Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

DEPARTEMEN KEPERAWATAN GERONTIK


DENGAN GANGGUAN MOBILITAS
FISIK DI UPT PSTW BLITAR

DISUSUN OLEH:
MELINDA OKTOPRIANA
226410021

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


INSTITUT TEKNOLOGI SAINS DAN
KESEHATAN INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG
2022-2023
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan pendahuluan dan Asuhan Keperawatan pada klien dengan gangguan
mobilitas fisik di UPT PSTW Blitar

Nama: Melinda Oktopriana


NIM: 226410021

Sebagai syarat pemenuhan tugas profesi ners ITS Kes ICME Jombang yang
dilaksanakan pada tanggal 2023 – 2023.

Telah disahkan pada tanggal:


Jombang, 2023

(Melinda Oktopriana)

Pembimbing Akademik Pembimbing Ruangan/CI

( ) ( )

Mengetahui

Kepala Ruangan

( )

LAPORAN PENDAHULUAN
A. Pengertian
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang terjadi di dalam kehidupan
manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai
dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua
merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap
kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Kholifah, 2019).
Lansia adalah seseorang yang telah berusia >60 tahun dan tidak berdaya
mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari
(Ratnawati, 2017).
B. Batasan Umur Lanjut Usia
Batasan umur lansia menurut Burnside dalam Nugroho (2012) :
1. Young old (usia 60-69 tahun)
2. Middle age old (usia 70-79 tahun)
3. Old-old (usia 80-89 tahun)
4. Very old-old (usia 90 tahun ke atas)
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Menua
Proses penuaan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal.
Proses penuaan primer merupakan proses yang berlansung secara wajar tanpa
pengaruh dari luar, sedangkan jalannya proses penuaan yang berlangsung akibat
stres psikis dan sosial serta kondisi lingkungan (proses penuaan sekunder). Penuaan
ini sesuai dengan kronologis usia yang dipengaruhioleh faktor endogen. Perubahan
ini dimulai dari sel jaringan organ sistem pada tubuh. Penuaan dapat terjadi secara
fisiologis (fisiological aging), diharapkan mereka dapat tuaa dalam keadaan sehat.
Perubahan ini dimulai dari sel jaringan organ sistem pada tubuh.
Sedangkan faktor lain yang juga berpengaruhpada proses penuaan adalah faktor
eksogen, seperti, pertama, faktor organik, genetik, dan imunitas. Faktor organik
merupakan penurunan hormon pertumbuhan, penurunan hormon testosteron,
peningkatan prolaktin, penurunan melatonin, perubahan folicel stimulating hormon
dan luteinizing hormon. Kedua, faktor lingkungan dan gaya hidup. Yang termasuk
faktor lingkungan adalah pencemaran lingkungan akibat kendaraan bermotor,
pabrik, bahan kimia, bisin, kondisi lingkungan yang tidak bersih, kebiasaan
menggunkan obat dan jamu tanpa kontrol, radiasi sinar matahari, makanan
berbahan kimia, infeksi virus, bakteri, dan stres. Ketiga, faktor status kesehatan.
Menurut Wahyudi Nugroho (2008) dalam Asuhan Keperawatan Gerontik, faktor
yang mempengaruhi penuaan adalah hereditas (keturunan). Nutrisi/makanan, status
kesehatan, pengalaman hidup, lingkungan, stres.
D. Teori Proses Menua
1. Teori biologi
Teori ini berfokus pada proses fisiologi dalam kehidupan seseorang dari
lahir samapai meninggal. Menurut Zairt (1980), teori biologis merupakan
proses menua yang mengacu pada asumsi bahwa proses menua merupakan
perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi tubuh selama masa hidup.
2. Teori psikologi
a. Teori Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow/Maslow’s
Hierarchy of
Human Needs (1960)
b. Teori Individualisme Jung (Jung’s Theory of Individualism).
c. Teori Delapan Tingkat Perkembangan Erikson (Erikson’s Eight
Stages of Life). Menurut Erikson (1950)
3. Teori kultural
Teori ini dikemukakan oleh Blakemore dan Boneham (1992). Ahli
antropologi menjelaskan bahwa tempat kelahiran berpengaruh pada budaya
yang dianut oleh seseorang. Budaya adalah sikap, perasaan, nilai, dan
kepercayaan yang terdapat pada suatu daerah atau yang dianut oleh
sekelompok oleh kaum tua, yang merupakan kelompok minoritas yang
memiliki kekuatan atau pengaruh pada nilai budaya.
4. Teori social
Teori dikemukakan oleh Lemon (1972). Teori sosial meliputi Teori
Aktivitas, Teori Pembebasan, dan Teori Kesinambungan. Teori Aktivitas
menyatakan lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan
mengikuti banyak kegiatan sosial. Sedangkan Teori Pembebasan
menerangkan bahwa dengan berubahnya usia seseorang, secara berangsur-
angsur orang tersebut mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya.
Teroi Kesinambungan yaitu teori yang mengemukakan adanya
kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia.
5. Teori genetika
Teori Genetika dikemukakan oleh Hayflick (1965). Dalam teori ini, proses
penuaan kelihatannya mempunyai komponen genetik. Hal ini dapat dilihat
dari pengamatan bahwa anggota keluarga yang sama cenderung hidp pada
umur yang sama dan mereka mempunyai umur yang rata-rata sama, tanpa
mengikutsertakan meninggal akibat kecelakaan dan penyakit.
6. Teori rusaknya system imun tubuh
Teori ini dikembangkan oleh Hayflick (1965) yang menyatakan bahwa
mutasi yang terjadi secara berulang mengakibatkan kemampuan sistem
imun untuk mengenali dirinya berkurang (Self recognition), menurun
mengakibatkan kelainan pada sel, dan dianggap sel asing sehingga
dihancurkan. Perubahan inilah yang disebut terjadinya peristiwa autoimun
7. Teori menua akibat metabolism
Teori ini dikemukakan oleh Hadi Martono (2006). Pada zaman dulu,
pendapat tentang lanjut usia adalah botak, mudah bingung, pendengaran
sangat menurun atau disebut
“budeg”, menjadi bungkuk, dan sering dijumpai kesulitan dalam menahan
buang air kecil (beser atau inkontinensia urin).
8. Teori kejiwaan social
Teori ini dikembangkan oleh Boedhi-Darmojo (2010). Meliputi Activity
Theory, Continuity Theory, dan Disengagement Theory. Activity Theory
menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan
mengikuti banyak kegaiatan sosial.
E. Mitos-Mitos Penuaan
1. Orang Dewasa yang Lebih Tua Sebaiknya Tidak Berolahraga
2. Orang Dewasa yang Lebih Tua Membutuhkan Lebih Sedikit (atau Lebih
Banyak) Tidur
3. Hanya Perempuan yang Terkena Osteoporosis
4. Otak akan Melambat Seiring Pertambahan Usia
F. Tripologi Manusia Usia Lanjut
Tipe-tipe lansia bisa dijabarkan seperti berikut:
1. Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan
zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
2. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari
pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
3. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak
sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan banyak menuntut.
4. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agaman, dan
melakukan pekerjaan apa saja.
G. Masalah Pada Proses Menua
1. Masalah ekonomi
Usia lanjut ditandai dengan penurunan produktivitas kerja, memasuki masa
pensiun atau berhentinya pekerjaan utama. Disisi lain, usia lanjut dihadapkan
pada berbagai kebutuhan yang semakin meningkat seperti kebutuhan akan
makanan yang bergizi seimbang, pemeriksaan kesehatan secara rutin,
kebutuhan sosial dan rekreasi. Lansia yang memiliki pensiun kondisi
ekonominya lebih baik karena memiliki penghasilan tetap setiap bulannya.
Lansia yang tidak memiliki pensiun, akan membawa kelompok lansia pada
kondisi tergantung atau menjadi tanggungan anggota keluarga.
2. Masalah social
Memasuki masa lanjut usia ditandai dengan berkurangnya kontak sosial, baik
dengan anggota keluarga atau dengan masyarakat. kurangnya kontak sosial
dapat menimbulkan perasaan kesepian, terkadang muncul perilaku regresi
seperti mudah menangis, mengurung diri, serta merengek-rengek jika bertemu
dengan orang lain sehingga perilakunya kembali seperti anak kecil.
3. Masalah Kesehatan
Peningkatan usia lanjut akan diikuti dengan meningkatnya masalah kesehatan.
Usia lanjut ditandai dengan penurunan fungsi fisik dan rentan terhadap
penyakit.
4. Masalah psikosial
Masalah psikososial adalah hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan
keseimbangan sehingga membawa lansia kearah kerusakan atau kemrosotan
yang progresif terutama aspek psikologis yang mendadak, misalnya, bingung,
panik, depresif, dan apatis. Hal itu biasanya bersumber dari munculnya stressor
psikososial yang paling berat seperti, kematian pasangan hidup, kematian sanak
saudara dekat, atau trauma psikis.
KONSEP DASAR MOBILITAS FISIK

A. Pengertian
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak dan
melakukan kegiatan secara mudah, bebas dan teratur guna memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari, baik secara mandiri, dengan bantuan orang lain, maupun hanya
dengan bantuan alat (Wulandari, 2018).
Gangguan mobilitas atau imobilitas merupakan keadaan di mana seseorang tidak
dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas),
misalnya trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas, dan
sebagainya (Wulandari, 2018). Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), gangguan mobilitas
adalah keterbatasan fisik tubuh atau satu atau lebih ekstremitas secara mandiri dan
terarah.

B. Jenis Mobilitas
Kemampuan mobilitas secara umum dibedakan menjadi dua, mobilitas penuh dan
mobilitas sebagian. Mobilitas penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
atau beraktivitas secara bebas tidak terbatas, sehingga dapat melakukan interaksi sosial
dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi dari saraf
motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
Sedangkan mobilitas sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena adanya gangguan
pada saraf motorik dan sensorik di satu atau lebih ekstremitas tubuhnya. Mobilitas
sebagian ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu :
1. Mobilitas sebagian temporer
Kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal
tersebut dapat disebabkan oleh trauma reversibel pada sistem muskuloskeletal,
contohnya adalah adanya dislokasi sendi dan tulang.
2. Mobilitas sebagian permanen
Kemampuan individu untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal
tersebut disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang reversibel, contohnya terjadi
hemiplegia karena stroke, parapelgia karena cedera tulang belakang, poliomielitis
karena terganggunya sistem saraf motorik dan sensorik (Widuri, 2010).
C. Jenis Imobilitas
1. Imobilitas Fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan
mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien dengan
hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga
tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.
2. Imobilitas Intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan
daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.
3. Imobilitas Emosional, keadan ketika seseorang mengalami pembatasan secara
emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri.
Sebagai contoh, keadaan stres berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika
seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu yang
paling dicintai.
4. Imobilitas Sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan
interaksi sosial karena keadaan penyakit sehingga dapat memengaruhi perannya
dalam kehidupan sosial (Widuri, 2010).

D. Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal


1. Tulang (Osteon)
Struktur tulang terdiri atas dua macam yaitu; tulang padat (compact) dan tulang
berongga (spongiosa). Tulang padat biasanya terdapat pada bagian luar semua tulang
sedangkan tulang berongga biasanya terdapat pada bagian dalam tulang, kecuali
bagian yang digantikan oleh sumsum tulang.
Bila tulang diklasifikasikan berdasarkan morfologi (bentuknya), maka dapat
dibagi menjadi lima jenis yaitu ; tulang panjang/tulang pipa (long bone), tulang
pendek (short bone), tulang tipis/pipih (flat bone), tulang tidak teratur (irreguler bone)
dan tulang sesamoid.
Terdapat 11 tulang rangka penyusun tubuh manusia yang apabila dihitung
mencapai 206 tulang. Berikut tabel rinciannya (Purwanto, 2016):
Tabel 1. Tulang Rangka Penyusun Tubuh Manusia
No. Jenis Tulang Rangka Jumlah
1. Tulang tengkorak 6 buah
2. Tulang wajah 14 buah
3. Tulang telinga dalam 6 buah
4. Tulang lidah 1 buah
5. Tulang belakang (ruas tulang belakang) 26 buah
6. Tulang iga 24 buah
7. Tulang dada 1 buah
8. Tulang gelang bahu 4 buah
9. Tulang anggota gerak/badan atas 60 buah
10. Tulang gelng panggul 2 buah
11. Tulang anggota gerak/badan bawah 60 buah
2. Sendi (Artikulasio)
Klasifikasi sendi secara fungsional ada tiga, yaitu sendi yang tidak dapat bergerak
(sinartrosis), sendi yang gerakannya minimal (amfiartrosis) dan sendi yang bergerak
bebas (diartrosis).
Klasifikasi sendi secara struktural ada dua yaitu; sendi fibrosa (dihubungankan
dengan jaringan fibrosa) seperti sutura, sindesmosis, gomfosis, sendi kartilago (sendi
yang dihubungkan dengan jaringan kartilago) seperti sinkondrosis, simfisis, dan 3)
sendi sinovial. Sedangkan berdasarkan tipe gerakkan yang ditimbulkan, sendi sinovial
dapat digolongkan menjadi; sendi datar, sendi engsel, sendi poros, sendi elipsoid,
sendi pelanan, dan sendi peluru (Purwanto, 2016).
3. Ligamen, Otot, Fasia, dan Tendon
Otot dapat dibedakan berdasarkan lokasi, struktur mikroskopis dan kontrol
persyarafannya. Terdapat tiga jenis otot yaitu : otot skelet, otot jantung dan otot polos.
a. Otot Skelet / Otot Rangka / Otot Lurik, dengan karakter:
1) Terdapat pada rangka dan dinamai sesuai dengan tulang yang berhubungan
2) Bergaris
3) Volunter (bekerja dengan pengendalian secara sadar)
b. Otot Jantung
1) Membentuk dinding jantung
2) Bergaris
c. Otot Polos
1) Terdapat pada dinding struktur interna (visera) antara lain: lambung, kandung
kemih, pembuluh darah dll.
2) Tidak bergaris
3) Involunter (bekerja di luar kesadaran)
Secara makroskopis, otot memiliki bagian-bagian antara lain: 1) Origo, yaitu tempat
perlekatan ujung proksimal pada otot rangka, 2) Venter (badan otot), yaitu bagian
tengah dari otot (di antara ujung proksimal dan distal), dan 3) Insersio, yaitu tempat
perlekatan ujung distal otot pada rangka (Purwanto, 2016).
4. Fungsi Pokok Otot
a. Motion
Yaitu fungsi untuk menghasilkan gerakan, baik gerakan seluruh tubuh (berjalan,
lari, dll). Maupun gerakan lokal (memegang, mengangguk, dll)
b. Mempertahankan postur
Yaitu fungsi otot rangka dalam berkontraksi guna mempertahankan tubuh dalam
posisi tetap saimbang, seperti duduk tegak, berdiri, dll.
c. Menghasilkan kalori
Yaitu fungsi untuk mempertahankan suhu tubuh yang normal melalui panas yang
dihasilkan oleh otot rangka saat berkontraksi.
Agar otot dapat berkontraksi, maka diperlukan suatu stimulus. Adapun proses
stimulus adalah sebagai berikut :
a. Stimulus datang dan diterima oleh sel saraf (neuron sensorik) yang selajutnya
diubah menjadi impuls saraf
b. Impuls dilanjutkan oleh neuron motorik menuju otot, melalui myoneura junction
(motor end plate), yaitu pertemuan antara neuron motorik dan otot. Pada tempat
ini terdapat sinapsis, yaitu tempat penyaluran neurotransmitter dari neuron ke otot.
c. Di sinapsis, neurotransmitter meneruskan impuls ke sarkolemma dan akhirnya
kontraksi dimulai (Purwanto, 2016).
5. Fungsi Tendon
Tendon merupakan serabut kolagen yang melekatkan otot ke tulang. Tendon
menyalurkan gaya yang dihasilkan oleh otot yang berkontraksi ke tulang dan dengan
demikian menggerakkan tulang. Sedangkan fungsi ligamen adalah membatasi
pergerakan sendi, karena ligamen adalah taut fibrosa yang kuat antar tulang, biasanya
terletak di sendi (Purwanto, 2016).
6. Fungsi Tulang
Tulang yang matur terdiri dari 30% materi organik dan 70% deposit garam.
Materi organik terdiri dari 90% serabut kolagen dan 10% proteoglikan. Deposit garam
terpenting adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium bikarbonat, dan
ion magnesium.

Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa


pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama
hidup. Pembentukan tulang ditentukan oleh stimulasi hormonal, faktor makanan, dan
stres tulang (keberadaan osteoblas).
Aktivitas osteoblas ditentukan oleh diet, stimulasi hormonal, dan olahraga.
Vitamin D mampu menstimulasi kalsifikasi tulang secara langsung dengan bekerja
pada osteoblas, dan secara tidak langsung dengan menstimulasi absorpsi kalsium di
usus. Peningkatan absorpsi kalsium meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang
mendorong kalsifikasi tulang, dengan demikian peranan vitamin D sangat penting.
Tulang memiliki fungsi sebagai berikut:
a. Kerangka penunjang badan (penopang badan)
b. Pengungkit untuk otot (tempat otot bertumpu)
c. Pelindung alat tubuh tertentu
d. Sebagai tempat pembuatan sel-sel darah (sistem hemopoiesis)
e. Sebagai gudang penyimpanan kalsium dan fosfor (Purwanto, 2016).

E. Pathway
Sistem Muskuloskeletal

Tulang Otot Sendi Gangguan Neuromuskuler


Kerusakan Tendon Kekakuan sendi Kerusakan pusat gerakan
kartilago dari ligamen motorik di lobus frontalis
tulang melemah (hemisper/hemiplagia)
Terbatasnya
gerakan sendi

Tirah
Gangguan mobilitas fisik
baring

Resiko cedera

Hilangnya
kekuatan otot

Defisit Resiko kerusakan


perawatan diri integritas kulit
(dekubitus)

F. Etiologi
Menurut Tim Pokja DPP PPNI (2017), faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
gangguan mobilitas fisik, adalah sebagai berikut :
1. Penurunan kendali otot
2. Penurunan kekuatan otot
3. Kekakuan sendi
4. Kontraktur
5. Gangguan muskoloskeletal
6. Gangguan neuromuskular
7. Keengganan melakukan pergerakan

G. Manifestasi Klinis
Respon fisiologis dari perubahan mobilisasi yang mungkin muncul, diantaranya :
1. Muskuloskeletal sepeeti kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atropi dan
abnormalnya sendi (kontraktur) dan gangguan metabolisme kalsium
2. Kardiovaskuler seperti hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja jantung, dan
pembentukan thrombus.
3. Pernafasan seperti atelektasis dan pneumonia hipostatik, dispnea setelah beraktifitas.
4. Metabolisme dan nutrisi antara lain laju metabolic; metabolisme karbohidrat, lemak
dan protein; ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; ketidakseimbangan kalsium;
dan gangguan pencernaan (seperti konstipasi).
5. Eliminasi urin seperti stasis urin meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan
batu ginjal.
6. Integument seperti ulkus dekubitus adalah akibat iskhemia dan anoksia jaringan.
7. Neurosensori: sensori deprivation (Wulandari, 2018).

H. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Saputra (2013) dalam Adha (2017), ada beberapa penatalaksanaan gangguan
mobilisasi secara umum diantaranya, yaitu :
1. Pengaturan Posisi Tubuh sesuai Kebutuhan Pasien
Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas dapat disesuaikan
dengan tingkat gangguan, seperti posisi fowler, sim, trendelenburg, dorsal recumbent,
lithotomi, dan genu pectoral.

a. Posisi Fowler
Posisi fowler adalah posisi setengah duduk atau duduk, di mana bagian kepala
tempat tidur lebih tinggi atau dinaikkan. Posisi ini dilakukan untuk
mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernapasan pasien.
b. Posisi Sim
Posisi sim adalah posisi miring ke kanan atau ke kiri. Posisi ini dilakukan untuk
memberi kenyamanan dan memberikan obat per anus (supositoria).
c. Posisi Trendelenburg
Pada posisi ini pasien berbaring di tempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah
daripada bagian kaki. Posisi ini dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke
otak.
d. Posisi Dorsal Recumbent
Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan kedua lutut fleksi (ditarik atau
direnggangkan) di atas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk merawat dan
memeriksa genitalia serta pada proses persalinan.
e. Posisi Lithotomi
Pada posisi ini pasien berbaring telentang dengan mengangkat kedua kaki dan
menariknya ke atas bagian perut. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa genitalia
pada proses persalinan, dan memasang alat kontrasepsi.
f. Posisi Genu Pectoral
Pada posisi ini pasien menungging dengan kedua kaki ditekuk dan dada menempel
pada bagian alas tempat tidur. Posisi ini dilakukan untuk memeriksa daerah rektum
dan sigmoid.
2. Latihan ROM Pasif dan Aktif
Pasien yang mobilitas sendinya terbatas karena penyakit, diabilitas, atau trauma
memerlukan latihan sendi untuk mengurangi bahaya imobilitas. Menurut Junaidi
(2011) dalam Adha (2017) setelah keadaan pasien membaik dan kondisinya telah
stabil baru diperbolehkan dilakukannya mobilisasi.
Berikut beberapa gerakan latihan ROM yang dilakukan untuk memelihara dan
mempertahankan kekuatan otot serta memelihara mobilitas persendian : a. Fleksi dan
Ekstensi Pergelangan Tangan
b. Fleksi dan Ekstensi Siku
c. Pronasi dan Supinasi Lengan
d. Pronasi Fleksi Bahu
e. Abduksi dan Adduksi
f. Rotasi Bahu
g. Fleksi dan Ekstensi Jari – jari
h. Infersi dan Efersi Kaki
i. Fleksi dan Ekstensi Pergelangan Kaki
j. Fleksi dan Ekstensi Lutut
k. Rotasi Pangkal Paha
l. Abduksi dan Adduksi Pangkal Paha
3. Latihan Ambulasi
a. Duduk diatas tempat tidur
b. Turun dari tempat tidur, berdiri, kemudian duduk di kursi roda
c. Membantu berjalan

I. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
b. Riwayat kesehatan (sekarang dan dahulu)
c. Riwayat kesehatan keluarga
3. Pola pengkajian ADL
a. Pola nutrisi
b. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pasien tidak akan mampu melakukan aktivitas dan perawatan diri secara
mandiri karena kelemahan anggota gerak, kekuatan otot berkurang, mengalami
gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan mudah lelah.
Aktivitas fisik yang kurang dapat mempengaruhi frekuensi denyut jantung
menjadi lebih tinggi sehingga otot jantung harus bekerja lebih keras pada setiap
kontraksi. Otot jantung yang bekerja semakin keras dan sering memompa, maka
makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri sehingga dapat menyebabkan
tekanan darah meningkat (Adha, 2017).
c. Pola tidur dan istirahat
Biasanya pasien lebih banyak tidur dan istirahan karena semua sistem tubuhnya
akan mengalami penurunan kerja dan penurunan kesadaran sehingga lebih banyak
diam (Adha, 2017).
d. Pola eliminasi
Kemungkinan terjadi retensi urin dan inkontinensia akibat kurang aktivitas dan
pengontrolan urinasi menurun, dan terjadi konstipasi dan diare akibat impaksi
fekal (Adha, 2017).
4. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian pada mobilisaasi berfokus pada ROM, gaya berjalan, latihan dan
toleransi aktivitas, serta keseimbangan tubuh. Pemeriksaan fisik pada pasien dengan
ganguan mobilisasi bertujuan untuk menilai adanya fraktur terbuka/tertutup, dislokasi
sendi, paralisis/paresis motorik: hemiplegia/hemiperesis, kelemahan otot wajah,
tangan, gangguan sensorik: kehilangan sensasi pada wajah, lengan, dan ektermitas
bawah, disphagia : kesulitan mengunyah, menelan, paralisis lidah, dan laring,
gangguan visual : pandangan ganda, lapang padang menyempit, kesulitan
berkomunikasi: kesulitan menulis, kesulitan membaca, disatria ( kesulitan
mengucapkan artikulasi/pelo, cadel), kelemahan, otot wajah, lidah, langitlangit atas,
pharing, dan bibir, kemampuan emosi : perasaan, ekspresi 15 wajah, penerimaan
terhadap kondisi dirinya, memori : pengenalan terhadap lingkungan, orang, tempat,
waktu, tingkat kesadaran, fungsi bladder dan fungsi bowel.
5. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yaitu CT Scan mengidentifikasi jika adanya area perdarahan
(biasanya untuk pemakaian darurat) dan MRI (Magnetik Resonance Imaging)
mengidentifikasi lokasi iskemik (Basuki, 2018).

J. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul untuk klien dengan gangguan sistem
muskuloskeletal adalah (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) :
1. Gangguan mobilitas fisik
2. Defisit perawatan diri
K. Rencana Keperawatan
No. Diagnosa
Tujuan Keperawatan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan
DX Keperawatan
1 Gangguan mobilitas Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …. - Dukungan Ambulasi
x O:
fisik
24 jam - Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
Mobilitas Fisik membaik dengan kriteria hasil : lainnya
Subyektif : -
- Pergerakan ekstremitas meningkat Identifikasi toleransi fisik
- Mengeluh sulit - Kekuatan otot meningkat melakukan ambulasi
- Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
menggerakkan - Nyeri menurun
sebelum memulai ambulasi
- Kecemasan menurun
ekstremitas Monitor kondisi umum selama melakukan
- ambulasi T :
- Nyeri saat bergerak
Fasilitasi aktivitsas ambulasi dengan alat
- Merasa cemas saat - bantu (mis. tongkat, kruk, dsb)
bergerak Fasilitasi melakkan mobilisaasi fisik, jika
- perlu
- Enggan melakukan Libatkan keluarga untuk membantu pasien
pergerakan dalam meningkatkan ambulasi E :
-
Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
Obyektif : -
Anjurkan mobilasi dini
-
- Kekuatan oto Ajarkan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
menurun seharihari
- Rentang gerak
(ROM) menurun
- Sendi kaku
- Gerakan tidak
terkoordimasi
- Gerakan terbatas
- Fisik lemah
2 Defisit perawatan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …. x - Dukungan perawatan diri O
diri 24 jam :
Perawatan diri meningkat dengan kriteria hasil : - Identifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri
Subyektif : - Kemampuan mandi meningkat - sesuai usia
- Kemampuan mengenakan pakaian meningkat Monitor tingkat kemandirian
- Menolak - Kemampuan makan meningkat Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan
melakukan - Kemampuan ke toiley (BAB/BAK) meningkat - diri, berpakaian, berhias, dan makan. T :
perawatan diri - Verbalisasi keinginan melakukan perawatan diri - Sediakan lingkungan yang terapeutik Siapkan
- Mempertahankan kebersihan mulut - keperluan pribadi
Obyektif : Dampingi dalam melakukan perawatan diri
- sampai mandiri
- Tidak mampu Fasilitasi untuk menerima keadaan
mandi / - ketergantungan
mengenakan Jadwalkan rutinitas perawatan diri E
- :
pakaian / makan /
ke toilet / berhias Anjurkan melakukan perawatan diri secara
secara mandiri konsisten sesuai kemampuan
- Minat melakukan
perawaatan diri
kurang
3. Resiko cedera Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama …. x Pencegahan cidera O
24 jam :
Faktor Resiko : Termoregulasi Identifikasi obat yang berpotensi
- Kejadian cedera menurun - menyebabkan cidera
- Ketidakamanan - Luka / lecet menurun Identifikasi kesesuaian alas kaki
transportasi - Pendarahan menurun pada ekstremitas bawah T :
-
- Kegagalan - Fraktur menurun Sediakan pencahayaan yang memadai
mekanisme Sosialisasikan pasien dan keluarga dengan
pertahanan tubuh - lingkungan rawat inap Sedaiakan alas kaki
- Perubahan fungsi - antislip
psikomotor Sediakan urinal untuk eliminasi di dekat
- tempat tidur, jika perlu
- Perubahan fungsi
- Pastikan barang-barang pribadi
kognitif
mudah dijangkau
-
- Tingkatkan frekuensi observasi
dan pengawasan pasien, sesuai
kebutuhan E :
- Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh
ke pasien dan keluarga
- Anjurkan berganti posisi perlahan dan duduk
beberapa menit sebelum berdiri

Manajemen keselamatan lingkungan O


:
- Identifikasi kebutuhan keselamatan
- Monitor perubahan status
keselamatan lingkungan T :

- Hilangkan bahaya keselamatan,


jika memungkinkan
- Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan
risiko
- Sediakan alat bantu keamanan lingkungan
- Gunakan perangkat pelindung (mis. rel
samping, kunci, dsb) E :

- Ajarkan individu, keluarga, dan kelompok


rsiko tinggi bahaya lingkungan
DAFTAR PUSTAKA

Adha, S.A. (2017). Asuhan Keperawatan Gangguan Mobilitas Fisik Pada Pasien Stroke Non
Hemoragik Di IRNA C RSSN Bukittinggi. Karya Tulis Ilmiah. Politeknik Kesehatan
Kemenkes Padang.
Basuki, L. penerapan ROM (Range of Motion) Pada Asuhan Keperawatan Pasien Stroke
Dengan Gangguan Mobilitas Fisik Di RSUD Wates Kulon Progo. Karya Tulis
Ilmiah. Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Yogyakarta.
Nurarif, A.H. dan Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC_NOC. Yogyakarta; MediAction.
Purwanto, H. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan : Keperawatan Medikal Bedah
II. Jakarta Selatan; Pusdik SDM Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta; Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi
dan Tindakan Keperaatan. Jakarta; Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definis dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta; Dewan Pengurus Pusat PPNI
Widuri, H. (2010). Kebutuhan Dasar Manusia (Aspek Mobilitas dan Istirahat Tidur).
(Riyadi, S, Ed.) Yogyakarta; Gosyen Publishing.
Wulandari, N.K.V. gambaran Asuhan Keperawatan Pada Pasien Pasca Stroke Non
Hemoragik Dengan Gangguan Pemenuhan Mobilitas Fisik (Di Wilayah Keja UPT
Kesmas Sukawati I) Tahun 2018. Karya Tulis Ilmiah. Politeknik Kesehatan
Kementrian Kesehatan Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai