Anda di halaman 1dari 129

LAPORAN KINERJA 2022

DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN


PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR
KEMENTERIAN KESEHATAN
halaman |2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang


Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, Laporan
Kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular dapat disusun dengan baik. Penyusunan LAKIP ini
berpedoman kepada Peraturan Menteri PAN/RB no 12 Tahun
2015 tentang Pedoman Evaluasi atas Implementasi Sistem
Akuntabilitas Instansi Pemerintah dan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian
Kinerja, Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Reviu Atas Laporan
Kinerja Instansi Pemerintah.
Laporan kinerja ini disusun agar setiap pemangku kepentingan mendapatkan gambaran
yang jelas mengenai pelaksanaan kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular. Keberhasilan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular dalam mencapai target sasaran kinerja yang telah ditetapkan
merupakan hasil kerja keras dan peran serta semua pegawai, kerjasama lintas program dan
lintas sektor di lingkungan Kementerian Kesehatan, para stakeholder serta dukungan dari
Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
Penyusunan LAKIP Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular ini
diharapkan dapat meningkatkan akuntabilitas publik dan meningkatkan kinerja. Laporan ini
berisi pencapaian sasaran sebagaimana yang ditetapkan di dalam dokumen penetapan kinerja
dan dokumen perencanaan serta menyajikan informasi tentang pencapaian tujuan dan sasaran
organisasi, realisasi pencapaian indikator kinerja utama organisasi, penjelasan yang memadai
mengenai pencapaian kinerja dan perbandingan capaian indikator kinerja dengan target
kinerja lima tahunan yang direncanakan.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan menyampaikan
penghargaan kepada semua pihak atas dukungan, peran serta dan kerja sama yang telah
terjalin dengan baik.
Jakarta, Januari 2023
Direktur Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular

dr. Imran Pambudi, MPHM


halaman |3

IKHTISAR EKSEKUTIF

Laporan Kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Tahun 2022 merupakan
sarana untuk menyampaikan pertanggungjawaban kinerja Direktur P2PM beserta jajarannya kepada
Direktur Jenderal P2P dan seluruh pemangku kepentingan, baik yang terkait langsung maupun tidak
langsung. Laporan Kinerja Direktorat P2PM menjabarkan capaian kinerja yang ditetapkan dalam
Perjanjian Kinerja Direktorat P2PM, mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024, Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024 dan
Rencana Aksi Program Ditjen P2P Tahun 2020-2024 dan Rencana Aksi Kegiatan Direktorat P2PM
Revisi.

Dari 14 Indikator Kinerja yang ditetapkan dalam Perjanjian Kinerja Tahun 2022 yang dijanjikan oleh
Direktur Jenderal P2P kepada Menteri Kesehatan, terdapat 3 Indikator Kinerja Kinerja yang memiliki
kinerja mencapai atau melebihi target dan 11 indikator tidak mencapai target. Capaian IKK Direktur
P2PM Tahun 2022 adalah sebagai berikut:

1. Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh
manusia yang mendapatkan skrining HIV tercapai 60% dari target 80% dengan kinerja 75%
2. Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru ditemukan mendapatkan pengobatan ART tercapai
80% dari target 85% dengan kinerja 90%
3. Angka keberhasilan pengobatan TBC tercapai 84.64% dari target 90% dengan kinerja 94.04%
4. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai positivity rate (PR) < 5%, tercapai 348 dari target 374
dengan kinerja 93%
5. Persentase penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu, tercapai 87 dari
target 89 dengan kinerja 97%
6. Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar, tercapai 50% dari target 53% dengan
kinerja 106%
7. Persentase pengobatan kasus diare sesuai standar, tercapai 89.65% dari target 50% dengan
kinerja 179.3%
8. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan C pada populasi
berisiko tercapai 94% dari target 95% dengan kinerja 98.9%
9. Persentase pasien sifilis yang diobati tercapai 66% dari target 75% dengan kinerja 87%
10. Jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi, tercapai 16 desa dari target 19
desa dengan kinerja 84%
11. Jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies, tercapai 263 dari target 211 dengan kinerja 124%
12. Persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk, tercapai
17.21% dari target 80% dengan kinerja 21.4%
13. Jml kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1%, tercapai 207%
dari target 201% dengan kinerja 97%
14. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang mencapai eliminasi, tercapai 103% dari target
106% dengan kinerja 97.16%

Untuk kinerja keuangan pada tahun 2022, data per 25 Januari 2022 berdasarkan Sistem
Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), realisasi anggaran mencapai 91,28%, dengan
realisasi Rp1.608.576.845.094 dari pagu total sebesar Rp. 1.762.226.498.000.
halaman |4

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN___________________________________________ 5
I.I. Latar Belakang 5
I.2. Tugas Pokok dan Fungsi 8
I.3. Struktur Organisasi 9
I.4. Sumber Daya Manusia 10
I.5 Sistematika Penulisan 12
bab ii perencanaan kinerja _______________________________________ 13
II.1 Perencanaan Kinerja 13
II.2 Perjanjian Kinerja 16
BAB III AKUNTABILITAS KINERJA ________________________________ 18
III.1 Capaian Kinerja Organisasi 18
III.2 Analisis Pencapaian Organisasi 19
BAB IV PENUTUP ____________________________________________ 121
IV.1 Kesimpulan 121
IV.2 Rencana Tindak Lanjut 121
LAMPIRAN __________________________________________________ 122
Lampiran I Error! Bookmark not defined.
halaman |5

BAB I PENDAHULUAN

I.I. Latar Belakang


Pembangunan kesehatan pada hakikatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua
komponen bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif
secara sosial dan ekonomi, sesuai yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025. Keberhasilan
pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh kesinambungan upaya program dan sektor, serta
kesinambungan dengan upaya-upaya yang telah dilaksanakan dalam periode sebelumnya.
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular merupakan salah satu satuan
kerja baru atas perubahan susunan organisasi sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2022, di bawah Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular berperan
dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan di bidang pencegahan dan pengendalian penyakit
menular. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular dalam upaya meningkatkan
pencegahan dan pengendalian penyakit menular yakni upaya reduksi, eliminasi, dan eradikasi.
Penyakit menular yang masih menjadi masalah utama dan harus mendapat perhatian khusus yaitu
tuberkulosis, HIV/AIDS, malaria, penyakit infeksi baru yang menyebabkan kedaruratan kesehatan
masyarakat, dan penyakit tropis terabaikan (Neglected Tropical Diseases - NTD).
Isu Strategis
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan infeksi menular seksual (IMS) masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia dan Indonesia, dan meluas hingga masalah sosial,
ekonomi, dan budaya. Kasus HIV di kawasan Asia Tenggara menyumbang 10% dari total beban HIV
di seluruh dunia.
Di Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan jumlah orang yang hidup dengan HIV (ODHIV)
berjumlah 543.100 orang. Jumlah ini menurun dari angka sebelumnya pada tahun 2016 sebesar
643.443 ODHIV. Infeksi baru HIV di Indonesia terus mengalami penurunan, sejalan dengan
penurunan infeksi baru HIV global. Namun demikian, penurunan infeksi baru ini belum sebanyak
yang diharapkan. Pada populasi kunci tertentu (LSL dan waria) terjadi peningkatan infeksi baru HIV.
Secara nasional, epidemi HIV di Indonesia adalah epidemi terkonsentrasi pada populasi kunci
dengan Prevalensi sebesar 0,26%. Hasil Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) populasi kunci
tahun 2018 menunjukkan prevalensi HIV pada populasi kunci di atas 10%. Terjadi pergeseran pola
penularan HIV di mana pada awal tahun 2000 penularan HIV pada penggunaan jarum suntik
bersama di kalangan Penasun, sedangkan pada tahun 2020 penularan melalui hubungan seksual
merupakan cara penularan HIV utama. Epidemi HIV di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua
Barat) merupakan epidemi meluas tingkat rendah, dengan angka prevalensi HIV pada populasi
umum sebesar 2,3% (STBP Tanah Papua, 2013). Kecenderungan prevalensi HIV lebih tinggi (2,9%)
terjadi di wilayah pegunungan dan populasi suku Papua, sementara di dataran rendah dan
perkotaan, prevalensi berada di bawah 2,3%.
Hasil Estimasi IMS, di Indonesia pada tahun 2020 menunjukkan prevalensi gonore dan
infeksi klamidia pada populasi kunci mencapai hingga 30 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum. Namun secara umum terjadi penurunan prevalensi sifilis pada WPS dan LSL, sejalan dengan
penurunan pada prevalensi HIV, karena peningkatan penggunaan kondom dan upaya pencegahan
IMS dan HIV lainnya. Sementara itu, estimasi sifilis kongenital menunjukkan jumlah kasus dan angka
halaman |6

sifilis kongenital di Indonesia telah menurun, tetapi masih 10 kali lipat lebih tinggi daripada target
global eliminasi sifilis kongenital, yaitu < 50 kasus per 100.000 kelahiran hidup. Pengendalian IMS
baik pada populasi kunci maupun pada non populasi kunci, terutama ibu hamil, harus diperkuat agar
target eliminasi IMS dapat tercapai.
Tujuan pengendalian HIV AIDS pada tahun 2030 adalah mencapai Three zero yaitu zero
new infection, zero AIDS related death dan zero discrimination yang dilakukan melalui program
STOP (Suluh, Tes, Obati dan Pertahankan). Target TOP tahun 2030 sebesar 95-95-95 yaitu 95%
orang dengan HIV mengetahui status HIV nya, 95% orang dengan HIV AIDS mendapatkan
pengobatan dan 95 % orang yang mendapatkan pengobatan HIV tersupresi virusnya. Dengan
adanya komitmen pemerintah diharapkan semua elemen baik pemerintah, swasta, masyarakat dan
lain-lain dapat mendorong pencapaian eliminasi HIV tahun 2030.
Tuberkulosis (TBC) masih merupakan ancaman kesehatan masyarakat di Indonesia.
Berdasarkan WHO Global TBC Report 2021, kasus TBC di Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan
sejumlah 824.000 kasus dengan insidensi 301 per 100.000 penduduk yang kemudian membawa
Indonesia menjadi salah satu negara tertinggi dengan kasus terbanyak setelah india. Pada tahun
2021 masih banyak kasus yang belum terlaporkan dan terdiagnosis sehingga perlu peningkatan
penemuan dan pengobatan di lapangan baik kegiatan aktif dan pasif. Dengan adanya komitmen
pemerintah diharapkan semua elemen baik pemerintah, swasta, masyarakat dan lain-lain dapat
mendorong pencapaian eliminasi tuberkulosis tahun 2030.
Program penanggulangan malaria di Indonesia bertujuan untuk mencapai eliminasi malaria
secara bertahap selambat-lambatnya Tahun 2030. Secara nasional, terdapat 347 kabupaten/kota
atau 67,51% yang telah dinyatakan bebas malaria pada tahun 2021. Jumlah ini meningkat
dibandingkan tahun 2020 yang sebanyak 318 kabupaten/kota. Angka kesakitan malaria
digambarkan dengan indikator Annual Parasite Incidence (API) per 1.000 penduduk, yaitu proporsi
antara pasien positif malaria terhadap penduduk berisiko di wilayah tersebut dengan konstanta
1.000. Sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2020, angka kesakitan malaria berada di bawah 1
per 1.000 penduduk. API meningkat menjadi di atas 1 yaitu sebesar 1,1 pada tahun 2021. Kasus
malaria Tahun 2021 di Indonesia sebanyak 304.607, kasus tertinggi yaitu di Provinsi Papua
sebanyak 275.243 kasus, disusul dengan Provinsi NTT sebanyak 9.419 kasus dan Provinsi Papua
Barat sebanyak 7.628 kasus.
Kusta merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia dan
menempati urutan ke 3 di dunia dengan jumlah kasus baru terbanyak di tahun 2020. Indonesia
merupakan negara dengan beban kusta yang tinggi dengan penemuan kasus baru yang statis
selama 20 tahun terakhir. Pada tahun 2021, Indonesia masih dalam proses mencapai eliminasi
tingkat nasional dengan prevalensi 0,45 per 10.00 penduduk. Sebab 6 provinsi yang belum
mencapai eliminasi, yaitu provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan
Papua Barat. Ada 12.230 kasus terdaftar dengan angka penemuan kasus baru 4,03 per 100.000
penduduk, dan kasus baru sebanyak 10.976 orang. Proporsi kasus kusta yang ditemukan tanpa
cacat sebesar 83,6% dan proporsi kasus kusta cacat tingkat 2 sebesar 6,13 % Proporsi kusta anak
di antara kasus kusta baru sebesar 10,33%. Penderita kusta yang telah menyelesaikan pengobatan
tepat waktu Release From Treatment (RFT) adalah 90%. Kasus kusta banyak ditemukan di wilayah
Timur dan berbagai indikator menunjukkan masih tingginya penularan kasus kusta di Indonesia
khususnya di wilayah Indonesia Timur.
Program Pencegahan dan Pengendalian ISPA difokuskan pada pengendalian penyakit
pneumonia pada balita karena berkontribusi besar terhadap angka kesakitan dan kematian balita.
Sampai saat ini pneumonia masih merupakan salah satu penyebab angka kesakitan dan kematian
tertinggi pada balita di dunia maupun di Indonesia. Menurut WHO, pneumonia berkontribusi terhadap
halaman |7

14% kematian pada balita di dunia pada tahun 2019. Pada RISKESDAS 2018, prevalensi pneumonia
berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 2% dan 4% berdasarkan diagnosis oleh
tenaga kesehatan dan gejala. Survei Sample Registration System Balitbangkes 2016 pneumonia
menempati urutan ke 3 sebagai penyebab kematian pada balita (9.4%).
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pencernaan yang menjadi
masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. Menurut WHO dan UNICEF, terjadi sekitar 2 milyar
kasus diare dan 1,9 juta anak balita meninggal karena diare di seluruh dunia setiap tahun. Dari
semua kematian tersebut, 78% terjadi di negara berkembang, terutama di wilayah Afrika dan Asia
Tenggara. Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menyebutkan prevalensi diare untuk semua kelompok
umur sebesar 8 % dan angka prevalensi untuk balita sebesar 12,3 %, sementara pada bayi,
prevalensi diare sebesar 10,6%. Sementara pada Sample Registration System tahun 2018, diare
tetap menjadi salah satu penyebab utama kematian pada neonatus sebesar 7% dan pada bayi usia
28 hari sebesar 6%. Data dari Komdat Kesmas periode Januari - November 2021, diare
menyebabkan kematian pada postneonatal sebesar 14%. Data terbaru dari hasil Survei Status Gizi
Indonesia tahun 2020, prevalensi diare di berada ada pada angka 9,8%. Diare sangat erat kaitannya
dengan terjadinya kasus stunting. Kejadian diare berulang pada bayi dan balita dapat menyebabkan
stunting. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia 2020, Penyakit infeksi khususnya diare
menjadi penyumbang kematian pada kelompok anak usia 29 hari - 11 bulan. Sama seperti tahun
sebelumnya, pada tahun 2020, diare masih menjadi masalah utama yang meyebabkan 14,5%
kematian. Pada kelompok anak balita (12 – 59 balita), kematian akibat diare sebesar 4,55%.
Hepatitis virus diperkirakan menyebabkan 1,4 juta kematian per tahun di dunia akibat infeksi
akut dan kanker hati terkait hepatitis dan sirosis. Secara global, pada tahun 2015 diperkirakan 257
juta orang hidup dengan infeksi virus hepatitis B (VHB) kronis, dan 71 juta orang dengan infeksi virus
hepatitis C (VHC) kronis. Di Asia Tenggara, WHO memperkirakan ada sekitar 39,4 juta (28,8 –76,5
juta) orang yang hidup dengan hepatitis B kronis dan 10,3 juta (8,0–17,8 juta) orang yang hidup
dengan hepatitis C kronis.
Di Indonesia, Hepatitis virus B dan Hepatitis virus C merupakan penyebab sebagian besar
penyakit hepatitis, sirosis, dan kematian terkait penyakit hati. Data Riskesdas 2013 menunjukkan
prevalensi Hepatitis B (HBsAg) secara umum sebesar 7,1% pada penduduk Indonesia (Gambar 2).6
Angka prevalensi meningkat pada kelompok usia di atas 5 tahun, karena adanya transmisi horizontal
melalui kontak darah dan/atau hubungan seksual berisiko. Selain itu, prevalensi HBsAg pada ibu
hamil juga masih cukup tinggi yang berkisar antara 1,82% sampai 2,46%. Untuk Hepatitis C,
prevalensi umum anti-HCV sebesar 1%. Berdasarkan data pengobatan yang tersedia, sebaran
Hepatitis C terkonsentrasi pada beberapa kelompok populasi, antara lain (1) pengguna napza suntik
13,8%-31,1%; (2) pasien hemodialisis 3,7%-18,6%; dan (3) penerima transfusi darah 4,5-11%.6,8.
Sirosis hati akibat hepatitis merupakan salah satu dari 8 penyakit berbiaya tinggi dan memiliki
komplikasi yang mengancam nyawa (penyakit katatrofik) yang menjadi fokus penyelenggaraan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Secara keseluruhan, biaya pertanggungan BPJS Kesehatan
selama 2014-2016 untuk infeksi Hepatitis B berjumlah 151 milyar rupiah, dan 43 milyar rupiah untuk
infeksi Hepatitis C.
Frambusia merupakan penyakit menular langsung antar manusia yang disebabkan oleh
infkesi kronis bakteri Treponema Pertenue yang hidup didaerah tropis yang pada umumnya terlihat
sebagai lesi pada kulit serta dapat menyebabkan cacat pada tulang. penyakit frambusia masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Indonesia melaporkan kasus frambusia
terbanyak di asia tenggara. Pada tahun 2021, seluruh provinsi, kabupaten-kota telah melakukan
upaya surveilans frambusia dengan kinerja pelaporan tingkat kabupaten-kota sebesar 391 dari 514
(76,07%), kinerja pelaporan tingkat puskesmas sebesar 4.967 dari 10.277 (48,34%); dengan jumlah
halaman |8

laporan sebanyak 59.148 dari seharusnya 123.324 bulan laporan (47,96%), dengan jumlah suspek
ditemukan 7.746 kasus dan dikonfirmasi rapid diagnostic test (RDT) 6.917 kasus (89,30%), dengan
hasil negatif 6.707 kasus (negative rate 96,96%) dan masih terdapat 185 kasus FRAMBUSIA
(positive rate 2,67%) penyumbang kasus tertinggi berada di Papua dan Papua Barat. Target global,
regional maupun nasional, Indonesia ditaget eradikasi frambusia yaitu hilangnya frambusia secara
permanen sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat secara nasional. capaian
kabuaten/kota tersertifikasi bebas frambusia sebanyak 55 kabupaten/kota sebagai indikator kinerja
program eradikasi frambusia
Rabies merupakan penyakit zoonosis dan menular baik pada manusia maupun hewan yang
disebabkan oleh infeksi virus Lyssa yang ditularkan melalui gigitan hewan, salah satunya adalah
anjing. Penyakit ini bila sudah menunjukkan gejala klinis selalu diakhiri dengan kematian, CFR
mencapai 100% dengan menyerang pada semua umur dan jenis kelamin. Menurut WHO, setiap
tahun, hampir 59.000 orang meninggal dunia akibat rabies, sebanyak 95% kematian terjadi di Asia
dan Afrika. Sesuai dengan target global Eliminasi Rabies tahun 2030, Indonesia juga berkomitmen
untuk mencapai Eliminasi Rabies pada tahun tersebut. Rabies telah menyebar ke 26 provinsi dan
hanya 8 provinsi di Indonesia yang bebas rabies. Capaian kab/kota yang eliminasi rabies sampai
saat ini sebanyak 186 kab/kota, target capaian untuk tahun 2022 sebanyak 211 kab/kota.
Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan
ditularkan melalui nyamuk. Di Indonesia, cacing filaria terdiri dari tiga spesies yaitu Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Penyakit ini menginfeksi jaringan limfe (getah bening).
Filariasis menular melalui gigitan nyamuk yang mengandung cacing filaria dalam tubuhnya. Dalam
tubuh manusia, cacing tersebut tumbuh menjadi cacing dewasa dan menetap di jaringan limfe
sehingga menyebabkan pembengkakan di kaki, tungkai, payudara, lengan dan organ genital. WHO
melalui roadmap NTD 2021 menetapkan eliminasi filariasis global pada tahun 2030. Saat ini di dunia
terdapat 1,3 miliar penduduk yang berisiko tertular penyakit filariasis atau yang dikenal juga dengan
penyakit kaki gajah yang berada pada lebih dari 83 negara dan 60% kasus berada di Asia Tenggara.
Di Indonesia, sebanyak 236 kabupaten/kota merupakan daerah endemis Filariasis. Total kasus
kronis filariasis yang dilaporkan hingga tahun 2021 sebanyak 9.354 kasus. Angka ini terlihat
menurun dari data tahun sebelumnya karena dilaporkan beberapa kasus meninggal dunia dan
adanya perubahan diagnosis sesudah dilakukan validasi data/konfirmasi kasus klinis kronis yang
dilaporkan tahun sebelumnya.

I.2. Tugas Pokok dan Fungsi


Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No 5 tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Kesehatan pada pasal 82, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan
norma, standar, prosedur dan kriteria, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, evaluasi dan
pelaporan di bidang pencegahan dan pengendalian penyakit Menular. Selanjutnya dalam pasal 83
disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular menyelenggarakan fungsi
a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang surveilans, deteksi dini, pengendalian factor risiko,
dan koordinasi upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular;
b. Pelaksanaan kebijakan di bidang surveilans, deteksi dini, pengendalian faktor risiko, dan
koordinasi upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular;
halaman |9

c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang surveilans, deteksi dini,
pengendalian faktor risiko dan koordinasi upaya pencegahan dan pengendalian penyakit
menular;
d. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang surveilans, deteksi dini, pengendalian faktor
risiko dan koordinasi upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular;
e. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan; dan
f. Pelaksanaan urusan administrasi Direktorat.

I.3. Struktur Organisasi


Pada Lampiran D Peraturan Menteri Kesehatan No 5 tahun 2022, berikut adalah Struktur
Organisasi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Gambar 1.1 Struktur Organisasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Berdasarkan Pasal 84 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022, Susunan


organisasi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular terdiri atas:
a. Subbagian Administrasi Umum; dan
b. Kelompok Jabatan Fungsional.

Subbagian Administrasi Umum mempunyai tugas melakukan penyiapan dan koordinasi


penyusunan rencana, program, anggaran, pelaksanaan anggaran, pembukuan dan inventarisasi
barang milik negara, urusan sumber daya manusia, pengelolaan data dan sistem informasi,
pemantauan, evaluasi, laporan, kearsipan, persuratan, dan kerumahtanggaan Direktorat.
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit nomor:
HK.02.02/C/1955/2022 tentang Tim Kerja di Lingkungan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian

Penyakit Menular yaitu:


a. Tim Kerja Tuberkulosis dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
b. Tim Kerja HIV, Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS), Hepatitis dan Penyakit Infeksi
Saluran Pencernaan (PISP)
c. Tim Kerja Neglected Disease ( Penyakit Tropis Terabaikan)
d. Tim Kerja Zoonosis dan Penyakit Akibat Gigitan Hewan Berbisa dan Tanaman Beracun; dan
e. Tim Kerja Penyakit Tular Vektor
h a l a m a n | 10

I.4. Sumber Daya Manusia


Sumber daya manusia yang menduduki Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular sampai dengan Triwulan IV Tahun 2022 terdiri dari pegawai ASN sebanyak 131 orang dan
tenaga honorer sebanyak 11 orang. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, susunan
organisasi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular terdiri dari Subbagian
Administrasi Umum dan Kelompok Jabatan Fungsional. Dengan dasar tersebut maka distribusi
pegawai berdasarkan jabatannya dapat digambarkan dalam grafik berikut:
Gambar 1.2. Distribusi Pegawai Berdasarkan Jabatan

Jabatan administrator terdiri dari Direktur atau pimpinan unit kerja dan Kepala Subbagian
Administrasi Umum. Jabatan fungsional di Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
sebesar 54% atau sebanyak 72 pegawai dan pegawai yang menduduki jabatan pelaksana sebesar
44% atau sebanyak 57 pegawai.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menetapkan Tim Kerja di
lingkungan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular dalam Surat Keputusan
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit nomor HK.02.02/C/1955/2022 bahwa
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular terdiri dari Tim Kerja Tuberkulosis dan
Infeksi Saluran Pernafasan Akut, Tim Kerja HIV, Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS),
Hepatitis, dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan (PISP), Tim Kerja Neglected Disease/ Penyakit
Tropis Terabaikan, Tim Kerja Zoonosis dan Penyakit Akibat Gigitan Hewan Berbisa dan Tanaman
Beracun, Tim Kerja Penyakit Tular Vektor.
Dalam menjalankan tugas dan fungsi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular didukung oleh sumber daya aparatur sipil negara sejumlah 131 orang dengan distribusi
pegawai di Subbag Administrasi Umum sejumlah 32 orang dan 103 orang terdistribusi dalam tim
kerja sebagaimana tergambar pada gambar berikut:
Gambar 1.3 Distribusi Pegawai berdasarkan Tim Kerja Direktorat P2PM tahun 2022
h a l a m a n | 11

Berdasarkan pangkat dan golongan, sumber daya aparatur sipil negara Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular beragam mulai dari pangkat dan golongan
Pengatur Muda Tk.I – II/b hingga Pembina Tingkat I – IV/b. Jumlah terbanyak ada pada pangkat
dan golongan Pembina – IV/a yakni sejumlah 42 orang dan jumlah paling sedikit pada pangkat
Pengatur Muda Tingkat I sejumlah 1 orang. Berikut distribusi pegawai Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular berdasarkan Pangkat dan Golongan.
Gambar 1.4 Distribusi Pegawai berdasarkan Golongan Direktorat P2PM tahun 2022

Banyaknya pegawai dengan golongan dan pangkat pembina (IV/a) berbanding lurus
dengan banyaknya pegawai dengan tingkat Pendidikan tinggi. Golongan dan pangkat Pembina
(IV/a) mempunyai tingkat pendidikan S-2 dan Sarjana Kedokteran. Tingkat Pendidikan ini dapat
mendukung berjalannya program secara optimal.
Berdasarkan tingkat pendidikannya, pegawai Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.5 Distribusi Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan Direktorat P2PM tahun 2022
h a l a m a n | 12

Tingkat pendidikan pegawai Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular


paling banyak memiliki pendidikan Sarjana (S1) yakni sejumlah 66 orang dan sejumlah 56 orang
berpendidikan Magister (S2). Sementara pendidikan tertinggi yakni S3 dengan jumlah 1 orang
pegawai. Pegawai dengan pendidikan terendah yakni SMA sebanyak 1 orang. Dengan jumlah
pegawai yang sebagian besar sudah mencapai Sarjana dan Magister diharapkan dapat
menjalankan tugas dan fungsi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular dengan
optimal. Tingkat pendidikan pegawai dapat terus berkembang dengan adanya kesempatan
pengembangan kompetensi melalui program Tugas Belajar dan Izin Belajar yang diikuti oleh
pegawai. Pegawai yang sedang menjalankan tugas belajar pada tahun 2022 sebanyak 5 orang di
mana semuanya menjalankan sekolah magister atau S2.

I.5 Sistematika Penulisan


1. Bab I Pendahuluan
Pada bab ini disajikan penjelasan umum organisasi, dengan penekanan kepada aspek strategis
organisasi serta permasalahan utama (strategic issue) yang sedang dihadapi organisasi.

2. Bab II Perencanaan Kinerja


Bab ini menguraikan ringkasan/ikhtisar perjanjian kinerja Ditjen P2P Tahun 2020.

3. Bab III Akuntabilitas Kinerja


a. Capaian Kinerja Organisasi
Sub bab ini menyajikan capaian kinerja organisasi untuk setiap pernyataan kinerja sasaran
strategis organisasi sesuai dengan hasil pengukuran kinerja organisasi.

b. Realisasi Anggaran
Sub bab ini menguraikan tentang realisasi anggaran yang digunakan dan telah digunakan
untuk mewujudkan kinerja organisasi sesuai dengan dokumen Perjanjian Kinerja.

4. Bab IV Penutup
Bab ini menguraikan simpulan umum atas capaian kinerja organisasi serta langkah di masa
mendatang yang akan dilakukan organisasi untuk meningkatkan kinerjanya.
h a l a m a n | 13

BAB II PERENCANAAN KINERJA

II.1 Perencanaan Kinerja


Dalam mendukung pembangunan kesehatan, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular sebagai penyelenggara program di bawah Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit telah menetapkan metode tahapan pengelolaan program untuk dapat
mengoptimalkan capaian tujuan Kementerian Kesehatan. Metode pengelolaan program tersebut
tertuang dalam kerangka logis (logical frame) sebagai berikut:
Gambar 2.1 Logical Frame Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
VISI Mewujudkan Masyarakat Bebas Penyakit Menular yang Berkualitas

MISI Meningkatkan pencegahan dan pengendalian penyakit menular yang


berkelanjutan
Meningkatkan penemuan kasus penyakit menular
Meningkatkan pengobatan penyakit yang berkualitas
Meningkatkan sumber daya
TUJUAN Terwujudnya pencegahan, penemuan dan pengobatan penyakit menular
yang berkualitas

INDIKATOR
SASARAN

Persentase orang dengan risiko


Meningkatnya penemuan dan
terinfeksi virus yang melemahkan
pengobatan HIV
sistem kekebalan tubuh manusia
yang mendapatkan skrining HIV

Persentase Orang dengan HIV


(ODHIV) baru ditemukan
mendapatkan pengobatan ART
Meningkatnya penemuan dan
Angka keberhasilan pengobatan TBC
pengobatan TBC

Meningkatkan jumlah Kab/ Jumlah kabupaten/kota yang


Kota dengan API<1/1000 mencapai positivity rate (PR) < 5%
penduduk

Meningkatnya proporsi kasus Persentase penderita kusta yang


kusta baru tanpa cacat menyelesaikan pengobatan kusta tepat
waktu

Meningkatnya pencegahan Persentase pengobatan kasus pneumonia


dan pengendalian penyakit sesuai standar
Menular penduduk
Persentase pengobatan kasus diare sesuai
standar

Persentase kabupaten/kota yang


melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan C
pada populasi berisiko
h a l a m a n | 14

Indikator Kinerja Kegiatan yang telah ditetapkan sebagaimana dalam bagan di atas
merupakan penjabaran dari Indikator Kinerja Program Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit sebagai berikut:

Gambar 2.2 Cascading Indikator Kinerja Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular

SASARAN PROGRAM DAN INDIKATOR KINERJA PROGRAM

Meningkatnya Meningkatnya Meningkatnya


Menurunnya
Menurunnya kabupaten/ kota kabupaten/kota pencegahan dan
Infeksi
Insiden TBC yang mencapai yang mencapai pengendalian
penyakit HIV
eliminasi malaria eliminasi kusta penyakit menular
Persentase Cakupan Jumlah kabupaten/ Proporsi kasus kusta
cakupan penemuan dan kota yang mencapai baru tanpa cacat • Persentase
penemuan dan pengobatan API < 1/1000 pengobatan penyakit
kasus TBC penduduk menular pada Balita
pengobatan kasus
HIV (ODHA on • Persentase skreening
ART) penyakit menular
pada kelompok
berisiko

• Jumlah kabupaten/
kota yang mencapai
SASARAN KEGIATAN DAN INDIKATOR KINERJA KEGIATAN eliminasi peyakit
tropis terabaikan

Meningkatnya Meningkatnya Meningkatkan Meningkatnya Meningkatnya


penemuan dan penemuan dan jumlah Kab/ Kota proporsi kasus pencegahan dan
pengobatan HIV pengobatan dengan kusta baru pengendalian
TBC API<1/1000 tanpa cacat penyakit Menular
h a l a m a n | 15

Persentase orang Angka Jumlah Persentase Persentase pengobatan kasus


dengan risiko keberhasilan kabupaten/kota yang penderita kusta pneumonia sesuai standar
terinfeksi virus pengobatan TBC mencapai positivity yang menyelesaikan
Persentase pengobatan kasus
yang rate (PR) < 5% pengobatan kustadiare sesuai standar
melemahkan tepat waktu Persentase kabupaten/kota
sistem kekebalan yang melaksanakan
tubuh manusia deteksi dini Hepatitis B
yang dan C pada populasi
mendapatkan berisiko
skrining HIV Persentase pasien sifilis yang
Persentase Orang diobati
dengan HIV Jumlah desa endemis
(ODHIV) baru schistosomiasis yang
ditemukan mencapai eliminasi
mendapatkan Jumlah kabupaten/kota
pengobatan ART eliminasi rabies
Persentase kabupaten/kota
dengan Insiden Rate (IR)
DBD ≤ 10 per 100.000
penduduk
Jumlah kabupaten/kota
endemis filariasis berhasil
menurunkan angka
A. Rencana Kegiatan mikrofilaria < 1%
Tabel 2.1 Target Indikator Kinerja Kegiatan Direktorat Pencegahan Jumlah
dan kabupaten/kota
endemis filariasis yang
Pengendalian Penyakit Menular Tahun 2022 – 2024 mencapai eliminasi

SASARAN KEGIATAN/ TARGET


NO INDIKATOR KINERJA KEGIATAN 2022 2023 2024
Kegiatan : Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular
1. Meningkatnya Penemuan dan pengobatan kasus
HIV
1.1 Persentase orang dengan risiko terinfeksi 80 85 90
virus yang melemahkan sistem kekebalan
tubuh manusia yang mendapatkan skrining
HIV
Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru 85 90 90
1.2
ditemukan mendapatkan pengobatan ART
Meningkatnya Penemuan dan pengobatan kasus
2
TBC
2.1 Angka keberhasilan pengobatan TBC 90 90 90
Meningkatnya jumlah kab/ Kota dengan API <
3
1/1000 penduduk
Jumlah kabupaten/kota yang mencapai 374 394 414
3.1
positivity rate (PR) < 5%
4 Meningkatnya Proporsi kasus kusta baru tanpa cacat
Persentase penderita kusta yang 90 90 90
4.1
menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu
Meningkatnya Pencegahan dan pengendalian
5
penyakit menular
Persentase pengobatan kasus pneumonia 50 70 95
5.1
sesuai standar
h a l a m a n | 16

SASARAN KEGIATAN/ TARGET


NO INDIKATOR KINERJA KEGIATAN 2022 2023 2024
Kegiatan : Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular
Persentase pengobatan kasus diare sesuai 50 70 85
5.2
standar
Persentase kabupaten/kota yang 95 100 100
5.3 melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan C
pada populasi berisiko
5.4 Persentase pasien sifilis yang diobati 75 85 90
Jumlah desa endemis schistosomiasis yang 19 24 28
5.5
mencapai eliminasi
5.6 Jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies 211 236 261
Persentase kabupaten/kota dengan Insiden 80 85 95
5.7
Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk
Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis 207 220 236
5.8
berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1%
Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis 106 150 190
5.9
yang mencapai eliminasi

Arahan Presiden RI kepada Kementerian Kesehatan yang salah satunya merupakan


arahan terhadap transformasi sector kesehatan, yang kemudian diterjemahkan sebagai reformasi
system kesehatan nasional. Perubahan strategi dalam Renstra Kementerian Kesehatan tahun
2020 – 2024 mencakup 6 (enam) hal prinsip atau disebut sebagai pilar transformasi kesehatan,
yakni :
1. Transformasi Layanan Primer;
2. Transformasi Layanan Rujukan;
3. Transformasi Sistem Ketahanan Kesehatan;
4. Transformasi Pembiayaan Kesehatan;
5. Transformasi SDM Kesehatan; dan
6. Transformasi Teknologi Kesehatan.

Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit berkontribusi pada pelayanan kesehatan


primer dan sistem ketahanan Kesehatan, dengan menetapkan target kinerja. Selanjutnya
berdasarkan target kinerja program tersebut menjadi dasar bagi unit kerja di bawah unit utama
untuk menetapkan target kinerja kegiatan.
Tahun 2022, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular terbentuk karena
adanya restrukturisasi organisasi Kementerian Kesehatan sesuai tercantum pada Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan. Adanya perubahan struktur organisasi dan upaya menyelaraskan target kinerja sesuai
dengan arah transformasi kesehatan, maka Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular telah menetapkan target kinerja kegiatan sebagai berikut :

II.2 Perjanjian Kinerja


Tabel 2.2 Perjanjian Kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular Tahun 2022
h a l a m a n | 17

NO SASARAN KINERJA INDIKATOR KINERJA TARGET


1. Meningkatnya 1. Persentase orang dengan risiko terinfeksi 80
Penemuan dan virus yang melemahkan sistem kekebalan
pengobatan kasus HIV tubuh manusia yang mendapatkan
skrining HIV
2. Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) 85
baru ditemukan mendapatkan pengobatan
ART
2. Meningkatnya 3. Angka keberhasilan pengobatan TBC 90
penemuan dan
pengobatan kasus TBC
3. Meningkatnya jumlah 4. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai 374
kabupaten/kota dengan positivity rate (PR) < 5%
API < 1/1000 penduduk

4. Meningkatnya proporsi 5. Persentase penderita kusta yang 90


kasus kusta baru tanpa menyelesaikan pengobatan kusta tepat
cacat waktu
5. Meningkatnya 6. Persentase pengobatan kasus pneumonia 50
Pencegahan dan sesuai standar.
pengendalian penyakit 7. Persentase pengobatan kasus diare 50
menular sesuai standar
8. Persentase kabupaten/kota yang 95
melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan
C pada populasi berisiko
9. Persentase pasien sifilis yang diobati 75
10. Jumlah desa endemis schitomiasis yang 19
mencapai eliminasi
11. Jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies 211
12. Persentase kabupaten/kota dengan 80
Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000
peduduk
13. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis 207
berhasil menurunkan angka mikrofilaria <
1%
14. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis 106
yang mencapai eliminasi
h a l a m a n | 18

BAB III AKUNTABILITAS KINERJA

III.1 Capaian Kinerja Organisasi


Tabel 3.1 Target dan capaian Indikator Kinerja Kegiatan Direktorat P2PM tahun 2022
No Indikator Target Capaian Kinerja

1. Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus yang 80 60 75%


melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia yang
mendapatkan skrining HIV

2. Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru ditemukan 85 80 90%


mendapatkan pengobatan ART

3. Angka keberhasilan pengobatan TBC 90 84,64 94,04%

4. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai positivity rate (PR) 374 348 93%
< 5%

5. Persentase penderita kusta yang menyelesaikan 90 87 97%


pengobatan kusta tepat waktu

6. Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar 50 53 106%

7. Persentase pengobatan kasus diare sesuai standar 50 89.65 179.3%

8. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi 95 92 96.8%


dini Hepatitis B dan C pada populasi berisiko

9. Persentase pasien sifilis yang diobati 75 65 87%

10. Jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai 19 16 84%


eliminasi

11. Jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies 211 263 124%

12. Persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD 80 17.12 21.4%
≤ 10 per 100.000 penduduk

13. Jml kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan 207 201 97.10%
angka mikrofilaria < 1%

14. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang mencapai 106 103 97.16%
eliminasi

RATA-RATA KINERJA 95.96%


h a l a m a n | 19

III.2 Analisis Pencapaian Organisasi


1. Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh
manusia yang mendapatkan skrining HIV
a. Penjelasan Indikator
Sekelompok orang yang beresiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan
tubuh manusia yang mendapatkan skrining HIV. Kelomok yang beresiko yaitu kelompok
WPS, LSL,Penasun WBP,Waria Ibu Hamil, Pasien IMS, Pasien TBC. Skrining Dilakukan
Dengan Menggunakan Rapid Test, Elisa,Western Blot Dll. Orang yang beresiko
mendapatkan skrining HIV periode Januari – Desember 2022 sebesar 60%.

b. Definisi Operasional
Jumlah orang dengan risiko (kelompok WPS, LSL,Penasun WBP,Waria Ibu Hamil,
Pasien IMS, Pasien TBC), terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh
manusia yang mendapatkan skrining HIV. Angka ini menggambarkan orang yang
berisiko mengetahui status terinfeksi HIV secara dini.

c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh
manusia yang mendapatkan skrining HIV
----------------------------------------------------------------------------------------------------------x 100%
Target skrining orang yang berisiko yang ditetapkan oleh Kabupaten/kota dan/atau
kementerian kesehatan pada waktu tertentu
.
d. Capaian Indikator
Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan
tubuh manusia yang mendapatkan skrining HIV. Capaian tahun 2022 belum mancapai
target yaitu 60 % dari target yaitu 80 % .

Indikator Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem
kekebalan tubuh manusia yang mendapatkan skrining HIV pada tahun 2021 belum
masuk dalam indikator kinerja kegiatan sehingga hasil capaiannya tidak ada.

Grafik 3.1 Capaian Indikator Pertahun Orang Dengan Risiko Terinfeksi Virus Yang
Melemahkan Sistem Kekebalan Tubuh Manusia Yang Mendapatkan Skrining HIV

100% 90%
85%
80%
80%
60%
60%

40%

20%

0%
2022 2023 2024
Target Capaian
h a l a m a n | 20

Dari grafik di atas terlihat target dimulai tahun 2022 yaitu 80%, tahun 2023 yaitu 85%,
dan tahun 2024 yaitu 90%, sedangankan capaian tahun 2022 belum mencapai target
yaitu 60%. Hasil capaian indikator tersebut secara nasional masih di bawah target yang
telah ditetapkan

Grafik 3.2. Persentase Pertriwulan Orang Dengan Risiko Terinfeksi Virus Yang
Melemahkan Sistem Kekebalan Tubuh Manusia Yang Mendapatkan
Skrining HIV Tahun 2022

70% 60%
60%
50% 40%
40%
30% 24%
20% 11%
10%
0%
TW 1 TW 2 TW 3 TW 4

Dari table grafik di atas pertriwulan dapat di lihat peningkatan skrining dari TW I
adalah 11%, TW II adalah 24 %, TW III adalah 40 % dan TW IV adalah 60 %.

Hasil capaian indikator orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem
kekebalan tubuh manusia yang mendapatkan skrining HIV per provinsi dapat dilihat
pada grafik berikut :

Grafik 3.3 Persentase Per Propinsi Orang Dengan Risiko Terinfeksi Virus Yang
Melemahkan Sistem Kekebalan Tubuh Manusia Yang Mendapatkan Skrining HIV
Tahun 2022
h a l a m a n | 21

Berdasarkan grafik diatas diketahui belum semua provinsi mencapai target, capaian
secara Nasional yaitu 60%.. Provinsi yang telah mencapai target untuk persentase orang
dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia yang
mendapatkan skrining HIV yaitu Provinsi Bangka Belitung (99%), Kalimantan Utara
(94%), Banten (88%), Bali (85%), Jawa tengah (84%), DKI Jakarta (93%), selebih nya
propinsi belum mencapai 80% terendah adalah propinsi NTT yaitu 18%

e. Analisa Penyebab Kegagalan Pencapaian


1. Beberapa factor yang mempengaruhi adalah penetapan target skrining pada masing-
masing populasi kunci di daerah.
2. Pelaksanaan aktif dan pasif skrining oleh layanan Kesehatan dan dukungan skrining
yang dilakukan oleh komunitas belum dapat dilaporakan secara tepat dan lengkap.
3. Masih terdapat orang yang berisiko dilakukan skrining HIV namun tidak dilaporkan
pada Sistem informasi yang tersedia.
4. Sistem ini juga belum terhubung antara sistem yang dimiliki oleh fasilitas layanan
Kesehatan dan komunitas.

f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator

▪ Kerjsama dengan Mitra dalam penemuan dan penjangkauan pada populasi


beresiko.
▪ Penemuan kasus dini melalui skrining yang dilakukan oleh Komunitas
▪ Upaya untuk penemuan kasus dini dilakukan dengan memperluas skrining kasus
HIV yang dilakukan oleh Komunitas dengan menggunakan oral fluid. Skrining ini
terutama dilakukan pada populasi kunci yang sangat tersembunyi dan tidak
pernah akses fasyankes. Skrining terhadap semua orang berisiko lainnya telah
dilakukan secara pasif di fasyankes sejalan dengan Standar pelayanan minimum
bidan Kesehatan indikator ke-12. Skrining aktif juga dilakukan oleh fasyankes
dan komunitas melalui kegiatan mobile clinic.
▪ Perluasan layanan PDP (Penemuan, Perawatan dan Pengobatan)
▪ Up date pencatatan laoran SIHA ke seluruh layanan

g. Masalah yang dihadapi


Dengan ada nya Pandemi Covid 19 ini sedikit banyak mempengaruhi kegiatan program
HIV AIDS dan IMS di lapangan terutama dalam penemuan kasus dan pengobatan bagi
kelompok resiko.
▪ Sulit nya dalam menjangkau mereka kelokasi berakibat rendah nya kegiatan
skrening tes HIV. Mereka lebih cenderung untuk lebih menutup diri dengan situasi
pada saat pandemic.
▪ Selain itu tenaga kesehatan juga lebih focus menangani pasien covid dikarena kan
jumlah mereka yang terbatas.

▪ Begitu juga dengan pengadaan logistik yang lebih memperioritas kan kepada
penyediaan bahan2 untuk pandemic.
h a l a m a n | 22

▪ Pengetahuan ODHIV, keluarga dan masyarakat terkait HIV dan PIMS yang belum
optimal.Orang dengan HIV, keluarga dan masyarakat pada umumnya diharapkan
memiliki pengetahuan yang baik terkait HIV dan PIMS.

h. Pemecahan masalah

▪ Program HIV pada masa2 pandemi telah berupaya melakukan beberapa terobosan
dengan melakukan tes secara sukarela dikenl juga dengan nama Test VCT. Tes ini
berguna bagi orang yang beresiko tapi tidak mau di ketahui orang lain. Tes ini dapat
di lakukan sendiri di rumah sehingga secara dini dapat mengetahui stadium infeksi
HIV.
▪ Sosialisasi tentang HIV kepada popuasi kunci dan masyarakat sehingga
Pengetahuan ini akan mendorong setiap orang melakukan upaya pencegahan
penularan dan menularkan kepada orang lain sekaligus mendukung pengendalian
HIV. Pengetahuan yang baik juga diharapkan dapat menekan stigma dan diskriminasi
yang berhubungan dengan HIV dan PIMS.

2. Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru ditemukan mendapatkan pengobatan ART
a. Penjelasan Indikator
Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) adalah orang yang secara positif didiagnosa terinfeksi
HIV/AIDS. Indikator ODHA on ART merupakan salah satu indikator dalam pencegahan
dan pengendalian penyakit HIV AIDS. Untuk memutuskan mata rantai penularan HIV
AIDS untuk mengakhiri AIDS pada tahun 2030, maka diharapkan setiap ODHA yang
ditemukan diobati, sehingga virus dapat tersupresi (jumlah virus didalam tubuh sangat
rendah) dan tidak lagi berpotensi menularkan kepada orang lain.

b. Definisi Operasional
Persentasi ODHIV yang baru ditemukan masuk dalam layanan Perawatan,Dukungan,
dan Pengobatan (PDP) yang memulai pengobatan Antiretroviral dalam kurun waktu 1
tahun

c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah ODHIV yang mendapatkan pengobatan ARV dalam kurun waktu tertentu
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100%
Jumlah ODHIV baru ditemukan dalam kurun waktu yang sama.

d. Capaian Indikator

Capaian Indikator selama empat tahun dapat di lihat pada table dibawah ini.

Grafik 3.4 Target dan capaian Indikator Kinerja tahun 2021-2024


Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru ditemukan
mendapatkan pengobatan ART
h a l a m a n | 23

92%
90% 90%
90%
88%
86% 85%
84%
82%
82%
80% 80%
80%
78%
76%
74%
2021 2022 2023 2024

Target Capaian

Target 80% Capaian nya 85%, pada tahun 2022 Target 85% capaian yaitu 80%, Target
2023-2024 masing-masing adalah 90%.

Grafik 3.5 Target dan capaian Indikator Kinerja tahun 2022 Persentase Orang dengan
HIV (ODHIV) baru ditemukan mendapatkan pengobatan ART

Indikator ODHA on ART menggambarkan sejauh mana program mampu mengendalikan


laju transmisi penyakit. Dari Data diatas terlihat bahwa Capaian indikator persentase
ODHA on ART tahun 2022 belum mencapai target yakni target program HIV AIDS dan
PIMS sebesar 85% dengan capaian 82 % dengan kinerja mencapai 96%.
h a l a m a n | 24

Grafik 3.6 Target dan capaian Pertriwulan Indikator Kinerja ODHIV baru ditemukan
mendapatkan pengobatan ART Persentase Kasus ODHIV On ART periode 2022

42%

41% 41%
40%

TW I TW II TW III TW IV
Persentase ODHIV on ART per Triwulan

Dari table grafik di atas pertriwulan dapat di lihat gambaran ODHIV On ART sebagai
berikut pada Tri TW I adalah 41%, TW II adalah 40 %, TW III adalah 41 % dan TW IV
adalah 42 %.
Grafik 3.7 Persentase orang dengan HIV (ODHIV) baru
ditemukan mendapatkan pengobatan ART Tahun 2022

Indikator ODHA on ART menggambarkan sejauh mana program mampu mengendalikan


laju transmisi penyakit. Secara Nasional Capaian Indikator baru 60% tetapi jika di lihat
di beberapa propinsi Capaian indikator ODHIV baru ditemukan mendapatakan
pengobatan ART ada beberapa yang mencapai target 80% atau diatas nya yaitu
Propinsi Babel (99%), Kaltara (94%), Banten ( 88%), Bali 85%), Jateng ( 84%), DKI
Jakarta (83%), , selebihnya capaian masih di bawah 80% terendah NTT 18%)
h a l a m a n | 25

Grafik 3.8 Persentase Target dan Capaian Persentase ODHA on ART


Tahun 2020-2024

Sumber data : laporan data SIHA Sampai dengan Desember 2022

Dari grafik terlihat ODHIV on ARV pada tahun 2021 terjadi penurunan karena Indonesia
berhadapan dengan pandemic covid sehingga angka Lost to follow up diperkirakan lebih
tinggi dibandingkan pertambahan ODHA baru pada tahun 2021 yang mendapatkan
pengobatan ARV. Pada Tahun 2022 terjadi peningkatan ODHIV on ARV namun belum
mencapai target.
Untuk Kascade HIV sampai dengan Desember 2022, dari estimasi ODHIV sebanyak
526.841 orang, diketahui ODHIV yang masih hidup dan mengetahui status sebesar 81%
yaitu 429.215 Orang. ODHIV yang sedang mendapatkan pengobatan ARV sebanyak
179.659 (42%) dan yang di tes Viral load pada tahun 2022 sebanyak 36.821 dimana
91,1% virusnya tersupresi.

Grafik 3.9 Progres Capaian Program HIV AIDS untuk indikator 95 – 95 – 95

Sumber data : Laporan Substansi HIV AIDS Desember 2022

Berdasarkan data dari sistem informasi HIV, dari tahun 2018 – 2022, pertambahan
ODHIV baru terlihat menurun pada tahun 2020 – 2021 dan pada tahun 2022, tercatat
temuan kasus sebesar 42.005 menjadi 428.215 Orang mengetahui status dan masih
hidup (81%). Jumlah perkiraan ODHIV pada tahun 2020 sebanyak 543.100 Orang. Untuk
ODHIv yang mengetahui status dan mendapatkan pengobatan ARV, terjadi penurunan
h a l a m a n | 26

pada tahun 2021 dan pada tahun 2022 terdapat 42% ODHIV mendapatkan pengobatan.
Pada tahun 2020 – 2021, situasi pandemic Covid-19 mempengaruhi temuan kasus dan
pengobatan ARV bagi ODHIV yang telah terdiagnosa terinfeksi HIV. Untuk pemantauan
pengobatan ARV, dilakukan pemeriksaan viral load, pada ODHIV yang baru,
pemeriksaan ini dilakukan setelah minimal mendapatkan ARV selama 6 bulan, 12 bulan
dan seterusnya setiap tahunnya. Pada pemeriksaan ini diharapkan virus ODHIV yang
dalam pengobatan ARV tersupresi. Grafik di atas memberikan gambaran pemeriksaan
Viral load pada ODHIV yang mendapatkan pengobatan ARV masih rendah. Data
menunujukkan baru 19% (33.538 Orang) ODHIV mengetahui virusnya tersupresi.

e. Analisa Penyebab Kegagalan Pencapaian


Beberapa faktor yang menjadi tantangan dalam pelaksanaan program antara lain:
▪ Belum semua fasyankes mampu melakukan tes dan pengobatan.

▪ Setiap orang yang bersiko terinfeksi HIV diharapkan dapat mengakses fasilitas
layanan Kesehatan untuk mengetahui statusnya apakah terinfeksi HIV atau tidak.
Bila terdiagnosa, diharapkan segera mendapatkan pengobatan ARV. Layanan yang
hanya mampu melakukan diagnostik, harus membangun jejaring dan mekanisme
untuk merujuk dan memastikan orang yang terinfeksi mendapatkan pengobatan.
Data dari sistem informasi menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan antara orang
yang sudah mengetahui status dengan orang yang mendapatkan pengobatan.
▪ Terdapat jumlah ODHIV yang lost to follow up

▪ Pengobatan HIV adalah seumur hidup, pada awal pengobatan (6 bulan) terdapat
Beberapa keluhan ODHIV dengan obat yang digunakan yang mengakibatkan ODHIV
berpikir untuk menghentikan pengobatan. Pengobatan jangka Panjang juga
mempengaruhi kepatuhan ODHIV dan terdapat lost to follow up pada setiap periode
pengobatan tersebut. Hal lain yang mempengaruhi adalah ODHIV merasa sudah
sehat, tidak membutuhkan pengobatan serta ODHIV merasa bosan menelan ARV
dalam waktu lama.
▪ Keterbatasan waktu layanan HIV dan IMS hanya pada jam kerja. Sementara para
populasi kunci kebanyakan bekerja pada malam hari.

▪ Angka Orang yang terdiagnosa HIV berada pada usia produktif yaitu 20 – 49 tahun,
dimana ODHIV yang bekerja kesulitan untuk akses fasyankes pada jam kerja
tersebut.
▪ Pendampingan dan konseling yang belum optimal. Pada awal pengobatan ARV,
dibutuhkan dukungan pendampingan dan konseling yang dapat membantu ODHIV
memahami pentingnya kepatuhan minum ARV, mendapatkan upaya-upaya
pencegahan dan bagaimana melakukan pemantauan pengobatan ARV sehingga
dapat hidup secara sehat dan tetap produktif tanpa menularkan kepada orang lain
terutama pasangan

▪ Masih terdapat stigma dan diskriminasi tentang HIV dan PIMS baik eksternal
maupun internal ODHIV sendiri. Stigma dan diskriminasi akan mempengaruhi
seseorang untuk datang ke fasyankes untuk mendapatkan layanan Kesehatan yang
berhubungan dengan HIV dan PIMS.

f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator


h a l a m a n | 27

Berbagai upaya yang dilakukan sebaai terobosan untuk mencapai indicator yang telah
ditetapkan adalah sebagai berikut:
- Penemuan kasus dini melalui skrining yang dilakukan oleh Komunitas

- Upaya untuk penemuan kasus dini dilakukan dengan memperluas skrining kasus HIV
yang dilakukan oleh Komunitas dengan menggunakan oral fluid. Skrining ini terutama
dilakukan pada populasi kunci yang sangat tersembunyi dan tidak pernah akses
fasyankes. Skrining terhadap semua orang berisiko lainnya telah dilakukan secara pasif
di fasyankes sejalan dengan Standar pelayanan minimum bidan Kesehatan indikator ke-
12. Skrining aktif juga dilakukan oleh fasyankes dan komunitas melalui kegiatan mobile
clinic.
- Penyediaan logistik untuk menunjang pelaksanaan program (reagen dan obat) yang
tepat waktu untuk mendukung pelaksanaan program, sehingga setiap orang yang datang
ke fasyankes dapat terlayani dengan baik.

g. Kegagalan/masalah yang dihadapi


Masalah yang di hadapi pada saat ini antara lain :
▪ Pada masa pandemic terganggunya keberlangsungan pengobatan karena pasien tidak
datang mengambil obat
▪ Terganggunya monitoring pengobatan pasien karena pasien sulit utk mendapatkan obat-
obatan karena kendala yang jauh dari layanan.
▪ Tenaga pendamping yang masih kurang dan ODHIV yang susah untk di jangkau
dikarenakan stigma dan diskriminasi.

h. Pemecahan masalah
- Perluasan layanan mampu tes dan pengobatan untuk HIV dan PIMS melalui kegiatan
pelatihan atau orientasi PDP serta di lakukan pendampingan bersama tim mentor
Kabupaten/Kota/Provinsi
- Peningkatan edukasi atau konseling tentang pengobatan ARV secara lengkap dan terus
menerus kepada ODHA.
- Penyediaan KIE yang dikemas sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini yang
kemudian disebarluaskan dan bisa diakses dengan mudah tentang pengobatan ARV
maupun penyakit HIV serta mendorong penggunaan layanan kesehatan terkait HIV,
AIDS dan IMS kepada individu dan kelompok agar lebih aman dari risiko penularan HIV
dan IMS.
- Dukungan dan pemberdayaan kelompok-kelompok dukungan sebaya (KDS) sebagai
mitra kerja yang efektif dalam mengurangi stigma dan diskriminasi
- Pemberdayaan kader, komunitas, dan LSM untuk menjangkau masyarakat,
mendampingi ODHA, dan mengembalikan ODHA yang loss to follow up agar bisa
mengakses kembali ARV.
- Penerapan kebijakan ARV multi bulan hingga tiga bulan, multi month dispensing (MMD)
bagi ODHA yang stabil dan kerjasama dengan komunitas/pendukung ODHA untuk
memastikan kondisi dan keberlangsungan ARV pada ODHA.
- Melakukan integrasi layanan pada layanan rutin dan membentuk jejaring layanan.
- Melakukan penyederhanaan sistem pencatatan pelaporan yang terintegrasi berbasis
NIK untuk data individu
h a l a m a n | 28

3. Angka keberhasilan pengobatan TBC

a. Penjelasan Indikator
Persentase angka keberhasilan pengobatan TBC/ Success Rate merupakan
indikator yang memberikan gambaran kualitas pengobatan TBC yaitu seberapa besar
keberhasilan pengobatan pada pasien TBC yang sudah mendapat pengobatan dan
dilaporkan. Angka ini menggambarkan besaran pasien TBC yang berhasil dalam
pengobatannya baik dengan kategori sembuh maupun kategori pengobatan lengkap.

b. Definisi Operasional
Jumlah semua kasus TBC yang sembuh dan pengobatan lengkap di antara semua
kasus TBC yang diobati dan dilaporkan dalam satu tahun.
c. Rumus/cara perhitungan

Persentase angka Jumlah semua kasus TBC yang sembuh


keberhasilan dan pengobatan lengkap
x 100%
pengobatan TBC = Jumlah semua kasus TBC yang diobati
dan dilaporkan

d. Capaian Indikator
Indikator persentase angka keberhasilan pengobatan TBC (Success Rate)
merupakan indikator merupakan indikator baru dalam RAK pada tahun 2022-204,
sebelumnya indikator tersebut merupakan indikator pada RAP P2P tahun 2020-
2021. Tahun 2022, indikator TBC success rate tidak mencapai target dengan
capaian 84,64% dari target 90% dengan persentase kinerja sebesar 94.04%. Data
ini masih bersifat sementara karena masih data per tanggal 25 Januari 2023 Secara
lengkap dapat dilihat pada grafik berikut:
Grafik 3.10 Target dan Capaian Indikator Persentase angka keberhasilan
pengobatan TBC

92
90 90 90 90 90
90

88
86
86
84,64
84 83,1

82

80

78
2020 2021 2022 2023 2024

Target Capaian
h a l a m a n | 29

Berdasarkan grafik di atas dapat kita lihat bahwa terjadi kenaikan capaian indicator
angka keberhasilan pengobatan TBC dari tahun 2020 sebesar 83,1% menjadi 86% pada
tahun 2021. Dari tahun 2021 menurun pada tahun 2022 menjadi 84,64%. Hal ini dapat
dikaitkan dengan jumlah penemuan dan pengobatan kasus TBC yang pada tahun 2019
sebanyak 560.000 kasus sembuh pada tahun 2020 sebanyak 465.000 (83,1%), jumlah
penemuan dan pengobatan kasus pada tahun 2020 sebanyak 384.000 dan sembuh
pada tahun 2021 sebanyak 330.240 (86%) dan penemuan kasus terus meningkat pada
tahun 2021 menjadi 397.463 kasus dan sembuh pada tahun 2022 sebanyak 336.408
kasus (84,64%). Jika dilihat secara persentase capaian tahun 2022 lebih rendah
dibandingkan pada tahun 2021, namun jika dilihat secara absolut sudah meningkat.

Selain itu, dari grafik juga terlihat bahwa indikator ini selama 3 tahun berturut-turut tidak
mencapai target ada proyeksi 2023-2024

Data Badan Kesehatan Dunia WHO yang dimuat pada Global TB Report 2022,
memperlihatkan indikator yang dipakai dalam mencapai tujuan “End the Global TB
epidemic” adalah jumlah kematian akibat TB per tahun, angka kejadian (incidence rate)
per tahun serta persentase rumah tangga yang menanggung biaya pengobatan TB.
Menurut TB Global Report tahun 2022 untuk Indonesia, angka kejadian (insidensi) TB
tahun 2021 adalah 354 per 100.000 (sekitar 969.000 pasien TB), dan 2,27% (22.000
kasus) di antaranya dengan TB/HIV. Angka kematian TB adalah 52 per 100.000
penduduk (jumlah kematian 144.000) tidak termasuk angka kematian akibat TB/HIV.
WHO memperkirakan ada 28.000 kasus Multi Drug Resistence (MDR) di Indonesia.

Data Global TB Report tahun 2021 menunjukkan bahwa angka keberhasilan


pengobatan TBC secara global sebesar 86%, seperti terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3.1. Angka keberhasilan pengobatan di dunia Tahun 2020 - 2021

Insidence
No Negara Populasi Jumlah Kasus Jumlah kematian TSR (%)
Rate
2020 2021 2020 2021 2020 2021 2020 2021 2020 2021

1 India 1.400.000.000 1.400.000.000 2.600.000 3.000.000 186 210 493.000 494.000 84 85


2 China 1.400.000.000 1.400.000.000 842.000 780.000 60 55 30.000 30.000 94 95
3 Indonesia 273.500.000 273.800.000 824.000 969.000 301 354 93.000 144.000 83 86
4 Filipina 109.600.000 113.900.000 591.000 741.000 539 650 31.000 60.000 86 76
5 Pakistan 220.900.000 231.400.000 573.000 611.000 259 264 44.000 48.000 93 94
6 Nigeria 206.100.000 213.400.000 452.000 467.000 219 219 128.000 112.000 88 90
7 Bangladesh 164.700.000 169.400.000 360.000 375.000 219 221 44.000 42.000 95 95
8 Afrika Selatan 59.300.000 59.400.000 328.000 304.000 553 513 25.000 23.000 79 78
9 Vietnam 97.300.000 97.500.000 172.000 169.000 177 173 8.600 12.000 91 91
10 Myanmar 54.400.000 53.800.000 167.000 194.000 307 360 18.000 32.000 88 87
11 Kenya 53.800.000 53.000.000 139.000 133.000 258 251 21.000 20.000 86 85
12 Angola 32.900.000 34.500.000 115.000 112.000 350 325 18.000 18.000 69 53
13 Brazil 212.600.000 214.300.000 96.000 104.000 45 48 5.700 6.000 69 67
h a l a m a n | 30

14 Uganda 45.700.000 45.900.000 90.000 91.000 197 199 7.400 6.300 82 85


Federasi
15 145.900.000 145.100.000 68.000 69.000 47 47 7.300 4.900 68
Rusia 62
16 Peru 33.000.000 33.700.000 38.000 44.000 115 130 2.400 4.000 83 85
17 Ukraina 43.700.000 43.500.000 32.000 31.000 73 71 4.100 3.600 79 77
Regional
1 Afrika 1.100.000.000 1.200.000.000 2.500.000 2.500.000 227 212 379.000 365.000 86 86
2 Amerika 1.000.000.000 1.000.000.000 291.000 309.000 29 30 19.000 23.000 74 72
3 Timur Tengah 730.800.000 766.500.000 821.000 860.000 112 112 80.000 86.000 91 92
4 Eropa 932.900.000 930.900.000 231.000 230.000 25 25 21.000 20.000 75 72
5 Asia Tenggara 2.000.000.000 2.100.000.000 4.300.000 4.800.000 215 234 698.000 763.000 85 86
6 Pasifik Barat 1.900.000.000 1.900.000.000 1.800.000 1.900.000 95 98 87.000 120.000 91 88
Global 7.800.000.000 7.900.000.000 9.900.000 10.600.000 127 134 1.300.000 1.400.000 86 86

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa capaian angka keberhasilan pengobatan
TBC di Indonesia pada tahun 2021 sudah sesuai dengan capaian di Asia Tenggara
maupun di global yaitu sebesar 86%. Tabel di atas menunjukkan Angka Keberhasilan
Pengobatan Tuberkulosis di 8 negara beban tertinggi dan negara-negara yang
mengalami penurunan penemuan kasus TBC serta regional WHO tahun 2020 dan
meningkat pada tahun 2021. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa secara
regional, maka angka keberhasilan terendah adalah regional Amerika dan regional
Eropa (72%), sedangkan regional Asia Tenggara sebesar 86%. Bila dibandingkan pada
8 negara dengan beban tertinggi, maka angka keberhasilan pengobatan Tuberkulosis
paling rendah di Filipina (76%) dan Afrika Selatan (78%). Bila dilihat dari negara-negara
yang mengalami penurunan penemuan kasusnya, maka yang paling rendah adalah
Angola (53%), Federasi Rusia (62%) dan Brazil (67%).
Bila dibandingkan dengan indikator RPJMN dan indikator strategis Renstra Kementerian
Kesehatan yakni menurunnya insidensi TBC per 100.000 penduduk, maka angka
keberhasilan pengobatan akan mempengaruhi insidensi TBC. Data Global Report TB,
2022 menujukkan insidensi TBC di Indonesia sebesar 354 per 100.000 penduduk pada
tahun 2021, meningkat bila dibandingkan dengan insidensi TBC tahun 2020 yakni 301
per 100.000 penduduk yang sebelumnya sudah menurun dari 2018 yakni 316 per
100.000 penduduk menjadi 312 per 100.000 penduduk pada tahun 2019. Angka
insidensi menggambarkan jumlah kasus TBC di populasi, tidak hanya kasus TBC yang
datang ke pelayanan kesehatan dan dilaporkan ke program. Angka ini dipengaruhi oleh
kondisi masyarakat termasuk kemiskinan, ketimpangan pendapatan, akses terhadap
layanan kesehatan, gaya hidup, dan buruknya sanitasi lingkungan yang berakibat pada
tingginya risiko masyarakat terjangkit TBC. Insidensi TBC dengan angka keberhasilan
pengobatan memiliki hubungan negatif yang artinya jika angka keberhasilan pengobatan
semakin tinggi, maka insidensi TBC akan menurun dan sebaliknya angka keberhasilan
pengobatan semakin tinggi berarti penderita TBC yang sembuh semakin banyak dan
kemungkinan untuk menularkan akan berkurang. Jika penularan berkurang maka jumlah
penderita TBC di populasi juga berkurang, dengan demikian insidensi juga menurun.
Meningkatnya insidensi pada tahun 2021 dimungkinkan dengan rendahnya angka
keberhasilan pengobatan pada tahun 2020 sehingga potensi penularan meningkat yang
pada akhirnya insidensi juga meningkat. Pemantauan insiden TBC diperlukan untuk
mengetahui penyebaran kasus baru TBC dan kambuh TBC di masyarakat. Insidensi
h a l a m a n | 31

TBC tidak hanya dipengaruhi oleh angka keberhasilan pengobatan saja tetapi juga
cakupan penemuan kasus (TBC coverage).

e. Analisa Penyebab Kegagalan Pencapaian


Indikator persentase cakupan keberhasilan pengobatan TBC tahun 2022 belum
mencapai target. Data ini masih merupakan data sementara dan bisa berubah setelah
semua Dinas Kesehatan Provinsi menyampaikan laporan. Belum tercapainya target
disebabkan masih dipengaruhi adanya pandemic covid-19. Walaupun pada tahun 2022
jumlah kasus covid-19 sudah melandai, tapi kasus TB yang sembuh pada tahun 2022
merupakan kohort dari kasus TBC pada tahun 2021 dimana masyarakat masih enggan
untuk datang ke fasilitas Kesehatan untuk mendapatkan pengobatan secara rutin. Selain
itu, petugas pengelola program juga banyak yang diberdayakan dalam pelaksanaan
vaksinasi covid-19.

f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator


1. Memberikan umpan balik hasil capaian tiap triwulan pada provinsi dan
kabupaten/kota yang belum melapor dan capaiannya masih rendah
2. Penigkatan kapasitas melalui virtual terkait pencatatan dan pelaporan untuk
provinsi, kabupaten/kota (khususnya Rumah Sakit Pemerintah, Swasta, dan
DPM/Klinik)
3. Subdit TB bersama dengan mitra/ partner menyusun kegiatan intervensi pelayanan
TBC pada masa COVID yang bersumber pembiayaan dari Hibah seperti pengiriman
obat pada pasien TBC melalui kurir, optimalisasi pengiriamn transport sputum,
invenstigasi kontak dan konseling TBC by phone, dukungan komunitas/kader untuk
APD dan transport dalam melakukan pelacakan kasus dan sebagai PMO
4. Subdit TB melakukan supervisi ke Prov. Kab/kota dan faskes terpilih untuk
Bersama-sama monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan di lapangan dalam
rangka meningkatkan capaian angka keberhasilan pengobatan.

Dokumentasi Kegiatan

Kartu stok Gudang farmasi Dinas Pertemuan di Puskesmas Darul


Kesehatan Provinsi Aceh Imarah
h a l a m a n | 32

Kondisi pengadukan sputum


Kondisi Laboratoium TCM
dibagian luar ruangan di Puskesmas
Puskesmas Darul Imarah
Darul Imarah

Koordinasi Capaian Program TBC dengan Kasi P2P dan Pengelola TBC Dinas Kesehatan
Kabupaten Jayapura
5. Pertemuan High Level Meeting Tuberculosis 2022 Bertajuk “Aksi TP2TB menuju
Eliminasi TBC: Upaya Tindak Lanjut Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021”
Kegiatan pertemuan ini bertujuan untuk Evaluasi tindak lanjut komitmen bersama
Kementerian/Lembaga yang tergabung sebagai Tim Percepatan Penanggulangan TBC
(TP2TB) sesuai Perpres No. 67 Tahun 2021 dalam mendukung penanggulangan TBC di
Indonesia, Evaluasi tindak lanjut 34 Provinsi tentang kontribusi lintas sektor tingkat daerah
serta meningkatkan inovasi dalam penanggulangan TBC.
Dokumentasi Kegiatan
h a l a m a n | 33

6. Advokasi dan Monitoring Tindak Lanjut Perpres No. 67 tahun 2021


h a l a m a n | 34

Pada tahun 2022 dengan telah menurunnya pandemi COVID 19 di Indonsia, perhatian
sudah mulai kembali difokuskan pada program tuberculosis. Upaya upaya yang telah dilakukan
dalam peningkatan penemuan kasus TBC baik sensitif obat maupun resistan obat, angka
keberhasilan pengobatan, investigasi kontak dan pemberian terapi pencegahan tuberkulosis
lebih diintensifkan lagi guna mencapai target indikator program TBC.
Komitmen pemerintah dalam eliminasi TBC ditegaskan oleh Bapak Presiden Republik
Indonesia pada kegiatan “Gerakan Bersama Menuju Eliminasi TBC tahun 2030” dan penerbitan
Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Penerbitan
Perpres Nomor 67 Tahun 2021 adalah penegasan kembali tentang komitmen presiden dan
sebagai acuan bagi kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota,
pemerintah desa, serta pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan penanggulangan
TBC. Sebagaimana amanat pada Perpres No.67 Tahun 2021 bahwa dalam rangka koordinasi
percepatan Penanggulangan TBC, dibentuk Tim Percepatan Penanggulangan TBC (TP2TB) di
pemerintah pusat dan setiap daerah. TP2TB memiliki tugas mengoordinasikan, menyinergikan,
dan mengevaluasi penyelenggaraan percepatan eliminasi TBC secara efektif, menyeluruh, dan
terintegrasi. Dalam menjalankan amanah tersebut TP2TB di pusat perlu melakukanupervisi
program kesehatan yang merupakan kegiatan pembinaan untuk memperbaiki faktor-faktor yang
memengaruhi proses pelaksanaan program kesehatan di lapangan. Supervisi di tingkat pusat
ke tingkat di bawahnya merupakan penerapan fungsi pengawasan dan pembinaan kepada
pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota dalam pelaksanaan program TBC nasional yang
melibatkan organisasi pemerintah daerah dan pemangku kepentingan serta multisektor lainnya.
Kegiatan ini diharapkan akan memberikan rekomendasi dan langkah tindak lanjut untuk
mengatasi hambatan dalam penerapan amanat pada Perpres No. 67 Tahun 2021 di pemerintah
daerah provinsi/kabupaten/kota.
Pada Triwulan IV tahun 2022 sudah dilaksanakan Advokasi dan Monitoring Tindak Lanjut
Perpres No. 67 tahun 2021 pada Provinsi dengan beban kasus TB yang tinggi seperti: DKI
Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan,
serta Provinsi Kalimantan Timur sebagai lokasi Ibu Kota Negara (IKN) yang baru. Kegiatan
advokasi diikuti oleh Perwakilan Kemenko PMK, Kantor Staf Presiden, Kemendes, Setkab,
Kemendagri, Kemenkes dan Mitra.

Dokumentasi Kegiatan
h a l a m a n | 35

Pertemuan Advokasi Perpres No 67 tahun 2021 antara Tim Pusat dengan Sekretaris
daerah dan perwakilan daerah di Provinsi Jawa Barat

Pertemuan Advokasi Perpres No 67 tahun 2021 antara Tim Pusat dengan Sekretaris
daerah dan perwakilan daerah di Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan
h a l a m a n | 36

Pertemuan Advokasi Perpres No 67 tahun 2021 antara Tim Pusat dengan Sekretaris
daerah dan perwakilan daerah di Kantor Gubernur Kalimantan Timur

Pertemuan Advokasi Perpres No 67 tahun 2021 antara Tim Pusat dengan Gubernur
Provinsi Sumatera Utara
h a l a m a n | 37

Pertemuan Advokasi Perpres No 67 tahun 2021 antara Tim Pusat dengan


Sekretaris daerah dan perwakilan daerah di Kantor Gubernur Provinsi Banten

Pertemuan dan Monev Implementasi Perpres No 67 tahun 2021 di Balaikota DKI


Jakarta bersama OPD Lintas Sektor
h a l a m a n | 38

g. Kendala/masalah yang dihadapi


Jika kita melihat capaian angka keberhasilan pengobatan dengan target pada tahun
2022 sebesar 90% hanya tercapai 83,82%, maka dapat dikatakan bahwa indikator ini belum
mencapai target.
Adapun belum tercapainya target tersebut dapat dijelaskan karena walaupun pandemi covid
19 sudah berlalu namun kasus TBC yang berhasil sembuh pada tahun 2022 merupakan
kohort kasus TBC yang ditemukan dan diobati pada tahun 2021. Pandemi covid 19 masih
mempengaruhi pelaksanaan program TBC terutama dalam hal pencapaian keberhasilan
pengobatan sebagai berikut:
▪ Terganggunya keberlangsungan pengobatan karena pasien tidak datang mengambil
obat
▪ Terganggunya monitoring pengobatan pasien karena pasien tidak mengumpulkan dahak
dan ada kendala pengiriman spesimen untuk evaluasi
▪ Pengawasan minum obat terganggu
▪ Enabler tidak bisa diberikan secara rutin

h. Pemecahan Masalah
Untuk mencapai target, Program TBC melaksanakan kegiatan yang berdasarkan 6 strategi
yaitu:
1) Penguatan Kepemimpinan Program TBC di Kabupaten/Kota
- Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
- Regulasi dan peningkatan pembiayaan
- Koordinasi dan sinergi program
2) Peningkatan Akses Layanan “TOSS-TBC” yang Bermutu
- Peningkatan jejaring layanan TBC melalui PPM (public-private mix)
- Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat
- Peningkatan kolaborasi layanan melalui TBC-HIV, TBC-DM, MTBS, PAL, dan lain
sebagainya
- Inovasi diagnosis TBC sesuai dengan alat / saran diagnostik yang baru
- Kepatuhan dan Kelangsungan pengobatan pasien atau Case holding
- Bekerjasama dengan asuransi kesehatan dalam rangka Cakupan Layanan Semesta
(universal health coverage).
3) Pengendalian Faktor Risiko
- Promosi lingkungan dan hidup sehat.
- Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TBC.
- Pengobatan pencegahan dan imunisasi TBC.
- Memaksimalkan penemuan TBC secara dini, mempertahankan cakupan dan
keberhasilan pengobatan yang tinggi.
4) Peningkatan Kemitraan melalui Forum Koordinasi TBC
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TBC di pusat
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TBC di daerah
5) Peningkatan Kemandirian Masyarakat dalam Penanggulangan TBC
- Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan masyarakat.
h a l a m a n | 39

- Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus, dan dukungan


pengobatan TBC.
- Pemberdayan masyarakat melalui integrasi TBC di upaya kesehatan berbasis
keluarga dan masyarakat.
6) Penguatan Sistem kesehatan
- Sumber Daya Manusia yang memadai dan kompeten.
- Mengelola logistik secara efektif.
- Meningkatkan pembiayaan, advokasi dan regulasi.
- Memperkuat Sistem Informasi Strategis, surveilans proaktif termasuk kewajiban
melaporkan (mandatory notification).
- Jaringan dalam penelitian dan pengembangan inovasi program.

4. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai positivity rate (PR) < 5%

a. Penjelasan Indikator
Menurut laporan WHO, dalam World Malaria Report (WMR) tahun 2022 secara
global, diperkirakan terdapat 247 juta kasus malaria pada tahun 2021, meningkat dari 245
juta pada tahun 2020, dengan sebagian besar peningkatan ini berasal dari negara-negara
di wilayah Afrika. Negara Afrika menyumbangkan sekitar 234 juta (95%) kasus global pada
tahun 2021. Wilayah Asia tenggara menyumbang sekitar 2% dari beban kasus malaria
secara global. Kasus malaria di wiayah Asia Tenggara berkurang 76% dari 23 juta pada
tahun 2000 menjadi sekitar 5 juta pada tahun 2021. Indonesia menyumbangkan kasus
malaria terbesar kedua setelah India di wilayah region Asia Tenggara, dengan estimasi
kasus oleh WHO sebesar 811.636 pada tahun 2021. Berdasarkan laporan rutin malaria
menunjukkan terdapat peningkatan kasus malaria sekitar 30% di Indonesia dari 304.607
tahun 2021 menjadi 400.253 seluruh kasus positif di Indonesia pada tahun 2022 dengan
kasus terbesar terdapat di Provinsi Papua yang berkontribusi menyumbang kasus positif
356.889 (90%) dari kasus nasional.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 22 tahun 2022 tentang
penanggulangan malaria serta dokumen Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) bahwa tahun 2022
kita harus mencapai Positivity Rate Malaria (PR) < 5% sebesar 374 kabupaten/kota.
Positivity Rate (PR) malaria merupakan presentase jumlah kasus malaria yang terkonfirmasi
dibandingkan dengan jumlah total pemeriksaan baik positif dan negatif. Capaian indikator
Positivity Rate (PR) malaria merupakan salah indikator utama persyaratan eliminasi malaria,
selain tidak ada kasus indigenous selama 3 tahun berturut-turut dan Annual Parasite
Incidence (API) < 1 per 1000 penduduk
b. Definisi operasional
Kabupaten/Kota yang telah mencapai angka Posititivity Rate (PR) malaria < 5%
merupakan salah satu kriteria eliminasi malaria sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) No. 22 tahun 2022 tentang penanggulangan malaria. Selain itu,
daerah tersebut harus memenuhi tiga 2 kriteria utama lainnya yaitu: API kurang dari 1 Per
1000 penduduk dan tidak ada penularan setempat malaria selama tiga tahun berturut-turut
serta memenuhi beberapa persyaratan lainnya. Status PR malaria < 5% diperoleh dari
jumlah kasus positif dibandingkan dengan jumlah pemeriksaan pada waktu yang sama .
Kasus positif malaria harus terkonfirmasi laboratorium yang diagnosis pemeriksaan
ditegakan dengan diagnosis melalui RDT dan atau mikroskop.

c. Rumus/cara perhitungan
h a l a m a n | 40

Positivity Rate (PR) Malaria < 5% =


Jumlah Kasus Positif yang terkonfirmasi laboratorium x 100%
Jumlah Pemeriksaan (Positif dan negative)

Jumlah Kabupaten/Kota mencapai PR malaria < 5% merupakan akumulasi jumlah kab/kota


yang mencapai Positivity Rate (PR) Malaria < 5% dalam kurun waktu satu tahun.

d. Capaian indikator
Gambar 3. Peta Endemisitas Indonesia Tahun 2022 per 20 Januari 2023*

Berikut tabel rincian capaian penduduk per wilayah endemisitas di Indonesia.

Tabel 3.2 Capaian Penduduk Berdasarkan Endemisitas Tahun 2022


per 20 Januari 2023*

Penduduk 2022 Kabupaten 2022


No Endemisitas
Jumlah % Jumlah %

1 Eliminasi (Bebas Malaria)


243,796,793 89% 372 72%

2 Endemis Rendah (API <1‰)


22,004,854 8% 87 17%

3 Endemis Sedang (API 1 - 5 ‰)


5,457,056 2% 27 5%

4 Endemis Tinggi (API > 5 ‰)


3,600,391 1% 28 5%

TOTAL
274,859,094 100% 514 100%
h a l a m a n | 41

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa 89% penduduk Indonesia telah hidup di
daerah bebas malaria dan sekitar 11% penduduk Indonesia masih tinggal di daerah endemis
malaria. Jumlah Kab/Kota pada tahun 2022 yang mencapai API < 1 per 1000 penduduk yaitu
sebanyak 459 kabupaten/kota dari target yang ditentukan sebesar 484 kab/kota atau
pencapaian kinerja sebesar 94,8%.

Tabel 3.3 Capaian jumlah Kab/Kota dengan Positivity Rate (PR) Malaria < 5%
per Provinsi Tahun 2022
Jumlah Jumlah % Capaian
Kab/kota Kab/kota Kab/kota
JUMLAH
NO PROVINSI Positivity Rate Positivity yang
KAB/KOTA
(PR) Malaria Rate (PR) mencapai
<5% Malaria >5% PR < 5%
1 ACEH 23 21 2 91%
SUMATERA
2 33 20 13 61%
UTARA
SUMATERA
3 19 15 4 79%
BARAT
4 RIAU 12 8 4 67%
5 JAMBI 11 11 0 100%
SUMATERA
6 17 16 1 94%
SELATAN
7 BENGKULU 10 10 0 100%
8 LAMPUNG 15 15 0 100%
KEPULAUAN
9 BANGKA 7 7 0 100%
BELITUNG
10 KEP. RIAU 7 7 0 100%
11 DKI JAKARTA 6 1 5 17%
12 JAWA BARAT 27 5 22 19%
13 JAWA TENGAH 35 21 14 60%
14 DI YOGYAKARTA 5 3 2 60%
15 JAWA TIMUR 38 9 29 24%
16 BANTEN 8 3 5 38%
17 BALI 9 7 2 78%
NUSA
18 TENGGARA 10 10 0 100%
BARAT
NUSA
19 TENGGARA 22 22 0 100%
TIMUR
KALIMANTAN
20 14 14 0 100%
BARAT
KALIMANTAN
21 14 13 1 93%
TENGAH
h a l a m a n | 42

Jumlah Jumlah % Capaian


Kab/kota Kab/kota Kab/kota
JUMLAH
NO PROVINSI Positivity Rate Positivity yang
KAB/KOTA
(PR) Malaria Rate (PR) mencapai
<5% Malaria >5% PR < 5%
KALIMANTAN
22 13 11 2 85%
SELATAN
KALIMANTAN
23 10 3 7 30%
TIMUR
KALIMANTAN
24 5 5 0 100%
UTARA
SULAWESI
25 15 9 6 60%
UTARA
SULAWESI
26 13 12 1 92%
TENGAH
SULAWESI
27 24 13 11 54%
SELATAN
SULAWESI
28 17 14 3 82%
TENGGARA
29 GORONTALO 6 6 0 100%
SULAWESI
30 6 6 0 100%
BARAT
31 MALUKU 11 10 1 91%
32 MALUKU UTARA 10 10 0 100%
33 PAPUA BARAT 13 7 6 54%
34 PAPUA 29 4 25 14%
TOTAL 514 348 166 68%

Sumber data: Laporan Rutin Tim Kerja Malaria per 20 Januari 2023*

Berdasarkan tabel di atas, sebanyak 68% kabupaten/kota di Indonesia telah


mencapai positivity rate (PR) < 5%, dimana pada tahun 2022 terdapat 12 Provinsi yang
seluruh Kabupaten/kota telah mencapai Positivity Rate (PR) malaria < 5%.
Target dan capaian positivity rate (PR) malaria < 5% dapat digambarkan pada grafik
di bawah ini dalam kurun waktu tahun 2020-2024

Grafik 3.11 Capaian Jumlah Kabupaten/Kota mencapai Positivity Rate (PR) malaria < 5%
2020-2024
h a l a m a n | 43

420 414 100%


90%
400 394
80%
374 70%
380
60%
360 354 50% Target
348
40% Capaian
340
30%
20%
320
10%
300 0%
Baseline 2021 2022 2023 2024

Sumber data: Laporan Rutin Tim Kerja Malaria per 20 Januari 2022*

Secara nasional untuk target kumulatif tahun 2022 sebanyak 374 kab/kota mencapai
PR malaria < 5%, sedangkan pencapaiannya adalah 348 (93%) Kab/Kota mencapai PR <
5%. Jika dibandingkan dengan target tahun 2022, jadi capaian tahun 2022 dapat melampaui
target yang telah ditetapkan. Keberhasilan tersebut disebabkan oleh berbagai kegiatan
pengendalian malaria yang telah dilakukan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Untuk mencapai target eliminasi malaria, perlu didukung oleh beberapa indikator
komposit, yaitu persentase konfirmasi pemeriksaan sediaan darah dan persentase
pengobatan standar yang juga merupakan indikator Pemantauan Program Prioritas Janji
Presiden tahun 2020 oleh KSP (Kantor Staf Presiden) yang dipantau setiap tiga bulan.
Persentase pemeriksaan sediaan darah adalah persentase suspek malaria yang dilakukan
konfirmasi laboratorium, baik menggunakan mikroskop maupun Rapid Diagnostik Test
(RDT) dari semua suspek yang ditemukan. Target dan capaian indikator persentase
konfirmasi pemeriksaan sediaan darah adalah sebagai berikut.
Grafik 3.12 Capaian Persentase Konfirmasi Pemeriksaan Sediaan Darah
100% 100%
90% 90%
80% 80%
70% 70%
60% 60%
50% 50%
40% 40%
30% 30%
20% 20%
10% 10%
0% 0%

%Konfirmasi Lab Target

Sumber data: Laporan Tim Kerja Malaria Tahun 2022 per 13 Januari 2023*

Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa 22 provinsi di Indonesia (65%) telah
mencapai target nasional dalam konfirmasi laboratorium terhadap suspek malaria. Target
nasional adalah 95% dengan capaian tahun 2022 sebesar 99% dengan jumlah suspek
h a l a m a n | 44

sebanyak 2.957.743 dan jumlah pemeriksaan sediaan darah dikonfirmasi laboratorium


sebanyak 2.988.414 orang.

e. Upaya yang dilakukan untuk mencapai target indikator


Beberapa upaya telah dilakukan untuk mencapai indikator tersebut, antara lain:

1) Diagnostik Malaria

Kebijakan pengendalian malaria terkini dalam rangka mendukung eliminasi


malaria adalah bahwa diagnosis malaria harus terkonfirmasi melalui pemeriksaan
laboratorium baik dengan mikroskop ataupun Rapid Diagnostic Test (RDT).
Penegakkan diagnosa tersebut harus berkualitas dan bermutu sehingga dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat dan memberikan data yang tepat dan akurat.
Berbagai kegiatan dalam rangka meningkatkan mutu diagnosis terus dilakukan.
Kualitas pemeriksaan sediaan darah dipantau melalui mekanisme uji silang di tingkat
kab/kota, provinsi, dan pusat. Kualitas pelayanan laboratorium malaria sangat
diperlukan dalam menegakan diagnosis dan sangat tergantung pada kompetensi dan
kinerja petugas laboratorium di setiap jenjang fasilitas pelayanan kesehatan.
Penguatan laboratorium pemeriksaan malaria yang berkualitas dilakukan melalui
pengembangan jejaring dan pemantapan mutu laboratorium pemeriksa malaria mulai
dari tingkat pelayanan seperti laboratorium Puskesmas, Rumah Sakit serta
laboratorium kesehatan swasta sampai ke laboratorium rujukan uji silang di tingkat
Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat.
Kegiatan dalam rangka peningkatan kualitas diagnostik malaria telah
dilaksanakan sepanjang tahun 2022, antara lain:
a. Pelatihan Jarak Jauh Mikroskopis Malaria (Daring, 14-16 September dan 4-6
Oktober 2022)
b. On the Job Training Diagnostik Malaria (Kubu Raya, 25-28 Oktober 2022 dan Sumba
Barat, 22-25 November 2022)
c. Koordinasi Pemantapan Mutu Laboratorium Pemeriksa Malaria (11 Juli 2022)
d. Pelatihan Jarak Jauh Malaria Bagi Tenaga ATLM Fasyankes (13-14 April 2022 dan
19-23 April 2022)
e. Pelatihan Manajemen Quality Assurance (QA) Laboratorium Malaria (28 November
– 3 Desember 2022)
f. Pendampingan Diagnosi dan Tatalaksana Malaria di Papua Barat (16-19 Maret
2022)
g. On The Job Training Mikroskopis Malaria di Kabupaten Landak (20-24 September
2022)
h. On The Job Training Mikroskopis Malaria di Provinsi Jawa Barat (16-30 November
2022)
i. Uji Kompetensi Petugas Uji Silang Kabupaten/Kota di Provinsi Bali (27 November -
1 Desember 2022)

Gambar Pemeriksaan uji silang di lab RSUD Wates dan diskusi dengan tim di
Puskesmas Samigaluh I saat Pendampingan Diagnosis dan Tatalaksana Malaria
h a l a m a n | 45

2) Tatalaksana Kasus Malaria


Kementerian Kesehatan telah merekomendasikan pengobatan malaria
menggunakan obat pilihan yaitu kombinasi derivate artemisinin dengan obat anti
malaria lainnya yang biasa disebut dengan Artemisinin based Combination Therapy
(ACT). ACT merupakan obat yang paling efektif untuk membunuh parasit sedangkan
obat lainnya seperti klorokuin telah resisten. Pada tahun 2019 telah ditetapkan
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Malaria dalam bentuk
Keputusan Menkes RI Nomor HK.01.07/Menkes/556/2019. Berdasarkan Kepmenkes
tersebut juga diterbitkan buku pedoman tata laksana kasus malaria sesuai dengan
perkembangan terkini dan hasil riset mutakhir. Adapun penggunaan ACT harus
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, sebagai salah satu upaya mencegah
terjadinya resistensi obat.
Selain penggunaan OAM yang rasional, salah satu pilar untuk mencapai eliminasi
malaria adalah menjamin universal akses dalam pencegahan, diagnosis dan
pengobatan, sehingga diperlukan keterlibatan semua sektor terkait termasuk swasta
(public private mix partnership).
Berikut beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam mendukung kualitas
tatalaksana malaria tahun 2022 yaitu:
a. Workshop Tatalaksana Kasus Malaria Bagi Fasyankes Kabupaten/Kota di
Denpasar (26 September 2022)
b. Pendampingan Diagnosis dan Tatalaksana Malaria ke Kab. Kulon Progo (10-13
Oktober 2022)
c. Pendampingan Diagnosis dan Tatalaksana Malaria ke Kab. Yapen (31 Oktober-3
November 2022)
d. Pendampingan Diagnosis dan Tatalaksana Malaria ke Kab. Muara Enim (6-9
Desember 2022)
e. Pendampingan Diagnosis dan Tatalaksana ke Nusa Tenggara Timur (7-10 Juni
2022)
f. pendampingan diagnosis dan tatalaksana malaria di Kab. Sumba (22-25 Juni 2022)
g. Pendampingan Diagnosis dan Tatalaksana Ke Kab. Lampung Selatan (17-20 Mei
2022)
h. Pendampingan Diagnosis dan Tatalaksana di Kab. Indramayu, Jawa Barat (5-8
April 2022)
i. Pendampingan Diagnosis Tatalaksana di Provinsi Gorontalo (23-25 Maret 2022)
j. Pendampingan Diagnosis dan Tatalaksana Ke Papua Barat (15-18 Maret 2022)
k. Supervisi dalam rangka Pertemuan Penguatan Peran Tenaga Kesehatan dalam
Tatalaksana dan Sistem Pelaporan Malaria di Kab. Bangka Barat (23-25 Mei 2022)
Gambar Kegiatan Penandatanganan Kerjasama Dinkes dengan Pimpinan Klasis
GKI wilayah Kep.Yapen
h a l a m a n | 46

3) Surveilans Malaria

Surveilans merupakan kegiatan penting dalam upaya eliminasi, karena salah satu
syarat eliminasi adalah pelaksanaan surveilans yang baik untuk mengidentifikasi
daerah atau kelompok populasi yang berisiko malaria dan melakukan perencanaan
sumber daya yang diperlukan untuk pengendalian malaria. Kegiatan surveilans malaria
dilaksanakan sesuai dengan tingkat endemisitas. Daerah yang telah masuk pada tahap
eliminasi dan pemeliharaan harus melakukan penyelidikan epidemiologi terhadap
setiap kasus positif malaria sebagai upaya kewaspadaan dini kejadian luar biasa
malaria dengan melakukan pencegahan terjadinya penularan.
Sistem informasi malaria yang disebut SISMAL V2 mulai disosialisasikan pada
Tahun 2018 dan sepenuhnya digunakan pada Tahun 2019. Sebanyak 10.609
fasyankes telah melaporkan data malaria melalui SISMAL V2 pada Tahun 2022. Untuk
memudahkan interoperabilitas data dengan data yang lainnya maka sejak tahun 2021
SISMAL V3 sudah mulai dikembangkan dan di tahun 2022 dilakukan sosialisasi awal
SISMAL V3.
Berikut beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam mendukung kegiatan
surveilans, sistem informasi dan monitoring dan evaluasi malaria:
a. Workshop Pengelola SISMAL (13-14 Oktober 2022)
b. On The Job Training SISMAL
c. Update Modul Surveilans Malaria (28 April 2022)
d. Pertemuan Penguatan Surveilans Migrasi Lintas Sektoral Tingkat Kabupaten
Kulonprogo Melalui Daring Tanggal 4 November dan 3 Desember 2022
e. Supervisi Monev peningkatan kapasitas surveilans malaria dan notifikasi silang bagi
6 Kabupaten/ Kota yg berbatasan dengan Timor Leste,(2-5 Agustus 2022)
f. Workshop Surveilans Migrasi Bagi Tenaga KKP, TNI/Polri dan Dinkes Provinsi (9
Agustus 2022)
g. Surveilans dan Faktor Risiko Malaria Kab Labuhan Batu Utara, Sumut (15-18 Maret
2022)
h. Surveilans dan Faktor Risiko Malaria Kab Bangka Barat Babel (15-18 Maret 2022)
i. Surveilans dan Faktor Risiko Malaria Kab Batubara Sumut (8-11 Maret 2022)
j. Surveilans dan Faktor Risiko Malaria Pada Populasi Khusus (MMP) Kab Rejang
Lebong Prov Bengkulu (21-25 Maret 2022)
k. Surveilans dan Faktor Risiko Malaria di Prov NTB Tanggal 18-21 April 2022
l. Surveilans dan Faktor Risiko Malaria di Bangka Belitung Tanggal 9-13 Mei 2022
m. Surveilans dan Faktor Risiko Malaria ke Kab Purworejo Jawa Tengah Tanggal 18-
21 Mei 2022
h a l a m a n | 47

n. Surveilans dan Pengendalian Faktor Risiko Malaria di Kab. Pesawaran, Lampung


(26-29 Oktober 2022)
o. Surveilans dan Pengendalian Faktor Risiko Malaria di Kab. Sorong, Papua Barat
(23-26 November 2022)
p. Refreshing Penggunaan Sismal bagi Kabupaten/Kota dan Faskes di Provinsi Bali
q. Penyusunan Modul Pelatihan SISMAL V3, (1-2 November 2022)
r. Supervisi dalam Rangka Pertemuan Refreshing E-Sismal di Banten (24-26 Mei
2022)
s. Supervisi dalam rangka Pertemuan Refreshing E-Sismal Tangerang Selatan (17
Juni 2022)
t. Asessment Peningkatan Kasus SKD/KLB Malaria di Sumatera Barat Kab Kep
Mentawai (22-26 Agustus 2022)
u. Asessment KLB Malaria di Maluku Tengah (11-15 Desember 2022)

Gambar Kegiatan Surveilans dan Pengendalian Faktor Risiko Malaria di Kab.


Pesawaran dan Kab. Sorong

4) Pengendalian Vektor Malaria


Sampai saat ini nyamuk Anopheles telah dikonfirmasi menjadi vektor malaria di
Indonesia sebanyak 25 jenis (species). Jenis intervensi pengendalian vektor malaria
dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain memakai kelambu berinsektisida
(LLINs = Long lasting insecticide nets), melakukan penyemprotan dinding rumah
dengan insektisida (IRS = Indoor Residual Spraying), melakukan larviciding, melakukan
penebaran ikan pemakan larva, dan pengelolaan lingkungan.
Penggunaan kelambu berinsektisida merupakan cara perlindungan dari gigitan
nyamuk anopheles. pembagian kelambu ke masyarakat dilakukan dengan dua metode,
yaitu pembagian secara massal (mass campaign) dan pembagian rutin. Pembagian
secara massal dilakukan pada daerah/kabupaten/kota endemis tinggi dengan cakupan
minimal 80%. Pembagian ini diulang setiap 3 tahun, jika belum ada penurunan tingkat
endemisitas. Pembagian kelambu secara rutin diberikan kepada ibu hamil yang tinggal
di daerah endemis tinggi. Kegiatan ini bertujuan untuk melindungi populasi prioritas,
yaitu ibu hamil dari risiko penularan malaria. Selain itu, pembagian kelambu juga
dilakukan pada daerah yang terkena bencana.
Berikut beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam mendukung kegiatan
pengendalian vektor malaria:
a. Survei Longitudinal Vektor Ke Kab Keerom Papua Tanggal 18-23 Mei 2022
h a l a m a n | 48

b. Pemantauan Resistensi Insektisida pada Vektor Malaria ke Sulawesi Utara


Tanggal 13-20 Juni 2022
c. Pemantauan Resistensi Insektisida pada Vektor Malaria ke Papua Barat Tanggal
13-20 Juni 2022
d. Pemantauan Resistensi Insektisida pada Vektor Malaria ke Kalimantan Timur
Tanggal 13-20 Juni 2022
e. Pemantauan Resistensi Insektisida Pada Vektor Malaria Tanggal 23-30 Agustus
2022 di Provinsi Kalimantan Timur Kab Paser
f. Survei Longitudinal Vektor ke Provinsi NTT Kab Sumba Barat Tanggal 30 Agustus
- 4 September 2022
g. Pemantauan Resistensi Insektisida Pada Vektor Malaria di Prov Jambi Kab
Batanghari Tanggal 5-12 September 2022
h. Pemantauan Resistensi Insektisida pada Vektor Malaria ke Kab Lampung Selatan
i. Survei Longitudinal Vektor -Pengumpulan Data Lapangan ke NTT Kab Sumba
Barat Tanggal 4 - 9 Desember 2022
j. Surveilans Vektor di Daerah Reseptif Kab Kulon Progo Tahun 2022
Gambar Kegiatan Pemantauan Resistensi Insektisida pada Vektor Malaria
di Kab. Batanghari, Prov Jambi

5) Promosi, Advokasi dan kemitraan dalam upaya pengendalian malaria

Sosialisasi pentingnya upaya pengendalian malaria merupakan hal yang penting


dengan sasaran pengambil kebijkan, pelaksana teknis dan masyarakat luas.
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat luas dilakukan dengan
membuat Iklan Layanan Masyarakat (ILM) mengenai Malaria.
Beberapa kegiatan selama Tahun 2022 dalam mendukung promosi, advokasi dan
kemitraan dalam upaya pengendalian malaria antara lain:
a. Pertemuan Pengembangan Media KIE Tatalaksana Kasus Malaria Sebagai Sarana
Komunikasi Tanggal 28-29 Maret 2022
b. Cetak Media KIE Hari Malaria Sedunia 2022
c. Instagram (IG) Live dalam Rangka Hari Malaria Sedunia (HMS) Tahun 2022
d. Uji Coba Pengembangan Media KIE Tatalaksana Malaria Sebagai Sarana
Komunikasi Tanggal 12-15 Desember 2022 di Sumba Timur
h a l a m a n | 49

Gambar Kegiatan Uji Coba Pengembangan Media KIE Tatalaksana Malaria di Sumba
Timur

6) Alat dan Bahan serta Media KIE pencegahan dan pengendalian malaria
Sarana dan prasarana Malaria adalah bangunan beserta alat dan bahan yang
digunakan pada program pengendalian malaria di Indonesia. Alat dan bahan digunakan
dalam kegiatan diagnostik (deteksi), pengobatan dan pengendalian vektor. Ketersediaan
sarana dan prasarana malaria sangat penting dalam pencapaian eliminasi malaria. Selain
itu media kie juga sangat berperan sebagi media untuk promosi dan sosialisasi terkait
pencegahan dan pengendalian malaria.
Alat dan bahan pengendalian malaria yang diadakan pada tahun 2022 seperti mikroskop
trinokuler, mist blower, APD, larvasida malaria, insektisida malaria, RDT malaria,
immertion oil dan giemsa. Sedangkan media KIE pencegahan dan pengendalian malaria,
yaitu Buku Petunjuk Teknis Pengendalian Faktor Risiko malaria dan Buku Kurikulum dan
Pelatihan Tatalaksana Malaria bagi Dokter.

f. Analisa Penyebab Kegagalan


Kegiatan pencegahan dan pengendalian malaria di Indonesia untuk indikator jumlah
kabupaten/kota yg mencapai API<1 per 1000 penduduk belum mencapai target yang
ditetapkan. Namun hal ini bukan suatu hal yang buruk karena pada tahun 2022 banyak
upaya pengendalian malaria yang telah dilakukan, diantaranya yaitu:
1) Terjadi peningkatan penemuan kasus dengan strategi active case finding melalui
pemberdayaan kader malaria.
2) Upaya Public Private Mix (PPM) dalam pengendalian malaria yang dilakukan membuat
akses layanan semakin terbuka dan baik sehingga berpengaruh juga pada penemuan,
pencatatan, dan pelaporan kasus malaria.
3) Surveilans malaria juga semakin baik sehingga pelaporan yang dilaporkan daerah
menjadi lebih lengkap, tepat waktu, dan kualitasnya semakin baik. Hal ini berpengaruh
pada menurunnya kasus yang tidak dilaporkan (under reporting).
4) Penyediaan logistik melalui pendekatan epidemiologis (estimasi jumlah suspek yang
mau diobati, dll) sehingga lebih tergambar sesuai dengan kasus di lapangan
dibandingkan cara perhitungan yang dilakukan sebelumnya melalui pola konsumsi dan
buffer 10% saja.
5) Bersama dengan WHO telah dilakukan perhitungan estimasi kasus positif sehingga
upaya yang dilakukan lebih tinggi dengan adanya gambaran kasus yang lebih besar.

g. Kendala/Masalah yang dihadapi


Dalam melaksanakan program dan kegiatan untuk mencapai eliminasi malaria di
Indonesia, ditemukan permasalahan yang menjadi tantangan seperti:
h a l a m a n | 50

1) Under Reporting pelaporan data pada sistem pencatatan dan pelaporan sismal
terutama pemeriksaan negative.
2) Evaluasi dan validasi data yang kurng berjalan dari tingkt fasilitas pelayanan Kesehatan
3) Setiap kasus positif di daerah endemis rendah dan eliminasi ( API<1 per 1000
penduduk ) tidak segera dilakukan Penyelidikan Epidemiologi ( PE) 1-2-5 termasuk
survei kontak.
4) Akses dan cakupan layanan baik Rumah Sakit, klinik, DPS pada remote area masih
belum memadai.
5) Rujukan layanan dan jejaring tatalaksana belum optimal.
6) Kegiatan penemuan aktif termasuk surveilans migrasi kurang berjalan
7) Di daerah endemis rendah banyak terdapat daerah fokus malaria dengan Mobile
Migrant Population (MMP) dan kondisi wilayah yang sulit (tambang liar, illegal logging,
perkebunan illegal, tambak terbengkelai) yang sulit untuk dilakuakn pemeriksaan
karena remote area atau karena mobilitas penduduk yang cukup tinggi.
8) Ketepatan dan kelengkapan pelaporan yang belum optimal.
9) Turn Off petugas malaria di daerah.
10) Peningkatan kasus malaria malaria di beberapa kabupaten/kota kurang berjalanya
kegiatan surveilans migrasi malaria di daerah endemis rendah dan tahap
pemeliharaan.
11) Komitmen Pemerintah daerah setempat baik terkait kebijkan dan anggaran untuk
program malaria di daerah endemis malaria dan bebas malaria yang semakin terbatas.

h. Pemecahan Masalah
Beberapa permasalahan yang disebutkan di atas memerlukan pemecahan masalah
sehingga kegiatan dapat berjalan efektif dan efisien dan indikator dapat dicapai. Berikut ini
beberapa pemecahan masalah yang dilakukan :
1. Peningkatan akses layanan malaria yang bermutu.
- Desentralisasi pelaksanaan program oleh kab/kota.
- Integrasi kedalam layanan kesehatan primer.
- Penemuan dini dengan konfirmasi dan pengobatan yang tepat sesuai dengan
standar dan pemantauan kepatuhan minum obat.
- Penerapan sistem jejaring public-privite mix partnership layanan malaria.
2. Mendorong kabupaten/kota yang sudah endemis rendah >3 tahun agar segera
mencapai eliminasi dengan melakukan advokasi dan memfasilitasi asesmen serta
upaya mempercepat eliminasi kabupaten/kota stagnan.
3. Penguatan surveilans termasuk surveilans migrasi, Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian
Luar Biasa (SKD-KLB) dan penanggulangan KLB.
4. Sosialisasi penggunaan dana yang bisa dimanfaatkan untuk Penyelidikan Epidemiologi
baik Dana Dekonsentrasi, DAK non fisik, APBD, Global Fund, Dana Desa, dan Dana
Kapitasi.
5. Terdapat tenaga pendamping dari UNICEF dan WHO untuk Dinas Kesehatan Kab/kota
dalam mempercepat penurunan kasus dan mempercepat eliminasi malaria khususnya
Kab/Kota endemis tinggi sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia.
6. Peningkatan akses layanan malaria pada daerah sulit dan populasi khusus seperti
penambang illegal, pekerja pembalakan liar, perkebunan illegal dan suku asli yang
hidup di hutan.
7. Pengembangan pelaporan secara real-time pada SISMAL V3
h a l a m a n | 51

8. Pelatihan Penyelidikan Epidemiologi termasuk pelatihan pemetaan GIS.


9. Penguatan sistem informasi strategis dan penelitian operasional untuk menunjang
basis bukti program.
10. Penguatan manajemen fungsional program, advokasi dan promosi program dan
berkontribusi dalam penguatan sistem Kesehatan.

5. Persentase penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu

a. Penjelasan Indikator
Angka Kesembuhan atau Release From Treatment (RFT) Rate sangat penting dalam
menilai kualitas tata laksana penderita dan kepatuhan penderita kusta dalam minum obat.
Indikator Persentase Penderita Kusta yang Menyelesaikan Pengobatan Kusta Tepat Waktu
(RFT Rate) penderita kusta PB maupun MB tahun 2022 merupakan indikator tahunan,
perhitungan indikator tersebut didapatkan setelah penderita dinyatakan selesai pengobatan
untuk tipe PB 6-9 bulan dan tipe MB 12-18 bulan.

b. Definisi Operasional
Jumlah penderita baru kusta (PB/MB) dari periode kohort 1 (satu) tahun yang sama yang
menyelesaikan pengobatan tepat waktu (PB menyelesaikan 6 dosis dalam waktu 6-9
bulan/MB menyelesaikan 12 dosis dalam waktu 12-18 bulan) dinyatakan dalam persentase

c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah penderita kusta baru yang telah RFT rate (PB menyelesaikan pengobatan 6 dosis
dalam waktu 6-9 bulan dan MB menyelesaikan pengobatan 12 dosis dalam waktu 12-18
bulan) dibagi seluruh penderita baru pada periode kohort tahun yang sama di kali 100.

Rumus :
Jumlah kasus baru PB & MB yang menyelesaikan 6 dosis dalam 6-9 bln & 12-18 bln x 100 %
Jumlah seluruh kasus baru PB & MB yang memulai MDT pada periode kohort tahun yang sama

d. Capaian Indikator
Gambar 1.1
Peta Indonesia tentang Persentase Penderita Kusta yang Menyelesaikan Pengobatan
Kusta Tepat Waktu Tahun 2022 di 34 provinsi

Sumber : Tim Kerja NTDs, data tahun 2022


h a l a m a n | 52

Pada gambar peta 1.1 tersebut diatas menggambarkan Persentase Penderita Kusta
yang Menyelesaikan Pengobatan Kusta Tepat Waktu di seluruh Indonesia, dimana terlihat
warna kuning adalah provinsi ( 11 provinsi ) yang telah mencapai target minimal 90%, yaitu
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Lampung Jambi, Kalimantan Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Banten, Sulawesi Barat dan Sulawesi Utara, sedangkan warna
merah menggambarkan wilayah yang belum mencapai target nasional.
Grafik 3.13 Persentase Penderita Kusta yang Menyelesaikan
Pengobatan Kusta Tepat Waktu Tahun 2022 di 34 provinsi

Persentase Penderita Kusta yang Menyelesaikan Pengobatan Kusta Tepat


Waktu (% RFT PB & MB) Tahun 2022
Target 90%
97
96
94
93
92
92
92
92
91
91
90
89
89
89
89
88
88
87

87
86
86
86
85
85
85
84
84
82
80
79
79
78
77
75
66
Nusa Tenggara…

Nusa Tenggara…
Kep. Bangka…

Papua

Riau
Sumatera Selatan
Gorontalo
Lampung
Jambi

Sulawesi Tenggara
Aceh

Sumatera Utara
Maluku

Bengkulu
Jawa Barat
Kalimantan Barat

Kalimantan Selatan

Kalimantan Utara

Kalimantan Tengah

Indonesia
Sulawesi Tengah

Jawa Tengah

Banten
Jawa Timur

Sulawesi Barat

Kalimantan Timur
Sulawesi Utara

Papua Barat
Kepulauan Riau

Bali

DKI Jakarta

Sulawesi Selatan

Maluku Utara
Sumatera Barat

DI Yogyakarta
.
Sumber : Tim Kerja NTDs, data per tanggal 16 Januari 2022.

Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa secara nasional pencapaian indikator
Persentase Penderita Kusta yang Menyelesaikan Pengobatan Kusta Tepat Waktu masih
dibawah target yaitu didapatkan 87 % (target indikator nasional 90%). Dari 34 provinsi
yang mencapai target nasional hanya 11 provinsi dari 34 provinsi (32.4%). Adapun
provinsi yang telah mencapai target nasional adalah Provinsi Sulawesi Tengah,
Sumatera Selatan, Gorontalo, Lampung, Jambi, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Banten, Sulawesi Barat dan Sulawesi Utara.

Tabel 3.4 Penderita PB, Penderita MB, Total Kasus PB dan MB, Penderita Kusta PB
yang RFT, Penderita Kusta MB yang RFT, RFT (PB+ MB), % RFT (PB + MB)
Tahun 2022 di 34 provinsi
Total Penderita
Penderita RFT % RFT
Penderita Penderita Kasus Kusta
No Provinsi Kusta (PB+ (PB +
PB MB Baru MB yang
yang RFT MB) MB)
(PB+MB) RFT
1 Aceh 31 117 148 27 104 131 89
Sumatera
2 8 92 100 8 77 85 84
Utara
Sumatera
3 5 45 50 5 40 45 89
Barat
4 Riau 5 80 85 5 62 67 78
5 Jambi 5 51 56 5 47 52 92
h a l a m a n | 53

Total Penderita
Penderita RFT % RFT
Penderita Penderita Kasus Kusta
No Provinsi Kusta (PB+ (PB +
PB MB Baru MB yang
yang RFT MB) MB)
(PB+MB) RFT
Sumatera
6 18 161 179 16 155 171 96
Selatan
7 Bengkulu 2 12 14 2 9 11 75
8 Lampung 6 128 134 5 119 124 93
Kep. Bangka
9 6 31 37 6 27 33 87
Belitung
Kepulauan
10 5 45 50 5 40 45 89
Riau
11 DKI Jakarta 35 280 315 35 242 277 86
12 Jawa Barat 80 1.293 1.373 73 1.103 1.176 85
13 Jawa Tengah 58 1.004 1.062 53 921 974 92
14 DI Yogyakarta 2 24 26 2 19 21 79
15 Jawa Timur 91 994 1.085 79 911 990 92
16 Banten 70 503 573 66 460 526 91
17 Bali 2 32 34 1 28 29 88
Nusa
18 Tenggara 18 198 216 18 169 187 85
Barat
Nusa
19 Tenggara 20 183 203 19 157 176 86
Timur
Kalimantan
20 1 25 26 1 23 24 92
Barat
Kalimantan
21 4 35 39 4 27 31 77
Tengah
Kalimantan
22 9 67 76 9 57 66 85
Selatan
Kalimantan
23 12 117 129 10 103 113 88
Timur
Kalimantan
24 2 19 21 0 15 15 79
Utara
Sulawesi
25 31 334 365 30 301 331 90
Utara
Sulawesi
26 14 184 198 14 178 192 97
Tengah
Sulawesi
27 74 539 613 72 461 533 86
Selatan
Sulawesi
28 10 180 190 9 161 170 89
Tenggara
29 Gorontalo 6 104 110 5 98 103 94
Sulawesi
30 7 116 123 7 108 115 91
Barat
31 Maluku 12 142 154 9 116 125 82
32 Maluku Utara 53 447 500 48 375 423 84
33 Papua Barat 211 422 633 170 278 448 66
h a l a m a n | 54

Total Penderita
Penderita RFT % RFT
Penderita Penderita Kasus Kusta
No Provinsi Kusta (PB+ (PB +
PB MB Baru MB yang
yang RFT MB) MB)
(PB+MB) RFT
34 Papua 283 885 1.168 228 704 932 80
Indonesia 1.196 8.889 10.085 1.046 8.889 9.935 87

Sumber : Tim Kerja NTDs, data per tanggal 16 Januari 2022.

Dari tabel 3.4 tersebut diatas menyatakan bahwa Persentase Penderita Kusta yang
Menyelesaikan Pengobatan Kusta Tepat Waktu secara nasional belum mencapai target
nasional. Capaian di tingkat provinsi yang paling tinggi capaiannya adalah Provinsi Sulawesi
Tengah (97%), sedangkan capaian yang pailing rendah adalah Provinsi Papua Barat (66%).
Penderita MB yang ditemukan lebih banyak dibandingkan penderita kusta PB dengan penderita
yang ditemukan paling banyak terdapat di wilayah JawaTengah 1.293 penderita MB dan Jawa
Barat 1.004 penderita kusta MB, sedangkan penderita kusta PB paling banyak ditemukan di
wilayah Papua 282 penderta kusta PB dan Papua Barat 211 pendeita kusta PB.

Grafik 3.14 Perbandingan Persentase Penderita Kusta yang Menyelesaikan


Pengobatan Kusta Tepat Waktu dan Capaian Tahun 2021 dan 2022

Sumber : Tim Kerja NTDs, data 16 Januari 2022.

Pada grafik 3.14 tersebut diatas adalah perbandingan capaian presentase penderita
kusta yang menyelesaikan pengobatan pada tahun 2022 dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, per tanggal 16 Januari 2022 yang direkap dari data SIPK kusta provinsi,
menyatakan bahwa terjadi penurunan capaian dari tahun sebelumnya dari 89% menjadi
87%. Dibandingkan dengan target capaian nasional 90%, capaian tahun 2021-2022
dinyatakan belum mencapai target nasional.

Grafik 3.15 Indikator dan Capaian Persentase Penderita Kusta yang Menyelesaikan
Pengobatan Kusta Tepat Waktu dan Capaian Tahun 2020-2024
h a l a m a n | 55

Target Capaian

90 90 90 90 90

89
88,7

87

2020 2021 2022 2023 2024

Pada grafik 3.15 tersebut diatas adalah merupakan target sesuai dengan Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan dari tahun 2020-2024. Terlihat bahwa capaian
presentase penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan dari tahun 2020 sapai
tahun 2022 terjadi capaian yang fluktuatif, dimana pada tahun 2020 tercapai 88,7%,
terjadi peningkatan yang tidk signifikan di tahun 2021 dengan capaian 89%, kemudian
terjadi penurunan di tahun 2022 dengan capaian 87%. Adanya capaian tersebut
diprediksikan bahwa akhir pada tahun 2024 indikator presentase penderita kusta yang
menyelesaikan pengobatan tidak dapat tercapai (tidak on the track).

e. Analisa Penyebab Kegagalan Pencapaian

Sejak tahun 2021 telah diterbitkan, The Global Leprosy Strategy 2021-2030 yang
menjelaskan perubahan definisi operasional status eliminasi kusta, yaitu dari angka
prevalensi <1/10.000 penduduk menjadi tidak ada (nol) kasus (Zero Leprosy). Indikator
ini tidak berdiri sendiri, namun menyatu dalam pencapaiannya: Zero Leprosy, Zero
Disability dan Zero Stigma. Pemerintah Indonesia dan global mempunyai tujuan yang
sejalan untuk menuntaskan penyakit ini dengan melaksanakan program eliminasi kusta.
Zero disability ditunjukkan dengan capaian indikator kusta tanpa cacat (Disabilitas
tingkat nol).

Indikator Persentase Penderita Kusta yang Menyelesaikan Pengobatan Kusta Tepat


Waktu (RFT Rate) penderita kusta PB maupun MB tahun 2022 merupakan indikator
tahunan, perhitungan indikator tersebut didapatkan setelah penderita dinyatakan selesai
pengobatan untuk tipe PB 6-9 bulan dan tipe MB 12-18 bulan. Untuk menghitungnya
adalah diambil data dari kasus terdaftar dari penderita kusta di tahun 2021 untuk
penderita kusta PB dan pasien terdaftar tahun 2020 untuk penderita MB. Indikator ini
menunjukkan masih ada penderita dalam waktu tertentu yang dinyatakan status
pengobatannya di tahun 2022, artinya bahwa indikator ini mempunyai peran dalam
menunjang indikator eliminasi kusta di Indonesia. Untuk menentukan eliminasi kusta
perlu diketahui apakah masih ada penderita kusta yang status pengobatannya belum
RFT, dapat berupa defaulter atau pindah atau meninggal sebelum RFT, sehingga
penularan dapat tejadi di keluarga atau masyarakat sekitar, dan dapat terjadi penderita
baru di wilayah tersebut.
h a l a m a n | 56

Dalam periode 5 tahun ini, di tahun 2020 adanya pandemi Covid 19, dimana seluruh
kegiatan dan pengadaan berfokus untuk penanganan vaksinasi Covid-19, sehingga
dalam ketersediaan dan distribusi MDT kusta dari WHO mengalami keterlambatan
sehingga menimbulkan dampak pada penyelesaikan pengobatan penderita kusta di
daerah.

Adanya refokusing seluruh dana dekon di tahun 2020 untuk penanganan Covid-19 dan
ditiadakan dana dekon di tahun 2021, mempunyai dampak pada kegiatan program
pencegahan dan pengendalian kusta di provinsi dan kabupaten kota, terutama dalam
superfisi dan monitoring program, sehingga pemantauan penderita kusta yang masih
dalam pengobatan serta pemantauan dalam pencatatan dan pelaporan yang dilakukan
oleh pengelola kusta puskesmas belum dapat dilakukan.

Beberapa penderita kusta mencari pengobatan ke rumah sakit, karena masih adanya
stigma, lokasi yang lebih dekat dan adanya harapan mendapatkan kepuasan dalam
layanan pengobatan. Namun dalam perjalanan pengobatan dengan lamanya
pengobatan yang telah ditetapkan sesuai standar pengobatan yaitu 6 bualn untuk PB
dan 12 bulan untuk MB, sehingga penderita ada yang tidak sembuh, tetapi mengalami
defaulter, mangkir, sehingga menurunkan capaian RFT PB/MB.

Belum maksimalnya sosialisasi Kepmenkes RI nomor HK.01.07/MENKES/308/2019


tentang Pedoman nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Kusta tatalaksana kusta
di seluruh Indonesia untuk organisasi profesi, yang merupakan paduan profesi dalam
menjalankan tatalakasana kusta di wlilayah masing-masing, dan juga belum
tersosialisasinya Kepmenkes RI nomor HK/01.07/MENKES/1936/2022 tentang
Pedoman Praktik Klinik Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingka Pertama,
dimana kusta di layanan primer merupakan tingkat kompetensi 4A, artinya kusta tanpa
komplikasi dan tanpa reaksi harus dapat ditanganin di FKTP, sehingga pemantauan
pengobatan sampai sembuh dapat dilakukan di FKTP tersebut.

Keterbatasan dalam mendapatkan MDT, sehingga penderita mengalami keterlambatan


dalam proses pengobatan, dan masa pengobatan yang panjang sehingga banyaknya
penderita kusta tidak menyelesaikan pengobatan tepat waktu bahkan mengalami
defaulter.

Angka mutasi petugas kesehatan baik di tingkat kabupaten/kota maupun di layanan


kesehatan cukup tinggi sehingga dalam pemantauan program pencegahan dan
pengendalian penyakit kusta terutama dalam tatalaksana kusta tidak maksimal;

Sebagian besar kabupaten/kota kusta tidak dipandang sebagai prioritas masalah


kesehatan masyarakat. Hal ini berakibat sebagian besar wilayah kantong kusta tidak
mendapat perhatian baik dalam kebijakan program maupun dalam pendanaan;

Masih tingginya stigma, baik self-stigma pada penderita kusta maupun stigma pada
petugas kesehatan, keluarga penderita dan masyarakat dan juga adanya diskriminasi
h a l a m a n | 57

terhadap penderita kusta sehingga dalam proses pengobatan tidak maksimal;

Kurangnya pengetahuan dan pemahaman penderita kusta, keluarga penderita serta


masyarakat di lingkungannya terhadap penyakit kusta, sehingga penderita kusta tidak
mendapatkan pelayanan kesehatan yang semestinya.

f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator:


1. Sosialisasi Program P2 Kusta pada saat Hari Kusta Sedunia. Kegiatan ini lakukan
untuk seluruh masyarakat di seluruh Indonesia, baik untuk para tenaga medis maupun
lapisan masyarakat yang dilakukan secara daring. Kegiatan ini tentunya berguna
untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat terutama dalam tatalaksana penderita
kusta, sehingga penderita kusta dapat disembuhkan.

2. Intensifikasi Penemuan Kasus Kusta dan Frambusia (Intensified Case Finding/ ICF)
(Pelaksanaan dan pendampingan). Kegiatan tersebut terdiri dari pelaksanaan
kegiatan oleh kabupaten/kota endemis kusta terpilih di 43 Kabupaten/kota di 32
Provinsi dan pendampingan pelaksanaan oleh tim pusat menggunakan dana APBN.
Pelaksanaan penemuan kasus difokuskan pada daerah lokus kusta dengan tujuan
selain untuk meningkatkan penemuan kasus kusta secara dini juga melakukan
pemantauan terhadap pengobatan kusta yang sedang dilakukan termasuk apabila
terjadi reaksi kusta pada penderita kusta.
h a l a m a n | 58

3. Workshop P2 Kusta dan Frambusia bagi Dokter Rujukan Kusta dan Frambusia.
Kegiatan ini dilaksanakan secara daring dengan peserta adalah dari dokter yang
melakukan pelayanan kesehatan di kabupaten/kota. Adapun peserta yang terdiri dari
dokter, merupakan rekomendasi dari kabupaten/kota yang mempunyai komitmen
sebagai dokter rujukan kusta di wilayahnya masing-masing.

4. Pelatihan Pencegahan dan Pengendalian Kusta Bagi Pengelola Program Kusta.


Kegiatan ini dilakukan secara tatap muka yang dilakukan di Makasar. Kegiatan ini
berguna untuk meningkatkan kompetensi pengelola kusta baik selain untuk
managemen pencegahan dan pengendalian penyakit menular, juga sebagai
kompetensi dalam tatalaksana kusta.
h a l a m a n | 59

5. Monitoring MDT Program P2P Kusta dan managemen logistik obat. Kegiatan ini
dilakukan untuk memantau pencapaian program kusta di kabupaten/kota di provinsi
terpilih. Kegiatan ini tidak saja untuk melihat dari sisi ketersedian MDT kusta juga
untuk memantau apakah penderita ada yang mengalami reaksi serta memantau
status pengobatan penderita kusta yang masih dalam pengobatan, serta melakukan
pemantauan terhadap penderita yang default.

6. Menyelenggarakan Kegiatan Gerakan Masyarakat Kampanye Eliminasi Kusta dan


Frambusia bersama mitra pemerintah yaitu DPR RI Komisi IX. Kegiatan ini
dilaksanakan pada 7 kabupaten/kota terpilih, yaitu Kabupaten Garut dan Kota
Tasikmalaya (Provinsi Jawa Barat), Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten PALI
(Provinsi Sumatera Selatan), Kabupaten Majene (Provinsi Sulawesi Tenggara) ,
Kabupaten Batubara (Provinsi Sumatera Utara) dan Kabuoaten Timor Tengah
Selatan (Provinsi Nusa Tenggara Timur). Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah
melakukan sosialisasi program kusta kepada masyarakat di wilayah tersebut serta
advokasi kepada pimpinan setempat serta lintas program dan lintas sektor untuk
mendapatkan dukungan kebijakan dan kemitraan daerah serta terlibat dalam
pemantauan penderita kusta dalam dalam masa pengobatan dan selesai pengobatan;
h a l a m a n | 60

7. Menyelenggarakan Pertemuan Evaluasi Program dan Validasi Data Kohort Nasional


P2 Kusta yang bertujuan melakukan monitoring dan evaluasi program yang
dilaksanakan oleh provinsi di Indonesia serta melakukan validasi dan finalisasi data
tahun 2022 dan tahun sebelumnya, kegiatan ini dilakukan secara daring dengan
narasumber dari tim pencatatan dan pelaporan kusta;

8. Fasilitasi Kegiatan Koordinasi dan Kemitraan Program P2P Kusta. Kegiatan ini
dilakukan atas dasar kebutuhan daerah dalam pelaksanaan kegiatan, seperti
undangan untuk mendampingi kegiatan dalam pelaksanaan program kusta dan
frambusia, launching kemoprofilaksis kusta di Kabupaten Kep. Morotai dan kegiatan
kemitraan lainnya.
h a l a m a n | 61

g. Kendala/masalah yang dihadapi:


1. Kelengkapan data final RFT program P2 Kusta untuk penderita kusta PB tahun 2021
dan untuk penderita kusta MB tahun 2020 yang dikirimkan melalui laporan SIPK
provinsi dan kabupaten/kota termasuk data kebutuhan MDT sehingga data yang
terlaporkan ke pusat belum lengkap;
2. Pencapaian tahun 2022 yang belum maksimal dikarenakan pengumpulan data
dengan melakukan validasi data di awal bulan Januari tahun 2023 dimana
pencacatan dan pelaporan dilakukan baik oleh layanan kesehatan maupun
kabupaten/kota belum terekap dengan lengkap termasuk untuk wilayah timur seperti
Papua dan Papua Barat dimana awal bulan masih berlangsungnya cuti bersama
dalam memperingati hari natal dan tahun baru bahkan sampai minggu pertama bulan
Januari 2023, sehingga pencacatan dan pelaporan yang dikirimkan belum maksimal;
3. Pengelola provinsi, kabupaten/kota dan puskesmas yang telah dilatih dan telah
dilakukan on the job training dipindah, dan belum ada pengganti sehingga
pencacatan dan pelaporan dari status pengobatan penderita kusta tidak diketahui;
4. Adanya penderita kusta yang berada di lokasi yang sulit dijangkau, dan akses yang
terbatas dari petugas kesehatan untuk menuju pelayanan kesehatan menyebabkan
penderita kusta tidak dapat menyelesaikan pengobatan;
5. Penderita kusta dalam memberikan alamat tidak sesuai dengan tempat tinggal,
sehingga petugas kesehatan sulit melacak keberadaan dalam memantau status
pengobatan, sehingga RFT sulit didapat;
6. Masih banyaknya pengobatan penderita kusta yang datang ke rumah sakit, tidak
menyelesaikan pengobatan sampai tuntas, bahkan tidak diketahui keberadaannya,
karena tidak terbangunnya jejaring fasyankes sehingga status pengobatan tidak
diketahui;
7. Adanya kekurangan ketersediaan logistik MDT (Multi Drug Therapy) di daerah untuk
mengobati pasien kusta dikarenakan adanya perhitungan yang tidak tepat mulai dari
fasyankes sampai provinsi sehingga penderita kusta ada yang tidak mendapat MDT;

h. Pemecahan masalah:
1. Melakukan validasi data secara berjenjang, mulai dari kabupaten/kota, dan provinsi
yang dilakukan dengan menggunaan dana masing-masing daerah, sehingga data
h a l a m a n | 62

yang diperoleh adalah data yang valid.


2. Melakukan superfisi dan monitoring mulai dari pusat ke provinsi, kabupaten sampai
puskesmas dan melakukan pendampingan provinsi dan atau kab/kota yang
mempunyai RFT kurang dari 90% dan mengidentifikasi permasalahan;
3. Adanya kebijakan di dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota untuk pengelola
program kusta agar SDM yang telah di latih atau telah dilakukan on the job training
tidak terjadi mutasi atau rotasi.
4. MDT dapat dititipkan ke puskesmas pembantu terdekat atau diberikan dalam
beberapa blister sehingga penderita tidak mengalami putus berobat.
5. Melaksanakan puskesmas keliling yang berkolaborasi dengan program lainnya guna
melakukan kunjungan ke daerah yang sulit dijangkau.
6. Pendataan penderita kusta diharapkan selain mencantumkan sesuai KTP juga
mencantumkan alamat dimana tinggal pada saat pengobatan berlangsung serta
nomor kontak penderita dan keluarga yang dapat dihubungi guna keberlangsungan
pengobatan penderita sampai sembuh.
7. Melakukan koordinasi dengan rumah sakit yang menangani penderita kusta agar
membuat jejaring dan kesepakatan pencacatan pelaporan, sehingga status
pengobatan penderita kusta dapat terecord dan penderita kusta diketahui status
pengobatannya.
8. Melakukan perhitungan MDT kusta yang tepat secara berjenjang dan dilaporkan
setiap tribulan ke pusat sehingga pusat mendapatkan data yang tepat sehingga dapat
melakukan permintaan MDT ke WHO juga sesuai dengan perhitungan yang telah
dilakukan.

6. Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar


a. Penjelasan Indikator
Pengendalian ISPA dititik beratkan pada pengendalian penyakit pneumonia, karena
penyakit pneumonia yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap angka kesakitan dan
kematian Balita. Kegiatannya meliputi deteksi dini dan tatalaksana kasus pneumonia
pada balita.
Balita yang datang atau berobat dengan keluhan batuk atau kesukaran bernapas harus
diberikan tatalaksana pneumonia, dengan menghitung napas selama 1 menit penuh dan
melihat ada tidaknya Tarikan Dinding Dada bagian bawah Kedalam (TDDK), baru
kemudian diklasifikasi menjadi pneumonia, pneumonia berat dan batuk bukan
pneumonia, serta diberikan tatalaksana sesuai klasifikasi yang telah ditentukan.
Terdapat perluasan definisi tatalaksana pneumonia standar, yang sebelumnya hanya
menekankan pada penemuan kasus melalui pendekatan MTBS menjadi penemuan
kasus dan pengobatan standar menggunakan antibiotik

b. Definisi Operasional

Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar adalah Persentase kasus


pneumonia balita yang ditemukan dan diberikan pengobatan antibiotik.

c. Rumus/cara perhitungan
h a l a m a n | 63

Persentase kasus pneumonia balita yang diberikan antibiotik = Jumlah kasus


pneumonia balita yang diobati dengan antibiotik dibagi dengan total kasus pneumonia
balita yang ditemukan di Fasyankes dikali 100.
d. Capaian Indikator

Target Indikator program ISPA berdasarkan RENSTRA kemenkes 2022-2024


yaitu persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar adalah sebagai berikut:

2022 2023 2024

50% 70% 95%

Berikut data capaian indikator pengobatan kasus pneumonia sesuai standar pada tahun
2022
Pelaporan Penemuan Pengobatan Persentase
TW 1 81.430 25.737 32%
TW 2 116.903 50.534 43%
TW 3 148.704 74.845 50%
TW 4 166.702 88.681 53%

Capaian indikator persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar pada tahun
2022 sebesar 53%, capaian ini sudah melebihi target yang ditetapkan yaitu sebesar
50%.

Grafik 3.16 Target dan Capaian Persentase Pengobatan Kasus Pneumonia


Sesuai Standar Tahun 2022
100%
100%

85%
99%
99%
98%
97%
95%
93%
89%

100%
78%
77%
77%
74%
71%

90%
70%
65%

80%
54%

53%
53%
51%

70%
49%

60%
39%

50%
23%

40%
13%

30%
20%
1%

0%
0%

0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%

10%
0%
Jambi
Bali

Papua Barat

Maluku
Kalimantan Timur

DKI Jakarta
Sulawesi Barat

Sulawesi Selatan
Jawa Barat

Bengkulu
Riau

Nasional
Sulawesi Tenggara

Kalimantan Selatan

Sumetera Selatan

Lampung

Nusa Tenggara Timur

Papua
Aceh

Banten

Kalimantan Barat

Sumatera Barat

Jawa Tengah
Sulawesi Tengah

Maluku Utara

Sulawesi Utara
Kalimantan Utara

Gorontalo

Jawa Timur

Sumatera Utara

Kep. Riau

DI Yogyakarta
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Tengah
Kep. Bangka Belitung

Persentase Target

sumber : Laporan Rutin P2 ISPA


h a l a m a n | 64

Grafik diatas menunjukkan terdapat 20 Provinsi yang sudah melaporkan capaian diatas
target persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar yang sudah ditetapkan
yaitu sebesar 50 %, sedangkan 8 Provinsi belum melaporkan persentase pengobatan.

Grafik 3.17 Target capaian indikator Pengobatan kasus pneumonia


sesuai standar 2022-2022

95%

70%

53%
50%

N/A N/A

2022 2023 2024

Target Capaian

e. Analisa Penyebab Keberhasilan Pencapaian


Persentase kasus pneumonia pada balita yang diberikan antibiotik mencapai mencapai
target 53 % karena:
1. Sudah ada pedoman tatalaksana untuk kasus pneumonia balita di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama
2. Adanya kegiatan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dan pebgelola program
ISPA dalam tatalaksana pneumonia sesuai standar termasuk dalam pencatatan dan
peloporan pneumonia
3. Adanya kegiatan Pendampingan, Supervisi dan Monitoring Evaluasi Program
Pneumonia di Tingkat Provinsi

f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator


Kegiatan dalam mencapai indikator program P2 ISPA berupa Layanan pencegahan
dan pengendalian penyakit ISPA yang meliputi;
1. Koordinasi Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Pneumonia
a) Penguatan jejaring dan Kemitraan Program Pneumonia
Kegiatan koordinasi guna mendukung program kesehatan secara umum dan secara
khusus dalam peningkatan capaian program P2 ISPA, terlaksana 36 kegiatan
h a l a m a n | 65

koordinasi di 6 provinsi antara lain: Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI


Jakarta Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta

b) Pertemuan Teknis Penanggung Jawab Program ISPA Tingkat Daerah


Kegiatan ini bertujuan untuk mensosialisasikan perubahan indikator ISPA
serta penambahan pencatatan pelaporan di laporan rutin ISPA. Kegiatan dilaksanakan
secara daring sebanyak 5 kali pertemuan dengan peserta terdiri dari Penanggung
Jawab program ISPA di Dinas Kesehatan 34 Provinsi, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan Puskesmas.
h a l a m a n | 66

2) Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Pneumonia


Sosialisasi Program P2 Penyakit ISPA (GERMAS)
Kegiatan ini dilaksanakan dengan bentuk swakelola. Kegiatan yang dilakukan berupa
pertemuan advokasi dan sosialisasi terkait ISPA kepada pemangku kepentingan lokal
bekerjasama dengan Pejabat Lintas Sektor. Undangan pada kegiatan ini adalah Lintas
Program, Lintas Sektor terkait dan Kepala Puskesmas dan masyarakat.
Metode kegiatan berupa presentasi/ ceramah dan diskusi. Materi yang dipresentasikan
adalah Sosialisasi Tanda dan Gejala Pneumonia dan Influenza di masyarakat.
Diharapkan pada akhir kegiatan ada Rencana Tindak Lanjut yang disepakati oleh seluruh
peserta dan ditindaklanjuti dalam bentuk Rencana Aksi Daerah. Dengan adanya advokasi
dan sosialisasi ini diharapkan program berjalan dengan lebih baik dengan dukungan
pemangku kepentingan dan lintas sektor di daerah tersebut.
Advokasi dan Sosialisasi Program P2 Penyakit ISPA (GERMAS) terlaksana 8 kegiatan di
3 provinsi yaitu; Sumatera Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan
h a l a m a n | 67

3) Pendampingan, Supervisi dan Monitoring Evaluasi Program Pneumonia


Supervisi Penyakit Influenza Tingkat Provinsi
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang menyerang organ
pernafasan dari hidung sampai alveoli dan organ adneksa nya (sinus, rongga telinga
tengah, dan pleura) yang disebabkan oleh lebih dari 300 jenis mikroorganisme seperti
bakteri, virus atau jamur. Penyakit ISPA ditandai dengan kejadian singkat/ muncul secara
tiba-tiba dan sangat mudah menular ke siapa saja terutama pada kelompok rentan yaitu
bayi, balita dan lansia. ISPA merupakan salah satu dari 10 penyakit terbanyak di fasilitas
pelayanan kesehatan mulai dari yang paling ringan seperti rhinitis hingga penyakit-
penyakit yang diantaranya dapat menyebabkan wabah atau pandemi, seperti influenza
dan yang menyebabkan kematian yaitu pneumonia.
Pengendalian ISPA dititik beratkan pada pengendalian penyakit pneumonia, karena
penyakit pneumonia yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap angka kesakitan dan
kematian Balita. Kegiatannya meliputi deteksi dini dan tatalaksana kasus pneumonia pada
balita.
Untuk itu diperlukan upaya yang sinergis diantara petugas dilapangan baik di tingkat pusat
sampai dengan puskesmas guna mengendalikan angka morbiditas dan mortalitas ISPA /
Pneumonia pada balita tersebut, salah satu yang akan kami lakukan yaitu dengan
mengadakan kegiatan Bimbingan Teknis Program P2 ISPA pada petugas ISPA Provinsi,
Kabupaten/Kota, Puskesmas di masing-masing provinsi. Dengan kegiatan Bimbingan
Teknis Program P2 ISPA kepada petugas baik di Provinsi, Kabupaten/Kota, Puskesmas
yang berkesinambungan, diharapkan implementasi program P2 ISPA disemua level
berjalan sesuai dengan arah kebijakan nasional yang telah ditetapkan dan standar
operasional prosedur (SOP) yang ada.
Kegiatan ini adalah kegiatan swakelola yang dilaksanakan berupa perjalanan dinas yang
dilakukan ke provinsi dan dilengkapi dengan tools yang akan menilai berjalannya program
di daerah dalam hal ini terkait program P2 Penyakit ISPA itu sendiri dan penilaian
berjalannya Surveilans Influenza dan COVID-19 melalui sentinel yang sudah ada. Pada
kesempatan itu juga dilaksanakan On The Job Training bagi petugas di lapangan.
Kegiatan ini terlaksana di 14 provinsi antara lain; Sumatera Utara, Bangka Belitung, Riau,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua.
h a l a m a n | 68

f. Kegagalan/masalah yang dihadapi


Masalah yang dihadapi dalam capaian indikator persentase pengobatan kasus
pneumonia sesuai standar adalah:
1. Perubahan indikator pada bulan April Tahun 2022 yang sebelumnya hanya
menekankan pada penemuan kasus melalui pendekatan MTBS menjadi penemuan
kasus dan pengobatan standar menggunakan antibiotik.
2. Format pencatatan pelaporan sebelumnya tidak ada kolom pengobatan sehingga
dibuat format pencatatan pelaporan tambahan
3. Belum semua Puskesmas tersosialisasi dengan penambahan variabel di sistem
pencatatan dan pelaporan, hal ini menyebabkan kesulitan dalam perhitungan
indikator.
4. Kurangnya pengetahuan petugas dalam penegakkan diagnosis dan
penatalaksanaan pneumonia
g. Pemecahan masalah
Upaya yang dilakukan dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi adalah
h a l a m a n | 69

• Sosialisasi ditingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Puskesmas mengenai tatalaksana


kasus pneumonia
• Sosialisasi terkait penambahan variabel pengukuran indikator dalam
pencatatan pelaporan
• Melakukan supervisi ke beberapa Provinsi dan melakukan bimbingan teknis
mengenai tatalaksana pneumonia dan pencatatan pelaporan ISPA dibeberapa
Puskesmas terpilih

7. Persentase pengobatan kasus diare sesuai standar


a. Penjelasan Indikator
Pengendalian penyakit infeksi saluran pencernaan khususnya diare sangat tergantung
dengan tatalaksana yang diberikan. Tatalaksana yang sesuai standar yaitu dengan
pemberian oralit dan zinc pada balita diare. Dengan tatalaksana yang benar maka
diharapkan terjadinya penurunan angka kematian, angka kesakitan serta dapat
mencegah terjadinya diare berulang yang nantinya dapat mencegah terjadinya kasus
stunting pada balita.

b. Definisi Operasional
Persentase balita diare yang mendapat tatalaksana standar dengan pemberian oralit
dan zinc

c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah balita diare yang diobati sesuai standar dibagi seluruh balita diare dikali 100

d. Capaian Indikator
Berdasarkan data pada grafik, capaian indikator nasional tahun 2022 sebesar 92,20%.
Angka tersebut artinya sudah berhasil melebihi target pada tahun 2022, yaitu 50%.
Meskipun sudah mampu melebihi target, namun masih ada satu provinsi yang belum
mencapai target, yaitu Provinsi Sulawesi Tenggara dengan capaian 42,97%.

Grafik 3.18 Target dan Capaian Persentase Pengobatan Diare sesuai Standar
h a l a m a n | 70

e. Analisa Penyebab Keberhasilan Pencapaian


Persentase pengobatan kasus diare sesuai dapat mencapai mencapai target karena:
1. Adanya peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dan pengelola program terkait
tatalaksana diare sesuai standar dan pencatatan dan pelaporan diare;
2. Adanya kegiatan pendampingan dan pemantauan kualitas layanan P2 Diare di
tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan puskesmas;
3. Tersedianya Pedoman Tatalaksana Diare, baik softcopy maupun hardcopy yang
dapat menjadi acuan bagi tenaga kesehatan dalam pengobatan balita diare;
4. Adanya kerjasama lintas program dalam mendukung pelaksanaan P2 Diare.

f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator


1) Sosialisasi Pengobatan Diare
Kegiatan sosialisasi dilakukukan kepada masyarakat dan dilaksanakan bersama
mitra Kemenkes, yaitu Komisi IX DPR RI. Pada kegiatan ini, dipaparkan materi terkait
penyebab, cara pencegahan dan pengobatan diare. Kegiatan ini bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap penyakit diare,
sehingga dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat diare, terutama
pada balita. Pada tahun 2022, kegiatan dilaksanakan di 4 lokasi, yaitu Kota Surabaya,
Kab. Karawang, Kab. Purwakarta, dan Kota Tomohon.
h a l a m a n | 71

2) Peningkatan kapasitas pengelola program dan tenaga kesehatan


Kegiatan peningkatan kapasitas dilakukan secara daring selama 3 hari dan
mengundang seluruh pengelola program diare di Indonesia. Materi yang disampaikan
pada kegiatan orientasi yaitu terkait tatalaksana diare pada balita dan dewasa serta
pencatatan dan pelaporan diare. Tujuan diselenggarakannya orientasi ini yaitu untuk
penyegaran materi terkait diare serta peningkatan kapasitas petugas pencatatan dan
pelaporan, sehingga harapannya dapat meningkatkan capaian indikator.

3) Bimbingan Teknis Pemantauan Minum Zinc pada Balita Diare


Pemantauan minum zinc diperlukan untuk memantau kepatuhan minum zinc pada
balita diare secara lengkap selama 10 hari. Pemberian zinc selama sepuluh hari dapat
mencegah terjadinya diare berulang dan mengurangi tingkat keparahan penyakit.
Diare yang berulang dapat menyebabkan stunting. Oleh karena itu. Kegiatan
bimbingan teknis dilaksanakan di dinas kesehatan dan puskesmas.
h a l a m a n | 72

4) Bimbingan Teknis Pencatatan dan Pelaporan Diare


Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu hal yang penting dalam
keberjalanan program karena diperlukan untuk monitoring dan evaluasi. Pencatatan
dan pelaporan yang baik akan memudahkan berbagai pihak untuk memantau capaian
indikator setiap bulannya serta dapat mengidentifikasi permasalahan yang terjadi di
daerah, khususnya terkait tatalaksana diare. Kegiatan bimbingan teknis pencatatan
dan pelaporan dilakukan di dinas kesehatan setempat dengan mendatangkan
petugas puskesmas. Pada kegiatan ini, para petugas puskesmas akan dilatih untuk
melakukan pencatatan dan pelaporan secara online melalui SIHEPI (Sistem Informasi
Hepatitis dan PISP).

5) Kerjasama dengan organisasi profesi seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia), Ikatan
Dokter Indonesia (IDAI) untuk meningkatkan layanan diare yang komprehensif dan
terstandar.

6) Melakukan kemitraan baik lokal maupun internasional seperti civitas akademika, CDC
Indonesia, WHO Indonesia, dan UNICEF Indonesia untuk mendapatkan dukungan
dan partisipasi dalam keberjalanan program P2 Diare.

g. Masalah yang dihadapi


1) Undetected (under-diagnosis cases)
Orang yang sakit diare namun belum mengakses layanan (14% balita pernah
menderita diare dalam 2 minggu sebelum survei. Di antara balita tersebut, 80 persen
dibawa ke fasilitas atau tenaga kesehatan)
2) Under-reporting cases
Orang yang sudah mengakses layanan, namun belum terlaporkan atau tercatatkan.
Bisa terjadi di faskes pemerintah dan swasta baik primer ataupun rujukan.
3) Frekuensi pergantian pengelola program PISP yang sering sehingga kapasitas
pengelola program PISP tidak maksimal dalam melaksanakan program.
h a l a m a n | 73

4) Masih rendahnya kepatuhan pengelola program untuk mengirimkan laporan bulanan


PISP propinsi.
5) Tidak teralokasikan kegiatan layanan rehidrasi oral aktif (LROA) dalam anggaran
APBN pusat dan dana dekonsentrasi serta APBD sehingga capaian indikator tidak
maksimal.
6) Kurangnya dukungan pemerintah daerah, dinas kesehatan, dan masyarakat
terhadap penyakit infeksi saluran pencernaan terutama diare baik dalam
pelaksanaan tata laksana diare, surveilans KLB, pelatihan petugas kesehatan,
logistik (oralit dan zinc) dan alokasi anggaran untuk kegiatan-kegiatan pendukung.
7) Belum semua petugas di puskesmas melaporkan data secara online melalui SIHEPI
sehingga menyulitkan untuk analisis dan rekapitulasi data khsususnya di level pusat.

h. Pemecahan masalah
1) Mengatasi masalah Undetected (under-diagnosis cases) dengan cara melakukan
active case finding dengan kegiatan edukasi di masyarakat dan tokoh masyarakat
serta LS dan LP, pemberdayaan kader untuk penemuan kasus di masyarakat.
2) Mengatasi masalah Under-reporting cases dengan melakukan kegiatan validasi
data di Puskesmas, penyisiran kasus di fasyankes swasta, mengguankan format
catpor standar dan seragam.
3) Peningkatan Kapasitas Pengelola program dalam tatalaksana termasuk dalam
pencatatan dan pelaporan.
4) Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dalam tatalaksana diare.
5) Optimalisasi kemitraan dengan LSM, akademisi, mitra dalam dan luar negeri, ahli,
UN serta lintas program.
6) Mobilisasi pendanaan, dan bantuan teknis.
7) Bekerja sama dengan Nutrion International Indonesia dalam melakukan refresh tata
laksana diare dan kajian kepatuhan pemberian oralit dan zinc oleh petugas
kesehatan di propinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Timur dan NTB.
8) Melakukan integrasi program dengan Direktorat Kesehatan Keluarga pada
kelompok anak sekolah yang melakukan upaya pencegahan demam tifoid berupa
kegiatan penyuluhan pada anak sekolah dan penjaja makanan di sekitar sekolah.
9) Introduksi imunisasi Rotavirus serta pelaksanaan survei sentinel diare
10) Pemanfaatan teknologi informasi untuk penguatan kapasitas, bimbingan teknis,
monitoring dan evaluasi program pada masa pandemi Covid 19.
11) Optimalisasi sumber daya yang ada dalam rangka percepatan pencapaian target.
12) Terus mendorong agar petugas pencatatan dan pelaporan di level puskesmas untuk
dapat melaporkan data diare secara online melalui SIHEPI dengan cara
memberikan bimbingan dan pelatihan.

8. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan C pada populasi
berisiko
a. Penjelasan Indikator
Hepatitis merupakan peradangan hati yang disebabkann oleh infeksi (Virus, Bakteri, dan
parasite) dan Non Infeksi (alkohol, obat-obatan, penyakit autoimun dan lain sebagainya) yang
menyebabkan masalah kesehatan. Ada 5 Jenis utama virus hepatitis yaitu tipe A, B, C, D,
h a l a m a n | 74

dan E. Meskipun semuanya menyebabkan penyakit hati tapi berbeda dalam cara penularan
dan tingkat keparahan dan pencegahannya. Tipe B dan C paling umum menyebabkan
penyakit kronis dan yang kemudian akan berkembang menjadi sirosis hati, kanker hati dan
kematian karena virus hepatitis sehingga diperlukan deteksi dini untuk mencegah masalah
Kesehatan yang mungkin timbul dan untuk mencegah penularan virus hepatitis B dan C.
Pengendalian penyakit Hepatitis B dan C akan sangat efektif bila dilakukan pemutusan dan
pencegahan penularan serta pengobatan pada kelompok berisiko tinggi.populasi berisiko
tinggi.
Deteksi dini hepatitis B dilakukan dengan menggunakan Rapid Diagnostic Test (RDT) HBsAg
atau dengan ELISA pada ibu hamil dan kelompok berisiko lainnya dan Deteksi Dini Hepatitis
C dengan menggunakan Rapid Diagnostic Test (RDT) Anti HCV.
Indikator Persentase Kabupaten/Kota Yang Melaksanakan Deteksi Dini Hepatiits B dan atau
C Pada populasi berisiko merupakan indikator yang menggambarkan penyebaran/berapa
kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan atau C pada salah satu
populasi berisiko yaitu ibu hamil, tenaga Kesehatan, WBP, Penasun, ODHA, Pasien HD, dll)
Saat ini deteksi dini hepatitis B diprioritaskan pada ibu hamil karena di Indonesia penularan
Hepatitis B umumnya terjadi secara vertikal yaitu dari ibu hepatitis B kepada bayi yang
dilahirkannya, dan bila terinfeksi Virus Hepatitis B saat bayi, 95% akan menjadi kronis.
Sangat penting untuk melakukan deteksi dini hepatitis B pada ibu hamil sehingga bisa
dilakukan tindakan pencegahan misalnya dengan pemberian Immunoprofilaksis Hepatiti B
(HBIg) pada bayi dari ibu yang terdeteksi hepatitis B dan pengobatan secepatnya kepada ibu
yang terdeksi Hepatitis B.

b. Definisi Operasional
Jumlah kabupaten/kota yang salah satu fasyankesnya melaksanakan deteksi dini Hepatitis
B dan atau Hepatitis C pada populasi berisiko

c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan atau C pada salah
satu populasi berisiko yaitu ibu hamil, tenaga Kesehatan, WBP, Penasun, ODHA, Pasien HD,
dll) dibagi jumlah kabupaten/kota diseluruh Indonesia dikali 100

Jumlah kabupaten/kota yang


= melaksanakan deteksi dini Hepatitis
Persentase kabupaten/kota B dan atau C pada salah satu
yang melaksanakan deteksi populasi berisiko yaitu ibu hamil,
X 100%
dini hepatitis B dan C pada tenaga Kesehatan, WBP, Penasun,
populasi berisiko ODHA, Pasien HD, dll)
jumlah kabupaten/kota diseluruh
Indonesia
h a l a m a n | 75

d. Capaian Indikator

Capaian Tahun 2022 target kinerja belum tercapai, dari 95% kabupaten/kota yang
ditargetkan melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan atau C pada populasi berisiko hanya
sebesar 94% atau sebanyak 483 kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini. Walaupun
ada peningkatan dibanding tahun 2021 tapi bila dibandingkan dengan target masih belum
tercapai seperti tergambar pada grafik di bawah ini

Grafik 3.19 Target dan Capaian Persentase kabupaten/kota melaksanakan Deteksi Dini
Hepatitis B dan atau C pada populasi berisiko Tahun 2020 – 2022

100 100
94
93
91
95

90

85

2020 2021 2022 2023 2024


Target 85 90 95 100 100
Capaian 91 93 94

Sumber: Laporan Rutin Program Hepatitis, Update 16 Januari 2023

Grafik 3.20 Persentase Kabupaten/kota melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan


atau C pada populasi berisiko Berdasarkan Provinsi Tahun 2022
100,0

100,0
100,0
100,0

100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0

100,0
100,0
100,0
100,0
100,0

94,0
92,9
86,7

100
82,4
76,9
75,8
90
80
70
51,7

60
50
40
30
20
10
0
Kepulauan Bangka…
Riau

Bali
Jawa Tengah

Kalimantan Utara
Sulawesi Tengah

Sumatera Utara
DI Yogyakarta

Maluku Utara

Sulawesi Utara
Aceh

Banten

Kalimantan Tengah

Gorontalo

Indonesia
Jambi

Lampung

Kepulauan Riau

Jawa Timur
Bengkulu

Kalimantan Timur

Papua
DKI Jakarta

Kalimantan Selatan

Sulawesi Selatan

Maluku
Sumatera Selatan

Jawa Barat

Sulawesi Barat

Papua Barat
Sumatera Barat

Nusa Tenggara Timur

Kalimantan Barat

Sulawesi Tenggara
Nusa Tenggara Barat

Capaian (%) Target (95%)

Sumber: Laporan Rutin Program Hepatitis, Update 16 Januari 2023


h a l a m a n | 76

Dari 34 Provinsi yang ada, terdapat 28 Provinsi (82,4%) sudah seluruh kabupaten/kotanya
melaksanakan skrining Penyakit menular (hepatitis B dan atau C) pada populasi berisiko.
Tapi masih terdapat 6 Provinsi (17,6%) Yang kabupaten/kotanya masih belum mencapai
target 95% kabupaten/kota melaksanakan skrining penyakit menular pada kelompok berisiko
dengan capaian terendah yaitu Papua 51,7% kemudian Provinsi Sumatera Utara 75,8%,
Papua Barat 76,9, Sulawesi tenggara 82,4%, Sulawesi Utara 86,7 dan Kalimantan Barat
92,9%. Penyebab capaian di 6 Provinsi belum mencapai target karena :
- Belum semua kabupaten kota mengumpulkan laporan per 25 Januari 2023
- Hepatitis belum menjadi prioritas di daerah terutama daerah papua, sehingga bila tidak
ada anggaran baik dari APBD maupun BOK, kegiatan heaptiits B tidak dilaksanakan.

e. Analisa Penyebab Kegagalan Pencapaian


Target Indikator Persentase Kabupaten/Kota Yang Melaksanakan Deteksi Dini Hepatiits B
dan atau C Pada Populasi Berisiko tahun 2022 sebesar 95% tidak bisa tercapai. Capaian
target hanya sebesar 94%. Data ini belum final karena validasi data masih dilakukan ditingkat
provinsi dan akan dilakukan di tingkat Nasional akhir bulan Januari 2023. Melihat pola
capaian dan pola pengumpulan data biasanya akan meningkat setelah dilaksanakan validasi
data, kemungkinan indicator kinerja bisa mencapai 95%. Hal-hal yang mempengaruhi
pencapaian tersebut adalah :
1. Teknologi Komunikasi
Pemanfaaatan Teknologi komunikasi seperti zoom meeting dan kanal youtube yang bisa
menjangkau semua lapisan mulai dari tingkat layanan (Puskesmas), Kabupaten, dan
Provinsi dalam Peningkatan Pengetahuan dan keterampilan Petugas P2 Hepatitis dan
tenaga Kesehatan yang berkaitan dengan P2 Hepatitis B Pemanfaat Teknologi
komunikasi tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tapi juga
untuk meningkatkan perhatian dan komitmen petugas dalam pencataan dan pelaporan
2. Logistik
Penyediaan logistik untuk pemeriksaan Hepatitis (RDT HBsAg) dan Profilaksi Hepatitis
B untuk Bayi dari Ibu yang terdeteksi Hepatitis B (HBIg) yang mencukupi juga sangat
berperan dalam tercapaianya indikator.
f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator

1. Peningkatan Pengetahuan, Perhatian, Keperdulian dan Komitmen seluruh komponen


masyararakat dalam pencegahan dan pengendalian hepatitis melalui rangkaian kegiatan
Hari Hepatitis Sedunia :
a. Membuat surat Edaran Direktorat Jenderal untuk menghimbau seluruh Dinas
Kesehatan provinsi maupun Kabupaten melaksanakan kegiatan dalam rangka
peringatan hari hepatitis sedunia, seperti siaran radio, podcast, seminar, dan
sebagainya
b. Penyebarluasan media seperti buku saku Hepatitis, Flyer serta pemasangan media
luar seperti umbul-umbul dan poster
c. Siaran Radio Kesehatan yang difasilitasi oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan
Masyarakat Kemenkes RI
h a l a m a n | 77

d. Seminar dan Deteksi Dini Hepatitis yang dilaksanakan secara Hybrid dengan Tema:
Mendekatkan akses pengobatan karena Hepatitis tidak dapat menunggu .
Kegiatan ini dilaksanakan di 2 Tempat yaitu
1. DIY
Tanggal : 13 Juli 2022
Tempat : Hotel Grand Rohan, Bantul DI Yogyakarta
Tema : Mendekatkan akses pengobatan karena Hepatitis tidak dapat menunggu
Narasumber : dr. Tiffani Pakasi (Plt Direktur P2PM), dr. Fahmi Indrarti Sp.PD
KGEH, FINASIM (PPHI/RSUD Dr. Sardjito), Dr. dr. Nenenng
Ratnasari Sp.PD-KGEH, FINASIM (PPHI/RSUD Dr. Sardjito)
Moderator : dr. Dwi Hikma (Dinkes Prov DIY)
Peserta : Pengelola Program hepatitis dan seluruh Indonesia mulai tingkat
puskesmas sampai pusat, dan terlaibat dalam pencegahan dan
pengendalian Hepatitis
2. Bandung Jawa Barat
Tanggal : 16 Agustus 2022
Narasumber : dr, Tiffani Pakasi (Plt Direktur P2PM), Dr. dr. M. Alamsyah Aziz,
Sp.OG (K) KIC (POGI), Dr. Dr, Anggraini Alam, SPA (IDAI), dr. Yudi
Wahyudi, Sp.PD-KGEH (PPHI)
Moderator : dr. Ira Dewi Jani (Kabid P2P Dinkes Kota Bandung)
Peserta : Pengelola Program hepatitis dan seluruh Indonesia mulai tingkat
puskesmas sampai pusat, dan terlaibat dalam pencegahan dan
pengendalian Hepatitis
h a l a m a n | 78

2. Hari Puncah Hepatitis Sedunia yang jatuh pada tanggal 28 Juli 2022 dilaksanakan
secara Daring, baik melalui Zoom maupun relay melalui kanal Youtube
Tema : Mendekatkan akses Pengobatan Hepatitis karena hepatitis tidak dapat
menunggu menuju Generasi Bebas Hepatiits
Narasumber : Prof Dr. dr. Hanafih Oswari, SPA (K), Dr. dr. M. ALamsyah Aziz,
Sp.G (K), KIC, M.Kes, Prof. Dr. dr. Rino a. Gani, SpPD KGEH dan Prof. David
Handojo, FINASIM, PhD
Moderator : Dr. dr. Irsan Hasan, SPPD, KGEH
Peserta : Pengelola Program hepatitis dan seluruh Indonesia mulai tingkat
puskesmas sampai pusat, dan terlaibat dalam pencegahan dan pengendalian Hepatitis

3. Pemberian Penghargaan Kepada Kabupaten/Kota dengan capaian Deteksi Dini


Hepatiits terbaik, yang diberikan pada Hari Hepatiits Sedunia yang bertujuan untuk
memberi apresiasi dan juga untuk memberi motivasi kepada pemenang untuk
mempertahankan capaian dan juga memotivasi daerah lain untuk meningkatkan
kegiatan deteksi dini didaerah masing-masing
h a l a m a n | 79

4. Penyediaan logistik untuk deteksi dini hepatitis B dan C


5. Pembukaan layanan Hepatitis C dengan Pengobatan DAA di 6 provinsi yaitu : Maluku
Utara, Bengkulu, Riau, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat dan Jawa Timur.
6. Peningkatan pencatatan dan pelaporan data Deteksi Dini Hepatitis baik secara manual
maupun elektronik (SIHEPI)
7. Menyusun Juknis Pemanfaata TCM untuk pemeriksaan Hepatitis B dan C bersama Tim
Kerja TBC
8. Menyusun juknis integrasi layanan hepatiits C dengan HIV untuk meningkatkan skrining
dan pengobatan hepatitis C pada pada pasien ODHIV
i. Peningkatan kemitraan dengan komunitas kelompok berisiko untuk mendapatkan akses
terhadap kelompok berisiko yang susah dijangkau.

g. Kendala/ Masalah yang Dihadapi


1. Masih Kurangnya pengetahuan dan dan keperdulian Masyarakat terhadap hepatitis B
dan C
2. Integrasi dan kerjasama antar program masih kurang program terutama dengan KIA,
HIV dan Promkes
3. Program Hepatitis masih belum menjadi prioritas di daerah sehingga mengakibatnya
kurangnya kepedulian dinas kesehatan provinsi dan Kabupaten akan program hepatitis
termasuk dalam hal pencatatan dan Pelaporan hasil Kegiatan Program Hepatitis
4. Kurangnya jumlah SDM (tugas rangkap), perpindahan yang begitu cepat, beban kerja
yang tinggi merupakan masalah yang hampir ditemukan disemua tingkatan, baik
layanan, kabupaten maupun Provinsi.
5. Keterbatasan akses layanan Hepatitis B dan C
Pengobatan hepatitis B saat ini sudah masuk dalam skema pembiayaan JKN, tapi tidak
semua rumah sakit memiliki alat untuk memeriksa Viralload Hepatitis B (HBVDNA)
sebagai syarat pengobatan hepatitis B dan paket diagnosis untuk hepatitis B relatif kecil
sehingga tidak bisa memenuhi biaya pemeriksaan hepatitis B seluruhnya. Untuk
hepatitis C dengan pengobatan Direct Acting Antiviral sampai akhir 2022 baru ada di
57 layanan yang tersebar di 30 Provinsi, dan sebagaian besar hanya ada di ibukota
provinsi
h. Pemecahan Masalah
1. Mengoptimalkan teknologi komunikasi dalam meningkatkan komunikasi (Koordinasi dan
kerjasama) dengan dinas kesehatan provinsi, kabupaten/kota dan puskesmas misalnya
melalui aplikasi zoom, youtube dan Whatsapp
2. Deteksi Dini Hepatitis B pada Ibu hamil, bekerjasama dengan subdit HIV dan maternal
Neonatal melalui Program Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA) HIV, Sifilis dan
Hepatitis B (Triple Eliminasi)
3. Kolaborasi dengan Subdit HIV-AIDS untuk menjangkau populasi Berisiko Hepatitis C
4. Peningkatan Kapasitas Pengelola program dalam Deteksi dini termasuk dalam pencatatan
dan pelaporan.
5. Penggerakan dan peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang Hepatitis
Virus melalui peringatan hari Hepatitis Sedunia (HHS)
h a l a m a n | 80

9. Persentase pasien sifilis yang diobati


a. Penjelasan Indikator
Merupakan salah satu penyakit Infeksi menular seksual yang dapat menyebakan
keguguran dan kematian pada bayi yang baru lahir yang menyebabkan kecacatan pada
bayi sehingga perlu adanya tindakan pencegahan dan pengobatan sedini mungkin.

b. Definisi Operasional
Jumlah pasien sifilis yang mendapatkan pengobatan sesuai dengan standar. Angka ini
menggambarkan penemuan dan pemutusan penularan sifilis pada kelompok yang
berisiko terinfeksi sifilis
c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah pasien sifilis yang mendapatkan pengobatan sesuai dengan standar
-------------------------------------------------------------------------------------------------------x 100%
Jumlah pasien sifilis yang ditemukan pada periode waktu tertentu

d. Capaian Indikator
Grafik 3.21 Presentase Terget pasien sifilis yang diobati

Data diatas dapat dilhat bahwa Target untuk pasien sifilis yang diobati 75%, sedangkan
Capaian nya belum mencapai target yang diharapkan yaitu 65% dan capaian indicator
kinerja 87%.

Grafik 3.22 Presentase Pasien Sifilis di Obati Per triwulan tahun 2022
h a l a m a n | 81

74%

70%
66%
63%

TW I TW II TW III TW IV
Persentase Pasien Sifilis yang Diobati

Pada grafik di atas data secara perfluktuasi Pasien Sifilis di obati pada triwulan dapat
dilihat pada triwulan I yaitu 70% dan Triwulan II yaitu 74 %, Triwulan III yaitu 63% dan
triwulan IV yaitu 66 %.

Grafik 3.23 Presentase pasien sifilis yang diobati tahun 2022

Capaian indikator presentase jumlah pasien sifilis yang mendapatkan pengobatan


sesuai dengan standar. Angka ini menggambarkan penemuan dan pemutusan
penularan sifilis pada kelompok yang berisiko terinfeksi sifilis sampai dengan Desember
2022, secara nasional mencapai 75%. Terdapat 14 provinsi yang angka capaiannya di
atas angka nasional, Bahkan ada 5 provinsi yang capaiannya lebih dari 100%. Target
pasien sifilis yang di obati tahun 2022 adalah sebesar 75%. Provinsi yang capaiannya
paling tinggai ada Kaltim, papua Barat, Aceh, DKI Jakarata. Dan Yang peling rendah
adalah Babel, tetapi ada juga provinsi yang tidak melaporkan yaitu Sulawesi Tenggara.
Pada telusur lebih lanjut ternyata provinsi ini melakukan skrining Sifilis pada 2.258 orang
tetapi tidak menemukan hasil pemeriksaan yang positif. Kebijakan yang ada saat ini
bahwa semua ibu hamil dilakukan pemeriksaan HIV, Sifilis dan Hepatitis sedangkan
pada populasi kunci, dan pasanganya dilakukan skrining HIV dan Sifilis. Pada data
terlihat masih banyak yang telah didiagnosis tetapi belum ditindaklanjuti dengan terapi.

e. Analisa Penyebab Kegagalan Pencapaian


h a l a m a n | 82

1. Pada pemeriksaan treponemal (rapid test sifilis), hasil bisa tetap positif seumur hidup
dengan titer yang rendah, meskipun sudah diobati. Sehingga pada pasien ini tidak
diperlukan terapi lebih lanjut.
2. Disamping itu di beberapa tempat ditemukan juga terkait adanya keterbatasan
logistik obat. Pada situasi ini pasien akan di rujukan ke fasyankes yang memiliki
obat Benzatin Penicillin.
3. Di beberapa provinsi, persentase pasien sifilis yang diobati lebih dari 100% hal ini
dapat di sebabkan karena pada pasien sifilis lanjut terapi dilakukan sebanyak 3x
dengan selang waktu 1 minggu.
4. Sistem pencatatan mencatat ini sebagai 3x terapi. Sistem pencatatn dan pelaporan
HIV dan IMS sedang dilakukan update.

f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator


• Pelayanan Komprehensif IMS
• Diagnosis IMS dengan Pendekatan Syndrom (+ Lab Sederhana )
• Skrining Rutin IMS pada populasi berisiko tinggi / Deteksi Dini IMS
• Penatalaksanaan IMS pada pasangan
• IMS Terintegrasi dengan layanan KIA/KB / Skrining Sifilis pada ibu hamil
• Mobile IMS (mendekatkan akses layanan IMS pada populasi berisiko tinggii)
• Penawaran Pemeriksaan / Tes HIV pada setiap pasien IMS
• Penyediaan Obat IMS
• Distribusi Kondom

g. Kegagalan/masalah yang dihadapi :


▪ Reagen rapid sifilis stock out
▪ Puskesmas tidak memiliki sasaran WPS, beberapa hotspot dengan populasi kunci
WPS dijangkau oleh petugas dari puskesmas lain
▪ Tersedia kartu pasien, form permintaan pemeriksaan laboratorium, namun kartu
pemantau pengobatan yang dibuat secara mandiri. Sementara itu, form catatan
medis IMS tidak tersedia sesuai pedoman
▪ Media edukasi pasien masih terbatas
▪ Layanan IMS belum berjalan secara optimal dikarenakan hanya focus pada
pemeriksaan melalui rapid sifilis

h. Pemecahan masalah
1. Diperlukan aktivasi layanan IMS dengan laboratorium sederhana, tidak hanya
sindromik sehingga layanan IMS lebih optimal
2. Perlu optimalisasi peran semua tim dan dibuat SK Tim sesuai nama-nama yang
ditunjuk untuk menjalankan tanggung jawab masing-masing
3. Diperlukan koordinasi dengan Dinkes Kota dan Komunitas setempat terkait data hasil
pemetaan hotspot untuk menjadi dasar pembagian jangkauan hotspot sesuai wilayah
masing-masing Puskesmas
4. Puskesmas perlu menambahkan SOP layanan seperti SOP layanan IMS yang sesuai
pedoman sehingga dapat menjadi acuan pelaksanaan pelayanan
5. Puskesmas perlu melakukan evaluasi khusus terkait program HIV/ IMS secara
berkala dan pengawasan pelaksanaan pelayanan sesuai pedoman yang ditentukan
h a l a m a n | 83

6. Perlu dilakukannya active case finding kasus IMS terutama pada populasi kunci
sehingga penatalaksanaan dapat dilakukan segera

10. Jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi


a. Penjelasan Indikator
Di Indonesia Schistosomiasis ditemukan hanya di Provinsi Sulawesi Tengah yang
berada di Dataran Tinggi Lindu, Kabupaten Sigi serta Dataran Tinggi Napu dan Dataran
Tinggi Bada di Kabupaten Poso. Sebanyak 28 desa telah ditetapkan sebagai desa
endemis Schistosomiasis yaitu 23 desa berada di Kabupaten Poso dan 5 desa berada
di Kabupaten Sigi. Schistosomiasis atau Demam Keong adalah penyakit infeksi parasitic
kronis menular yang disebabkan oleh cacing trematoda darah dari genus Schistosoma
yang ditularkan oleh keong penular Oncomelania hupensis lindoensis. Cacing
Schistosoma mampu menginfeksi hewan mamalia yang akan menjadi reservoir bagi
infeksi pada manusia sehingga penanganannya membutuhkan peran lintas sektor dan
masyarakat terutama dalam pengelolaan hewan ternak dan lingkungan habitat keong
perantara
Sesuai Permenkes No.19 tahun 2018 tentang Penyelenggaran Eradikasi Demam Keong
dan Peta Jalan (Roadmap) Eliminasi Schistosomiasis di Indonesia, yang dimaksud
Eliminasi Schistosomiasis adalah Angka kejadian penyakit pada manusia turun menjadi
0%. Pemerintah berkomitmen untuk mentargetkan eliminasi schistosomiasis di
Indonesia pada Tahun 2025. Pada Tahun 2017 telah di luncurkan Peta Jalan (Roadmap)
Eliminasi Schistosomiasis tahun 2018-2025 oleh Menteri Kesehatan yang di dukung oleh
Bappenas RI. Roadmap ini berisikan strategi, tahapan pelaksanaan, penetapan sasaran
dan target capaian, pemetaan program dan kegiatan lintas sektor, serta mekanisme
pemantauan evaluasi untuk mengukur capaian. Selanjutnya, roadmap ini diharapkan
dapat memandu dan menjadi acuan arah perencanaan program, kegiatan, dan anggaran
dan evaluasi tahunan dari seluruh pemangku kepentingan terkait di tingkat pusat dan di
tingkat daerah dalam menghasilkan sinergi upaya pengentasan Schistosomiasis di
Indonesia yang didanai dari berbagai sumber pembiayaan baik APBN, APBD, dana
transfer daerah (DAK) maupun dana desa.
Untuk menilai keberhasilan eliminasi schistosomiasis, maka dilaksanakan kegiatan
pengendalian fokus keong dan survei prevalensi pada manusia yang merupakan
kegiatan pokok dalam penanggulangan Schistosomiasis. Kegiatan survei prevalensi
pada manusia meliputi pengumpulan sampel tinja penduduk yang berumur 5 tahun
keatas, pembuatan sediaan/preparate sesuai metode Katokatz, dan pemeriksaan secara
mikroskopis di laboratorium.

b. Definisi Operasional
Jumlah Desa Endemis Schistosomiasis yang Mencapai Eliminasi adalah Jumlah desa
dengan hasil survei prevalensi schistosomiasis 0% pada manusia.

c. Rumus/cara perhitungan
Akumulasi jumlah desa endemis yang berdasarkan hasil survei prevalensi pada
manusia, menunjukkan angka 0% pada tahun tersebut. Sedangkan rumus menghitung
angka prevalensi adalah sebagai berikut:
h a l a m a n | 84

Jumlah penduduk dengan tinja


Prevalensi
= positif pada desa endemis x 100%
Schistosomiasis
Jumlah penduduk diperiksa
pada desa endemis

d. Capaian Indikator
Capaian indikator Jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi pada
tahun 2022 adalah sebanyak kumulatif 16 desa dari target 19 desa atau dengan
pencapaian sebesar 84,21%. Bila dibandingkan dengan tahun 2020, capaian jumlah
desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi tidak mengalami peningkatan.
Target dan capaian tersebut pada dapat dilihat dari grafik dibawah ini :

Grafik 3.24 Target dan Capaian Jumlah Desa Endemis Schistosomiasis yang Mencapai
Eliminasi Tahun 2020 – 2024

30 28
24
25
19
20
14 15 16 16
15 11
10

0
2020 2021 2022 2023 2024
Target Capaian

Kumulatif Desa yang sudah berhasil menurunkan prevalensi Schistosomiasis 0% pada


manusia antara lain bisa dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.5 Daftar Desa Eliminasi Schistosomiasis Tahun 2022

Kabupaten No Nama Desa Endemis


1 Sedoa
2 Banyusari
3 Siliwanga
4 Betue
Poso
5 Torire
6 Tuare
7 Kageroa
8 Tomehipi
h a l a m a n | 85

Kabupaten No Nama Desa Endemis


9 Kolori
10 Lelio
11 Lengkeka
12 Olu
13 Anca
Sigi 14 Tomado
15 Langko
16 Puroo

Terdapat 3 (tiga) fase dalam menuju eliminasi schistosomiasis, yaitu fase akselerasi
(2018-2019), fase memelihara prevalensi 0% (2020-2024), serta fase verifikasi dan
deklarasi eliminasi (2025). Strategi Indonesia dalam upaya eliminasi schistosomiasis
meliputi strategi untuk penanganan manusia, hewan dan lingkungan secara terpadu dan
menyeluruh didukung ketersediaan layanan air minum dan sanitasi, pemberdayaan
masyarakat, dan sistem pemantauan dan evaluasi kemajuan hasil yang penting untuk
mencapai target yang telah ditetapkan.

Berbagai upaya telah dilaksanakan untuk menurunkan angka prevalensi schistosomiasis


pada manusia. Prevalensi schistosomiasis pada manusia dapat dilihat pada grafik
berikut ini :
Grafik 3.25 Prevalensi Schistosomiasis pada Manusia Tahun 2017 – 2022

1,6
1,4 1,45
1,2
1
0,8 0,75
0,6
0,4 0,36
0,2 0,11 0,22
0,1
0
2017 2018 2019 2020 2021 2022
Prevalensi

Berdasarkan grafik diatas prevalensi schistosomiasis pada manusia sejak tahun 2017
mengalami penurunan dan berada dibawah 1% dan terus mengalami penurunan sampai
tahun 2019. Prevalensi tersebut berangsur menurun setelah dilaksanakan pengobatan
massal dengan praziquantel pada tahun 2018-2019. Tahun 2020 dan 2021 prevalensi
schistosomiasis mengalami sedikit peningkatan, namun pada tahun 2022 prevalensi
schistosomiasis mengalami peningkatan yang cukup besar menjadi sebesar 1,45%.

e. Analisa Penyebab Kegagalan Pencapaian


h a l a m a n | 86

Target Indikator jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi pada
tahun 2022 tidak tercapai. Hal ini dipengaruhi oleh masih banyaknya fokus-fokus keong
yang menjadi sumber penularan di desa endemis Schistosomiasis yang tidak bisa
dilaksanakan pengendalian fokus keong secara mekanik dan kimia. Pengendalian fokus
keong secara kimia harus dilaksanakan dengan penyemprotan zat kimia Niclosamide
pada seluruh fokus keong secara periodik dan rutin. Adanya efisiensi anggaran pada
tahun 2021 menyebabkan kegiatan penyemprotan fokus keong tidak dapat dilaksanakan
sehingga angka prevalensi schistosomiasis pada tahun 2022 meningkat serta
mengakibatkan indicator tidak tercapai.
Peran serta masyarakat juga sangat penting dalam kegiatan pemutusan mata rantai
penularan. Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan fokus
keong sangat dibutuhkan karena sebagian fokus-fokus keong berada pada wilayah
perkebunan masyarakat. Rendahnya peran serta masyarakat dalam pemberantasan
fokus keong di wilayahnya menyebabkan prevalensi schistosomiasis meningkat.

f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator


1. Penguatan advokasi, koordinasi, dan peran aktif lintas sektor dan lintas program
dalam upaya eliminasi schistosomiasis. Kegiatan ini dibutuhkan untuk memperoleh
dukungan dan kontribusi lintas sektor terkait guna menghilangkan fokus/habitat
keong penular serta menurunkan prevalensi schistosomiasis pada hewan
perantara. Kegiatan yang dilaksanakan melalui Pertemuan Koordinasi dan Reviu
Implementasi Kegiatan dalam Rangka Eliminasi Schistosomiasis Lintas
Program/sektor/Kementerian dan Lembaga secara daring
2. Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Penanggulangan Schistosomiasis.
Kegiatan monitoring dan evaluasi dilaksanakan untuk mendukung program
penanggulangan schistosomiasis serta mengevaluasi hambatan dan tantangan
dalam pengendalian schistosomiasis. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain :
1. Assessment Eliminasi Schistosomiasis
2. Pendampingan Teknis Implementasi Kegiatan Penanggulangan
Schiostosomiasis
3. Surveilans Schistosomiasis
Surveilans schistosomiasis merupakan kegiatan kunci untuk memantau
perkembangan dan status penyakit ini di lapangan. Kegiatan ini sangat penting
untuk menilai sejauh mana kemajuan pelaksanaan dan pencapaian tujuan
program eliminasi schistosomiasis. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain Survei
Prevalensi Schistosomiasis pada manusia.
4. Penanganan penderita dan pengobatan selektif sesuai tatalaksana kasus
schistosomiasis. Penanganan penderita dan pengobatan selektif dilaksanakan
pada penderita yang dengan gejala dan menunjukkan hasil laboratorium positif
schistosomiasis, serta penduduk dengan hasil positif schistosomiasis pada survei
prevalensi
5. Pemberantasan fokus keong melalui kimiawi
Penyemprotan moluskisida (racun keong) merupakan salah satu metode
pengendalian keong perantara schistosomiasis. Upaya ini dilakukan untuk
memberantas keong khususnya pada fokus dengan ukuran kecil dan/atau posisi
geografis yang terpencil sehingga sulit dijangkau dengan metode pengendalian
lainnya.
g. Kendala/masalah yang dihadapi
h a l a m a n | 87

1. Kurangnya komitmen lintas sektor dalam upaya pemutusan mata rantai penularan
melalui hewan dan keong perantara karena program Schistosomiasis bukan
merupakan program prioritas bagi lintas sektor
2. Jumlah fokus keong perantara yang terletak di lahan yang tidak terawat menjadi
lokus perkembangbiakan serkaria
3. Masih tingginya infeksi schistosomiasis pada hewan dan keong perantara
4. Hewan ternak yang bebas berkeliaran di area fokus keong yang berdekatan dengan
pemukiman.
5. Adanya simplifikasi dana dekonsentrasi menyebabkan anggaran dekonsentrasi
untuk program Schistosomiasis ditiadakan
6. Revisi DIPA Direktorat P2PM tahun 2022 baru terbit pada pertengahan Juli 2022
menyebabkan mundurnya waktu pelaksanaan survei prevalensi schistosomiasis
pada manusia dan pengendalian fokus keong. Hal ini mengakibatkan obat
praziquantel yang semula sudah dialokasikan untuk mengobati kasus positif
melewati masa expired dan harus diajukan kembali pengadaannya melalui WHO.

h. Pemecahan masalah
1. Meningkatkan koordinasi lintas sektor dan mengoptimalkan peran dan tugas
masing-masing lintas sektor sesuai roadmap eliminasi schistosomiasis.
2. Penguatan pemberdayaan masyarakat dalam upaya pencegahan dan pengendalian
faktor resiko di daerah fokus melalui pemanfaatan sumber pembiayaan dari dana
desa untuk mengolah area fokus menjadi lahan yang bermanfaat
3. Penanggulangan Schistosomiasis dengan memanfaatkan sumber pembiayaan dari
dana Desa untuk mendukung program penanggulan Schistosomiasis berbasis
pemberdayaan masyarakat
4. Membuat surat tanggapan simplifikasi Menu dan efisiensi anggaran dekonsentrasi
penyakit tropis teraibaikan ke Sekretaris Jenderal Kemenkes agar kegiatan NTDs
dapat dialokasikan dengan menggunakan anggaran di internal Ditjen P2P
5. Pengajuan permintaan obat praziquantel segera ke WHO untuk pelaksanaan
pengobatan selektif

11. Jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies


a. Penjelasan Indikator
Tahun 2020 dan 2021 kami menggunakan IKK : Jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki
≥ 20% Puskesmas rujukan Rabies Center. Sesuai dengan PMK no 13 tahun 2022
tentang Sasaran Strategis Tahun 2022 – 2024 menggunakan IKK : Jumlah
Kabupaten/Kota eliminasi Rabies.
b. Definisi Operasional
Kabupaten/Kota yang tidak ada kematian Rabies pada manusia atau spesimen positif
pada hewan dalam 2 (dua) tahun terakhir. Capaian kinerja Pemerintah Daerah adalah
Jumlah Kabupaten/Kota eliminasi Rabies dimana indikatornya adalah tidak adanya
kasus kematian karena rabies pada manusia atau tidak adanya spesimen positif pada
hewan dalam dua tahun terakhir.
c. Rumus/cara perhitungan
Tahun 2020 dan 2021 kami menggunakan IKK : Jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki
≥ 20% Puskesmas rujukan Rabies Center. Sesuai dengan PMK No 13 Tahun 2022
tentang Sasaran Strategis Tahun 2022 – 2024 menggunakan IKK : Jumlah
Kabupaten/Kota eliminasi Rabies. (Angka absolut) dari jumlah kabupaten/kota yang
h a l a m a n | 88

tidak ada kematian Rabies pada manusia atau spesimen positif pada hewan dalam 2
(dua) tahun terakhir

d. Capaian Indikator
1. Target dan Realisasi Tahun 2020 – 2021
Indikator Kinerja Tahun 2020 – 2021 adalah jumlah kabupaten/kota yang memiliki ≥
20% puskesmas rujukan rabies center. Capaian kinerja Tahun 2020- 2021 seperti
grafik dibawah ini.

Grafik 3.26 Perbandingan target dan capaian per jumlah kabupaten/kota


yang memiliki ≥ 20% puskesmas rujukan rabies center.

73 75

55 56

Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa capaian Indikator jumlah


kabupaten/kota yang memiliki ≥ 20% puskesmas rujukan rabies center tercapai 75
kabupaten/kota dari target 73 kabupaten/kota atau realisasi capaian hanya 102,7 %.

2. Target dan Realisasi Tahun 2022


Untuk Tahun 2022 kami menggunakan indikator : Jumlah Kab/Kota eliminasi Rabies.
Tidak semua kabupaten kota di Indonesis merupakan sasaran dari indikator ini karena
tidak semua merupakan daerah endemis rabies. Adapun kabupaten/kota di Indonesia
yang menjadi sasaran sebanyak 313 kabupaten/kota yang merupakan daerah
endemis rabies.
Target Tahun 2022 sebanyak 211 kabupaten kota dan capaiannya sebanyak 263
kabupaten kota. Distribusi kabupaten kota eliminasi rabies seperti grafik dibawah ini :
h a l a m a n | 89

Grafik. 3.27 Jumlah Kabupaten/Kota Eliminasi Rabies per Provinsi tahun 2022

e. Analisa Penyebab Keberhasilan atau Peningkatan Kinerja serta Alternatif Solusi


1. Analisis Penyebab Keberhasilan atau Peningkatan Kinerja
• Situasi pandemik Covid-19 di Tahun 2020 dan 2021 yang membatasi
aktivitas atau mobilisasi penduduk disatu sisi dapat memaksa masyarakat
untuk tinggal di dalam rumah sehingga potensi terjadinya gigitan hewan
penular rabies dapat menurun dan berpotensi besar masyarakat dapat
terhindar dari kematian karena gigitan hewan penular rabies.
• Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menyebabkan
masyarakat membatasi kegiatan diluar rumah.
• Namun capaian ini dapat saja menurun di Tahun 2023 karena aktivitas
masyarakat diuar rumah sudah berangsur-angsur bertambah. Hal ini
berpotensi untuk lebih banyaknya kontak masyarakat dengan hewan penular
rabies diluar rumah. Untuk mencegah ini kami berupaya untuk meningkatkan
peningkatan peranserta masyarakat dalam hal pelaporan kasus gigitan
hewan penular rabies (GHPR) kepada petugas kesehatan terdekat untuk
mendapat tatalaksana kasus GHPR sebagai perlindungan dari potensi
kematian karena rabies.
2. Alternatif Solusi yang telah dilakukan
• Peningkatan promosi kesehatan kepada masyarakat terutama di daerah
endemis rabies.
• Peningkatan kemampuan sumber daya manusia (tenaga kesehatan) dalam
tatalaksanakasus GHPR.
• Peningkatan kerjasama lintas sektor dan lintas program khususnya dengan
Kemenko PMK, Kementan, Kemen LHK, Kemendagri, BNPB dan organisasi
no profit lainnya.
• Pemberian bantuan dalam bentuk pemberian dana Dekonsentrasi secara
bertahap untuk meningkatkan kinerja petugas kesehatan
• Pemberian VAR dan SAR bagi daerah-daerah yang membutuhkan
h a l a m a n | 90

• Pemberian berbagai media KIE yang menarik untuk mendapat perhatian


masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap penyakit-penyakit
zoonosa
• Pemberian dukungan secara moril secara virtual maupun media komunikasi
lain, agar tetap semangat dalam melakukan penanggulangan penyakit
zoonosa sambil tetap mengindahkan protokol kesehatan terkait pandemi
COVID-19
• Pembentukan Rabies Center terutama di daerah endemis yang berfungsi
sebagai pusat informasi pengendalian rabies dan pemberian tatalaksana
kasus GHPR.

f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator


1) Advokasi dan sosialisasi pengendalian rabies kepada Pemerintah Daerah
2) Peningkatan kapasitas SDM dalam pengendalian rabies
3) Pemenuhan sarana dan prasarana untuk pembentukan Rujukan Rabies Center
4) Penyediaan NSPK untuk penanggulangan rabies
5) Pengembangan sistem surveilans, sistem pencatatan dan pelaporan kasus
GHPR dan Rabies
6) Penyediaan Media KIE dalam mendukung pelaksanaan promosi pencegahan
dan pengendalian rabies
7) Pengadaan VAR dan SAR untuk pencegahan dan pengendalian rabies

8) Melakukan assessment dan monitoring evaluasi Rabies Center

9) Melakukan koordinasi ZDAP (Zoonotic Diseases Action Package)

10) Monitoring dan Evaluasi pencegahan dan pengendalian rabies secara


terintegrasi.
11) Melakukan pengembangan metode pencatatan, pelaporan dan pemberian
informasi dalam bentuk sistem informasi secara elektronik lewat SI Zoonosis,
yang dilakukan secara bertahap

g. Kendala / masalah yang dihadapi


1) Ketepatan pengiriman laporan rabies khususnya dan zoonosis pada umumnya
dari provinsi masih dibawah 60 %.
2) Pemerintah Daerah khususnya Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tidak fokus
membina puskesmas untuk menjadi rujukan rabies center.
3) Sebagian besar anggaran di daerah dan di pusat, dialihkan ke penanggulangan
COVID-19
4) Jaringan internet yang kurang maksimal dalam pertemuan daring seringkali
terputus saat dilakukan diskusi.
5) Komunikasi, Koordinasi dan Kolaborasi menjadi kurang maksimal dengan
adanya pandemi COVID-19 yang hanya dilakukan secara daring sehingga tidak
semaksimal dalam pertemuan tatap muka.

h. Pemecahan masalah
1) Pembinaan teknis melalui media komunikasi baik internet maupun aplikasi online
tetap dilakukan dimasa COVID – 19.
h a l a m a n | 91

2) Surveilans kasus zoonosis yang bertujuan untuk memantau kemungkinan


terjadinya outbreak atau KLB dengan tetap mempertimbangkan protokol
kesehatan.
3) Mengembangkan sistem informasi zoonosis berbasis website dan aplikasi agar
sistem surveilans berjalan dengan cepat dan tepat.
4) Penganggaran dana untuk zoonosis di pusat dan di daerah dilakukan dengan
lebih baik
5) Memperbanyak media KIE kepada petugas dan masyarakat sehingga informasi
dapat tersampaikan secara lebih luas

12. Persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk.

a. Penjelasan Indikator
Tujuan program Arbovirosis di Indonesia adalah untuk mencapai 95 % kabupaten/kota yang
memiliki angka kesakitan/Incidence Rate (IR) DBD ≤ 10/100.000 penduduk pada tahun 2024.
Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2020 tentang Renstra Kementerian
Kesehatan tahun 2020 – 2024.
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah bagian dari Infeksi Dengue. Dengue adalah infeksi
virus yang ditularkan melalui nyamuk yang umumnya terjadi di iklim tropis yang hangat.
Infeksi disebabkan oleh salah satu dari empat virus dengue yang terkait erat (disebut
serotipe) dan dapat menyebabkan spektrum gejala yang luas, termasuk beberapa yang
sangat ringan (tidak terlihat) hingga yang mungkin memerlukan intervensi medis dan rawat
inap. Dalam kasus yang parah, kematian bisa terjadi. Tidak ada pengobatan untuk infeksi itu
sendiri, tetapi gejala yang dialami pasien dapat ditangani.
Infeksi dengue masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia terutama di wilayah
tropis dan subtropis, termasuk Indonesia sebagai salah satu negara endemis infeksi Dengue.
Sejak pertama kali kasus DBD dilaporkan di Indonesia pada tahun 1968 di Jakarta dan
Surabaya angka kesakitan DBD menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun dan
wilayah penyebarannya pun semakin luas hampir diseluruh Kabupaten/Kota di Indonesia.
Namun dalam kurun waktu 50 tahun (1968 – 2020) angka kematian/Case Fatality Rate (CFR)
DBD telah berhasil diturunkan menjadi di bawah 1%. Didalam Roadmap NTDs 2021 -2030
Dengue termasuk dalam 20 penyakit dan kelompok penyakit yang akan dicegah dan
dikendalikan (WHO, 2020). Target penanggulangan Dengue adalah menurunkan CFR 0 %
pada tahun 2030.
Berikut tabel rincian jumlah kabupaten/kota yang mempunyai IR ≤ 10/100.000 penduduk per
provinsi di Indonesia.

Tabel 3.6 Jumlah Kab/Kota yang mempunyai IR ≤ 10/100.000 penduduk


per provinsi di Indonesia Tahun 2022 *per 26 Januari 2023

Jumlah Kab/Kota
dengan IR ≤
No Provinsi Jumlah Kabupaten Kota 10/100.000
penduduk Tahun
2022*
h a l a m a n | 92

Jumlah
kab/kota
IR Provinsi /
Jumlah dengan IR
100.000 %
kab/kota ≤
penduduk
10/100.000
penduduk
1 Aceh 37,60 22 22 21,74

2 Sumatera Utara 56,52 33 33 15,15

3 Sumatera Barat 71,17 19 19 0,0


4 Riau 33,00 12 12 0,0
5 Kepulauan Riau 91,25 7 7 0,0
6 Jambi 31,30 11 11 0,0
7 Sumatera Selatan 30,11 17 17 11,76
8 Bangka Belitung 125,26 7 7 0,0
9 Bengkulu 65,70 10 10 0,0
10 Lampung 53,70 15 15 0,0
11 Banten 39,87 8 8 0,0
12 DKI Jakarta 75,97 6 6 0,0
13 Jawa Barat 72,26 27 27 0,0
14 Jawa Tengah 34,33 35 35 14,29
15 D I Yogjakarta 50,42 5 5 0,0
16 Jawa Timur 30,05 38 38 2,63
17 Kalimantan Barat 23,27 14 14 21,43
18 Kalimantan Tengah 28,03 14 14 21,43
19 Kalimantan Selatan 23,20 13 13 23,08
20 Kalimantan Timur 156,88 10 10 0,0
21 Sulawesi Utara 75,23 15 15 0,0
22 Gorontalo 48,12 6 6 0,0
23 Sulawesi Tengah 59,59 13 13 23,08
24 Sulawesi Barat 47,77 6 6 0,0
25 Sulawesi Selatan 39,48 24 24 16,67
26 Sulawesi Tenggara 32,99 17 17 41,18
27 Bali 111,27 9 9 0,0
28 Nusa Tenggara Barat 60,70 10 10 10
29 Nusa Tenggara Timur 54,67 22 22 9,09
h a l a m a n | 93

30 Maluku 5,26 9 9 72,73


31 Maluku Utara 43,88 9 9 30
32 Papua Barat 28,40 8 8 53,85
33 Papua 3,36 5 5 89,66
34 Kalimantan Utara 167,96 5 5 0,0

Total 50,67 514 88 17,12

Berdasarkan tabel diatas, hanya 88 (17,12 % ) kabupaten/kota yang sudah mencapai target
indikator Insidens Rate (IR) ≤ 10/100.000 penduduk. Hal ini dikarenakan adanya
perubahan indikator program DBD pada Renstra Kemenkes 2022-2024 yang sebelumnya
Insidens Rate (IR) ≤ 49/100.000 penduduk pada bulan April 2022 menjadi Insidens Rate
(IR) ≤ 10/100.000 penduduk.

b. Definisi operasional
Capaian Kinerja Pemerintah Daerah kab/kota dalam menurunkan angka Insidens Rate ≤
10/100.000 penduduk dalam kurun waktu satu tahun.

c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah kab/kota dengan IR DBD ≤ 10/100.000 penduduk dibagi jumlah total kabupaten /
kota pada tahun yang sama.
d. Capaian indikator
Jumlah Kab/Kota pada tahun 2022 yang mempunyai IR ≤ 10/100.000 penduduk sebanyak
88 kabupaten/kota atau 17 % kabupaten/kota mencapai IR tersebut. Target yang ditentukan
pada tahun 2022 adalah 80 %. Sehingga capaian target mencapai 21.4 %.
Grafik 3.28 Target dan capaian indikator Persentase Kabupaten/ Kota yang mempunyai
IR ≤ 49/100.000 penduduk Tahun 2017-2022
100 140
90 123 119,6 120
80
104 80 100
70 75
92 70
60 66 68
80
50
90 60
40 81
73
30 62 40
20
21,4 20
10 17
0 0
2018 2019 2020 2021 2022

TARGET CAPAIAN KINERJA

Sumber data : Laporan rutin Tim Kerja Arbovirosis Tahun 2022 *per 26 Januari 2023
h a l a m a n | 94

Tren capaian persentase Kabupaten/ Kota yang mempunyai IR ≤ 49/100.000 penduduk


terlihat pada grafik diatas dimana capaian dari tahun 2017 sampai tahun 2018 melebihi
target nasional , namun capaian persentase Kabupaten/ Kota yang mempunyai IR ≤
49/100.000 penduduk pada tahun 2019 dari target 68 % hanya mencapai 62,3 %. Tetapi
pada tahun 2020 dan 2021 capaian indikator melebihi dari target yang ditentukan. Tahun
2022 target indikator berubah dari sebelumnya persentase Kabupaten/Kota IR ≤
49/100.000 penduduk menjadi IR ≤ 10/100.000 penduduk. Capaian persentase
Kabupaten/Kota IR ≤ 10/100.000 penduduk Tahun 2022 hanya mencapai 17%.
Berdasarkan capaian persentase kinerja tahun 2022 mengalami penurunan dari 119%
tahun 2021 menjadi 21% tahun 2022.

Grafik 3.29 Persentase provinsi yang memiliki kab/kota IR ≤ 10/100.000 penduduk


Di Indonesia Tahun 2022

89,66
90,00

80,00
72,73

70,00

60,00
53,85

50,00
41,18
40,00
30,00
30,00
23,08
23,08
21,74
21,43
21,43

20,00 16,67
15,15
17,12
14,29
11,76
10,009,09
10,00
2,63
0,000,000,000,000,000,000,000,000,000,000,000,000,000,000,000,000,00
0,00
PAPUA
MALUKU

SULTRA

BENGKULU

DKI JKT

SULBAR
SULSEL

KEPRI

JABAR
KALSEL

SULUT

NTB
NTT
JATIM

JAMBI
BABEL

SULUT
ACEH
KALBAR

JATENG

LAMPUNG
SULTENG

SUMBAR

KALTIM

BALI
PAPUA BARAT

KALTENG

SUMSEL

RIAU

BANTEN

GORONTALO

KALTARA
INDONESIA
MALUKU UTR

DI YOGYAKARTA

Sumber data : Laporan rutin Tim Kerja Arbovirosis Tahun 2022 *per 26 Januari 2023
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa 1 provinsi di Indonesia (17,12%) yang mencapai target
nasional.

e. Analisa penyebab kegagalan


Sehubungan dengan terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2022 tentang
perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2020 tentang Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024, indikator program DBD berubah
menjadi persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤10/100.000 penduduk.
Pada tahun 2022 indikator jumlah kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD
≤10/100.000 penduduk tidak memenuhi target. Hal ini diakibatkan oleh belum siapnya
kabupaten/kota dengan perubahan target indikator DBD.
h a l a m a n | 95

Selain itu, Beberapa daerah mengalami KLB/Peningkatan kasus DBD diawal tahun 2022
namun anggaran baru dapat digunakan di bulan Agustus sehingga program
penanggulangan DBD sulit terlaksana.
Faktor kegagalan lainnya adalah minimnya kesadaran masyarakat untuk melaksankan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) 3M Plus.
f. Upaya yang dilaksanakan untuk mencapai target indikator
Ada beberapa upaya yang telah dilakukan untuk mencapai indikator tersebut, antara lain:
1. Koordinasi Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis
a. Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Advokasi dan Sosialisasi Arbovirosis
Terpadu (Germas)

Kegiatan Germas Sosialisasi DBD dan Arbovirosis lainnya bersama Komisi IX DPR RI di Sebatik Kabupaten
Nunukan Provinsi Kalimantan Utara
b. Koordinasi LS/LP
Kegiatan yang dilakukan salah satunya adalah koordinasi dengan Tim UGM dan
Pemerintah Kota Semarang dalam pengembangan inovasi baru penanggulangan
Dengue melalui Teknologi Wolbachia. Sesuai dengan KMK No.
HK.01.07/MENKES/1341/2022 tentang penyelenggaraan pilot project
penanggulangan Dengue dengan metode Wolbachia.
h a l a m a n | 96

Persiapan Kota Semarang Dalam Pelaksanaan Implementasi Pilot Project Teknologi Aedes
Aegypti ber Wolbachia di Balai Kota Semarang pada tanggal 29-30 September 2022

c. Peringatan Asian Dengue Day

Peringatan ADD yang dilakukan secara Virtual Meeting 28 Juni 2022

Seremonial Mobil Edukasi “Wujudkan Indonesia Bebas Dengue” Tanggal 5 Juli 2022
h a l a m a n | 97

d. Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Surveilans Arbovirosis

2. NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis


a. Penyusunan Juknis Sistim Informasi Arbovirosis (SIARVI)
b. Penyusunan Juknis Surveilans Sentinel Dengue
c. Penyusunan Juknis Pelaksanaan kelompok kerja operasional (Pokjanal)

3. Pendampingan Investigasi Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Arbovirosis


Pendampingan investigasi KLB Penyakit Arbovirosis dilakukan sebagai upaya
pemecahana masalah dan advokasi kepada pengambil kebijakan. Penyakit Arbovirosis
adalah termasuk penyakit yang berpotensi terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB).
Sehingga pendampingan saat KLB diperlukan sebagai upaya edukasi dan advokasi untuk
penanggulangan dan pencegahan KLB .

Investigasi KLB DBD di Kab. Asmat Tanggal 29 Juli 2022


h a l a m a n | 98

4. Assessment Implementasi PSN 3M Plus melalui Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1J)

Assesment Implementasi PSN 3M Plus melalui Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1J)


di Kab. Tanggamus Lampung 15-17 November 2022

5. Surveilans Sentinel Arbovirosis


Pelaksanaan Sentinel Arbovirosis dilaksanakan untuk Sentinel Japanes Ensepalitis (JE)
dan Dengue

Pendampingan Surveilans Sentinel Japanes Ensepalitis (JE) Di RSUD Ulin, Banjarmasin Kalimantan
Selatan Tanggal 14-15 September 2022
h a l a m a n | 99

6. Workshop Implementasi Teknologi Wolbachia

Workshop Implementasi Teknologi Wolbachia di Kota Bogor 5-8 Oktober 2022

Workshop Implementasi Pilot Project di Kota Semarang dan Kota Bandung Tingkat
Kota, Kecamatan dan Kelurahan Tanggal 7-10 Desember 2022

7. Media KIE Arbovirosis


a. Media Promosi
b. Media KIE (Kit Pengendalian Arbovirosis, Pedoman Buku Stranas, Pedoman
Dengue)
8. Pengadaan Alat dan Bahan Kesehatan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Arbovirosis
a. Mesin Fogging
b. Larvasida
c. Insektisida
d. APD Penyemprot
e. Jumantik Kit
f. BTI (tablet)
g. RDT DBD Combo
9. Pengembangan / Pemeliharaan Sistim Informasi Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Arbovirosis (SIARVI)
h a l a m a n | 100

SIARVI dibangun sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pencatatan dan pelaporan
Arbovirosis.

g. Kendala/Masalah yang dihadapi


1. Belum optimalnya pencatatan dan pelaporan kasus DBD (Sistem Informasi Arbovirosis
masih dalam pengembangan) berakibat pada ketepatan pengiriman laporan DBD dari
provinsi masih dibawah 80 %. Secara nasional baru mencapai 61 %.
2. Belum siapnya daerah dengan perubahan indikator DBD yang sebelumnya persentase
Kabupaten/Kota dengan IR DBD ≤49/100.000 penduduk pada tahun 2022 berubah
menjadi persentase Kabupaten/Kota degan IR DBD ≤10/100.000 penduduk.
3. Pendanaan Pemerintah Daerah masing sangat kurang dan menunggu pendanaan
APBN Pusat dari logistik atau kegiatan oparisonal.
4. PSN 3M Plus dengan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1J) belum berjalan dengan
baik dan belum semua kab/kota melaksanakan G1R1J.
5. Belum optimalnya Pokjanal dalam pencegahan dan penanggulangan DBD
6. Belum optimalnya kapasitas tenaga Kesehatan dalam tatalaksana kasus DBD
7. Pengembangan inovasi baru dalam pencegahan dan pengendalian DBD masih belum
berjalan.
h. Pemecahan Masalah
1. Melakukan penguatan sistem surveilans dengue/DBD yang komprehensif serta
manajemen kejadian luar biasa (KLB) yang responsif. Melakukan deteksi dini infeksi
dengue di puskesmas dengan melakukan Rapid Diagnostic Test (RDT) Antigen
Dengue NS1 atau RDT Combo pada hari 1 -5 demam sebagai upaya menekan
kematian akibat dengue.
2. Melakukan sosialisasi pengunaan aplikasi Sistem Informasi Arbovirosis (SIARVI) di
daerah untuk mendukung pencatatan dan pelaporan kasus DBD.
3. Melakukan sosialisasi mengenai perubahan indikator DBD ke pemerintah Provinsi dan
Kab./Kota.
4. Memperkuat Stranas Penanggulangan Dengue 2021-2025 dalam payung hukum
(Kepmenkes).
5. Melaksanakan assessment implmentasi G1R1J di wilayah endemis dan pembentukan
juknis penilaian implementasi daerah yang telah melakukan G1R1J.
6. Membentuk atau merevitalisasi kembali Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL)
Dengue/DBD di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan dan
bekerjasama dengan lintas sektor dan lintas program terkait. Memperbaruhi Petunjuk
teknis dari logistik, pencegahan pengendalian dengue, G1R1J di sekolah dan
masyarakat
7. Melaksanakan Webinar dan Workshop mengenai peningkatan kapasitas bagi tenaga
kesehatan
8. Melakukan upaya pencegahan dan pengendalian Dengue dengan mengembangkan
teknologi Wolbachia dan rencana implementasi teknologi Wolbachia di beberapa
daerah dengan tetap mengedepankan langkah – langkah preventif dan promotif
dengan kemandirian masyarakat melalui Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1J) untuk
melaksankan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) 3M Plus di tempat – tempat
umum dan tempat – tempat institusi.
h a l a m a n | 101

13. Jml kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1%
a. Penjelasan Indikator
Sesuai Permenkes No.94 tahun 2014 tentang Pengendalian Filariasis, yang
dimaksud dengan daerah endemis filariasis adalah daerah yang berdasarkan survei data
dasar prevalensi mikrofilaria menunjukkan prevalensi >1%. Dalam pengendalian filariasis,
sebelum suatu kabupaten/kota dinilai tingkat transmisi filariasisnya, kabupaten/kota
tersebut harus telah selesai melaksanakan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM)
filariasis pada seluruh penduduk sasaran di kabupaten/kota tersebut selama minimal 5
tahun berturut-turut dengan cakupan pengobatan minimal 65% dari total jumlah penduduk.
Kemudian setelah 6 bulan dari pelaksanaan POPM Filariasis Tahun ke-5, maka
dilaksanakan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria. Jika dalam survei evaluasi prevalensi
mikrofilaria menunjukkan hasil prevalensi mikrofilaria <1% maka kabupaten/kota tersebut
dinilai dapat menurunkan transmisi aktif filariasis ke tingkatan aman dan memasuki tahap
surveilans sebelum ditetapkan menjadi daerah eliminasi filariasis. Tetapi jika hasil survei
menunjukkan hasil >1% maka kabupaten/kota tersebut harus meneruskan POPM filariasis
kembali selama 2 tahun.
b. Definisi operasional
Jumlah kab/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1%
adalah jumlah kab/kota endemis filariasis yang telah selesai melaksanakan Pemberian
Obat Pengobatan Massal (POPM) filariasis selama 5 tahun berturut-turut, kemudian 6 bulan
setelahnya pada pemeriksaan darah jari berhasil menurunkan angka mikrofilaria (mf rate)
menjadi < 1%.
c. Rumus/cara perhitungan
akumulasi jumlah kab/kota endemis yang berhasil menurunkan angka mikrofilaria
menjadi < 1% pada tahun tertentu.
d. Capaian indikator
Pada tahun 2018 – 2021 target jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil
menurunkan angka mikrofilaria < 1% berhasil dicapai sebesar 158%, 152%, 94% dan
100%. Pada tahun 2022 capaian jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil
menurunkan angka mikrofilaria < 1% adalah sebanyak 201 kabupaten/kota dari target
207 kabupaten/kota, atau dengan capaian sebesar 97%. Data capaian jumlah
kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1% tahun
2018 – 2022 terlihat dalam grafik dibawah ini.
h a l a m a n | 102

Grafik 3.30 Jumlah Kabupaten/Kota Endemis Filariasis Berhasil Menurunkan


Mf Rate <1% Tahun 2018-2022
250 180%
160%
200 140%
120%
150
100%
80%
100
60%
50 40%
20%
0 0%
2018 2019 2020 2021 2022
Target 65 75 136 190 207
Capaian 103 114 128 190 201
% Capaian 158% 152% 94% 100% 97%
Sumber data : Data Tim Kerja NTDs Tahun 2022

Sampai dengan tahun 2022, sebanyak 201 kabupaten/kota dari 236


kabupaten/kota endemis filariasis telah berhasil menurunkan angka mikrofilaria Rate
<1%. Sepanjang tahun 2018-2022 terdapat peningkatan jumlah kabupaten/kota endemis
filariasis yang berhasil menurunkan angka mikrofilaria rate <1%. Hal ini menunjukkan
semakin meningkatnya komitmen kabupaten/kota dalam melaksanakan program
pengendalian filariasis melalui Pemberian Obat Pencegahan Massal filariasis selama
minimal 5 tahun berturut-turut dengan cakupan minimal 65% total penduduk. Dampak
dari pemberian obat adalah penurunan transmisi aktif filariasis ke tingkatan aman, yaitu
<1% angka mikrofilaria pada penduduk yang tinggal di kabupaten/kota endemis filariasis.
Data kabupaten/kota endemis filariasis telah berhasil menurunkan angka mikrofilaria
Rate <1% per provinsi dapat dilihat dalam tabel berikut :
Grafik 3.31 Kabupaten/kota Endemis Filariasis Berhasil Menurunkan
Angka Mikrofilaria Rate <1% Per-Provinsi Tahun 2022

25 23 120%

20 100%
18
17
80%
15
11 1212 12 12
10 1 11 11 11 60%
99 10 10 9 10
9 8 99 9 9 9
10 7 8 6 8 8 87
7 5 40%
5 6 66 66
5 5 5
5 4 4 4 4
5 3 3 3 20%
1 2
1
0
0 0%
Sulawesi Barat
Maluku
Kalimantan Timur
Sumatera Selatan

Kalimantan Tengah
Jawa Tengah
Sumatera Barat

Lampung
Banten

Nusa Tenggara Timur

Papua Barat
Sumatera Utara

Jawa Barat
Kalimantan Selatan

Sulawesi Tenggara
Kep. Bangka Belitung

Maluku Utara
Kalimantan Utara

Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah

Kep. Riau
Papua
Riau
Jambi
Bengkulu

Gorontalo

Sulawesi Selatan
Aceh

Kab/Kota Endemis
h a l a m a n | 103

Filariasis endemis di 236 kabupaten kota dari 28 provinsi. Terdapat 6 provinsi non
endemis filariasis yaitu Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa
Tenggara Barat, dan Sulawesi Utara. Dari data diatas terdapat 17 provinsi yang seluruh
kabupaten/kota endemis dinilai telah berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1% yaitu
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kepulauan
Bangka Belitung, Lampung, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara,
Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Sedangkan
provinsi yang capaian kabupaten/kota endemis berhasil menurunkan angka mikrofilaria
< 1% masih 0% yaitu Provinsi Papua Barat.

e. Analisa penyebab kegagalan


Pada tahun 2022 indikator jumlah kabupaten/kota berhasil menurunkan angka
mikrofilaria <1% tidak memenuhi target. Hal ini diakibatkan oleh masih adanya
kabupaten/kota yang gagal dalam Survei Evaluasi Prevalensi Mikrofilaria (Pre
Transmission Assessment Survey/PreTAS) filariasis dengan hasil angka mikrofilaria
>1%. Hasil tersebut menunjukkan kabupaten/kota tersebut belum berhasil menurunkan
transmisi aktif filariasis ke tingkatan aman, yaitu <1%. Dengan demikian kabupaten/kota
tersebut harus melaksanakan POPM filariasis kembali selama dua tahun. Pada tahun
2022 terdapat 3 kabupaten kota dengan hasil gagal survei PreTAS.
Selain itu, kegagalan pencapaian target indikator disebabkan oleh tertundanya
pelaksanaan PreTAS pada daerah yang melaksanakan POPM filariasis menggunakan
Regimen Ivermectin, Diethylcarbamazine citrate, dan Albendazole (IDA) karena harus
melaksanakan survei cakupan pengobatan terlebih dahulu sebelum dilaksanakan survei
PreTAS. Terdapat lima kabupaten/kota yang tertunda pelaksanaan survei PreTAS.
Faktor kegagalan lainnya adalah kondisi keamanan yang tidak kondusif sehingga
menyebabkan survei PreTAS tidak dapat dilaksanakan di dua kabupaten yaitu
kabupaten Puncak dan Puncak Jaya.

f. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator


1. Penguatan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria
Dalam rangka penguatan program akselerasi eliminasi filariasis maka
dilaksanakan penyusunan petunjuk teknis surveilans pasca POPM regimen baru
sebagai pedoman pelaksanaan surveilans pada daerah-daerah yang
melaksanakan POPM dengan regimen Ivermectin, DEC, dan Albendazole (IDA).
2. Pelaksanaan Bulan Eliminasi Kaki Gajah (Belkaga)
Salah satu upaya strategis yang dilakukan untuk meningkatkan cakupan
pemberian obat massal pencegahan (POPM) filariasis sehingga dapat memutus
rantai penularan adalah dengan menjadikan bulan Oktober sebagai “Bulan
Eliminasi Kaki Gajah (BELKAGA)”. Belkaga telah dicanangkan oleh Menteri
Kesehatan pada tanggal 1 Oktober 2015 di Kabupaten Bogor. Selanjutnya Belkaga
dilaksanakan setiap tahun pada kabupaten/kota yang belum menyelesaikan
POPM filariasis selama 5 tahun. Dengan adanya program Belkaga diharapkan
seluruh lapisan masyarakat dari pusat hingga daerah tergerak dengan serempak
mendukung POMP filariasis di wilayahnya, seiring dengan pemahaman
masyarakat yang semakin tinggi terhadap pentingnya program pengendalian
filariasis di Indonesia.
h a l a m a n | 104

3. Akselerasi Eliminasi Filariasis melalui pelaksanaan POPM Filariasis dengan


menggunakan Regimen 3 obat Ivermectin, DEC, dan Albendazole (IDA)
Pada tahun 2018 WHO telah merekomendaskan penggunaan Regimen IDA dalam
POPM Filariasis sebagai pengembangan obat makrofilariacidal yang lebih efektif,
aman, dan dapat digunakan di lapangan. Dengan cakupan POPM yang efektif
(>65%) maka regimen IDA dapat mempersingkat waktu pelaksanaan POPM
menjadi kurang dari 5 tahun. Dalam rangka akselerasi eliminasi filariasis maka
pada tahun 2022 diterbitkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
HK.01.07/MENKES/1231/2022 tentang Pelaksanaan POPM filariasis regimen
Ivermectin, Diethyl Carbamazine Citrate, dan Albendazole (IDA) di Kabupaten
Kotawaringin Timur, Bintan, Pangkajene Kepulauan, Bovendigoel, Asmat, Mimika,
Sarmi, dan Belitung
4. Advokasi, Sosialisasi, serta Koordinasi Pemberian Obat Pencegahan Massal
(POPM) Filariasis secara Intensif
Advokasi, Sosialisasi, serta Koordinasi POPM Filariasis secara aktif dan intensif
dilaksanakan kepada Lintas Sektor dan Lintas Program terkait serta seluruh
lapisan masyarakat untuk meningkatkan cakupan dalam minum obat pencegahan
filariasis. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain :
• Pertemuan koordinasi teknis POPM filariasis regimen IDA di Kabupaten
Pangkajene Kepulauan
• Pertemuan koordinasi POPM regimen IDA di Kabupaten Belitung
• Pertemuan koordinasi teknis POPM Regimen IDA di Kabupaten Kotawaringin
Timur
• Pertemuan koordinasi pertemuan teknis POPM regimen IDA di Kabupaten
Bintan
• Pertemuan koordinasi pertemuan teknis POPM regimen IDA di Kota
Pekalongan
5. Monitoring dan Evaluasi dalam rangka Pelaksanaan POPM Filariasis.
Kegiatan monitoring dan evaluasi dilaksanakan untuk memantau proses pada
tahap persiapan, pelaksanaan POPM filariasis hingga pasca pelaksanaan POPM
filariasis serta mengevaluasi hambatan dan tantangan dalam pengendalian
filariasis. selain itu juga dilaksanakan pertemuan-pertemuan dalam mendukung
POPM filariasis. Kegiatan ini dilaksanakan melalui :
• Pertemuan evaluasi BTKL terkait program filariasis
• Koordinasi LS/LP dalam rangka penguatan program penanggulangan filariasis
• Rapat koordinasi LS/LP dalam rangka penguatan program penanggulangan
filariasis
• Koordinasi National Task Force Filariasis (NTF) dan Komite Ahli Pengobatan
Filariasis (KAPFI)
• Pencegahan dini/ penanggulangan kejadian ikutan minum obat (POPM)
Filariasis dan Kecacingan terpadu
• Surveilans kasus klinis/kronis filariasis
• Pendampingan pelaksanaan/sweeping cakupan POPM filariasis
6. Pelaksanaan Survei Evaluasi Prevalensi Mikrofilaria
POPM filariasis dilaksanakan selama 5 tahun pada kabupaten/kota endemis
filariasis. Setelah 6 Bulan POPM terakhir, kabupaten/kota tersebut dievaluasi
melalui survei evaluasi prevalensi mikrofilaria. Jika hasil survei menunjukkan angka
h a l a m a n | 105

mikrofilaria Rate <1% maka daerah tersebut dinilai telah berhasil menurunkan
transmisi aktif filariasis ke tingkatan aman, yaitu <1% angka mikrofilaria pada
penduduk yang tinggal di kabupaten/kota endemis filariasis. Tetapi jika gagal maka
kabupaten/tersebut harus melaksanakan POPM filariasis kembali selama 2 tahun,
7. Distribusi obat dan logistik ke daerah
Dalam rangka mendukung kegiatan POPM filariasis di kabupaten/kota maka obat
dan logistik kit POPM IDA didistribusikan ke daerah sesuai perencanaan obat dan
logistik yang telah disusun sebelumnya
8. Pengadaan bahan-bahan Survei Filariasis
Dalam rangka mendukung pelaksanaan Survei Evaluasi PreTAS, maka telah
dilaksanakan pengadaan bahan-bahan survei diantaranya lancet, kit surveyor, dan
Tabung Microtainer EDTA 0,5 ml.

g. Kendala/Masalah yang Dihadapi


1. Adanya simplifikasi dana dekonsentrasi menyebabkan anggaran dekonsentrasi
untuk program filariasis ditiadakan
2. Kondisi geografis beberapa wilayah di Indonesia yang sulit terjangkau. Kegiatan
POPM Filariasis dilaksanakan untuk seluruh penduduk usia 2-70 tahun di
kabupaten/kota endemis filariasis, dimana beberapa daerah tersebut merupakan
daerah terpencil dan kepulauan yang sulit aksesnya, sehingga pelaksanaan POPM
Filariasis di daerah tersebut sulit menjangkau seluruh sasaran, terutama di desa-
desa terpencil.
3. Adanya dugaan Kejadian Ikutan pasca POPM yang terjadi di masyarakat dapat
menurunkan angka partisipasi minum obat pada waktu POPM Filariasis
4. Masih terdapat kabupaten/kota yang gagal dalam Survei Evaluasi Prevalensi
Mikrofilaria sehingga harus mengulang POPM Filariasis selama 2 tahun.
5. Kondisi keamanan yang rawan konflik dan kurang kondusif di beberapa
kabupaten/kota di Provinsi Papua menyebabkan survei evaluasi PreTAS tidak dapat
dilaksanakan
h. Pemecahan Masalah
1. Terbitnya Surat Sekretaris Jenderal Kemenkes Nomor PM.03.03/1/5640/2022
tentang Tanggapan terkait Dampak Simplikasi Menu dan Efisiensi Anggaran
Dekonsentrasi Penyakit Tropis Terabaikan maka kegiatan terkait POPM filariasis
dapat dialokasikan sebagian dengan menggunakan anggaran di internal Ditjen P2P
2. Advokasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan komitmen dalam
menjangkau daerah-daerah sulit dalam pelaksanaan POPM Filariasis, serta
Mengoptimalkan mobilisasi tenaga kesehatan yang ada untuk menjangkau daerah-
daerah sulit dan terpencil.
3. Konsolidasi dan Penguatan jejaring Komisi Ahli penanggulangan kejadian ikutan
pasca POPM Filariasis baik di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota untuk
mengantisipasi kejadian ikutan yang terjadi selama pelaksanaan POPM Filariasis
h a l a m a n | 106

4. Supervisi dan pendampingan secara aktif terhadap kabupaten/kota gagal survei


PreTAS agar dapat meningkatkan cakupan minum obat dan memastikan obat
diminum di depan petugas agar berhasil memutus rantai penularan filariasis
5. Penundaan survei PreTAS terhadap kabupaten/kota yang rawan konflik sampai
situasi menjadi lebih kondusif untuk dilaksanakan survei PreTAS

14. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang mencapai eliminasi


a. Penjelasan Indikator
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia ikut serta dalam Kesepakatan
Global yang ditetapkan oleh WHO untuk melaksanakan eliminasi Filariasis.
Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis adalah kegiatan utama dari
program eliminasi Filariasis untuk mencapai goal eliminasi Filariasis dengan tujuan
memutuskan rantai penularan Filariasis. Indonesia telah menetapkan sebanyak 236
kabupaten/kota dari total 514 kabupaten/kota adalah daerah endemis Filariasis
Dalam pengendalian Filariasis, sebelum suatu kabupaten/kota dinilai tingkat
transmisi Filariasisnya, kabupaten/kota tersebut harus telah selesai melaksanakan
Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis pada seluruh penduduk
sasaran di kabupaten/kota tersebut selama minimal 5 tahun berturut-turut dengan
cakupan pengobatan minimal 65% dari total jumlah penduduk. Kemudian 6 bulan
setelah pelaksanaan POPM Filariasis Tahun ke-5, maka dilaksanakan survei
evaluasi prevalensi mikrofilaria. Jika hasil survei menunjukkan prevalensi angka
mikrofilaria pada kabupaten/kota tersebut <1%, maka dilaksanakan survei evaluasi
penularan (Transmission Assessment Survey/TAS) Filariasis, tetapi jika gagal maka
kabupaten/kota tersebut harus melaksanakan POPM Filariasis kembali selama 2
tahun. Jika kabupaten/kota tersebut berhasil lulus dalam survei evaluasi penilaian
Filariasis tahap ke dua maka daerah tersebut dinilai berhasil mencapai eliminasi
Filariasis.

b. Definisi operasional
Indikator jumlah kabupaten/kota endemis Filariasis yang mencapai eliminasi
dihitung dari jumlah akumulasi kabupaten/kota yang berhasil lulus dalam survei
evaluasi penilaian penularan Filariasis tahap ke dua.

c. Rumus/cara perhitungan
Akumulasi jumlah kabupaten/kota endemis Filariasis yang mencapai eliminasi pada
tahun tersebut.

d. Capaian indikator
Pada tahun 2018 – 2021 target jumlah kabupaten/kota endemis Filariasis yang
mencapai eliminasi berhasil dicapai sebesar 158%, 160%, 80%, dan 77%. Pada
tahun 2020 dari target 106 kabupaten/kota endemis Filariasis yang mencapai
eliminasi hanya berhasil dicapai sebanyak 103 kabupaten/kota atau dengan
presentase capaian sebesar 97%. Data capaian jumlah kabupaten/kota endemis
Filariasis yang mencapai eliminasi tahun 2018 – 2022 terlihat dalam grafik berikut
ini:
h a l a m a n | 107

Grafik 3.32 Jumlah Kabupaten/Kota Endemis Filariasis Yang


Mencapai Eliminasi Tahun 2018-2022
120 180%
160%
100
140%
80 120%
100%
60
80%
40 60%
40%
20
20%
0 0%
2018 2019 2020 2021 2022
Target 24 35 80 93 106
Capaian 38 56 64 72 103
% Capaian 158% 160% 80% 77% 97%
Sumber data : Data Tim Kerja NTDs Tahun 2022

Sampai dengan tahun 2022, sebanyak 103 kabupaten/kota dari 236


kabupaten/kota endemis Filariasis telah berhasil mencapai eliminasi Filariasis.
Peningkatan jumlah kabupaten/kota yang mencapai eliminasi Filariasis menunjukkan
semakin meningkatnya komitmen kabupaten/kota dalam melaksanakan program
pengendalian Filariasis melalui Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis selama
minimal 5 tahun berturut-turut dengan cakupan minimal 65% total penduduk untuk
memutus rantai penularan. Data kabupaten/kota endemis Filariasis telah berhasil
mencapai eliminasi Filariasis per provinsi dapat dilihat dalam grafik berikut ini :

Grafik 3.32 Jumlah Kabupaten/Kota Endemis Filariasis Yang Mencapai Eliminasi


Per Provinsi Tahun 2022
25 23 120%

100%
20 18

80%
15
11 12 12 12
10 10 9 9 11 60%
10 10
10 9 9 9
8 7 8 8
7 6 40%
5 5 5 6 6 6
5 5 4 5 5 5
5 4 4 4 4 4 4 4 3
3 3 3 20%
2 2
1 1 1 1
1 0 0 0 0
0 0%
Bengkulu

Jambi

Papua
Kalimantan Utara
Lampung

Jawa Barat

Sulawesi Tenggara
Banten

Sulawesi Tengah

Kep. Riau

Papua Barat
Maluku Utara
Sumatera Barat
Riau

Kep. Bangka Belitung

Sulawesi Barat

Jawa Tengah

Maluku
Gorontalo

Nusa Tenggara Timur


Sumatera Utara

Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Selatan

Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Sumatera Selatan

Aceh

Kab/Kota Endemis Kab/Kota Eliminasi % Capaian


h a l a m a n | 108

Dari data diatas terdapat provinsi yang seluruh kabupaten/kota endemis dinilai telah
mencapai eliminasi Filariasis yaitu Provinsi Sumatera Barat, Riau, Bengkulu,
Lampung, dan Banten. Sedangkan provinsi yang capaian eliminasinya masih 0%
dikarenakan kabupaten/kota endemis masih melaksanakan POPM atau masuk
dalam tahap surveilans pasca POPM adalah Provinsi Jawa Tengah, Kalimantan
Barat, Maluku, dan Papua Barat.

e. Analisa penyebab kegagalan


Indonesia telah menetapkan sebanyak 236 kabupaten/kota dari total 514
kabupaten/kota adalah daerah endemis Filariasis. Seluruh kabupaten/kota endemis
Filariasis tersebut telah dibuat peta proses tahapan menuju eliminasi Filariasis
berdasarkan data dimulainya POPM Filariasis seluas kabupaten/kota, cakupan
POPM Filariasis, serta hasil tahapan survei evaluasi Filariasis. Dari data tersebut
maka dapat ditentukan jumlah kabupaten/kota endemis Filariasis telah berhasil
mencapai eliminasi Filariasis pertahunnya.

Pelaksanaan survei TAS tahap 2 pada seluruh kabupaten/kota endemis Brugia Sp


mengalami penundaan berdasarkan rekomendasi dari Regional Programme Review
Group (RPRG) pada Bulan Juni Tahun 2021. Indonesia diminta menunda sementara
semua survei TAS sampai hasil evaluasi independen Brugia Rapid Test tersedia.
Kemudian pada RPRG tahun 2022 di India, dikeluarkan rekomendasi agar survei
evaluasi penularan (Transmission Assessment Survey/TAS) pada daerah Brugia
Sp menggunakan Survei TAS alternatif yang disebut Brugia Impact Survey (BIS).
Survei BIS membutuhkan sumber daya dan anggaran yang lebih besar.
Pelaksanaan survei pada malam hari menyulitkan pelaksanaan di daerah-daerah
yang memiliki akses sulit. Hal ini menyebabkan penundaan survei TAS tahap 2
sebagai penilaian eliminasi filariasis pada beberapa kabupaten/kota sehingga target
kabupaten/kota endemis filariasis yang mencapai eliminasi tidak tercapai.

f. Upaya yang Dilaksanakan Untuk Mencapai Target Indikator


1. Penguatan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria
- Penyusunan petunjuk teknis surveilans pasca POPM regimen baru sebagai
pedoman pelaksanaan surveilans pada daerah-daerah yang melaksanakan
POPM dengan regimen Ivermectin, DEC, dan Albendazole (IDA).
- Pembuatan SOP Survei TAS Alternatif dengan metode Brugia Impact
Survey (BIS)

2. Pelaksanaan Bulan Eliminasi Kaki Gajah (Belkaga)


Salah satu upaya strategis yang dilakukan untuk meningkatkan cakupan
pemberian obat massal pencegahan (POPM) filariasis sehingga dapat memutus
rantai penularan adalah dengan menjadikan bulan Oktober sebagai “Bulan
Eliminasi Kaki Gajah (BELKAGA)

3. Akselerasi Eliminasi Filariasis melalui Pelaksanaan POPM Filariasis dengan


menggunakan Regimen 3 obat Ivermectin, DEC, dan Albendazole (IDA)
h a l a m a n | 109

Pada tahun 2018 WHO telah merekomendaskan penggunaan Regimen IDA


dalam POPM Filariasis sebagai pengembangan obat makrofilariacidal yang
lebih efektif, aman, dan dapat digunakan di lapangan. Dengan cakupan POPM
yang efektif (>65%) maka regimen IDA dapat mempersingkat waktu
pelaksanaan POPM menjadi kurang dari 5 tahun. Dalam rangka akselerasi
eliminasi filariasis maka pada tahun 2022 diterbitkan Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/1231/2022 tentang Pelaksanaan
POPM filariasis regimen Ivermectin, Diethyl Carbamazine Citrate, dan
Albendazole (IDA) di Kabupaten Kotawaringin Timur, Bintan, Pangkajene
Kepulauan, Bovendigoel, Asmat, Mimika, Sarmi, dan Belitung

4. Advokasi, Sosialisasi, serta Koordinasi Pemberian Obat Pencegahan Massal


(POPM) Filariasis secara Intensif
Kegiatan yang dilaksanakan antara lain :
- Pertemuan koordinasi teknis POPM filariasis regimen IDA di Kabupaten
Pangkajene Kepulauan
- Pertemuan koordinasi POPM regimen IDA di Kabupaten Belitung
- Pertemuan koordinasi teknis POPM Regimen IDA di Kabupaten
Kotawaringin Timur
- Pertemuan koordinasi pertemuan teknis POPM regimen IDA di Kabupaten
Bin tan
- Pertemuan koordinasi pertemuan teknis POPM regimen IDA di Kota
Pekalongan
5. Monitoring dan Evaluasi dalam rangka Pelaksanaan POPM Filariasis.
Kegiatan monitoring dan evaluasi dilaksanakan untuk memantau proses pada
tahap persiapan dan pemberian obat pencegahan massal filariasis serta
mengevaluasi hambatan dan tantangan dalam pengendalian filariasis. selain itu
juga dilaksanakan pertemuan-pertemuan dalam mendukung POPM filariasis.
Kegiatan ini dilaksanakan melalui :
- Pertemuan evaluasi program filariasis BTKL.
- Pertemuan Evaluasi Program Filariasis Regional Papua
- Pertemuan Evaluasi Program Filariasis Regional Papua Barat
- Rapat koordinasi LS/LP dalam rangka penguatan program
penanggulangan filariasis;
- Koordinasi National Task Force Filariasis (NTF) dan Komite Ahli
Pengobatan Filariasis (KAPFI);
- Pencegahan dini/ penanggulangan kejadian ikutan minum obat (POPM)
Filariasis dan Kecacingan terpadu;
- Surveilans kasus klinis/kronis filariasis;
- Pendampingan pelaksanaan/sweeping cakupan POPM filariasis.

6. Surveilans Pasca POPM Filariasis


Surveilans merupakan tahap yang paling penting dalam melaksanakan eliminasi
Filariasis. Setelah POPM Filariasis dilaksanakan selama 5 tahun pada
kabupaten/kota endemis Filariasis, selanjutnya kabupaten/kota tersebut dievaluasi
melalui survei evaluasi mikrofilaria untuk melihat apakah kabupaten/kota endemis
h a l a m a n | 110

Filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria rate <1%. Jika lulus maka
dilaksanakan survei evaluasi penularan Filariasis untuk melihat apakah masih
terjadi penularan pada daerah tersebut atau masih harus melanjutkan kegiatan
POPM Filariasis sebelum ditetapkan sebagai daerah eliminasi Filariasis.
7. Surveilans Pasca Eliminasi Filariasis
Kegiatan ini bertujuan untuk memonitoring kabupaten/kota yang sudah
mendapatkan sertifikat eliminasi Filariasis apakah terdapat resiko penularan
Filariasis kembali. Kegiatan dilaksanakan dengan survei darah jari serta
melakukan pengobatan pada kasus positif mikrofilaria.

b. Peningkatan Kapasitas Petugas Kesehatan pada pelaksanaan surveilans melalui


Pelatihan Survei TAS

c. Distribusi obat dan logistik ke daerah


Dalam rangka mendukung kegiatan POPM filariasis di kabupaten/kota maka obat
dan logistik kit POPM IDA didistribusikan ke daerah sesuai perencanaan obat dan logistik
yang telah disusun sebelumnya

d. Pengadaan bahan-bahan Survei Filariasis


Dalam rangka mendukung pelaksanaan Survei Evaluasi, maka telah
dilaksanakan pengadaan bahan-bahan survei diantaranya lancet, FTS, kit surveyor, dan
Tabung Microtainer EDTA 0,5 ml.

g. Kendala/Masalah yang Dihadapi


1. Adanya simplifikasi dana dekonsentrasi menyebabkan anggaran dekonsentrasi untuk
program filariasis ditiadakan
2. Kondisi geografis beberapa wilayah di Indonesia yang sulit terjangkau. Kegiatan POPM
Filariasis dilaksanakan untuk seluruh penduduk usia 2-70 tahun di kabupaten/kota
endemis filariasis, dimana beberapa daerah tersebut merupakan daerah terpencil dan
kepulauan yang sulit aksesnya, sehingga pelaksanaan POPM Filariasis di daerah
tersebut sulit menjangkau seluruh sasaran, terutama di desa-desa terpencil.
3. Adanya dugaan Kejadian Ikutan pasca POPM yang terjadi di masyarakat dapat
menurunkan angka partisipasi minum obat pada waktu POPM Filariasis
4. Masih terdapat kabupaten/kota yang gagal dalam Survei Evaluasi Prevalensi mikrofilaria
menyebabkan tahapan kabupaten/kota untuk eliminasi filariasis tertunda
5. Rekomendasi agar survei evaluasi penularan (Transmission Assessment Survey/TAS)
pada daerah Brugia Sp menggunakan Survei TAS alternatif yang disebut Brugia Impact
Survey (BIS) yang membutuhkan anggaran dan sumber daya yang lebih besar

h. Pemecahan Masalah
1. Terbitnya Surat Sekretaris Jenderal Kemenkes Nomor PM.03.03/1/5640/2022 tentang
Tanggapan terkait Dampak Simplikasi Menu dan Efisiensi Anggaran Dekonsentrasi
h a l a m a n | 111

Penyakit Tropis Terabaikan maka kegiatan terkait POPM filariasis dapat dialokasikan
sebagian dengan menggunakan anggaran di internal Ditjen P2P
2. Advokasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan komitmen dalam menjangkau
daerah-daerah sulit dalam pelaksanaan POPM Filariasis, serta Mengoptimalkan
mobilisasi tenaga kesehatan yang ada untuk menjangkau daerah-daerah sulit dan
terpencil.
3. Konsolidasi dan Penguatan jejaring Komisi Ahli penanggulangan kejadian ikutan pasca
POPM Filariasis baik di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota untuk
mengantisipasi kejadian ikutan yang terjadi selama pelaksanaan POPM Filariasis
4. Supervisi dan pendampingan secara aktif terhadap kabupaten/kota gagal survey PreTAS
agar dapat meningkatkan cakupan minum obat dan memastikan obat diminum di depan
petugas agar berhasil memutus rantai penularan filariasis
5. Optimalisasi anggaran dan sumber daya yang ada untuk pelaksanaan Survei BIS

B REALISASI ANGGARAN
1. Realisasi Anggaran Direktorat P2PM
Untuk kinerja keuangan pada tahun 2022, data per 25 Januari 2022 berdasarkan Sistem
Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), realisasi anggaran mencapai 91,28%, dengan
realisasi Rp1.608.576.845.094 dari pagu total sebesar Rp. 1.762.226.498.000.

NO Klasifikasi Rincian Output PAGU Realisasi Persentase

1 Koordinasi 161.493.191.000 157.218.981.687 97,35%

2 Sosialisasi dan Diseminasi 118.206.204.000 112.783.889.001 95,41%

3 Norma, Standard, Prosedur dan Kriteria 238.738.000 79.089.700 33,13%

4 Pelayanan Publik kepada masyarakat 164.582.891.000 163.798.179.533 99,52%

5 Pelayanan Publik Lainnya 73.034.160.000 63.772.470.994 87,32%

6 Data dan Informasi Publik 8.795.535.000 8.140.701.253 92,55%

7 Sarana Bidang Kesehatan 1.027.254.264.000 910.543.205.103 88,64%

8 OM Sarana Bidang Kesehatan 454.725.000 445.716.000 98,02%

9 Pelatihan Bidang Kesehatan 67.874.290.000 54.702.182.631 80,59%


Fasilitasi dan Pembinaan Pemerintah
10 Daerah 140.292.500.000 137.092.429.192 97,72%

Jumlah 1.762.226.498.000 1.608.576.845.094 91,28%


h a l a m a n | 112

2. Realisasi anggaran per Indikator kinerja


No Indikator Kinerja Kegiatan Pagu Realisasi Persentase
Persentase orang dengan risiko
terinfeksi virus yang melemahkan
1
sistem kekebalan tubuh manusia yang
mendapatkan skrining HIV
384.144.266.000 370.517.269.176 96,45%
Persentase Orang dengan HIV
2 (ODHIV) baru ditemukan
mendapatkan pengobatan ART
3 Persentase pasien sifilis yang diobati
4 Angka keberhasilan pengobatan TBC 965.444.308.000 874.871.612.161 90,62%
Jumlah Kab/kota yg mencapai
5 77.887.910.000 71.090.390.460
positivity rate <5% 91,27%
Persentase pengobatan kusta tepat
6 9.581.205.000 7.755.034.640
waktu 80,94%
Persentase pengobatan pneumonia
7 10.775.633.000 1.765.055.800
sesuai standar 16,38%
Persentase pengobatan diare sesuai
8 1.233.160.000 826.718.330
standar 67,04%
Persentase kabupaten/kota yang
melaksanakan deteksi dini Hepatitis B
dan C pada populasi berisiko
9 Persentase kabupaten/kota yang 194.082.355.000 179.545.164.439 92,51%
melaksanakan deteksi dini Hepatitis B
dan C pada populasi berisiko.

10 Kab Kota Eliminasi Rabies 9.139.452.000 5.007.124.190 54,79%


11 Desa Endemis schistosomiasis 1.045.680.000 927.043.000 88,65%
12 Kab/Kota dgn IR DBD <10 90.011.360.000 81.003.903.920 89,99%
Kab/kora Endemis Filariasis dengan
13 8.847.424.000 7.501.351.378
angka Mikrofilariasis <1% 84,79%
Jumlah kab/kota endemis filariasis
14 8.847.424.000 7.501.351.378
yang mencapai eliminasi 84,79%

C. Efisiensi Sumber Daya


Berdasarkan PMK No. 214/PMK.02/2017 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja
Anggaran atas Pelaksanaan Rencana dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, efisiensi
dilakukan dengan membandingkan penjumlahan dari selisih antara perkalian pagu anggaran
keluaran dengan capaian keluaran dan realisasi anggaran keluaran dengan penjumlahan dari
perkalian pagu anggaran keluaran dengan capaian keluaran. Rumus yang dipergunakan adalah
sebagai berikut:
h a l a m a n | 113

E : Efisiensi
PAKi : Pagu Anggaran Keluaran
RAKi : Realisasi Anggaran Keluaran
CKi : Capaian Keluaran

Nilai efisiensi diperoleh dengan asumsi bahwa minimum efisiensi yang dicapai sebesar -20% dan nilai
paling tinggi sebesar 20%. Oleh karena itu dilakukan transformasi skala efisiensi agar diperoleh skala
nilai yang berkisar 0% sampai 100% dengan rumus sebagai berikut:
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20

1. Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia
yang mendapatkan skrining HIV

PAKi : Rp 384.144.266.000,-
RAKi : Rp 370.514.269.161,-
CKi: 96,45 %

(384.144.266.000X0.96) – 370.514.269.161
E = ----------------------------------------------------------------- X 100%
(384.144.266.000X 0.96)
= -0,47
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20

−0.47
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 48,825%
20

Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk Indikator Persentase orang dengan
risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia yang mendapatkan
skrining HIV dengan anggaran 384.144.266.000,- memiliki nilai efisiensi 48.825%

2. Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru ditemukan mendapatkan pengobatan ARV

PAKi : Rp 384.144.266.000,-
RAKi : Rp 370.514.269.161,-
CKi: 96,45 %

(384.144.266.000X0.96) – 370.514.269.161
E = ----------------------------------------------------------------- X 100%
(384.144.266.000X 0.96)
= -0,47
h a l a m a n | 114

𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20

−0.47
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 48,825%
20

Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk Indikator Persentase Orang dengan
HIV (ODHIV) baru ditemukan mendapatkan pengobatan ARV dengan anggaran 384.144.266.000,-
memiliki nilai efisiensi 48.825%

3. Angka keberhasilan pengobatan TBC

PAKi : Rp 965.444.308.000,-
RAKi : Rp 874.871612.161,-
CKi: 94 %
(965.444.308.000X0.94) – 874.871612.161
E = ----------------------------------------------------------------- X 100%
(965.444.308.000X 0.94)
= 3,59
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20

3,597
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 58,99%
20
Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk Indikator Angka keberhasilan
pengobatan TBC dengan anggaran 965.444.308.000,- memiliki nilai efisiensi 58.99%

4. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai positivity rate (PR) < 5%


Indikator Jumlah kabupaten/kota yg mencapai Positivity Rate (PR) < 5% :

Pagu Anggaran Keluaran i (PAKi) = Rp 77.887.910.000


Realisasi Anggaran Keluaran i (RAKi) = Rp. 71.083.345.660
Capaian Keluaran i (CKi) = 93% (1)

Sehingga Efisiensi:

((77.887.910.000 X 0,93) – 71.083.345.660)


E= ------------------------------------------------------ X 93%
(77.887.910.000 X 0,93)

E = 1,7%

𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20

1,7
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 54,25%
20
h a l a m a n | 115

Efisiensi Sumber Daya dari indikator Jumlah kabupaten/kota yg mencapai Positivity Rate (PR)
< 5% sebanyak 1,7%. Artinya biaya untuk kegiatan output tersebut tidak efisien sebesar 1,7%
dari pagu anggaran yang disediakan. Sedangkan nilai efisiensi nya sebesar 54,25%

5. Persentase penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu


PAKi : Rp 9.581.205.000,-
RAKi : Rp 7.755.034.640,-
CKi : 98,6 %

(9.581.205.000 X0.99) – 7.755.034.640


E = ----------------------------------------------------------------- X 100%
(9.581.205.000 X 0.99)
= 18.24%

𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20

18,24
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 95,6%
20

Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk Indikator Persentase penderita
kusta yang menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu dengan anggaran Rp .9.581.205.000,-
memiliki nilai efisiensi 95,6%

6. Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar


PAKi : Rp 10.775.633.000,-
RAKi : Rp 1.765.055.800,-
CKi : 106 %

(10.775.633.000X1,06) – 1.765.055.800
E = ----------------------------------------------------------------- X 100%
(10.775.633.000X 1.06)
= 84,55 %

𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20

85.55
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 100%
20

Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk Indikator Persentase pengobatan
pneumonia sesuai standar dengan anggaran Rp 10.775.633.000,- memiliki nilai efisiensi 100
%
h a l a m a n | 116

Penyebab serapan anggaran rendah karena pengadaan tidak dapat terlaksana karena barang
yang sesuai spesifikasi tidak tersedia (ARI Soundtimer dan Pulse Oximeter) sampai akhir tahun
2022

7. Persentase pengobatan kasus diare sesuai standar

Dalam pencapaian target kinerja yang optimal, program Pencegahan dan Pengendalian penyakit
infeksi saluran pencernaan khususnya diare fokus kepada tatalasana diare balita sesuai standar.
Selain itu juga dilakukan upaya pencapaian target penemuan kasus balita diare dengan kegiatan
surveilans aktif dan pasif. Secara aktif, kader yang telah dilatih diharapkan dapat melaporkan kasus
balita diare yang ada di wilayah kerjanya, integrasi kegiatan dengan program kesehatan lain seperti
PIS PK. Secara pasif yaitu Puskesmas mendaptkan laporan dari jejaring kerjanya yaitu fasilitas
kesehatan swasta yang ada di wilayah kerjanya.
Anggaran Tahun 2022 sebesar 1.233.160.000 dengan realisasi sebesar 826.718.330 (67 %).
Capaian kinerja sebesar 184,4%
Formula Efisiensi:

(1.233.160.000 x 184,4%) − 826.718.330


𝐸= 𝑥100%
(1.233.160.000 x 184,4%)
E = 32,96%
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20

32,96
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 58,99%
20

Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk indikator persentase pengobatan
diare sesuai standar dengan anggaran 1.233.160.000 memiliki nilai efisiensi 100 %

8. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan C pada populasi
berisiko

Dalam pencapaian target kinerja yang optimal, program Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis
berusaha memprioritaskan kegiatan yang efeknya lebih besar tapi mudah dijangkau yaitu dengan
melaksanakan Deteksi Dini pada Ibu Hamil, serta mengoptimalkan kerjasama dengan program HIV
dan KIA untuk menjangkau sasaran baik ibu hamil maupun kelompok berisiko lainnya.
Anggaran Tahun 2022 sebesar 194.082.355.000 dengan realisasi sebesar 179.545.164.439
(92,5%). Capaian indikator kinerja sebesar 98,9%
Formula Efisiensi:
h a l a m a n | 117

(194.082.355.000 x 98,9%) − 179.545.164.439


𝐸= 𝑥100%
(194.082.355.000 x 98.9%)
E = 6.46%
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20

6.46
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 66.15%
20

Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk indikator persentase kabupaten/kota
yang melaksanakan deteksi dini hepatitis b dan C pada populasi berisko dengan anggaran Rp
194.082.355.000 memiliki nilai efisiensi 66.15%

9. Persentase pasien sifilis yang diobati

PAKi : Rp 384.144.266.000,-
RAKi : Rp 370.514.269.161,-
CKi: 96,45 %

(384.144.266.000X0.96) – 370.514.269.161
E = ----------------------------------------------------------------- X 100%
(384.144.266.000X 0.96)
= -0,47
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20

−0.47
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 48,825%
20

Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk Indikator Persentase pasien sifilis
yang diobati dengan anggaran 384.144.266.000,- memiliki nilai efisiensi 48.825%

10. Jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi

Pada tahun 2022 jumlah pagu anggaran APBN Pusat untuk mencapai target indikator Jumlah desa
endemis Schistosomiasis yang mencapai eliminasi adalah sebesar Rp. 1.045.680.000,-. Anggaran
tersebut telah terealisasi sebesar Rp.927.043.000,- atau sebesar 88,65%. Sedangkan Capaian
keluaran atau realisasi output anggaran adalah sebesar 100%. Dengan demikian maka efisensi
yang telah dilakukan adalah :

E = (1.045.680.000x 100 %) – (927.043.000x 100%) = 11,34%


1.045.680.000 x 100%
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20
h a l a m a n | 118

11,34
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 78,35%
20

Dalam rangka melaksanakan eliminasi Schistosomiasis, maka pemerintah telah berhasil


melaksanakan efisiensi anggaran APBN sebesar 11.34% dengan nilai efisiensi sebesar 78.35%
Anggaran yang ada telah dioptimalkan untuk kegiatan Koordinasi dan Review Implementasi
Kegiatan dalam Rangka Eliminasi Schistosomiasis Lintas Kementerian dan Lembaga secara daring,
Assessment Eliminasi Schistosomiasis, Pendampingan Teknis Implementasi Kegiatan
Penanggulangan Schiostosomiasis, Survei Prevalensi pada Manusia, serta Pelaksanaan Kegiatan
Pengendalian Fokus Keong schistosomiasis.

11. Jumlah Kabupaten/Kota Eliminasi Rabies

Pada tahun 2022 jumlah pagu anggaran APBN Pusat untuk mencapai target indikator Kabupaten
Kota Eliminasi Rabies adalah sebesar Rp. 9.139.452.000,-. Anggaran tersebut telah terealisasi
sebesar Rp. 5.007.124.190,- atau sebesar 54,8 %. Sedangkan Capaian keluaran atau realisasi
output anggaran adalah sebesar 78,75 %. Dengan demikian maka efisensi yang telah dilakukan
adalah :
((9.139.452.000,- X 0,7875) – 5.007.124.190,-)
E = ---------------------------------------------------------- X 100 = 30,4 %
( 9.139.452.000,- X 0,7875 )

NE = 50% + (E/20 x 50) = 50 % + (30,4/20 + 50) = 100 %

Dalam rangka melaksanakan eliminasi rabies, maka pemerintah telah berhasil melaksanakan
efisiensi anggaran APBN sebesar 30,4 % dan nilai efisiensi nya sebesar 100%. Anggaran yang ada
telah dioptimalkan untuk kegiatan Koordinasi LP/LS Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
(Rabies), Monitoring Kewaspadaan Dini dan Penanggulangan KLB Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Zoonosis (Rabies), Assessment Rabies Center, Penyediaan NSPK termasuk Penyusunan
Permenkes Penanggulangan Zoonosis(Rabies), Penyediaan Media KIE Zoonosis (Rabies),
Penerbitan Buletin Penyakit Zoonosa, Gerakan Masyarakat dalam Rangka Sosialisasi Penyakit
Zoonosa, dan Penyediaan Layanan Pendidikan dan Pelatihan Internal.

12. Persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk

Realisasi anggaran per Indikator kinerja


a. Efisiensi Penggunaan Sumber Daya
PAKi : Rp 90.011.360.000,-
RAKi : Rp 81.003.903.920,-
CKi: 90,0 %

(90.011.360.000 X 0.20) – 81.003.903.920


E = ----------------------------------------------------------------- X 100%
(90.011.360.000 X 0.20)
h a l a m a n | 119

= -3,49%

𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋 50)
20

−3.49
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋 50)
20

𝑁𝐸 = 41,275 %

Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk Indikator Persentase kabupaten/kota
yang memiliki IR ≤10/100.000 penduduk dengan anggaran Rp . 90.011.360.000,- memiliki nilai
efisiensi -3,49% yang artinya tidak efisien karena realisasi anggaran lebih besar daripada capaian
kinerja. Sedangkan nilai efiesiensi nya sebesar 41,27%

13. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1%

Pada tahun 2022 jumlah pagu anggaran APBN untuk mencapai target indikator jumlah
kabupaten/kota berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1% adalah sebesar Rp. 8.847.424.000,-.
Anggaran tersebut telah terealisasi sebesar Rp. 7.501.351.378,- atau sebesar 84,8%. Sedangkan
Capaian keluaran adalah sebesar 97,1%. Dengan demikian maka efisensi yang telah dilakukan
adalah :

E = (8.847.424.000x 97,1% ) – (7.501.351.378 x 97,1%) = 14,7 %


8.847.424.000x 97,1%
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20

14,7
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 86,75%
20

Dalam rangka menurunkan angka mikrofilaria < 1%, pemerintah telah berhasil
melaksanakan efisiensi sebesar 14,7% dengan nilai efisiensi sebesar 86,75%. Anggaran yang ada
telah dioptimalkan untuk pelaksanaan advokasi, sosialisasi dan koordinasi kepada lintas program,
lintas sektor serta masyarakat, monitoring dan evaluasi pelaksanaan POPM filariasis serta
pelaksanaan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria. Sarana prasarana diantaranya kit POPM IDA
telah didistribusikan ke daerah untuk mendukung pelaksanaan POPM filariasis.

14. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang mencapai eliminasi

Pada tahun 2022 jumlah pagu anggaran APBN untuk mencapai target indikator jumlah
kabupaten/kota endemis filariasis berhasil mencapai eliminasi adalah sebesar Rp.
8.847.424.000,-. Anggaran tersebut telah terealisasi sebesar Rp. 7.501.351.378,- atau sebesar
h a l a m a n | 120

84,8%. Sedangkan Capaian keluaran adalah sebesar 97,1%. Dengan demikian maka efisensi
yang telah dilakukan adalah :

E = (8.847.424.000x 97,1% ) – (7.501.351.378 x 97,1%) = 14,7 %


8.847.424.000x 97,1%

𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20

3,597
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 86,75%
20

Dalam rangka pelaksanaan program eliminasi filariasis, maka pemerintah telah berhasil
melaksanakan efisiensi sebesar 14,7% dan nilai efisiensi sebesar 86,75%. Anggaran yang
ada telah dioptimalkan untuk pelaksanaan advokasi, sosialisasi dan koordinasi kepada lintas
program, lintas sektor serta masyarakat, monitoring dan evaluasi pelaksanaan POPM filariasis
serta pelaksanaan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria. Sarana prasarana diantaranya
pengadaan kit POPM IDA dan FTS, Lancet, Kit Surveyor, dan Bahan Kontak Filariasis telah
dilaksanakan untuk mendukung pelaksanaan POPM filariasis serta survei evaluasi
h a l a m a n | 121

BAB IV PENUTUP

IV.1 Kesimpulan
1. Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban yang menggambarkan kinerja
Direktorat P2PM dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya yang diukur
berdasarkan tingkat penggunaan anggaran dan tingkat pencapaian kegiatan keluaran
(output kegiatan) selama periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2022.

2. Pencapaian kinerja pada tahun 2022 dapat diukur berdasarkan jumlah indikator yang telah
tercapai dan berdasarkan rata-rata capaian kinerja. Berdasarkan jumlah indikator yang
mencapai tercapai maka Kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular berdasarkan rata-rata capaian kinerja sebesar 96,97%.

3. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular telah melakukan realisasi


anggaran mencapai 91,28%, dengan realisasi Rp1.608.576.845.094 dari pagu total
sebesar Rp. 1.762.226.498.000.

IV.2 Rencana Tindak Lanjut


1. Melaksanakan evaluasi dan meningkatkan kualitas dalam pemutakhiran data
Perencanaan dan penganggaran dan melakukan umpan Balik
2. Perlunya Sosialisasi tentang program pencegahan dan pengendalian penyakit Menular
dengan melibatkan Lintas Sektor/Lintas Program dan unsur masyarakat seperti tokoh
masyarakat dan tokoh agama.
3. Melakukan Pemetaan terhadap daerah prioritas sehingga lebih terfokus terhadap masalah
yang akan diintervensi
4. Melakukan penguatan dalam Penganggaran dan Manajemen logistik terhadap upaya
pencegahan dan penanganan kasus.
5. Melakukan pengembangan Kajian, penelitian dan inovasi dalam rangka percepatan
pencapaian target indikator.
h a l a m a n | 122

LAMPIRAN
PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2022
DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
MENULAR

NO SASARAN KINERJA INDIKATOR KINERJA TARGET


1. Meningkatnya Penemuan dan 1. Persentase orang dengan risiko terinfeksi 80
pengobatan kasus HIV virus yang melemahkan sistem kekebalan
tubuh manusia yang mendapatkan skrining
HIV
2. Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) 85
baru ditemukan mendapatkan pengobatan
ART
2. Meningkatnya penemuan dan 3. Angka keberhasilan pengobatan TBC 90
pengobatan kasus TBC

3. Meningkatnya jumlah 4. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai 374


kabupaten/kota dengan API < positivity rate (PR) < 5%
1/1000 penduduk

4. Meningkatnya proporsi kasus 5. Persentase penderita kusta yang 90


kusta baru tanpa cacat menyelesaikan pengobatan kusta tepat
waktu

5. Meningkatnya Pencegahan 6. Persentase pengobatan kasus pneumonia 50


dan pengendalian penyakit sesuai standar
menular 7. Persentase pengobatan kasus diare sesuai 50
standar

8. Persentase kabupaten/kota yang 95


melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan
C pada populasi berisiko
9. Persentase pasien sifilis yang diobati 75

10. Jumlah desa endemis schitomiasis yang 19


mencapai eliminasi
11. Jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies 211

12. Persentase kabupaten/kota dengan Insiden 80


Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000 peduduk
13. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis 207
berhasil menurunkan angka mikrofilaria <
1%
14. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis 106
yang mencapai eliminasi

Anda mungkin juga menyukai