Anda di halaman 1dari 16

Materi Perkuliahan

P3PHK (2 SKS)

► Semester VI
Pertemuan/Kuliah ke – 7
Sabtu, 08 Maret 2023 | Jam 16.00-17.30 WIB | Class Room

MOGOK KERJA (STRIKE)


Pelaksanaan hubungan murah yang kurang baik pada hakikatnya hanya menunda
masalah. Tidak mustahil bahwa penundaan masalah tersebut merupakan "bom waktu"
yang pada saatnya akan meledak dan tidak terkendali seperti mogok kerja bahkan dapat
menimbulkan kerugian yang besar, baik bagi perusahaan maupun pekerja/buruh.

A. Pengertian dan Dasar Hukum Mogok Kerja (Strike)

Pengertian mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncana- kan dan
dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/ serikat buruh untuk
menghentikan atau memperlambat pekerjaan (Pasal 1 angka 23 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

Dengan demikian, berdasarkan pengertian di atas mogok kerja mengandung tiga


unsur, yaitu:

1. Tindakan pekerja/buruh yang direncanakan, berarti tidak boleh serta- merta


pekerja/buruh melakukan mogok kerja;
2. Dilaksanakan bersama-sama dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, berarti
mogok kerja bukan dilaksanakan secara perorangan;
3. Untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan, berarti bukan untuk tindakan
anarkis. Selanjutnya, Tim TURC (2005: 4-8) menyebutkan bahwa mogok kerja
terdiri atas lima unsur, yaitu:
1. Tindakan pekerja/buruh, bukan tindakan selain pekerja/buruh;
2. Direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama sehingga melibatkan
lebih dari satu orang pekerja/buruh;
3. Untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan;
4. Dilakukan secara sah, tertib, dan damai. Sah berarti menaati dan tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum, sedangkan tertib dan damai berarti
tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum dan/atau mengancam
keselamatan jiwa dan harta benda milik per- usahaan atau pengusaha atau
orang lain atau milik masyarakat;
5. Sebagai akibat gagalnya perundingan.

Pengertian antara mogok kerja dan unjuk rasa atau demonstrasi sangatlah berbeda
sehingga mekanisme dan strategi pelaksanaannya tentu berbeda pula. Secara prinsipiil
dasar hukum keduanya berbeda, untuk mogok kerja mengacu pada Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenage kerjaan, sedangkan unjuk rasa atau
demonstrasi mengacu pada Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan
Menyampaikan Pendapat d Muka Umum. Dengan demikian, hal ini perlu mendapat
perhatian serius 1 bagi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh atau
penanggung jawab mogok kerja karena menyangkut prosedur pemberitahuan.

Adapun dasar hukum mogok kerja sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (Pasal 28, 28C, dan 28F).
2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum.
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 232/Men/2003
tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah;
7. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor Pol. 1 Tahun
2005 tentang Pedoman Tindakan Kepolisian Negara Republik Indonesia pada
Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Perselisihan Hubungan Industrial.
B. Penyebab Mogok Kerja (Strike)

Pada dasarnya, secara umum penyebab pemogokan tidak jauh berbeda dengan
penyebab perselisihan, demikian pula strategi mengantisipasi atau mencegahnya
(Suwarto; 2005: 9).

Penyebab mogok kerja sangat beragam, seperti karena pelanggaran hak-hak normatif
pekerja/buruh oleh pengusaha, solidaritas antar-rekan sekerja,tuntutan kenaikan
upah, peningkatan fasilitas kesejahteraan, dan lain-lain.

Menurut Hardjoprajitno, et al. (2002: 7), penyebab mogok kerja adalah:

1. Tuntutan normatif ataupun nonnormatif yang tidak dipenuhi atau dipenuhi


sebagian saja;
2. Solidaritas terhadap rekan sekerja, seperti kena PHK, demosi, atau mutase;
3. Solidaritas umum yang diorganisasi, dianjurkan, atau dipengaruhi pihak ketiga,
antara lain, organisasi pekerja, organisasi politik, dan lembaga swadaya
masyarakat (LSM);
4. Tidak puas dengan kondisi kerja, sikap atasan langsung/manajemen, atau
kebijakan perusahaan;
5. Tidak konsisten dalam penerapan kebijakan perusahaan;
6. Pengurus serikat pekerja ingin menunjukkan eksistensi dan kredibilitasnya di
mata para anggotanya;
7. Kebuntuan (deadlock) dalam perundingan karena ketidakpahaman se rikat
pekerja terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku;
8. Unjuk rasa ataupun pemogokan digunakan sebagai alat penekan terhadap
manajemen dalam perundingan;
9. Individu yang memanfaatkan serikat pekerja, baik untuk kepentingan atau
keuntungan pribadi maupun kelompok.

Mogok kerja biasanya dipicu karena:

1. Sikap arogansi pengusaha dan tidak solutif dalam menyikapi permasalahan atau
perselisihan hubungan industrial;
2. Sikap arogansi pekerja/buruh dan atau serikat pekerja/serikat buruh yang
hanya menuntut dengan kata "pokoknya";
3. Kebijakan pemerintah-termasuk sikap politik legislatif-yang dianggap merugikan
kepentingan pekerja/buruh;
4. Akibat dari ketidaktahuan dan ketidakpahaman para pihak terhadap peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku secara komprehensif;
5. Kurangnya komunikasi para pihak terhadap masalah ketenagakerjaan dan
perkembangan hubungan industrial. Keterkaitannya dengan masalah tersebut
di atas dan sebagai upaya untuk mengantisipasi mogok kerja, maka komunikasi,
konsultasi, dan penyuluhan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan
sangat diperlukan. Demi- kian halnya partisipasi para pihak (pekerja/buruh dan
pengusaha) dalam pembuatan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan sehingga para pihak ikut bertanggung jawab dan secara penuh
akan melaksanakannya.

C. Jenis Mogok Kerja (Strike)

Berdasarkan pengalaman di lapangan, menurut penulis, mogok kerja (strike) pada


umumnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Berdasarkan tuntutannya. Berdasarkan tuntutannnya, mogok kerja (strike)


dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Mogok kerja normative. Adalah mogok kerja (strike) yang dilaksanakan
atas dasar tuntut- an normatif, di mana ada aturan atau kesepakatan yang d
ingkari atau dilanggar oleh pengusaha;
b. Mogok kerja non normative. Adalah mogok kerja (strike) yang
dilaksanakan atas dasar tuntut an nonnormatif, yang terjadi karena adanya
perkembangan syarat syarat kerja, perubahan kebijakan pemerintah, atau
pengaruh negara lain. Contohnya, mogok kerja karena adanya perubahan
tarif dasar listrik atau kenaikan harga BBM sehingga mengakibatkan tuntutan
kenaikan upah, uang makan, transport, dan lain- lain.
2. Berdasarkan status legalitas. Berdasarkan status legalitas, mogok kerja
(strike) dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Mogok kerja yang sah (legal). Adalah mogok kerja (strike) yang
dilaksanakan dengan me- naati asas-asas hukum mogok kerja dan memenuhi
prosedur formal sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Mogok kerja tidak sah (ilegal). Adalah mogok kerja (strike) yang
dilaksanakan tanpa atau tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Berdasarkan lokasi. Berdasarkan lokasi, mogok kerja (strike) dibagi menjadi dua
macam, yaitu:
a. Mogok kerja di dalam perusahaan Adalah mogok kerja (strike) yang
dilaksanakan di dalam lokasi perusahaan, baik dalam satu perusahaan maupun
bersama satu kelompok (grup) perusahaan;
b. Mogok kerja massal. Adalah mogok kerja (strike) yang dilaksanakan
bersama be- berapa perusahaan lain di luar grup perusahaan (lintas perusaha-
an), baik di dalam maupun ke luar lokasi perusahaan.

Apabila mogok kerja dilakukan oleh pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat


buruh satu perusahaan di luar lokasi perusahaan, secara hukum statusnya berubah,
tidak mogok kerja, tetapi menjadi unjuk rasa atau demonstrasi. Oleh sebab itu,
penanggung jawab mogok kerja harus cermat menyiasati pemberitahuan sesuai
prosedur yang berlaku karena berkaitan dengan status sah atau tidaknya mogok kerja
dan/atau unjuk rasa yang dilakukan.

4. Berdasarkan tujuannya. Berdasarkan tujuannya, (Tim TURC: 2005: 14-16) mogok


kerja (strike) dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Pemogokan soal ekonomi. Adalah pemogokan yang berfokus hanya pada soal-
soal di tempat kerja atau terbatas pada masalah-masalah pabrik saja. Jadi, mogok
ini tidak mempermasalahkan soal-soal di luar pabrik. Tujuannya hanya persoalan
kesejahteraan para buruh yang bekerja di dalam lingkungan pabrik tertentu.;
b. Pemogokan soal sosial-politik. Adalah pemogokan yang mengajukan
tuntutan sosial ekonomi yang lebih luas, yakni menuntut perubahan kebijakan
sosial ekonomi negara atau kebijakan lain yang memengaruhi dan ber dampak
pada hidup buruh;
c. Pemogokan solidaritas (symphaty strike). Adalah pemogokan yang
dilakukan oleh serikat buruh untuk men- dukung tuntutan serikat buruh lain dalam
berhadapan dengan majikannya.
5. Berdasarkan penggeraknya. Berdasarkan penggeraknya (Hardjoprajitno; et al.,
2002: 9) magok kerja dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Mogok kerja yang digerakkan oleh pengurus serikat pekerja;
b. Mogok kerja yang digerakkan oleh pekerja nonpengurus serikat pekerja;
c. Mogok kerja yang digerakkan oleh pihak ketiga.

Mogok kerja (strike) yang digerakkan oleh pihak ketiga biasanya lebih rumit
penyelesaiannya dibanding mogok yang digerakkan oleh pekerja/ buruh atau
pengurus serikat pekerja/serikat buruh internal perusahaan.

D. Prinsip Pelaksanaan Mogok Kerja (Strike)

Beberapa prinsip pelaksanaan mogok kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun


2003 tentang Ketenagakerjaan yang perlu diketahui oleh pekerja/ buruh dan atau
serikat pekerja/serikat buruh adalah:

1. Mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/ serikat
buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya
perundingan (Pasal 137). Yang dimaksud gagalnya perundingan adalah tidak
tercapainya ke sepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
dapat disebabkan pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau perundingan
mengalami jalan buntu (deadlock);
2. Pelaksanaan mogok kerja dilakukan dengan tidak melanggar hukum [Pasal 138
ayat (1)];
3. Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja dapat memenuhi atau tidak memenuhi
ajakan mogok kerja [Pasal 138 ayat (1)]. Sepanjang hak mogok kerja dilaksanakan
secara sah, tertib, dan damai (Pasal 143), siapa pun: a. tidak dapat menghalang-
halangi dan b. dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh.

Berdasarkan ketentuan hukum di atas jelas kiranya bahwa apabila terpaksa, hak
mogok kerja dilakukan oleh pekerja/buruh dan atau serikat pekerja/serikat buruh.
Maka dari itu, pelaksanaannya harus mematuhi ketentuan hukum yang berlaku.
Artinya, mogok kerja di- laksanakan melalui prosedur yang sah, tidak anarkis, atau
tidak bertindak melanggar hukum, termasuk tidak memaksa pekerja/ buruh lain untuk
ikut mogok kerja serta mengganggu ketertiban umum dan/atau membahayakan
keselamatan orang lain. Untuk itu diberikan pula jaminan sebagai perlindungan
hukum. Di sini diperlu- kan penanggung jawab mogok kerja yang benar-benar memiliki
kapasitas dan kredibilitas yang tinggi me-manage pelaksanaan mogok sesuai dengan
koridor hukum.

E. Prosedur Mogok Kerja (Strike)

Bahwa hak mogok kerja (strike) dilakukan secara sah, tertib, dan damai. Sah dalam
hal ini, baik materil maupun formil, memenuhi prosedur seba- gaimana ketentuan
hukum yang berlaku. Guna menentukan mogok kerja (strike) itu sah atau tidak, dapat
dilihat atau ditelusuri dari prosedur yang ditempuhnya.

Adapun prosedur mogok kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003


tentang Ketenagakerjaan yang wajib diperhatikan oleh pekerja/ buruh dan atau serikat
pekerja/serikat buruh sebagai berikut:

1. Mogok kerja hanya dilakukan sebagai akibat gagalnya perundingan. Jadi, tidak
boleh pekerja/buruh dan atau serikat pekerja/serikat buruh serta-merta
mengancam dan melaksanakan mogok kerja tanpa adanya upaya perundingan
bipartit sebagaimana mekanisme penye lesaian perselisihan hubungan industrial.
Upayakan perundingan terlebih dahulu untuk mencari penyelesaian secara
musyawarah mufakat.

Apabila pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh telah me- minta secara
tertulis kepada pengusaha sebanyak dua kali dalam tenggang waktu empat belas
hari kerja, tetapi pengusaha tetap tidak mau melakukan perundingan,
diklasifikasikan gagal perundingan.

Setelah upaya perundingan untuk musyawarah benar-benar gagal, jalan terakhir


dapat ditempuh mogok kerja (strike). Jadi, mogok kerja merupakan alternatif
terakhir bagi pekerja/buruh dan serikat pe- kerja/serikat buruh ketika upaya-upaya
lain benar-benar tidak dapat dilakukan.

2. Wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang


bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat minimal tujuh hari kerja
sebelum mogok kerja dilakukan.
3. Format pemberitahuan memuat sekurang-kurangnya:
a. Waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. Tempat/lokasi mogok kerja;
c. Alasan dan sebab-sebab mogok kerja dilaksanakan;
d. Tanda tangan penanggung jawab mogok kerja.
4. Penanggung jawab yang wajib menandatangani surat pemberitahuan mogok kerja
adalah:
a. Ketua atau sekretaris penanggung jawab mogok kerja dan/atau ketua dan
sekretaris serikat pekerja/serikat buruh;
b. Koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja yang ditunjuk dari
perwakilan pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
5. Pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenaga- kerjaan
yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja wajib memberikan tanda
terima;
6. Adanya kewajiban bagi instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan untuk menyelesaikan masalah yang menjadi pe nyebab mogok
kerja, baik sebelum dan selama mogok berlangsung maupun dengan
mempertemukan dan merundingkan pihak-pihak yang berselisih;
7. Dalam hal perundingan mencapai kesepakatan, harus dibuat perjanjian bersama
yang ditandatangani oleh kedua pihak dan pegawai instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi;
8. Dalam hal perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka:
a. Pegawai instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenaga- kerjaan
segera menyerahkan masalah yang menyebabkan mogok kerja tersebut
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubung an industrial;
b. Atas dasar perundingan, mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan, baik
sementara maupun dihentikan sama sekali.
9. Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 140,
pengusaha dilarang:
a. Mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh dari luar
perusahaan atau
b. Memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apa pun kepada
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan
sesudah melakukan mogok kerja.
10. Terhadap mogok kerja yang sah dengan tuntutan normatif yang sungguh-sungguh
dilanggar pengusaha, pekerja/buruh berhak men dapatkan upah.
Secara materiil, apakah mogok kerja (strike) itu dilakukan sebagai akibat gagalnya
perundingan atau tidak? Secara formil, apakah mogok kerja (strike) sudah memenuhi
ketentuan Pasal 139 dan Pasal 140 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan atau tidak? Setiap orang tidak mudah menjustifikasi mogok kerja itu
sah atau tidak, tanpa adanya rujukan hukum yang jelas. Sedemikian pentingnya
prosedur itu diperhatikan karena sudah menyangkut akibat hukum dan akibat-akibat
lain yang ditimbulkan sebagai konsekuensi aksi mogok kerja itu sendiri.

F. Akibat Hukum Mogok Kerja (Strike)

Akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang
dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum. Menurut Muchsin (2005: 31),
akibat hukum diartikan sebagai akibat yang ditimbul kan oleh peristiwa hukum.

Berdasarkan uraian tersebut, pengertian akibat hukum mogok kerja (Strike) adalah
segala akibat yang terjadi atau ditimbulkan dari dilakukannya mogok kerja (strike).
Akibat hukum mogok kerja (strike) ini harus dapat perhatian secara serius oleh
pekerja/buruh dan/atau serikat pe kerja/serikat buruh karena menyangkut status
mogok kerja yang di- laksanakan dan segala dampak yang ditimbulkannya. Apakah
pasca mogok kerja nanti dapat menghasilkan atau mencapai sesuatu yang di harapkan
atau bahkan sebaliknya bisa berakibat fatal, yakni di-PHK se pihak oleh pengusaha?
Terlepas bahwa mogok kerja itu merupakan hak dasar pekerja/buruh yang dijamin
secara hukum, tentu pelaksanaannya perlu pertimbangan yang cermat dan strategi
jitu sebelum mogok kerja itu benar-benar dilakukan.

Akibat hukum mogok kerja (strike) dapat diklasifikasikan menjadi mogok kerja yang
sah (legal) dan mogok kerja tidak sah (ilegal). Mogok kerja yang sah (legal) berarti
mogok kerja yang dilakukan sesuai koridor hukum, sedangkan mogok kerja tidak sah
(ilegal) berarti mogok kerja yang di laksanakan tidak memenuhi ketentuan Pasal 139
dan 140 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut
ketentuan Pasal 1 dan 5 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Kep. 232/ Men/2003 secara rinci disebutkan bahwa mogok kerja tidak sah apabila
dilakukan:
1. Bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau
2. Tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang ber- tanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan; dan/atau
3. Dengan pemberitahuan kurang dari tujuh hari kerja sebelum pelaksanaan
mogok kerja; dan/atau
4. Isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b,
c, dan d Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
5. Oleh pekerja/buruh yang sedang bertugas pada perusahaan yang me layani
kepentingan umum dan atau perusahaan yang jenis kegiatan nya
membahayakan keselamatan jiwa manusia.

Akibat hukum mogok kerja (strike) terbagi dalam:

1. Mogok kerja sah (legal) Untuk mogok kerja yang sah (legal) adalah:
a. Siapa pun tidak boleh menghalang-halangi dan dilarang melaku- kan
penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus
serikat pekerja/serikat buruh;
b. Pengusaha dilarang:
 Mengganti pekerja/buruh dari luar perusahaan;
 Memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apa pun
terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/ serikat buruh.
c. Apabila tuntutan mogok kerja adalah hak normatif yang sungguh-
sungguh dilanggar pengusaha, pekerja/buruh berhak mendapatkan upah.
2. Mogok kerja tidak sah (ilegal). Untuk mogok kerja tidak sah (ilegal) adalah:
a. Pengusaha dapat mengambil tindakan sementara untuk me- nyelamatkan
alat produksi dan aset perusahaan dengan cara:
 Melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan
proses produksi atau;
 Apabila perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di
lokasi perusahaan.
b. Pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja (strike) dikualifikasi- kan
mangkir. Akibat hukum berikutnya: Pengusaha dapat melakukan
pemanggilan secara patut dan tertulis sebanyak dua kali berturut-turut
dalam tenggang waktu tujuh hari. Apabila pekerja/buruh tidak memenuhi
panggilan tersebut, dianggap mengundurkan diri;
c. Pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja dikualifikasikan sebagai
kesalahan berat apabila mogok kerja dilakukan oleh pekerja/buruh yang
sedang bertugas di perusahaan yang me layani kepentingan umum
dan/atau perusahaan yang jenis ke- giatannya membahayakan
keselamatan jiwa manusia mengakibatkan hilangnya nyawa manusia.

G. Peran Para Pihak Terhadap Aksi Mogok Kerja (Strike)

Menghadapi mogok kerja tentu identik dengan konflik karena esensinya sama, yakni
adanya perbuatan yang satu berlawanan dengan perbuatan yang lain sehingga salah
satu atau keduanya saling terganggu. Dalam kondisi seperti itu semua pihak perlu
memiliki sikap yang baik, yaitu ada- nya pandangan yang sehat, perasaan yang
positif, iktikad yang baik, dan perilaku yang konstruktif (Hardjana; 1994: 62).

Peran para pihak terhadap aksi mogok kerja tentu sangat diharapkan so- lutif
(problem solving), yakni terbuka untuk membantu penyelesaian per selisihan yang
menjadi penyebab mogok kerja dengan filosofi "menyele saikan masalah tanpa
menambah masalah". Sikap demikian akan dapat membantu penyelesaian
perselisihan secara cepat dan tepat.

Berikut uraian peran para pihak terhadap aksi mogok kerja:

1. Pengusaha
a. Wajib memberikan tanda terima jika menerima surat pemberi tahuan
mogok kerja dari pekerja/buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh atau
penanggung jawab;
b. Membuka peluang dan ambil inisiatif untuk terlaksananya pe rundingan
bipartit dengan pekerja/buruh dan atau serikat pe- kerja/serikat buruh
dalam rangka penyelesaian perselisihan yang sedang terjadi.
2. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
a. Wajib memberikan tanda terima jika menerima surat pemberi- tahuan
mogok kerja dari pekerja/buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh atau
penanggung jawab;
b. Wajib menyelesaikan masalah dengan memfasilitasi perundingan para
pihak yang berselisih, baik sebelum maupun selama mogok kerja;
c. Apabila upaya perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, segera
menyerahkan kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
3. Polri
a. Memberikan perlindungan dan pelayanan dalam menjaga ke- amanan dan
ketertiban masyarakat serta memungkinkan pe- laksanaan hak mogok
kerja, unjuk rasa, atau penutupan per- usahaan 12 secara sah, tertib, dan
damai;
b. Penempatan satuan anggota Polri berdasarkan permintaan pihak atau atas
penilaian Polri.
4. Mediator
a. Harus bertindak sesuai dengan undang-undang, peraturan, dan bentuk
keputusan atau petunjuk administratif lainnya. Mediator yang bersangkutan
harus menentukan rangkaian tindakan yang akan dilakukan untuk
menyelesaikan perselisihan;
b. Dalam hal pemogokan atau penutupan perusahaan yang sedang
berlangsung, mediator mulai dengan membuka pintu bagi ke- dua belah
pihak untuk berkomunikasi hingga kedua belah pihak setuju berunding
dengan bantuan mediator;
c. Apabila negosiasi sudah dimulai, mediator dapat meminta semua pekerja
untuk bekerja kembali sambil menyelesaikan masalah yang belum
disepakati;
d. Apabila menghadapi pemogokan tidak resmi, mediator sebaik- nya segera
menghubungi pimpinan serikat, pekerja dan me minta mereka segera
bekerja dan di lain pihak menampung ketuhan dan tuntutan mereka untuk
disampaikan dan diselesai kan bersama manajemen sesuai dengan
prosedur;
e. Apabila menghadapi ancaman pemogokan atau penutupan per usahaan,
sikap dan ketidakberpihakan mediator tidak boleh berubah. Salah satu
peran mediator dalam situasi seperti itu adalah mengingatkan pihak-pihak
yang berselisih untuk memper. hatikan persyaratan dan peraturan
melakukan pemogokan atau penutupan perusahaan;
f. Setiap mediator harus melakukan pertemuan dengan pihak- pihak yang
berselisih;
g. Jika pemberhentian kerja sudah tidak dapat dielakkan, mediator dapat
menganjurkan kedua belah pihak sepakat untuk sementara tidak bekerja.

Guna mengantisipasi terjadinya mogok kerja dan penutupan perusahaan, Shamad


(1995: 231-233) dalam Khakim (2009: 180-181) menyarankan agar semua pihak yang
terkait dalam hubungan industrial melakukan upaya- upaya yang bersifat preventif dan
edukatif sebagai berikut:

1. Pengusaha
a. Dengan tangan terbuka bersedia menerima serikat pekerja/ serikat buruh;
b. Memerhatikan dan tanggap terhadap kondisi upah dan kesejahteraan
pekerja/buruh;
c. Memperlakukan pekerja/buruh secara manusiawi dan sekaligus menjadikan
pekerja/buruh sebagai mitra usaha;
d. Mengembangkan forum komunikasi, musyawarah antara pekerja/buruh dan
pengusaha, termasuk fasilitas-fasilitas yang diperlukannya. Meningkatkan
hubungan kemitraan dengan serikat pekerja.
2. Pekerja/serikat pekerja
a. Pengurus serikat pekerja harus mampu mengembangkan ko- munikasi
dengan baik dan memahami masalah perusahaan;
b. Pekerja dan atau serikat pekerja hendaknya mengendalikan diri dan selalu
melakukan musyawarah;
c. Pekerja dan atau serikat pekerja tidak bersikap konfrontatif dan destruktif.
3. Pemerintah
a. Selalu tanggap terhadap keadaan hubungan industrial dalam setiap
perusahaan;
b. Meningkatkan pembinaan hubungan industrial dan pengawasan terhadap
ketentuan normatif.
PENUTUPAN PERUSAHAAN (LOCK OUT)

A. Pengertian dan Dasar Hukum Penutupan Perusahaan (Lock Out)

Dengertian penutupan perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha


pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk men jalankan pekerjaan (Pasal 1 angka
24 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak
pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat
gagalnya perundingan.

Dasar hukum penutupan perusahaan (lock out) adalah Pasal 146 sampai dengan Pasal
149 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

B. Prinsip Pelaksanaan Penutupan Perusahaan (Lock Out)

Beberapa prinsip penutupan perusahaan (lock out) yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah:

1. Dilakukan oleh pengusaha sebagai akibat gagalnya perundingan [Pasal 146 ayat
(1)];
2. Dilarang sebagai tindakan balasan karena adanya tuntutan normative
pekerja/buruh dan atau serikat pekerja/serikat buruh [Pasal 146 ayat (2)].
Kalaupun terpaksa, secara taktis tindakan balasan biasanya dilakukan
pengusaha secara persuasif dan bertahap, jarang dilakukan spontan. Biasanya
mutasi atau "pura-pura" dipromosikan ke lokasi tain atau kantor pusat tanpa
diberikan job yang pasti;
3. Dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku [Pasal 146 ayat
(3)].” Apabila penutupan perusahaan (lock out) dilakukan secara bertentangan
dengan undang-undang atau sebagai tindakan pembalasan terhadap
pemogokan yang sah berdasarkan tuntutan normatif, pengusaha wajib
membayar upah pekerja/buruh;
4. Dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang melayani ke- pentingan
umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan ke selamatan jiwa
manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan air bersih, pusat pengendali
telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas
bumi, serta kereta api (Pasal 147).

C. Prosedur Penutupan Perusahaan (Lock Out)

Prosedur penutupan perusahaan (lock out) menurut Undang-Undang Nomor 13


Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah:

1. Dilakukan sebagai akibat gagalnya perundingan;


2. Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/ buruh
dan/atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang ber tanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan setempat minimal tujuh hari kerja sebelum
penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan;
3. Format pemberitahuan tertulis sekurang-kurangnya memuat:
a. Waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan
(lock out) dan
b. Alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).
4. Pemberitahuan ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan
perusahaan yang bersangkutan;
5. Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima se cara
langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out). harus
memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal,
dan jam penerimaan;
6. Adanya kewajiban bagi instansi yang bertanggung jawab di bidang ke
tenagakerjaan langsung menyelesaikan masalah yang menjadi pe- nyebab
timbulnya penutupan perusahaan (lock out), baik sebelum mau- pun selama
penutupan perusahaan (lock out), dengan mempertemu-- kan dan
merundingkan pihak-pihak yang berselisih;
7. Dalam hal perundingan mencapai kesepakatan, harus dibuat per- janjian
bersama yang ditandatangani oleh kedua pihak dan pegawai instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi;
8. Dalam hal perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka:
a. Pegawai instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
segera menyerahkan masalah yang menyebabkan penutupan
perusahaan (lock out) tersebut kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial;
b. Atas dasar perundingan, penutupan perusahaan (lock out) dapat
diteruskan atau dihentikan, baik sementara maupun dihentikan sama
sekali.
9. Pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) secara tertulis tidak
diperlukan apabila:
a. Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur
mogok kerja sebagaimana dimaksud Pasal 140;
b. Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ke- tentuan
normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, per- aturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
10. Dalam hal penutupan perusahaan (lock out) dilakukan secara tidak sah atau
sebagai tindakan balasan terhadap mogok kerja yang sah atas tuntutan
normative, pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh

Anda mungkin juga menyukai