Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Anak adalah generasi penerus untuk melanjutkan keturunan. Dalam


pengertian lebih luas, anak merupakan generasi penerus yang akan mewarisi
kepemimpinan di bidang kebangsaan, keagamaan dan kenegaraan. Oleh
karena itu, anak perlu dididik dan dirawat dengan sebaik-baiknya dalam
agar anak berguna bagi bangsa, negara Can agama). Anak Balita (Bawah
Lima tahun) merupakan individu atau sekelompok individu yang berada
dalam rentang usia 1-5 tahun. Usia balita dapat dikelompokkan menjadi 3
golongan yaitu golongan usia bayi (0-2 tahun), golongan batita 3 tahun),
dan golongan prasekolah (Fitriana, 2017).
Anak merupakan sumber daya manusia suatu bangsa. Jika anak
tumbuh dengan sehat dan kuat maka pada dewasanya mereka akan mampu
mengembangkan bangsa dan negara mereka dengan baik dan bijaksana.
Anak-anak termasuk dalam kelompok di masyarakat yang paling rentan
untuk terserang penyakit karena belum memiliki cukup kekebalan terhadap
penyakit. Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi anak menjadi
sering sakit, salah satunya yaitu wilayah tropis, dimana wilayah tropis
seperti di Indonesia merupakan tempat berkembang biak yang baik bagi
kuman misalnya flu, malaria, demam berdarah, dan diare. Penyakit-
penyakit tersebut biasanya mewabah pada musim peralihan, baik dari
musim kemarau ke penghujan begitu juga sebaliknya. Perubahan cuaca
tersebut dapat mempengaruhi perubahan kondisi kesehatan anak dari sehat
menjadi sakit dan dapat mengakibatkan tubuh bereaksi sehingga suhu tubuh
mengalami peningkatan.
Demam thypoid merupakan salah satu penyakit yang berbahaya
yang menimpa anak-anak. Menurut data terbaru dari WHO (World Health
Organisation), diperkirakan bahwa setiap tahun diseluruh dunia terdapat

1
2

antara 11-21 juta kasus demam tifoid (WHO, 2021). Di Indonesia


berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, prevalensi kejadian Demam Tifoid
tahun 2013 sebesar 4,0%. Lima provinsi yang mempunyai insiden dan
prevalensi Demam Tifoid tertinggi untuk semua umur adalah Nusa
Tenggara Timur (10,3%), Papua (8,2%), Tengah (5,7%). Sulawesi Barat
(6,1%), dan Sulawesi Selatan (4,8%) (Riskesdas, 2013). Sedangkan pada
tahun 2018 terjadi peningkatan yaitu sebesar 4,5%. Lima provinsi yang
mempunyai insiden dan prevalensi Demam Tifoid tertinggi untuk semua
umur adalah Papua (9.1%), Gorontalo (7,0%), Nusa Tenggara Timur
(6,9%), Sulawesi Barat (6,1%), dan Jawa Barat (4,8%) (Riskesdas, 2018).
Jumlah penderita tylpoid di Sumatera Selatan di Palembang pada februari
2018 Untuk data di tahun 2017, penyakit Tifus ini jika dilihat dari data usia,
kebanyakan lebih rentan di usia 15 hingga 44 tahun, itu tingkat tertinggi
pertama dengan jumlah 1500 orang penderita. Sementara di usia 5 hingga
12 tahun, di tingkat tertinggi kedua penderita sebanyak 1.452 penderita
(Dinkes Palembang.2018).
Menurut data terbaru dari WHO (World Health Organisation),
diperkirakan bahwa setiap tahun diseluruh dunia terdapat kasus demam
tifoid dengan insiden kematian sebanyak 128.000 hingga 161.000 (WHO,
2021). Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011 jumlah kejadian
demam thypoid dan parathypoid di Rumah Sakit adalah 80.850 kasus pada
penderita rawat inap dan 1013 diantaranya meninggal dunia Sedangkan
pada tahun 2012 penderita demam thypoid dan parathypoid sejumlah
41.081 kasus pada penderita rawat inap dan jumlah pasien meninggal dunia
sebanyak 276 jiwa (Riskesdas) Angka kematian diperkirakan sekitar 6-5%
sebagai akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta kurang
sempurnanya proses pengobatan Secara umum insiden demam thypoid
dilaporkan 75% didapatkan pada 3 umur kurang dari 24 tahun. Pada anak-
anak biasanya diatas 1 tahun dan terbanyak di atas 5 tahun (Pujiarto,2018).

2
3

Gejala yang muncul pada demam thypoid pada anak adalah demam
tinggi, nyeri kepala, nyeri perut, kembung, mual, muntah, diare, konstipasi,
pusing, bradikardi, nyeri otot, batuk, epistaksis, hepatomegali,
splenomegali, meteoriamus. Adapun masalah keperawatan yang lazim
muncul pada klien demam thypoid seperti ketidakefektifan termoregulasi,
nyeri akut, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, resiko
kekurangan volume cairan dan konstipasi (Winekher, 2020).Penyakit
demam Typoid khususnya di Indonesia merupaka penyakit yang bersifat
endemic yang artinya penyakit ini selalu ada di masyarakat sepanjang
waktu. Penyakit serupa, demam paratifoid, disebabkan oleh Salmonella
Paratyphi A dan B (atau Paratyphi C yang tidak biasa).Komplikasi demam
tifoid termasuk; usus berdarah atau berlubang.Perforasi ini di usus
memungkinkan isi untuk mencemari rongga perut anak, yang menyebabkan
mual, muntah dan sakit perut. Itu juga bisa menyebabkan septikemia
Komplikasi lain adalah polyarthritis, carditis, pneumonia, pankreatitis, dan
infeksi pada ginjal atau kandung kemih (M Said 2017).
Demam merupakan respon alami tubuh dalam melawan infeksi yang
masuk kedalam tubuh dan merupakan tanda dari suatu penyakit. Seseorang
dikatakan demam apabila suhu tubuh melebihi suhu tubuh normal yakni
mencapai >37,5°C (Enikmawati et al, 2022) Demam yang tidak diatasi
secara tepat berdampak demam tinggi, dimana suhu 38°C dan lebih tinggi
dapat mengakibatkan kejang. Anak yang mengalami demam dapat
memberikan dampal yang negatif yang bisa membahayakan anak seperti
dehidrasi, kekurangan oksigen, kerusakan neurologis dan kejang demam
(febrile convulsions) maka dari itu demam harus ditangani dengan benar
untuk meminimalisir dampak negatif (Nur Arifin, 2022).
Cara untuk menurunkan dan mengontrol demam dapat dilakukan
dengan berbagai macam, yaitu dengan pemberian obat Antipiretik
(farmakologs). Namun penggunaan obat antipiretik memiliki efek samping
yaitu dapat merusak bronkus, mengakibatkan apasme perdarahan saluran
cerna yang timbul akibat erosi (pengikisan) pembuluh darah, dan penurunan

3
4

fungsi ginjal. Selain dengan cara farmakologis, penurunan demam juga


dapat dilakuk secara non farmakologis atau kombinasi keduanya (Harmani
et al. 2019).
Tindakan farmakologis yaitu memberikan obat antipiretik
Sedangkan tindakan non farmakologis yaitu tindakan tambahan dalam
menurunkan panas setelah pemberian obat antipiretik. Tindakan non
farmakologis terhadap penurunan panas seperti memberikan anak minum
yang banyak, menempatkan. anak pada ruangan bersuhu normal,
memberikan anak pakaian yang tidak tebal, dan memberikan anak kompres
hangat. Selain itu tindakan non farmakologi dapat dilakukan melalui metode
konduksi. Metode konduksi dan evaporasi adalah dengan penggunaan terapi
dekapan skin to skin (Nur Arifin, 2022).
Salah satu terapi yang dapat menurunkan suhu tubu dengan
menggunakan metode kontak kulit ibu dan kulit bayi (Skin to Skin Contact).
Metode ini merupakan bentuk interaksi antara orangtua dengan bayinya
yang lebih dikenal dengan perawatan metode Kanguru. Penelitian yang
dilakukan (Lawn et al., 2010) menyatakan skin to skin contact efektif untuk
menumbuhkan efek positif pada ikatan kasih sayang antara ibu dan bayi.
Skin to skin contactdapat menimbulkan dampak positif yang signifikan
pada bayi dan mempengaruhi hubungan orang tua bayi dalam berinteraksi.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas mengenai Hipertermi pada
anak dengan Typoid yang harus segera di tangani. Penulis tertarik
mengambil tema Studi Kasus " Analisis Asuhan Keperawatan Dengan
hipertermi Pada Anak Demam Thypoid Menggunakan terapi dekapan"

B. Rumusan Masalah
Bagaimana Asuhan Keperawatan Dengan hipertermi Pada Anak
Demam Thypoid Menggunakanterapi dekapan.

4
5

C. Tujuan Studi Kasus


1. Tujuan Umum
Penulis Dapat menganalisis Asuhan Keperawatan Dengan
hipertermi Pada Anak Demam Thypoid terapi dekapan.
Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan data hasil pengkajian pada pasien thypoid
b. Mendeskripsikan masalah keperawatan pada psien thypoid
c. Mendeskripsikan implementasi keperawatan pada pasien
dengan thypoid
d. Mendekripsikan evaluasi keperawatan pada pasien thypoid
e. Mengetahui keefektifan penerapan intervensi terapi dekpan.

D. Manfaat Studi Kasus


a. Berdasarkan tujuan yang hendak di capai, maka studi kasus ini
diharapkan mempunyai manfaat dalam pendidikan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Adapun manfaat study kasus ini adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis
Untuk memberikan informasi bagi para penulis lain dalam
melakukan penulisan Studi Kasus yang sejenis dalam rangka
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan bagi perawat Rumah Sakit untuk
mengambil langkah dalam rangka meningkatkan mutu
pelayanan keperawatan pada klien, khususnya bagi Anak
penderita Typoid.
b. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan di perpustakaan IKesT Muhammadiyah
Palembang dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan
keperawatan di masa mendatang

5
6

c. Bagi penulis
Dapat memperoleh pengalaman dan mengaplikasihkan hasil
riset keperawatan pada klien, khususnya bagi Anak penderita
Typoid.

Anda mungkin juga menyukai