Anda di halaman 1dari 4

Santernya pemberitaan dimedia massa soal kasus TKW asal Indonesia yang dipancung di Arab Saudi,

sebuah persoalan besar. Bangsa Indonesia, sedang diremehkan dan dibuat malu dihadapan bangsa-
bangsa di dunia.
Dipancungnya Ruyati disebabkan membunuh majikanya yang kasar dan jahat, dikarenakan gajinya
tidak kunjung dibayar, sebuah perlawanan rakyat indonesia diinjak-injak harga dirinya. Kasus Ruyati
adalah bentuk pelaggaran HAM pada TKW kita, jadi dia nekat membunuh sang majikan karena
dianggap melecehkan dirinya.
Kabar Ruyati dipancung alias dihukum penggal oleh pemerintah Arab Saudi, menjadi pertanyaan besar
bagi pemerintah Indonesia yang dipimpin SBY. Ternyata, SBY memiliki politik luar negeri (LN) yang
mandul, karena tidak bisa menyelamatkan warganya.
Siapa yang paling bertanggung jawab soal hukum pancung terhadap Ruyati yakni, SBY-Boediono,
Martinata Legawa (Menlu) dan Muhaimin Iskandar (Menakertrans), sebab mereka tidak bisa
melindungi WNI yang berkerja di Luar Negeri. Kasus Ruyati contoh besar betapa mengenasnya TKW
Indonesia yang berkerja ke Luar Negeri.
Di Saudi Arabia, banyak TKW yang keleleran di bawah jembatan layang negeri ka’bah, karena kabur
dari majikan yang terkenal jahat. Para TKW yang pulang ke Indonesia banyak menceritakan TKW
dijadikan budak orang arab.
Kasus Ruyati harus menjadi pelajaran dan cambuk keras bagi pemerintah yang tidak pernah melarang
warganya menjadi TKI di saudi Arabia. Pemerintah harus membuat kebijakan keras, terhadap hukuman
pancung bagi TKI Indonesia.
Stop pengiriman TKW indonesia sebagai Pembantu Rumah tangga, sebab sudah banyak cerita
mengerikan bagi pahlawan devisa Bangsa ini. Mulai cerita kekerasan fisik, Psikologis dan Seksual,
menjadi kabar menyedihkan bagi TKW ke Arab Saudi.
Seperti diceritakan tetangga saya, WN, mantan TKW Saudi Arabia, dirinya bekerja pada orang Arab
seperti budak, tidurnya sedikit, kerjanya banyak. Bahkan, orang arab tak segan-segan mengatakan para
TKW sebagai Anjing, Onta dan hewan lainya.
“Kalau majikan marah, umpatan kata-kata menjijikan keluar dan tak segan main kasar,” ungkapnya.
WN menceritakan, banyak rekanya menjadi kekerasan seksual majikan laki-laki, seperti kakek, bapak,
anak dan cucu-nya. Mau melawan tidak berani, karena takut tidak digaji, sedangkan di Indonesia
banyak Hutang. “Jadi TKW di arab Saudi bukan hanya pembantu rumah tangga saja, melainkan
menjadi budak seks,” ujar WN sambil mengenang cerita rekanya yang masih disaudi.
Cerita dari tetangga saya ini, membuat hatiku meringgis kesakitan dan sedih, jika warga satu bangsa
begitu dilecehkan di Negeri Arab itu. TKW bukan mendapat gaji besar,melainkan kesadisan sang
majikan.
Bahkan, teman saya yang bekerja di kedutaan Belanda yang pernah ke Arab Saudi menyampaikan,
TKW Indonesia kerap dijadikan budak seksual majikan dan jarang digaji. Selain itu, banyak TKW
yang menjadi pengemis usai kabur dari majikan yang jahat dijalan-jalan negeri kaya minyak. “Saya
sampai menangis saat ke Arab Saudi meneman konsulat mendapati TKW kita seperti budak,” ungkap
teman saya yang sekarang masih bekerja di kedutaan belanda.
Mendengar cerita dari tetangga dan teman, saya hanya bisa berteriak, hentikan pengiriman TKW
sebagai pembantu rumah tangga ke Arab Saudi atau negara Arab lainya. Sebab TKW hanya dijadikan
budak orang arab, bukan dijadikan layaknya manusia seutuhnya. Hentikan pengiriman TKI ke Arab
saudi, sudahilah kabar menyedihkan anak negeri yang dijadikan budak.
Bagian 2

erhitung sejak tanggal 1 Agustus 2011 mendatang, pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk
menghentikan pengiriman pekerja Indonesia ke Arab Saudi. Keputusan yang dikeluarkan oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono itu menyusul sejumlah kasus pidana yang dihadapi oleh pekerja
Indonesia, khususnya pembantu rumah tangga, yang mendapat hukuman maksimum untuk kesalahan
mereka.
Eksekusi Ruyati dengan hukuman pancung menjadi alarm bagi pemerintah untuk mengambil
keputusan moratorium. Namun, seakan merespon lebih awal atas keputusan pemerintah Indonesia,
Arab Saudi telah mengumumkan untuk menghentikan perekrutan pekerja dari Indonesia. “Mulai Sabtu,
Juli 2, 2011 Menteri Tenaga Kerja menghentikan pemberian visa bagi pekerja Indonesia. Penghentian
visa juga akan diterapkan untuk pekerja dari Filipina,” kata juru bicara Menteri Tenaga Kerja Hattab
bin Saleh Al –Anzi, sebagaimana dikuti Arabnews, Kamis (29 / 6).
Dalam rangka memahami krisis perburuhan Indonesia-Arab Saudi, setidaknya ada tiga issu utama
untuk diselesaikan. Pertama: Memahami Budaya: Seperti kita ketahui, Indonesia dan Arab Saudi
adalah negara dengan status mayoritas muslim. Namun, Indonesia adalah negara yang terbuka,
termasuk masyarakatnya yang terbiasa dengan pakaian yang tidak tertutup rapat. Arab memilki budaya
sebaliknya. Demikian halnya soal sopan santun. Jalan membungkuk, misalnya, adalah bentuk
penghargaan. Mencium tangan adalah tanda penghormatan. Hal tersebut tidak kita dapatkan di
masyarakat Arab.
Tampaknya, pada setiap Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) perlu diwajibkan untuk
memberikan “mata kuliah” pengenalan budaya sebelum pengiriman TKI ke luar negeri. Saya pribadi
menyaksikan bagaimana para calon TKW berusaha untuk belajar bahasa Arab, namun mereka hanya
belajar bagaimana mengeja peralatan dapur seperti sendok, piring, gelas, dll Tapi, mereka tidak pernah
mempelajari budaya dan peradaban Arab.
Kedua: Revisi Undang-undang. Sambil menerapkan moratorium pengiriman buruh migran ke Arab
Saudi, sudah saatnya bagi pemerintah dan DPR untuk duduk bersama untuk meninjau UU No. 39 tahun
2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. Undang-undang tersebut sangat terbatas dalam
cakupannya. Perlindungan pekerja perempuan (hamil) tidak diatur. Peran Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dalam penempatan buruh migran juga sangat minim. Kementerian Pemberdayaan
Perempuan harus memiliki lebih banyak ruang sehingga pembantu tidak menjadi korban pelecehan
gender.
Selanjutnya, UU tersebut juga tidak mencakup nasib para pelaut meskipun kesempatan untuk bekerja di
kapal sekarang cukup besar. Pada tahun 2008, misalnya, jumlah yang diperlukan adalah 1,3 juta orang,
sedangkan di 2009 jumlahnya meningkat menjadi 1,5 juta orang. Meskipun permintaan tumbuh, profesi
ini belum diatur secara jelas. UU No: 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI juga
tidak mengatur profesi pelaut jelas. Sampai saat ini, Indonesia belum meratifikasi konvensi PBB
tentang perlindungan hak-hak pekerja migran dan keluarga mereka. Bahkan, meratifikasi konvensi
PBB adalah mutlak diperlukan agar para pekerja migran untuk bisa sejajar dengan pekerja migran
negara asing lainnya.
Ketiga: Pemahaman hukum (Islam) Arab Saudi. Setelah semua penjelasan di atas disebutkan, masalah
yang tersisa yang harus dipahami juga adalah masalah hukum. Banyak kasus yang dihadapi oleh buruh
migran adalah tindakan kriminal yang mengantarkan mereka pada hukuman mati. Di Arab Saudi,
pidana had pembunuhan hukumannya adalah qisas. Artinya, jika si fulan terbunuh, pembunuhnya pun
harus dihukum mati.
Lebih jauh, KUHAP Arab Saudi (Qanun al-Murafaat) adalah manifestasi fiqh Hanbali yang dituangkan
dalam bentuk undang-undang. Berbeda dengan KUHAP kita, Qanun al-Murafaat berisikan banyak
sekali jurisprudensi. Maka, jika anda jadi lawyer litigasi, anda harus hafal ayat-ayat al-Qur’an, hadits,
dan ribuan jurisprudensi yang telah berlangsung berabad-abad. Di sana, kekuasaan kehakiman menyatu
menjadi bagian dari kerajaan. Bahkan, seorang Menteri Kehakiman bertindak sekaligus sebagai Ketua
Mahkamah Agung.
Kita tahu, para TKW kita bekerja di sektor domestik di mana payung hukum perlindungannya sangat
rentan dan sulit. Pada kasus Darsem binti Dawud ini, misalnya, ia kukuh tidak melakukan pembuhan
(qatl amd) melainkan sebagai usaha membela diri dari pemerkosaan (qatl ghair amd). Masalahnya,
Locus delicti-nya adalah ruang privat yang pada masyarakat Arab tabu untuk dilakukan, misalnya,
gelar perkara atau olah TKP secara terbuka kepada publik. Lebih jauh, kita tahu, masyarakat Arab
sangat kental dalam beragama. Jenazah seorang muslim, misalnya, tak boleh diautopsi oleh dokter non-
muslim. Pemeriksaan kepada saksi atau terdakwa wanita harus dilakukan oleh polisi wanita dan
didampingi lawyer wanita pula.
Saya kira, itu adalah tiga issu utama yang harus ditangani oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dan pemerintahnya di tahun-tahun mendatang, terutama untuk menyelesaikan krisis buruh migran
Indonesia di Arab Saudi. Ada lebih dari satu juta orang Indonesia saat ini bekerja di Arab Saudi.
Beberapa dari mereka telah bekerja selama bertahun-tahun tanpa pemahaman hukum dan budaya yang
tepat. Mereka perlu merasa bahwa ada pemerintah Indonesia yang menyentuh hidup mereka.
Percayalah, orang Saudi juga sangat membutuhkan ntuk memiliki TKI kita ketimbang dari Bangladesh.
Indonesia lebih rendah hati dan terpercaya. Jadi, sekaranglah saatnya untuk mengangkat posisi tawar
pekerja migran Indonesia.

Bagian 3

Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan keprihatian dan
duka cita mendalam atas meninggalnya Ruyati binti Saboti Saruna, pekerja rumah tangga migran asal
Bekasi Jawa Barat yang dihukum pancung di Saudi Arabia pada tanggal 18 Juni 2011 di Jeddah, Saudi
Arabia. Komnas Perempuan sangat menyayangkan kelambanan perwakilan RI di Saudi Arabia dalam
merespon hal tersebut. Informasi tentang Saudari Ruyati diterima di Indonesia justru ketika hukuman
pancung telah dieksekusi. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa selama proses peradilan tidak ada
kabar berita mengenai status hukum Saudari Ruyati?

Peristiwa yang dialami Ruyati meskipun kasus pidana, tidak boleh melepaskan tanggung jawab negara
untuk memberikan bantuan hukum terhadap warga negaranya di dalam maupun di luar negeri. Hal
tersebut dijamin oleh konstitusi yaitu pada pembukaan UUD 1945 yang menegaskan kewajiban Negara
untuk ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum”. Namun pada kenyataanya, almarhum Ruyati harus berjuang
sendirian dalam proses peradilan. Pelanggaran pidana yang “terpaksa” dilakukan oleh Ruyati adalah
sebentuk konkrit dari rentannya situasi kerja pekerja rumah tangga migran. Kerentanan itu terjadi
akibat dilanggarnya hak untuk berkomunikasi, hak untuk dapat bergerak bebas (mobility) dan hak atas
privasi dan akomodasi yang layak, membuat Ruyati terpaksa melakukan tindak pidana untuk
mempertahankan diri dari kekerasan dan eksploitasi yang dilakukan majikannya. Begitupun yang
terjadi dengan Darsem yang mempertahankan diri dari kekerasan seksual yang dilakukan majikannya.

Komnas Perempuan mempertanyakan sejauh mana diplomasi yang pro-aktif termasuk pelayanan
Konsuler bagi warga Negara yang sedang menghadapi masalah hukum, berdasarkan Undang-Undang
No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, dilaksanakan. " Sudahi impunitas ! Pembebasan
pekerja migran dari hukuman mati tidak bisa lagi mengandalkan kebaikan hati orang-orang kaya di
Saudi Arabia, tetapi harus dari usaha keras pemerintah RI untuk mendesak berbagai pihak di negara
penerima. KBRI harus memberi laporan transparan ke publik mengenai sumbangan-sumbangan dari
masyarakat Saudi yang digunakan untuk meringankan hukuman yang menjerat pekerja migran ",
demikian ungkap Yuniyanti Chuzaifah Ketua Komnas Perempuan.

Untuk itu Komnas Perempuan menyatakan sikap :

• Pemerintah harus memberi informasi yang transparan kepada publik mengapa Ruyati tidak bisa
diselamatkan dari eksekusi hukuman mati di Arab Saudi.
• Pemerintah harus menyusun rencana yang sistematis, strategis dan diinformasikan kepada
publik mengenai advokasi pembebasan pekerja migran atau WNI lain yang terancam hukuman
mati, seperti kasus Darsem.
• Pemerintah RI harus meminta penjelasan sesegera mungkin kepada Pemerintah Arab Saudi
tentang kasus Ruyati dan kasus-kasus serupa lainnya.
• Mendesak Pemerintah RI untuk melakukan diplomasi politik kepada Pemerintah Saudi Arabia,
dalam hal ini Raja Abdullah bin Abd Aziz untuk memberikan pengampunan kepada pekerja
migran yang terancam hukuman mati di Saudi Arabia.
• Mendesak pemerintah untuk segera mengimplementasikan perlindungan pekerja migran yang
komprehensif dan konsisten, yaitu dengan meratifikasi konvensi PBB 1990 tentang
Perlindungan Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya dan Konvensi ILO 189 tentang Kerja
Layak bagi PRT dan mendukung pengesahan RUU Perlindungan PRT dan revisi UU 39/2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar Negeri berdasarkan dua
konvensi tersebut.
• Mendorong Pemerintah RI untuk menggunakan Forum regional dan internasional seperti
ASEAN, OKI dan lainnya untuk memberikan perlindungan yang optimal bagi Pekerja rumah
tangga migran.****(Komnas Perempuan)

Anda mungkin juga menyukai