Anda di halaman 1dari 6

Ulfah Kharimah

15/378678/SP/26632

Persoalan Tenaga Kerja Wanita Pekerja Domestik di Luar Negeri

Beberapa tahun belakang sering kita dengar berbagai berita mengenai Tenaga
Kerja Wanita yang mendapatkan masalah di negara tempat mereka bekerja. Ada yang
mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari majikannya (sebagian besar tenaga
kerja perempuan di luar negeri bekerja di sektor domestik/pembantu rumah tangga)
seperti penganiayaan fisik seperti dipukuli, ditampar, dan berbagai siksaan fisik
lainnya yang mengakibatkan luka serius bagi para pekerja, serta penganiayaan verbal
seperti memaki atau merendahkan diri pekerja tersebut. Ada pula kasus pelecehan
seksual ataupun pemerkosaan tenaga kerja perempuan oleh majikan lelakinya yang
menambah beban luka fisik dan psikis pekerja perempuan tersebut. Kemudian ada
hak-hak pekerja yang dilanggar seperti jam kerja yang melebihi ketentuan (lebih dari
8 jam per hari) serta gaji yang tidak sesuai dengan upah minimum yang ditetapkan
pemerintah atau tidak dibayarkan selama bertahun-tahun 1. Masalah selanjutnya yang
menimpa para pekerja migran ini adalah vonis hukuman mati karena diduga
membunuh majikan tempat ia bekerja. Para pekerja yang memilih membunuh
majikannya ini adalah korban kekerasan dalam bekerja yang sudah tidak tahan lagi
dengan perlakuan majikannya tersebut. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Sejatinya pengiriman tenaga kerja ke luar negeri merupakan salah satu upaya
mengurangi angka pengangguran yang tinggi dan gejolak tenaga kerja. Selain itu
salah satu pendapatan terbesar negara dalam perekonomian adalah pendapatan yang
dihasilkan dari sektor pekerjaan migrasi (Sulistyowati, 2011). Data terakhir yang
dirilis oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI) menyebutkan remitansi2 TKI tahun 2016 (hingga bulan Maret) sebesar

Kasus terbaru adalah TKI bernama Yati yang gajinya tidak dibayar oleh majikan selama 6 tahun bekerja serta
mendapatkan kekerasan dan eksploitasi selama bekerja. Akhirnya kasus ini dapat diselesaikan KBRI Amman
sehingga Yati mendapatkan gajinya selama 6 tahun sebesar USD 12.260 (Rp 160 juta).
2
Transfer uang yang dilakukan pekerja migran ke penerima di negara asalnya.

USD 2.301.210.017,- atau setara dengan IDR 30.550.864. 185.123,-.3


Remitansi TKI Tahun 2010-2016 (s.d. Maret)4
Tahun

Remitansi ( X USD 1 Milyar)

2010

6,74

2011

6,73

2012

6,99

2013

7,40

2014

8,43

2015

9,42

2016 (s.d. Maret)

2,30

Ironisnya, peran pekerja migran dalam memberikan pendapatan yang sangat


besar kepada negara tidak diikuti dengan apresiasi pemerintah, setidaknya dalam hal
menjamin kelayakan pekerjaan bagi para pekerja migran tersebut, khususnya bagi
pekerja wanita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Menurut perspektif Akses Keadilan5, beberapa ciri penting dari pekerja migran
sektor domestik yaitu:
1. Tidak adanya hukum yang mengatur secara khusus terkait pekerja domestik, yang
mana tidak dianggap sebagai sebuah pekerjaan dan merupakan pekerjaan informal
yang dipandang tidak pantas dimasukkan ke dalam pasar kerja yang bersifat
profesional. Karena tidak adanya aturan hukum negara formal, maka aturan yang
digunakan adalah aturan yang dibuat dalam rumah tangga tempat pekerja itu bekerja.
2. Dunia kerja para pekerja wanita ini berada di dalam rumah dengan rincian tugas tak
terbatas.
3. Pekerjaan dilakukan dalam waktu yang lebih panjang daripada jam kerja sektor
formal, bahkan tidak ada waktu libur (kecuali Hongkong)
4. Bayaran tidak sebanding dengan pekerjaan di pasar kerja karena dianggap
pekerjaan rendah.

Terjadi penurunan remitansi dari tahun sebelumnya (2015 s.d Maret) USD 2.335.530.881,-.
Data BNP2TKI April 2016
5
Sulistyowati Irianto, Akses Keadilan dan Migrasi Global: Kisah Perempuan Indonesia Pekerja Domestik di Uni
Emirat Arab (Jakarta: Buku Obor), hlm. 39.
4

5. Para pekerja domestik rentan terhadap berbagai benuk perlakuan kekerasan karena
hampir tidak adanya perlindungan hukum negara.
Dari ciri-ciri di atas dapat dilihat bahwa para wanita pekerja domestik ini
merupakan kelompok yang termarjinalkan dan rentan dalam lingkungan kerjanya.
Seperti bagaimana hukum memproyeksikan wanita serta pekerjaan domestik yang
melibatkannya, seperti itu pula budaya memandang wanita dan pekerjaan domestik
mereka. Para pekerja perempuan ini ditempatkan pada kasta terendah dalam
masyarakat negara penerimanya. Selain itu hal ini disebabkan oleh rasisme dan
bahkan rasisme bukan menyoal kesenjangan budaya dan kesalahpahaman, melainkan
menyoal relasi kuasa interseksional di dalam ras, kelas, dan gender.6
Masalah-masalah pekerja migran dapat diidentifikasi dalam beberapa tahapan7,
yakni:
A. Tahapan rekruitmen
Terdapat banyak informasi menyesatkan mengenai jenis dan kondisi pekerjaan,
pemalsuan dokumen, penjeratan hutang, serta tidak adanya kontrak yang
ditandatangani (Misra & Rosenberg, 2003).
B. Tahapan pra-pemberangkatan
Para pekeja migran ditempatkan di suatu penampungan untuk mendapatkan
pelatihan kerja. Pelatihan kerja dapat berupa pengetahuan umum, bahasa, pengenalan
latar belakang budaya negara yang dituju, keterampilan menjaga anak dan pekerjaan
rumah, serta materi keagamaan dan pengetahuan agar kepribadian calon pekerja
migran. Walaupun menurut UU Nomor 39 Tahun 2004 pelatihan ini merupakan hal
yang wajib, tetapi pada praktiknya selalu saja persiapan para pekerja ini terbatas.
Selain itu pada tahap ini para pekerja terlilit hutang untuk kebutuhan pokok,
pemalsuan dokumen resmi, serta harus tinggal di tempat penampungan yang keadaan
fisik fasilitasnya dibawah standar kesehatan. Selain itu para pekerja rawan terhadap
pelecehan seksual, kekerasan fisik, dan transportasi yang berbahaya.
C. Tahapan penempatan negara tujuan
6

Patricia Chong (2010) dalam buku Akses Keadilan dan Migrasi Global oleh Sulistiyowati Irianto.
Sulistyowati Irianto, Akses Keadilan dan Migrasi Global: Kisah Perempuan Indonesia Pekerja Domestik di Uni
Emirat Arab (Jakarta: Buku Obor), hlm. 12.
7

Para pekerja migran wanita ini kemudian dihadapkan pada kesulitan-kesulitan


seperti pelanggaran hak-hak pekerja, situasi kerja yang tidak aman, kekerasan fisik,
psikologis, dan seksual, dikurung, terjerat hutang, tidak diayar, gaji dipotong,
dipenjara, bahkan identitas dan dokumen perjalanannya ditahan.
D. Tahapan kembali ke negaranya
Sering kali para pekerja migran setelah kembali ke Indonesia mengalami
pemerasan seperti mahalnya biaya jasa bandara dan bea cukai, penukaran valuta
asing, pembayaran agen transportasi, serta sejumlah hutang yang harus mereka
bayarkan setibanya di kampung halaman. Kemudian banyak dari para pekerja migran
ini yang pulang dalam keadaan sakit atau cidera.
Walaupun pemerintah sudah melakukan upaya dalam menanggulangi kasus-kasus
di atas, namun dalam praktiknya masih banyak kekurangan di sana sini yang
merupakan celah bagi pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mendapatkan
keuntungan dari para pekerja migran ini. Peraturan UU mengenai Tenaga Kerja di
Luar Negeri tampaknya masih belum bisa menangani permasalahan yang ada.
Kemudian permasalahan yang sebenarnya adalah pemerintah lebih fokus pada
penempatan tenaga kerja migran, bukannya perlindungan. Hal ini dapat dilihat dalam
UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri dimana hanya terdapat 8 pasal (Pasal 77 sampai Pasal 84)
yang mengatur mengenai perlindungan tenaga kerja dari total 109 pasal dan 16 Bab.
Selanjutnya pasal mengenai perlindungan ini tidak jelas dan tidak cukup untuk
melindungi para pekerja serta hak-haknya. Selain itu adanya pekerja migran yang
tidak memiliki dokumen (pekerja migran undocumented) atau yang berangkat secara
mandiri dianggap tidak termasuk dalam kerangka penempatan sehingga tidak perlu
mendapatkan perlindungan.8
Tenaga Kerja Migran sebagai salah satu penyumbang pendapatan negara terbesar
layak mendapatkan penghargaan dari pemerintah maupun rakyat Indonesia.
Penghargaan ini dapat diberikan oleh pemerintah dengan cara memperbaiki struktur
serta hukum yang nantinya dapat memayungi para pekerja migran ini dari tindakan
8

Sulistyowati Irianto, Akses Keadilan dan Migrasi Global: Kisah Perempuan Indonesia Pekerja Domestik di Uni
Emirat Arab (Jakarta: Buku Obor), hlm. 50.

yang membahayakan diri mereka. Pemerintah harus berbenah dalam proses baik itu
persiapan keberangkatan, setelah berada di negara tujuan, hingga kembali ke
Indonesia. Pemerintah harusnya melakukan upaya preventif untuk menghindari kasus
para pekerja migran domestik di luar negeri, bukan hanya bertindak saat para pekerja
sudah mendapatkan masalah. Hal ini dapat dimulai dari perbaikan proses rekrutmen
pekerja dan penyampaian materi ketenagakerjaan serta kejelasan hukum harus
disampaikan sejelas-jelasnya agar para pekerja tidak mengalami masalah akibat
kurangnya pengetahuan dan kecakapan mereka dalam bekerja, hal ini dapat diketahui
dengan melakukan sertifikasi uji kompetensi9 para pekerja migran domesitik.
Pemerintah haru melakukan pemantauan dan upaya proteksi pekerja migran selama
berada negara tempat ia bekerja.
Jika pemerintah serius dalam upaya perlindungan tenaga kerja migran pekerja
domestik, hal ini mencerminkan adanya upaya kesetaraan gender karena dengan
melindungi hak-hak perempuan yang merupakan kelompok marjinal dapat
mengembangkan para pekerja tersebut untuk bekerja lebih baik lagi sesuai dengan
kecakapannya sehingga mereka berhasil membawa keluarga mereka keluar dari
lingkaran kemiskinan.
Daftar Pustaka
AR, Nur Solikin. 2013. Otoritas Negara dan Pahlawan Devisa. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Astuti, Budi, S.H., 2008. Sertifikasi Uji Kompetensi sebagai Upaya Perlindungan
Hukum bagi Tenaga Kerja Indonesia/Tenaga Kerja Wanita Penata Laksana
Rumah Tangga. Tesis Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
BNP2TKI. 2016. Laporan Pengolahan Data BNP2TKI s.d. April 2016.
http://www.bnp2tki.go.id/read/11280/Data-Penempatan-dan-PerlindunganTenaga-Kerja-Indonesia-Periode-1-JANUARI-S.D-30-APRIL-2016.html (6
Juni 2016).
DetikNews. 2016. Kisah Yati Pembantu Rumah Tangga di Yordania yang Kerja 6
Tahun Tak Digaji. http://news.detik.com/berita/3225325/kisah-yati-pembantu9

Tesis Budi Astuti, S.H. 2008. Sertifikasi Uji Kompetensi sebagai Upaya Perlindungan Hukum bagi Tenaga Kerja
Indonesia/Tenaga Kerja Wanita Penata Laksana Rumah Tangga.

rumah-tangga-di-yordania-yang-kerja-6-tahun-tak-digaji (6 Juni 2016).


Irianto, Sulistyowati. 2011. Akses Keadilan dan Migrasi Global: Kisah perempuan
Indonesia Pekerja Domestik di Uni Emirat Arab. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Lembaran Negara RI Tahun 2004, Nomor 4445. Sekretariat Negara. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai