Hiscprung
Hiscprung
Hiscprung
Megakolon :
Aganglionic :
Tidak adanya sel ganglion pada organ seperti rectum atau kolon.
Hisprung :
Sigmoid :
Peristaltic :
Gerakan mekanik yang terjadi pada otot saluran pencernaan yang disarafi oleh saraf
parasimpatis.
Anus :
Megacolon aganglionik :
Step 2
1
5. Klasifikasi hisprung manakah pada kasus ini?
6. Apa pemeriksaan fisik dan penunjang pada hisprung?
7. Bagaimana pencegahan antenatal s.d postnatal agar bayi tidak terjadi hisprung?
8. Apa discharge planning yang dilakukan pada bayi yang menderita hisprung?
9. Bagaimana penatalaksanaan hisprung?
10. Apa komplikasi yang terjadi setelah hisprung?
11. Bagaimana fokus asuhan keperawatan pada pasien hisprung?
Step 3
8. Discharge Planning
Orang tua memantau tanda dan gejala komplikasi jangka panjang dari penyakit yang
diderita seperti inkontinensia
Health education tentang perawatan colostomy
Health education tentang pantangan dan anjuran diet
9. Tahap pembedahan
1. Kolostomi
2. Pembedahan
Konservatif : menggunakan NG tube
Penatalaksanaan medis : colostomy sementara, pembedahan koreksi
Penatalaksanaan keperawatan : perawatan pre op sampai post op
Farmakologi : laksatif dan kortikosteroid
Step 4
1. Etiologi hircsprung : kongenital, kegagalan sel neural pada masa embrio pada dinding usus,
tidak adanya sfingter rectum berelaksasi, down syndrome
2. Klasifikasi :
Segmen pendek : anus sampai sigmoid
Segmen panjang : sigmoid sampai ke seluruh kolon
2
Step 5
1. Definisi Hirscprung
2. Etiologi
3. Klasifikasi
4. Manifestasi Klinis
5. Patofisiologi
6. Komplikasi
7. Pemeriksaan penunjang
8. Penatalaksanaan
9. Discharge Planning
10. Pathway
11. Asuhan Keperawatan Teori
Step 7 :
HIRSCHPRUNGS
A. Pengertian
Penyakit hirschsprungs atau yang juga disebut congenital megakolon, merupakan akibat
tidak adanya sel ganglion dalam rectum atau bagian usus besar (Corwin, Elizabeth J. 2008).
Penyakit hirschsprungs adalah kelainan congenital yang mengakibatkan obstruksi
mekanik dari tidak memadainya motilitas pada bagian usus (Hockenberry, Marilyn J, et al.
2003).
Hirschsprungs atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel-sel ganglion
dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan
keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan (Betz,
Cecily L, et.al. 2002).
B. Etiologi
Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah:
3
1. Aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari sfingter ani
internus ke arah proksimal, 70% terbatas di daerah rektosigmoid, 10% sampai seluruh
kolon dan sekitarnya, 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus.
2. Diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan
down syndrome.
3. Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio
kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus. (Budi, 2010).
C. Klasifikasi Hirschsprung
Menurut staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (1996). Hirschsprung dibedakan
sesuai dengan panjang segmen yang terkena, hirschsprung dibedakan menjadi dua tipe
berikut :
1. Segmen Pendek
Segmen pendek aganglionisis mulai dari anus sampai sigmoid,terjadi pada sekitar
70% kasus penyakit Hirschsprung dan tipe ini lebih sering ditemukan pada laki-laki
dibandingkan anak perempuan. Pada tipe segmen pendek yang umum, insidennya 5 kali
lebih besar pada laki-laki dibandingkan wanita dan kesempatan saudara laki-laki dari
penderita anak untuk mengalami penyakit ini adalah 1 dari 20 (Sacharin, 1986)
2. Segmen Panjang
Daerah aganglionisis dapat melebihi sigmoid, bahkan kadang dapat mengenai
seluruh kolon atau sampai usus halus. Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang
sama, terjadi pada 1 dari 10 kasus tanpa membedakan jenis kelamin (Staf Pengajar Ilmu
Kesehatan Anak FKUI, 1996: Sacharin, 1986).
D. Manifestasi Klinis
Penyakit megakolon ini sendiri memiliki gejala klinis berupa obstipasi, obstruksi akut
(baru lahir) dan yang terkena kebanyakan bayi yang cukup bulan. Dan trias penyakit ini
adalah mekonium terlambat keluar (>24 jam), perut kembung, dan muntah berwarna hijau.
Pada anak yang lebih besar biasanya juga terjadi diare dan enterokolitis kronik.
4
Sembilan puluh sembilan persen bayi lahir cukup bulan mengeluarkan mekonium dalam
waktu 48 jam setelah lahir. Penyakit Hirschsprung harus dicurigai apabila seorang bayi
cukup bulan (penyakit ini tidak biasa terjadi pada bayi kurang bulan) yang terlambat
mengeluarkan tinja. Beberapa bayi akan mengeluarkan mekonium secara normal, tetapi
selanjutnya memperlihatkan riwayat konstipasi kronis. Gagal tumbuh dengan
hipoproteinemia karena enteropati pembuang protein sekarang adalah tanda yang kurang
sering karena penyakit Hirschsprung biasanya sudah dikenali pada awal perjalanan penyakit.
Bayi yang minum ASI tadak dapat menampakkan gejala separah bayi yang minum susu
formula.
Kegagalan mengeluarkan tinja menyebabkan dilatasi bagian proksimal usus besar dan
perut menjadi kembung. Karena usus besar melebar, tekanan di dalam lumen meningkat,
mengakibatkan aliran darah menurun dan perintang mukosa terganggu. Stasis
memungkinkan proliferasi bakteri, sehingga dapat menyebabkan enterokolitis (Clostridium
difficile, Staphylococcus aureus, anaerob, koliformis) dengan disertai sepsis dan tanda-tanda
obstruksi usus besar. Pengenalan dini penyakit Hirschsprung sebelum serangan enterokolitis
sangat penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Penyakit Hirschsprung pada penderita yang lebih tua harus dibedakan dari penyebab
perut kembung lain dan konstipasi kronis. Riwayat seringkali menunjukkan kesukaran
mengeluarkan tinja yang semakin berat, yang mulai pada umur minggu-minggu pertama.
Massa tinja besar dapat diraba pada sisi kiri perut, tetapi pada pemeriksaan rektum biasanya
tidak ada tinja. Tinja ini, jika keluar, mungkin akan keluar berupa butir-butir kecil, seperti
pita, atau berkonsistensi cair; tidak ada tinja yang besar dan yang berkonsistensi seperti tanah
pada penderita dengan konstipasi fungsional. Pada penyakit Hirschsprung masa bayi harus
dibedakan dari sindrom sumbat mekonium, ileus mekonium, dan atresia intestinal.
Pemeriksaan rektum menunjukkan tonus anus normal dan biasanya disertai dengan
semprotan tinja dan gas yang berbau busuk. Serangan intermitten obstruksi intestinum akibat
tinja yang tertahan mungkin disertai dengan nyeri dan demam.
1. Pada bayi
a) Tidak bisa mengeluarkan meconium (feses pertama) dalam 24-28 jam pertama setelah
lahir.
b) Tampak malas mengkonsumsi cairan.
5
c) Muntah bercampur dengan cairan empedu.
d) Distensi abdomen.
e) Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare
f) Demam.
g) Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur merupakan tanda yang khas.
Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans, terjadi distensi abdomen hebat dan diare
berbau busuk yang dapat berdarah (Betz, Cecily L, et.al. 2002).
2. Pada anak-anak
a) Konstipasi.
b) Tinja seperti pita dan berbau busuk.
c) Distensi abdomen.
d) Failure to thrive (gagal tumbuh).
e) Nafsu makan tidak ada (anoreksia).
f) Adanya masa di fecal, dapat dipalpasi.
g) Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemia.
h) Letargi.
i) Infeksi kolon, khususnya anak baru lahir atau yang masih sangat muda, yang dapat
mencakup enterokolitis, infeksi serius dengan diare, demam dan muntah dan kadang-
kadang dilatasi kolon yang berbahaya (Betz, Cecily L, et.al. 2002).
E. Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer
dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding submukosa kolon distal. Segmen aganglionic
hampir selalu ada dalam rektum dan bagian proksimalpada usus besar. Ketidak adaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong (peristaltik) dan
tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rektum tidak dapat berelaksasi sehingga
mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus
dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega
Colon.
6
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan
relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses
terkumpul di daerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal
terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan di bagian Colon tersebut
melebar.
Penyakit Hirshprung, atau Mega Colon kongenital adalah tidak adanya sel – sel ganglion
dalam rektum atau bagian rektosigmoid kolon. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan
atau tidak adanya peristaltis serta tidak adanya evakuasi usus spontan. Selain itu, sfingter
rektum tidak dapat berelaksasi, mencegah keluarnya feses secara normal. Isis usu terdorong
ke segmen aganglionik dan feses terkumpul di daerah tersebut, menyebabkan dilatasinya
bagian usus yang psoksimal terhadap daerah itu. Penyakit Hirshprung atau Megacolon
diduga terjadi karena faktor-faktor genetik dan faktor lingkungan, namun etiologi sebenarnya
tidak diketahui. Penyakit ini dapat muncul pada sembarang usia, walaupun sering terjadi
pada neonatus.
F. Komplikasi
1) Obstruksi usus
2) Konstipasi
3) Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
4) Enterokolitis
5) Struktur anal dan inkontinensial ( pos operasi )
Menurut Corwin (2001:534) komplikasi penyakit hirschsprung yaitu gangguan elektrolit dan
perforasi usus apabila distensi tidak diatasi.
a) Pneumatosis usus : Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon
yang iskemik distensi berlebihan dindingnya.
7
b) Enterokolitis nekrotiokans : Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah
kolon yang iskemik distensi berlebihan dindingnya.
c) Abses peri kolon : Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon
yang iskemik distensi berlebihan dindingnya.
d) Perforasi ; Disebabkan aliran darah ke mukosa berkurang dalam waktu lama.
e) Septikemia : Disebabkan karena bakteri yang berkembang dan keluarnya endotoxin
karena iskemia kolon akibat distensi berlebihan pada dindinng usus.
a) Gawat pernafasan (akut) :Disebabkan karena distensi abdomen yang menekan paru –
paru sehingga mengganggu ekspansi paru.
b) Enterokolitis (akut) : Disebabkan karena perkembangbiakan bakteri dan pengeluaran
endotoxin.
c) Stenosis striktura ani : Gerakan muskulus sfingter ani tak pernah mengadakan gerakan
kontraksi dan relaksasi karena ada colostomy sehingga terjadi kekakuan ataupun
penyempitan.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan :
a) Daerah transisi
b) Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit
c) Entrokolitis padasegmen yang melebar
d) Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam ( Darmawan K, 2004 : 17 )
2. Biopsi isap
Yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan mencari sel
ganglion pada daerah sub mukosa ( Darmawan K, 2004 :17 )
3. Biopsi otot rectum
Yaitu pengambilan lapisan otot rectum
4. Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada penyakit ini
khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase ( Darmawan K, 2004 : 17 )
5. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus
8
( Betz, cecily & Sowden, 2002 : 197 )
H. Penatalaksaan Medis
1. Pembedahan
Penatalaksanaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus
besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar
sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal.
a. Prosedur Duhamel
Umumnya dilakukan terhadap bayi yang berusia kurang dari 1 tahun. Prosedur ini
terdiri atas penarikan kolon normal ke arah bawah dan menganastomosiskannya di
9
belakang anus aganglionik, menciptakan dinding ganda yang terdiri dari selubung
aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang ditarik tersebut.
b. Pada prosedur Swenson
Bagian kolon yang aganglionik itu dibuang. Kemudian dilakukan anastomosis end-to-
end pada kolon berganglion dengan saluran anal yang dilatasi. Sfinterotomi dilakukan
pada bagian posterior.
c. Prosedur Soave
Dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan merupakan prosedur yang paling
banyak dilakukanuntuk mengobati penyakit hirsrcprung. Dinding otot dari segmen
rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus,
tempat dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot rektosigmoid
yang tersisa.
2. Konservatif
Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif melalui pemasangan
sonde lambung serta pipa rektal untuk mengeluarkan mekonium dan udara.
3. Tindakan bedah sementara
Kolostomi dikerjakan pada pasien neonatus, pasien anak dan dewasa yang terlambat
didiagnosis dan pasien dengan enterokolitis berat dan keadaan umum memburuk.
Kolostomi dibuat di kolon berganglion normal yang paling distal.
4. Terapi farmakologi
a. Pada kasus stabil, penggunaan laksatif sebagian besar dan juga modifikasi diet dan
wujud feses adalah efektif.
b. Obat kortikosteroid dan obat anti-inflamatori digunakan dalam megakolon toksik.
Tidak memadatkan dan tidak menekan feses menggunakan tuba.
I. Discharge Planning
Perencanaan pulang dan perawatan di rumah :
1. Ajarkan pada orang tua untuk memantau adanya tanda dan gejala komplikasi jangka
panjang yaitu :
10
a. Stenosis dan konstriksi
b. Inkontinesia
c. Pengosongan usus yang tidak adekuat
2. Ajarkan tentang perawatan kolostomi pada orang tua dan anak
a. Persiapan kulit
b. Penggunaan alat kolostomi
c. Komplikasi stoma ( perdarahan, gagal devekasi, diare, prolaps, feses seperti pita).
d. Perawatan dan pembersihan alat kolostomi.
e. Irigasi kolostomi
3. Beri dan kuatkan informasi-informasi tentang pelaksanaan diet.
a. Makanan rendah sisa
b. Masukan cairan tanpa batas
c. Tanda-tanda ketidakseimbangan elektrolit atau dehidrasi
4. Dorong orang tua dan anak untuk mengekspresikan perasaannya tentang kolostomi.
a. Tampilan
b. Bau
c. Ketidaksesuaian antara anak mereka dan anak ideal
5. Rujuk ke prosedur institusi spesifik untuk informasi yang dapat diberikan pada orang tua
tentang perawatan rumah.
11
J. WOC
13
dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau tinja
yang menyemprot.
d. Sistem genitourinarius.
e. Sistem saraf.
Tidak ada kelainan.
f. Sistem lokomotor/muskuloskeletal.
Gangguan rasa nyaman.
g. Sistem endokrin.
Tidak ada kelainan.
h. Sistem integumen.
Akral hangat.
i. Sistem pendengaran.
Tidak ada kelainan.
4. Pemeriksaan diagnostik dan hasil.
a. Foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar atau terdapat gambaran
obstruksi usus rendah.
b. Pemeriksaan dengan barium enema ditemukan daerah transisi, gambaran kontraksi
usus yang tidak teratur di bagian menyempit, enterokolitis pada segmen yang melebar
dan terdapat retensi barium setelah 24-48 jam.
c. Biopsi isap, mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa.
d. Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum.
e. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dimana terdapat peningkatan
aktivitas enzim asetilkolin eseterase.
Diagnosa Keperawatan
Pre operasi:
14
d. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah, diare dan pemasukan
terbatas karena mual.
e. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit, prosedur pengobatan.
f. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan status kesehatan anak.
Post operasi:
Rencana Keperawatan
Pre operasi
Kriteria Hasil :
Rencana tindakan:
15
b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan berhubungan dengan
masukan makanan tak adekuat dan rangsangan muntah.
Kriteria Hasil:
Rencana tindakan:
Kriteri Hasil :
Rencana Tindakan:
d. Resiko kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan muntah, diare dan
pemasukan terbatas karena mual.
Kriteria Hasil:
Rencana tindakan:
Kriteria Hasil:
17
Rencana Tindakan:
Post operasi
Kriteria hasil :
Rencana Tindakan:
1. Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi : lokasi , karakteristik dan onset, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor-faktor presipitasi.
2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan, khususnya dalam
ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif.
3. Kaji faktor-faktor yang dapat meningkatkan/ menghilangkan nyeri.
4. Berikan tindakan nyaman, seperti pijat penggung, ubah posisi.
5. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap
ketidaknyamanan (ex: temperatur ruangan , penyinaran).
6. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (misalnya: relaksasi, guided imagery,
distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas).
7. Kolaborasi pemberian analgetik.
18
b. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan menurun imunitas, luka terbuka.
Kriteria Hasil:
Rencana tindakan:
Implementasi
Asuhan keperawatan ini merupakan realisasi dari intervensi tindakan keperawatan yang
diberikan pada klien.
Evaluasi
Merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan ini adalah membandingkan
hasil yang telah dicapai setelah tahap pelaksanaan tidakan keperawatan dengan tujuan dan
criteria hasil yang diharapkan dalam tahap perrencanaan. Perawat mempunyai 3 alternatif dalam
mengevaluasi atau menentukan sejauh mana tujuan tersebut tercapai, diantaranya adalah :
1. Tujuan tercapai : jika data subjektif dan objektif ditemukan pada saat
evaluasi telah memenuhi kriteria hasil.
19
2. Tujuan teratasi sebagian : jika data subjektif dan objektif yang ditemukan hanya
sebagian yang sesuai dengan kriteria hasil.
3. Tujuan belum tercapai : jika data subjektif dan objektif yang ditemukan tidak
sesuai dengan kriteria hasil.
DAFTAR PUSTAKA
MedikaBetz, Cecily & Sowden. ( 2002 ). Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Alih bahasa
JanTambayong. Jakarta : EGC
20
MedikaWong, Donna ( 2004 ). Keperawatan Pediatrik. Alih Bahasa Monica Ester. Jakarta :
EGCYupi, S. (2004). Konsep dasar keperawatan anak. Jakarta:EGC
Nelson, W. ( 2000 ). Ilmu Kesehatan Anak. Alih Bahasa A Samik Wahab. Jakarta : EGC
Sodikin. (2011). Asuhan Keperawatan Anak: Gangguan Sistem Gastrointestinal dan Hepatobilier.
Jakarta: Salemba
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (2000).Ilmu Kesehatan Anak I. Jakarta: Infomedika
Jakarta.
http://dieka-site-nurse.blogspot.com/2012/10/askep-anak-dengan-hirschsprung.html (diakses
pada 01 Mei 2013; 19.00)
21