Laporan Kinerja Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Menular 2022
Laporan Kinerja Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Menular 2022
KATA PENGANTAR
IKHTISAR EKSEKUTIF
Laporan Kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Tahun 2022 merupakan
sarana untuk menyampaikan pertanggungjawaban kinerja Direktur P2PM beserta jajarannya kepada
Direktur Jenderal P2P dan seluruh pemangku kepentingan, baik yang terkait langsung maupun tidak
langsung. Laporan Kinerja Direktorat P2PM menjabarkan capaian kinerja yang ditetapkan dalam
Perjanjian Kinerja Direktorat P2PM, mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024, Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024 dan
Rencana Aksi Program Ditjen P2P Tahun 2020-2024 dan Rencana Aksi Kegiatan Direktorat P2PM
Revisi.
Dari 14 Indikator Kinerja yang ditetapkan dalam Perjanjian Kinerja Tahun 2022 yang dijanjikan oleh
Direktur Jenderal P2P kepada Menteri Kesehatan, terdapat 3 Indikator Kinerja Kinerja yang memiliki
kinerja mencapai atau melebihi target dan 11 indikator tidak mencapai target. Capaian IKK Direktur
P2PM Tahun 2022 adalah sebagai berikut:
1. Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh
manusia yang mendapatkan skrining HIV tercapai 60% dari target 80% dengan kinerja 75%
2. Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru ditemukan mendapatkan pengobatan ART tercapai
80% dari target 85% dengan kinerja 90%
3. Angka keberhasilan pengobatan TBC tercapai 84.64% dari target 90% dengan kinerja 94.04%
4. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai positivity rate (PR) < 5%, tercapai 348 dari target 374
dengan kinerja 93%
5. Persentase penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu, tercapai 87 dari
target 89 dengan kinerja 97%
6. Persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar, tercapai 50% dari target 53% dengan
kinerja 106%
7. Persentase pengobatan kasus diare sesuai standar, tercapai 89.65% dari target 50% dengan
kinerja 179.3%
8. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan C pada populasi
berisiko tercapai 94% dari target 95% dengan kinerja 98.9%
9. Persentase pasien sifilis yang diobati tercapai 66% dari target 75% dengan kinerja 87%
10. Jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi, tercapai 16 desa dari target 19
desa dengan kinerja 84%
11. Jumlah kabupaten/kota eliminasi rabies, tercapai 263 dari target 211 dengan kinerja 124%
12. Persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk, tercapai
17.21% dari target 80% dengan kinerja 21.4%
13. Jml kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1%, tercapai 207%
dari target 201% dengan kinerja 97%
14. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang mencapai eliminasi, tercapai 103% dari target
106% dengan kinerja 97.16%
Untuk kinerja keuangan pada tahun 2022, data per 25 Januari 2022 berdasarkan Sistem
Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), realisasi anggaran mencapai 91,28%, dengan
realisasi Rp1.608.576.845.094 dari pagu total sebesar Rp. 1.762.226.498.000.
halaman |4
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN___________________________________________ 5
I.I. Latar Belakang 5
I.2. Tugas Pokok dan Fungsi 8
I.3. Struktur Organisasi 9
I.4. Sumber Daya Manusia 10
I.5 Sistematika Penulisan 12
bab ii perencanaan kinerja _______________________________________ 13
II.1 Perencanaan Kinerja 13
II.2 Perjanjian Kinerja 16
BAB III AKUNTABILITAS KINERJA ________________________________ 18
III.1 Capaian Kinerja Organisasi 18
III.2 Analisis Pencapaian Organisasi 19
BAB IV PENUTUP ____________________________________________ 121
IV.1 Kesimpulan 121
IV.2 Rencana Tindak Lanjut 121
LAMPIRAN __________________________________________________ 122
Lampiran I Error! Bookmark not defined.
halaman |5
BAB I PENDAHULUAN
sifilis kongenital di Indonesia telah menurun, tetapi masih 10 kali lipat lebih tinggi daripada target
global eliminasi sifilis kongenital, yaitu < 50 kasus per 100.000 kelahiran hidup. Pengendalian IMS
baik pada populasi kunci maupun pada non populasi kunci, terutama ibu hamil, harus diperkuat agar
target eliminasi IMS dapat tercapai.
Tujuan pengendalian HIV AIDS pada tahun 2030 adalah mencapai Three zero yaitu zero
new infection, zero AIDS related death dan zero discrimination yang dilakukan melalui program
STOP (Suluh, Tes, Obati dan Pertahankan). Target TOP tahun 2030 sebesar 95-95-95 yaitu 95%
orang dengan HIV mengetahui status HIV nya, 95% orang dengan HIV AIDS mendapatkan
pengobatan dan 95 % orang yang mendapatkan pengobatan HIV tersupresi virusnya. Dengan
adanya komitmen pemerintah diharapkan semua elemen baik pemerintah, swasta, masyarakat dan
lain-lain dapat mendorong pencapaian eliminasi HIV tahun 2030.
Tuberkulosis (TBC) masih merupakan ancaman kesehatan masyarakat di Indonesia.
Berdasarkan WHO Global TBC Report 2021, kasus TBC di Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan
sejumlah 824.000 kasus dengan insidensi 301 per 100.000 penduduk yang kemudian membawa
Indonesia menjadi salah satu negara tertinggi dengan kasus terbanyak setelah india. Pada tahun
2021 masih banyak kasus yang belum terlaporkan dan terdiagnosis sehingga perlu peningkatan
penemuan dan pengobatan di lapangan baik kegiatan aktif dan pasif. Dengan adanya komitmen
pemerintah diharapkan semua elemen baik pemerintah, swasta, masyarakat dan lain-lain dapat
mendorong pencapaian eliminasi tuberkulosis tahun 2030.
Program penanggulangan malaria di Indonesia bertujuan untuk mencapai eliminasi malaria
secara bertahap selambat-lambatnya Tahun 2030. Secara nasional, terdapat 347 kabupaten/kota
atau 67,51% yang telah dinyatakan bebas malaria pada tahun 2021. Jumlah ini meningkat
dibandingkan tahun 2020 yang sebanyak 318 kabupaten/kota. Angka kesakitan malaria
digambarkan dengan indikator Annual Parasite Incidence (API) per 1.000 penduduk, yaitu proporsi
antara pasien positif malaria terhadap penduduk berisiko di wilayah tersebut dengan konstanta
1.000. Sejak tahun 2015 sampai dengan tahun 2020, angka kesakitan malaria berada di bawah 1
per 1.000 penduduk. API meningkat menjadi di atas 1 yaitu sebesar 1,1 pada tahun 2021. Kasus
malaria Tahun 2021 di Indonesia sebanyak 304.607, kasus tertinggi yaitu di Provinsi Papua
sebanyak 275.243 kasus, disusul dengan Provinsi NTT sebanyak 9.419 kasus dan Provinsi Papua
Barat sebanyak 7.628 kasus.
Kusta merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia dan
menempati urutan ke 3 di dunia dengan jumlah kasus baru terbanyak di tahun 2020. Indonesia
merupakan negara dengan beban kusta yang tinggi dengan penemuan kasus baru yang statis
selama 20 tahun terakhir. Pada tahun 2021, Indonesia masih dalam proses mencapai eliminasi
tingkat nasional dengan prevalensi 0,45 per 10.00 penduduk. Sebab 6 provinsi yang belum
mencapai eliminasi, yaitu provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan
Papua Barat. Ada 12.230 kasus terdaftar dengan angka penemuan kasus baru 4,03 per 100.000
penduduk, dan kasus baru sebanyak 10.976 orang. Proporsi kasus kusta yang ditemukan tanpa
cacat sebesar 83,6% dan proporsi kasus kusta cacat tingkat 2 sebesar 6,13 % Proporsi kusta anak
di antara kasus kusta baru sebesar 10,33%. Penderita kusta yang telah menyelesaikan pengobatan
tepat waktu Release From Treatment (RFT) adalah 90%. Kasus kusta banyak ditemukan di wilayah
Timur dan berbagai indikator menunjukkan masih tingginya penularan kasus kusta di Indonesia
khususnya di wilayah Indonesia Timur.
Program Pencegahan dan Pengendalian ISPA difokuskan pada pengendalian penyakit
pneumonia pada balita karena berkontribusi besar terhadap angka kesakitan dan kematian balita.
Sampai saat ini pneumonia masih merupakan salah satu penyebab angka kesakitan dan kematian
tertinggi pada balita di dunia maupun di Indonesia. Menurut WHO, pneumonia berkontribusi terhadap
halaman |7
14% kematian pada balita di dunia pada tahun 2019. Pada RISKESDAS 2018, prevalensi pneumonia
berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 2% dan 4% berdasarkan diagnosis oleh
tenaga kesehatan dan gejala. Survei Sample Registration System Balitbangkes 2016 pneumonia
menempati urutan ke 3 sebagai penyebab kematian pada balita (9.4%).
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pencernaan yang menjadi
masalah kesehatan di dunia termasuk Indonesia. Menurut WHO dan UNICEF, terjadi sekitar 2 milyar
kasus diare dan 1,9 juta anak balita meninggal karena diare di seluruh dunia setiap tahun. Dari
semua kematian tersebut, 78% terjadi di negara berkembang, terutama di wilayah Afrika dan Asia
Tenggara. Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menyebutkan prevalensi diare untuk semua kelompok
umur sebesar 8 % dan angka prevalensi untuk balita sebesar 12,3 %, sementara pada bayi,
prevalensi diare sebesar 10,6%. Sementara pada Sample Registration System tahun 2018, diare
tetap menjadi salah satu penyebab utama kematian pada neonatus sebesar 7% dan pada bayi usia
28 hari sebesar 6%. Data dari Komdat Kesmas periode Januari - November 2021, diare
menyebabkan kematian pada postneonatal sebesar 14%. Data terbaru dari hasil Survei Status Gizi
Indonesia tahun 2020, prevalensi diare di berada ada pada angka 9,8%. Diare sangat erat kaitannya
dengan terjadinya kasus stunting. Kejadian diare berulang pada bayi dan balita dapat menyebabkan
stunting. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia 2020, Penyakit infeksi khususnya diare
menjadi penyumbang kematian pada kelompok anak usia 29 hari - 11 bulan. Sama seperti tahun
sebelumnya, pada tahun 2020, diare masih menjadi masalah utama yang meyebabkan 14,5%
kematian. Pada kelompok anak balita (12 – 59 balita), kematian akibat diare sebesar 4,55%.
Hepatitis virus diperkirakan menyebabkan 1,4 juta kematian per tahun di dunia akibat infeksi
akut dan kanker hati terkait hepatitis dan sirosis. Secara global, pada tahun 2015 diperkirakan 257
juta orang hidup dengan infeksi virus hepatitis B (VHB) kronis, dan 71 juta orang dengan infeksi virus
hepatitis C (VHC) kronis. Di Asia Tenggara, WHO memperkirakan ada sekitar 39,4 juta (28,8 –76,5
juta) orang yang hidup dengan hepatitis B kronis dan 10,3 juta (8,0–17,8 juta) orang yang hidup
dengan hepatitis C kronis.
Di Indonesia, Hepatitis virus B dan Hepatitis virus C merupakan penyebab sebagian besar
penyakit hepatitis, sirosis, dan kematian terkait penyakit hati. Data Riskesdas 2013 menunjukkan
prevalensi Hepatitis B (HBsAg) secara umum sebesar 7,1% pada penduduk Indonesia (Gambar 2).6
Angka prevalensi meningkat pada kelompok usia di atas 5 tahun, karena adanya transmisi horizontal
melalui kontak darah dan/atau hubungan seksual berisiko. Selain itu, prevalensi HBsAg pada ibu
hamil juga masih cukup tinggi yang berkisar antara 1,82% sampai 2,46%. Untuk Hepatitis C,
prevalensi umum anti-HCV sebesar 1%. Berdasarkan data pengobatan yang tersedia, sebaran
Hepatitis C terkonsentrasi pada beberapa kelompok populasi, antara lain (1) pengguna napza suntik
13,8%-31,1%; (2) pasien hemodialisis 3,7%-18,6%; dan (3) penerima transfusi darah 4,5-11%.6,8.
Sirosis hati akibat hepatitis merupakan salah satu dari 8 penyakit berbiaya tinggi dan memiliki
komplikasi yang mengancam nyawa (penyakit katatrofik) yang menjadi fokus penyelenggaraan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Secara keseluruhan, biaya pertanggungan BPJS Kesehatan
selama 2014-2016 untuk infeksi Hepatitis B berjumlah 151 milyar rupiah, dan 43 milyar rupiah untuk
infeksi Hepatitis C.
Frambusia merupakan penyakit menular langsung antar manusia yang disebabkan oleh
infkesi kronis bakteri Treponema Pertenue yang hidup didaerah tropis yang pada umumnya terlihat
sebagai lesi pada kulit serta dapat menyebabkan cacat pada tulang. penyakit frambusia masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Indonesia melaporkan kasus frambusia
terbanyak di asia tenggara. Pada tahun 2021, seluruh provinsi, kabupaten-kota telah melakukan
upaya surveilans frambusia dengan kinerja pelaporan tingkat kabupaten-kota sebesar 391 dari 514
(76,07%), kinerja pelaporan tingkat puskesmas sebesar 4.967 dari 10.277 (48,34%); dengan jumlah
halaman |8
laporan sebanyak 59.148 dari seharusnya 123.324 bulan laporan (47,96%), dengan jumlah suspek
ditemukan 7.746 kasus dan dikonfirmasi rapid diagnostic test (RDT) 6.917 kasus (89,30%), dengan
hasil negatif 6.707 kasus (negative rate 96,96%) dan masih terdapat 185 kasus FRAMBUSIA
(positive rate 2,67%) penyumbang kasus tertinggi berada di Papua dan Papua Barat. Target global,
regional maupun nasional, Indonesia ditaget eradikasi frambusia yaitu hilangnya frambusia secara
permanen sehingga tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat secara nasional. capaian
kabuaten/kota tersertifikasi bebas frambusia sebanyak 55 kabupaten/kota sebagai indikator kinerja
program eradikasi frambusia
Rabies merupakan penyakit zoonosis dan menular baik pada manusia maupun hewan yang
disebabkan oleh infeksi virus Lyssa yang ditularkan melalui gigitan hewan, salah satunya adalah
anjing. Penyakit ini bila sudah menunjukkan gejala klinis selalu diakhiri dengan kematian, CFR
mencapai 100% dengan menyerang pada semua umur dan jenis kelamin. Menurut WHO, setiap
tahun, hampir 59.000 orang meninggal dunia akibat rabies, sebanyak 95% kematian terjadi di Asia
dan Afrika. Sesuai dengan target global Eliminasi Rabies tahun 2030, Indonesia juga berkomitmen
untuk mencapai Eliminasi Rabies pada tahun tersebut. Rabies telah menyebar ke 26 provinsi dan
hanya 8 provinsi di Indonesia yang bebas rabies. Capaian kab/kota yang eliminasi rabies sampai
saat ini sebanyak 186 kab/kota, target capaian untuk tahun 2022 sebanyak 211 kab/kota.
Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan
ditularkan melalui nyamuk. Di Indonesia, cacing filaria terdiri dari tiga spesies yaitu Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Penyakit ini menginfeksi jaringan limfe (getah bening).
Filariasis menular melalui gigitan nyamuk yang mengandung cacing filaria dalam tubuhnya. Dalam
tubuh manusia, cacing tersebut tumbuh menjadi cacing dewasa dan menetap di jaringan limfe
sehingga menyebabkan pembengkakan di kaki, tungkai, payudara, lengan dan organ genital. WHO
melalui roadmap NTD 2021 menetapkan eliminasi filariasis global pada tahun 2030. Saat ini di dunia
terdapat 1,3 miliar penduduk yang berisiko tertular penyakit filariasis atau yang dikenal juga dengan
penyakit kaki gajah yang berada pada lebih dari 83 negara dan 60% kasus berada di Asia Tenggara.
Di Indonesia, sebanyak 236 kabupaten/kota merupakan daerah endemis Filariasis. Total kasus
kronis filariasis yang dilaporkan hingga tahun 2021 sebanyak 9.354 kasus. Angka ini terlihat
menurun dari data tahun sebelumnya karena dilaporkan beberapa kasus meninggal dunia dan
adanya perubahan diagnosis sesudah dilakukan validasi data/konfirmasi kasus klinis kronis yang
dilaporkan tahun sebelumnya.
c. Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang surveilans, deteksi dini,
pengendalian faktor risiko dan koordinasi upaya pencegahan dan pengendalian penyakit
menular;
d. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang surveilans, deteksi dini, pengendalian faktor
risiko dan koordinasi upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular;
e. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan; dan
f. Pelaksanaan urusan administrasi Direktorat.
Jabatan administrator terdiri dari Direktur atau pimpinan unit kerja dan Kepala Subbagian
Administrasi Umum. Jabatan fungsional di Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
sebesar 54% atau sebanyak 72 pegawai dan pegawai yang menduduki jabatan pelaksana sebesar
44% atau sebanyak 57 pegawai.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menetapkan Tim Kerja di
lingkungan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular dalam Surat Keputusan
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit nomor HK.02.02/C/1955/2022 bahwa
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular terdiri dari Tim Kerja Tuberkulosis dan
Infeksi Saluran Pernafasan Akut, Tim Kerja HIV, Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS),
Hepatitis, dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan (PISP), Tim Kerja Neglected Disease/ Penyakit
Tropis Terabaikan, Tim Kerja Zoonosis dan Penyakit Akibat Gigitan Hewan Berbisa dan Tanaman
Beracun, Tim Kerja Penyakit Tular Vektor.
Dalam menjalankan tugas dan fungsi Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular didukung oleh sumber daya aparatur sipil negara sejumlah 131 orang dengan distribusi
pegawai di Subbag Administrasi Umum sejumlah 32 orang dan 103 orang terdistribusi dalam tim
kerja sebagaimana tergambar pada gambar berikut:
Gambar 1.3 Distribusi Pegawai berdasarkan Tim Kerja Direktorat P2PM tahun 2022
h a l a m a n | 11
Berdasarkan pangkat dan golongan, sumber daya aparatur sipil negara Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular beragam mulai dari pangkat dan golongan
Pengatur Muda Tk.I – II/b hingga Pembina Tingkat I – IV/b. Jumlah terbanyak ada pada pangkat
dan golongan Pembina – IV/a yakni sejumlah 42 orang dan jumlah paling sedikit pada pangkat
Pengatur Muda Tingkat I sejumlah 1 orang. Berikut distribusi pegawai Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Menular berdasarkan Pangkat dan Golongan.
Gambar 1.4 Distribusi Pegawai berdasarkan Golongan Direktorat P2PM tahun 2022
Banyaknya pegawai dengan golongan dan pangkat pembina (IV/a) berbanding lurus
dengan banyaknya pegawai dengan tingkat Pendidikan tinggi. Golongan dan pangkat Pembina
(IV/a) mempunyai tingkat pendidikan S-2 dan Sarjana Kedokteran. Tingkat Pendidikan ini dapat
mendukung berjalannya program secara optimal.
Berdasarkan tingkat pendidikannya, pegawai Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.5 Distribusi Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan Direktorat P2PM tahun 2022
h a l a m a n | 12
b. Realisasi Anggaran
Sub bab ini menguraikan tentang realisasi anggaran yang digunakan dan telah digunakan
untuk mewujudkan kinerja organisasi sesuai dengan dokumen Perjanjian Kinerja.
4. Bab IV Penutup
Bab ini menguraikan simpulan umum atas capaian kinerja organisasi serta langkah di masa
mendatang yang akan dilakukan organisasi untuk meningkatkan kinerjanya.
h a l a m a n | 13
INDIKATOR
SASARAN
Indikator Kinerja Kegiatan yang telah ditetapkan sebagaimana dalam bagan di atas
merupakan penjabaran dari Indikator Kinerja Program Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit sebagai berikut:
Gambar 2.2 Cascading Indikator Kinerja Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
• Jumlah kabupaten/
kota yang mencapai
SASARAN KEGIATAN DAN INDIKATOR KINERJA KEGIATAN eliminasi peyakit
tropis terabaikan
4. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai positivity rate (PR) 374 348 93%
< 5%
12. Persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD 80 17.12 21.4%
≤ 10 per 100.000 penduduk
13. Jml kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan 207 201 97.10%
angka mikrofilaria < 1%
14. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis yang mencapai 106 103 97.16%
eliminasi
b. Definisi Operasional
Jumlah orang dengan risiko (kelompok WPS, LSL,Penasun WBP,Waria Ibu Hamil,
Pasien IMS, Pasien TBC), terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh
manusia yang mendapatkan skrining HIV. Angka ini menggambarkan orang yang
berisiko mengetahui status terinfeksi HIV secara dini.
c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh
manusia yang mendapatkan skrining HIV
----------------------------------------------------------------------------------------------------------x 100%
Target skrining orang yang berisiko yang ditetapkan oleh Kabupaten/kota dan/atau
kementerian kesehatan pada waktu tertentu
.
d. Capaian Indikator
Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan
tubuh manusia yang mendapatkan skrining HIV. Capaian tahun 2022 belum mancapai
target yaitu 60 % dari target yaitu 80 % .
Indikator Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem
kekebalan tubuh manusia yang mendapatkan skrining HIV pada tahun 2021 belum
masuk dalam indikator kinerja kegiatan sehingga hasil capaiannya tidak ada.
Grafik 3.1 Capaian Indikator Pertahun Orang Dengan Risiko Terinfeksi Virus Yang
Melemahkan Sistem Kekebalan Tubuh Manusia Yang Mendapatkan Skrining HIV
100% 90%
85%
80%
80%
60%
60%
40%
20%
0%
2022 2023 2024
Target Capaian
h a l a m a n | 20
Dari grafik di atas terlihat target dimulai tahun 2022 yaitu 80%, tahun 2023 yaitu 85%,
dan tahun 2024 yaitu 90%, sedangankan capaian tahun 2022 belum mencapai target
yaitu 60%. Hasil capaian indikator tersebut secara nasional masih di bawah target yang
telah ditetapkan
Grafik 3.2. Persentase Pertriwulan Orang Dengan Risiko Terinfeksi Virus Yang
Melemahkan Sistem Kekebalan Tubuh Manusia Yang Mendapatkan
Skrining HIV Tahun 2022
70% 60%
60%
50% 40%
40%
30% 24%
20% 11%
10%
0%
TW 1 TW 2 TW 3 TW 4
Dari table grafik di atas pertriwulan dapat di lihat peningkatan skrining dari TW I
adalah 11%, TW II adalah 24 %, TW III adalah 40 % dan TW IV adalah 60 %.
Hasil capaian indikator orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem
kekebalan tubuh manusia yang mendapatkan skrining HIV per provinsi dapat dilihat
pada grafik berikut :
Grafik 3.3 Persentase Per Propinsi Orang Dengan Risiko Terinfeksi Virus Yang
Melemahkan Sistem Kekebalan Tubuh Manusia Yang Mendapatkan Skrining HIV
Tahun 2022
h a l a m a n | 21
Berdasarkan grafik diatas diketahui belum semua provinsi mencapai target, capaian
secara Nasional yaitu 60%.. Provinsi yang telah mencapai target untuk persentase orang
dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia yang
mendapatkan skrining HIV yaitu Provinsi Bangka Belitung (99%), Kalimantan Utara
(94%), Banten (88%), Bali (85%), Jawa tengah (84%), DKI Jakarta (93%), selebih nya
propinsi belum mencapai 80% terendah adalah propinsi NTT yaitu 18%
▪ Begitu juga dengan pengadaan logistik yang lebih memperioritas kan kepada
penyediaan bahan2 untuk pandemic.
h a l a m a n | 22
▪ Pengetahuan ODHIV, keluarga dan masyarakat terkait HIV dan PIMS yang belum
optimal.Orang dengan HIV, keluarga dan masyarakat pada umumnya diharapkan
memiliki pengetahuan yang baik terkait HIV dan PIMS.
h. Pemecahan masalah
▪ Program HIV pada masa2 pandemi telah berupaya melakukan beberapa terobosan
dengan melakukan tes secara sukarela dikenl juga dengan nama Test VCT. Tes ini
berguna bagi orang yang beresiko tapi tidak mau di ketahui orang lain. Tes ini dapat
di lakukan sendiri di rumah sehingga secara dini dapat mengetahui stadium infeksi
HIV.
▪ Sosialisasi tentang HIV kepada popuasi kunci dan masyarakat sehingga
Pengetahuan ini akan mendorong setiap orang melakukan upaya pencegahan
penularan dan menularkan kepada orang lain sekaligus mendukung pengendalian
HIV. Pengetahuan yang baik juga diharapkan dapat menekan stigma dan diskriminasi
yang berhubungan dengan HIV dan PIMS.
2. Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru ditemukan mendapatkan pengobatan ART
a. Penjelasan Indikator
Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) adalah orang yang secara positif didiagnosa terinfeksi
HIV/AIDS. Indikator ODHA on ART merupakan salah satu indikator dalam pencegahan
dan pengendalian penyakit HIV AIDS. Untuk memutuskan mata rantai penularan HIV
AIDS untuk mengakhiri AIDS pada tahun 2030, maka diharapkan setiap ODHA yang
ditemukan diobati, sehingga virus dapat tersupresi (jumlah virus didalam tubuh sangat
rendah) dan tidak lagi berpotensi menularkan kepada orang lain.
b. Definisi Operasional
Persentasi ODHIV yang baru ditemukan masuk dalam layanan Perawatan,Dukungan,
dan Pengobatan (PDP) yang memulai pengobatan Antiretroviral dalam kurun waktu 1
tahun
c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah ODHIV yang mendapatkan pengobatan ARV dalam kurun waktu tertentu
--------------------------------------------------------------------------------------------------------- x 100%
Jumlah ODHIV baru ditemukan dalam kurun waktu yang sama.
d. Capaian Indikator
Capaian Indikator selama empat tahun dapat di lihat pada table dibawah ini.
92%
90% 90%
90%
88%
86% 85%
84%
82%
82%
80% 80%
80%
78%
76%
74%
2021 2022 2023 2024
Target Capaian
Target 80% Capaian nya 85%, pada tahun 2022 Target 85% capaian yaitu 80%, Target
2023-2024 masing-masing adalah 90%.
Grafik 3.5 Target dan capaian Indikator Kinerja tahun 2022 Persentase Orang dengan
HIV (ODHIV) baru ditemukan mendapatkan pengobatan ART
Grafik 3.6 Target dan capaian Pertriwulan Indikator Kinerja ODHIV baru ditemukan
mendapatkan pengobatan ART Persentase Kasus ODHIV On ART periode 2022
42%
41% 41%
40%
TW I TW II TW III TW IV
Persentase ODHIV on ART per Triwulan
Dari table grafik di atas pertriwulan dapat di lihat gambaran ODHIV On ART sebagai
berikut pada Tri TW I adalah 41%, TW II adalah 40 %, TW III adalah 41 % dan TW IV
adalah 42 %.
Grafik 3.7 Persentase orang dengan HIV (ODHIV) baru
ditemukan mendapatkan pengobatan ART Tahun 2022
Dari grafik terlihat ODHIV on ARV pada tahun 2021 terjadi penurunan karena Indonesia
berhadapan dengan pandemic covid sehingga angka Lost to follow up diperkirakan lebih
tinggi dibandingkan pertambahan ODHA baru pada tahun 2021 yang mendapatkan
pengobatan ARV. Pada Tahun 2022 terjadi peningkatan ODHIV on ARV namun belum
mencapai target.
Untuk Kascade HIV sampai dengan Desember 2022, dari estimasi ODHIV sebanyak
526.841 orang, diketahui ODHIV yang masih hidup dan mengetahui status sebesar 81%
yaitu 429.215 Orang. ODHIV yang sedang mendapatkan pengobatan ARV sebanyak
179.659 (42%) dan yang di tes Viral load pada tahun 2022 sebanyak 36.821 dimana
91,1% virusnya tersupresi.
Berdasarkan data dari sistem informasi HIV, dari tahun 2018 – 2022, pertambahan
ODHIV baru terlihat menurun pada tahun 2020 – 2021 dan pada tahun 2022, tercatat
temuan kasus sebesar 42.005 menjadi 428.215 Orang mengetahui status dan masih
hidup (81%). Jumlah perkiraan ODHIV pada tahun 2020 sebanyak 543.100 Orang. Untuk
ODHIv yang mengetahui status dan mendapatkan pengobatan ARV, terjadi penurunan
h a l a m a n | 26
pada tahun 2021 dan pada tahun 2022 terdapat 42% ODHIV mendapatkan pengobatan.
Pada tahun 2020 – 2021, situasi pandemic Covid-19 mempengaruhi temuan kasus dan
pengobatan ARV bagi ODHIV yang telah terdiagnosa terinfeksi HIV. Untuk pemantauan
pengobatan ARV, dilakukan pemeriksaan viral load, pada ODHIV yang baru,
pemeriksaan ini dilakukan setelah minimal mendapatkan ARV selama 6 bulan, 12 bulan
dan seterusnya setiap tahunnya. Pada pemeriksaan ini diharapkan virus ODHIV yang
dalam pengobatan ARV tersupresi. Grafik di atas memberikan gambaran pemeriksaan
Viral load pada ODHIV yang mendapatkan pengobatan ARV masih rendah. Data
menunujukkan baru 19% (33.538 Orang) ODHIV mengetahui virusnya tersupresi.
▪ Setiap orang yang bersiko terinfeksi HIV diharapkan dapat mengakses fasilitas
layanan Kesehatan untuk mengetahui statusnya apakah terinfeksi HIV atau tidak.
Bila terdiagnosa, diharapkan segera mendapatkan pengobatan ARV. Layanan yang
hanya mampu melakukan diagnostik, harus membangun jejaring dan mekanisme
untuk merujuk dan memastikan orang yang terinfeksi mendapatkan pengobatan.
Data dari sistem informasi menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan antara orang
yang sudah mengetahui status dengan orang yang mendapatkan pengobatan.
▪ Terdapat jumlah ODHIV yang lost to follow up
▪ Pengobatan HIV adalah seumur hidup, pada awal pengobatan (6 bulan) terdapat
Beberapa keluhan ODHIV dengan obat yang digunakan yang mengakibatkan ODHIV
berpikir untuk menghentikan pengobatan. Pengobatan jangka Panjang juga
mempengaruhi kepatuhan ODHIV dan terdapat lost to follow up pada setiap periode
pengobatan tersebut. Hal lain yang mempengaruhi adalah ODHIV merasa sudah
sehat, tidak membutuhkan pengobatan serta ODHIV merasa bosan menelan ARV
dalam waktu lama.
▪ Keterbatasan waktu layanan HIV dan IMS hanya pada jam kerja. Sementara para
populasi kunci kebanyakan bekerja pada malam hari.
▪ Angka Orang yang terdiagnosa HIV berada pada usia produktif yaitu 20 – 49 tahun,
dimana ODHIV yang bekerja kesulitan untuk akses fasyankes pada jam kerja
tersebut.
▪ Pendampingan dan konseling yang belum optimal. Pada awal pengobatan ARV,
dibutuhkan dukungan pendampingan dan konseling yang dapat membantu ODHIV
memahami pentingnya kepatuhan minum ARV, mendapatkan upaya-upaya
pencegahan dan bagaimana melakukan pemantauan pengobatan ARV sehingga
dapat hidup secara sehat dan tetap produktif tanpa menularkan kepada orang lain
terutama pasangan
▪ Masih terdapat stigma dan diskriminasi tentang HIV dan PIMS baik eksternal
maupun internal ODHIV sendiri. Stigma dan diskriminasi akan mempengaruhi
seseorang untuk datang ke fasyankes untuk mendapatkan layanan Kesehatan yang
berhubungan dengan HIV dan PIMS.
Berbagai upaya yang dilakukan sebaai terobosan untuk mencapai indicator yang telah
ditetapkan adalah sebagai berikut:
- Penemuan kasus dini melalui skrining yang dilakukan oleh Komunitas
- Upaya untuk penemuan kasus dini dilakukan dengan memperluas skrining kasus HIV
yang dilakukan oleh Komunitas dengan menggunakan oral fluid. Skrining ini terutama
dilakukan pada populasi kunci yang sangat tersembunyi dan tidak pernah akses
fasyankes. Skrining terhadap semua orang berisiko lainnya telah dilakukan secara pasif
di fasyankes sejalan dengan Standar pelayanan minimum bidan Kesehatan indikator ke-
12. Skrining aktif juga dilakukan oleh fasyankes dan komunitas melalui kegiatan mobile
clinic.
- Penyediaan logistik untuk menunjang pelaksanaan program (reagen dan obat) yang
tepat waktu untuk mendukung pelaksanaan program, sehingga setiap orang yang datang
ke fasyankes dapat terlayani dengan baik.
h. Pemecahan masalah
- Perluasan layanan mampu tes dan pengobatan untuk HIV dan PIMS melalui kegiatan
pelatihan atau orientasi PDP serta di lakukan pendampingan bersama tim mentor
Kabupaten/Kota/Provinsi
- Peningkatan edukasi atau konseling tentang pengobatan ARV secara lengkap dan terus
menerus kepada ODHA.
- Penyediaan KIE yang dikemas sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini yang
kemudian disebarluaskan dan bisa diakses dengan mudah tentang pengobatan ARV
maupun penyakit HIV serta mendorong penggunaan layanan kesehatan terkait HIV,
AIDS dan IMS kepada individu dan kelompok agar lebih aman dari risiko penularan HIV
dan IMS.
- Dukungan dan pemberdayaan kelompok-kelompok dukungan sebaya (KDS) sebagai
mitra kerja yang efektif dalam mengurangi stigma dan diskriminasi
- Pemberdayaan kader, komunitas, dan LSM untuk menjangkau masyarakat,
mendampingi ODHA, dan mengembalikan ODHA yang loss to follow up agar bisa
mengakses kembali ARV.
- Penerapan kebijakan ARV multi bulan hingga tiga bulan, multi month dispensing (MMD)
bagi ODHA yang stabil dan kerjasama dengan komunitas/pendukung ODHA untuk
memastikan kondisi dan keberlangsungan ARV pada ODHA.
- Melakukan integrasi layanan pada layanan rutin dan membentuk jejaring layanan.
- Melakukan penyederhanaan sistem pencatatan pelaporan yang terintegrasi berbasis
NIK untuk data individu
h a l a m a n | 28
a. Penjelasan Indikator
Persentase angka keberhasilan pengobatan TBC/ Success Rate merupakan
indikator yang memberikan gambaran kualitas pengobatan TBC yaitu seberapa besar
keberhasilan pengobatan pada pasien TBC yang sudah mendapat pengobatan dan
dilaporkan. Angka ini menggambarkan besaran pasien TBC yang berhasil dalam
pengobatannya baik dengan kategori sembuh maupun kategori pengobatan lengkap.
b. Definisi Operasional
Jumlah semua kasus TBC yang sembuh dan pengobatan lengkap di antara semua
kasus TBC yang diobati dan dilaporkan dalam satu tahun.
c. Rumus/cara perhitungan
d. Capaian Indikator
Indikator persentase angka keberhasilan pengobatan TBC (Success Rate)
merupakan indikator merupakan indikator baru dalam RAK pada tahun 2022-204,
sebelumnya indikator tersebut merupakan indikator pada RAP P2P tahun 2020-
2021. Tahun 2022, indikator TBC success rate tidak mencapai target dengan
capaian 84,64% dari target 90% dengan persentase kinerja sebesar 94.04%. Data
ini masih bersifat sementara karena masih data per tanggal 25 Januari 2023 Secara
lengkap dapat dilihat pada grafik berikut:
Grafik 3.10 Target dan Capaian Indikator Persentase angka keberhasilan
pengobatan TBC
92
90 90 90 90 90
90
88
86
86
84,64
84 83,1
82
80
78
2020 2021 2022 2023 2024
Target Capaian
h a l a m a n | 29
Berdasarkan grafik di atas dapat kita lihat bahwa terjadi kenaikan capaian indicator
angka keberhasilan pengobatan TBC dari tahun 2020 sebesar 83,1% menjadi 86% pada
tahun 2021. Dari tahun 2021 menurun pada tahun 2022 menjadi 84,64%. Hal ini dapat
dikaitkan dengan jumlah penemuan dan pengobatan kasus TBC yang pada tahun 2019
sebanyak 560.000 kasus sembuh pada tahun 2020 sebanyak 465.000 (83,1%), jumlah
penemuan dan pengobatan kasus pada tahun 2020 sebanyak 384.000 dan sembuh
pada tahun 2021 sebanyak 330.240 (86%) dan penemuan kasus terus meningkat pada
tahun 2021 menjadi 397.463 kasus dan sembuh pada tahun 2022 sebanyak 336.408
kasus (84,64%). Jika dilihat secara persentase capaian tahun 2022 lebih rendah
dibandingkan pada tahun 2021, namun jika dilihat secara absolut sudah meningkat.
Selain itu, dari grafik juga terlihat bahwa indikator ini selama 3 tahun berturut-turut tidak
mencapai target ada proyeksi 2023-2024
Data Badan Kesehatan Dunia WHO yang dimuat pada Global TB Report 2022,
memperlihatkan indikator yang dipakai dalam mencapai tujuan “End the Global TB
epidemic” adalah jumlah kematian akibat TB per tahun, angka kejadian (incidence rate)
per tahun serta persentase rumah tangga yang menanggung biaya pengobatan TB.
Menurut TB Global Report tahun 2022 untuk Indonesia, angka kejadian (insidensi) TB
tahun 2021 adalah 354 per 100.000 (sekitar 969.000 pasien TB), dan 2,27% (22.000
kasus) di antaranya dengan TB/HIV. Angka kematian TB adalah 52 per 100.000
penduduk (jumlah kematian 144.000) tidak termasuk angka kematian akibat TB/HIV.
WHO memperkirakan ada 28.000 kasus Multi Drug Resistence (MDR) di Indonesia.
Insidence
No Negara Populasi Jumlah Kasus Jumlah kematian TSR (%)
Rate
2020 2021 2020 2021 2020 2021 2020 2021 2020 2021
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa capaian angka keberhasilan pengobatan
TBC di Indonesia pada tahun 2021 sudah sesuai dengan capaian di Asia Tenggara
maupun di global yaitu sebesar 86%. Tabel di atas menunjukkan Angka Keberhasilan
Pengobatan Tuberkulosis di 8 negara beban tertinggi dan negara-negara yang
mengalami penurunan penemuan kasus TBC serta regional WHO tahun 2020 dan
meningkat pada tahun 2021. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa secara
regional, maka angka keberhasilan terendah adalah regional Amerika dan regional
Eropa (72%), sedangkan regional Asia Tenggara sebesar 86%. Bila dibandingkan pada
8 negara dengan beban tertinggi, maka angka keberhasilan pengobatan Tuberkulosis
paling rendah di Filipina (76%) dan Afrika Selatan (78%). Bila dilihat dari negara-negara
yang mengalami penurunan penemuan kasusnya, maka yang paling rendah adalah
Angola (53%), Federasi Rusia (62%) dan Brazil (67%).
Bila dibandingkan dengan indikator RPJMN dan indikator strategis Renstra Kementerian
Kesehatan yakni menurunnya insidensi TBC per 100.000 penduduk, maka angka
keberhasilan pengobatan akan mempengaruhi insidensi TBC. Data Global Report TB,
2022 menujukkan insidensi TBC di Indonesia sebesar 354 per 100.000 penduduk pada
tahun 2021, meningkat bila dibandingkan dengan insidensi TBC tahun 2020 yakni 301
per 100.000 penduduk yang sebelumnya sudah menurun dari 2018 yakni 316 per
100.000 penduduk menjadi 312 per 100.000 penduduk pada tahun 2019. Angka
insidensi menggambarkan jumlah kasus TBC di populasi, tidak hanya kasus TBC yang
datang ke pelayanan kesehatan dan dilaporkan ke program. Angka ini dipengaruhi oleh
kondisi masyarakat termasuk kemiskinan, ketimpangan pendapatan, akses terhadap
layanan kesehatan, gaya hidup, dan buruknya sanitasi lingkungan yang berakibat pada
tingginya risiko masyarakat terjangkit TBC. Insidensi TBC dengan angka keberhasilan
pengobatan memiliki hubungan negatif yang artinya jika angka keberhasilan pengobatan
semakin tinggi, maka insidensi TBC akan menurun dan sebaliknya angka keberhasilan
pengobatan semakin tinggi berarti penderita TBC yang sembuh semakin banyak dan
kemungkinan untuk menularkan akan berkurang. Jika penularan berkurang maka jumlah
penderita TBC di populasi juga berkurang, dengan demikian insidensi juga menurun.
Meningkatnya insidensi pada tahun 2021 dimungkinkan dengan rendahnya angka
keberhasilan pengobatan pada tahun 2020 sehingga potensi penularan meningkat yang
pada akhirnya insidensi juga meningkat. Pemantauan insiden TBC diperlukan untuk
mengetahui penyebaran kasus baru TBC dan kambuh TBC di masyarakat. Insidensi
h a l a m a n | 31
TBC tidak hanya dipengaruhi oleh angka keberhasilan pengobatan saja tetapi juga
cakupan penemuan kasus (TBC coverage).
Dokumentasi Kegiatan
Koordinasi Capaian Program TBC dengan Kasi P2P dan Pengelola TBC Dinas Kesehatan
Kabupaten Jayapura
5. Pertemuan High Level Meeting Tuberculosis 2022 Bertajuk “Aksi TP2TB menuju
Eliminasi TBC: Upaya Tindak Lanjut Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021”
Kegiatan pertemuan ini bertujuan untuk Evaluasi tindak lanjut komitmen bersama
Kementerian/Lembaga yang tergabung sebagai Tim Percepatan Penanggulangan TBC
(TP2TB) sesuai Perpres No. 67 Tahun 2021 dalam mendukung penanggulangan TBC di
Indonesia, Evaluasi tindak lanjut 34 Provinsi tentang kontribusi lintas sektor tingkat daerah
serta meningkatkan inovasi dalam penanggulangan TBC.
Dokumentasi Kegiatan
h a l a m a n | 33
Pada tahun 2022 dengan telah menurunnya pandemi COVID 19 di Indonsia, perhatian
sudah mulai kembali difokuskan pada program tuberculosis. Upaya upaya yang telah dilakukan
dalam peningkatan penemuan kasus TBC baik sensitif obat maupun resistan obat, angka
keberhasilan pengobatan, investigasi kontak dan pemberian terapi pencegahan tuberkulosis
lebih diintensifkan lagi guna mencapai target indikator program TBC.
Komitmen pemerintah dalam eliminasi TBC ditegaskan oleh Bapak Presiden Republik
Indonesia pada kegiatan “Gerakan Bersama Menuju Eliminasi TBC tahun 2030” dan penerbitan
Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Penerbitan
Perpres Nomor 67 Tahun 2021 adalah penegasan kembali tentang komitmen presiden dan
sebagai acuan bagi kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota,
pemerintah desa, serta pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan penanggulangan
TBC. Sebagaimana amanat pada Perpres No.67 Tahun 2021 bahwa dalam rangka koordinasi
percepatan Penanggulangan TBC, dibentuk Tim Percepatan Penanggulangan TBC (TP2TB) di
pemerintah pusat dan setiap daerah. TP2TB memiliki tugas mengoordinasikan, menyinergikan,
dan mengevaluasi penyelenggaraan percepatan eliminasi TBC secara efektif, menyeluruh, dan
terintegrasi. Dalam menjalankan amanah tersebut TP2TB di pusat perlu melakukanupervisi
program kesehatan yang merupakan kegiatan pembinaan untuk memperbaiki faktor-faktor yang
memengaruhi proses pelaksanaan program kesehatan di lapangan. Supervisi di tingkat pusat
ke tingkat di bawahnya merupakan penerapan fungsi pengawasan dan pembinaan kepada
pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota dalam pelaksanaan program TBC nasional yang
melibatkan organisasi pemerintah daerah dan pemangku kepentingan serta multisektor lainnya.
Kegiatan ini diharapkan akan memberikan rekomendasi dan langkah tindak lanjut untuk
mengatasi hambatan dalam penerapan amanat pada Perpres No. 67 Tahun 2021 di pemerintah
daerah provinsi/kabupaten/kota.
Pada Triwulan IV tahun 2022 sudah dilaksanakan Advokasi dan Monitoring Tindak Lanjut
Perpres No. 67 tahun 2021 pada Provinsi dengan beban kasus TB yang tinggi seperti: DKI
Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan,
serta Provinsi Kalimantan Timur sebagai lokasi Ibu Kota Negara (IKN) yang baru. Kegiatan
advokasi diikuti oleh Perwakilan Kemenko PMK, Kantor Staf Presiden, Kemendes, Setkab,
Kemendagri, Kemenkes dan Mitra.
Dokumentasi Kegiatan
h a l a m a n | 35
Pertemuan Advokasi Perpres No 67 tahun 2021 antara Tim Pusat dengan Sekretaris
daerah dan perwakilan daerah di Provinsi Jawa Barat
Pertemuan Advokasi Perpres No 67 tahun 2021 antara Tim Pusat dengan Sekretaris
daerah dan perwakilan daerah di Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan
h a l a m a n | 36
Pertemuan Advokasi Perpres No 67 tahun 2021 antara Tim Pusat dengan Sekretaris
daerah dan perwakilan daerah di Kantor Gubernur Kalimantan Timur
Pertemuan Advokasi Perpres No 67 tahun 2021 antara Tim Pusat dengan Gubernur
Provinsi Sumatera Utara
h a l a m a n | 37
h. Pemecahan Masalah
Untuk mencapai target, Program TBC melaksanakan kegiatan yang berdasarkan 6 strategi
yaitu:
1) Penguatan Kepemimpinan Program TBC di Kabupaten/Kota
- Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
- Regulasi dan peningkatan pembiayaan
- Koordinasi dan sinergi program
2) Peningkatan Akses Layanan “TOSS-TBC” yang Bermutu
- Peningkatan jejaring layanan TBC melalui PPM (public-private mix)
- Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat
- Peningkatan kolaborasi layanan melalui TBC-HIV, TBC-DM, MTBS, PAL, dan lain
sebagainya
- Inovasi diagnosis TBC sesuai dengan alat / saran diagnostik yang baru
- Kepatuhan dan Kelangsungan pengobatan pasien atau Case holding
- Bekerjasama dengan asuransi kesehatan dalam rangka Cakupan Layanan Semesta
(universal health coverage).
3) Pengendalian Faktor Risiko
- Promosi lingkungan dan hidup sehat.
- Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TBC.
- Pengobatan pencegahan dan imunisasi TBC.
- Memaksimalkan penemuan TBC secara dini, mempertahankan cakupan dan
keberhasilan pengobatan yang tinggi.
4) Peningkatan Kemitraan melalui Forum Koordinasi TBC
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TBC di pusat
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TBC di daerah
5) Peningkatan Kemandirian Masyarakat dalam Penanggulangan TBC
- Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan masyarakat.
h a l a m a n | 39
a. Penjelasan Indikator
Menurut laporan WHO, dalam World Malaria Report (WMR) tahun 2022 secara
global, diperkirakan terdapat 247 juta kasus malaria pada tahun 2021, meningkat dari 245
juta pada tahun 2020, dengan sebagian besar peningkatan ini berasal dari negara-negara
di wilayah Afrika. Negara Afrika menyumbangkan sekitar 234 juta (95%) kasus global pada
tahun 2021. Wilayah Asia tenggara menyumbang sekitar 2% dari beban kasus malaria
secara global. Kasus malaria di wiayah Asia Tenggara berkurang 76% dari 23 juta pada
tahun 2000 menjadi sekitar 5 juta pada tahun 2021. Indonesia menyumbangkan kasus
malaria terbesar kedua setelah India di wilayah region Asia Tenggara, dengan estimasi
kasus oleh WHO sebesar 811.636 pada tahun 2021. Berdasarkan laporan rutin malaria
menunjukkan terdapat peningkatan kasus malaria sekitar 30% di Indonesia dari 304.607
tahun 2021 menjadi 400.253 seluruh kasus positif di Indonesia pada tahun 2022 dengan
kasus terbesar terdapat di Provinsi Papua yang berkontribusi menyumbang kasus positif
356.889 (90%) dari kasus nasional.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 22 tahun 2022 tentang
penanggulangan malaria serta dokumen Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) bahwa tahun 2022
kita harus mencapai Positivity Rate Malaria (PR) < 5% sebesar 374 kabupaten/kota.
Positivity Rate (PR) malaria merupakan presentase jumlah kasus malaria yang terkonfirmasi
dibandingkan dengan jumlah total pemeriksaan baik positif dan negatif. Capaian indikator
Positivity Rate (PR) malaria merupakan salah indikator utama persyaratan eliminasi malaria,
selain tidak ada kasus indigenous selama 3 tahun berturut-turut dan Annual Parasite
Incidence (API) < 1 per 1000 penduduk
b. Definisi operasional
Kabupaten/Kota yang telah mencapai angka Posititivity Rate (PR) malaria < 5%
merupakan salah satu kriteria eliminasi malaria sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) No. 22 tahun 2022 tentang penanggulangan malaria. Selain itu,
daerah tersebut harus memenuhi tiga 2 kriteria utama lainnya yaitu: API kurang dari 1 Per
1000 penduduk dan tidak ada penularan setempat malaria selama tiga tahun berturut-turut
serta memenuhi beberapa persyaratan lainnya. Status PR malaria < 5% diperoleh dari
jumlah kasus positif dibandingkan dengan jumlah pemeriksaan pada waktu yang sama .
Kasus positif malaria harus terkonfirmasi laboratorium yang diagnosis pemeriksaan
ditegakan dengan diagnosis melalui RDT dan atau mikroskop.
c. Rumus/cara perhitungan
h a l a m a n | 40
d. Capaian indikator
Gambar 3. Peta Endemisitas Indonesia Tahun 2022 per 20 Januari 2023*
TOTAL
274,859,094 100% 514 100%
h a l a m a n | 41
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa 89% penduduk Indonesia telah hidup di
daerah bebas malaria dan sekitar 11% penduduk Indonesia masih tinggal di daerah endemis
malaria. Jumlah Kab/Kota pada tahun 2022 yang mencapai API < 1 per 1000 penduduk yaitu
sebanyak 459 kabupaten/kota dari target yang ditentukan sebesar 484 kab/kota atau
pencapaian kinerja sebesar 94,8%.
Tabel 3.3 Capaian jumlah Kab/Kota dengan Positivity Rate (PR) Malaria < 5%
per Provinsi Tahun 2022
Jumlah Jumlah % Capaian
Kab/kota Kab/kota Kab/kota
JUMLAH
NO PROVINSI Positivity Rate Positivity yang
KAB/KOTA
(PR) Malaria Rate (PR) mencapai
<5% Malaria >5% PR < 5%
1 ACEH 23 21 2 91%
SUMATERA
2 33 20 13 61%
UTARA
SUMATERA
3 19 15 4 79%
BARAT
4 RIAU 12 8 4 67%
5 JAMBI 11 11 0 100%
SUMATERA
6 17 16 1 94%
SELATAN
7 BENGKULU 10 10 0 100%
8 LAMPUNG 15 15 0 100%
KEPULAUAN
9 BANGKA 7 7 0 100%
BELITUNG
10 KEP. RIAU 7 7 0 100%
11 DKI JAKARTA 6 1 5 17%
12 JAWA BARAT 27 5 22 19%
13 JAWA TENGAH 35 21 14 60%
14 DI YOGYAKARTA 5 3 2 60%
15 JAWA TIMUR 38 9 29 24%
16 BANTEN 8 3 5 38%
17 BALI 9 7 2 78%
NUSA
18 TENGGARA 10 10 0 100%
BARAT
NUSA
19 TENGGARA 22 22 0 100%
TIMUR
KALIMANTAN
20 14 14 0 100%
BARAT
KALIMANTAN
21 14 13 1 93%
TENGAH
h a l a m a n | 42
Sumber data: Laporan Rutin Tim Kerja Malaria per 20 Januari 2023*
Grafik 3.11 Capaian Jumlah Kabupaten/Kota mencapai Positivity Rate (PR) malaria < 5%
2020-2024
h a l a m a n | 43
Sumber data: Laporan Rutin Tim Kerja Malaria per 20 Januari 2022*
Secara nasional untuk target kumulatif tahun 2022 sebanyak 374 kab/kota mencapai
PR malaria < 5%, sedangkan pencapaiannya adalah 348 (93%) Kab/Kota mencapai PR <
5%. Jika dibandingkan dengan target tahun 2022, jadi capaian tahun 2022 dapat melampaui
target yang telah ditetapkan. Keberhasilan tersebut disebabkan oleh berbagai kegiatan
pengendalian malaria yang telah dilakukan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Untuk mencapai target eliminasi malaria, perlu didukung oleh beberapa indikator
komposit, yaitu persentase konfirmasi pemeriksaan sediaan darah dan persentase
pengobatan standar yang juga merupakan indikator Pemantauan Program Prioritas Janji
Presiden tahun 2020 oleh KSP (Kantor Staf Presiden) yang dipantau setiap tiga bulan.
Persentase pemeriksaan sediaan darah adalah persentase suspek malaria yang dilakukan
konfirmasi laboratorium, baik menggunakan mikroskop maupun Rapid Diagnostik Test
(RDT) dari semua suspek yang ditemukan. Target dan capaian indikator persentase
konfirmasi pemeriksaan sediaan darah adalah sebagai berikut.
Grafik 3.12 Capaian Persentase Konfirmasi Pemeriksaan Sediaan Darah
100% 100%
90% 90%
80% 80%
70% 70%
60% 60%
50% 50%
40% 40%
30% 30%
20% 20%
10% 10%
0% 0%
Sumber data: Laporan Tim Kerja Malaria Tahun 2022 per 13 Januari 2023*
Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa 22 provinsi di Indonesia (65%) telah
mencapai target nasional dalam konfirmasi laboratorium terhadap suspek malaria. Target
nasional adalah 95% dengan capaian tahun 2022 sebesar 99% dengan jumlah suspek
h a l a m a n | 44
1) Diagnostik Malaria
Gambar Pemeriksaan uji silang di lab RSUD Wates dan diskusi dengan tim di
Puskesmas Samigaluh I saat Pendampingan Diagnosis dan Tatalaksana Malaria
h a l a m a n | 45
3) Surveilans Malaria
Surveilans merupakan kegiatan penting dalam upaya eliminasi, karena salah satu
syarat eliminasi adalah pelaksanaan surveilans yang baik untuk mengidentifikasi
daerah atau kelompok populasi yang berisiko malaria dan melakukan perencanaan
sumber daya yang diperlukan untuk pengendalian malaria. Kegiatan surveilans malaria
dilaksanakan sesuai dengan tingkat endemisitas. Daerah yang telah masuk pada tahap
eliminasi dan pemeliharaan harus melakukan penyelidikan epidemiologi terhadap
setiap kasus positif malaria sebagai upaya kewaspadaan dini kejadian luar biasa
malaria dengan melakukan pencegahan terjadinya penularan.
Sistem informasi malaria yang disebut SISMAL V2 mulai disosialisasikan pada
Tahun 2018 dan sepenuhnya digunakan pada Tahun 2019. Sebanyak 10.609
fasyankes telah melaporkan data malaria melalui SISMAL V2 pada Tahun 2022. Untuk
memudahkan interoperabilitas data dengan data yang lainnya maka sejak tahun 2021
SISMAL V3 sudah mulai dikembangkan dan di tahun 2022 dilakukan sosialisasi awal
SISMAL V3.
Berikut beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam mendukung kegiatan
surveilans, sistem informasi dan monitoring dan evaluasi malaria:
a. Workshop Pengelola SISMAL (13-14 Oktober 2022)
b. On The Job Training SISMAL
c. Update Modul Surveilans Malaria (28 April 2022)
d. Pertemuan Penguatan Surveilans Migrasi Lintas Sektoral Tingkat Kabupaten
Kulonprogo Melalui Daring Tanggal 4 November dan 3 Desember 2022
e. Supervisi Monev peningkatan kapasitas surveilans malaria dan notifikasi silang bagi
6 Kabupaten/ Kota yg berbatasan dengan Timor Leste,(2-5 Agustus 2022)
f. Workshop Surveilans Migrasi Bagi Tenaga KKP, TNI/Polri dan Dinkes Provinsi (9
Agustus 2022)
g. Surveilans dan Faktor Risiko Malaria Kab Labuhan Batu Utara, Sumut (15-18 Maret
2022)
h. Surveilans dan Faktor Risiko Malaria Kab Bangka Barat Babel (15-18 Maret 2022)
i. Surveilans dan Faktor Risiko Malaria Kab Batubara Sumut (8-11 Maret 2022)
j. Surveilans dan Faktor Risiko Malaria Pada Populasi Khusus (MMP) Kab Rejang
Lebong Prov Bengkulu (21-25 Maret 2022)
k. Surveilans dan Faktor Risiko Malaria di Prov NTB Tanggal 18-21 April 2022
l. Surveilans dan Faktor Risiko Malaria di Bangka Belitung Tanggal 9-13 Mei 2022
m. Surveilans dan Faktor Risiko Malaria ke Kab Purworejo Jawa Tengah Tanggal 18-
21 Mei 2022
h a l a m a n | 47
Gambar Kegiatan Uji Coba Pengembangan Media KIE Tatalaksana Malaria di Sumba
Timur
6) Alat dan Bahan serta Media KIE pencegahan dan pengendalian malaria
Sarana dan prasarana Malaria adalah bangunan beserta alat dan bahan yang
digunakan pada program pengendalian malaria di Indonesia. Alat dan bahan digunakan
dalam kegiatan diagnostik (deteksi), pengobatan dan pengendalian vektor. Ketersediaan
sarana dan prasarana malaria sangat penting dalam pencapaian eliminasi malaria. Selain
itu media kie juga sangat berperan sebagi media untuk promosi dan sosialisasi terkait
pencegahan dan pengendalian malaria.
Alat dan bahan pengendalian malaria yang diadakan pada tahun 2022 seperti mikroskop
trinokuler, mist blower, APD, larvasida malaria, insektisida malaria, RDT malaria,
immertion oil dan giemsa. Sedangkan media KIE pencegahan dan pengendalian malaria,
yaitu Buku Petunjuk Teknis Pengendalian Faktor Risiko malaria dan Buku Kurikulum dan
Pelatihan Tatalaksana Malaria bagi Dokter.
1) Under Reporting pelaporan data pada sistem pencatatan dan pelaporan sismal
terutama pemeriksaan negative.
2) Evaluasi dan validasi data yang kurng berjalan dari tingkt fasilitas pelayanan Kesehatan
3) Setiap kasus positif di daerah endemis rendah dan eliminasi ( API<1 per 1000
penduduk ) tidak segera dilakukan Penyelidikan Epidemiologi ( PE) 1-2-5 termasuk
survei kontak.
4) Akses dan cakupan layanan baik Rumah Sakit, klinik, DPS pada remote area masih
belum memadai.
5) Rujukan layanan dan jejaring tatalaksana belum optimal.
6) Kegiatan penemuan aktif termasuk surveilans migrasi kurang berjalan
7) Di daerah endemis rendah banyak terdapat daerah fokus malaria dengan Mobile
Migrant Population (MMP) dan kondisi wilayah yang sulit (tambang liar, illegal logging,
perkebunan illegal, tambak terbengkelai) yang sulit untuk dilakuakn pemeriksaan
karena remote area atau karena mobilitas penduduk yang cukup tinggi.
8) Ketepatan dan kelengkapan pelaporan yang belum optimal.
9) Turn Off petugas malaria di daerah.
10) Peningkatan kasus malaria malaria di beberapa kabupaten/kota kurang berjalanya
kegiatan surveilans migrasi malaria di daerah endemis rendah dan tahap
pemeliharaan.
11) Komitmen Pemerintah daerah setempat baik terkait kebijkan dan anggaran untuk
program malaria di daerah endemis malaria dan bebas malaria yang semakin terbatas.
h. Pemecahan Masalah
Beberapa permasalahan yang disebutkan di atas memerlukan pemecahan masalah
sehingga kegiatan dapat berjalan efektif dan efisien dan indikator dapat dicapai. Berikut ini
beberapa pemecahan masalah yang dilakukan :
1. Peningkatan akses layanan malaria yang bermutu.
- Desentralisasi pelaksanaan program oleh kab/kota.
- Integrasi kedalam layanan kesehatan primer.
- Penemuan dini dengan konfirmasi dan pengobatan yang tepat sesuai dengan
standar dan pemantauan kepatuhan minum obat.
- Penerapan sistem jejaring public-privite mix partnership layanan malaria.
2. Mendorong kabupaten/kota yang sudah endemis rendah >3 tahun agar segera
mencapai eliminasi dengan melakukan advokasi dan memfasilitasi asesmen serta
upaya mempercepat eliminasi kabupaten/kota stagnan.
3. Penguatan surveilans termasuk surveilans migrasi, Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian
Luar Biasa (SKD-KLB) dan penanggulangan KLB.
4. Sosialisasi penggunaan dana yang bisa dimanfaatkan untuk Penyelidikan Epidemiologi
baik Dana Dekonsentrasi, DAK non fisik, APBD, Global Fund, Dana Desa, dan Dana
Kapitasi.
5. Terdapat tenaga pendamping dari UNICEF dan WHO untuk Dinas Kesehatan Kab/kota
dalam mempercepat penurunan kasus dan mempercepat eliminasi malaria khususnya
Kab/Kota endemis tinggi sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia.
6. Peningkatan akses layanan malaria pada daerah sulit dan populasi khusus seperti
penambang illegal, pekerja pembalakan liar, perkebunan illegal dan suku asli yang
hidup di hutan.
7. Pengembangan pelaporan secara real-time pada SISMAL V3
h a l a m a n | 51
a. Penjelasan Indikator
Angka Kesembuhan atau Release From Treatment (RFT) Rate sangat penting dalam
menilai kualitas tata laksana penderita dan kepatuhan penderita kusta dalam minum obat.
Indikator Persentase Penderita Kusta yang Menyelesaikan Pengobatan Kusta Tepat Waktu
(RFT Rate) penderita kusta PB maupun MB tahun 2022 merupakan indikator tahunan,
perhitungan indikator tersebut didapatkan setelah penderita dinyatakan selesai pengobatan
untuk tipe PB 6-9 bulan dan tipe MB 12-18 bulan.
b. Definisi Operasional
Jumlah penderita baru kusta (PB/MB) dari periode kohort 1 (satu) tahun yang sama yang
menyelesaikan pengobatan tepat waktu (PB menyelesaikan 6 dosis dalam waktu 6-9
bulan/MB menyelesaikan 12 dosis dalam waktu 12-18 bulan) dinyatakan dalam persentase
c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah penderita kusta baru yang telah RFT rate (PB menyelesaikan pengobatan 6 dosis
dalam waktu 6-9 bulan dan MB menyelesaikan pengobatan 12 dosis dalam waktu 12-18
bulan) dibagi seluruh penderita baru pada periode kohort tahun yang sama di kali 100.
Rumus :
Jumlah kasus baru PB & MB yang menyelesaikan 6 dosis dalam 6-9 bln & 12-18 bln x 100 %
Jumlah seluruh kasus baru PB & MB yang memulai MDT pada periode kohort tahun yang sama
d. Capaian Indikator
Gambar 1.1
Peta Indonesia tentang Persentase Penderita Kusta yang Menyelesaikan Pengobatan
Kusta Tepat Waktu Tahun 2022 di 34 provinsi
Pada gambar peta 1.1 tersebut diatas menggambarkan Persentase Penderita Kusta
yang Menyelesaikan Pengobatan Kusta Tepat Waktu di seluruh Indonesia, dimana terlihat
warna kuning adalah provinsi ( 11 provinsi ) yang telah mencapai target minimal 90%, yaitu
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Lampung Jambi, Kalimantan Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Banten, Sulawesi Barat dan Sulawesi Utara, sedangkan warna
merah menggambarkan wilayah yang belum mencapai target nasional.
Grafik 3.13 Persentase Penderita Kusta yang Menyelesaikan
Pengobatan Kusta Tepat Waktu Tahun 2022 di 34 provinsi
87
86
86
86
85
85
85
84
84
82
80
79
79
78
77
75
66
Nusa Tenggara…
Nusa Tenggara…
Kep. Bangka…
Papua
Riau
Sumatera Selatan
Gorontalo
Lampung
Jambi
Sulawesi Tenggara
Aceh
Sumatera Utara
Maluku
Bengkulu
Jawa Barat
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Kalimantan Utara
Kalimantan Tengah
Indonesia
Sulawesi Tengah
Jawa Tengah
Banten
Jawa Timur
Sulawesi Barat
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Papua Barat
Kepulauan Riau
Bali
DKI Jakarta
Sulawesi Selatan
Maluku Utara
Sumatera Barat
DI Yogyakarta
.
Sumber : Tim Kerja NTDs, data per tanggal 16 Januari 2022.
Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa secara nasional pencapaian indikator
Persentase Penderita Kusta yang Menyelesaikan Pengobatan Kusta Tepat Waktu masih
dibawah target yaitu didapatkan 87 % (target indikator nasional 90%). Dari 34 provinsi
yang mencapai target nasional hanya 11 provinsi dari 34 provinsi (32.4%). Adapun
provinsi yang telah mencapai target nasional adalah Provinsi Sulawesi Tengah,
Sumatera Selatan, Gorontalo, Lampung, Jambi, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Banten, Sulawesi Barat dan Sulawesi Utara.
Tabel 3.4 Penderita PB, Penderita MB, Total Kasus PB dan MB, Penderita Kusta PB
yang RFT, Penderita Kusta MB yang RFT, RFT (PB+ MB), % RFT (PB + MB)
Tahun 2022 di 34 provinsi
Total Penderita
Penderita RFT % RFT
Penderita Penderita Kasus Kusta
No Provinsi Kusta (PB+ (PB +
PB MB Baru MB yang
yang RFT MB) MB)
(PB+MB) RFT
1 Aceh 31 117 148 27 104 131 89
Sumatera
2 8 92 100 8 77 85 84
Utara
Sumatera
3 5 45 50 5 40 45 89
Barat
4 Riau 5 80 85 5 62 67 78
5 Jambi 5 51 56 5 47 52 92
h a l a m a n | 53
Total Penderita
Penderita RFT % RFT
Penderita Penderita Kasus Kusta
No Provinsi Kusta (PB+ (PB +
PB MB Baru MB yang
yang RFT MB) MB)
(PB+MB) RFT
Sumatera
6 18 161 179 16 155 171 96
Selatan
7 Bengkulu 2 12 14 2 9 11 75
8 Lampung 6 128 134 5 119 124 93
Kep. Bangka
9 6 31 37 6 27 33 87
Belitung
Kepulauan
10 5 45 50 5 40 45 89
Riau
11 DKI Jakarta 35 280 315 35 242 277 86
12 Jawa Barat 80 1.293 1.373 73 1.103 1.176 85
13 Jawa Tengah 58 1.004 1.062 53 921 974 92
14 DI Yogyakarta 2 24 26 2 19 21 79
15 Jawa Timur 91 994 1.085 79 911 990 92
16 Banten 70 503 573 66 460 526 91
17 Bali 2 32 34 1 28 29 88
Nusa
18 Tenggara 18 198 216 18 169 187 85
Barat
Nusa
19 Tenggara 20 183 203 19 157 176 86
Timur
Kalimantan
20 1 25 26 1 23 24 92
Barat
Kalimantan
21 4 35 39 4 27 31 77
Tengah
Kalimantan
22 9 67 76 9 57 66 85
Selatan
Kalimantan
23 12 117 129 10 103 113 88
Timur
Kalimantan
24 2 19 21 0 15 15 79
Utara
Sulawesi
25 31 334 365 30 301 331 90
Utara
Sulawesi
26 14 184 198 14 178 192 97
Tengah
Sulawesi
27 74 539 613 72 461 533 86
Selatan
Sulawesi
28 10 180 190 9 161 170 89
Tenggara
29 Gorontalo 6 104 110 5 98 103 94
Sulawesi
30 7 116 123 7 108 115 91
Barat
31 Maluku 12 142 154 9 116 125 82
32 Maluku Utara 53 447 500 48 375 423 84
33 Papua Barat 211 422 633 170 278 448 66
h a l a m a n | 54
Total Penderita
Penderita RFT % RFT
Penderita Penderita Kasus Kusta
No Provinsi Kusta (PB+ (PB +
PB MB Baru MB yang
yang RFT MB) MB)
(PB+MB) RFT
34 Papua 283 885 1.168 228 704 932 80
Indonesia 1.196 8.889 10.085 1.046 8.889 9.935 87
Dari tabel 3.4 tersebut diatas menyatakan bahwa Persentase Penderita Kusta yang
Menyelesaikan Pengobatan Kusta Tepat Waktu secara nasional belum mencapai target
nasional. Capaian di tingkat provinsi yang paling tinggi capaiannya adalah Provinsi Sulawesi
Tengah (97%), sedangkan capaian yang pailing rendah adalah Provinsi Papua Barat (66%).
Penderita MB yang ditemukan lebih banyak dibandingkan penderita kusta PB dengan penderita
yang ditemukan paling banyak terdapat di wilayah JawaTengah 1.293 penderita MB dan Jawa
Barat 1.004 penderita kusta MB, sedangkan penderita kusta PB paling banyak ditemukan di
wilayah Papua 282 penderta kusta PB dan Papua Barat 211 pendeita kusta PB.
Pada grafik 3.14 tersebut diatas adalah perbandingan capaian presentase penderita
kusta yang menyelesaikan pengobatan pada tahun 2022 dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, per tanggal 16 Januari 2022 yang direkap dari data SIPK kusta provinsi,
menyatakan bahwa terjadi penurunan capaian dari tahun sebelumnya dari 89% menjadi
87%. Dibandingkan dengan target capaian nasional 90%, capaian tahun 2021-2022
dinyatakan belum mencapai target nasional.
Grafik 3.15 Indikator dan Capaian Persentase Penderita Kusta yang Menyelesaikan
Pengobatan Kusta Tepat Waktu dan Capaian Tahun 2020-2024
h a l a m a n | 55
Target Capaian
90 90 90 90 90
89
88,7
87
Pada grafik 3.15 tersebut diatas adalah merupakan target sesuai dengan Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan dari tahun 2020-2024. Terlihat bahwa capaian
presentase penderita kusta yang menyelesaikan pengobatan dari tahun 2020 sapai
tahun 2022 terjadi capaian yang fluktuatif, dimana pada tahun 2020 tercapai 88,7%,
terjadi peningkatan yang tidk signifikan di tahun 2021 dengan capaian 89%, kemudian
terjadi penurunan di tahun 2022 dengan capaian 87%. Adanya capaian tersebut
diprediksikan bahwa akhir pada tahun 2024 indikator presentase penderita kusta yang
menyelesaikan pengobatan tidak dapat tercapai (tidak on the track).
Sejak tahun 2021 telah diterbitkan, The Global Leprosy Strategy 2021-2030 yang
menjelaskan perubahan definisi operasional status eliminasi kusta, yaitu dari angka
prevalensi <1/10.000 penduduk menjadi tidak ada (nol) kasus (Zero Leprosy). Indikator
ini tidak berdiri sendiri, namun menyatu dalam pencapaiannya: Zero Leprosy, Zero
Disability dan Zero Stigma. Pemerintah Indonesia dan global mempunyai tujuan yang
sejalan untuk menuntaskan penyakit ini dengan melaksanakan program eliminasi kusta.
Zero disability ditunjukkan dengan capaian indikator kusta tanpa cacat (Disabilitas
tingkat nol).
Dalam periode 5 tahun ini, di tahun 2020 adanya pandemi Covid 19, dimana seluruh
kegiatan dan pengadaan berfokus untuk penanganan vaksinasi Covid-19, sehingga
dalam ketersediaan dan distribusi MDT kusta dari WHO mengalami keterlambatan
sehingga menimbulkan dampak pada penyelesaikan pengobatan penderita kusta di
daerah.
Adanya refokusing seluruh dana dekon di tahun 2020 untuk penanganan Covid-19 dan
ditiadakan dana dekon di tahun 2021, mempunyai dampak pada kegiatan program
pencegahan dan pengendalian kusta di provinsi dan kabupaten kota, terutama dalam
superfisi dan monitoring program, sehingga pemantauan penderita kusta yang masih
dalam pengobatan serta pemantauan dalam pencatatan dan pelaporan yang dilakukan
oleh pengelola kusta puskesmas belum dapat dilakukan.
Beberapa penderita kusta mencari pengobatan ke rumah sakit, karena masih adanya
stigma, lokasi yang lebih dekat dan adanya harapan mendapatkan kepuasan dalam
layanan pengobatan. Namun dalam perjalanan pengobatan dengan lamanya
pengobatan yang telah ditetapkan sesuai standar pengobatan yaitu 6 bualn untuk PB
dan 12 bulan untuk MB, sehingga penderita ada yang tidak sembuh, tetapi mengalami
defaulter, mangkir, sehingga menurunkan capaian RFT PB/MB.
Masih tingginya stigma, baik self-stigma pada penderita kusta maupun stigma pada
petugas kesehatan, keluarga penderita dan masyarakat dan juga adanya diskriminasi
h a l a m a n | 57
2. Intensifikasi Penemuan Kasus Kusta dan Frambusia (Intensified Case Finding/ ICF)
(Pelaksanaan dan pendampingan). Kegiatan tersebut terdiri dari pelaksanaan
kegiatan oleh kabupaten/kota endemis kusta terpilih di 43 Kabupaten/kota di 32
Provinsi dan pendampingan pelaksanaan oleh tim pusat menggunakan dana APBN.
Pelaksanaan penemuan kasus difokuskan pada daerah lokus kusta dengan tujuan
selain untuk meningkatkan penemuan kasus kusta secara dini juga melakukan
pemantauan terhadap pengobatan kusta yang sedang dilakukan termasuk apabila
terjadi reaksi kusta pada penderita kusta.
h a l a m a n | 58
3. Workshop P2 Kusta dan Frambusia bagi Dokter Rujukan Kusta dan Frambusia.
Kegiatan ini dilaksanakan secara daring dengan peserta adalah dari dokter yang
melakukan pelayanan kesehatan di kabupaten/kota. Adapun peserta yang terdiri dari
dokter, merupakan rekomendasi dari kabupaten/kota yang mempunyai komitmen
sebagai dokter rujukan kusta di wilayahnya masing-masing.
5. Monitoring MDT Program P2P Kusta dan managemen logistik obat. Kegiatan ini
dilakukan untuk memantau pencapaian program kusta di kabupaten/kota di provinsi
terpilih. Kegiatan ini tidak saja untuk melihat dari sisi ketersedian MDT kusta juga
untuk memantau apakah penderita ada yang mengalami reaksi serta memantau
status pengobatan penderita kusta yang masih dalam pengobatan, serta melakukan
pemantauan terhadap penderita yang default.
8. Fasilitasi Kegiatan Koordinasi dan Kemitraan Program P2P Kusta. Kegiatan ini
dilakukan atas dasar kebutuhan daerah dalam pelaksanaan kegiatan, seperti
undangan untuk mendampingi kegiatan dalam pelaksanaan program kusta dan
frambusia, launching kemoprofilaksis kusta di Kabupaten Kep. Morotai dan kegiatan
kemitraan lainnya.
h a l a m a n | 61
h. Pemecahan masalah:
1. Melakukan validasi data secara berjenjang, mulai dari kabupaten/kota, dan provinsi
yang dilakukan dengan menggunaan dana masing-masing daerah, sehingga data
h a l a m a n | 62
b. Definisi Operasional
c. Rumus/cara perhitungan
h a l a m a n | 63
Berikut data capaian indikator pengobatan kasus pneumonia sesuai standar pada tahun
2022
Pelaporan Penemuan Pengobatan Persentase
TW 1 81.430 25.737 32%
TW 2 116.903 50.534 43%
TW 3 148.704 74.845 50%
TW 4 166.702 88.681 53%
Capaian indikator persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar pada tahun
2022 sebesar 53%, capaian ini sudah melebihi target yang ditetapkan yaitu sebesar
50%.
85%
99%
99%
98%
97%
95%
93%
89%
100%
78%
77%
77%
74%
71%
90%
70%
65%
80%
54%
53%
53%
51%
70%
49%
60%
39%
50%
23%
40%
13%
30%
20%
1%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
10%
0%
Jambi
Bali
Papua Barat
Maluku
Kalimantan Timur
DKI Jakarta
Sulawesi Barat
Sulawesi Selatan
Jawa Barat
Bengkulu
Riau
Nasional
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Selatan
Sumetera Selatan
Lampung
Papua
Aceh
Banten
Kalimantan Barat
Sumatera Barat
Jawa Tengah
Sulawesi Tengah
Maluku Utara
Sulawesi Utara
Kalimantan Utara
Gorontalo
Jawa Timur
Sumatera Utara
Kep. Riau
DI Yogyakarta
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Tengah
Kep. Bangka Belitung
Persentase Target
Grafik diatas menunjukkan terdapat 20 Provinsi yang sudah melaporkan capaian diatas
target persentase pengobatan kasus pneumonia sesuai standar yang sudah ditetapkan
yaitu sebesar 50 %, sedangkan 8 Provinsi belum melaporkan persentase pengobatan.
95%
70%
53%
50%
N/A N/A
Target Capaian
b. Definisi Operasional
Persentase balita diare yang mendapat tatalaksana standar dengan pemberian oralit
dan zinc
c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah balita diare yang diobati sesuai standar dibagi seluruh balita diare dikali 100
d. Capaian Indikator
Berdasarkan data pada grafik, capaian indikator nasional tahun 2022 sebesar 92,20%.
Angka tersebut artinya sudah berhasil melebihi target pada tahun 2022, yaitu 50%.
Meskipun sudah mampu melebihi target, namun masih ada satu provinsi yang belum
mencapai target, yaitu Provinsi Sulawesi Tenggara dengan capaian 42,97%.
Grafik 3.18 Target dan Capaian Persentase Pengobatan Diare sesuai Standar
h a l a m a n | 70
5) Kerjasama dengan organisasi profesi seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia), Ikatan
Dokter Indonesia (IDAI) untuk meningkatkan layanan diare yang komprehensif dan
terstandar.
6) Melakukan kemitraan baik lokal maupun internasional seperti civitas akademika, CDC
Indonesia, WHO Indonesia, dan UNICEF Indonesia untuk mendapatkan dukungan
dan partisipasi dalam keberjalanan program P2 Diare.
h. Pemecahan masalah
1) Mengatasi masalah Undetected (under-diagnosis cases) dengan cara melakukan
active case finding dengan kegiatan edukasi di masyarakat dan tokoh masyarakat
serta LS dan LP, pemberdayaan kader untuk penemuan kasus di masyarakat.
2) Mengatasi masalah Under-reporting cases dengan melakukan kegiatan validasi
data di Puskesmas, penyisiran kasus di fasyankes swasta, mengguankan format
catpor standar dan seragam.
3) Peningkatan Kapasitas Pengelola program dalam tatalaksana termasuk dalam
pencatatan dan pelaporan.
4) Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dalam tatalaksana diare.
5) Optimalisasi kemitraan dengan LSM, akademisi, mitra dalam dan luar negeri, ahli,
UN serta lintas program.
6) Mobilisasi pendanaan, dan bantuan teknis.
7) Bekerja sama dengan Nutrion International Indonesia dalam melakukan refresh tata
laksana diare dan kajian kepatuhan pemberian oralit dan zinc oleh petugas
kesehatan di propinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Timur dan NTB.
8) Melakukan integrasi program dengan Direktorat Kesehatan Keluarga pada
kelompok anak sekolah yang melakukan upaya pencegahan demam tifoid berupa
kegiatan penyuluhan pada anak sekolah dan penjaja makanan di sekitar sekolah.
9) Introduksi imunisasi Rotavirus serta pelaksanaan survei sentinel diare
10) Pemanfaatan teknologi informasi untuk penguatan kapasitas, bimbingan teknis,
monitoring dan evaluasi program pada masa pandemi Covid 19.
11) Optimalisasi sumber daya yang ada dalam rangka percepatan pencapaian target.
12) Terus mendorong agar petugas pencatatan dan pelaporan di level puskesmas untuk
dapat melaporkan data diare secara online melalui SIHEPI dengan cara
memberikan bimbingan dan pelatihan.
8. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan C pada populasi
berisiko
a. Penjelasan Indikator
Hepatitis merupakan peradangan hati yang disebabkann oleh infeksi (Virus, Bakteri, dan
parasite) dan Non Infeksi (alkohol, obat-obatan, penyakit autoimun dan lain sebagainya) yang
menyebabkan masalah kesehatan. Ada 5 Jenis utama virus hepatitis yaitu tipe A, B, C, D,
h a l a m a n | 74
dan E. Meskipun semuanya menyebabkan penyakit hati tapi berbeda dalam cara penularan
dan tingkat keparahan dan pencegahannya. Tipe B dan C paling umum menyebabkan
penyakit kronis dan yang kemudian akan berkembang menjadi sirosis hati, kanker hati dan
kematian karena virus hepatitis sehingga diperlukan deteksi dini untuk mencegah masalah
Kesehatan yang mungkin timbul dan untuk mencegah penularan virus hepatitis B dan C.
Pengendalian penyakit Hepatitis B dan C akan sangat efektif bila dilakukan pemutusan dan
pencegahan penularan serta pengobatan pada kelompok berisiko tinggi.populasi berisiko
tinggi.
Deteksi dini hepatitis B dilakukan dengan menggunakan Rapid Diagnostic Test (RDT) HBsAg
atau dengan ELISA pada ibu hamil dan kelompok berisiko lainnya dan Deteksi Dini Hepatitis
C dengan menggunakan Rapid Diagnostic Test (RDT) Anti HCV.
Indikator Persentase Kabupaten/Kota Yang Melaksanakan Deteksi Dini Hepatiits B dan atau
C Pada populasi berisiko merupakan indikator yang menggambarkan penyebaran/berapa
kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan atau C pada salah satu
populasi berisiko yaitu ibu hamil, tenaga Kesehatan, WBP, Penasun, ODHA, Pasien HD, dll)
Saat ini deteksi dini hepatitis B diprioritaskan pada ibu hamil karena di Indonesia penularan
Hepatitis B umumnya terjadi secara vertikal yaitu dari ibu hepatitis B kepada bayi yang
dilahirkannya, dan bila terinfeksi Virus Hepatitis B saat bayi, 95% akan menjadi kronis.
Sangat penting untuk melakukan deteksi dini hepatitis B pada ibu hamil sehingga bisa
dilakukan tindakan pencegahan misalnya dengan pemberian Immunoprofilaksis Hepatiti B
(HBIg) pada bayi dari ibu yang terdeteksi hepatitis B dan pengobatan secepatnya kepada ibu
yang terdeksi Hepatitis B.
b. Definisi Operasional
Jumlah kabupaten/kota yang salah satu fasyankesnya melaksanakan deteksi dini Hepatitis
B dan atau Hepatitis C pada populasi berisiko
c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan atau C pada salah
satu populasi berisiko yaitu ibu hamil, tenaga Kesehatan, WBP, Penasun, ODHA, Pasien HD,
dll) dibagi jumlah kabupaten/kota diseluruh Indonesia dikali 100
d. Capaian Indikator
Capaian Tahun 2022 target kinerja belum tercapai, dari 95% kabupaten/kota yang
ditargetkan melaksanakan deteksi dini hepatitis B dan atau C pada populasi berisiko hanya
sebesar 94% atau sebanyak 483 kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini. Walaupun
ada peningkatan dibanding tahun 2021 tapi bila dibandingkan dengan target masih belum
tercapai seperti tergambar pada grafik di bawah ini
Grafik 3.19 Target dan Capaian Persentase kabupaten/kota melaksanakan Deteksi Dini
Hepatitis B dan atau C pada populasi berisiko Tahun 2020 – 2022
100 100
94
93
91
95
90
85
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0
94,0
92,9
86,7
100
82,4
76,9
75,8
90
80
70
51,7
60
50
40
30
20
10
0
Kepulauan Bangka…
Riau
Bali
Jawa Tengah
Kalimantan Utara
Sulawesi Tengah
Sumatera Utara
DI Yogyakarta
Maluku Utara
Sulawesi Utara
Aceh
Banten
Kalimantan Tengah
Gorontalo
Indonesia
Jambi
Lampung
Kepulauan Riau
Jawa Timur
Bengkulu
Kalimantan Timur
Papua
DKI Jakarta
Kalimantan Selatan
Sulawesi Selatan
Maluku
Sumatera Selatan
Jawa Barat
Sulawesi Barat
Papua Barat
Sumatera Barat
Kalimantan Barat
Sulawesi Tenggara
Nusa Tenggara Barat
Dari 34 Provinsi yang ada, terdapat 28 Provinsi (82,4%) sudah seluruh kabupaten/kotanya
melaksanakan skrining Penyakit menular (hepatitis B dan atau C) pada populasi berisiko.
Tapi masih terdapat 6 Provinsi (17,6%) Yang kabupaten/kotanya masih belum mencapai
target 95% kabupaten/kota melaksanakan skrining penyakit menular pada kelompok berisiko
dengan capaian terendah yaitu Papua 51,7% kemudian Provinsi Sumatera Utara 75,8%,
Papua Barat 76,9, Sulawesi tenggara 82,4%, Sulawesi Utara 86,7 dan Kalimantan Barat
92,9%. Penyebab capaian di 6 Provinsi belum mencapai target karena :
- Belum semua kabupaten kota mengumpulkan laporan per 25 Januari 2023
- Hepatitis belum menjadi prioritas di daerah terutama daerah papua, sehingga bila tidak
ada anggaran baik dari APBD maupun BOK, kegiatan heaptiits B tidak dilaksanakan.
d. Seminar dan Deteksi Dini Hepatitis yang dilaksanakan secara Hybrid dengan Tema:
Mendekatkan akses pengobatan karena Hepatitis tidak dapat menunggu .
Kegiatan ini dilaksanakan di 2 Tempat yaitu
1. DIY
Tanggal : 13 Juli 2022
Tempat : Hotel Grand Rohan, Bantul DI Yogyakarta
Tema : Mendekatkan akses pengobatan karena Hepatitis tidak dapat menunggu
Narasumber : dr. Tiffani Pakasi (Plt Direktur P2PM), dr. Fahmi Indrarti Sp.PD
KGEH, FINASIM (PPHI/RSUD Dr. Sardjito), Dr. dr. Nenenng
Ratnasari Sp.PD-KGEH, FINASIM (PPHI/RSUD Dr. Sardjito)
Moderator : dr. Dwi Hikma (Dinkes Prov DIY)
Peserta : Pengelola Program hepatitis dan seluruh Indonesia mulai tingkat
puskesmas sampai pusat, dan terlaibat dalam pencegahan dan
pengendalian Hepatitis
2. Bandung Jawa Barat
Tanggal : 16 Agustus 2022
Narasumber : dr, Tiffani Pakasi (Plt Direktur P2PM), Dr. dr. M. Alamsyah Aziz,
Sp.OG (K) KIC (POGI), Dr. Dr, Anggraini Alam, SPA (IDAI), dr. Yudi
Wahyudi, Sp.PD-KGEH (PPHI)
Moderator : dr. Ira Dewi Jani (Kabid P2P Dinkes Kota Bandung)
Peserta : Pengelola Program hepatitis dan seluruh Indonesia mulai tingkat
puskesmas sampai pusat, dan terlaibat dalam pencegahan dan
pengendalian Hepatitis
h a l a m a n | 78
2. Hari Puncah Hepatitis Sedunia yang jatuh pada tanggal 28 Juli 2022 dilaksanakan
secara Daring, baik melalui Zoom maupun relay melalui kanal Youtube
Tema : Mendekatkan akses Pengobatan Hepatitis karena hepatitis tidak dapat
menunggu menuju Generasi Bebas Hepatiits
Narasumber : Prof Dr. dr. Hanafih Oswari, SPA (K), Dr. dr. M. ALamsyah Aziz,
Sp.G (K), KIC, M.Kes, Prof. Dr. dr. Rino a. Gani, SpPD KGEH dan Prof. David
Handojo, FINASIM, PhD
Moderator : Dr. dr. Irsan Hasan, SPPD, KGEH
Peserta : Pengelola Program hepatitis dan seluruh Indonesia mulai tingkat
puskesmas sampai pusat, dan terlaibat dalam pencegahan dan pengendalian Hepatitis
b. Definisi Operasional
Jumlah pasien sifilis yang mendapatkan pengobatan sesuai dengan standar. Angka ini
menggambarkan penemuan dan pemutusan penularan sifilis pada kelompok yang
berisiko terinfeksi sifilis
c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah pasien sifilis yang mendapatkan pengobatan sesuai dengan standar
-------------------------------------------------------------------------------------------------------x 100%
Jumlah pasien sifilis yang ditemukan pada periode waktu tertentu
d. Capaian Indikator
Grafik 3.21 Presentase Terget pasien sifilis yang diobati
Data diatas dapat dilhat bahwa Target untuk pasien sifilis yang diobati 75%, sedangkan
Capaian nya belum mencapai target yang diharapkan yaitu 65% dan capaian indicator
kinerja 87%.
Grafik 3.22 Presentase Pasien Sifilis di Obati Per triwulan tahun 2022
h a l a m a n | 81
74%
70%
66%
63%
TW I TW II TW III TW IV
Persentase Pasien Sifilis yang Diobati
Pada grafik di atas data secara perfluktuasi Pasien Sifilis di obati pada triwulan dapat
dilihat pada triwulan I yaitu 70% dan Triwulan II yaitu 74 %, Triwulan III yaitu 63% dan
triwulan IV yaitu 66 %.
1. Pada pemeriksaan treponemal (rapid test sifilis), hasil bisa tetap positif seumur hidup
dengan titer yang rendah, meskipun sudah diobati. Sehingga pada pasien ini tidak
diperlukan terapi lebih lanjut.
2. Disamping itu di beberapa tempat ditemukan juga terkait adanya keterbatasan
logistik obat. Pada situasi ini pasien akan di rujukan ke fasyankes yang memiliki
obat Benzatin Penicillin.
3. Di beberapa provinsi, persentase pasien sifilis yang diobati lebih dari 100% hal ini
dapat di sebabkan karena pada pasien sifilis lanjut terapi dilakukan sebanyak 3x
dengan selang waktu 1 minggu.
4. Sistem pencatatan mencatat ini sebagai 3x terapi. Sistem pencatatn dan pelaporan
HIV dan IMS sedang dilakukan update.
h. Pemecahan masalah
1. Diperlukan aktivasi layanan IMS dengan laboratorium sederhana, tidak hanya
sindromik sehingga layanan IMS lebih optimal
2. Perlu optimalisasi peran semua tim dan dibuat SK Tim sesuai nama-nama yang
ditunjuk untuk menjalankan tanggung jawab masing-masing
3. Diperlukan koordinasi dengan Dinkes Kota dan Komunitas setempat terkait data hasil
pemetaan hotspot untuk menjadi dasar pembagian jangkauan hotspot sesuai wilayah
masing-masing Puskesmas
4. Puskesmas perlu menambahkan SOP layanan seperti SOP layanan IMS yang sesuai
pedoman sehingga dapat menjadi acuan pelaksanaan pelayanan
5. Puskesmas perlu melakukan evaluasi khusus terkait program HIV/ IMS secara
berkala dan pengawasan pelaksanaan pelayanan sesuai pedoman yang ditentukan
h a l a m a n | 83
6. Perlu dilakukannya active case finding kasus IMS terutama pada populasi kunci
sehingga penatalaksanaan dapat dilakukan segera
b. Definisi Operasional
Jumlah Desa Endemis Schistosomiasis yang Mencapai Eliminasi adalah Jumlah desa
dengan hasil survei prevalensi schistosomiasis 0% pada manusia.
c. Rumus/cara perhitungan
Akumulasi jumlah desa endemis yang berdasarkan hasil survei prevalensi pada
manusia, menunjukkan angka 0% pada tahun tersebut. Sedangkan rumus menghitung
angka prevalensi adalah sebagai berikut:
h a l a m a n | 84
d. Capaian Indikator
Capaian indikator Jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi pada
tahun 2022 adalah sebanyak kumulatif 16 desa dari target 19 desa atau dengan
pencapaian sebesar 84,21%. Bila dibandingkan dengan tahun 2020, capaian jumlah
desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi tidak mengalami peningkatan.
Target dan capaian tersebut pada dapat dilihat dari grafik dibawah ini :
Grafik 3.24 Target dan Capaian Jumlah Desa Endemis Schistosomiasis yang Mencapai
Eliminasi Tahun 2020 – 2024
30 28
24
25
19
20
14 15 16 16
15 11
10
0
2020 2021 2022 2023 2024
Target Capaian
Terdapat 3 (tiga) fase dalam menuju eliminasi schistosomiasis, yaitu fase akselerasi
(2018-2019), fase memelihara prevalensi 0% (2020-2024), serta fase verifikasi dan
deklarasi eliminasi (2025). Strategi Indonesia dalam upaya eliminasi schistosomiasis
meliputi strategi untuk penanganan manusia, hewan dan lingkungan secara terpadu dan
menyeluruh didukung ketersediaan layanan air minum dan sanitasi, pemberdayaan
masyarakat, dan sistem pemantauan dan evaluasi kemajuan hasil yang penting untuk
mencapai target yang telah ditetapkan.
1,6
1,4 1,45
1,2
1
0,8 0,75
0,6
0,4 0,36
0,2 0,11 0,22
0,1
0
2017 2018 2019 2020 2021 2022
Prevalensi
Berdasarkan grafik diatas prevalensi schistosomiasis pada manusia sejak tahun 2017
mengalami penurunan dan berada dibawah 1% dan terus mengalami penurunan sampai
tahun 2019. Prevalensi tersebut berangsur menurun setelah dilaksanakan pengobatan
massal dengan praziquantel pada tahun 2018-2019. Tahun 2020 dan 2021 prevalensi
schistosomiasis mengalami sedikit peningkatan, namun pada tahun 2022 prevalensi
schistosomiasis mengalami peningkatan yang cukup besar menjadi sebesar 1,45%.
Target Indikator jumlah desa endemis schistosomiasis yang mencapai eliminasi pada
tahun 2022 tidak tercapai. Hal ini dipengaruhi oleh masih banyaknya fokus-fokus keong
yang menjadi sumber penularan di desa endemis Schistosomiasis yang tidak bisa
dilaksanakan pengendalian fokus keong secara mekanik dan kimia. Pengendalian fokus
keong secara kimia harus dilaksanakan dengan penyemprotan zat kimia Niclosamide
pada seluruh fokus keong secara periodik dan rutin. Adanya efisiensi anggaran pada
tahun 2021 menyebabkan kegiatan penyemprotan fokus keong tidak dapat dilaksanakan
sehingga angka prevalensi schistosomiasis pada tahun 2022 meningkat serta
mengakibatkan indicator tidak tercapai.
Peran serta masyarakat juga sangat penting dalam kegiatan pemutusan mata rantai
penularan. Partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pemberantasan fokus
keong sangat dibutuhkan karena sebagian fokus-fokus keong berada pada wilayah
perkebunan masyarakat. Rendahnya peran serta masyarakat dalam pemberantasan
fokus keong di wilayahnya menyebabkan prevalensi schistosomiasis meningkat.
1. Kurangnya komitmen lintas sektor dalam upaya pemutusan mata rantai penularan
melalui hewan dan keong perantara karena program Schistosomiasis bukan
merupakan program prioritas bagi lintas sektor
2. Jumlah fokus keong perantara yang terletak di lahan yang tidak terawat menjadi
lokus perkembangbiakan serkaria
3. Masih tingginya infeksi schistosomiasis pada hewan dan keong perantara
4. Hewan ternak yang bebas berkeliaran di area fokus keong yang berdekatan dengan
pemukiman.
5. Adanya simplifikasi dana dekonsentrasi menyebabkan anggaran dekonsentrasi
untuk program Schistosomiasis ditiadakan
6. Revisi DIPA Direktorat P2PM tahun 2022 baru terbit pada pertengahan Juli 2022
menyebabkan mundurnya waktu pelaksanaan survei prevalensi schistosomiasis
pada manusia dan pengendalian fokus keong. Hal ini mengakibatkan obat
praziquantel yang semula sudah dialokasikan untuk mengobati kasus positif
melewati masa expired dan harus diajukan kembali pengadaannya melalui WHO.
h. Pemecahan masalah
1. Meningkatkan koordinasi lintas sektor dan mengoptimalkan peran dan tugas
masing-masing lintas sektor sesuai roadmap eliminasi schistosomiasis.
2. Penguatan pemberdayaan masyarakat dalam upaya pencegahan dan pengendalian
faktor resiko di daerah fokus melalui pemanfaatan sumber pembiayaan dari dana
desa untuk mengolah area fokus menjadi lahan yang bermanfaat
3. Penanggulangan Schistosomiasis dengan memanfaatkan sumber pembiayaan dari
dana Desa untuk mendukung program penanggulan Schistosomiasis berbasis
pemberdayaan masyarakat
4. Membuat surat tanggapan simplifikasi Menu dan efisiensi anggaran dekonsentrasi
penyakit tropis teraibaikan ke Sekretaris Jenderal Kemenkes agar kegiatan NTDs
dapat dialokasikan dengan menggunakan anggaran di internal Ditjen P2P
5. Pengajuan permintaan obat praziquantel segera ke WHO untuk pelaksanaan
pengobatan selektif
tidak ada kematian Rabies pada manusia atau spesimen positif pada hewan dalam 2
(dua) tahun terakhir
d. Capaian Indikator
1. Target dan Realisasi Tahun 2020 – 2021
Indikator Kinerja Tahun 2020 – 2021 adalah jumlah kabupaten/kota yang memiliki ≥
20% puskesmas rujukan rabies center. Capaian kinerja Tahun 2020- 2021 seperti
grafik dibawah ini.
73 75
55 56
Grafik. 3.27 Jumlah Kabupaten/Kota Eliminasi Rabies per Provinsi tahun 2022
h. Pemecahan masalah
1) Pembinaan teknis melalui media komunikasi baik internet maupun aplikasi online
tetap dilakukan dimasa COVID – 19.
h a l a m a n | 91
12. Persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk.
a. Penjelasan Indikator
Tujuan program Arbovirosis di Indonesia adalah untuk mencapai 95 % kabupaten/kota yang
memiliki angka kesakitan/Incidence Rate (IR) DBD ≤ 10/100.000 penduduk pada tahun 2024.
Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2020 tentang Renstra Kementerian
Kesehatan tahun 2020 – 2024.
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah bagian dari Infeksi Dengue. Dengue adalah infeksi
virus yang ditularkan melalui nyamuk yang umumnya terjadi di iklim tropis yang hangat.
Infeksi disebabkan oleh salah satu dari empat virus dengue yang terkait erat (disebut
serotipe) dan dapat menyebabkan spektrum gejala yang luas, termasuk beberapa yang
sangat ringan (tidak terlihat) hingga yang mungkin memerlukan intervensi medis dan rawat
inap. Dalam kasus yang parah, kematian bisa terjadi. Tidak ada pengobatan untuk infeksi itu
sendiri, tetapi gejala yang dialami pasien dapat ditangani.
Infeksi dengue masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia terutama di wilayah
tropis dan subtropis, termasuk Indonesia sebagai salah satu negara endemis infeksi Dengue.
Sejak pertama kali kasus DBD dilaporkan di Indonesia pada tahun 1968 di Jakarta dan
Surabaya angka kesakitan DBD menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun dan
wilayah penyebarannya pun semakin luas hampir diseluruh Kabupaten/Kota di Indonesia.
Namun dalam kurun waktu 50 tahun (1968 – 2020) angka kematian/Case Fatality Rate (CFR)
DBD telah berhasil diturunkan menjadi di bawah 1%. Didalam Roadmap NTDs 2021 -2030
Dengue termasuk dalam 20 penyakit dan kelompok penyakit yang akan dicegah dan
dikendalikan (WHO, 2020). Target penanggulangan Dengue adalah menurunkan CFR 0 %
pada tahun 2030.
Berikut tabel rincian jumlah kabupaten/kota yang mempunyai IR ≤ 10/100.000 penduduk per
provinsi di Indonesia.
Jumlah Kab/Kota
dengan IR ≤
No Provinsi Jumlah Kabupaten Kota 10/100.000
penduduk Tahun
2022*
h a l a m a n | 92
Jumlah
kab/kota
IR Provinsi /
Jumlah dengan IR
100.000 %
kab/kota ≤
penduduk
10/100.000
penduduk
1 Aceh 37,60 22 22 21,74
Berdasarkan tabel diatas, hanya 88 (17,12 % ) kabupaten/kota yang sudah mencapai target
indikator Insidens Rate (IR) ≤ 10/100.000 penduduk. Hal ini dikarenakan adanya
perubahan indikator program DBD pada Renstra Kemenkes 2022-2024 yang sebelumnya
Insidens Rate (IR) ≤ 49/100.000 penduduk pada bulan April 2022 menjadi Insidens Rate
(IR) ≤ 10/100.000 penduduk.
b. Definisi operasional
Capaian Kinerja Pemerintah Daerah kab/kota dalam menurunkan angka Insidens Rate ≤
10/100.000 penduduk dalam kurun waktu satu tahun.
c. Rumus/cara perhitungan
Jumlah kab/kota dengan IR DBD ≤ 10/100.000 penduduk dibagi jumlah total kabupaten /
kota pada tahun yang sama.
d. Capaian indikator
Jumlah Kab/Kota pada tahun 2022 yang mempunyai IR ≤ 10/100.000 penduduk sebanyak
88 kabupaten/kota atau 17 % kabupaten/kota mencapai IR tersebut. Target yang ditentukan
pada tahun 2022 adalah 80 %. Sehingga capaian target mencapai 21.4 %.
Grafik 3.28 Target dan capaian indikator Persentase Kabupaten/ Kota yang mempunyai
IR ≤ 49/100.000 penduduk Tahun 2017-2022
100 140
90 123 119,6 120
80
104 80 100
70 75
92 70
60 66 68
80
50
90 60
40 81
73
30 62 40
20
21,4 20
10 17
0 0
2018 2019 2020 2021 2022
Sumber data : Laporan rutin Tim Kerja Arbovirosis Tahun 2022 *per 26 Januari 2023
h a l a m a n | 94
89,66
90,00
80,00
72,73
70,00
60,00
53,85
50,00
41,18
40,00
30,00
30,00
23,08
23,08
21,74
21,43
21,43
20,00 16,67
15,15
17,12
14,29
11,76
10,009,09
10,00
2,63
0,000,000,000,000,000,000,000,000,000,000,000,000,000,000,000,000,00
0,00
PAPUA
MALUKU
SULTRA
BENGKULU
DKI JKT
SULBAR
SULSEL
KEPRI
JABAR
KALSEL
SULUT
NTB
NTT
JATIM
JAMBI
BABEL
SULUT
ACEH
KALBAR
JATENG
LAMPUNG
SULTENG
SUMBAR
KALTIM
BALI
PAPUA BARAT
KALTENG
SUMSEL
RIAU
BANTEN
GORONTALO
KALTARA
INDONESIA
MALUKU UTR
DI YOGYAKARTA
Sumber data : Laporan rutin Tim Kerja Arbovirosis Tahun 2022 *per 26 Januari 2023
Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa 1 provinsi di Indonesia (17,12%) yang mencapai target
nasional.
Selain itu, Beberapa daerah mengalami KLB/Peningkatan kasus DBD diawal tahun 2022
namun anggaran baru dapat digunakan di bulan Agustus sehingga program
penanggulangan DBD sulit terlaksana.
Faktor kegagalan lainnya adalah minimnya kesadaran masyarakat untuk melaksankan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) 3M Plus.
f. Upaya yang dilaksanakan untuk mencapai target indikator
Ada beberapa upaya yang telah dilakukan untuk mencapai indikator tersebut, antara lain:
1. Koordinasi Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Arbovirosis
a. Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Advokasi dan Sosialisasi Arbovirosis
Terpadu (Germas)
Kegiatan Germas Sosialisasi DBD dan Arbovirosis lainnya bersama Komisi IX DPR RI di Sebatik Kabupaten
Nunukan Provinsi Kalimantan Utara
b. Koordinasi LS/LP
Kegiatan yang dilakukan salah satunya adalah koordinasi dengan Tim UGM dan
Pemerintah Kota Semarang dalam pengembangan inovasi baru penanggulangan
Dengue melalui Teknologi Wolbachia. Sesuai dengan KMK No.
HK.01.07/MENKES/1341/2022 tentang penyelenggaraan pilot project
penanggulangan Dengue dengan metode Wolbachia.
h a l a m a n | 96
Persiapan Kota Semarang Dalam Pelaksanaan Implementasi Pilot Project Teknologi Aedes
Aegypti ber Wolbachia di Balai Kota Semarang pada tanggal 29-30 September 2022
Seremonial Mobil Edukasi “Wujudkan Indonesia Bebas Dengue” Tanggal 5 Juli 2022
h a l a m a n | 97
Pendampingan Surveilans Sentinel Japanes Ensepalitis (JE) Di RSUD Ulin, Banjarmasin Kalimantan
Selatan Tanggal 14-15 September 2022
h a l a m a n | 99
Workshop Implementasi Pilot Project di Kota Semarang dan Kota Bandung Tingkat
Kota, Kecamatan dan Kelurahan Tanggal 7-10 Desember 2022
SIARVI dibangun sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pencatatan dan pelaporan
Arbovirosis.
13. Jml kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1%
a. Penjelasan Indikator
Sesuai Permenkes No.94 tahun 2014 tentang Pengendalian Filariasis, yang
dimaksud dengan daerah endemis filariasis adalah daerah yang berdasarkan survei data
dasar prevalensi mikrofilaria menunjukkan prevalensi >1%. Dalam pengendalian filariasis,
sebelum suatu kabupaten/kota dinilai tingkat transmisi filariasisnya, kabupaten/kota
tersebut harus telah selesai melaksanakan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM)
filariasis pada seluruh penduduk sasaran di kabupaten/kota tersebut selama minimal 5
tahun berturut-turut dengan cakupan pengobatan minimal 65% dari total jumlah penduduk.
Kemudian setelah 6 bulan dari pelaksanaan POPM Filariasis Tahun ke-5, maka
dilaksanakan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria. Jika dalam survei evaluasi prevalensi
mikrofilaria menunjukkan hasil prevalensi mikrofilaria <1% maka kabupaten/kota tersebut
dinilai dapat menurunkan transmisi aktif filariasis ke tingkatan aman dan memasuki tahap
surveilans sebelum ditetapkan menjadi daerah eliminasi filariasis. Tetapi jika hasil survei
menunjukkan hasil >1% maka kabupaten/kota tersebut harus meneruskan POPM filariasis
kembali selama 2 tahun.
b. Definisi operasional
Jumlah kab/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1%
adalah jumlah kab/kota endemis filariasis yang telah selesai melaksanakan Pemberian
Obat Pengobatan Massal (POPM) filariasis selama 5 tahun berturut-turut, kemudian 6 bulan
setelahnya pada pemeriksaan darah jari berhasil menurunkan angka mikrofilaria (mf rate)
menjadi < 1%.
c. Rumus/cara perhitungan
akumulasi jumlah kab/kota endemis yang berhasil menurunkan angka mikrofilaria
menjadi < 1% pada tahun tertentu.
d. Capaian indikator
Pada tahun 2018 – 2021 target jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil
menurunkan angka mikrofilaria < 1% berhasil dicapai sebesar 158%, 152%, 94% dan
100%. Pada tahun 2022 capaian jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil
menurunkan angka mikrofilaria < 1% adalah sebanyak 201 kabupaten/kota dari target
207 kabupaten/kota, atau dengan capaian sebesar 97%. Data capaian jumlah
kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1% tahun
2018 – 2022 terlihat dalam grafik dibawah ini.
h a l a m a n | 102
25 23 120%
20 100%
18
17
80%
15
11 1212 12 12
10 1 11 11 11 60%
99 10 10 9 10
9 8 99 9 9 9
10 7 8 6 8 8 87
7 5 40%
5 6 66 66
5 5 5
5 4 4 4 4
5 3 3 3 20%
1 2
1
0
0 0%
Sulawesi Barat
Maluku
Kalimantan Timur
Sumatera Selatan
Kalimantan Tengah
Jawa Tengah
Sumatera Barat
Lampung
Banten
Papua Barat
Sumatera Utara
Jawa Barat
Kalimantan Selatan
Sulawesi Tenggara
Kep. Bangka Belitung
Maluku Utara
Kalimantan Utara
Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah
Kep. Riau
Papua
Riau
Jambi
Bengkulu
Gorontalo
Sulawesi Selatan
Aceh
Kab/Kota Endemis
h a l a m a n | 103
Filariasis endemis di 236 kabupaten kota dari 28 provinsi. Terdapat 6 provinsi non
endemis filariasis yaitu Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa
Tenggara Barat, dan Sulawesi Utara. Dari data diatas terdapat 17 provinsi yang seluruh
kabupaten/kota endemis dinilai telah berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1% yaitu
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Kepulauan
Bangka Belitung, Lampung, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara,
Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Sedangkan
provinsi yang capaian kabupaten/kota endemis berhasil menurunkan angka mikrofilaria
< 1% masih 0% yaitu Provinsi Papua Barat.
mikrofilaria Rate <1% maka daerah tersebut dinilai telah berhasil menurunkan
transmisi aktif filariasis ke tingkatan aman, yaitu <1% angka mikrofilaria pada
penduduk yang tinggal di kabupaten/kota endemis filariasis. Tetapi jika gagal maka
kabupaten/tersebut harus melaksanakan POPM filariasis kembali selama 2 tahun,
7. Distribusi obat dan logistik ke daerah
Dalam rangka mendukung kegiatan POPM filariasis di kabupaten/kota maka obat
dan logistik kit POPM IDA didistribusikan ke daerah sesuai perencanaan obat dan
logistik yang telah disusun sebelumnya
8. Pengadaan bahan-bahan Survei Filariasis
Dalam rangka mendukung pelaksanaan Survei Evaluasi PreTAS, maka telah
dilaksanakan pengadaan bahan-bahan survei diantaranya lancet, kit surveyor, dan
Tabung Microtainer EDTA 0,5 ml.
b. Definisi operasional
Indikator jumlah kabupaten/kota endemis Filariasis yang mencapai eliminasi
dihitung dari jumlah akumulasi kabupaten/kota yang berhasil lulus dalam survei
evaluasi penilaian penularan Filariasis tahap ke dua.
c. Rumus/cara perhitungan
Akumulasi jumlah kabupaten/kota endemis Filariasis yang mencapai eliminasi pada
tahun tersebut.
d. Capaian indikator
Pada tahun 2018 – 2021 target jumlah kabupaten/kota endemis Filariasis yang
mencapai eliminasi berhasil dicapai sebesar 158%, 160%, 80%, dan 77%. Pada
tahun 2020 dari target 106 kabupaten/kota endemis Filariasis yang mencapai
eliminasi hanya berhasil dicapai sebanyak 103 kabupaten/kota atau dengan
presentase capaian sebesar 97%. Data capaian jumlah kabupaten/kota endemis
Filariasis yang mencapai eliminasi tahun 2018 – 2022 terlihat dalam grafik berikut
ini:
h a l a m a n | 107
100%
20 18
80%
15
11 12 12 12
10 10 9 9 11 60%
10 10
10 9 9 9
8 7 8 8
7 6 40%
5 5 5 6 6 6
5 5 4 5 5 5
5 4 4 4 4 4 4 4 3
3 3 3 20%
2 2
1 1 1 1
1 0 0 0 0
0 0%
Bengkulu
Jambi
Papua
Kalimantan Utara
Lampung
Jawa Barat
Sulawesi Tenggara
Banten
Sulawesi Tengah
Kep. Riau
Papua Barat
Maluku Utara
Sumatera Barat
Riau
Sulawesi Barat
Jawa Tengah
Maluku
Gorontalo
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Selatan
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Sumatera Selatan
Aceh
Dari data diatas terdapat provinsi yang seluruh kabupaten/kota endemis dinilai telah
mencapai eliminasi Filariasis yaitu Provinsi Sumatera Barat, Riau, Bengkulu,
Lampung, dan Banten. Sedangkan provinsi yang capaian eliminasinya masih 0%
dikarenakan kabupaten/kota endemis masih melaksanakan POPM atau masuk
dalam tahap surveilans pasca POPM adalah Provinsi Jawa Tengah, Kalimantan
Barat, Maluku, dan Papua Barat.
Filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria rate <1%. Jika lulus maka
dilaksanakan survei evaluasi penularan Filariasis untuk melihat apakah masih
terjadi penularan pada daerah tersebut atau masih harus melanjutkan kegiatan
POPM Filariasis sebelum ditetapkan sebagai daerah eliminasi Filariasis.
7. Surveilans Pasca Eliminasi Filariasis
Kegiatan ini bertujuan untuk memonitoring kabupaten/kota yang sudah
mendapatkan sertifikat eliminasi Filariasis apakah terdapat resiko penularan
Filariasis kembali. Kegiatan dilaksanakan dengan survei darah jari serta
melakukan pengobatan pada kasus positif mikrofilaria.
h. Pemecahan Masalah
1. Terbitnya Surat Sekretaris Jenderal Kemenkes Nomor PM.03.03/1/5640/2022 tentang
Tanggapan terkait Dampak Simplikasi Menu dan Efisiensi Anggaran Dekonsentrasi
h a l a m a n | 111
Penyakit Tropis Terabaikan maka kegiatan terkait POPM filariasis dapat dialokasikan
sebagian dengan menggunakan anggaran di internal Ditjen P2P
2. Advokasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan komitmen dalam menjangkau
daerah-daerah sulit dalam pelaksanaan POPM Filariasis, serta Mengoptimalkan
mobilisasi tenaga kesehatan yang ada untuk menjangkau daerah-daerah sulit dan
terpencil.
3. Konsolidasi dan Penguatan jejaring Komisi Ahli penanggulangan kejadian ikutan pasca
POPM Filariasis baik di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota untuk
mengantisipasi kejadian ikutan yang terjadi selama pelaksanaan POPM Filariasis
4. Supervisi dan pendampingan secara aktif terhadap kabupaten/kota gagal survey PreTAS
agar dapat meningkatkan cakupan minum obat dan memastikan obat diminum di depan
petugas agar berhasil memutus rantai penularan filariasis
5. Optimalisasi anggaran dan sumber daya yang ada untuk pelaksanaan Survei BIS
B REALISASI ANGGARAN
1. Realisasi Anggaran Direktorat P2PM
Untuk kinerja keuangan pada tahun 2022, data per 25 Januari 2022 berdasarkan Sistem
Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), realisasi anggaran mencapai 91,28%, dengan
realisasi Rp1.608.576.845.094 dari pagu total sebesar Rp. 1.762.226.498.000.
E : Efisiensi
PAKi : Pagu Anggaran Keluaran
RAKi : Realisasi Anggaran Keluaran
CKi : Capaian Keluaran
Nilai efisiensi diperoleh dengan asumsi bahwa minimum efisiensi yang dicapai sebesar -20% dan nilai
paling tinggi sebesar 20%. Oleh karena itu dilakukan transformasi skala efisiensi agar diperoleh skala
nilai yang berkisar 0% sampai 100% dengan rumus sebagai berikut:
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20
1. Persentase orang dengan risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia
yang mendapatkan skrining HIV
PAKi : Rp 384.144.266.000,-
RAKi : Rp 370.514.269.161,-
CKi: 96,45 %
(384.144.266.000X0.96) – 370.514.269.161
E = ----------------------------------------------------------------- X 100%
(384.144.266.000X 0.96)
= -0,47
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20
−0.47
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 48,825%
20
Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk Indikator Persentase orang dengan
risiko terinfeksi virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia yang mendapatkan
skrining HIV dengan anggaran 384.144.266.000,- memiliki nilai efisiensi 48.825%
2. Persentase Orang dengan HIV (ODHIV) baru ditemukan mendapatkan pengobatan ARV
PAKi : Rp 384.144.266.000,-
RAKi : Rp 370.514.269.161,-
CKi: 96,45 %
(384.144.266.000X0.96) – 370.514.269.161
E = ----------------------------------------------------------------- X 100%
(384.144.266.000X 0.96)
= -0,47
h a l a m a n | 114
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20
−0.47
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 48,825%
20
Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk Indikator Persentase Orang dengan
HIV (ODHIV) baru ditemukan mendapatkan pengobatan ARV dengan anggaran 384.144.266.000,-
memiliki nilai efisiensi 48.825%
PAKi : Rp 965.444.308.000,-
RAKi : Rp 874.871612.161,-
CKi: 94 %
(965.444.308.000X0.94) – 874.871612.161
E = ----------------------------------------------------------------- X 100%
(965.444.308.000X 0.94)
= 3,59
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20
3,597
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 58,99%
20
Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk Indikator Angka keberhasilan
pengobatan TBC dengan anggaran 965.444.308.000,- memiliki nilai efisiensi 58.99%
Sehingga Efisiensi:
E = 1,7%
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20
1,7
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 54,25%
20
h a l a m a n | 115
Efisiensi Sumber Daya dari indikator Jumlah kabupaten/kota yg mencapai Positivity Rate (PR)
< 5% sebanyak 1,7%. Artinya biaya untuk kegiatan output tersebut tidak efisien sebesar 1,7%
dari pagu anggaran yang disediakan. Sedangkan nilai efisiensi nya sebesar 54,25%
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20
18,24
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 95,6%
20
Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk Indikator Persentase penderita
kusta yang menyelesaikan pengobatan kusta tepat waktu dengan anggaran Rp .9.581.205.000,-
memiliki nilai efisiensi 95,6%
(10.775.633.000X1,06) – 1.765.055.800
E = ----------------------------------------------------------------- X 100%
(10.775.633.000X 1.06)
= 84,55 %
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20
85.55
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 100%
20
Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk Indikator Persentase pengobatan
pneumonia sesuai standar dengan anggaran Rp 10.775.633.000,- memiliki nilai efisiensi 100
%
h a l a m a n | 116
Penyebab serapan anggaran rendah karena pengadaan tidak dapat terlaksana karena barang
yang sesuai spesifikasi tidak tersedia (ARI Soundtimer dan Pulse Oximeter) sampai akhir tahun
2022
Dalam pencapaian target kinerja yang optimal, program Pencegahan dan Pengendalian penyakit
infeksi saluran pencernaan khususnya diare fokus kepada tatalasana diare balita sesuai standar.
Selain itu juga dilakukan upaya pencapaian target penemuan kasus balita diare dengan kegiatan
surveilans aktif dan pasif. Secara aktif, kader yang telah dilatih diharapkan dapat melaporkan kasus
balita diare yang ada di wilayah kerjanya, integrasi kegiatan dengan program kesehatan lain seperti
PIS PK. Secara pasif yaitu Puskesmas mendaptkan laporan dari jejaring kerjanya yaitu fasilitas
kesehatan swasta yang ada di wilayah kerjanya.
Anggaran Tahun 2022 sebesar 1.233.160.000 dengan realisasi sebesar 826.718.330 (67 %).
Capaian kinerja sebesar 184,4%
Formula Efisiensi:
32,96
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 58,99%
20
Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk indikator persentase pengobatan
diare sesuai standar dengan anggaran 1.233.160.000 memiliki nilai efisiensi 100 %
8. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan deteksi dini Hepatitis B dan C pada populasi
berisiko
Dalam pencapaian target kinerja yang optimal, program Pencegahan dan Pengendalian Hepatitis
berusaha memprioritaskan kegiatan yang efeknya lebih besar tapi mudah dijangkau yaitu dengan
melaksanakan Deteksi Dini pada Ibu Hamil, serta mengoptimalkan kerjasama dengan program HIV
dan KIA untuk menjangkau sasaran baik ibu hamil maupun kelompok berisiko lainnya.
Anggaran Tahun 2022 sebesar 194.082.355.000 dengan realisasi sebesar 179.545.164.439
(92,5%). Capaian indikator kinerja sebesar 98,9%
Formula Efisiensi:
h a l a m a n | 117
6.46
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 66.15%
20
Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk indikator persentase kabupaten/kota
yang melaksanakan deteksi dini hepatitis b dan C pada populasi berisko dengan anggaran Rp
194.082.355.000 memiliki nilai efisiensi 66.15%
PAKi : Rp 384.144.266.000,-
RAKi : Rp 370.514.269.161,-
CKi: 96,45 %
(384.144.266.000X0.96) – 370.514.269.161
E = ----------------------------------------------------------------- X 100%
(384.144.266.000X 0.96)
= -0,47
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20
−0.47
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 48,825%
20
Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk Indikator Persentase pasien sifilis
yang diobati dengan anggaran 384.144.266.000,- memiliki nilai efisiensi 48.825%
Pada tahun 2022 jumlah pagu anggaran APBN Pusat untuk mencapai target indikator Jumlah desa
endemis Schistosomiasis yang mencapai eliminasi adalah sebesar Rp. 1.045.680.000,-. Anggaran
tersebut telah terealisasi sebesar Rp.927.043.000,- atau sebesar 88,65%. Sedangkan Capaian
keluaran atau realisasi output anggaran adalah sebesar 100%. Dengan demikian maka efisensi
yang telah dilakukan adalah :
11,34
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 78,35%
20
Pada tahun 2022 jumlah pagu anggaran APBN Pusat untuk mencapai target indikator Kabupaten
Kota Eliminasi Rabies adalah sebesar Rp. 9.139.452.000,-. Anggaran tersebut telah terealisasi
sebesar Rp. 5.007.124.190,- atau sebesar 54,8 %. Sedangkan Capaian keluaran atau realisasi
output anggaran adalah sebesar 78,75 %. Dengan demikian maka efisensi yang telah dilakukan
adalah :
((9.139.452.000,- X 0,7875) – 5.007.124.190,-)
E = ---------------------------------------------------------- X 100 = 30,4 %
( 9.139.452.000,- X 0,7875 )
Dalam rangka melaksanakan eliminasi rabies, maka pemerintah telah berhasil melaksanakan
efisiensi anggaran APBN sebesar 30,4 % dan nilai efisiensi nya sebesar 100%. Anggaran yang ada
telah dioptimalkan untuk kegiatan Koordinasi LP/LS Pencegahan dan Pengendalian Zoonosis
(Rabies), Monitoring Kewaspadaan Dini dan Penanggulangan KLB Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Zoonosis (Rabies), Assessment Rabies Center, Penyediaan NSPK termasuk Penyusunan
Permenkes Penanggulangan Zoonosis(Rabies), Penyediaan Media KIE Zoonosis (Rabies),
Penerbitan Buletin Penyakit Zoonosa, Gerakan Masyarakat dalam Rangka Sosialisasi Penyakit
Zoonosa, dan Penyediaan Layanan Pendidikan dan Pelatihan Internal.
12. Persentase kabupaten/kota dengan Insiden Rate (IR) DBD ≤ 10 per 100.000 penduduk
= -3,49%
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋 50)
20
−3.49
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋 50)
20
𝑁𝐸 = 41,275 %
Berdasarkan perhitungan di atas dapat diketahui bahwa untuk Indikator Persentase kabupaten/kota
yang memiliki IR ≤10/100.000 penduduk dengan anggaran Rp . 90.011.360.000,- memiliki nilai
efisiensi -3,49% yang artinya tidak efisien karena realisasi anggaran lebih besar daripada capaian
kinerja. Sedangkan nilai efiesiensi nya sebesar 41,27%
13. Jumlah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1%
Pada tahun 2022 jumlah pagu anggaran APBN untuk mencapai target indikator jumlah
kabupaten/kota berhasil menurunkan angka mikrofilaria < 1% adalah sebesar Rp. 8.847.424.000,-.
Anggaran tersebut telah terealisasi sebesar Rp. 7.501.351.378,- atau sebesar 84,8%. Sedangkan
Capaian keluaran adalah sebesar 97,1%. Dengan demikian maka efisensi yang telah dilakukan
adalah :
14,7
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 86,75%
20
Dalam rangka menurunkan angka mikrofilaria < 1%, pemerintah telah berhasil
melaksanakan efisiensi sebesar 14,7% dengan nilai efisiensi sebesar 86,75%. Anggaran yang ada
telah dioptimalkan untuk pelaksanaan advokasi, sosialisasi dan koordinasi kepada lintas program,
lintas sektor serta masyarakat, monitoring dan evaluasi pelaksanaan POPM filariasis serta
pelaksanaan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria. Sarana prasarana diantaranya kit POPM IDA
telah didistribusikan ke daerah untuk mendukung pelaksanaan POPM filariasis.
Pada tahun 2022 jumlah pagu anggaran APBN untuk mencapai target indikator jumlah
kabupaten/kota endemis filariasis berhasil mencapai eliminasi adalah sebesar Rp.
8.847.424.000,-. Anggaran tersebut telah terealisasi sebesar Rp. 7.501.351.378,- atau sebesar
h a l a m a n | 120
84,8%. Sedangkan Capaian keluaran adalah sebesar 97,1%. Dengan demikian maka efisensi
yang telah dilakukan adalah :
𝐸
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50)
20
3,597
𝑁𝐸 = 50% + ( 𝑋50) = 86,75%
20
Dalam rangka pelaksanaan program eliminasi filariasis, maka pemerintah telah berhasil
melaksanakan efisiensi sebesar 14,7% dan nilai efisiensi sebesar 86,75%. Anggaran yang
ada telah dioptimalkan untuk pelaksanaan advokasi, sosialisasi dan koordinasi kepada lintas
program, lintas sektor serta masyarakat, monitoring dan evaluasi pelaksanaan POPM filariasis
serta pelaksanaan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria. Sarana prasarana diantaranya
pengadaan kit POPM IDA dan FTS, Lancet, Kit Surveyor, dan Bahan Kontak Filariasis telah
dilaksanakan untuk mendukung pelaksanaan POPM filariasis serta survei evaluasi
h a l a m a n | 121
BAB IV PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
1. Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular
merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban yang menggambarkan kinerja
Direktorat P2PM dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya yang diukur
berdasarkan tingkat penggunaan anggaran dan tingkat pencapaian kegiatan keluaran
(output kegiatan) selama periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2022.
2. Pencapaian kinerja pada tahun 2022 dapat diukur berdasarkan jumlah indikator yang telah
tercapai dan berdasarkan rata-rata capaian kinerja. Berdasarkan jumlah indikator yang
mencapai tercapai maka Kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Menular berdasarkan rata-rata capaian kinerja sebesar 96,97%.
LAMPIRAN
PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2022
DIREKTORAT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
MENULAR