Hiscprung

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 21

Step 1

Megakolon :

 Penyakit ketidakmampuan sel-sel ganglion dalam rektum yang mengakibatkan keabnormalan


peristaltik.
 Keadaan pembesaran usus besar.

Aganglionic :

 Tidak adanya sel ganglion pada organ seperti rectum atau kolon.

Hisprung :

 Absensi ganglion meissner dan aurbach pada mukosa usus.

Sigmoid :

 Kolon yang terletak paling dekat dengan anus dan rektuk.

Peristaltic :

 Gerakan mekanik yang terjadi pada otot saluran pencernaan yang disarafi oleh saraf
parasimpatis.

Anus :

 Bagian dari usus yang menghubungkan rektum dengan dunia luar.

Megacolon aganglionik :

 Sama dengan hisprung.

Step 2

1. Mengapa bayi sering kembung?


2. Mengapa bayi mengalami muntah-muntah?
3. Mengapa bayi tidak mengalami gerakan peristaltik?
4. Apakah tanda-tanda yang mendiagnosa terjadinya hisprung?

1
5. Klasifikasi hisprung manakah pada kasus ini?
6. Apa pemeriksaan fisik dan penunjang pada hisprung?
7. Bagaimana pencegahan antenatal s.d postnatal agar bayi tidak terjadi hisprung?
8. Apa discharge planning yang dilakukan pada bayi yang menderita hisprung?
9. Bagaimana penatalaksanaan hisprung?
10. Apa komplikasi yang terjadi setelah hisprung?
11. Bagaimana fokus asuhan keperawatan pada pasien hisprung?

Step 3

8. Discharge Planning
 Orang tua memantau tanda dan gejala komplikasi jangka panjang dari penyakit yang
diderita seperti inkontinensia
 Health education tentang perawatan colostomy
 Health education tentang pantangan dan anjuran diet
9. Tahap pembedahan
1. Kolostomi
2. Pembedahan
Konservatif : menggunakan NG tube
Penatalaksanaan medis : colostomy sementara, pembedahan koreksi
Penatalaksanaan keperawatan : perawatan pre op sampai post op
Farmakologi : laksatif dan kortikosteroid

10. Komplikasi : enterokolitis nekrotians, abses perikolon, pneumatosis usus, inkontinensia,


perforasi usus, septicemia, gawat pernapasan, strikura ani pasca bedah

Step 4
1. Etiologi hircsprung : kongenital, kegagalan sel neural pada masa embrio pada dinding usus,
tidak adanya sfingter rectum berelaksasi, down syndrome
2. Klasifikasi :
 Segmen pendek : anus sampai sigmoid
 Segmen panjang : sigmoid sampai ke seluruh kolon

2
Step 5
1. Definisi Hirscprung
2. Etiologi
3. Klasifikasi
4. Manifestasi Klinis
5. Patofisiologi
6. Komplikasi
7. Pemeriksaan penunjang
8. Penatalaksanaan
9. Discharge Planning
10. Pathway
11. Asuhan Keperawatan Teori

Step 7 :

HIRSCHPRUNGS

A. Pengertian
Penyakit hirschsprungs atau yang juga disebut congenital megakolon, merupakan akibat
tidak adanya sel ganglion dalam rectum atau bagian usus besar (Corwin, Elizabeth J. 2008).
Penyakit hirschsprungs adalah kelainan congenital yang mengakibatkan obstruksi
mekanik dari tidak memadainya motilitas pada bagian usus (Hockenberry, Marilyn J, et al.
2003).
Hirschsprungs atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel-sel ganglion
dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan
keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan (Betz,
Cecily L, et.al. 2002).

B. Etiologi

Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah:

3
1. Aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari sfingter ani
internus ke arah proksimal, 70% terbatas di daerah rektosigmoid, 10% sampai seluruh
kolon dan sekitarnya, 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus.
2. Diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan
down syndrome.
3. Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio
kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus. (Budi, 2010).

C. Klasifikasi Hirschsprung
Menurut staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (1996). Hirschsprung dibedakan
sesuai dengan panjang segmen yang terkena, hirschsprung dibedakan menjadi dua tipe
berikut :

1. Segmen Pendek
Segmen pendek aganglionisis mulai dari anus sampai sigmoid,terjadi pada sekitar
70% kasus penyakit Hirschsprung dan tipe ini lebih sering ditemukan pada laki-laki
dibandingkan anak perempuan. Pada tipe segmen pendek yang umum, insidennya 5 kali
lebih besar pada laki-laki dibandingkan wanita dan kesempatan saudara laki-laki dari
penderita anak untuk mengalami penyakit ini adalah 1 dari 20 (Sacharin, 1986)
2. Segmen Panjang
Daerah aganglionisis dapat melebihi sigmoid, bahkan kadang dapat mengenai
seluruh kolon atau sampai usus halus. Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang
sama, terjadi pada 1 dari 10 kasus tanpa membedakan jenis kelamin (Staf Pengajar Ilmu
Kesehatan Anak FKUI, 1996: Sacharin, 1986).

D. Manifestasi Klinis
Penyakit megakolon ini sendiri memiliki gejala klinis berupa obstipasi, obstruksi akut
(baru lahir) dan yang terkena kebanyakan bayi yang cukup bulan. Dan trias penyakit ini
adalah mekonium terlambat keluar (>24 jam), perut kembung, dan muntah berwarna hijau.
Pada anak yang lebih besar biasanya juga terjadi diare dan enterokolitis kronik.

4
Sembilan puluh sembilan persen bayi lahir cukup bulan mengeluarkan mekonium dalam
waktu 48 jam setelah lahir. Penyakit Hirschsprung harus dicurigai apabila seorang bayi
cukup bulan (penyakit ini tidak biasa terjadi pada bayi kurang bulan) yang terlambat
mengeluarkan tinja. Beberapa bayi akan mengeluarkan mekonium secara normal, tetapi
selanjutnya memperlihatkan riwayat konstipasi kronis. Gagal tumbuh dengan
hipoproteinemia karena enteropati pembuang protein sekarang adalah tanda yang kurang
sering karena penyakit Hirschsprung biasanya sudah dikenali pada awal perjalanan penyakit.
Bayi yang minum ASI tadak dapat menampakkan gejala separah bayi yang minum susu
formula.
Kegagalan mengeluarkan tinja menyebabkan dilatasi bagian proksimal usus besar dan
perut menjadi kembung. Karena usus besar melebar, tekanan di dalam lumen meningkat,
mengakibatkan aliran darah menurun dan perintang mukosa terganggu. Stasis
memungkinkan proliferasi bakteri, sehingga dapat menyebabkan enterokolitis (Clostridium
difficile, Staphylococcus aureus, anaerob, koliformis) dengan disertai sepsis dan tanda-tanda
obstruksi usus besar. Pengenalan dini penyakit Hirschsprung sebelum serangan enterokolitis
sangat penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Penyakit Hirschsprung pada penderita yang lebih tua harus dibedakan dari penyebab
perut kembung lain dan konstipasi kronis. Riwayat seringkali menunjukkan kesukaran
mengeluarkan tinja yang semakin berat, yang mulai pada umur minggu-minggu pertama.
Massa tinja besar dapat diraba pada sisi kiri perut, tetapi pada pemeriksaan rektum biasanya
tidak ada tinja. Tinja ini, jika keluar, mungkin akan keluar berupa butir-butir kecil, seperti
pita, atau berkonsistensi cair; tidak ada tinja yang besar dan yang berkonsistensi seperti tanah
pada penderita dengan konstipasi fungsional. Pada penyakit Hirschsprung masa bayi harus
dibedakan dari sindrom sumbat mekonium, ileus mekonium, dan atresia intestinal.
Pemeriksaan rektum menunjukkan tonus anus normal dan biasanya disertai dengan
semprotan tinja dan gas yang berbau busuk. Serangan intermitten obstruksi intestinum akibat
tinja yang tertahan mungkin disertai dengan nyeri dan demam.
1. Pada bayi
a) Tidak bisa mengeluarkan meconium (feses pertama) dalam 24-28 jam pertama setelah
lahir.
b) Tampak malas mengkonsumsi cairan.

5
c) Muntah bercampur dengan cairan empedu.
d) Distensi abdomen.
e) Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare
f) Demam.
g) Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur merupakan tanda yang khas.
Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans, terjadi distensi abdomen hebat dan diare
berbau busuk yang dapat berdarah (Betz, Cecily L, et.al. 2002).
2. Pada anak-anak
a) Konstipasi.
b) Tinja seperti pita dan berbau busuk.
c) Distensi abdomen.
d) Failure to thrive (gagal tumbuh).
e) Nafsu makan tidak ada (anoreksia).
f) Adanya masa di fecal, dapat dipalpasi.
g) Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemia.
h) Letargi.
i) Infeksi kolon, khususnya anak baru lahir atau yang masih sangat muda, yang dapat
mencakup enterokolitis, infeksi serius dengan diare, demam dan muntah dan kadang-
kadang dilatasi kolon yang berbahaya (Betz, Cecily L, et.al. 2002).

E. Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer
dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding submukosa kolon distal. Segmen aganglionic
hampir selalu ada dalam rektum dan bagian proksimalpada usus besar. Ketidak adaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong (peristaltik) dan
tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rektum tidak dapat berelaksasi sehingga
mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus
dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega
Colon.

(Betz, Cecily & Sowden, 2002 :197).

6
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan
relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses
terkumpul di daerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal
terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan di bagian Colon tersebut
melebar.

(Price, S & Wilson, 1995 :141).

Penyakit Hirshprung, atau Mega Colon kongenital adalah tidak adanya sel – sel ganglion
dalam rektum atau bagian rektosigmoid kolon. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan
atau tidak adanya peristaltis serta tidak adanya evakuasi usus spontan. Selain itu, sfingter
rektum tidak dapat berelaksasi, mencegah keluarnya feses secara normal. Isis usu terdorong
ke segmen aganglionik dan feses terkumpul di daerah tersebut, menyebabkan dilatasinya
bagian usus yang psoksimal terhadap daerah itu. Penyakit Hirshprung atau Megacolon
diduga terjadi karena faktor-faktor genetik dan faktor lingkungan, namun etiologi sebenarnya
tidak diketahui. Penyakit ini dapat muncul pada sembarang usia, walaupun sering terjadi
pada neonatus.

F. Komplikasi
1) Obstruksi usus
2) Konstipasi
3) Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
4) Enterokolitis
5) Struktur anal dan inkontinensial ( pos operasi )

( Betz cecily & sowden, 2002 : 197 )

Menurut Corwin (2001:534) komplikasi penyakit hirschsprung yaitu gangguan elektrolit dan
perforasi usus apabila distensi tidak diatasi.

Menurut Mansjoer (2000:381) menyebutkan komplikasi penyakit hirschprung adalah:

a) Pneumatosis usus : Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon
yang iskemik distensi berlebihan dindingnya.

7
b) Enterokolitis nekrotiokans : Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah
kolon yang iskemik distensi berlebihan dindingnya.
c) Abses peri kolon : Disebabkan oleh bakteri yang tumbuh berlainan pada daerah kolon
yang iskemik distensi berlebihan dindingnya.
d) Perforasi ; Disebabkan aliran darah ke mukosa berkurang dalam waktu lama.
e) Septikemia : Disebabkan karena bakteri yang berkembang dan keluarnya endotoxin
karena iskemia kolon akibat distensi berlebihan pada dindinng usus.

Sedangkan komplikasi yang muncul pasca bedah antara lain:

a) Gawat pernafasan (akut) :Disebabkan karena distensi abdomen yang menekan paru –
paru sehingga mengganggu ekspansi paru.
b) Enterokolitis (akut) : Disebabkan karena perkembangbiakan bakteri dan pengeluaran
endotoxin.
c) Stenosis striktura ani : Gerakan muskulus sfingter ani tak pernah mengadakan gerakan
kontraksi dan relaksasi karena ada colostomy sehingga terjadi kekakuan ataupun
penyempitan.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan :
a) Daerah transisi
b) Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit
c) Entrokolitis padasegmen yang melebar
d) Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam ( Darmawan K, 2004 : 17 )
2. Biopsi isap
Yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan mencari sel
ganglion pada daerah sub mukosa ( Darmawan K, 2004 :17 )
3. Biopsi otot rectum
Yaitu pengambilan lapisan otot rectum
4. Periksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada penyakit ini
khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase ( Darmawan K, 2004 : 17 )
5. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus

8
( Betz, cecily & Sowden, 2002 : 197 )

6. Pemeriksaan colok anus


Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang
menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang menumpuk
dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi pembusukan.
7. Foto rontgen abdomen
Didasarkan pada adanya daerah peralihan antara kolon proksimal yang melebar normal
dan colon distal tersumbat dengan diameter yang lebih kecil karena usus besar yang tanpa
ganglion tidak berelaksasi. Pada pemeriksaan foto polos abdomen akan ditemukan usus
melebar / gambaran obstruksi usus letak rendah.

H. Penatalaksaan Medis
1. Pembedahan
Penatalaksanaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus
besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar
sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal.

Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :

a. Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk melepaskan


obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus besar untuk
mengembalikan ukuran normalnya.
b. Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat anak
mencapai sekitar 9 Kg (20 pounds) atau sekitar 3 bulan setelah operasi pertama (Betz,
Cecily L, et.al. 2002).

Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan:

a. Prosedur Duhamel
Umumnya dilakukan terhadap bayi yang berusia kurang dari 1 tahun. Prosedur ini
terdiri atas penarikan kolon normal ke arah bawah dan menganastomosiskannya di

9
belakang anus aganglionik, menciptakan dinding ganda yang terdiri dari selubung
aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang ditarik tersebut.
b. Pada prosedur Swenson
Bagian kolon yang aganglionik itu dibuang. Kemudian dilakukan anastomosis end-to-
end pada kolon berganglion dengan saluran anal yang dilatasi. Sfinterotomi dilakukan
pada bagian posterior.
c. Prosedur Soave
Dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan merupakan prosedur yang paling
banyak dilakukanuntuk mengobati penyakit hirsrcprung. Dinding otot dari segmen
rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus,
tempat dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot rektosigmoid
yang tersisa.

2. Konservatif
Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif melalui pemasangan
sonde lambung serta pipa rektal untuk mengeluarkan mekonium dan udara.
3. Tindakan bedah sementara
Kolostomi dikerjakan pada pasien neonatus, pasien anak dan dewasa yang terlambat
didiagnosis dan pasien dengan enterokolitis berat dan keadaan umum memburuk.
Kolostomi dibuat di kolon berganglion normal yang paling distal.
4. Terapi farmakologi
a. Pada kasus stabil, penggunaan laksatif sebagian besar dan juga modifikasi diet dan
wujud feses adalah efektif.
b. Obat kortikosteroid dan obat anti-inflamatori digunakan dalam megakolon toksik.
Tidak memadatkan dan tidak menekan feses menggunakan tuba.

I. Discharge Planning
Perencanaan pulang dan perawatan di rumah :
1. Ajarkan pada orang tua untuk memantau adanya tanda dan gejala komplikasi jangka
panjang yaitu :

10
a. Stenosis dan konstriksi
b. Inkontinesia
c. Pengosongan usus yang tidak adekuat
2. Ajarkan tentang perawatan kolostomi pada orang tua dan anak
a. Persiapan kulit
b. Penggunaan alat kolostomi
c. Komplikasi stoma ( perdarahan, gagal devekasi, diare, prolaps, feses seperti pita).
d. Perawatan dan pembersihan alat kolostomi.
e. Irigasi kolostomi
3. Beri dan kuatkan informasi-informasi tentang pelaksanaan diet.
a. Makanan rendah sisa
b. Masukan cairan tanpa batas
c. Tanda-tanda ketidakseimbangan elektrolit atau dehidrasi
4. Dorong orang tua dan anak untuk mengekspresikan perasaannya tentang kolostomi.
a. Tampilan
b. Bau
c. Ketidaksesuaian antara anak mereka dan anak ideal
5. Rujuk ke prosedur institusi spesifik untuk informasi yang dapat diberikan pada orang tua
tentang perawatan rumah.

11
J. WOC

Gambar : WOC Hircsprung

K. Asuhan Keperawatan Teori


Pengkajian.
1. Identitas.
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan
kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan
lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada
anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi
sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada anak laki-
laki dan perempuan (Ngastiyah, 1997).
12
2. Riwayat Keperawatan.
a. Keluhan utama.
Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang sering
ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir),
perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare.
b. Riwayat penyakit sekarang.
Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total saat
lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi
sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi
selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Namun
ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen, dan
demam. Diare berbau busuk dapat terjadi.
c. Riwayat penyakit dahulu.
Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit
Hirschsprung.
d. Riwayat kesehatan keluarga.
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya.
e. Riwayat kesehatan lingkungan.
Tidak ada hubungan dengan kesehatan lingkungan.
f. Imunisasi.
Tidak ada imunisasi untuk bayi atau anak dengan penyakit Hirschsprung.
g. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
3. Pemeriksaan fisik.
a. Sistem kardiovaskuler.
Tidak ada kelainan.
b. Sistem pernapasan.
Sesak napas, distres pernapasan.
c. Sistem pencernaan.
Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut tegang, muntah berwarna hijau. Pada anak
yang lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus jari akan merasakan jepitan

13
dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau tinja
yang menyemprot.
d. Sistem genitourinarius.
e. Sistem saraf.
Tidak ada kelainan.
f. Sistem lokomotor/muskuloskeletal.
Gangguan rasa nyaman.
g. Sistem endokrin.
Tidak ada kelainan.
h. Sistem integumen.
Akral hangat.
i. Sistem pendengaran.
Tidak ada kelainan.
4. Pemeriksaan diagnostik dan hasil.
a. Foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar atau terdapat gambaran
obstruksi usus rendah.
b. Pemeriksaan dengan barium enema ditemukan daerah transisi, gambaran kontraksi
usus yang tidak teratur di bagian menyempit, enterokolitis pada segmen yang melebar
dan terdapat retensi barium setelah 24-48 jam.
c. Biopsi isap, mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa.
d. Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum.
e. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dimana terdapat peningkatan
aktivitas enzim asetilkolin eseterase.

Diagnosa Keperawatan

Pre operasi:

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.


b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan berhubungan dengan
masukan makanan tak adekuat dan rangsangan muntah.
c. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan defek persyarafan terhadap
aganglion usus.

14
d. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah, diare dan pemasukan
terbatas karena mual.
e. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit, prosedur pengobatan.
f. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan status kesehatan anak.

Post operasi:

a. Nyeri berhubungan dengan inkontinuitas jaringan (pembedahan).


b. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan menurun imunitas.

Rencana Keperawatan

Pre operasi

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.

Tujuan: Pola nafas efektif.

Kriteria Hasil :

1. Frekuensi pernafasan dalam batas normal.


2. Irama nafas sesuai yang diharapkan.
3. Ekspansi dada simetris.
4. Bernafas mudah.

Rencana tindakan:

1. Monitor frekuensi, ritme, kedalamam pernafasan.


2. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, penggunaan otot tambahan.
3. Monitor pola nafas bradipnea , takipnea, hiperventilasi.
4. Auskultasi suara pernafasan.
5. Monitor aliran oksigen.
6. Pertahankan jalan nafas yang paten.

15
b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan berhubungan dengan
masukan makanan tak adekuat dan rangsangan muntah.

Tujuan: Gangguan nutrisi teratasi.

Kriteria Hasil:

1. Tidak terjadi penurunan BB/ BB ideal.


2. Nafsu makan membaik.

Rencana tindakan:

1. Monitor intake nutrisi dan output.


2. Monitor pertumbuhan dan perkembangan.
3. Timbang Berat badan.
4. Anjurkan pada keluarga pasien untuk memberikan ASI.
5. Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien.
6. Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (Hb dan albumin).

c. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan defek persyarafan terhadap


aganglion usus.

Tujuan: Pola eliminasi normal/ konstipasi teratasi.

Kriteri Hasil :

1. Warna feses kunin kecoklatan.


2. Feses lunak/ lembut dan berbentuk.
3. Bau feses tidak menyengat.

Rencana Tindakan:

1. Berikan bantuan enema dengan cairan fisiologis NaCl 0,9%.


2. Auskultasi bising usus.
3. Observasi pengeluaran feces per rektal bentuk, konsistensi, dan jumlah.
4. Observasi intake yang mempengaruhi pola dan konsistensi feses.
16
5. Monitor efek samping dari tindakan irigasi atau pemberian obat oral (laksatif).
6. Anjurkan untuk menjalankan diet yang telah dianjurkan.
7. Kolaborasi dalam pemberian obat pencahar.

d. Resiko kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan muntah, diare dan
pemasukan terbatas karena mual.

Tujuan: Kekurangan cairan tidak terjadi.

Kriteria Hasil:

1. Keseimbangan intake dan output 24 jam.


2. Mata tidak cekung.
3. Kulit lembab (tidak kering).
4. Membran mukosa mulut lembab.

Rencana tindakan:

1. Pertahankan intake dan output yang akurat.


2. Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah).
3. Monitor vital sign
4. Dorong masukan oral.
5. Kolaborasikan pemberian cairan IV
6. Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (elektrolit).

e. Cemas berhubungan dengan perpisahan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit,


prosedur pengobatan.

Tujuan: Cemas teratasi.

Kriteria Hasil:

1. Tidak gelisah/ klien tampak tenang.


2. TD da nadi dalam batas normal.

17
Rencana Tindakan:

1. Catat petunjuk perilaku yang menunjukkan ansietas.


2. Dorong keluarga untuk menyatakan perasaan dan berikan umpan balik.
3. Berikan informasi yang akurat dan nyata tentang penyakit anak dan apa yang harus
dilakukan.
4. Jelaskan tentang proses penyakit, diet, perawatan serta obat-obatan pada keluarga pasien
dan jelaskan semua prosedur yang akan dilaksanakan dan manfaatnya bagi pasien.

Post operasi

a. Nyeri berhubungan dengan inkontinuitas jaringan (pembedahan).

Tujuan : Nyeri teratasi

Kriteria hasil :

1. Tidak ada keluhan nyeri.


2. Klien tampak tenang.
3. TTV dalam batas normal.

Rencana Tindakan:

1. Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi : lokasi , karakteristik dan onset, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor-faktor presipitasi.
2. Observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan, khususnya dalam
ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif.
3. Kaji faktor-faktor yang dapat meningkatkan/ menghilangkan nyeri.
4. Berikan tindakan nyaman, seperti pijat penggung, ubah posisi.
5. Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap
ketidaknyamanan (ex: temperatur ruangan , penyinaran).
6. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (misalnya: relaksasi, guided imagery,
distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas).
7. Kolaborasi pemberian analgetik.

18
b. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan menurun imunitas, luka terbuka.

Tujuan: Tidak terjadi infeksi.

Kriteria Hasil:

1. Tidak ada tanda-tanda infeksi.


2. Suhu dalam batas normal.
3. Hasil lab normal (leukosit).

Rencana tindakan:

1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.


2. Monitor kerentanan terhadap infeksi.
3. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas dan drainase.
4. Inspeksi kondisi luka/ insisi bedah.
5. Dorong masukan nutrisi yang cukup.
6. Lakukan keperawatan pada kolostomi atau perianal.
7. Kolaborasi pemberian antibiotik dalam penatalaksanaan pengobatan terhadap
mikroorganisme.

Implementasi

Asuhan keperawatan ini merupakan realisasi dari intervensi tindakan keperawatan yang
diberikan pada klien.
Evaluasi

Merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Kegiatan ini adalah membandingkan
hasil yang telah dicapai setelah tahap pelaksanaan tidakan keperawatan dengan tujuan dan
criteria hasil yang diharapkan dalam tahap perrencanaan. Perawat mempunyai 3 alternatif dalam
mengevaluasi atau menentukan sejauh mana tujuan tersebut tercapai, diantaranya adalah :
1. Tujuan tercapai : jika data subjektif dan objektif ditemukan pada saat
evaluasi telah memenuhi kriteria hasil.

19
2. Tujuan teratasi sebagian : jika data subjektif dan objektif yang ditemukan hanya
sebagian yang sesuai dengan kriteria hasil.
3. Tujuan belum tercapai : jika data subjektif dan objektif yang ditemukan tidak
sesuai dengan kriteria hasil.

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, A. (2006). Pengahantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba

Darmawan K (2004 ). Penyakit Hirschsprung. Jakarta : sagung Seto.

MedikaBetz, Cecily & Sowden. ( 2002 ). Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Alih bahasa
JanTambayong. Jakarta : EGC

20
MedikaWong, Donna ( 2004 ). Keperawatan Pediatrik. Alih Bahasa Monica Ester. Jakarta :
EGCYupi, S. (2004). Konsep dasar keperawatan anak. Jakarta:EGC

Nelson, W. ( 2000 ). Ilmu Kesehatan Anak. Alih Bahasa A Samik Wahab. Jakarta : EGC

Sodikin. (2011). Asuhan Keperawatan Anak: Gangguan Sistem Gastrointestinal dan Hepatobilier.
Jakarta: Salemba

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (2000).Ilmu Kesehatan Anak I. Jakarta: Infomedika
Jakarta.

Price, S. (1995). Patofisiologi. Jakarta: EGC

http://ivanishadi.blogspot.com/2009/06/askep-mega-colon.html (diakses pada 01 Mei 2013;


19.00)

http://irwankeren.blogspot.com/2013/02/askep-hirschprung-pada-anak.html (diakses pada 01


Mei 2013; 19.00)

http://dieka-site-nurse.blogspot.com/2012/10/askep-anak-dengan-hirschsprung.html (diakses
pada 01 Mei 2013; 19.00)

21

Anda mungkin juga menyukai