P3PHK (2 SKS)
► Semester VI
Pertemuan/Kuliah ke – 7
Sabtu, 08 Maret 2023 | Jam 16.00-17.30 WIB | Class Room
Pengertian mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncana- kan dan
dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/ serikat buruh untuk
menghentikan atau memperlambat pekerjaan (Pasal 1 angka 23 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
Pengertian antara mogok kerja dan unjuk rasa atau demonstrasi sangatlah berbeda
sehingga mekanisme dan strategi pelaksanaannya tentu berbeda pula. Secara prinsipiil
dasar hukum keduanya berbeda, untuk mogok kerja mengacu pada Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenage kerjaan, sedangkan unjuk rasa atau
demonstrasi mengacu pada Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan
Menyampaikan Pendapat d Muka Umum. Dengan demikian, hal ini perlu mendapat
perhatian serius 1 bagi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh atau
penanggung jawab mogok kerja karena menyangkut prosedur pemberitahuan.
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (Pasal 28, 28C, dan 28F).
2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum.
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 232/Men/2003
tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah;
7. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor Pol. 1 Tahun
2005 tentang Pedoman Tindakan Kepolisian Negara Republik Indonesia pada
Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Perselisihan Hubungan Industrial.
B. Penyebab Mogok Kerja (Strike)
Pada dasarnya, secara umum penyebab pemogokan tidak jauh berbeda dengan
penyebab perselisihan, demikian pula strategi mengantisipasi atau mencegahnya
(Suwarto; 2005: 9).
Penyebab mogok kerja sangat beragam, seperti karena pelanggaran hak-hak normatif
pekerja/buruh oleh pengusaha, solidaritas antar-rekan sekerja,tuntutan kenaikan
upah, peningkatan fasilitas kesejahteraan, dan lain-lain.
1. Sikap arogansi pengusaha dan tidak solutif dalam menyikapi permasalahan atau
perselisihan hubungan industrial;
2. Sikap arogansi pekerja/buruh dan atau serikat pekerja/serikat buruh yang
hanya menuntut dengan kata "pokoknya";
3. Kebijakan pemerintah-termasuk sikap politik legislatif-yang dianggap merugikan
kepentingan pekerja/buruh;
4. Akibat dari ketidaktahuan dan ketidakpahaman para pihak terhadap peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku secara komprehensif;
5. Kurangnya komunikasi para pihak terhadap masalah ketenagakerjaan dan
perkembangan hubungan industrial. Keterkaitannya dengan masalah tersebut
di atas dan sebagai upaya untuk mengantisipasi mogok kerja, maka komunikasi,
konsultasi, dan penyuluhan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan
sangat diperlukan. Demi- kian halnya partisipasi para pihak (pekerja/buruh dan
pengusaha) dalam pembuatan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan sehingga para pihak ikut bertanggung jawab dan secara penuh
akan melaksanakannya.
Mogok kerja (strike) yang digerakkan oleh pihak ketiga biasanya lebih rumit
penyelesaiannya dibanding mogok yang digerakkan oleh pekerja/ buruh atau
pengurus serikat pekerja/serikat buruh internal perusahaan.
1. Mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/ serikat
buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya
perundingan (Pasal 137). Yang dimaksud gagalnya perundingan adalah tidak
tercapainya ke sepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
dapat disebabkan pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau perundingan
mengalami jalan buntu (deadlock);
2. Pelaksanaan mogok kerja dilakukan dengan tidak melanggar hukum [Pasal 138
ayat (1)];
3. Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja dapat memenuhi atau tidak memenuhi
ajakan mogok kerja [Pasal 138 ayat (1)]. Sepanjang hak mogok kerja dilaksanakan
secara sah, tertib, dan damai (Pasal 143), siapa pun: a. tidak dapat menghalang-
halangi dan b. dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh.
Berdasarkan ketentuan hukum di atas jelas kiranya bahwa apabila terpaksa, hak
mogok kerja dilakukan oleh pekerja/buruh dan atau serikat pekerja/serikat buruh.
Maka dari itu, pelaksanaannya harus mematuhi ketentuan hukum yang berlaku.
Artinya, mogok kerja di- laksanakan melalui prosedur yang sah, tidak anarkis, atau
tidak bertindak melanggar hukum, termasuk tidak memaksa pekerja/ buruh lain untuk
ikut mogok kerja serta mengganggu ketertiban umum dan/atau membahayakan
keselamatan orang lain. Untuk itu diberikan pula jaminan sebagai perlindungan
hukum. Di sini diperlu- kan penanggung jawab mogok kerja yang benar-benar memiliki
kapasitas dan kredibilitas yang tinggi me-manage pelaksanaan mogok sesuai dengan
koridor hukum.
Bahwa hak mogok kerja (strike) dilakukan secara sah, tertib, dan damai. Sah dalam
hal ini, baik materil maupun formil, memenuhi prosedur seba- gaimana ketentuan
hukum yang berlaku. Guna menentukan mogok kerja (strike) itu sah atau tidak, dapat
dilihat atau ditelusuri dari prosedur yang ditempuhnya.
1. Mogok kerja hanya dilakukan sebagai akibat gagalnya perundingan. Jadi, tidak
boleh pekerja/buruh dan atau serikat pekerja/serikat buruh serta-merta
mengancam dan melaksanakan mogok kerja tanpa adanya upaya perundingan
bipartit sebagaimana mekanisme penye lesaian perselisihan hubungan industrial.
Upayakan perundingan terlebih dahulu untuk mencari penyelesaian secara
musyawarah mufakat.
Apabila pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh telah me- minta secara
tertulis kepada pengusaha sebanyak dua kali dalam tenggang waktu empat belas
hari kerja, tetapi pengusaha tetap tidak mau melakukan perundingan,
diklasifikasikan gagal perundingan.
Akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang
dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum. Menurut Muchsin (2005: 31),
akibat hukum diartikan sebagai akibat yang ditimbul kan oleh peristiwa hukum.
Berdasarkan uraian tersebut, pengertian akibat hukum mogok kerja (Strike) adalah
segala akibat yang terjadi atau ditimbulkan dari dilakukannya mogok kerja (strike).
Akibat hukum mogok kerja (strike) ini harus dapat perhatian secara serius oleh
pekerja/buruh dan/atau serikat pe kerja/serikat buruh karena menyangkut status
mogok kerja yang di- laksanakan dan segala dampak yang ditimbulkannya. Apakah
pasca mogok kerja nanti dapat menghasilkan atau mencapai sesuatu yang di harapkan
atau bahkan sebaliknya bisa berakibat fatal, yakni di-PHK se pihak oleh pengusaha?
Terlepas bahwa mogok kerja itu merupakan hak dasar pekerja/buruh yang dijamin
secara hukum, tentu pelaksanaannya perlu pertimbangan yang cermat dan strategi
jitu sebelum mogok kerja itu benar-benar dilakukan.
Akibat hukum mogok kerja (strike) dapat diklasifikasikan menjadi mogok kerja yang
sah (legal) dan mogok kerja tidak sah (ilegal). Mogok kerja yang sah (legal) berarti
mogok kerja yang dilakukan sesuai koridor hukum, sedangkan mogok kerja tidak sah
(ilegal) berarti mogok kerja yang di laksanakan tidak memenuhi ketentuan Pasal 139
dan 140 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut
ketentuan Pasal 1 dan 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Kep. 232/ Men/2003 secara rinci disebutkan bahwa mogok kerja tidak sah apabila
dilakukan:
1. Bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau
2. Tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang ber- tanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan; dan/atau
3. Dengan pemberitahuan kurang dari tujuh hari kerja sebelum pelaksanaan
mogok kerja; dan/atau
4. Isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b,
c, dan d Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
5. Oleh pekerja/buruh yang sedang bertugas pada perusahaan yang me layani
kepentingan umum dan atau perusahaan yang jenis kegiatan nya
membahayakan keselamatan jiwa manusia.
1. Mogok kerja sah (legal) Untuk mogok kerja yang sah (legal) adalah:
a. Siapa pun tidak boleh menghalang-halangi dan dilarang melaku- kan
penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus
serikat pekerja/serikat buruh;
b. Pengusaha dilarang:
Mengganti pekerja/buruh dari luar perusahaan;
Memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apa pun
terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/ serikat buruh.
c. Apabila tuntutan mogok kerja adalah hak normatif yang sungguh-
sungguh dilanggar pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah.
2. Mogok kerja tidak sah (ilegal). Untuk mogok kerja tidak sah (ilegal) adalah:
a. Pengusaha dapat mengambil tindakan sementara untuk me- nyelamatkan
alat produksi dan aset perusahaan dengan cara:
Melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan
proses produksi atau;
Apabila perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di
lokasi perusahaan.
b. Pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja (strike) dikualifikasi- kan
mangkir. Akibat hukum berikutnya: Pengusaha dapat melakukan
pemanggilan secara patut dan tertulis sebanyak dua kali berturut-turut
dalam tenggang waktu tujuh hari. Apabila pekerja/buruh tidak memenuhi
panggilan tersebut, dianggap mengundurkan diri;
c. Pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja dikualifikasikan sebagai
kesalahan berat apabila mogok kerja dilakukan oleh pekerja/buruh yang
sedang bertugas di perusahaan yang me layani kepentingan umum
dan/atau perusahaan yang jenis ke- giatannya membahayakan
keselamatan jiwa manusia mengakibatkan hilangnya nyawa manusia.
Menghadapi mogok kerja tentu identik dengan konflik karena esensinya sama, yakni
adanya perbuatan yang satu berlawanan dengan perbuatan yang lain sehingga salah
satu atau keduanya saling terganggu. Dalam kondisi seperti itu semua pihak perlu
memiliki sikap yang baik, yaitu ada- nya pandangan yang sehat, perasaan yang
positif, iktikad yang baik, dan perilaku yang konstruktif (Hardjana; 1994: 62).
Peran para pihak terhadap aksi mogok kerja tentu sangat diharapkan so- lutif
(problem solving), yakni terbuka untuk membantu penyelesaian per selisihan yang
menjadi penyebab mogok kerja dengan filosofi "menyele saikan masalah tanpa
menambah masalah". Sikap demikian akan dapat membantu penyelesaian
perselisihan secara cepat dan tepat.
1. Pengusaha
a. Wajib memberikan tanda terima jika menerima surat pemberi tahuan
mogok kerja dari pekerja/buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh atau
penanggung jawab;
b. Membuka peluang dan ambil inisiatif untuk terlaksananya pe rundingan
bipartit dengan pekerja/buruh dan atau serikat pe- kerja/serikat buruh
dalam rangka penyelesaian perselisihan yang sedang terjadi.
2. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
a. Wajib memberikan tanda terima jika menerima surat pemberi- tahuan
mogok kerja dari pekerja/buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh atau
penanggung jawab;
b. Wajib menyelesaikan masalah dengan memfasilitasi perundingan para
pihak yang berselisih, baik sebelum maupun selama mogok kerja;
c. Apabila upaya perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, segera
menyerahkan kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
3. Polri
a. Memberikan perlindungan dan pelayanan dalam menjaga ke- amanan dan
ketertiban masyarakat serta memungkinkan pe- laksanaan hak mogok
kerja, unjuk rasa, atau penutupan per- usahaan 12 secara sah, tertib, dan
damai;
b. Penempatan satuan anggota Polri berdasarkan permintaan pihak atau atas
penilaian Polri.
4. Mediator
a. Harus bertindak sesuai dengan undang-undang, peraturan, dan bentuk
keputusan atau petunjuk administratif lainnya. Mediator yang bersangkutan
harus menentukan rangkaian tindakan yang akan dilakukan untuk
menyelesaikan perselisihan;
b. Dalam hal pemogokan atau penutupan perusahaan yang sedang
berlangsung, mediator mulai dengan membuka pintu bagi ke- dua belah
pihak untuk berkomunikasi hingga kedua belah pihak setuju berunding
dengan bantuan mediator;
c. Apabila negosiasi sudah dimulai, mediator dapat meminta semua pekerja
untuk bekerja kembali sambil menyelesaikan masalah yang belum
disepakati;
d. Apabila menghadapi pemogokan tidak resmi, mediator sebaik- nya segera
menghubungi pimpinan serikat, pekerja dan me minta mereka segera
bekerja dan di lain pihak menampung ketuhan dan tuntutan mereka untuk
disampaikan dan diselesai kan bersama manajemen sesuai dengan
prosedur;
e. Apabila menghadapi ancaman pemogokan atau penutupan per usahaan,
sikap dan ketidakberpihakan mediator tidak boleh berubah. Salah satu
peran mediator dalam situasi seperti itu adalah mengingatkan pihak-pihak
yang berselisih untuk memper. hatikan persyaratan dan peraturan
melakukan pemogokan atau penutupan perusahaan;
f. Setiap mediator harus melakukan pertemuan dengan pihak- pihak yang
berselisih;
g. Jika pemberhentian kerja sudah tidak dapat dielakkan, mediator dapat
menganjurkan kedua belah pihak sepakat untuk sementara tidak bekerja.
1. Pengusaha
a. Dengan tangan terbuka bersedia menerima serikat pekerja/ serikat buruh;
b. Memerhatikan dan tanggap terhadap kondisi upah dan kesejahteraan
pekerja/buruh;
c. Memperlakukan pekerja/buruh secara manusiawi dan sekaligus menjadikan
pekerja/buruh sebagai mitra usaha;
d. Mengembangkan forum komunikasi, musyawarah antara pekerja/buruh dan
pengusaha, termasuk fasilitas-fasilitas yang diperlukannya. Meningkatkan
hubungan kemitraan dengan serikat pekerja.
2. Pekerja/serikat pekerja
a. Pengurus serikat pekerja harus mampu mengembangkan ko- munikasi
dengan baik dan memahami masalah perusahaan;
b. Pekerja dan atau serikat pekerja hendaknya mengendalikan diri dan selalu
melakukan musyawarah;
c. Pekerja dan atau serikat pekerja tidak bersikap konfrontatif dan destruktif.
3. Pemerintah
a. Selalu tanggap terhadap keadaan hubungan industrial dalam setiap
perusahaan;
b. Meningkatkan pembinaan hubungan industrial dan pengawasan terhadap
ketentuan normatif.
PENUTUPAN PERUSAHAAN (LOCK OUT)
Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat
gagalnya perundingan.
Dasar hukum penutupan perusahaan (lock out) adalah Pasal 146 sampai dengan Pasal
149 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Beberapa prinsip penutupan perusahaan (lock out) yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah:
1. Dilakukan oleh pengusaha sebagai akibat gagalnya perundingan [Pasal 146 ayat
(1)];
2. Dilarang sebagai tindakan balasan karena adanya tuntutan normative
pekerja/buruh dan atau serikat pekerja/serikat buruh [Pasal 146 ayat (2)].
Kalaupun terpaksa, secara taktis tindakan balasan biasanya dilakukan
pengusaha secara persuasif dan bertahap, jarang dilakukan spontan. Biasanya
mutasi atau "pura-pura" dipromosikan ke lokasi tain atau kantor pusat tanpa
diberikan job yang pasti;
3. Dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku [Pasal 146 ayat
(3)].” Apabila penutupan perusahaan (lock out) dilakukan secara bertentangan
dengan undang-undang atau sebagai tindakan pembalasan terhadap
pemogokan yang sah berdasarkan tuntutan normatif, pengusaha wajib
membayar upah pekerja/buruh;
4. Dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang melayani ke- pentingan
umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan ke selamatan jiwa
manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan air bersih, pusat pengendali
telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas
bumi, serta kereta api (Pasal 147).