet /8 jam PO - √ √ √
9 KSR 600 mg /12 jam PO - √ √ √
10 Kompolax 1 sendok makan /8 jam PO - √ √ -
11 Dulcolax 1 supp /24 jam Dubur - √ √ -

15
f. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 3.4. Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Tanggal
Parameter Nilai Normal 23/01/22 25/01/22
Hemoglobin 14,0-17,0 g/dL 11,0
Hematokrit 45-55% 32
Eritrosit 4,7-5,1 106/mm3 4,1
Trombosit 150-450 103/mm3 274
Leukosit 4,5-10,5 103/mm3 10,4
MCV 80-100 fL 78
MCH 27-31 pg 27
MCHC 32-36 % 34
RDW 11,5-14,4 % 14,6
MPV 7,2-11,1 fL 8,9
Pasien (PT) 11,50-15,50 detik 15,80
Pasien (APTT) 26,00-37,00 detik 38,20
Glukosa Darah Sewaktu <200 mg/dL 309 309
Ureum 13-43 mg/dL 18
Kreatinin 0,67-1,17 mg/dL 0,70
Natrium (Na) 132-146 mmol/L 136
Kalium (K) 3,7-5,4 mmol/L 3,30
Klorida (Cl) 98-106 mmol/L 100

16
3.4. Assessment dan Plan

Table 3.5. Assessment dan Plan


Tanggal Subjektif (S) Objektif (O) Assessment (A) Plan (P)
Hari Ke- Keadaan Pasien Data Masalah Terkait Obat Rencana Tindak Lanjut
23/01/22 Nyeri dada kiri, sesak nafas, Skala nyeri: 3 Indikasi nyeri belum Direkomendasikan
batuk Paracetamol 1g iv teratasi penggantian obat
(TAP) Paracetamol iv dengan po
GDS 309 mg/dL Indikasi hiperglikemid Direkomendasikan untuk
23/01/22 belum teratasi pengecekan HbA1c untuk
s/d mengetahui apakah kadar
26/01/22 gula darah terkontrol atau
tidak.

25/01/22 Lemas, demam, sembelit, Temp: 38,1 Indikasi demam pada Terapi Paracetamol
kembung pasien dilanjutkan, disertai dengan
pengecekan suhu berulang.
24/01/22 Kalium: 3,30 Kadar kalium di bawah Terapi KRS dilanjutkan dan
s/d nilai normal dimonitoring penggunaan
25/01/22 KRS dan kadar kalium pasien
25/01/22 TD: 167/76 Indikasi TD pada pasien Disarankan pemberian obat
s/d TD: 150/70 belum teratasi Diuretik Hemat Kalium agar
26/01/22 Kalium dalam darah tidak
terlalu rendah dan TD dapat
diturunkan.

17
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Pasien

Pasien AM masuk ke RSUD dr. Zainoel Abidin pada 23 Januari 2022

melalui IGD (Instalasi Gawat Darurat) pukul 13.43. Pasien datang dengan nyeri

dada kiri sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu. Nyeri dada dirasakan sekali, batuk

sesekali tidak berdahak. Pasien demam 3 hari yang lalu. Pasien mengeluhkan

pusing dan lemas. Nyeri tulang belakang, pasien sudah 1 bulan tidak bisa

beraktifitas seperi biasa. Pasien mempunyai riwayat DM dan Hipertensi tetapi

tidak rutin berobat.

Dokter melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kondisi pasien

dengan melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, seperti

pemeriksaan laboratorium, radiologi dan EKG. Hasil pemeriksaan ini sangat

penting untuk menegakkan diagnosis pasien sehingga ketepatan pasien sebagai

salah satu faktor dalam penilaian rasionalitas penggunaan obat terpenuhi. Pasien

di diagnosis menderita Bronkiektasis Terinfeksi + PPOK stabil + DM tipe 2.

4.2. Asuhan Kefarmasian

1. Rekonsiliasi Pasien

Apoteker mengumpulkan data terkait obat yg digunakan dan yang akan digunakan

pasien, riwayat alergi. Riwayat obat di dapatkan dari pasien atau keluarga pasien,

rekam medik dan obat yang ada pada pasien. Kemudian membandingkan obat

yang akan digunakan dan yang sedang digunakan. Selanjutnya memberi tahu

18
dokter jika ditemukan ketidaksesuaian. Dalam hal ini riwayat peggunaan obat

pasien AM adalah ventolin, flexotide, omeprazole iv, zink po dank asam folat po.

2. Visite

Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan

apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati

kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat,

memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan

terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien

serta profesional kesehatan lainnya.

3. Pemantauan Terapi Obat

Pemantauan terapi obat dilakukan setiap hari untuk melihat rasionalitas

penggunaan obat yang diberikan pada pasien yang meliputi Tepat Pasien, Tepat

Indikasi, Tepat Obat, Tepat Rute, Tepat Frekuensi, Tepat Dosis, Interaksi Obat

Dan Waspada Efek Samping.

• Kesesuaian instruksi dengan ketersediaan obat

Sebagai apoteker sebaiknya mengecek setiap locker guna mengetahui apakah obat

telah diberikan kepada pasien sesuai waktunya, dan atau ada tidaknya obat yang

tertinggal atau tidak diberikan kepada pasien. Dalam kasus ini, obat diberikan

kepada pasien tepat waktu sehingga tidak ada obat yang tertinggal di dalam locker

pasien.

• Kesesuaian Resep

Sesuai dengan SOP (Standar Operasional Prosedur) resep diterima oleh tenaga

teknis kefarmasian (TTK) kemudian resep disesuaikan dengan pemakaian obat

dalam KCO (Kartu Catatan Obat) untuk pasien lama, pasien baru serta pergantian

19
terapi. Dalam kasus ini ditemukan bahwa ada obat seperti Kompolax, tertulis pada

KCO namun dokter belum menuliskan pada DIMF.

4.3. Drug Related Problems (DRPs)

1. Pengkajian Tepat Obat dan Tepat Indikasi

Pasien mendapatkan terapi obat-obatan di Rumah Sakit mulai tanggal 23 Januari

2022 (dirawat di ruang Shafa). Obat yang didapatkan pasien adalah Levofloxacin

750ml iv, NaCl 500cc ivfd, Paracetamol 1g iv, Omeprazole 40mg iv, Resfar 25ml

iv, Ventolin, Flexotide, Curcuma tab, KSR 600mg tab, Kompolax syr, Dulcolax

Supp.

Pasien diberikan terapi Levofloxacin karena bronkiektasis terinfeksi, sudah

tepat. Paracetamol untuk meredakan nyeri, sudah tepat. Omeprazole untuk

mengatasi keluhan dyspepsia yang dialami pasien, sudah tepat. Pemberian Resfar

untuk memecahkan dahak akibat masalah paru-paru sehingga jalan nafas tidak

terhambat, sudah tepat indikasi. Ventolin untuk mengobat sesak nafas, sudah

tepat. Flexotide untuk mengurangi bengkak pada paru-paru, sudah tepat.

Pemberian Curcuma untuk menambah nafsu makan pasien, sudah tepat indikasi.

Pemberian KSR untuk meningkatkan kadar kalium, sudah tepat indikasi dan

pemberian Kompolax dan Dulcolax supp untuk mengatasi sembelit pasien dan

juga perut kembung yang dialaminya, sudah tepat indikasi.

2. Pengkajian Tepat Dosis

Tepat dosis sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang

berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang sempit akan

sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak

akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan (Kemenkes RI, 2011).

20
Dosis Levofloxacin 750mg/hari selama 7 hari (Basic Pharmacology &

Drug Notes). Pada kasus ini Levofloxacin diberikan 750mg/24 jam maka sudah

tepat dosis. Dosis Paracetamol >50kg: 650mg/4jam atau 1000mg/6jam. Maksimal

4g/hari (Drug Information Handbook). Pada kasus ini BB px 55kg dan

Paracetamol yang diberikan 1g/8jam maka sudah tepat dosis. Indikasi KSR untuk

kasus Hipokalemia. Kadar kalium normal dewasa adalah 3,7-5,4 mEq/L. pada

kasus ini kadar kalium px yaitu 3,30 mEq/L. Maka kebutuhan KSR untuk px

yaitu: mEq total = (4 – 3,30) x 0,3 x 55kg = 11,55 mEq/L. Sediaan KSR 600mg 1

tablet ~ 8 mEq. Pada kasus ini, dosis KSR yang diberikan 600mg/12jam maka

sudah tepat dosis, Omeprazole untuk sakit asam lambung dosisnya 20-40mg/hari.

Pada kasus ini Omeprazole diberikan 40mg/24jam maka sudah tepat dosis.

3. Pengkajian Tepat Rute

Berdasarkan pemantauan terhadap pasien, diketahui pemberian obat sudah

tepat rute. Pemberian melalui oral seperti Curcuma tab, KSR tab dan Kompolax

syr, sedangkan Omeprazol, Resfar, Levofloxacin, Paracetamol, NaCl melalui iv.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari data rekam medik dan catatan

pemberian obat oleh perawat diketahui obat sudah tepat cara pemberian.

4. Pengkajian Waspada Efek Samping

Efek samping obat adalah semua efek yang tidak dikehendaki yang

membahayakan atau merugikan pasien akibat penggunaan obat. Setiap obat

memiliki efek samping yang tidak diinginkan dalam terapi sehingga pengkajian

terhadap efek samping obat oleh apoteker menjadi sangat penting untuk

membantu dalam mengoptimalkan terapi obat pasien. Tidak ada efek samping

yang harus diwaspadai atau yang dapat berpotensi tinggi toksik. Selain itu, selama

21
masa perawatan di rumah sakit, pasien tidak mengeluhkan efek samping lain

terhadap penggunaan obat yang diberikan dan tidak ada gejala yang sangat

mengganggu pasien.

Tabel 4.1. Efek Samping Obat


Nama Obat Efek Samping
Levofloxacin Gastrointestinal: mual, diare, konstipasi, demam, hipoglikemia
atau hiperglikemia, faringitis, reaksi alergi.
Omeprazole Mual, diare, sakit kepala, pusing, nyeri abdomen, serta rasa
kembung.
Paracetamol Gangguan pada hepar.
Gastrointestinal: mual dan muntah, nyeri perut, diare, konstipasi,
dyspepsia.
Resfar Bronkospasme terutama pada pasien asma akut yang disebabkan
oleh pelepasan histamin local dan penghambatan takifilaksis
allergen oleh Acetylcysteine.
Gangguan saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare
KSR Metabolik: hiperkalemi
Gastrointestinal: mual, muntah, flatulens, nyeri perut, diare,
pendarahan saluran cerna, ulserasi, perforasi, iritasi lokal pada
mukosa.
Lain-lain: demam
Kompolax Nyeri perut, kolik abdomen, flatus, sendawa, kembung, mual,
muntah, dehidrasi dan diare.

22
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh terhadap studi kasus yang dilakukan di RSUD dr.

Zainoel Abidin Banda Aceh adalah sebagai berikut:

a. Mahasiswa calon apoteker memperoleh ilmu pengetahuan dan

keterampilan tentang terapi dan penatalaksanaannya.

b. Telah dilakukan pemantauan terapi obat pada pasien yaitu terdapat

perbaikan kondisi pasien selama mendapatkan terapi pengobatan, seperti

bronkiektasis semakin membaik.

c. Ditemukan Drug Related Problems (DRPs) terkait penggunaan obat, yaitu

tidak adanya pemberian obat terkait indikasi Riwayat DM dan Hipertensi

yang dimiliki pasien, indikasi tanpa obat.

5.2. Saran

a. Berdasarkan pembahasan dan kesimpulam pada kasus ini, maka

disarankan calon apoteker selanjutnya lebih aktif berkomunikasi dengan

dokter, perawat dan keluarga pasien untuk mendapatkan informasi yang

lebih jelas.

b. Disarankan agar calon apoteker selalu mengikuti perkembangan pasien

dan ikut serta visite dengan dokter.

23
DAFTAR PUSTAKA

Barker AF. Bronchiectasis. New England Journal of Medicine 2002; 346: 1383–1393.
Haworth CS. Antibiotic treatment in adults with bronchiectasis. European Respiratory
Monograph: Bronchiectasis 2011; 2:211–222
Lexicomp’s Drug Reference Handbooks. 2021. Drug Information Handbook.
Lexicomp: Amerika.
Menteri kesehetan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Menkes RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Kusharwanti, Wara, dkk. 2014. Pengoptimalkan Peran Apoteker Dalam Pemantauan dan
Evaluasi Insiden Keselamatan Pasien. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. Vol:
3(3).67-76.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430810/#_article-18639_s14_
Pasteur M C, Bilton D, Hill A T. British Thoracic Society guideline for non-
CFbronchiectasis. 2010
Tim Medical Mini Notes. 2019. Basic Pharmacology & Drug Notes Edisi 2019.
Makassar: MMN Publishing

24
25
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

PELAYANAN FARMASI KLINIS

PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO) PADA PASIEN RIGHT UPPER


QUADRANT PAIN + HIPERTENSI STAGE II + DIABETES MELITUS
TIPE II + GASTROPATI DIABETIK

DI RUMAH SAKIT DR. ZAINOEL ABIDIN – BANDA ACEH

PERIODE 13 DESEMBER 2021 – 18 FEBRUARI 2022

DISUSUN OLEH :

DESTARI

NIM 210213018

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

MEDAN

2022
DAFTAR ISI

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Tujuan ................................................................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................ 4
2.1 Definisi ................................................................................................................ 4
1. Right Upper Quadrant Paint ........................................................................ 4
2. Diabetes Melitus ............................................................................................. 4
3. Hipertensi ....................................................................................................... 5
2.2 Etiologi ................................................................................................................ 6
2.3 Patofisiologi ........................................................................................................ 7
2.4 Penatalaksanaan Terapi ................................................................................... 9
1. Terapi Non Farmakologi ................................................................................. 9
2. Terapi Farmakologi ......................................................................................... 9
BAB III STUDI KASUS .......................................................................................... 11
3.1 Identittas Pasien .............................................................................................. 11
3.2 Subjektif ........................................................................................................... 11
3.3 Objektif............................................................................................................. 11
3.4 Assesment dan Plan ......................................................................................... 14
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................... 15
4.1 Kondisi Umum Pasien ..................................................................................... 15
4.2 Asuhan Kefarmasian ....................................................................................... 15
1. Rekonsiliasi pasien ....................................................................................... 15
2. Visite.............................................................................................................. 16
3. Pemantauan Terapi Obat ............................................................................ 16
4.3 Drug Related Problem (DRP) ........................................................................ 17
4.3.1 Pengkajian Tepat obat dan Tepat indikasi ........................................ 17

ii
4.3.2 Pengkajian Tepat Dosis........................................................................ 19
4.3.3 Pengkajian Tepat Rute ........................................................................ 20
4.3.4 Pengkajian Waspada Efek Samping................................................... 21
4.3.5 Interaksi Obat ........................................................................................... 21
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 22
5.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 23

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 3. 1 Tanda – Tanda Vital ............................................................................... 11


Tabel 3. 2 Hasil Laboraturium ................................................................................ 12
Tabel 3. 3 Terapi Farmakologi ................................................................................ 13
Tabel 3. 4 Assesment dan Plan ................................................................................. 14

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberi rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktik Kerja Profesi

Apoteker di RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh. Shalawat beserta salam semoga

selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, kiblat dalam perjalanan

kita sebagai generasi penerusnya hingga akhir zaman.

Praktek Kerja Profesi Apoteker ini merupakan salah satu syarat dalam

mengikuti Program Studi Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi dan Ilmu

Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia untuk memperoleh gelar Apoteker.

Terlaksananya Praktek Kerja Profesi Apoteker ini tidak terlepas dari bantuan

berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat

dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Taruli Rohana Sinaga S.Kep,

MKM selaku Dekan Fakultas Farmasi Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara

Indonesia, kepada Ibu Apt. Dra. Modesta Tarigan, M.Si sebagai Ketua Program

Studi Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan

Universitas Sari Mutiara Indonesia, kepada ibu apt. Cut Masyitah Thaib, S.Farm.,

M. Si sebagai pembimbing saya yang telah mengarahkan dan membimbing dalam

penyusunan laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker dan ibu Fitri Yani, S. Farm.,

Apt., M.Clin.Pharm, Ibu Azizah Vonna, M.Pharm.Sci., Apt, Ibu Yunita Suffiana,

M.Sc., Apt. Ibu Rita Novika, S.Farm., Apt. Ibu Ika Fitri Ramadhana, S.Farm.,

Apt, Ika Wahyuningrum, S.Farm, Apt selaku pembimbing di RSUD Zainoel

Abidin Banda Aceh. kepada Ibu selaku Pembimbing yang telah berkenan

memberikan arahan, bimbingan dan berbagi pengalamannya kepada penulis

v
selama melaksanakan Praktik Kerja Profesi Apoteker hingga selesainya penulisan

laporan ini.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak dan Ibu Staf Pengajar

Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas

Sari Mutiara Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan

kepada penulis, seluruh karyawan di RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh atas kerja

sama dan bantuan yang telah diberikan selama penulis melaksanakan Praktik

Kerja Profesi Apoteker ini.

Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dan tak

terhingga kepada kedua orang tua saya, suami, anak – anak serta keluarga besar

saya atas doa, kasih sayang, nasihat dukungan baik moril maupun materil, dan

teman-teman yang telah mendukung dalam doa. Tak lupa juga kepada teman-

teman satu tim dalam melaksanakan praktik kerja profesi yang telah bekerja sama

dengan baik selama masa praktik kerja profesi di RSUD Zainoel Abidin Banda

Aceh.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk

itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak

demi kesempurnaan laporan ini.

Banda Aceh, Februari 2022

Penulis,

Destari, S.Farm
NIM 210213018

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi standar pengelolaan

sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta pelayanan

farmasi klinik. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

habis pakai meliputi pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan,

penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian dan

administrasi. Sementara pelayanan farmasi klinik meliputi pengkajian dan

pelayanan resep penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat,

Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, visite, Pemantauan Terapi Obat

(PTO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO), Evaluasi Penggunaan Obat

(EPO), dispensing sediaan steril, dan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah

(PKOD) (Menkes RI, 2016).

Salah satu pelayanan kefarmasian adalah Pemantauan terapi obat (PTO),

yaitu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman,

efektif dan rasional bagi pasien. Kegiatan tersebut mencakup pengkajian pilihan

obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak

dikehendaki (ROTD), dan rekomendasi perubahan atau alternatif terapi.

Pemantauan terapi obat harus dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi

secara teratur pada periode tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi

dapat diketahui. Pasien yang mendapatkan terapi obat mempunyai risiko

mengalami masalah terkait obat. Kompleksitas penyakit dan penggunaan obat,

serta respons pasien yang sangat individual meningkatkan munculnya masalah

1
terkait obat. Hal tersebut menyebabkan perlunya dilakukan PTO dalam praktek

profesi untuk mengoptimalkan efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak

dikehendak (Depkes RI,2009).

Dalam pelaksaan PTO Apoteker dapat berkontribusi dalam perawatan pasien

dengan mengoptimalkan penggunaan obat dan meminimalisasi efek obat yang

tidak diharapkan dengan cara mengidentifikasi Drug Related Problems (DRPs)

atau masalah terkait obat, dan memberikan solusi melalui pelayanan farmasi

klinik (Kusharwanti, dkk., 2014).

Pada kesempatan ini, akan dibahas pemantauan terapi obat pada penderita

Right Upper Quadrant Paint. Dimana Nyeri pada perut itu adalah penyakit umum

dalam rawatan dan perlu untuk didiagnosis. Sakit perut adalah keluhan yang ada

pada 1,5 persen dari kunjungan rawat jalan dan dalam 5 persen dari kunjungan

gawat darurat. Meskipun sebagian besar nyeri perut tidak berbahaya, sebanyak 10

persen pasien di instalasi gawat darurat dan persentase yang lebih rendah di

pengaturan rawat jalan memiliki penyebab yang parah atau mengancam jiwa atau

bahkan memerlukan pembedahan. Oleh karena itu, pemeriksaan yang menyeluruh

dan logis untuk diagnosis nyeri perut sangat diperlukan. (Ssarah L, 2008)

Penyakit ini sangat mungkin terjadi dan terdapat beberapa penyebabnya

seperti batu empedu, hepatitis, pneumonia, radang usus buntu, tukak lambung dan

masih banyak lagi. Mengingat begitu banyak permasalahan terapi yang muncul

terkait nyeri pada perut, maka diperlukan pelayanan farmasi klinik RSUD dr.

Zainoel Abidin Banda Aceh pada pasien dengan diagnosa ini.

2
1.2 Tujuan

1. Memahami peran, fungsi dan tanggung jawab Apoteker mengenai pekerjaan

kefarmasian di Rumah Sakit khususnya pada Pelayanan Farmasi Klinis.

2. Meningkatkan interaksi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya.

3. Mampu memahami dan mempraktekkan konsep Pharmaceutical Care dalam

pelayanan kepada pasien.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

1. Right Upper Quadrant Paint

Right Upper Quadrant dibagi menjadi empat bagian atau kuadran. Dimana

sebuah garis vertikal yang membagi perut menjadi dua. Kemudian garis

horizontal setinggi pusar. Kuadran paling atas di sisi kanan adalah kuadran kanan

atas (RUQ). RUQ (Right Upper Quadrant) mengandung banyak organ penting,

termasuk bagian dari hati, ginjal kanan, kantong empedu, pankreas, dan usus

besar dan kecil. (Debra, S. 2019)

Penting untuk memperhatikan rasa sakit di RUQ karena itu bisa menjadi

indikator sejumlah penyakit atau kondisi. Ada beberapa manuver khusus yang

mengevaluasi tanda-tanda yang berhubungan dengan penyebab nyeri perut. saat

ini, beberapa tanda sangat memprediksi penyakit tertentu. Ini termasuk tanda

Carnett (yaitu, peningkatan nyeri ketika pasien terlentang menegangkan dinding

perut dengan mengangkat kepala dan bahu pada saat pemeriksaan) pada pasien

dengan nyeri dinding perut. Tanda penyumbatan pada pasien dengan kolesistitis

(walaupun hanya ada pada 65 persen orang dewasa dengan kolesistitis dan sangat

tidak dapat diandalkan pada pasien yang lebih tua) dan tanda psoas pada pasien

dengan apendisitis. Tanda-tanda lain seperti kekakuan dan nyeri tekan tidak

spesifik.

2. Diabetes Melitus

Diabetes adalah suatu kondisi kronis yang mempengaruhi cara tubuh

memproses gula darah (glukosa). Pada diabetes tipe 2, tubuh tidak memproduksi

4
cukup insulin, atau menolak insulin. Gejala berupa rasa haus meningkat, sering

buang air kecil, lapar, lelah, dan penglihatan kabur. Pada beberapa kasus, tidak

ada gejala. Penanganan berupa diet, olahraga, obat, dan terapi insulin.

Dimana penyebab diabetes dapat mengakibat Gastropati diabetik, yaitu istilah

yang mencakup sejumlah disfungsi neuromuskular lambung, termasuk kelainan

kontraktilitas lambung, tonus, dan aktivitas mioelektrik pada pasien diabetes.

Kelainan ini berkisar dari takigastria hingga hipomotilitas antral dan

frankgastroparesis. Gastropati diabetik dapat terjadi secara akut selama

hiperglikemia. Gejala gastropati diabetes kronis termasuk mual kronis,

ketidaknyamanan epigastrium yang tidak jelas, rasa penuh setelah makan, cepat

kenyang, dan muntah. Karena gejala ini tidak spesifik, gangguan lain seperti

obstruksi mekanis saluran cerna, penyakit refluks gastroesofageal, kolesistitis,

pankreatitis, iskemia mesenterika, dan efek obat harus dipertimbangkan.

Abnormalitas neuromuskular lambung dapat dinilai secara noninvasif dengan tes

pengosongan lambung, elektrogastrografi, dan ultrasonografi. Agen gastrokinetik

seperti metoklopramid, cisapride, domperidone, dan eritromisin meningkatkan

kontraksi fundus atau antral dan/atau menghilangkan disritmia lambung. Diet dan

kontrol glukosa juga penting dalam pengelolaan gastropati diabetik. Karena

patofisiologi gastropati diabetik lebih dipahami, perawatan yang lebih spesifik dan

lebih baik akan berkembang. (Paul kuo, 2007)

3. Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah arteri (BP) yang terus

meningkat. Laporan Komite Nasional Gabungan untuk Pencegahan, Deteksi,

5
Evaluasi, dan Pengobatan Tekanan Darah Tinggi (JNC8) mengklasifikasikan

tekanan darah orang dewasa

Normal : sistolik <120 mmHg dan diastolik 180 mmHg

Prehipertensi : sistolik 120-139 mmHg dan diastolik 80-89 mmHg

Hipertensi Stage 1 : sistolik 140-159 mmHg dan diastolik 90-99 mmHg

Hipertensi stage 2 : sistolik ≥160 mmHg dan diastolik ≥100 mmHg

Tekanan darah normal menjadi tinggi dimaksudkan untuk mengidentifikasi

individu yang dapat memperoleh manfaat dari intervensi gaya hidup dan yang

akan menerima pengobatan farmakologis jika ada indikasi yang memaksa.

Hipertensi sistolik terisolasi didefinisikan sebagai peningkatan SBP (≥140 mmHg)

dan DBP rendah (<90 mmHg) umum terjadi pada orang muda dan orang tua. Pada

individu muda, termasuk anak-anak, remaja dan dewasa muda, hipertensi sistolik

terisolasi adalah bentuk paling umum dari hipertensi esensial. Namun, ini juga

sangat umum pada orang tua, yang mencerminkan kekakuan arteri besar dengan

peningkatan tekanan nadi (perbedaan antara SBP dan DBP). (AHA, 2020)

Dimana hipertensi ini adalah faktor risiko dari berbagai riwayat penyakit

CVD (infark miokard, gagal jantung [HF], stroke, serangan iskemik transien

[TIA], diabetes, dislipidemia, penyakit ginjal kronis [CKD], status merokok, diet,

asupan alkohol, aktivitas fisik, aspek psikososial, riwayat depresi). Riwayat

keluarga dengan hipertensi, CVD prematur, hiperkolesterolemia (familial),

diabetes

2.2 Etiologi

Hiperglikemia (glukosa darah lebih besar dari 200 mg/dL), umumnya terlihat

pada diabetes yang tidak terkontrol, telah dikaitkan dengan gastropati diabetik

6
yang dihasilkan dari neuropati dalam keadaan hiperglikemia kronis dan tidak

sembuh dengan kontrol glikemik yang lebih baik. Hiperglikemia akut, di sisi lain,

meskipun juga dapat mengakibatkan pengosongan lambung yang tertunda,

seringkali reversibel dengan peningkatan kontrol glikemik.

Pengosongan lambung memerlukan koordinasi tonus fundus dan kontraksi

fasik antral dengan penghambatan simultan kontraksi pilorus dan duodenum.

Kondisi ini juga memerlukan interaksi antara sistem saraf enterik dan otonom, sel

otot polos, dan sel alat pacu jantung khusus lambung. Disfungsi motorik lambung

yang ditemui dalam pengaturan diabetes dapat terjadi sebagai akibat dari

neuropati otonom (baik simpatis dan parasimpatis), neuropati enterik (neuron

rangsang dan penghambatan), kelainan ICC (neuropati intrinsik), fluktuasi

glukosa darah akut, penggunaan obat berbasis incretin, atau faktor psikosomatik.

Akibatnya, sebagian besar penderita diabetes cenderung mengalami disfungsi

pada banyak titik dalam proses pengosongan lambung. Ini termasuk akomodasi

dan kontraksi lambung proksimal postprandial yang abnormal, serta kelainan pada

fungsi motorik antral. (Aswath, 2021)

2.3 Patofisiologi

Gastroparesis diabetik terjadi sebagai akibat dari disfungsi sistem saraf

otonom dan enterik. Kadar glukosa darah yang tinggi secara kronis (atau

pengambilan glukosa yang tidak efisien) menyebabkan kerusakan saraf yang

mengakibatkan neurotransmisi mienterik yang abnormal (misalnya, saraf vagus),

gangguan fungsi saraf penghambatan (oksida nitrat), dan disfungsi otot polos dan

sel alat pacu jantung. Secara keseluruhan, disfungsi ini menghasilkan kombinasi

kontraksi antrum yang lebih sedikit, kontraksi antro-duodenal yang tidak

7
terkoordinasi, dan spasme pilorus, yang pada akhirnya mengakibatkan

pengosongan lambung yang tertunda (gastroparesis).

Pengosongan lambung yang tertunda pada pasien diabetes, terutama makanan

padat, juga dapat terjadi pada keadaan motilitas usus halus yang abnormal, yang

diperkirakan terjadi dengan mekanisme yang sama seperti yang di lambung.

Beberapa pasien dengan diabetes mungkin juga mengalami perubahan kepatuhan

lambung, baik meningkat atau menurun, yang juga dapat menyebabkan

pengosongan lambung tertunda.

Selain itu, kadar glukosa serum (postprandial) memiliki hubungan langsung

dengan pengosongan lambung. Dalam pengaturan neuropati otonom diabetik,

hiperglikemia akut merangsang aktivitas listrik lambung. Pada pasien dengan

diabetes (tanpa neuropati) dan kontrol yang sehat, hiperglikemia akut malah akan

mengendurkan lambung proksimal dan menekan aktivitas listrik lambung

(misalnya, mengurangi frekuensi, propagasi, dan kontraksi antrum) baik pada

kondisi puasa dan pasca-prandial, sehingga memperlambat pengosongan

lambung.

Hiperglikemia akut juga telah dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas pada

saluran pencernaan. Ini mungkin bertanggung jawab untuk dispepsia postprandial

(misalnya, cepat kenyang, mual, muntah, mulas, kembung, dan nyeri) yang sering

dialami oleh pasien dengan gastroparesis diabetik.

Penyerapan karbohidrat sangat bergantung pada kecepatan pengosongan

lambung melalui pelepasan peptida, di mana pengosongan lambung yang lebih

lambat menghasilkan tingkat penyerapan karbohidrat yang lebih tinggi. Oleh

karena itu, kadar glukosa serum yang lebih tinggi karena pengosongan lambung

8
yang tertunda dapat dengan sendirinya menyebabkan perburukan gastroparesis.

(Aswath, 2021)

2.4 Penatalaksanaan Terapi

1. Terapi Non Farmakologi

Lemak diketahui memperlambat pengosongan lambung, sementara padatan

yang tidak dapat dicerna dapat menjadi predisposisi pembentukan gumpalan yang

tidak dapat dicerna oleh lambung. Oleh karena itu, porsi kecil, sering makan,

rendah serat dan lemak tidak larut, umumnya dianjurkan, meskipun kurangnya

bukti untuk mendukung pendekatan ini. Mengunyah secara menyeluruh, tetap

tegak selama 1-2 jam setelah makan dan suplementasi dengan multivitamin juga

telah dianjurkan. Meningkatkan proporsi energi yang diberikan sebagai cairan dari

pada padatan mungkin bermanfaat, karena pengosongan cairan lebih jarang

tertunda. Meskipun pengembangan modalitas alternatif, skintigrafi tetap menjadi

alat diagnostik yang paling akurat. Indikasi untuk suplementasi nutrisi termasuk

penurunan berat badan ≥ 10% selama periode 3-6 bulan, ketidakmampuan untuk

mempertahankan berat badan yang direkomendasikan, dan gejala parah yang

memerlukan rawat inap atau intervensi nonfarmakologis, misalnya selang

nasogastrik untuk meredakan mual dan muntah. (Paul, dkk 2007)

2. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologis untuk gastropati diabetk melibatkan penggunaan agen

prokinetik. Khasiat tampaknya lebih besar ketika pengosongan lambung lebih

tertunda. Agen prokinetik yang paling umum digunakan termasuk

metoclopramide, domperidone, eritromisin dan cisapride. Tujuan terapi adalah

untuk memperbaiki gejala dengan mempercepat pengosongan lambung, meskipun

9
korelasi antara keduanya buruk. Beberapa obat prokinetik memiliki sifat

tambahan, termasuk antiemesis yang dimediasi secara sentral, relaksasi lambung

proksimal, penekanan sensasi lambung. Oleh karena itu, agen yang memberikan

pengurangan gejala terbesar belum tentu yang paling ampuh dalam mempercepat

pengosongan lambung.

10
BAB III

STUDI KASUS

3.1 Identittas Pasien

Nama : Ny. Zrh

No CM : 110***

Jenis kelamin : Perempuan

Tanggal lahir : 63 Tahun (13 Oktober 1958)

Pekerjaan : Mengurus Rumah Tangga

Ruang : Raudhah 1

Tanggal MRS : 3 Februari 2022

Tanggal MRR : 4 Februari 2022

Tanggal KRS : 11 Februari 2022

BB/TB : 60 kg/151 cm

• Riwayat penggunaan obat

- Metformin 500 mg 3x1

- Glibenclamid 5 mg 1x1

3.2 Subjektif

Pasien dengan keluhan nyeri perut kanan atas

3.3 Objektif

a. Diagnosa awal

Right Upper Quadrant Paint Et Causa Differential Diagnosis

- Cholelitiasis

- Cholesistitis

- Choledocolitiasis

11
b. Diagnosa akhir

Diagnosa Utama : Dyspepsia type like ulcer differential diagnosis gastropati diabetic

Diagnosa Tambahan : DM tipe II dan Hipertensi Stage I

c. Tanda – tanda vital

Tabel 3. 1 Tanda – Tanda Vital

No Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

4/2 5/2 6/2 7/2 8/2 9/2 10/2 11/2

1 Tekanan Darah (TD) 160/70 140/80 130/65 127/70 112/80 120/80 120/80 120/80 120/80 mmHg

2 Nadi 86 70 76 68 65 60 80 80 70-90 kali/menit

3 Pernafasan (RR) 20 18 20 18 20 18 18 18 10-20 kali/menit

4 Temperatur 36,3 36,5 36,5 36,6 36,5 36,5 36,5 36,5 36,5-37,5 °c

6 GDP 270 150 91 102 95 98 95 6-110 mg/dL

Dari hasil pemeriksaan awal menunjukkan pasien memiliki tekanan darah yang tidak normal (hipertensi), namun setelah hari ke

4 hipertensi mulai teratasi, nilai pernafasan, nadi dan temperatur terlihat normal, serta gula darah puasa yang tadinya tinggi sudah

normal.

11
Berdasarkan keluhan dan pemeriksaan fisik tersebut, dilakukan pengobatan

terhadap pasien selama berada di IGD pemberian terapi adalah sebagai berikut :

- NACL 0,9%

- Kaltrofen Supp /8 jam

- Omeprazole 40 mg inj /12 Jam IV

- Amlodipin 10 mg /24 Jam PO

- Novorapid 8-8-8 SC

- Lantus 0-0-0-0-12 SC

d. Hasil Laboraturium

Tabel 3. 2 Hasil Laboraturium

Hasil pemeriksaan
Pemeriksaan Nilai Satuan
Hematologi Normal Unit
3/2 4/2 7/2
Hemoglobin 12,0-15,0 11,1 g/dL
Hematocrit 37-47 34 %
Eritrosit 4,2-5,4 5,6 10 /mm3
6

Trombosit 150-450 383 103/mm3


Leukosit 4,5-10,5 10,78 103/mm3
MCHC 32-36 33 %
MPV 7,2-11,1 9,8 fL
MCV 80-100 61 fL
MCH 27-31 20 Pg
Billirubin total 0,3-1,2 0,63 mg/dL
AST/SGOT <31 26 U/L
GDS <200 386 mg/dL
Ureum 13-43 26 mg/dL
Kreatinin 0,51-0,95 0,50 mg/dL
Hb-A1c <6,5 11,60 %
Kolesterol total <200 213 mg/dL
Kolesterol HDL >55 34 mg/dL
Kolesterol LDL <100 146 mg/dL
Trigliserida <200 196 mg/dL

12
e. Hasil Radiologi

- USG Ginjal : Normal

- USG Hepar : Normal

- USG Pankreas : Normal

- USG Prostat : Normal

f. Terapi Farmakologi

Tabel 3. 3 Terapi Farmakologi

Nama Tanggal
Dosis Frekuensi Rute
Obat 4/2 5/2 6/2 7/2 8/2 9/2 10/2
NACL
500 mg /8 jam IV √ √ √ √ √ √ √
0,9%
Omeprazole 40 mg /24 jam IV √ √ √ √ √ √ √
Amlodipin 10 mg /24 jam PO √ √ √ √ √ √ √
Novorapid 8-8-8 /8 jam SC √ √ √ √ √ √ √
Lantus 0-0-0-12 /24 jam SC √ √ √ √ √ √ √
Kaltrofen 100 mg Prn Supp √ √ √ √ √ √ √

g. Terapi non farmakologi

Ubah pola hidup seperti hidup sehat, hindari makanan yang tinggi gula dan tinggi

lemak.

13
3.4 Assesment dan Plan

Tabel 3. 4 Assesment dan Plan

Tanggal Subjektif (S) Objektif (O) Assesment (A) Plan (P)


Hari Ke Keadaan Pasien Data Masalah terkait Obat Rencana Tindak Lanjut
4/2/2022 s/d 6/2/2022 Nyeri pada perut bagian NRS = 2 Tidak ada masalah - Terapi dilanjutkan
Hari ke 1-3 kanan atas Right upper quadrant terkait obat - Monitoring kadar
pain glukosa
Kaltrofen Supp Prn
7/2/2022 DM 9 Tahun LDL = 146 Hiperlipidemia belum direkomendasikan
Hari ke 3 HDL = 34 teratasi penambahan atorvastatin
Kolesterol total= 213 20 mg/24 jam dan
penambahan antiplatelet
80 mg/24 jam
8/2/2022 s/d 10/2/2022 Belum BAB 5 hari, Konstipasi Konstipasi belum Disarankan pe,berian
Hari ke 4-6 perut begah teratasi Lactulose 3x15ml

11/2/2022 Belum pernah Lantus 0-0-0-10 Pasien baru pertama Edukasi pemakaian
Hari ke 7 menggunakan insulin Novorapid 8-8-8 menggunakan insulin insulin
HbA1c = 11,60% dan belum edukasi

14
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum Pasien

Pasien ZRH masuk ke RSUD dr. Zainoel Abidin pada tanggal 3 Februari

2022 melalui IGD (Instalasi Gawat Darurat) pukul 21.00. Pasien datang dengan

keluhan nyeri perut kanan atas yang dirasakan sejak ± 3 hari sebelum masuk

rumah sakit. Nyeri dirasakan terus menerus sampai pasien tidak bisa tidur.

Penurunan nafsu makan, riwayat DM ± 9 tahun namun minum obat tidak teratur.

Dokter melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kondisi pasien dengan

melalakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, seperti patologi klinik,

foto thorax, CT Scan, EKG dan USG abdomen. Hasil pemeriksaan ini sangat

penting untuk menegakkan diagnosis pasien sehingga ketepatan pasien sebagai

salah satu faktor dalam penilaian rasionalitas penggunaan obat terpenuhi. Pasien

di diagnosa dengan Right Upper Quadrant Pain ec dd Cholelitiasis, Cholesistitis,

Choledocolitiasis. Kemudian selama dirawat diagnosa bertambah dengan Ulcus

Duodenum, Gastrointestinal Disease, Hipertensi Stage II, Dm Tipe II, Gastropati

Diabetik.

4.2 Asuhan Kefarmasian

1. Rekonsiliasi pasien

Apoteker mengumpulkan data terkait obat yg digunakan dan yang akan

digunakan pasien, riwayat alergi. Riwayat obat di dapatkan dari pasien atau

keluarga pasien, rekam medik dan obat yang ada pada pasien. Kemudian

membandingkan obat yang akan digunakan dan yang sedang digunakan.

Selanjutnya memberi tahu dokter jika ditemukan ketidaksesuaian. Dalam hal ini

15
saat menanyakan riwayat peggunaan obat pasien ZRH pasien sebelumnya

menggunakan obat Metformin 500 mg tiga kali sehari dan Glibenclamid 5 mg

satu kali sehari.

2. Visite

Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan

Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati

kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat,

memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan

terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien

serta profesional kesehatan lainnya. Kegiatan visite dilakukan setiap hari ke ruang

rawat inap. Hal yang perlu diperhatikan selama visite adalah assessment kondisi

pasien,hal terkait obat, rekonsiliasi obat, monitoring terapi, serta melakukan KIE

(Komunikasi Informasi dan Edukasi).

3. Pemantauan Terapi Obat

Pemantauan terapi obat dilakukan setiap hari untuk melihat rasionalitas

penggunaan obat yang diberikan pada pasien yang meliputi Tepat Pasien, Tepat

indikasi, Tepat Obat, Tepat Rute, Tepat Frekuensi, Tepat Dosis, Interaksi Obat

dan waspada efek samping. Kesesuaian instruksi dengan ketersediaan obat sangat

penting terhadap kesembuhan pasien, sebagai apoteker kita harus mengecek setiap

locker guna melihat kesesuaian instruksi dan ketersediaan obat yang ada, serta

dapat mengetahui pasien sudah menerima obat atau belum.

16
4.3 Drug Related Problem (DRP)

4.3.1 Pengkajian Tepat obat dan Tepat indikasi

Pasien mendapatkan terapi obat-obatan di rumah sakit mulai tanggal 4

Februari 2022 – 11 Februari 2022 (Dirawat di ruang Raudhah 1). Obat yang

digunakan pasien adalah Nacl 0,9% ivfd, Omeprazole 40 mg iv, Kaltrofen Supp

100 mg, Amlodipin 10 mg PO, Lantus 12 IU SC, Novorapid 8-8-8 IU SC.

Pasien diberikan terapi omeprazole injeksi sebagai pengobatan saluran cerna.

Dimana omeprazole bekerja penghambat pompa proton, menekan basal lambung

dan merangsang sekresi asam dengan menghambat pompa ATP sel parietal H+/K.

Pemberian omeprazole sudah tepat indikasi. (DIH, 2017)

Pasien diberikan terapi insulin untuk mengendalikan glukosa darah. Dimana

Insulin bekerja melalui reseptor terikat membran spesifik pada jaringan target

untuk mengatur metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Organ target untuk

insulin termasuk hati, otot rangka, dan jaringan adiposa.

Di dalam hati, insulin merangsang sintesis glikogen hati. Insulin

meningkatkan sintesis asam lemak di hati, yang dilepaskan ke dalam sirkulasi

sebagai lipoprotein. Efek otot rangka insulin termasuk peningkatan sintesis

protein dan peningkatan sintesis glikogen. Di dalam jaringan adiposa, insulin

merangsang pemrosesan lipoprotein yang bersirkulasi untuk menyediakan asam

lemak bebas, memfasilitasi sintesis dan penyimpanan trigliserida oleh adiposit;

juga secara langsung menghambat hidrolisis trigliserida. Selain itu, insulin

merangsang pengambilan asam amino seluler dan meningkatkan permeabilitas

seluler terhadap beberapa ion, termasuk kalium, magnesium, dan fosfat. Dengan

17
mengaktifkan natrium-kalium ATPase, insulin meningkatkan pergerakan kalium

intraseluler.

Biasanya disekresikan oleh pankreas, produk insulin diproduksi untuk

penggunaan farmakologis melalui teknologi DNA rekombinan baik menggunakan

E. coli atau Saccharomyces cerevisiae. Insulin glargine berbeda dari insulin

manusia dengan menambahkan dua arginin ke C-terminus dari rantai B selain

mengandung glisin pada posisi A21 dibandingkan dengan asparagin yang

ditemukan dalam insulin manusia. Insulin dikategorikan berdasarkan onset,

puncak, dan durasi efek (misalnya, insulin kerja cepat, pendek, menengah, dan

kerja panjang). Insulin glargine (lantus) adalah analog insulin kerja panjang.

Pemberian lantus untuk mengendalikan glukosa darah puasa sudah tepat indikasi.

(Lexicomp). Sedangkan Insulin aspart berbeda dari insulin manusia dengan

mengandung asam aspartat pada posisi B28 dibandingkan dengan prolin yang

ditemukan dalam insulin manusia. Insulin aspart adalah analog insulin kerja cepat.

Pemberian Novorapid untuk mengendalikan glukosa darah sewaktu sudah tepat

indikasi. (Lexicomp).

Pasien diberikan amlodipine sudah tepat indikasi. Dimana mekanisme

kerjanya adalah menghambat ion kalsium memasuki "saluran lambat" atau

memilih area sensitif tegangan otot polos pembuluh darah dan miokardium selama

depolarisasi, menghasilkan relaksasi otot polos pembuluh darah koroner dan

vasodilatasi koroner. Amlodipine secara langsung bekerja pada otot polos

pembuluh darah untuk menghasilkan vasodilatasi arteri perifer yang mengurangi

resistensi pembuluh darah perifer dan tekanan darah. (Lexicomp).

18
Pasien diberikan terapi Kaltrofen supp untuk pengobatan nyeri. Dimana

mekanisme kerjanya dengan menghambat enzim siklooksigenase-1 dan 2 (COX-1

dan 2) secara reversibel, yang mengakibatkan penurunan pembentukan prekursor

prostaglandin, memiliki sifat antipiretik, analgesik, dan anti-inflamasi. Pemberian

kaltrofen supp sudah tepat. Pasien diberikan amlodipine sudah tepat indikasi.

(Lexicomp)

Pasien tidak mendapatkan terapi hiperlipidemia. menurut cholesterol clinical

practice guidline disarankan penggunaan atorvastatin 20 mg. Penggunaan

atorvastatin lebih baik dari pada simvastatin, dimana efek samping seperti nyeri

otot, kelelahan, peningkatan berat badan, dan rasa haus yang teramat sangat tidak

dirasakan oleh pasien dengan diagnosa diabetes. Dan penambahan antiplatelet 75-

100 mg dosis rendah untuk menghindari komplikasi kardiovaskuler sebagai

penyebab utama kematian yang terjadi akibat diabetes. Serta terapi konstipasi juga

belum juga diberikan. Dimana pasien dengan keluhan kembung dan rasa tidak

nyaman pada perut jika konstipasi tidak diatasi akan semakin membuat keadaan

pasien semakin tidak nyaman.

4.3.2 Pengkajian Tepat Dosis

Tepat dosis sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis

yang berlebihan, akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis

yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan

(Kemenkes RI, 2011).

Omeprazole yang diberikan sudah tepat untuk mengatasi Gastrointestinal.

Dan pasien ini juga menggunakan golongan NSAID sehingga diperlukan

penggunaan omeprazole untuk mencegah efek samping dari NSAID yaitu

19
gangguan saluran cerna. Dosis lazim untuk omeprazole adalah 40 mg tiap 24 jam.

(DIH, 2017)

Menurut Perkeni untuk memulai pemberian Insulin adalah dengan kegagalan

dalam mencapai sasaran dengan menggunakan obat oral selama 3-6 bulan. Dalam

hal ini pasien sudah menggunakan obat oral selama 9 tahun. Disertai dengan GDS

>300 atau HbAic >9%. Lantus yang diberikan sudah tepat untuk mengendalikan

glukosa darah puasa, Dosis lazim 0,1-0,3 unit/kgBB/hari (Umipierrez, 2012)

Menurut ADA untuk HbA1c >10% dan kadar glukosa >300 sudah dapat

menggunakan kombinasi. Novorapid yang diberikan sudah tepat untuk

mengendalikan glukosa darah sewaktu. Dosis lazim 1-2 unit per 40-50 mg/dL

diatas glukosa target. (ADA, 2021)

Amlodipin yang diberikan sudah tepat untuk mengendalikan hipertensi.

Pasien juga mendapatkan terapi NACL 0,9% yang mengandung natrium dimana

natrium dapat meningkatkan tekanan darah. Menurut JNC8 Pasien dengan

diabetes mellitus harus memiliki target tekanan darah <140/90 mmHg. Dosis

lazim 2,5 mg 1 kali sehari dosis maksimal 10 mg (ACC/AHA, 2008)

Kaltrofen Supp yang diberikan sudah tepat dosis untuk mengatasi nyeri yang

dirasakan. Dosis rectal maksimal 200 mg. (Lexicomp)

4.3.3 Pengkajian Tepat Rute

Berdasarkan pemantauan terhadap pasien, diketahui pemberian obat sudah

tepat rute. Pemberian melalui oral seperti amlodipine. Pemberian melalui

subcutan lantus dan aprida. Pemberian omeprazole melalui iv, dan pemberian

kaltrofen supp melalui anus. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari data

20
rekam medik dan catatan pemberian obat oleh perawat diketahui pemberian obat

sudah tepat cara pemberian.

4.3.4 Pengkajian Waspada Efek Samping

Setiap obat memiliki efek samping yang tidak diinginkan dalam terapi

sehingga pengkajian terhadap efek samping obat oleh apoteker menjadi sangat

penting untuk membantu dalam mengoptimalkan terapi obat pasien. Dalam hal ini

efek samping yang paling harus diwaspadai adalah insulin dimana dapat terjadi

hipoglikemi. Selain itu, selama masa perawatan di rumah sakit, pasien tidak

mengeluhkan efek samping lain terhadap penggunaan obat yang diberikan dan

tidak ada gejala yang sangat mengganggu pasien.

4.3.5 Interaksi Obat

Selama melaksanakan pemantauan, interaksi – interaksi yang mungkin akan

terjadi harus tetap di monitoring. Seperti penggunaan NACL 0,9 % terhadap

pasien hipertensi, dimana NACL 0,9% dapat meningkatkan tekanan darah.

Namun dalam hal ini tidak terlihat adanya kenaikan tekanan darah pada pasien.

21
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh terhadap studi kasus yang dilakukan di RSUD dr.

Zainoel Abidin Banda Aceh adalah sebagai berikut:

a. Mahasiswa calon Apoteker memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan

tentang terapi dan penatalaksanaan penyakit Gastropati diabetik.

b. Telah dilakukan pemantauan terapi obat pada pasien yaitu terdapat perbaikan

kondisi pasien selama mendapatkan terapi pengobatan, seperti nyeri pada

perut berkurang.

c. Ditemukan Drug Related Problems (DRPs) terkait penggunaan obat, yaitu

belum ada terapi untuk hiperlipidemia, konstipasi belum teratasi,

5.2 Saran

a. Berdasarkan pembahasan dan kesimpulam pada kasus ini, maka disarankan

calon apoteker selanjutnya lebih aktif berkomunikasi dengan dokter, perawat

dan keluarga pasien untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas.

b. Disarankan agar calon apoteker selalu mengikuti perkembangan pasien dan

ikut serta visite dengan dokter.

22
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (ADA). Standards of medical care in diabetes–2021.


Diabetes Care. 2021;44 (suppl 1):S1-S232.
https://care.diabetesjournals.org/content/44/Supplement_1. Accessed February 15,
2021.

American Heart Association (AHA). 2020 International Society of Hypertension


Global. Hypertension is available at https://www.ahajournals.org/journal/hyp

Bloom, A. A., & Katz, J. 2016. Cholecystitis. dari Medscape:


http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview

DIH, 2017. Drug Information Hand book

Guillermo Umpierrez, MD, CDE. 2012 Inpatient Management of Hyperglycemia


Inzucchi, Silvio, E, dkk. 2015 Management of Hyperglicemia in type 2 Diabetes, .
USA : diabetes journal

Jamerson K, Weber MA, Bakris GL, et al; ACCOMPLISH Trial Investigators.


Benazepril plus amlodipine or hydrochlorothiazide for hypertension in high-risk
patients. N Engl J Med. 2008;359(23):2417-2428. doi:
10.1056/NEJMoa0806182.[PubMed 19052124]

James PA, Oparil S, Carter BL, et al. 2014 evidence-based guideline for the
management of high blood pressure in adults: report from the panel members
appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8). JAMA.
2014;311(5):507-520.

Kumar, V., Abbas, A. K., & Aster, J. C. 2013. Robbins Basic Pathology 9th ed.
Elsevier

Kusharwanti, W., Dewi, S. C., Setiawati, M. K. 2014. Pengoptimalan Peran


Apoteker dalam Pemantauan dan Evaluasi Insiden Keselamatan Pasien.
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia.

Lexicomp’s Drug Reference Handbooks.. Drug Information Handbook. Lexicomp:


Amerika.

Menkes RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia

Menteri kesehetan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik.


Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Paul Kuo, dkk 2007. Pathophysiology and Management of Diabetic Gastropathy. A


Guide for Endocrinologists

23
Rendy, M. Clevo &TH, Margareth. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan
Penyakit Dalam.Yogjakarta : Nuha Medika

Tailor, 2021. Pharmacology treatment of hyperglycemia in type 2. The journal of


clinical investigation

Tim Medical Mini Notes. 2019. Basic Pharmacology & Drug Notes Edisi 2019.
Makassar: MMN Publishing.

Umpierrez GE, Hellman R, Korytkowski MT, et al. Management of hyperglycemia in


hospitalized patients in non-critical care setting: an Endocrine Society clinical
practice guideline. J Clin Endocrinol Metab. 2012;97(1):16-38.
doi:10.1210/jc.2011-2098[PubMed 22223765

24
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

PELAYANAN FARMASI KLINIS


PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO) IMMUNE
TROMBOSITOPENIC PURPURA + EPISTAKSIS +
HIPERTERMI
DI RUMAH SAKIT DR. ZAINOEL ABIDIN – BANDA ACEH

PERIODE 13 DESEMBER 2021 – 18 FEBRUARI 2022

Disusun Oleh :

Putri Wahyuningsih, S.Farm

Nim : 210213036

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

MEDAN

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkat dan

rahmat Nya dapat menyelesaikan Praktik Kerja Profesi Apoteker di RSUD Zainoel

Abidin Banda Aceh. Laporan ini ditulis berdasarkan teori dan hasil pengamatan

selama melakukan Praktik Kerja Profesi Apoteker di RSUD Zainoel Abidin Banda

Aceh. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Taruli Rohana

Sinaga S.Kep, MKM selaku Dekan Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan

Universitas Sari Mutiara Indonesia dan Ibu Apt. Dra. Modesta Tarigan, M.Si selaku

Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan Ilmu

Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu apt. Yunita Suffiana,

M.Sc, selaku pembimbing di RSUD Zainoel Abidin, Ibu apt. Ika Fitri Ramadhana,

S.Farm, Ibu apt. Fitri yani, S.Farm., M.Clin Pharm, Ibu apt. Azizah Vonna, M.

Pharm, Sci., Ibu apt. Rita Novika. S.Farm, Ibu apt. zahraturriaz, S.Farm dan Ibu

apt. Yossy Cinthya Eriwati Silalahi, S.Farm, M.Si selaku Pembimbing Praktik

Kerja Profesi Apoteker yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran

dan tanggung jawab hingga selesainya penulisan laporan ini.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak

dr Isra Firmansyah, Sp. A (K), Ph. D sebagai Direktur RSUD dr. Zainoel Abidin

Banda Aceh yang telah memberikan fasilitas untuk melaksanakan PKPA, dan juga

seluruh Apoteker, Asisten Apoteker, Staf Instalasi Farmasi, Dokter serta Perawat

yang telah banyak membantu penulis selama melakukan Praktik Kerja Profesi di

ii
RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh. Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima

kasih kepada orang tua yang selalu memberikan dukungan moril maupun materil

serta selalu mendoakan yang terbaik selama melaksanakan praktik kerja profesi

yang di RSUD Zainoel Abidin Banda Aceh. Penulis berharap semoga laporan

Praktik Kerja Profesi ini dapat menambah ilmu pengetahuan di bidang farmasi,

khususnya farmasi rumah sakit dan dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Banda Aceh, Januari 2022

Penulis

Putri Wahyuningsih

210312036

iii
DAFTAR ISI

JUDUL .................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................................1
1.2Tujuan ..........................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 5
2.1Definisi..................................................................................................5
2.2Etiologi.........................................................................................................6
2.3Patofisiologi.................................................................................................8
2.4. Penatalaksanaan Terapi ...........................................................................9
BAB III IMMUNE TROMBOSITOPENIC PURPURA (ITP) + EPISTAKSIS +
HIPERTERMI......................................................................................... 16
3.1Identitas Pasien .................................................................................. 16
3.2Subjektif .....................................................................................................17
3.3Objektif ......................................................................................................17
3.4Asessment dan Plan ..................................................................................23
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................... 23
4.1Kondisi Umum Pasien..............................................................................23
4.2Asuhan Kefarmasian ................................................................................23
BAB V KESIMPULAN ....................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 36

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tanda-Tanda Vital Pasien .....................................................................18

Tabel 3.2 Hasil Laboratorium ...............................................................................18

Tabel 3.3 Terapi Farmakologi Pasien....................................................................19

Tabel 3.4 Assesment dan plan .............................................................................. 20

Tabel 4.1 Pemantauan terapi obat terkait tepat pasien, tepat indikasi, tepat obat,
tepat dosis, tepat rute pemberian dan tepat frekuensi ........................... 24

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut undang-undang Republik Indonesia No. 72 tahun 2016 tentang

Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Rumah Sakit merupakan institusi

pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan

secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat

darurat. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung

jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan mencapai hasil

yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Bagian yang melaksanakan

pelayanan farmasi rumah sakit adalah Instalasi Farmasi,Rumah Sakit. Instalasi

Farmasi Rumah sakit (IFRS) adalah unit pelaksana fungsional yang

menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.

Instalasi Farmasi yang dimaksud dipimpin oleh seorang Apoteker sebagai

penanggung jawab. Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak ukur yang

dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan

pelayanan kefarmasian. Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi

standar pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis

Pakai serta Pelayanan Farmasi Klinik. (Permenkes RI No. 72, 2016)

Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan

Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan

meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan

1
keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life)

terjamin (Permenkes, 2016).

Salah satu Pelayanan Farmasi Klinik di Rumah Sakit yaitu Pemantauan

Terapi Obat (PTO). Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang

mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional

bagi pasien. Kegiatan tersebut mencakup: pengkajian pilihan obat, dosis, cara

pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) dan

rekomendasi perubahan atau alternatif terapi. Pemantauan terapi obat harus

dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada periode

tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui (Depkes, 2009).

ITP adalah akronim immune thrombocytopenia, menggantikan terminologi

sebelumnya yaitu idiopathic thrombocytopenic purpura. Terminologi idiopathic

tidak lagi digunakan karena penyebab ITP sudah diketahui yaitu karena disregulasi

sistem imun dan sekitar sepertiga pasien yang baru terdiagnosis ITP tidak

menunjukkan gejala perdarahan hanya karena trombosit rendah (Frederiksen,

2014).

Purpura trombositopenik imunn (PTI) atau lebih dikenal sebagai immune

thrombocytopenic purpura (ITP) merupakan salah satu penyebab trombositopenia

yang cukup sering pada anak. Pada anak dan remaja, Insiden ITP sebesar 0,2-0,7

kasus baru per 10.000 per tahun dengann prevalensi 0,4-0,5 per 10.0002 (Terrel,

2010). Pervalensi ini lebih rendah dibandingkan dewasa karena ITP pada anak

2
jarang sekali menjadi kronik (Weide, 2016). Di amerika Serikat prevalensi ITP pada

anak sebesar 50/1.000.000 per tahun dengan insiden keseluruhan 3-4/100.00

penduduk. Anak laki-laki lebih sering dibandingkan perempuan (Silverman, 2015).

Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang

hampir 90% dapat berhenti sendiri. Epistaksis dapat terjadi pada segala umur,

terutama terjadi pada anak-anak dan usia lanjut. Prevalensi epistaksis meningkat

pada anak-anak usia dibawah 10 tahun dan meningkat kembali di usia 35 tahun ke

atas. Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% manusia selama hidupnya dan 6%

dari mereka mencari penanganan medis (Husni, 2019).

Hipertermi adalah peningkatan suhu tubuh yang berhubungan dengan

ketidakmampuan tubuh untuk menghilangkan panas atau pun mengurangi produksi

panas. Suhu rektal >37,5℃ dan suhu aksila>37,5℃ (Perry 2013).

Pada kesempatan ini, akan dibahas pemantauan terapi obat pada pasien

dengan diagnose Immune Trombositopenic Purpura (ITP), Epistaksis, dan

Hipertermi. Mengingat begitu banyak permasalahan terapi yang muncul pada

pediatri, maka diperlukan pelayanan farmasi klinik RSUD dr. Zainoel Abidin

Banda Aceh pada pasien dengan diagnosa ITP, Epistaksis, dan Hipertermi.

1.2 Tujuan

Tujuan diadakannya Praktek Kerja Profesi Apoteker di rumah sakit ini

adalah sebagai berikut :

3
1. Mengetahui peran, fungsi, dan tanggung jawab Apoteker dalam pelayanan

kefarmasian di rumah sakit.

2. Mengetahui pelayanan farmasi klinik di rumah sakit.

3. Meningkatkan interaksi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya


4. Mampu memahami dan mempraktekkan konsep Pharmaceutical Care dalam
pelayanan kepada pasien.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

ITP adalah singkatan dari Immune Thrombocytopenic Purpura Istilah ITP

juga merupakan singkatan dari Immune Thrombocytopenic Purpura. Immune

thrombocytopenic purpura (ITP) adalah gangguan perdarahan di mana sistem

kekebalan tubuh menghancurkan trombosit asli. Fungsi utama trombosit berperan

dalam proses pembekuan darah, bila terdapat luka trombosit akan berkumpul ke

tempat luka kemudian memicu pembuluh darah untuk mengkerut atau agar tidak

banyak darah yang keluar. Dalam kondisi ini merupakan autoantibodi dihasilkan

terhadap antigen trombosit. ITP mempengaruhi perempuan lebih sering daripada

pria dan lebih sering terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa (Sheema, 2017).

Epistaksis berasal dari istilah yunani epistazein yang berarti perdarahan dari

hidung. Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari vestibulum nasi,

kavum nasi atau nasofaring (Husni, 2019).

Hipertermi adalah peningkatan suhu tubuh yang berhubungan dengan

ketidakmampuan tubuh untuk menghilangkan panas atau pun mengurangi produksi

panas. Suhu rektal >37,5℃ dan suhu aksila>37,5℃ (Perry 2013).

5
2.2 Etiologi

2.2.1 ITP (immune Thrombsitopenic Purpura)

Menurut Nurarif & Kusuma (2015), penyebab ITP yang pasti belum

diketahui, tetapi dikemukakan berbagai kemungkinan diantaranya ialah :

a. Trombositopenia (Jumlah trombosit dapat sedikit atau sangat menurun, bila

kurang dari 20.000 bahkan mencapai 0)

b. Infeksi virus (demam berdarah, morbili, varisela, rubela, dll)

c. Bahan kimia

d. Pengaruh fisis (radiasi, panas)

e. Kekurangan faktor pematangan (misalnya malnutrisi)

f. Mekanisme imun yang menghancurkan trombosit

Obat-obat yang dapat menyebabkan trombositopeni adalah (Papadakis, 2020) :

- Obat kemoterapi

- Obat antiplatelet

- Antimikroba (penicillin, isoniazid, rifampisin, vancomicyn, sulfonamid,

adefovir, idinafir, ritonavir, fluconazole, linezolid)

- Obat kardiovaskular (digoxin, amiodaron, captopril, hidroklorotiazid,

procainamide, atorvastatin, simvastatin)

- Obat gastrointestinal (cimetidine, ranitidine, famotidine)

6
- Obat neuropsikiatric (haloperidol, carbamazepine, methyldopa, phenytoin)

- Analgetic (paracetamol, ibuprofen, sulindac, diclofenac, naproxen)

- Antikoagulan (heparin)

- Immunomodulator (interferon-alpha gold, rituximab)

- Immunosupresanrt (mycophenolate mofetil, tacrolimus)

2.2.2 Epistaksis

Penyebab epistaksis dapat berupa penyebab lokal maupun sistemik.

Penyebab lokal termasuk epistaksis idiopatik, trauma, inflamasi, neoplasia,

vaskular, iatrogenik, kelainan struktural, dan obat-obatan seperti semprot hidung.

Penyebab sistemik berupa kelainan hematologi, lingkungan (temperatur,

kelembaban dan ketinggian), obat-obatan (contoh antikoagulan), gagal organ

(uremia dan gagal hati), serta penyebab lain misalnya hipertensi (Lubis, 2007).

2.2.3 Hipertermi

Hipertermia dapat disebabkan oleh virus dan mikroba. Mikroba serta

produknya berasal dari luar tubuh adalah bersifat pirogen eksogen yang

merangsang sel makrofag, lekosit dan sel lain untuk membentuk pirogen endogen.

Pirogen seperti bakteri dan virus menyebabkan peningkatan suhu tubuh (Widagdo,

2012).

7
2.3 Patofisiologi

2.3.1 ITP (immune Thrombositopenic Purpura)

Kini diketahui bahwa pada kasus ITP kronik ditemukan antibodi yang

menyerang kompleks glikoprotein trombosit αIIb-β dan GPIb. Setelah berikatan

dengan antibodi pada permukaan trombosit dikenali oleh reseptor Fc pada

makrofag di limpa kemudian diingesti dan dihancurkan. Patofisiologi ITP

melibatkan 2 mekanisme penurunan produksi dan peningkatan destruksi (Raj,

2017).

2.3.2 Epistaksis

Epistaksis berasal dari istilah yunani epistazein yang berarti perdarahan dari

hidung. Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari vestibulum nasi,

kavum nasi atau nasofaring. Epistaksis anterior paling sering terjadi daerah septum

anterior bagian kartilagenus, pada bagian ini terdapat anastomosis dari arteri

sfenopalatina, palatina mayor, etmoidalis anterior, dan labialis superior (cabang

dari arteri fasialis), membentuk plexus Kiesselbach atau Little’s area.

Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:

epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Epistaksis anterior merupakan jenis

epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan biasanya dapat

berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach

(little’s area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian

anterior tepat di ujung posterosuperior vestibulum nasi. Epistaksis posterior dapat

berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior. Pendarahan biasanya

8
hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan

hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler.

2.3.3 Hipertermia

Perubahan pengaturan homeostatis suhu normal oleh hipotalamus dapat

diakibatkan dari infeksi bakteri, virus, tumor, trauma, dan sindrom malignan dan

lain-lain bersifat pirogen eksogen yang merangsang sel makrofag, lekosit dan sel

lain untuk membentuk pirogen endogen. Pirogen seperti bakteri dan virus

menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Saat bakteri dan virus tersebut masuk ke

dalam tubuh, pirogen bekerja sebagai antigen akan mempengaruhi sistem imun.

Saat substansi ini masuk ke sirkulasi dan mengadakan interaksi dengan

reseptor dari neuron preoptik di hipotalamus anterior, dan menyebabkan

terbentuknya prostaglandin E2. IL-2 yang bertindak sebagai mediator dari respon

demam, dan berefek pada neuron di hipotalamus dalam pengaturan kembali

(penyesuaian) dari thermostatic set point. Akibat demam oleh sebab apapun maka

tubuh membentuk respon berupa pirogen endogen termasuk IL- 1, IL-6, tumor

necrotizing factor (TNF) (widagdo, 2012).

2.4. Penatalaksanaan Terapi

2.4.1 Terapi Non Farmakologi

a. ITP (immune Trombositopenic Purpura)

1. Mencegah dan mengatasi perdarahan. Trauma dihindarkan dengan istirahat

dan pembatasan aktivitas

9
2. Menghindari penggunaan preparat yang dapat mengganggu fungsi

trombosit ( aspirin dan sejenisnya )

3. Makanan gizi seimbang ( dimulai makanan lunak ) (Roland, 2017)

b. Epistaksis

Menurut Kindersley (2009), pertolongan pertama yang dapat dilakukan

pada epistaksis adalah :

1. Condongkan tubuh ke depan, bernafas melalui mulut. Pencet hidung

selama 10 menit, kemudian lepaskan.

2. Ludahkan cairan berlebihan yang ada di mulut. Jika pendarahan belum

berhenti, pencet Kembali hidung selama 10 menit, lalu lepaskan, jika masih

berdarah pencet lagi.

3. Setelah pendarahan berhenti, gunakan kapas yang telah direndam air suam-

suam kuku untuh membersihkan wajah, istirahat dan tidak meniup hidung,

menggosok dan mengorek hidung.

c. Hipertermi

Tindakan non farmakologis tersebut seperti menyuruh anak untuk banyak

minum air putih, istirahat. Penatalaksanaan lainnya anak dengan demam adalah

dengan menempatkan anak dalam ruangan bersuhu normal dan mengusahakan agar

pakaian anak tidak tebal (Setiawati 2009).

10
2.4.2 Terapi Farmakologi

a. ITP (immune Trombositopenic Purpura)

1. Kortikosteroid

Kortikosteroid sebagai terapi lini pertama. Kortikosteroid merupakan

imunosupresan yang menghambat pembentuan autoantibodi trombosit serta

mensupresi fungsi fagositosis sistem retikuloendotelial, sehingga mengurangi

penghancuran trombosit. KortikosteroJd digunakan sebagai lini pertama karena

murah, mudah digunakan dan memiliki efikasi baik. Biasanya digunakan untuk

jangka pendek sebab penggunaan jangka panjang berisiko efek samping signifikan

seperti peningkatan berat badan, diabetes, osteoporosis, katarak, dan hipertensi.

Deksametason, prednison ataupun metilprednisolon memiliki efikasi serupa (ASH,

2019).

Dosis prednison atau prednisolon adalah 1-4 mg/kg/hari. Metilprednisolon

diberikan secara Jntravena dengan dosis 30 mg/kg/hari maksimal 1000 mg.

Deksametason dapat diberikan 0,7 mg/kg/hari maksimal 40 mg/hari. Rata-rata

kortikosteroid diberikan selama 2 hingga 3 minggu kemuduan tapering off

(matzdorf, 2018).

b. Trombosit konsentrat (thrombocyte concentrate/TC)

Tansfusi trombosit dapat meningkatkan jumlah trombosit dalam waktu

singkat dan menghentikan perdarahan jika diberikan bersamaan dengan steroid atau

imunoglobilin G intravena (IGIV). Biasanya pasien membutuhkan tranafusi TC

11
sebanyak 1-2 unit untuk mencapai hemostasis. Tidak ada patokan resmi jumlah

trombosit yang menjadi indikasi transfusi trombosit konsentrat. Pemberian TC

mempertimbangkan keadaan klinis terutama manifestasi perdarahan serta risiko

perdarahan.

c. Imunoglobulin G Intravena (IGIV)

Imunoglobulin G intravena (IGIV) mengandung kumpulan plasma globulin

dari > 1000 pendonor. IGIV menghambat fagositosis trombosit yang terselubungi

antibody, dan biasanya meningkatkan jumlah trombosit secara cepat namun dengan

durasi umur trombosit yang lebih singkat dari usia fisiologis. IGIV tidak

memberikan remisi permanen jumlah trombosit akan turun kembalu detelah 2-4

minggu. Terapi IGIV diberikan pada keadaan darurat saat dperlukan peningkatan

cepat jumlah trombosit atau sebagai terapi tambahan pada keadaan kortikosteroid

tidak mampi memberikan efek terapi (Matzdorf, 2018)).

d. Terapi lini kedua

Pada anak-anak dengan ITP yang berlangsung 3 bulan dengan perdarahan

mukosa dan/atau penurunan kualitas hidup terkait Kesehatan yang tidak

mengancam jiwa dan tidak menanggapi pengobatan lini pertama, pedoman ASH

menyarankan opsi berikut untuk terapi lini kedua yang:

1. Agonis reseptor trombopoietin (eltrombopag atau romiplostim)

2. Rituximab

12
3. Splenektomi

b. Epitaksis

1. Penekanan Langsung Pada Hidung

Penanganan pertama dimulai dengan penekanan langsung Hidung kiri dan

kanan bersamaan selama 5 – 30 menit. Setiap 5 – 10 menit sekali dievaluasi apakah

perdarahan telah terkontrol atau belum. Penderita sebaiknya tetap tegak namun

tidak hiperekstensi untuk menghindari darah mengalir ke faring yang dapat

mengakibatkan aspirasi.

2. Kauterisasi

Perdarahan yang berasal dari plexus Kiesselbach dapat ditangani dengan

kauteriasi kimia Perak Nitrat 30%, Asam Triklorasetat 30%, atau Polikresulen pada

pembuluh darah yang mengalami perdarahan selama 2 – 3 detik. Kauterisasi tidak

dilakukan pada kedua septum karena dapat menimbulkan perforasi. Prosedur

elektrokauterisasi juga dapat dilakukan. Metode ini dilakukan pada perdarahan

yang lebih masif yang kemungkinan berasal dari daerah posterior, dan kadang

memerlukan anestesi lokal. Terdapat dua macam mekanisme elektrokauter, yaitu

monopolar dan bipolar.

3. Tampon Hidung

Tampon hidung dapat digunakan untuk menangani epistaksis yang tidak

responsif terhadap kauterisasi. Terdapat dua tipe tampon, tampon anterior dan

13
tampon posterior. Pada keduanya, dibutuhkan anestesi dan vasokonstriksi yang

adekuat.

Tampon Anterior, Untuk tampon anterior dapat digunakan tampon

Boorzalf atau tampon sinonasal atau tampon pita (ukuran 1,2 cm x 180 cm), yaitu

tampon yang dibuat dari kassa gulung yang diberikan vaselin putih (petrolatum)

dan asam borat 10%, atau dapat menggunakan salep antibiotik, misalnya

Oksitetrasiklin 1%, tampon ini merupakan tampon tradisional yang sering

digunakan. Bahan lain yang dapat dipakai adalah campuran bismuth subnitrat 20%

dan pasta parafin iodoform 40%, pasta tersebut dicairkan dan diberikan secara

merata pada tampon sinonasal / pita, tampon ini dapat dipakai untuk membantu

menghentikan epistaksis yang hebat. Pasang dengan menggunakan spekulum

hidung dan pinset bayonet, yang diatur secara bersusun dari inferior ke superior dan

seposterior mungkin untuk memberikan tekanan yang adekuat. Apabila tampon

menggunakan boorzalf atau salep antibiotik harus dilepas dalam 2 hari, sedangkan

apabila menggunakan bismuth dan pasta parafin iodoform dapat dipertahankan

sampai 4 hari. Epistaksis yang tidak terkontrol menggunakan tampon rongga

hidung anterior dapat ditambahkan tampon posterior. Secara tradisional,

menggunakan tampon yang digulung, dikenal sebagai tampon Bellocq. Apabila

melakukan pemasangan tampon posterior, maka tampon anterior seyogyanya tetap

dipasang. Antibiotik intravena tetap diberikan untuk mencegah rinosinusitis dan

syok septik.

14
4. Ligasi Arteri

Pemilihan pembuluh darah yang akan diligasi bergantung pada lokasi

epistaksis. Secara umum, semakin dekat ligasi ke lokasi perdarahan, maka kontrol

perdarahan semakin efektif. Pembuluh darah yang dipilih antara lain : arteri karotis

eksterna, arteri maksila interna atau arteri etmoidalis.

5. Embolisasi

Perdarahan yang berasal dari sistem arteri karotis eksterna dapat

diembolisasi. Dilakukan angiografi preembolisasi untuk mengevaluasi sistem arteri

karotis eksterna dan arteri karotis interna. Embolisasi dilakukan pada arteri

maxilaris interna dan externa. Angiografi postembolisasi dapat digunakan untuk

menilai tingkat oklusi (Husni, 2019).

c. Hipertermi

Tindakan menurunkan suhu mencakup intervennsi farmakologik yaitu

dengan pemberian antipiretik. Obat yang umum digunakan untuk menurunkan

demam dengan berbagai penyebab (infeksi, inflamasi dan neoplasama) adalah obat

antipiretik. Antipiretik ini bekerja dengan mempengaruhi termoregulator pada

sistem saraf pusat (SSP) dan dengan menghambat kerja prostaglandin secara perifer

(Hartini, 2012).

15
BAB III

IMMUNE TROMBOSITOPENIC PURPURA (ITP) + EPISTAKSIS +

HIPERTERMI

3.1 Identitas Pasien

- Nama : R

- Jenis Kelamin : Laki-Laki

- Usia/Tanggal Lahir : 2 Tahun 8 bulan/ 30 April 2019

- Alamat : Blang kejeren, Gayo Lues

- No CM : 12xxxxx

- Berat Badan : 13 kg

- Tinggi Badan : 91 cm

- Diagnosa : ITP + Epistaksis + Hipertermi

- Tanggal Masuk : 25 Januari 2022

- Tanggal Keluar : 03 Februari 2022

- Riwayat Penyakit pasien :

Tidak Ada

- Riwayat Perjalanan Penyakit Pasien Sebelum Masuk Rumah Sakit

Pasien rujukan RS Ali Hasyim gayo lues dengan diagnose susp ITP et causa

different diagnose pansitopenia, datang dengan keluhan mimisan terus menerus

sejak kemarin pukul 10.00 WIB. Pasien sebelumnya dengan Riwayat mimisan 4

bulan yang lalu post trauma. Pasien Riwayat demam sejak 3 hari yang lalu. Pasien

16
juga dengan keluhan pilek 3 hari yang lalu, dan muntah berisi darah kehitaman dan

kental.

- Riwayat Penggunaan Obat

1. Drip paracetamol 140 mg

2. Metamizole 150 mg IV

3. Transamin 125 mg IV

4. Vit k tiap 8 jam

5. Tampon Adrenalin

3.2 Subjektif

Demam Naik Turun dan Sulit BAB

3.3 Objektif

3.3.1 Diagnosa Awal

Sangkaan ITP

3.3.2 Diagnosa Akhir

Bisitopenia et causa different diagnose keganasan dan autoimun

17
3.3.3 Tanda – Tanda Vital Pasien

Tabel 3.1 Tanda-tanda Vital Pasien

Range Tanggal

No Parameter Normal
25/1/22 26/1/22 27/1/22 28/1/22 29/1/22 30/1/22 31/1/22 1/2/22 2/2/22 3/2/22

1 Nadi (/menit) 70-120 147 104 103 90 88 112 88 88 90 90

2 Respiratory
24-40 23 28 58 24 20 26 20 20 26 24
rate (/menit)

3 Suhu tubuh 36,5-


38,4 36,9 38 37 37 36,8 37 36,8 36,8 36,8
(ºC) 37,5

3.3.4 Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Laboratorium

18
Tanggal
Parameter Nilai Normal
25/1/22 26/1/22 27/1/22

Hemoglobin 12,0 – 14,5 g/dL 4,8 6,7 12,3

Hematokrit 45-55 % 13 19 34

Eritrosit 4,7 – 6,1 106/mm3 1,7 2,4 4,3

Trombosit 150 – 450 103/mm3 1 12 41

Leukosit 4,5 – 10,5 103/mm3 5,1 6,6 8,4

Eusinofil 0-6% 0

Basofil 0-2% 0

Netrofil Batang 2-6% 0

19
Netrofil Segmen 50-70% 78

Limfosit 20-40% 17

Monosit 20-8% 5

Retikulosit 0,5 – 1,5 0,8

MCV 80-100 fL 76 79 79

MCH 27-31 pg 28 28 29

MCHC 32 – 36 % 37 35 36

RDW 11,5 – 14,5 % 13,5 14,6 14,0

LED <15 mm/jam 7

Albumin 3,5 – 5,2 g/dL 2,70

20
Ferritin 10 – 210 mg/dL 1047,00

Ureum 14,3 – 43 mg/dL 29

Kreatinin 0,67 – 14,6 mg/dL 0,30

Keterangan :

: Nilai dibawah nilai normal

: Nilai diatas nilai normal

3.3.5 Terapi Farmakologi

Tabel 3.3 Terapi Farmakologi Pasien

Tanggal
Rute
Nama Obat Dosis Frekuensi
pemberian 25/1 26/1 27/1 28/1 29/1 30/1 31/1 1/2 2/2 3/2

21
Ceftriaxone 650 mg /12 jam iv √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Omeprazole 15 mg /12 jam iv √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Metyl Prednisolone 4 mg /8 jam po √ stop

Prn (max 975


paracetamol 150 mg iv √ √
mg)

Furosemide 5 mg Pre transfusi iv √ √

√ √ √ √ √ √ √
Asam traneksamat 130 mg /8 jam iv

Metyl prednisolon 25 mg /8 jam iv √ √ √ stop

Lasix 10 ml /12 jam iv √ √ √ stop

Diphenhidramin 10 mg Pre med iv √

Dexametason 5 mg Pre med iv √

22
Cetirizine 2,5 ml / 12 jam po √ √ √ √ √ √ √ √

Dulcolax supp 5 mg extra supp √

Nystatin drop 0,5 cc /4 jam po √ √ √

Zink syr 5 ml / 24 jam po √ √

3.4 Asessment dan Plan

Tabel 3.4 Asessment dan plan

Tanggal Subjektif (S) Objektif (O) Assessment (A) Plan (P)

Hari Ke- Keadaan Pasien Data Masalah Terkait Obat Rencana Tindak Lanjut

23
Methyl prednisolone Dosis methyl prednisolone Mengevaluasi penyesuaian

25/01/2022 Mimisan 25 mg/24 jam kurang (underdose) dosis 30mg/kgBB/hari

(DIH,2017)

S1: Tidak Nafsu Makan O1 : Omeprazole 15 A1 : Dosis omeprazole yang P1 : Disarankan untuk

mg/ 12 jam diberikan berlebih menyesuaikan dosis

menjadi 10mg/24 jam

(DIH, 2017)

P2 : Disarankan untuk
O2 : Suhu tubuh : 36,8 A2 : Dosis maksimal
26/01/2022 S2 : Demam naik turun evaluasi maksimal
- 37ºC penggunaan
pemakaian paracetamol
paracetamol perhari
yaitu 75mg/kgBB
tidak tertera
Terapi : sebanyak 975 mg

(DIH, 2017)

22
Paracetamol 150 mg

Sprn

Ferritin = 1047,00 Kelebihan zat besi belum Disarankan penambahan zat

mg/dL diatasi kelasi besi seperti


Lemas
desferoxamine
27/01/2022

(ACG, 2019)

S1 : Sulit BAB O1 : Belum Bab sejak A1 : Konstipasi belum P1 : Disarankan untuk

4 hari teratasi penambahan golongan

osmotic laxative seperti

laktulosa sirup
1/02/2022

(Subijanto, 2016)

23
Monitoring frekuensi

BAB

P2 : Disarankan untuk
S2 : Demam naik turun O2 : Suhu Tubuh A2 : Pemakaian
evaluasi pemakaian
36,8ºC-37,5ºC antibiotik untuk
antibiotic
ITP kurang tepat
Leukosit 6,6

103/mm3

Terapi :

Ceftriaxone 650

mg/ 12 jam

24
Terapi zink syr 5ml/24 Tidak ada masalah terkait Lanjutkan terapi

jam po terapi

2 s/d 3/2/2022 Diare

25
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Umum Pasien

Pasien R masuk ke RSUD dr. Zainoel Abidin pada tanggal 25 Januari 2022

dengan rujukan dari RS Ali Kasim Gayo Lues. Pasien datang dengan keluhan

mimisan terus menerus sejak kemarin pukul 10.00 WIB. Pasien sebelumnya juga

dengan riwayat mimisan 4 bulan yang lalu post trauma, BAB hitam 2 hari yang

lalu. Pasien Riwayat demam sejak 3 hari yang lalu, pasien juga dengan keluhan

pilek 3 hari yang lalu, apsien juga muntah berisi darah kehitaman dan kental. Sejak

1 hari ini tidak mau makan, Riwayat memar ekstremitas sejak 1 hari yg lalu.

4.2 Asuhan Kefarmasian

4.2.1 Rekonsiliasi Obat

Rekonsiliasi yang dilakukan yaitu menanyakan Riwayat penyakit yang

diderita pasien. Pasien sebelumnya mimisan post trauma 4 bulan yang lalu

sebanyak 1 kali ± 1 aqua gelas. Riwayat pemakaian obat di RS sebelumnya yaitu

paracetamol drip 140 mg, metamizole 150 mg iv, trasamin 125 mg iv, vitamin K

tiap 8 jam dan sudah dilakukan tampon adrenalin.

4.2.2 Visite

Dari pantauan selama visit di dapatkan bahwa kondisi pasien :

1. Hari pertama : pasien masih demam naik turun dan mimisan 2 kali

23
2. Hari kedua : pasien masih demam naik turun dan lemas

3. Hari ketiga : pasien masih demam naik turun, lemas, batuk dan

pilek

4. Hari keempat : pasien masih demam naik turun, lemas, batuk pilek,

dan tidak bisa bab, juga sariawan

5. Hari kelima : pasien masih demam, lemas, sudah bisa BAB

setelah diberikan dulcolac supp extra dengan BAB

hitam.

6. Hari keenam : pasien masih demam naik turun, lemas dan juga sulit

BAB, mengedukasi ibu pasien untuk

memperbanyak makanan kaya serat seperti buah-

buahan seperti papaya.

7. Hari ketujuh : demam masih naik turun, lemas dan juga sulit BAB

8. Hari kedelapan : demam sudah teratasi, pasien masih mengeluhkan

pilek, dan sulit BAB

9. Hari kesembilan : pasien masih pilek dan BAB sering konsistensi

biasa, sudah diberikan zink sirup

10. Hari kesepuluh : Kondisi dalam perbaikan, hipertermia teratasi,

epistaksis teratasi, konstipasi teratasi, pasien BAB

sering konsistensi biasa atau tidak cair, pasien

rencana pulang hari ini sambil menunggu hasil

pemeriksaan imunofenotiping.

24
4.2.3 Pemantauan Terapi Obat

Pemantauan terapi dilakukan yaitu setiap hari memeriksa loker obat pasien untuk melihat masih adakah obat yang

tertinggal atau obat yang belum diberikan untuk pasien. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan pasien menerima terapi sesuai

yang dibutuhkan. Dari hasil pemantauan terhadap loker tidak ditemukan kesalahan atau tidak adanya obat yang tertinggal, hal itu

menandakan bahwa pasien sudah menerima obatnya sesuai waktu pemberiannya.

Tabel 4.1 Pemantauan terapi obat terkait tepat pasien, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat rute pemberian dan tepat

frekuensi

No Nama Obat,
Dosis Menurut Tepat Tepat Tepat Tepat Tepat Tepat
Kekuatan, Bentuk Indikasi
literatur Pasien Indikasi Obat Dosis Rute Frekuensi
Sediaan

1 Ceftriaxone 650 Antibiotik 50-100 mg/kg/hari

mg iv IV dosis terbagi 12 √ √ √ √ √ √

jam

25
2 Omeprazol 40 mg Omeprazole digunakan untuk mengobati gejala 10 mg tiap 24 jam

iv penyakit gastroesophageal reflux (GERD) dan (DIH, 2017)

kondisi lain yang disebabkan oleh kelebihan √ √ √ √ √

asam lambung

(drugs.com)

3 imunosupresan yang menghambat pembentukan


0.117-1.66
Metyl autoantibodi trombosit serta mensupresi fungsi
mg/kg/hari dosis
prednisolone 4 √ √ √ √ √
fagositosis sistem retikuloendotelial sehingga
terbagi 6-8 jam
mg po mengurangi penghancuran trombosit.
(Medscape)
(matzdorff, 2018)

4 Paracetamol 150 Antipiretik 12,5 mg/kg tiap 4

mg iv jam atau 5 mg/kg


√ √ √ √ √ √
tiap 6 jam, max

single dose 15

26
mg/kg tidak lebih

dari 750 mg

(DIH, 2017)

5 Furosemide pre Furosemide adalah diuretik loop yang 0,5 – 2 mg/kg/dosis

transfuse 5 mg iv mencegah tubuh menyerap terlalu banyak tiap 6-12 jam,

garam maksimal dosis √ √ √ √ √ √

6mg/kg/dosis
(Drugs.com)
(lexicomp)

6 Asam traneksamat Asam traneksamat mencegah enzim dalam tubuh


10 – 15 mg/kg tiap
130 mg iv memecah gumpalan darah
8 jam √
√ √ √ √ √
(drugs.com)
(frank shan, 2017)

27
7 Metyl imunosupresan yang menghambat pembentukan metylprednisolon

prednisolone 25 autoantibodi trombosit serta mensupresi fungsi diberikan secara

fagositosis sistem retikuloendotelial sehingga intravena dengan


mg iv
√ √ √ √ √
mengurangi penghancuran trombosit. dosis 30 mg/kgBB/

hari maksimal 1000


(matzdorff, 2018)
mg

(matzdorff, 2018)

8 Lasix 10 mg iv Furosemide adalah diuretik loop yang 0,5 – 2 mg/kg/dosis

mencegah tubuh menyerap terlalu banyak tiap 6-12 jam,

maksimal dosis √ √ √ √ √ √
garam
6mg/kg/dosis
(Drugs.com)
(lexicomp)

9 Diphenhidramin Diphenhydramine adalah antihistamin yang 5 mg/kg/hari dalam


√ √ √ √ √
pre med 10 mg iv mengurangi efek histamin kimia alami dalam tubuh dosis terbagi 6-8

28
(Drugs.com) jam, tidak lebih dari

300mg/hari

(DIH, 2017)

10 Dexametasone Deksametason adalah kortikosteroid yang 0,08 – 0,3

pre med 5 mg iv mencegah pelepasan zat dalam tubuh yang mg/kg/hari dosis
√ √ √ √ √
menyebabkan peradangan
terbagi 6-12 jam

(Drugs.com) (DIH, 2017)

11 Cetirizine 2,5 ml Cetirizine adalah antihistamin generasi kedua yang 2,5 mg per hari

po mengurangi histamin kimia alami dalam tubuh dapat ditingkatkan

(Drugs.com) 2,5 mg tiap 12 jam,


√ √ √ √ √ √
maksimal 5 mg per

hari

(DIH, 2017)

29
12 Dulcolax supp 5 Bisacodyl adalah pencahar yang merangsang 5 mg dosis tunggal
(DIH, 2017)
mg extra pergerakan usus √
√ √ √ √ √

(Drugs.com)

13 Nystatin drop 0,5 Antifungi 400,000-600,000 unit

cc po tiap 4 jam

(DIH, 2017)

√ √ √ √ √

14 Zink syr 5 ml po Zinc sulphate adalah suplemen untuk mencegah 10-20mg daily oral

√ √ √ √ √ √
atau mengatasi kekurangan (defisiensi) zinc atau
(frank shan, 2017)

30
seng. Selain itu, suplemen mineral ini juga

digunakan dalam pengobatan diare akut

31
5.1 Drug Related Problem (DRP)

5.1.1 Pengkajian Tepat Pasien

Upaya yang dilakukan yaitu dengan menyesuaikan nama, tanggal

lahir dan No. CM yang tertulis diresep dengan yang di gelang pasien, status

pasien, kartu catatan obat, daftar instruksi medis farmakologi, serta

menyesuaikan juga nama pasien yang ada pada etiket obat. Dari pengkajian

yang dilakukan maka diketahui obat yang diberikan sudah tepat pasien.

5.1.2 Pengkajian Tepat Obat, Tepat Indikasi

Dari hasil pemantauan didapatkan bahwa tidak ada obat yang tidak

tepat indikasi. Ceftriaxone digunakan untuk pencegahan terhadap infeksi

dimana pasien dengan ITP memliki resiko tinggi untuk terserang infeksi

dikarenakan gangguan sistim imun, pasien juga mengalami mimisan dan

hipertermi. Penggunaan omeprazole sudah tepat indikasi dikarenakan efek

samping dari kortikosteroid dan juga asam traneksamat yaitu gangguan GI

(gastrointestinal). Paracetamol sudah tepat indikasi sebagai antipiretik atau

penurun demam dimana pasien mengalamin hipertermia. Pemakaian asam

traneksamat tepat indikasi dimana pasien mengalami pendarahan melalui

hidung (mimisan) dan juga muntah berisi darah. Penggunaan

methylprednisolone sudah tepat indikasi, kortikosteroid digunakan sebagai

terapi lini pertama sebagai immunosupresan pada pasien ITP. Cetirizine

sudah tepat indikasi, cetirizine diindikasikan sebagai antihistamin atau

antialergi dimana pasien mengalami pilek.

32
Dulcolax supp sudah tepat indikasi, Dulcolax supp diberikan extra

dikarenakan pasien mengeluh sulit BAB. Nystatin drop sudah tepat indikasi,

nystatin drop sebagai antifungi diberikan karena pasien mengalami

sariawan. Dan zink sirup juga sudah tepat indikasi, zink diberikan karena

pasien mengalami diare.

5.1.3 Pengkajian Tepat Dosis

Dari semua obat yang diterima pasien, terdapat obat yang tidak tepat

dosis dimana dosis yang diberikan tidak sesuai dengan dosis lazim menurut

literatur. Obat yang tidak tepat dosis yaitu omeprazol. Omeprazole

digunakan sebagai profilaksis untuk mencegah efek samping dari

methylprednisolone yang termasuk gologan kortikosteroid yaitu gangguan

saluran cerna. Dosis yang direkomendasikan yaitu 10 mg/24 jam tetapi dosis

yang diberikan untuk pasien yaitu 15mg/12 jam. Selanjutnya ada obat

methylprednisolone injeksi dimana dosis yang dianjurkan pada terapi ITP

pada anak yaitu 30mg/kg/hari tetapi dosis yang diberikan kepada pasien

25mg/24 jam.

5.1.4 Pengkajian Tepat Rute

Berdasarkan pemantauan terhadap pasien, diketahui pemberian obat

sudah tepat rute. Pemberian melalui oral seperti cetirizine sirup, zink sirup

dan nystatin drop, Pemberian secara suppositoria yaitu Dulcolax supp.

Pemberian secara intra vena yaitu omeprazole, methylprednisolone, dan

asam tranexamat. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari data rekam

33
medic dan catatan pemberian obat oleh perawat diketahui pemberian obat

sudah tepat cara pemberian.

5.1.3 Pengkajian Waspada Efek Samping

Efek samping yang harus diwaspadai yaitu moon face, penurunan

nafsu makan dan juga gangguan GI (Gastrointestinal). Selain itu, selama

masa perawatan di rumah sakit, pasien tidak mengeluhkan efek samping lain

terhadap penggunaan obat yang diberikan dan tidak ada gejala yang sangat

mengganggu pasien.

5.1.5 Pengkajian Drug Related Problems (DRPs) atau Masalah Terkait Obat

Menurut Cipolle, dkk. (1998), DRPs diklasifikasikan sebagai

berikut: indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi, obat yang salah, dosis yang

terlalu rendah (underdose), dosis yang terlalu tinggi (overdose), interaksi

obat dan masalah kepatuhan pasien. DRPs pada kasus pasien ini adalah

dosis kurang tepat untuk pemberian Omeprazole, dosis yang diberikan

kepada pasien adalah 15 mg tiap 12 jam sedangkan menurut Drugs

Information Handbook untuk pemakaian omeprazole pada anak 1-16 tahun

dengan berat badan 10 - <20 kg yaitu 10 mg perhari. Penggunaan

ceftriaxone yang kurang tepat untuk ITP. Kemudian di dapatkan juga pasien

mengalami konstipasi selama 4 hari dan belum diberikan terapi untuk

mengatasi konstipasinya. Belum adanya terapi untuk mengatasi kadar

Ferritin yang tinggi, dan Dosis Methylprednisolone yang underdose.

34
BAB V

KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh terhadap studi kasus yang dilakukan di RSUD dr.

Zainoel Abidin Banda Aceh adalah sebagai berikut:

a. Mahasiswa calon apoteker memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan

tentang terapi dan penatalaksanaan ITP dan juga epistaksis.

b. ITP yang terjadi tidak disebabkan oleh induksi obat-obatan. Obat-obatan yang

dapat menginduksi ITP yaitu Obat-obat kemoterapi, antiplatelet, antimikroba

(penisilin, isoniazid, rifampisin, fluconazole, dll), obat kardiovaskular

(digoxin, amiodarone, Captopril, dll), obat gastrointestinal (ranitidine,

cimetidine), obat neuropsikiatri (carbamazepine, haloperidol, dll), analgetik

(parasetamol, ibuprofen, diclofenac, dll), heparin, rituximab, dan

immunosupresant (mycophenolate mofetildan tacrolimus).

c. Telah dilakukan pemantauan terapi obat pada pasien yaitu terdapat perbaikan

kondisi pasien selama mendapatkan terapi pengobatan, seperti epistaksis

perbaikan, hipertermia teratasi, dan nilai trombosit meningkat.

d. Ditemukan Drug Related Problems (DRPs) terkait penggunaan obat, yaitu

dosis omeprazole yang berlebih, penggunaan ceftriaxone kurang tepat, dan

konstipasi yang belum teratasi, Belum adanya terapi untuk mengatasi kadar

Ferritin yang tinggi, dan Dosis Methylprednisolone yang underdose.

35
DAFTAR PUSTAKA

Neunert, et al (2019). Management of Immune Thrombocytopenia (ITP) a pocket


guide for the clinician. American Society of Hemathology

Cipolle, R.J., Strand, L.M., Morley, P.C. (1998). Pharmaceutical Care Practice.
73-83. McGraw Hill: New York

Depkes (2009). Pedoman Pemantauan Terapi Obat. Jakarta : Direktorat Bina


Farmasi Komunitas dan Klinik.

DIH (2017). Drug Information Handbook

Drugs.com. https://www.drugs.com/.

Frederiksen, H, Lund maegbaek M, Norgaard M (2014). Twenty-year Mortality of


Adult Patients With Primaryimmune Thrombocytopenia: a Danish Population-
Based Cohort Study. Br J Haematol.

Hartini (2012), aplikasi modelkonsevasi Myra E.Levine dalam asuhan keperawatan


pada Anak Demam di RSUP Dr.Cipto Mangunkusuma.

Husni, Teuku.,Zikral Hadi (2019). Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana


Epistaksis. Jurnal kedokteran nanggroe medica vol 2 no 2

Kindersley, Dorling (2009). Pertolongan Pertama untuk Bayi dan Anak. Jakarta :
Erlangga,

Kowdley, kris et al (2019). ACG Clinical Guideline: Hereditary Hemochromatosis.


The American Journal of GASTROENTEROLOGY

Lubis, bidasari., rina saragih (2007). Tata Laksana Epistaksis Berulang pada Anak.
Sari Pediatri, Vol. 9, No. 2

Matzdorff, et al (2018). Immune Thrombocytopenia – Current Diagnostics and


Therapy: Recommendations of a Joint Working Group of DGHO, ÖGHO,
SGH, GPOH, and DGTI

Medscape. 2021. https://www.medscape.com/.

Nicodemus (2019). Tatalaksana Pupura Trombositopenic Imun pada Anak. CDK-


279/ vol. 46 no

36
Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta:
MediAction

Papadakis, et al (2022). Current Medical Diagnosis & Treatment sixty - first


edition. New York : McGraw Hill

Permenkes RI. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tentang Standar


Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia

Raj AB (2017). Immune Thrombocitopenia: Pathogenesis and Treatment


Approaches. J Hematol Transfus

Roland, J. Healtline (2017). What is hyperthermia and how is it treated.

Setiawati (2009.). Ektivitas Kompres hangat dengan Tepid Water Sponge terhadap
Penurunan Demam pada Pasien yang mengalami Kejadian Demam di
Ruangan ICU RSUD Arjawinangun Kabupaten Cirebon.

Sheema, K., Ikramdin, U., Arshi, N., Farah, N., & Imran, S. (2017). Role of
Helicobacter pylori Eradication Therapy on Platelet Recovery in Chronic
Immune Thrombocytopenic Purpura. Gastroenterology Research and
Practice

Silverman MA (2015). Idiopathic Thrombocitopenic Purpura Epidemiology

Terrell DR, Beebe LA, Vesely SK, Neas BR, Segal JB, George JN (2010). The
Incidence of Jmmune thrombocitopenic purpura in children and adults: a
critical review of published reports. Am J Hematol

Weide R, Feiten S Friesenhahn V, Heymanns J, Kleboth K, Thomalla J et al (2016).


Outpatient management of patients with immune thrombocitopenia (ITP) by
hematologists 1995-2014. Oncol Res Treat

Widagdo (2012). Masalah dan Tatalaksana Penyakit Infeksi Pada Anak. Jakarta:
CV Sagung Seto.

37
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

PELAYANAN FARMASI KLINIS

PEMANTAUAN TERAPI OBAT (PTO) PADA PASIEN


CHOLANGIOCARCINOMA + STRESS ULCER +
PNEUMONIA CAP

DI RUMAH SAKIT dr. ZAINOEL ABIDIN – BANDA ACEH

PERIODE 13 DESEMBER 2021 – 18 FEBRUARI 2022

DISUSUN OLEH:

RAIHAN FATIA AMIRUDDIN, S.Farm


NIM: 210213037

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberi rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktik Kerja Profesi
Apoteker di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Shalawat beserta salam
semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad saw. kiblat dalam
perjalanan kita sebagai generasi penerusnya hingga akhir zaman.
Praktek Kerja Profesi Apoteker ini merupakan salah satu syarat dalam
mengikuti Program Studi Profesi Apoteker di Fakultas Farmasi dan Ilmu
Kesehatan Universitas Sari Mutiara Indonesia untuk memperoleh gelar Apoteker.
Terlaksananya Praktek Kerja Profesi Apoteker ini tidak terlepas dari bantuan
berbagai pihak.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Taruli Rohana Sinaga S.Kep, MKM
selaku Dekan Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan Universitas Sari Mutiara
Indonesia, kepada Ibu apt. Dra. Modesta Tarigan, M.Si sebagai Ketua Program
Studi Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia, kepada Ibu apt. Grace Anastasia Br Ginting,
S.Farm. M.Si sebagai pembimbing akademik saya yang telah mengarahkan dan
membimbing dalam penyusunan laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker.
Dan juga kepada Ibu apt. Fitri Yani, S.Farm., M.Clin.Pharm., Ibu apt. Suci
Maulida Rahmah, S.Farm, Ibu apt. Rita Novika, S.Farm., Ibu apt. Yunita
Suffiana, S.Farm., M.Sc., Ibu apt Azizah Vonna, M.Pharm.Sci., Ibu apt. Ika Fitri
Ramadhana, S.Farm., selaku pembimbing di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh yang telah berkenan memberikan arahan, bimbingan dan berbagi
pengalamannya kepada penulis selama melaksanakan Praktik Kerja Profesi
Apoteker hingga selesainya penulisan laporan ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak dan Ibu Staf
Pengajar Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi dan Ilmu Kesehatan
Universitas Sari Mutiara Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan
pengetahuan kepada penulis, seluruh karyawan di RSUD dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh atas kerja sama dan bantuan yang telah diberikan selama penulis
melaksanakan Praktik Kerja Profesi Apoteker ini.
Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus dan tak
terhingga kepada kedua orang tua, suami serta keluarga besar saya atas doa, kasih
sayang, nasihat dukungan baik moril maupun materil, dan tak lupa juga kepada
teman-teman satu tim dalam melaksanakan Praktik Kerja Profesi yang telah
bekerja sama dengan baik selama masa praktik kerja profesi di RSUD dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak demi kesempurnaan laporan ini.
Penulis berharap semoga laporan Praktik Kerja Profesi ini dapat
menambah ilmu pengetahuan di bidang farmasi, khususnya farmasi rumah sakit
dan dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Banda Aceh, Februari 2022


Penulis,

Raihan Fatia Amiruddin, S.Farm


NIM 210213037

iii
DAFTAR ISI

JUDUL ................................................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................. Error! Bookmark not defined.
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................... vi
BAB I .................................................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2. Tujuan ........................................................................................................................ 2
BAB II ................................................................................................................................ 3
2.1. Cholangiocarcinoma ................................................................................................. 3
2.2. Stress Ulcer ................................................................................................................ 8
2.3. Pneumonia CAP ...................................................................................................... 13
BAB III............................................................................................................................. 19
4.1. Identitas Pasien........................................................................................................ 19
4.2. Subjektif ................................................................................................................... 20
4.3. Objektif .................................................................................................................... 20
4.4. Assessment dan Plan ................................................................................................ 24
BAB IV ............................................................................................................................. 25
4.1. Kondisi Umum Pasien............................................................................................. 25
4.2. Asuhan Kefarmasian .............................................................................................. 25
1. Rekonsiliasi Pasien ............................................................................................. 25
2. Visite .................................................................................................................... 26
3. Pemantauan Terapi Obat .................................................................................. 26
4.3. Drug Related Problems (DRPs) ............................................................................. 27
1. Pengkajian Tepat Obat dan Tepat Indikasi .................................................... 27
2. Pengkajian Tepat Dosis ..................................................................................... 29
3. Pengkajian Tepat Rute ...................................................................................... 30
4. Pengkajian Waspada Efek Samping ................................................................ 30
BAB V .............................................................................................................................. 31
5.1. Kesimpulan .............................................................................................................. 31
5.2. Saran......................................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 32

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. ......................................................................................................................... 21


Tabel 3.2. ......................................................................................................................... 22
Tabel 3.3. ......................................................................................................................... 23
Tabel 3.4. ......................................................................................................................... 24
Tabel 4.1. ......................................................................................................................... 27

v
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. .................................................................................................................... 34
Lampiran 2. .................................................................................................................... 35
Lampiran 3. .................................................................................................................... 36

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi standar

pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta

pelayanan farmasi klinik. Pelayanan farmasi klinik meliputi; Pengkajian dan

Pelayanan Resep, Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat, Rekonsiliasi Obat,

Pelayanan Informasi Obat (PIO), Konseling, Visite, Pemantauan Terapi Obat

(PTO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO), Evaluasi Penggunaan Obat

(EPO), Dispensing Sediaan Steril, dan Pemantauan Kadar Obat Dalam Darah

(PKOD) (Menkes RI, 2016).

Pemantauan Terapi Obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup

kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi

pasien. Kegiatan tersebut mencakup; Pengkajian Pilihan Obat, Dosis, Cara

Pemberian Obat, Respons Terapi, Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD),

dan Rekomendasi Perubahan atau Alternatif Terapi. PTO harus dilakukan secara

berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada periode tertentu agar

keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui. Pasien yang mendapatkan

terapi obat mempunyai risiko mengalami masalah terkait obat. Kompleksitas

penyakit dan penggunaan obat, serta respons pasien yang sangat individual

meningkatkan munculnya masalah terkait obat. Hal tersebut menyebabkan

perlunya dilakukan PTO dalam praktek profesi untuk mengoptimalkan efek terapi

dan meminimalkan efek yang tidak dikehendak (Depkes RI, 2009).

1
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya

(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnanaan oleh bilirubin yang

meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Ikterus yang ringan dapat dilihat

paling awal pada sklera mata dan kalau ini terjadi konsentrasi bilirubin sudah

berkisar antara 2-2,5 mg/dL (Sulaiman, 2014).

Ikterus obstruktif merupakan ikterus yang disebabkan oleh obstruksi bilier

(obstruksi empedu), yaitu tersumbatnya saluran empedu yang membawa cairan

empedu dari hati dan kandung empedu menuju usus halus, berbagai penyebab

seperti koledocholithiasis, striktur saluran empedu, kolangiokarsinoma, karsinoma

pankreas, pankreatitis, parasit dan kolangitis sklerosis primer (Fekaj et al., 2017).

1.2. Tujuan

1. Memahami peran, fungsi dan tanggung jawab Apoteker mengenai

pekerjaan kefarmasian di Rumah Sakit khusunya Pelayanan Farmasi

Klinis.

2. Meningkatkan interaksi dengan masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.

3. Mampu memahami dan mempraktekkan konsep Pharmaceutical Care

dalam pelayanan kepada pasien.

4. Mengetahui keefektifan dan rasionalitas penggunaan obat pada pasien

Cholangiocarcinoma dengan stress ulcer dan Pneumonia CAP di Rumah

Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cholangiocarcinoma

2.1.1. Definisi

Kolangiokarsinoma merupakan keganasan yang berasal dari epitel bilier.

Penyakit ini merupakan keganasan traktus bilier tersering dan keganasan hepatik

primer kedua yang tersering dan paling agresif di Asia. Dalam beberapa dekade

terakhir, insidensi kolangiokarsinoma di Eropa dan Amerika Utara meningkat

secara signifikan. Kolangiokarsinoma dibedakan berdasarkan lokasi invasinya

menjadi intrahepatik (perifer) dan ekstrahepatik. Penyebab terjadinya

kolangiokarsinoma masih belum diketahui, namun diduga berkaitan dengan

inflamasi bilier kronis yang menyebabkan produksi sitokin dan reactive oxygen

species (ROS), misalnya pada kolesistitis kronis.

Pada kolangiokarsinoma intrahepatik, diagnosis biasanya ditemukan

secara insidental dikarenakan gejala baru akan muncul pada stadium lanjut. Pada

kolangiokarsinona ekstrahepatik, gejala biasanya diawali dengan ikterus tanpa

disertai nyeri dan kolangitis akut. Selain itu, pasien juga biasanya menunjukkan

gejala sistemik seperti anoreksia, penurunan berat badan dan kelelahan.

2.1.2. Etiologi

Etiologi kolangiokarsinoma hingga saat ini masih belum diketahui secara

pasti. Namun, terdapat beberapa faktor risiko yang telah dilaporkan berperan

dalam terjadinya kolangiokarsinoma, yaitu adanya peningkatan jalur inflamasi

3
dan turnover sel yang berkaitan dengan kerusakan DNA dan perkembangan

kanker.

Infeksi dan Inflamasi

Di Asia Tenggara yang memiliki insidensi kolangiokarsionoma cukup tinggi,

infeksi hepar kronis berkaitan dengan parasit yang menginfeksi

hepar (hepatobiliary flukes), seperti Clonorchis sinensis dan Opisthorchis

viverrini akibat konsumsi ikan yang terkontaminasi. Kedua parasit tersebut

berkaitan dengan kondisi inflamasi kronis dan diduga merupakan karsinogen.

Infeksi parasit lain yang berkaitan adalah Ascaris lumbricoides. Selain itu, infeksi

bakteri Helicobacter sp juga diduga dapat menjadi faktor timbulnya

kolangiokarsinoma.

Hepatolitiasis

Hepatolitiasis merupakan faktor risiko lain terjadinya kolangiokarsinoma,

terutama intrahepatik. Inflamasi kronis bilier sekunder akibat adanya batu

intrahepatik meningkatkan risiko terjadinya kolangiokarsinoma. Selain itu,

terjadinya hepatobiliary flukes lebih sering pada pasien dengan hepatolitiasis.

Paparan Bahan Kimia

Beberapa paparan bahan kimia berkaitan dengan berkembangnya keganasan

duktus biliaris, terutama pada pekerja di bidang penerbangan, karet, dan kayu.

Selain itu, peningkatan risiko kolangiokarsinoma juga ditemukan pada

penggunaan bahan kontras radiologi berupa kombinasi antara thorium dioxide dan

dekstrin yang sempat digunakan antara tahun 1930-1950.

4
Kista Duktus Biliaris dan Hepar

Insidensi kista duktus biliaris cenderung tinggi di Asia. Kista koledokus,

termasuk Caroli’s disease, merupakan abnormalitas kongenital pada duktus

pankreatikus dan bilier yang jarang terjadi. Kondisi ini dapat menyebabkan

dilatasi segmental dari duktus biliaris sehingga berisiko tinggi mengalami

inflamasi kronis dan deposit fibrosis luas, sehingga dapat terjadi steatosis biliaris,

kolangiolitiasis, dan kolangitis asenden. Kista dapat ditemukan intrahepatik

maupun ekstrahepatik. Kista yang tidak ditangani dengan baik dapat

meningkatkan insidensi keganasan hingga 28%.

Primary Sclerosing Cholangitis

Primary Sclerosing Cholangitis (PSC) merupakan inflamasi kronis pada traktus

biliaris yang menyebabkan fibrosis dan oklusi duktus biliaris intra dan

ekstrahepatik. PSC meningkatkan risiko terjadinya kolangiokarsinoma

intrahepatik sebesar 9-20% dengan risiko yang terus meningkat 0,5%-1,5% setiap

tahun setelah diagnosis.

2.1.3. Patofisiologi

Patofisiologi kolangiokarsinoma berawal dari perubahan pada sel epitel bilier,

baik intrahepatik maupun ekstrahepatik. Lebih dari 90% kolangiokarsinoma

merupakan adenokarsinoma dan sisanya merupakan tumor sel skuamosa.

Penyebab perubahan kolangiosit menjadi sel ganas hingga saat ini masih belum

diketahui.

Inflamasi jangka lama dengan primary sclerosing cholangitis (PSC) atau

adanya infeksi parasit kronis diduga berperan dalam menginduksi terjadinya

hiperplasia, proliferasi seluler, dan transformasi malignansi. Terjadinya refluks

5
enzim pankreas, kolestasis, dan inflamasi kronis pada PSC menyebabkan aktivasi

kolangiosit, apoptosis, dan peningkatan turnover sel. Mekanisme tersebut terlibat

dalam jalur karsinogenesis. Kolangiokarsinoma intrahepatik dapat berkaitan

dengan kolitis ulseratif kronis dan kolesistitis kronis.

Kolangiokarsinoma cenderung berkembang perlahan dan menginfiltrasi

dinding dari duktus. Penyebaran lokal terjadi pada hepar, porta hepatis, dan

kelenjar getah bening regional dari seliak dan pankreatikoduodenal.

Kolangiokarsinoma dapat dibedakan berdasarkan lokasi anatomisnya, menjadi

kolangiokarsinma intrahepatik, kolangiokarsinoma perihilar, dan

kolangiokarsinoma ekstrahepatik distal.

Tipe kolangiokarsinoma yang tersering adalah kolangiokarsinoma

perihilar (50-60% kasus), sedangkan tipe yang paling jarang adalah

kolangiokarsinoma intrahepatik sekitar 10-20% kasus.

2.1.4. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan kolangiokarsinoma dapat berupa pembedahan, transplantasi

hepar, dan terapi nonpembedahan. Secara umum, pembedahan merupakan pilihan

terapi potensial kuratif pada kolangiokarsinoma.

Pembedahan

Penatalaksanaan kolangiokarsinoma masih menjadi tantangan karena penyakit ini

bersifat agresif dan modalitas terapi masih sangat terbatas pada reseksi bedah

dan transplantasi hepar.

Pada pasien dengan kolangiokarsinoma intrahepatik, reseksi bedah masih

menjadi pilihan terapi. Sedangkan, pada pasien yang memiliki gangguan hepar

penyerta, seperti sirosis hepatis atau primary sclerosing cholangitis (PSC),

6
transplantasi hepar umumnya menjadi pilihan satu-satunya. Kolangiokarsinoma

hilar atau tumor Klatskin seringkali memerlukan tindakan lebih agresif untuk

mencapai reseksi R0 (batas bebas tumor). Tindakan ini umumnya melibatkan

embolisasi portal preoperatif, diikuti dengan reseksi hepar ataupun reseksi vena

porta.

Kolangiokarsinoma intrahepatik umumnya dapat diterapi dengan

segmentektomi, walaupun 78-82% pasien membutuhkan segmentektomi mayor.

Kolangiokarsinoma distal umumnya direseksi secara konvensional atau

dengan pylorus-preserving pancreaticoduodenectomy dengan limfadenektomi.

Kolangiokarsinoma perihilar seringkali menginvasi arteri hepatis dekstra

atau right hepatic artery (RHA), sehingga tata laksana bisa lebih sulit. Namun,

telah dilaporkan kasus yang berhasil diterapi dengan reseksi RHA dan

rekonstruksi. Angka mortalitas pun dilaporkan kurang dari 5% dan angka

kesintasan 5 tahun mencapai 30%.

Perlu diketahui bahwa metastasis nodus limfa regional bukanlah

kontraindikasi absolut dilakukannya reseksi pada kolangiokarsinoma, namun

merupakan indikator prognostik yang lebih buruk.

Transplantasi Hepar

Pada kondisi kolangiokarsinoma yang tidak dapat dilakukan reseksi, maka

transplantasi hepar dapat dipertimbangkan dengan kriteria inklusi seperti:

▪ Tumor berukuran < 3 cm

▪ Tidak ada keterlibatan kelenjar getah bening maupun metastasis

▪ Tidak ada riwayat biopsi perkutan dan endoskopi sebelumnya.

7
Studi menunjukkan bahwa angka kesintasan 5 tahun pasien dengan transplantasi

hepar disertai pemberian kemoterapi mencapai 82%. Selain itu, pasien dengan

transplantasi hepar memiliki angka rekurensi post transplantasi yang lebih rendah.

Kemoterapi

Pengobatan kemoterapi lini pertama pada kolangiokarsinoma adalah Gemcitabin

dan Cisplatin diberikan pada dosis rendah. Namun, pemberian kemoterapi tanpa

modalitas tata laksana lain tidak memberikan keuntungan yang berarti pada pasien

kolangiokarsinoma.

2.2. Stress Ulcer

2.2.1. Definisi

Stress ulcer adalah gastritis erosif akut yang merupakan komplikasi umum

penyakit kritis dan dapat menyebabkan perdarahan saluran cerna bagian atas.

Stress ulcer meliputi 2 jenis lesi mukosa yaitu lesi yang dangkal dan menyebar di

sekitar permukaan mukosa biasanya timbul karena stress dan lesi yang menembus

submukosa (Spirt dan Stanley, 2006).

2.2.2. Etiologi

Erosif gastritis akut merupakan cedera yang mewakili stress ulcer yang

berhubungan dengan stress (Stollman N dan Spirt MJ, 2005). Stress terkait cedera

adalah kerusakan mukosa superfial yang hadir terutama sebagai erosi, sedangkan

stress ulcer adalah kerusakan mukosa yang menembus submukosa dengan risiko

tinggi perdarahan saluran cerna (Spirt MJ, 2006).

2.2.3. Patofisiologi

Penyebab yang mendasari stress ulcer adalah hipoperfusi mukosa di saluran cerna

bagian atas. Hipoperfusi lambung menyebabkan ketidak seimbangan antara suplai

8
dan permintaan oksigen yang dapat menyebabkan kerusakan mukosa. Bahkan,

reperfusi setelah hipoperfusi berkepanjangan dapat menyebabkan iskemia

mesenterika non-eksklusif dan kerusakan mukosa (Spirt MJ et al., 2006).

Sebagai akibat dari iskemia, berkurangnya sekresi bikarbonat sehingga

berkurangnya kemampuan menetralisir ion hidrogen yang dapat menyebabkan

kematian sel dan ulserasi. Stress ulcer terjadi ketika terganggunya homeostasis

mukosa lambung seperti mekanisme pertahanan sel yang dimediasi oleh

prostaglandin dengan mencegah pembentukan ulkus (silen W, 1990). Serta,

perlindungan lambung yang tidak bisa memblokir efek merugikan dari ion

hidrogen dan radikal oksigen yang lebih lanjut dapat menyebabkan stress ulcer

(Spirt MJ et al., 2006). Hasil penelitian pada hewan oleh Ritchie Jr (1975)

menunjukkan bahwa peningkatan kadar asam lambung, garam empedu, dan

iskemia dapat membentuk lesi pada lambung. Secara mikroskopis, lesi ditandai

oleh hilangnya fokus dari epitel superfisial, koagulasi nekrosis mukosa, dan

perdarahan (Lev R, 1971). Lesi ini biasanya tidak melubangi dan cenderung

mengeluarkan darah dari permukaan kapiler mukosa (Vorder B, 1990).

9
2.2.4. Penatalaksanaan

Pencegahan perdarahan terkait stress ulcer merupakan strategi yang

efektif. Hal Ini dapat dilakukan dengan mencegah iskemia lambung atau cedera

karena asam lambung. Meskipun konsentrasi asam lambung tinggi bukan hanya

faktor satu-satunya yang berkontribusi pada stress ulcer, pengendalian produksi

asam lambung pada pasien yang berisiko dapat melindungi episode perdarahan

(Silen W, 1980).

Sebuah metaanalisis uji klinis oleh Cook et al (1996) melaporkan bahwa

berbagai terapi profilaksis seperti Antasida, Sukralfat, dan Reseptor Histamin2

Antagonis (H2RAs) dapat mengurangi kejadian perdarahan secara klinis

dibandingkan dengan tidak diberi profilaksis. Dengan demikian, agen yang

10
melindungi mukosa lambung dari asam, baik meminimalkan cedera dari asam

yang dihasilkan atau dengan menghambat sekresi asam, memiliki peran penting

dalam pencegahan pendarahan karena stress ulcer. Berikut adalah agen profilaksis

stress ulcer, yakni:

1. Antasida

Antasida bekerja secara langsung dengan menyangga atau menetralkan asam

lambung. Dalam penelitiannya Hasting et al (1978) menemukan bahwa dalam

sakit kritis pasien berisiko mengalami ulkus lambung dan perdarahan, frekuensi

perdarahan berkurang secara signifikan ketika terapi antacid 16 dititrasi untuk

menjaga pH di atas 3,5.

2. Sukralfat

Sukralfat melindungi mukosa lambung dari asam lambung yang melekat pada sel

epitel dan membentuk pelindung, tetapi tidak memiliki aktivitas penetral asam.

Digunakan untuk pencegahan stress ulcer, telah terbukti lebih efektif daripada

tidak menggunakan profilaksis dalam mengurangi perdarahan, tetapi tidak lebih

efektif daripada plasebo, antasida, dan H2RA dalam mengurangi tingkat

perdarahan secara klinis (Cook DJ et al., 1998).

3. H2RA

H2RA menghambat sekresi asam lambung dengan memblok Reseptor-H2 dari sel

parietal dengan selektif (Silen W, 1980). H2RA secara signifikan lebih baik

daripada plasebo, antasid, dan sukralfat dalam mengurangi kejadian perdarahan

signifikan secara klinis. Berbagai antagonis histamin2-reseptor 17 (H2RA) dapat

digunakan untuk profilaksis perdarahan stress ulcer di ICU. H2RA yang tersedia

tidak sama kuatnya dalam menghalangi tindakan histamine pada sel parietal.

11
Simetidin adalah yang paling tidak ampuh, ranitidin dan nizatidin lebih kuat, dan

famotidin adalah yang paling kuat (Peura DA, 1985 & Jones RH, 1978).

4. Proton Pump Inhibitor (PPI)

Lima jenis proton pump inhibitor (PPI) tersedia di Amerika Serikat: omeprazol,

esomeprazol, lansoprazol, rabeprazol, dan pantoprazol. Asam lambung diproduksi

dan diatur oleh mekanisme dalam sel parietal. Pengangkutan H+ oleh pompa

proton, H+, K+ -ATPase adalah mediator yang mendasarinya dan langkah terakhir

dalam pengaturan sekresi asam lambung. Proton Pump Inhibitor (PPI)

menghambat sekresi asam lambung yang diinhibisi spesifik oleh pompa proton

H+, K+ -ATPase pada permukaan sekresi sel parietal. PPI mampu meningkatkan

atau mempertahankan intragastrik pH di atas 6 (Modlin IM, 1998).

Adapun efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan obat

golongan Proton Pump Inhibitor (PPI) seperti gangguan saluran cerna (seperti

mual, muntah, nyeri lambung, kembung, diare dan konstipasi), sakit kepala dan

pusing. Efek samping yang kurang sering terjadi diantaranya adalah mulut kering,

insomnia, mengantuk, malaise, penglihatan kabur, ruam kulit dan pruritus. Efek

samping lain yang dilaporkan jarang atau sangat jarang terjadi adalah gangguan

pengecapan, disfungsi hati, udem perifer, reaksi hipersensitivitas (termasuk

urtikaria, angioedema, bronko-spasmus, anafilaksis), fotosensitivitas, demam,

berkeringat, depresi, nefritis interstitial, gangguan darah (seperti leukopenia,

leukositosis, pansitopenia, trombositopenia), artralgia, mialgia dan reaksi pada

kulit (termasuk sindroma Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik, bullous

eruption). Penghambat pompa proton, dengan mengurangi keasaman lambung,

dapat meningkatkan risiko infeksi saluran cerna (PIONAS).

12
2.3. Pneumonia CAP

2.3.1. Definisi

Pneumonia komunitas atau community-acquired pneumonia (CAP)

merupakan pneumonia yang didapat di masyarakat, di mana infeksinya terjadi di

luar rumah sakit. Pneumonia didefinisikan sebagai peradangan paru yang

disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, dan parasit). CAP

merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas yang tinggi di negara

berkembang. CAP mengakibatkan tingginya angka rawat inap terutama pada

orang tua dan anak-anak.

Kebutuhan untuk rawat inap harus benar-benar dipertimbangkan karena

kebanyakan kasus CAP dapat diobati dengan berobat jalan. Selain pertimbangan

rawat inap atau rawat jalan, pertimbangan yang juga penting adalah pemilihan

antimikroba. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda saluran

pernafasan dan infeksi, serta dengan pemeriksaan penunjang untuk memastikan

diagnosis. Tatalaksana diberikan sesuai organisme kausal, idealnya diberikan

sesuai dengan hasil kultur namun dapat pula diberikan antibiotik spektrum luas.

2.3.2. Etiologi

Mikrorganisme etiologi pneumonia komunitas atau community-acquired

pneumonia (CAP) bisa bakteri, virus, jamur, dan parasit. Terdapat sedikit

perbedaan etiologi patogen penyebab CAP di daerah negara maju dibandingkan

dengan negara berkembang di Asia terkhusus Indonesia. Bakteri batang gram

negatif (gram-negative bacili/GNB) dan Staphylococcus aureus cukup sering

didapati di negara Asia namun jarang ditemukan sebagai etiologi CAP di negara

13
barat. Justru bakteri batang gram negatif dan S. aureus di negara barat merupakan

etiologi hospital-acquired pneumonia (HAP).

Etiologi yang paling sering terutama di daerah Eropa dan Amerika

adalah Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus

pneumoniae, Chlamydopilla pneumoniae, Legionella pneumophila, dan virus

respiratori.

Etiologi lain yang insidensinya tidak terlalu tinggi namun menjadi beban

tersendiri antara lain:

▪ Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan patogen

penyebab pneumonia nosokomial. Namun demikian, MRSA dapat pula

menyebabkan CAP yang diistilahkan sebagai community-acquired MRSA

(CA-MRSA).

▪ Pneumocystis jirovecii, patogen penyebab CAP yang berhubungan dengan

infeksi HIV. Umumnya sering pada daerah dengan insidensi HIV yang

tinggi.

▪ Beberapa kasus pandemi merupakan kasus CAP dengan etiologi virus

yang angka mortalitasnya tinggi seperti H5N1, H1N1, dan Mers-CoV

(Middle East Respiratory Syndrome – Corona Virus). Mers-CoV sering

dialami orang yang bepergian ke Timur Tengah dan berhubungan dengan

kegiatan ibadah haji yang banyak dilakukan oleh orang Indonesia tiap

tahunnya. Namun hasil penelitian menunjukkan CAP berat yang

memerlukan rawat inap pada peserta haji bukanlah akibat Mers-CoV.

14
2.3.3. Patofisiologi

Patofisiologi pneumonia komunitas atau community-acquired pneumonia (CAP)

melibatkan peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri,

virus, jamur, dan parasit). Proliferasi mikroba patogen pada alveolus dan respon

imun tubuh terhadap proliferasi tersebut menyebabkan peradangan.

Mikroorganisme masuk ke saluran napas bagian bawah melalui beberapa cara,

yaitu secara aspirasi dari orofaring, inhalasi droplet, penyebaran melalui

pembuluh darah, serta penyebaran dari pleura dan ruang mediastinum. Dalam

keadaan normal, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme pada paru karena

mekanisme pertahanan tubuh.

Pada pneumonia bakterial, infeksi umumnya berawal di trakea yang

kemudian mencapai parenkim paru. Selain itu, infeksi juga dapat berasal dari

bakteremia yang kemudian menjalar ke parenkim paru. Sedangkan pada

pneumonia viral, awal infeksi adalah infeksi di sepanjang jalan napas yang

disertai lesi pada epitel saluran napas. Akibat infeksi, baik bakteri maupun viral,

terjadi obstruksi akibat pembengkakan, sekresi, dan debris selular.

Pada anak-anak terutama bayi, anatomi saluran napas yang lebih kecil

menyebabkan lebih rentan mengalami infeksi yang berat. Obstruksi jalan napas

dapat berujung hipoksemia akibat atelektasis, edema interstisial, dan ketidak

seimbangan ventilasi-perfusi.

2.3.4. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pneumonia komunitas atau community-acquired

pneumonia (CAP) didasarkan pada keputusan mengenai rawat inap dan rawat

jalan terlebih dahulu.

15
Prinsip Penatalaksanaan

Biaya rawat inap CAP dapat 20 kali lebih besar dibandingkan dengan rawat jalan.

Kebutuhan untuk rawat inap harus benar-benar dipertimbangkan karena

kebanyakan kasus CAP dapat diobati dengan berobat jalan. Selain pertimbangan

rawat inap atau rawat jalan, pertimbangan yang juga penting adalah pemilihan anti

mikroba.

Keputusan untuk rawat inap atau rawat jalan kadang-kadang sulit

dilakukan. Beberapa prediktor telah dikembangkan namun tidak ada yang

dianggap paling superior untuk digunakan secara luas. Indeks PSI (Pneumonia

Severity Index), merupakan model prognostik untuk mengidentifikasi pasien

dengan risiko kematian yang rendah namun cukup rumit bila diaplikasikan di

instalasi gawat darurat yang cukup sibuk.

Medikamentosa

Tatalaksana simtomatik terhadap CAP adalah mengatasi demam, batuk, dan

gejala lainnya. Pertimbangkan pemberian oksigen, ventilasi, terapi cairan sesuai

kebutuhan. Bila pneumonia akibat virus, maka tidak diperlukan antimikroba

karena virus dianggap sebagai self-limited diseases. Namun, kebanyakan infeksi

viral dapat tumpang tindih dengan infeksi bakteri, sehingga pemberian antibiotik

juga harus dipertimbangkan.

Tatalaksana definitif adalah pemberian antimikroba sesuai etiologi. Namun pada

saat awal pemeriksaan dan diagnosis, etiologi sangat jarang dapat diketahui

sehingga perlu diberikan terapi empiris. Terapi empiris diberikan sembari

menunggu hasil kultur dan uji sensitivitas dan uji resistensi antibiotik. Terapi

16
antibiotik empiris pada CAP dibedakan berdasarkan pasien rawat inap ataupun

rawat jalan.

a. Rawat Jalan

Bila tidak ada riwayat penyakit dan pemakaian antibiotik dalam 3 bulan terakhir:

▪ Makrolida terbaru: klaritromisin 500 mg/12 jam per oral atau azitromisin

500 mg diikuti selanjutnya 250 mg/hari per oral selama 5 hari, atau

▪ Doksisiklin 100 mg tiap 12 jam per oral selama 10 hari

Pasien dengan komorbid atau riwayat penggunaan antibiotik dalam 3 bulan

terakhir:

▪ Fluorokuinolon: moksifloksasin 400 mg/hari per oral, levofloksasin 750

mg/hari per oral selama 5 hari

▪ Beta-laktam: sebaiknya amoksisilin dosis tinggi (1 g/8 jam) atau

amoksisilin-klavulanat (2 g/12 jam per oral), alternatif lainnya seftriakson

(1-2 g/hari IV), sefuroksim (500 mg/12 jam) ditambah makrolida selama

3-5 hari

Pertimbangkan alternatif antibiotik pada daerah dengan angka resistensi makrolid

yang tinggi

b. Rawat Inap

▪ Fluorokuinolon: moksifloksasin 400 mg/hari per oral atau intravena,

levofloksasin 750 mg/hari per oral atau intravena

▪ Betalaktam: misalnya seftriakson (1–2 g IV tiap hari), ampisilin (1–2 g IV

tiap 4–6 jam), sefotaxime (1–2 g IV tiap 8 jam), ertapenem (1 g IV tiap

hari) ditambah makrolida

17
Rawat Inap Di Ruangan Rawatan Intensif (ICU)

▪ Betalaktam, seftriakson (2 g IV tiap hari), ampisilin-sulbaktam (2 g IV tiap

8 jam) atau sefotaksim (1–2 g IV tiap 8 jam) ditambah azitromisin atau

fluorokuinolon

Pertimbangan Khusus

Bila dicurigai infeksi Pseudomonas pilihannya:

▪ Betalaktam, antara lain: piperasilin/tazobaktam (4,5 g IV tiap 6 jam),

sefepime (1–2 g IV tiap 12 jam), imipenem (500 mg IV tiap 6 jam),

meropenem (1 g IV tiap 8 jam) ditambah siprofloksasin (400 mg IV tiap

12 jam) atau levofloksasin (750 mg IV tiap hari)

▪ Betalaktam ditambah aminoglikosida; amikacin (15 mg/kg tiap hari) atau

tobramisin (1,7 mg/kg tiap hari) ditambah azitromisin

▪ Betalaktam ditambah aminoglikosida ditambah fluorokuinolon

Bila dicurigai infeksi CA-MRSA ditambahkan linezolid (600 mg IV tiap 12 jam)

atau vankomisin (15 mg/kg tiap 12 jam dosis inisial) (Kelly MS, 2016).

Tindakan Invasif

Tindakan invasif dapat berupa bronkoskopi untuk menilai kondisi bronkus,

mengekstraksi benda asing, dan untuk bilasan bronkoalveolar untuk sampel

pemeriksaan. Aspirasi cairan pleura bila terdapat efusi pleura atau kecurigaan

adanya empiema.

Rujukan

Kebanyakan pasien CAP dapat ditangani dengan rawat jalan tergantung beratnya

penyakit. Pasien harus dirujuk ke fasilitas yang memiliki ICU bila ada

kemungkinan kebutuhan perawatan intensif.

18
BAB III

STUDI KASUS

4.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. SS

Tanggal Lahir : 23 Oktober 1951

Umur : 70 Tahun

No. RM : 129xxxx

BB/TB : 60 kg/150 cm

Alamat : Matang Seulimeng

Pekerjaan : Pedagang

Agama : Islam

Ruangan : Aqsha 3

Diagnosa : Cholangiocarcinoma + Stress Ulcer + Pneumonia CAP

Tanggal MRS : 29 Januari 2022

Tanggal KRS : 11 Februari 2022

Riwayat Penggunaan Obat (Surat Rujukan dari Rumah Sakit Langsa)

1. Cefotaxime /8 jam, 1g

2. Aminoleban /24jam, 1fls

3. Sotatic /24jam, 1amp

4. Curcuma /8jam, 1tab

5. Lactulosa syr /24jam, CII

Riwayat Penyakit : Tidak Ada (Keluarga Pasien)

19
4.2. Subjektif

Keluhan utama: mata dan badan menguning

4.3. Objektif

a. Diagnosa Awal:

1. PSMBA ec dd 1) DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)

2) Stress Ulcer

b. Diagnosa Selama Dirawat:

2. Obs. Jaundice ec dd 1) Kolesistitis dgn Kolelitiasis,

2) Cholangiocarcinoma

3. HE grade I dgn pencetus 1) Konstipasi

2) Infeksi

4. Pneumonia dd Infeksi Paru pesifik

c. Diagnosa Pulang:

1. Massa ar distal CBD dd Cholangio Carcinoma

2. Post PSMBA ec dd 1) Stress Ulcer

3. Pneumonia CAP

d. Resep Pulang:

1. Curcuma tab 3x1 no XV

2. Ursodeoxycholic Acid tab 250mg 2x1 no X

3. Omeprazole cap 20mg 2x1 no X

4. KSR tab 600mg 1x1 no V

5. Cefixime tab 100mg 2x1 no X

6. Fluimucil tab 200mg 3x1 no XV

7. Lactulosa syr 3xCII fls no I 8. Sucralfate syr 3xCII fls no I

20
e. Tanda-Tanda Vital

Tabel 3.1. Tanda-Tanda Vital Pasien


Tanggal
Parameter
29 Jan 30 Jan 31 Jan 1 Feb 2 Feb 3 Feb 4 Feb 5 Feb 6 Feb 7 Feb 8 Feb 9 Feb 10 Feb
TD 130/80 136/62 130/60 150/64 130/70 130/75 140/80 140/80 130/80 140/80 130/70 130/70 140/80
Nadi 80 74 70 80 77 69 81 77 86 83 78 86 78
RR 20 20 18 20 20 20 20 20 20 18 20 20 18
Suhu Tubuh 36,5 36,5 36,4 38 36,5 36,7 37 36,9 36,1 36,8 36,8 36,1 36,2
SPO2 96 95 96 97 97 97 97
GCS

f. Terapi Non Faramakologi

1. Urinalisa (31 Jan) (Lampiran 1)

2. USG Abdomen (2 Feb) (Lampiran 2)

3. CT Scan Abdomen (8 Feb) (Lampiran 3)

21
g. Terapi Farmakologi

Tabel 3.2. Terapi Farmakologi Pasien


Tanggal
Nama Obat Frekuensi, Dosis, Rute 29- 30- 31- 01- 02- 03- 04- 05- 06- 07- 08- 09- 10-
Jan Jan Jan Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb Feb
Cefoperazone Sulbactam (E) /8jam, 1g, iv √ √ √ √ √ STOP
Levofloxacin /24jam, 750mg, iv √ √ √ √ √ √ √ √
Comafusin Hepar /24jam, 1fls, ivfd √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ STOP
Aminofusin Hepar /24jam, 1fls, ivfd √ √
Omeprazole /12jam, 40mg, iv √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Curcuma /8jam, 1tab, po √ √ √ √ TAP TAP √ √ √ TAP TAP TAP
Lactulosa syr /8jam, CII, po √ √ √ √ √ STOP
Fluimucil /8jam, 200mg, po TAP √
Vitamin K /8jam, 1amp, iv √ √ √ √ √ STOP
Sistenol /8jam, 1tab, po
UDCA /12jam, 250mg, po √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
As. Tranexamat /12jam, 500mg, iv √ √ √ √ √ STOP
Attapulgite /BAB, 1tab, po √
Synbio /12jam, 1sach, po √ √ √ √ √ √ √ √ STOP
Albumin 20% /24jam, 1fls, ivfd √ √ √ √ √
KSR /8jam, 600mg, po √ √ √ √ √ √ √ √

22
h. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 3.3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Tanggal
Parameter Nilai Normal 29/01 30/01 02/02 03/02 04/02 06/02 10/02
Hemoglobin 14,0-17,0 g/dL 6,0 10,1 9,9 9,3
Hematokrit 45-55% 19 30 29 27
Eritrosit 4,7-5,1 106/mm3 2,0 3,7 3,6 3,3
Trombosit 150-450 103/mm3 388 257 264 288
Leukosit 4,5-10,5 103/mm3 15,58 18,32 15,12 10,77
RDW 11,5-14,4 % 21,5 23,6 24,1 24,1
MPV 7,2-11,1 fL 9,4 10,7 10,2 10,7
Netrofil Batang 2-6 % 0 0 0 1
Netrofil Segmen 50-7- % 87 88 87 79
Limfosit 20-40 % 9 7 8 12
Pasien (PT) 11,50-15,50 detik > 90,00 13,80 14,40 14,00
Kontrol 13,5 13,8 14,1 14,0
INR < 1,5 > 6,00 0,97 1,01 0,98
Pasien (APTT) 26,00-37,00 detik 155,90 40,80 33,20 40,20
Kontrol 32,0 33,0 35,2 34,8
Anti HCV Negatif Negatif
HBsAg Non Reaktif Non
Bilirubin Total 0,3 – 1,2 mg/dL 19,58 14,28 15,29
AST/SGOT < 31 U/L 262
ALT/SGPT < 34 U/L 161
Protein Total 6,4-8,3 g/dL 4,80
Albumin 3,5-5,2 g/dL 2,60 2,11 2,50
Kalsium (Ca) 8,6-10,3 mg/dL 8,1 7,1 7,0 7,1
Glukosa Darah Sewaktu <200 mg/dL 120
Ureum 13-43 mg/dL 37 32
Kreatinin 0,51-0,95 mg/dL 0,60 0,61
Natrium (Na) 132-146 mmol/L 138 145 144 141
Kalium (K) 3,7-5,4 mmol/L 3,10 2,10 2,50 3,00
Klorida (Cl) 98-106 mmol/L 105 115 118 108
Fosfotase Alkali (ALP) 42-98 U/L 453
γ – GT < 38 U/L 403

23
4.4. Assessment dan Plan

Table 3.4. Assessment dan Plan


Tanggal Subjektif (S) Objektif (O) Assessment (A) Plan (P)
Hari Ke- Keadaan Pasien Data Masalah Terkait Obat Rencana Tindak Lanjut
Lemas, tidak bisa tidur Lactulosa syr 3xCII Lactulosa menginduksi Terapi Lactulosa syr
01/02 Diare diare dihentikan
Demam Sistenol /8jam Tidak ada masalah dengan Terapi dilanjutkan, apabila
T: 38˚C terapi. demam sudah turun maka
dihentikan.
02/02 Lemas, kaki bengkak Alb: 2,11 g/dL Hipoalbumin belum Disarankan penambahan
teratasi Albumin sampai mencapai
kadar Albumin 2,50 g/dL.
Lemas, tidak nafsu makan Kalium: 2,10 Hipokalemi belum diterapi Disarankan penambahan
terapi KSR 600mg.

03/02 Lemas, tidak nafsu makan KSR/8jam Hipokalemi masih belum Terapi KSR dilanjutkan.
Kalium: 2,50 teratasi

08/02 Mengeluh obat pahit Sumua Obat di Pulvis Sediaan pulvis Rekomendasi untuk
menyebabkan rasa pahit mengganti sediaan tablet.

24
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Pasien

Pasien SS masuk ke RSUD dr. Zainoel Abidin pada 29 Januari 2022

melalui IGD (Instalasi Gawat Darurat) pukul 09:55. Pasien datang dengan

keluhan kuning satu badan. Pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit Langsa

yang mengeluhkan kuning seluruh badan sejak kurang lebih 3 minggu dan

memberat 1 minggu SMRS. Sulit tidur, tidak BAB 3 hari, mual dan muntah

dikeluhkan. Riwayan pengobatan pasien menurut surat rujukan, yaitu:

Cefotaxime, Aminoleban, Sotatic, Curcuma, Lactulosa syr. Riwayat penyakit

pasien tidak ada.

Dokter melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kondisi pasien

dengan melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, seperti

pemeriksaan laboratorium, radiologi dan EKG. Hasil pemeriksaan ini sangat

penting untuk menegakkan diagnosis pasien sehingga ketepatan pasien sebagai

salah satu faktor dalam penilaian rasionalitas penggunaan obat terpenuhi. Pasien

di diagnosis menderita Cholangiocarcinoma + Stress Ulcer + Pneumonia CAP.

4.2. Asuhan Kefarmasian

1. Rekonsiliasi Pasien

Apoteker mengumpulkan data terkait obat yg digunakan dan yang akan digunakan

pasien, dan riwayat alergi. Riwayat obat di dapatkan dari pasien atau keluarga

pasien, rekam medik dan obat yang ada pada pasien. Kemudian membandingkan

obat yang akan digunakan dan yang sedang digunakan. Selanjutnya memberi tahu

25
dokter jika ditemukan ketidaksesuaian. Dalam hal ini riwayat peggunaan obat

pasien Ny. SS adalah Cefotaxime, Aminoleban, Sotatic, Curcuma dan Lactulosa

syr.

2. Visite

Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan

apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati

kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat,

memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan

terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien

serta profesional kesehatan lainnya.

3. Pemantauan Terapi Obat

Pemantauan terapi obat dilakukan setiap hari untuk melihat rasionalitas

penggunaan obat yang diberikan pada pasien yang meliputi; Tepat Pasien, Tepat

Indikasi, Tepat Obat, Tepat Dosis, Tepat Frekuensi, Tepat Rute, Interaksi Obat

dan Waspada Efek Samping.

• Kesesuaian Instruksi dengan Ketersediaan Obat

Sebagai apoteker sebaiknya mengecek setiap locker guna mengetahui apakah obat

telah diberikan kepada pasien sesuai waktunya, dan atau ada tidaknya obat yang

tertinggal atau tidak diberikan kepada pasien. Dalam kasus ini, obat diberikan

kepada pasien tepat waktu sehingga tidak ada obat yang tertinggal di dalam locker

pasien.

• Kesesuaian Resep

Sesuai dengan SOP (Standar Operasional Prosedur) resep diterima oleh Tenaga

Teknis Kefarmasian (TTK) kemudian resep disesuaikan dengan pemakaian obat

26
dalam KCO (Kartu Catatan Obat) untuk pasien lama, pasien baru serta pergantian

terapi. Dalam kasus ini obat yang tertera dalam DIMF (Daftar Instruksi Medis

Farmakologi) telah sesuai dengan KCO.

4.3. Drug Related Problems (DRPs)

1. Pengkajian Tepat Obat dan Tepat Indikasi

Pasien mendapatkan terapi obat-obatan di Rumah Sakit mulai tanggal 29 Januari –

10 Februari 2022 (dirawat di ruang Aqsha 3). Obat yang didapatkan pasien adalah

Cefoperazone Sulbactam 1g iv, Levofloxacin 750mL iv, Comafusin Hepar 1fls

ivfd, Omeprazole 40mg iv, Curcuma tab, Lactulosa Syr, Vitamin K iv, Sistenol

tab, UDCA tab, Asam Tranexamat iv, Attapulgite tab, Synbio, Albumin 20%,

KSR 600mg tab.

Tabel 4.1. Mekanisme Kerja Obat


Nama Obat Mekanisme Kerja
Cefoperazone Cefoperazone menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga
Sulbactam terjadi kebocoran sel bakteri dan bakteri lisis. Sulbactam
meningkatkan efektifitas cefoperazone dengan melindungi
cefoperazone dari enzim beta lactamase.

Levofloxacin Bekerja dengan berdifusi masuk melalui dinding sel bakteri dan
menginhibisi DNA gyrase (topoisomerase II bakterial). DNA
gyrase merupakan enzim yang dibutuhkan untuk replikasi DNA,
transkripsi RNA, dan perbaikan kesalahan pada DNA bakteri.
Dengan menginhibisi DNA gyrase akan menghentikan
pertumbuhan bakteri.

Comafusin Hepar Comafusin hepar memiliki efek hepatoprotektor (melindungi hati)


dan juga untuk membantu meningkatkan regenerasi sel
hati. Comafusin hepar bekerja pada siklus urea untuk meningkatkan
produksi urea dari amonia.

Omeprazole Cara kerja omeprazole adalah dengan menurunkan kadar asam


yang diproduksi perut/lambung. Omeprazole adalah obat yang juga
digunakan untuk meredakan gejala perut panas, kesulitan menelan,
dan batuk yang tak kunjung hilang.

27
Nama Obat Mekanisme Kerja
Curcuma Curcuma FCT adalah suplemen makanan dari
ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza) untuk menambah atau
meningkatkan nafsu makan serta memperbaiki fungsi hati. Obat ini
dapat untuk membantu mengatasi masalah anoreksia (penurunan
nafsu makan) dan ikterus (penyakit kuning). Kegunaan lainnya
termasuk pemeliharaan fungsi hati, dan penyumbatan saluran
empedu.

Lactulosa Laktulosa adalah obat untuk mengatasi konstipasi atau sulit buang
air besar. Obat ini bekerja dengan cara mengalirkan cairan ke usus
sehingga membuat tinja lebih lunak dan mudah dikeluarkan.

Vitamin K Di hati, vitamin K bekerja dengan cara mensistesis protombin dan


faktor pembekuan darah lainnya melalui aktivasi protrombin
dengan reaksi karboksilasu gugus glu pada residu protein
prekursornya. Asam glutamate yang mengalami reaksi karboksilasi
akan berubah menjadi asam karboksiglutamat gamma.

Sistenol Sistenol adalah obat yang digunakan sebagai penurun demam yang
disertai batuk pada gejala influenza. Sistenol mengandung
paracetamol, obat yang memiliki aktivitas sebagai antipyretic
sekaligus analgetic, dikombinasikan dengan acetylcysteine, obat
yang bisa digunakan untuk mengurangi viskositas dahak.

Ursodeoxycholic Mekanisme kerja ursodeoxycholic acid meningkatkan kadar enzim


Acid (UDCA) hati dengan memfasilitasi aliran empedu melalui hati dan
melindungi sel hati. Mekanisme utamanya adalah anticholelithic.

Asam Tranexamat Asam Traneksamat merupakan obat anti-fibrinolitik yang mampu


menghambat plasminogen, sehingga mengurangi konversi
plasminogen menjadi plasmin (fibrinolisin). Penghambatan tersebut
mampu mencegah degradasi fibrin, pemecahan trombosit,
peningkatan kerapuhan vaskular dan pemecahan faktor koagulasi.

Attapulgite Attapulgite bekerja dengan cara memperlambat gerakan usus besar,


membantu agar tinja lebih padat, dan mengurangi kram perut pada
orang yang sedang mengalami diare.

Synbio Synbio merupakan suplemen untuk menjaga kesehatann saluran


cerna, jadi synbio bukan obat diare atau pencahar. Pada kasus diare
seringkali bakteri patogen bertambah banyak sehingga
keseimbangan mikroflora terganggu, sementara saat konstipasi
bakteri komensal/non-patogen berkurang.

28
Nama Obat Mekanisme Kerja
KSR Kalium klorida berperan sebagai pengganti kalium yang hilang dari
tubuh. Kalium memiliki fungsi dalam berbagai proses fisiologis.
Kalium merupakan mineral yang penting dan merupakan kation
utama cairan intraseluler. Sebagai kation, kalium memiliki fungsi
untuk mengatur isotonisitas antara cairan intraselular dan
ekstraseluler, pergerakan cairan, dan keseimbangan asam basa.

Albumin 20% Albumin merupakan protein serum utama yang memiliki beberapa
fungsi fisiologis penting, termasuk pemeliharaan tekanan osmotik,
pengikatan berbagai macam senyawa, dan aktivitas antioksidan
plasma. Albumin adalah sebagai plasma expander yang mampu
meningkatkan tekanan onkotik intravaskular. Albumin tergolong
sebagai produk darah, yang banyak digunakan sebagai terapi
pengganti pada kondisi hipoalbuminemia, hipoproteinemia, dan
hipovolemia.

2. Pengkajian Tepat Dosis

Tepat dosis sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang

berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang sempit akan

sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak

akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan (Kemenkes RI, 2011).

Dosis Cefoperazone Sulbactam maks 4g setiap 12 jam dengan durai 7 hari.

Pada kasus ini Cefoperazone Sulbactam diberikan 1g setiap 8 jam dengan durasi 5

hari. Dosis Levofloxacin 750mg setiap 24 jam selama 7 hari. Dosis Omeprazole

40mg/12 jam selama 14 hari, diikuti dengan Omeprazole 40mg/24 jam

(Lexicomp). Lactulose 2 hingga 4 kali sehari sebanyak 30-45mL (Lexicomp),

pada kasus ini Lactulosa diberikan 30mL setiap 8 jam. Vitamin K dosis 10mg

hingga 300mg per hari, dalam kasus ini Vit. K diberikan Vitamin K 10mg/8jam.

Asam Tranexamat dosis 0,5-1 gram, 2-3 kali sehari setiap 6-8 jam. Pada kasus ini,

As. Traneksamat diberikan 500mg/12 jam. UDCA 500mg, dua kali sehari secara

29
bertahap meningkat 500mg/hari (500mg hingga 2000mg per hari dalam dosis

terbagi) (Lexicomp). Pada kasus ini, UDCA diberikan 250mg/12 jam.

Menurut Beers Kriteria, golongan obat PPI untuk alasan risiko infeksi

Clostridium difficile dan keropos tulang dan patah tulang maka hindari

penggunaan terjadwal selama >8 minggu kecuali untuk pasien berisiko tinggi

(misalnya, oral kortikosteroid atau penggunaan NSAID kronis), esofagitis erosif,

esofagitis Barrett, kondisi hipersekresi patologis, atau menunjukkan kebutuhan

untuk pemeliharaan pengobatan (misalnya, karena kegagalan obat) percobaan

penghentian atau reseptor H2 antagonis).

3. Pengkajian Tepat Rute

Berdasarkan pemantauan terhadap pasien, diketahui pemberian obat sudah

tepat rute. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari data rekam medik dan

catatan pemberian obat oleh perawat diketahui obat sudah tepat cara pemberian.

4. Pengkajian Waspada Efek Samping

Efek samping obat adalah semua efek yang tidak dikehendaki yang

membahayakan atau merugikan pasien akibat penggunaan obat. Setiap obat

memiliki efek samping yang tidak diinginkan dalam terapi sehingga pengkajian

terhadap efek samping obat oleh apoteker menjadi sangat penting untuk

membantu dalam mengoptimalkan terapi obat pasien. Selama masa perawatan di

rumah sakit, pasien tidak mengeluhkan efek samping lain terhadap penggunaan

obat yang diberikan dan tidak ada gejala yang sangat mengganggu pasien.

30
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang diperoleh terhadap studi kasus yang dilakukan di RSUD dr.

Zainoel Abidin Banda Aceh adalah sebagai berikut:

a. Mahasiswa calon apoteker memahami peran, fungsi dan tanggung jawab

mengenai pekerjaan kefarmasian di Rumah Sakit khususnya Pelayanan

Farmasi Klinis.

b. Mahasiswa calon apoteker dapat berinteraksi dengan baik dalam

melakukan pekerjaannya bersama masyarakat dan tenaga Kesehatan

lainnya.

c. Mahasiswa calon apoteker memahami dan dapat mempraktekkan konsep

Pharmaceutical care dalam pelayanan kefarmasian.

d. Penggunaan obat pada pasien penderita Cholangiocarcinoma + Stress

Ulcer + Pneumonia CAP pada Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel

Abidin telah efektif dan rasional.

5.2. Saran

a. Berdasarkan pembahasan dan kesimpulam pada kasus ini, maka

disarankan calon apoteker selanjutnya lebih aktif berkomunikasi dengan

dokter, perawat dan keluarga pasien untuk mendapatkan informasi yang

lebih jelas.

b. Disarankan agar calon apoteker selalu mengikuti perkembangan pasien

dan ikut serta visite dengan dokter.

31
DAFTAR PUSTAKA

Blechacz B. Cholangiocarcinoma: Current Knowledge and New Developments. Gut and


Liver. 2017:11(1):13-26.

Cheung J, Wong W, Zandieh I, Leung Y, Lee SS, Ramji A, et al. Acute management and
secondary prophylaxis of esophageal variceal bleeding: A western Canadian
survey. Can J Gastroenterol. 2006; 20(1):531-4.

Dahlan Z. Pneumonia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata K M, Setiati S,


editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: PAPDI; 2006. p. 974–80.

Djojodiningrat, Hardjodisastro D. Hematemesis melena. Dalam: Simandibrata M, Setiati


S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA, Mansjoer A, editor. Pedoman diagnosis dan terapi
di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian
IPD FKUI; 1999:20-4. 7.

Djojodiningrat, Hardjodisastro D. Hematemesis Melena. Dalam: Subekti I, Lydia A,


Rumende CM, Syam AF, Mansjoer A, Suprohaita, editor. Prosiding symposium :
Penatalaksanaan Kegawatdaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian IPD FKUI; 2001:111-7

Dondossola D, Ghidini M, Grossi F, et al. Practical review for diagnosis and clinical
management of perihilar cholangiocarcinoma. World Journal of Gastroenterology.
2020:26(25):3542-61

Fekaj, E., Jankulosvki, N., Matveeva, N. (2017). Obstructive Jaundice. Austin Digestive
System. 2(1): 1006.

Friman S. Cholangiocarcinoma--current treatment options. Scand J Surg. 2011;100(1):30-


4. doi: 10.1177/145749691110000106. PMID: 21491796.

Garcia-Tsao G, Sanyal AJ, Grace ND, Carey W. The Practice Guidelines Committee of
the American Association for the Study of Liver Diseases, the Practice Parameters
Committee of the American College of Gastroenterology. Prevention and
management of gastroesophageal varices and variceal hemorrhage in cirrhosis. Am
J Gastroenterol. 2007; 102(1):2086-102.

Kelly MS, Sandora TJ. Community-Acquired Pneumonia. In: Kliegman RM, editor.
Nelson Textbook of Pediatrics. 20th ed. Philadelphia; 2016. p. 2088–93.

Kusharwanti, Wara, dkk. 2014. Pengoptimalkan Peran Apoteker Dalam Pemantauan dan
Evaluasi Insiden Keselamatan Pasien. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. Vol:
3(3).67-76.

Lexicomp’s Drug Reference Handbooks. 2021. Drug Information Handbook. Lexicomp:


Amerika.

Levi, M. (2014). Disseminated Intravascular Coagulation. Medscape Medical Reference

32
Menteri kesehetan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Menkes RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Morton, Patricia Gonce. (2014). Keperawatan Kritis Pendekatan asuhan holistik Vol.2
Edisi 8. Jakarta: EGC

Niederman MS, Luna CM. Community-acquired pneumonia guidelines: A global


perspective. Semin Respir Crit Care Med. 2012;33(3):298–310. Available from:
http://dx.doi.org/10.1055/s-0032-1315642

Poh, Z., Chang, P.E.J. 2012. A Current Review of the Diagnostic and Treatment
Strategies of Hepatik Encephalopathy. Hindawi Publishing Corporation: DOI
10.1155/2012/480309

Prakash, Ravi., Mullen, Kevin D. 2010. Mechanism, Diagnosis and Management of


Hepatic Encephalopathy: DOI 10.1038/nrgastro.2010.116

Sulaiman, Ali. 2014. Pendekatan klinis pada pasien ikterus. In: Aru W Sudoyo, et al.
Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid 2. 6th Ed. Jakarta: Penerbitan FKUI

Torres A, Menendez R, Wunderink RG. Bacterial Pneumonia and Lung Abscess. In:
Broaddus VC, Mason RJ, Ernst JD, King Jr TE, Lazarus SC, Murray JF, et al.,
editors. Murray & Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine. 6th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2016. p. 557–82.

Watanabe T, Higuchi K, Tanigawa T, Tominaga K, Fujiwara Y, Arakawa T. Mechanisms


of peptic ulcer recurrence: role of inflammation. InflammoPharmacology.
2002;10(4-6):291-302.

33
Lampiran 1. Hasil Pemeriksaan Urinalisis

34
Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan USG Abdomen

35
Lampiran 3. Hasil Pemeriksaan CT Scan Abdomen

36

Anda mungkin juga menyukai