Anda di halaman 1dari 128

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam thypoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada

saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan

kesadaran (Suriadi&Rita,2010). Penyakit ini merupakan penyakit infeksi akut

usus halus, yang disebabkan oleh Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A,

Salmonella paratyphi B, Salmonella paratyphi C, paratyphoid biasanya lebih

ringan dengan gambaran klinis sama (Ridha,2014). Salmonella adalah bakteri

gram-negatif, tidak berkapsul. mempunyai flagella, dan tidak membentuk spora.

(Widoyono,2011) Kasus ini dapat dijumpai pada pasien anak maupun dewasa.

Gejala yang sering dialami oleh pasien anak yaitu demam, lemah, nyeri,

epistaksis, bibir kering dan pecah-pecah, lidah ditutupi selaput putih kotor (coated

tongue), meteorismus, mual tidak nafsu makan, hepatomegali, splenemogali yang

disertai nyeri pada perabaan. (Suriadi&Rita,2010). Berdasarkan data pra

penelitian di rumah sakit gejala yang sering dikeluhkan oleh pasien yaitu demam

naik turun, nyeri perut, tidak nafsu makan.

Data World Health Organisation (WHO) tahun 2009 memperkirakan

terdapat sekita 17 juta kasus demam thypoid di seluruh dunia dengan insidensi

600.000 kasus kematian tiap tahun. Insiden rerata demam thypoid di Asia Selatan

dan Tenggara termasuk China pada tahun 2010 rerata 1.000 per 100.000 per

tahun. Insiden rerata di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk di

pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk diperkotaan per tahun dengan rerata

kasus per tahun 600.000-1.500.000 penderita. Angka kematian akibat demam


2

thypoid masih tinggi dengan CFR sebesar 10%. Berdasarkan data register Ruang

Karunia Rumah Sakit Baptis Kediri pada bulan Oktober, November sampai

Desember 2019 didapatkan jumlah pasien dengan Demam Thypoid sebanyak 10

anak dengan masalah keperawatan hipertermi.

Demam thypoid terjadi karena kuman Salmonella typhosa masuk ke

saluran pencernaan lewat organ mulut, khususnya usus halus bersama makanan,

melalui pembuluh limfe. Kuman ini masuk atau menginvasi jaringan limfoid

mesenterika. Disini akan terjadi nekrosis dan peradangan. Kuman yang berada

pada jaringan limfoid tersebut masuk ke peredaran darah menuju hati dan limpa.

Di sini biasanya pasien merasakan nyeri. Kuman tersebut akan keluar dari hati dan

limpa. Kermudian, kembali ke usus halus dan kuman mengeluarkan endotoksin

yang dapat menyebabkan reinfeksi di usus halus. Kuman akan berkembang biak

disini. Kuman Salmonella typhosa dan endotoksin merangsang sintesis dan

pelepasan pirogen yang akhirnya beredar di darah dan mempengaruhi pusat

termoregulator di hipotalamus yang menimbulkan hipertermi. Kuman menyebar

ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran darah serta dapat menyebabkan

terjadinya tukak mukosa yang mengakibatkan perdarahan dan perforasi

(Marni,2016)

Penatalaksanaan demam thypoid dengan masalah keperawatan hipertermi

dapat dilakukan dengan cara pemberian farmakoterapi dan non farmakoterapi.

Penatalaksanaan non farmakoterapi dapat dilakukan dengan cara tirah baring

selama demam, kompres pasien pada lipat paha dan aksila (Ridha,2014).

Penatalaksanaan hipertermi dapat dilakukan dengan cara kompres pada pasien.

Dengan cara bantu klien pada posisi yang nyaman dan tepat. Cuci tangan, pasang
3

pengalas di bawah area yang akan diberi kompres. Pakai sarung tangan,

selanjutnya ambil kasa dengan cara direnggangkan/dibentangkan dan letakkan di

atas area yang membutuhkan kompres hangat.

1.2 Batasan Masalah

Studi kasus ini berfokus pada penatalaksanaan pasien dengan kasus

demam thypoid yang mengalami masalah keperawatan gangguan termoregulasi

dengan pemberian tindakan mandiri perawat berupa kompres hangat di Instalasi

Rawat Inap Ruang Karunia RS Baptis Kediri.

1.3 Rumusan Masalah

Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien anak dengan kasus demam

thypoid dalam pemenuhan kebutuhan termoregulasi di instalasi rawat Ruang

Karunia Rumah Sakit Baptis Kediri

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Melakukan asuhan keperawatan komprehensif pada pasien anak dengan

kasus demam thypoid di Instalasi Rawat Inap Ruang Karunia RS. Baptis

Kediri.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisa pengkajian keperawatan pada pasien anak menderita

demam thypoid di Instalasi Rawat Inap Ruang Karunia RS. Baptis

Kediri.
4

2. Menganalisa diagnosis keperawatan pada pasien anak menderita

demam thypoid di Instalasi Rawat Inap Ruang Karunia RS. Baptis

Kediri.

3. Menganalisa intervensi keperawatan pada pasien anak menderita

demam thypoid di Intalasi Rawat Inap Ruang Karunia RS. Baptis

Kediri.

4. Menganalisa implementasi keperawatan pada pasien anak menderita

demam thypoid di Instalasi Rawat Inap Ruang Karunia RS. Baptis

Kediri.

5. Menganalisa evaluasi keperawatan pada pasien anak menderita demam

thypoid di Instalasi Rawat Inap Ruang Karunia RS. Baptis Kediri.

1.5 Manfaat

1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil dari karya tulis ini dapat memberikan informasi tentang

prevalensi kejadian penyakit Demam Thypoid. Dimana Demam Thypoid dapat

dicegah dan dapat sebagai sumber inspirasi dan referensi bagi penelitian

selanjutnya serta dapat memberikan kesempatan bagi peneliti selanjutnya

dalam membuat study kasus dalam menganalisis data-data terkait

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Perawat

Dari hasil penelitian dapat meningkatkan motivasi perawat untuk

upgrade pengetahuan dan keterampilan perawat tentang tindakan mandiri

perawat dalam pemenuhan kebutuhan termoregulasi sesuai dengan

penelitian.
5

2. Bagi Rumah Sakit

Dari hasil penelitian sebagai bahan untuk perbaruan Standart

Operasional Prosedur berdasarkan dari hasil penelitian.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Dari hasil penelitian study kasus dapat digunakan sebagai informasi

dan masukan bagi masahasiswa selanjutnya untuk dapat melakukan

penelitian dengan tindakan keperawatan yang bervariasi.

4. Bagi Pasien dan Keluarga

Mendapatkan pelayananan kesehatan terkini. Hasil penelitian dapat

digunakan pasien dan keluarga dalam penatalaksanaan hipertermia

dirumah.
6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kebutuhan Termoregulasi

2.1.1 Konsep Dasar Termoregulasi

Termoregulasi adalah suatu pengaturan fisiologis tubuh manusia mengenai

keseimbangan produksi panas dan kehilangan panas sehingga suhu tubuh dapat

dipertahankan secara konstan. Keseimbangan suhu tubuh diregulasi oleh

mekanisme fisiologis dan perilaku. Agar suhu tubuh tetap konstan dan berada

dalam batasan normal, hubungan antara produksi panas dan pengeluaran panas

harus dipertahankan. Hubungan diregulasi melalui mekanisme neurologis dan

kardiovaskular. Perawat menerapkan pengetahuan mekanisme kontrol suhu untuk

meningkatkan regulasi suhu. Hipotalamus yang terletak antara hemisfer serebral,

mengontrol suhu tubuh sebagaimana kerja termostat dalam rumah. Hipotalamus

merasakan perubahan ringan pada suhu tubuh. Hipotalamus anterior mengontrol

pengeluaran panas, dan hipotalamus posterior mengontrol produksi panas.

(Mubarak, dkk,2015)

2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Termoregulasi

Menurut Mubarak, dkk (2015) banyak faktor yang memengaruhi suhu

tubuh. Perubahan pada suhu tubuh dalam rentang normal terjadi ketika hubungan

antara produksi panas dan kehilangan panas diganggu oleh variabel fisiologis atau

perilaku.
7

Faktor yang memengaruhi suhu tubuh adalah sebagai berikut.

1. Usia. Pada saat lahir, bayi meninggalkan lingkungan yang hangat, yang relatif

konstan, masuk dalam lingkungan yang suhunya berfluktuasi dengan cepat.

Suhu tubuh bayi dapat berespons secara drastis terhadap perubahan suhu

lingkungan. Bayi baru lahir mengeluarkan lebih dari 30% panas tubuhnya

melalui kepala. Oleh karena itu, perlu menggunakan penutup kepala untuk

mencegah pengeluaran panas. Bila terlindung dari lingkungan yang ekstrem,

suhu tubuh bayi dipertahankan pada 35,5° C sampai 39,5° C. Produksi panas

akan meningkat seiring dengan pertumbuhan bayi memasuki anak-anak.

Perbedaan secara individu 0,25° C sampai 0,55° C adalah normal. Regulasi

suhu tidak stabil sampai pubertas. Rentang suhu normal turun secara

berangsur sampai seseorang mendekati masa lansia. Lansia mempunyai

rentang suhu tubuh lebih sempit daripada dewasa awal. Suhu oral 35° C tidak

lazim pada lansia dalam cuaca dingin. Namun rentang suhu tubuh pada lansia

sekitar 36° C. Lansia terutama sensitif terhadap yang ekstrem karena

kemunduran mekanisme kontrol, terutama pada control vasomotor (kontrol

vasokonstriksi dan vasodilatasi), penurunan jumlah jaringan subkutan,

penurunan aktivitas kelenjar keringat, dan penurunan metabolisme.

2. Olahraga. Aktivitas otot memerlukan peningkatan suplai darah dalam

pemecahan karbohidrat dan lemak. Hal ini menyebabkan peningkatan

metabolisme dan produksi panas. Segala jenis olahraga dapat meningkatkan

produksi panas akibatnya meningkatkan suhu tubuh. Olahraga berat yang

lama, seperti lari jarak jauh, dapat meningkatkan suhu tubuh untuk sementara
8

sampai 41° C. Aktivitas selain merangsang peningkatan laju metabolisme

juga mengakibatkan gesekan antarkomponen otot/organ yang menghasilkan

energi termal. Latihan (aktivitas) dapat meningkatkan suhu tubuh hingga

103,2° F sampai 105,8° F (38,3/39-40,0/41° C). Dehidrasi mungkin timbul

pada suhu yang lebih tinggi.

3. Kadar hormone. Secara umum, wanita mengalami fluktuasi suhu tubuh yang

lebih besar dibandingkan pria. Variasi hormonal selama siklus menstruasi

menyebabkan fluktuasi suhu tubuh. Kadar progesteron meningkat dan

menurun secara bertahap selama siklus menstruasi. Bila kadar progesteron

rendah, suhu tubuh beberapa derajat di bawah kadar batas. Suhu tubuh yang

rendah berlangsung sampai terjadi ovulasi. Perubahan suhu juga terjadi pada

wanita menopause. Wanita yang sudah berhenti mentruasi dapat mengalami

periode panas tubuh dan berkeringat banyak, 30 detik sampai 5 menit. Hal

tersebut karena kontrol vasomotor yang tidak stabil dalam melakukan

vasodilatasi dan vasokontriksi.

a) Hormon pertumbuhan (growth hormone) dapat menyebabkan

peningkatan kecepatan metabolisme sebesar 15-20%. Akibatnya,

produksi panas tubuh juga meningkat.

b) Hormon tiroid. Fungsi tiroksin adalah meningkatkan aktivitas hampir

semua reaksi kimia dalam tubuh sehingga peningkatan kadar tiroksin

dapat mempengaruhi laju metabolisme menjadi 50-100% di atas normal.

c) Hormon kelamin. Hormon kelamin pria dapat meningkatkan kecepatan

metabolisme basal kira-kira 10-15% kecepatan normal, menyebabkan

peningkatan produksi panas. Pada perempuan, fluktuasi suhu lebih


9

bervariasi daripada laki-laki karena pengeluaran hormon progesteron

pada masa ovulasi meningkatkan suhu tubuh sekitar 0,3-0,6° C di atas

suhu basal.

4. Irama sirkadian. Suhu tubuh berubah secara normal 0,5°C sampai l°C selama

periode 24 jam. Bagaimana pun, suhu merupakan irama stabil pada manusia.

Suhu tubuh paling rendah biasanya antara pukul satu dan empat dini hari.

Sepanjang hari suhu tubuh naik, sampai sekitar pukul 18.00 dan kemudian

turun seperti pada dini hari. Penting diketahui, pola suhu tidak secara

otomatis pada orang yang bekerja pada malam hari dan tidur di siang hari.

Perlu waktu 1-3 minggu untuk perputaran itu berubah. Secara umum, irama

suhu sirkadian tidak berubah sesuai usia. Penelitian menunjukkan, puncak

suhu tubuh adalah dini hari pada lansia.

5. Stres. Stres fisik dan emosi meningkatkan suhu tubuh melalui stimulasi

hormonal dan persarafan. Perubahan fisiologi tersebut meningkatkan panas.

Klien yang cemas saat masuk rumah sakit atau tempat praktik dokter, suhu

tubuhnya dapat lebih tinggi dari normal.

6. Lingkungan. Lingkungan memengaruhi suhu tubuh. Jika suhu dikaji dalam

ruangan yang sangat hangat, klien mungkin tidak mampu meregulasi suhu

tubuh melalui mekanisme pengeluaran panas dan suhu tubuh akan naik. Jika

klien berada di lingkungan tanpa baju hangat, suhu tubuh mungkin rendah

karena penyebaran yang efektif dan pengeluaran panas yang konduktif. Bayi

dan lansia paling sering dipengaruhi oleh suhu lingkungan karena mekanisme

suhu mereka kurang efisien.


10

7. Kecepatan metabolisme basal. Kecepatan metabolisme basal tiap individu

berbeda-beda. Hal ini memberi dampak jumlah panas yang diproduksi tubuh

menjadi berbeda pula.

8. Rangsangan saraf simpatis. Rangsangan saraf simpatis dapat menyebabkan

kecepatan metabolisme menjadi 100% lebih cepat. Di samping itu,

rangsangan saraf simpatis dapat mencegah lemak cokelat (brown fat) yang

tertimbun dalam jaringan untuk di metabolisme. Hampir seluruh metabolisme

lemak cokelat adalah produksi panas. Umumnya, rangsangan saraf simpatis

ini dipengaruhi stres individu yang menyebabkan peningkatan produksi

epinefrin dan norepinefrin yang meningkatkan metabolisme.

9. Demam (peradangan). Proses peradangan dan demam dapat menyebabkan

peningkatan metabolisme sebesar 120% untuk tiap peningkatan suhu 10° C.

10. Status gizi. Malnutrisi yang cukup lama dapat menurunkan kecepatan

metabolism 20-30%. Hal ini terjadi karena di dalam sel tidak ada zat makanan

yang dibutuhkan untuk mengadakan metabolisme. Dengan demikian, orang

yang mengalami malnutrisi mudah mengalami penurunan suhu tubuh

(hipotermia). Selain itu, individu dengan lapisan lemak tebal cenderung tidak

mudah mengalami hipotermia karena lemak merupakan isolator yang cukup

baik, dalam arti lemak menyalurkan panas dengan kecepatan sepertiga

kecepatan jaringan yang lain.

11. Gangguan organ. Kerusakan organ seperti trauma atau keganasan pada

hipotalamus, dapat menyebabkan mekanisme regulasi suhu tubuh mengalami

gangguan. Berbagai zat pirogen yang dikeluarkan pada saat terjadi infeksi

dapat merangsang peningkatan suhu tubuh. Kelainan kulit berupa jumlah


11

kelenjar keringat yang sedikit juga dapat menyebabkan mekanisme

pengaturan suhu tubuh terganggu.

12. Lingkungan. Suhu tubuh dapat mengalami pertukaran dengan lingkungan,

artinya panas tubuh dapat hilang atau berkurang akibat lingkungan yang lebih

dingin. Begitu juga sebaliknya, lingkungan dapat memengaruhi suhu tubuh

manusia. Perpindahan suhu antara manusia dan lingkungan terjadi sebagian

besar melalui kulit. Proses kehilangan panas melalui kulit dimungkinkan

karena panas diedarkan melalui pembuluh darah dan juga disuplai langsung

ke fleksus arteri kecil melalui anastomosis arteriovenosa yang mengandung

banyak otot. Kecepatan aliran dalam fleksus arteriovenosa yang cukup tinggi

(kadang mencapai 30% total curah jaritung) akan menyebabkan konduksi

panas dari inti tubuh ke kulit menjadi sangat efisien. Dengan demikian, kulit

merupakan radiator panas yang efektif untuk keseimbangan suhu tubuh.

13. Irama diurnal. Suhu tubuh bervariasi pada siang dan malam hari. Suhu

terendah manusia yang tidur pada malam hari dan bangun sepanjang siang

terjadi pada awal pagi dan tertinggi pada awal malam.

14. Jenis kelamin. Sesuai dengan kegiatan metabolisme, suhu tubuh pria lebih

tinggi daripada wanita. Suhu tubuh wanita dipengaruhi siklus haid. Pada saat

ovulasi, suhu tubuh wanita pada pagi hari saat bangun meningkat 0,3-0,5° C.

Menurut Devi (2017) Faktor yang Memengaruhi Suhu Tubuh yaitu

1. Kecepatan metabolisme basal

Kecepatan metabolisme basal tiap individu berbeda-beda. Hal ini

memberi dampak jumlah panas yang diproduksi tubuh menjadi berbeda pula.
12

2. Rangsangan saraf simpatis

Rangsangan saraf simpatis dapat menyebabkan kecepatan metabolisme

menjadi 100% lebih cepat. Di samping itu, rangsangan saraf simpatis dapat

mencegah lemak cokelat yang tertimbun dalam jaringan untuk dimetabolisme.

Hampir seluruh metabolisme lemak cokelat adalah produksi panas. Umumnya,

rangsangan saraf simpatis ini dipengaruhi stress individu yang menyebabkan

peningkatan produksi epineprin dan norepineprin yang meningkatkan

metabolisme.

3. Hormon pertumbuhan

Hormon pertumbuhan dapat menyebabkan peningkatan kecepatan

metabolisme sebesar 15-20%. Akibatnya, produksi panas tubuh juga meningkat.

4. Hormon tiroid

Fungsi tiroksin adalah meningkatkan aktivitas hamper semua reaksi kimia

dalam tubuh sehingga peningkatan kadar tiroksin dapat mempengaruhi laju

metabolisme menjadi 50-100% di atas normal.

5. Hormon kelamin

Hormon kelamin pria dapat meningkatkan kecepatan metabolisme basal

kira-kira 10-15% dsri kecepatan normal, menyebabkan peningkatan produksi

panas. Pada perempuan, fluktuasi suhu lebih bervariasi dari pada laki-laki karena

pengeluaran hormon progesterone pada masa ovulasi meningkatkan suhu tubuh

sekitar 0,3 - 0,6°C di atas suhu basal.

6. Demam (peradangan)
13

Proses peradangan dan demam dapat menyebabkan peningkatan

metabolisme sebesar 120% untuk tiap peningkatan suhu 10°C.

7. Status gizi

Malnutrisi yang cukup lama dapat menurunkan kecepatan metabolisme

20-30%. Hal ini terjadi karena di dalam sel tidak ada zat makanan yang

dibutuhkan untuk mengadakan metabolisme. Dengan demikian, orang yang

mengalami mal nutrisi mudah mengalami penurunan suhu tubuh (hipotermia).

Selain itu, individu dengan lapisan lemak tebal cenderung tidak mudah

mengalami hipotermia karena lemak merupakan isolator yang cukup baik, dalam

arti lemak menyalurkan panas dengan kecepatan sepertiga kecepatan jaringan

yang lain.

8. Aktivitas

Aktivitas selain merangsang peningkatan laju metabolisme, juga

mengakibatkan gesekan antar komponen otot/organ yang menghasilkan energi

termal. Latihan (aktivitas) dapat meningkatkan suhu tubuh hingga 38,3- 40,0°C.

9. Gangguan organ

Kerusakan organ seperti trauma atau keganasan pada hipotalamus, dapat

menyebabkan mekanisme regulasi suhu tubuh mengalami gangguan. Berbagai zat

pirogen yang dikeluarkan pada saat terjadi infeksi dapat merangsang peningkatan

suhu tubuh. Kelainan kulit berupa jumlah kelenjar keringat yang sedikit juga

dapat menyebabkan mekanisme pengaturan suhu tubuh terganggu.

10. Lingkungan
14

Suhu tubuh dapat mengalami pertukaran dengan lingkungan, artinya

panas tubuh dapat hilang atau berkurang akibat lingkungan yang lebih dingin.

Begitu juga sebaliknya, lingkungan dapat memengaruhi suhu tubuh manusia.

Perpindahan suhu antara manusia dan lingkungan terjadi sebagian besar melalui

kulit. Kulit merupakan radiator panas yang efektif untuk keseimbangan suhu

tubuh.

2.1.3 Perubahan Suhu

Menurut Mubarak, dkk (2015) perubahan suhu tubuh di luar rentang

normal memengaruhi set point hipotalamus. Perubahan ini dapat berhubungan

dengan produksi panas yang berlebihan, pengeluaran panas yang berlebihan,

produksi panas minimal. Pengeluaran panas minimal atau setiap gabungan dari

perubaban tersebut. Sifat perubahan tersebut memengaruhi masalah klinis yang

dialami klien.

1. Demam

Demam atau hiperpireksia terjadi karena mekanisme pengeluaran panas

tidak mampu untuk mempertahankan kecepatan pengeluaran kelebihan produksi

panas, yang mengakibatkan peningkatan suhu tubuh abnormal. Tingkat ketika

demam mengancam kesehatan sering kali merupakan sumber yang diperdebatkan

di antara pemberi perawatan kesehatan. Demam biasanya tidak berbahaya jika

berada pada suhu di bawah 39° C. Pembacaan suhu tunggal mungkin tidak

menandakan demam. Davis dan Lentz (1989) merekomendasikan untuk

menentukan demaam berdasarkan beberapa pembacaan suhu dalam waktu yang

berbeda pada satu hari dibandingkan dengan suhu normal tersebut pada waktu

yang sama, di samping terhadap tanda vital dan gejala infeksi. Demam
15

sebenarnya merupakan akibat dari perubahan set point hipotalamus. Demam

adalah peningkatan suhu tubuh karena pengaturan ulang termostat di

hipotalamus. Suhu tubuh selalu diusahakan untuk dipertahankan. Pada umumnya,

demam disebabkan oleh infeksi dan stres. Demam adalah temperatur tubuh di

atas batas normal. Penyebab demam antara lain penyakit bakteri, tumor otak, dan

keadaan lingkungan. Pengaturan temperatur hipotalamus pada penyakit demam

efek pirogen. Hasil penecahan protein dan beberapa zat tertentu terutama toksin

liposakarida dapat meningkatkan set point termostat hipotalamus. Zat yang

menimbulkan efek seperti ini disebut pirogen. Pirogen yang dilepaskan oleh

bakteri toksik atau pirogen yang dilepaskan dari degenerasi jaringan tubuh dapat

menyebabkan demam selama keadaan sakit. Mekanisme pirogen dalam

menyebabkan demam dan perananan interleukin-1. Apabila bakteri atau hasil

pemecahan bakteri terdapat dalam jaringan atau dalam darah, keduaya akan

difagositosis oleh leukosit darah, makrofag jaringan, dan limfosit. Seluruh sel ini

selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri dan melepaskan zat interleukin-1

ke dalam cairan tubuh yang juga disebut pirogen leukosit atau pirogen endogen.

Interleukin-1 saat mencapai hipotalamus segera menimbulkan demam. Beberapa

percobaan terakhir menunjukkan bahwa interleukin-1 menyebabkan demam

dengan menginduksi pembentukan salah satu prostaglandin E2 dan zat ini

selanjutnya bekerja dalam hipotalamus untuk membangkitkan reaksi demam.

Keadaan lain yang sering menyebabkan memanjangnya temperatur tinggi yang

berkepanjangan adalah penekanan hipotalamus oleh otak. Karakteristik demam

kedinginan dan krisis atau kemerahan.


16

2. Kelelahan akibat panas

Kelelehan akibat panas terjadi bila diaforesis yang banyak mengakibatkan

kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebih. Hal ini disebabkan oleh

lingkungan yang terpajan panas. Tanda dan gejala kurang volume cairan adalah

hal yang umum selama kelelahan akibat panas. Tindakan pertama yaitu

memindahkan klien ke lingkungan yang lebih dingin serta memperbaiki

keseimbangan cairan dan elektrolit.

3. Hipertermia

Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan ketidakmampuan tubuh

untuk meningkatkan pengeluaran panas atau menurunkan produksi panas adalah

hipertermia. Setiap penyakit atau trauma pada hipotalamus dapat memengaruhi

mekanisme pengeluaran panas. Hipertermia malignan adalah kondisi bawaan

tidak dapat mengontrol produksi panas, yang terjadi ketika orang yang rentan

menggunakan obat-obatan anestetik tertentu.

Hipertermia adalah peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan

ketidakmampuan tubuh untuk mengeluarkan panas. Menurut Molton (2005)

respons tubuh terhadap hipertermia seperti demam dan terjadinya peningkatan

aliran darah ke otak dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial

(TIK). Peningkatan tekanan intrakranial sering menyebabkan kematian. Untuk

itu, perlu sekali dilakukan kontrol terhadap peningkatan suhu untuk menghindari

peningkatan tekanan intrakranial dan perluasan area iskemik. Manfaat

menurunkan suhu inti untuk menghindari kerusakan yang luas dan komplikasi

pada otak. Variasi temperatur sangat erat kaitannya dengan injury neuronal

meliputi penurunan pengeluaran glutamat, mekanisme radikal bebas, depolarisasi


17

iskemik, dan aktivitas kinase, terjaganya aliran darah ke otak dan sitoskeleton,

serta penekanan mekanisme inflamasi. Berdasarkan hasil penelitian, penurunan

suhu dapat meningkatkan kadar glutamat dan menghindari perluasan iskemik

dengan adanya hidroksil radikal. Penurunan temperatur otak dapat dilakukan

dengan menurunkan suhu kulit atau suhu sentral/inti. Meskipun target dan

lamanya pendinginan masih diperdebatkan tetapi terapi hipotermia sangat mudah

dilakukan dan aman. Penurunan suhu permukaan atau suhu kulit dapat dilakukan

dengan memberikan alkohol (+air), selimut pendingin, dan matras pendingin.

Metode ini dapat dilakukan selama 3,5-6,5 jam untuk menurunkan suhu inti

sampai 32° C.

4. Heatstroke

Pajanan yang lama terhadap sinar matahari atau lingkungan dengan suhu

tinggi dapat memengaruhi mekanisme pengeluaran panas. Kondisi ini disebut

heatstroke, kedaruratan yang berbahaya dengan angka mortalitas yang tinggi.

Klien berisiko termasuk yang masih sangat muda atau sangat tua, yang memiliki

penyakit kardiovaskular, hipotiroidisme, diabetes, atau alkoholik. Orang yang

juga termasuk berisiko adalah orang yang mengonsumsi obat yang menurunkan

kemampuan tubuh untuk mengeluarkan panas (misalnya fenotiasin,

antikolinergik, diuretik, amfetamin, dan antagonis reseptor beta-adrenergik) dan

mereka yang menjalani latihan olahraga atau kerja yang berat (misal atlet, pekerja

konstruksi, dan petani). Tanda dan gejala heatstroke termasuk gamang, konfusi,

delirium, sangat haus, mual, kram otot, gangguan visual, dan bahkan

inkontinensia. Tanda yang paling utama dari heatstroke adalah kulit yang hangat

dan kering.
18

Penderita heatstroke tidak berkeringat karena kehilangn elektrolit sangat

berat dan malfungsi hipotalamus. Heatstroke dengan suhu lebih besar dari 40,5°

C mengakibatkan kerusakan jaringan pada sel dari semua organ tubuh. Tanda

vital menyatakan suhu tubuh kadang-kadang setinggi 45° C, takikardia, dan

hipotensi. Otak mungkin merupakan organ yang terlebih dahulu terkena karena

sensitivitasnya terhdap ketidakseimbangan elektrolit. Jika kondisi terus berlanjut,

klien menjadi tidak sadar, pupil tidak reaktif. Terjadi kerusakan neurologis yang

permanen kecuali jika tindakan pendinginan segera dimulai.

5. Panas yang hebat (heat exhaustion)

Dapat menyebabkan kolaps karena hipotensi, akibat (1) penurunan

volume plasma darah akibat semakin besarnya volume pengeluaran keringat,

sehingga akan menurunkan CO jantung dan (2) dilatasi berlebih pada pembuluh

darah kulit sehingga menurunkan resistensi perifer.

6. Hipotermia

Pengeluaran panas akibat paparan terus-menerus terhadap dingin

memengaruhi kemampuan tubuh untuk memproduksi panas, mengakibatkan

hipotermia. Hipotermia diklasifikasikan melalui pengukuran suhu inti. Hal

tersebut dapat terjadi kebctulan atau tidak sengaja selama prosedur bedah untuk

mengurangi kebutuhan metabolik dan kebutuhan tubuh terhadap oksigen.

Hipotermia aksidental biasanya terjadi secara berangsur dan tidak diketahui

selama beberapa jam. Ketika suhu tubuh turun menjadi 35 C, klien mengalami

gemetar yang tidak terkontrol, hilang ingatan, depresi, dan tidak mampu menilai.

Jika suhu tubuh turun di bawah 34,4° C, frekuensi jantung pernapasan, dan

tekanan darah turun. Kulit menjadi sianotik.


19

2.1.4 Mekanisme Efektor Terhadap Regulasi

Tabel 2.1 Mekanisme Efektor terhadap Regulasi Suhu

STIMULASI DINGIN
Penurunan kehilangan panas 1. Vasokontriksi pembuluh darah kulit, terutama
ekstremitas.
2. Penurunan luas permukaan tubuh yang kontak
dengan suhu dingin (bersedekap, mlungker/a
protective “fetal” position)

STIMULASI DINGIN
3. Piloereksi. Tindakan menghindari terpapar dingin,
memakai jaket, berselimut, menaikkan suhu ruang,
minum-minuman hangat, dan lain-lain.
Peningkatan produksi panas 1. Peningkatan tonus otot
2. Peningkatan tekanan darah
3. Menggigil dan meningkatkan aktivitas otot
volunter
4. Meningkatkan sekresi epineprin
5. Meningkatkan rasa lapar
Adaptasi autonomik toleransi 1. Adaptasi psikologis
dingin 2. Adaptasi SSP (Sistem Saraf Pusat)
3. Aklimatisasi dingin
4. Membiasakan diri hidup ditempat dingin
STIMULASI PANAS
Peningkatan kehilangan panas 1. Vasokonstriksi pembuluh darah kulit.
2. Berkeringat
3. Tindakan menurunkan suhu ruang, menggunakan
pakaian yang minim/tipis, dan lain-lain.
Penurunan produksi panas 1. Penurunan tonus otot dan aktivitas otot
volunter
2. Menurunkan sekresi epineprin.
3. Mengurangi nafsu makan.

2.1.5 Tanda-tanda Vital Pengukuran Suhu

a) Pengertian

Menurut Mubarak, dkk (2015) temperatur tubuh adalah perbedaan

antara jumlah panas yang diproduksi oleh proses tubuh dan jumlah panas yang

hilang ke lingkungan luar. Dengan mengukur temperatur tubuh klien kita telah
20

mengistirahatkan klien sebelum pengukuran nadi, pernapasan, dan tekanan

darah. Penempatan temperatur tubuh sebagai poin pertama dalam pengukuran

tanda tanda vital juga merupakan efisiensi waktu sebab pengukuran

temperatur tubuh adalah proses yang paling banyak memakan waktu.

b) Anatomi dan Fisiologi

Setiap spesies memiliki sebuah set point yang ditetapkan secara

genetis, memiliki temperature inti tubuh yang optimal untuk mempertahankan

aktivitas fisiologis yang normal, Untuk dewasa awal yang sehat rata-rata suhu

oral 37° C. Tidak ada nilai suhu yang berlaku untuk semua orang, namun

Fuller dan Schaller (2000) memberikan rentang temperatur oral normal orang

yang beristirahat adalah 35,8° C sampai 37.,3° C (96,4 F-99,1 F), Rentang ini

dapat dipahami dengan menganalisis anatomi, fisiologi, dan biokimia sistem

transportasi tubuh. Keseimbangan suhu tubuh diregulasi oleh mekanisme

fisiologi dan perilaku.

1. Kontrol neural dan vascular

Hipotalamus terletak di antara dua hemisfer selebral, dan di dalam

korpus kolusum. Hipotalamuslah yang mengontrol temperatur tubuh dan

mempertahankan set point. Hipotalamus dapat merasakan perubahan ringan

pada suhu tubuh. Hipotalamus anterior mengontrol pengeluaran panas dan

hipotalamus posterior mengontrol produksi panas dengan fluktuasi minor

+1,5° C. Bila sel saraf di hipotalamus anterior menjadi panas melebihi set

point, impuls akan dikirim untuk menurunkan suhu tubuh, mekanisme

pengeluaran panas termasuk berkeringat, vasodilatasi pembuluh darah, dan

hambatan produksi panas.


21

Darah didistribusikan kembali ke pembuluh darah permukaan untuk

meningkatkan pengeluaran panas. Jika hipotalamus posterior merasakan suhu

tubuh lebih rendah dari set point, mekanisme konservasi panas bekerja.

Vasokonstriksi pembuluh darah mengurangi aliran darah ke kulit dan

ekstremitas. Kompensasi produksi panas distimulasi melalui kontraksi otot

volunter dan getaran (menggigil) pada otot. Bila vasokonstriksi tidak efektif,

tubuh mulai menggigil. Menggigil dapat meningkatkan produksi panas empat

sampai lima kali lebih besar dari normal. Lesi atau trauma pada hipotalamus

dapat menyebabkan perubahan yang serius pada kontrol suhu.

2. Kontrol perilaku

Manusia secara sadar bertindak untuk mempertahankan suhu tubuh

yang nyaman ketika terpajan pada suhu yang ekstrem. Kemampuan individu

untuk mengontrol suhu tubuh bergantung pada:

a. Derajat ekstrem sühu,

b. Kemampuan individu untuk merasakan kenyamanan atau

ketidaknyamanan

c. Proses pikir atau emosi

d. Mobilitas atau kemampuan individu untuk melepaskan atau menambah

pakaian.

Kontrol suhu tubuh sulit bila salah satu dari kemampuan ini tidak

ada atau hilang, bayi dapat merasakan kondisi hangat tidak nyaman tetapi

memerlukan bantuan dalam mengubah lingkungan mereka. Lansia

mungkin memerlukan bantuan dalam mendeteksi lingkungan dingin dan

meminimalkan kehilangan panas. Penyakit, penurunan tingkat kesadaran,


22

atau kerusakan proses pikir mengakibatkan ketidakmampuan untuk

mengenali kebutuhan untuk mengubah perilaku untuk dingin, perilaku

peningkatan kesehatan mempunyai keterbatasan efek pada pengendalian

suhu. Perawat mengkaji variabel yang menempatkan klien pada risiko

tinggi untuk ketidakefektifan termoregulasi.

c) Tujuan

Menurut Mubarak, dkk (2015) mengetahui rentang suhu tubuh.

Pengukuran suhu ditujukan untuk memperoleh suhu inti jaringan tubuh

rata-rata yang representatif. Suhu normal rata-rata bervariasi bergantung

pada lokasi pengukuran. Tempat yang menunjukkan suhu inti merupakan

indikator suhu tubuh yang lebih dapat diandalkan daripada tempat yang

menunjukkan suhu permukaan. Arteri paru menunjukkan nilai yang paling

representatif karena darah bercampur dari semua bagian tubuh.

Pengukuran suhu pada arteri paru merupakan standar dibandingkan

dengan semua tempat yang dikatakan akurat.

d) Manfaat

Menurut Mubarak, dkk (2015) pengukuran suhu tubuh merupakan

salah satu pemeriksaan yang sangat penting dalam penilaian status

kesehatan. Kenaikan maupun penurunan suhu tubuh yang signifikan

sangat berpengaruh pada seluruh organ tubuh. Kenaikan suhu tubuh

misalnya, akan mengakibatkan pertambahan laju metabolisme. Dalam

keadaan ini, seorang perawat harus waspada untuk risiko kekurangan

nutrisi dan cairan, serta resiko konvulsi pada anak. Suhu tubuh yang

meningkat juga dapat diindikasikan sebagai serangan pirogen seperti


23

bakteri dan virus. Sama halnya dengan penurunan suhu tubuh yang

melewati batas toleransi tubuh, berisiko mengalami kerusakan sirkulasi

dan jaringan yang permanen.

e) Indikasi

Pengukuran suhu tubuh sebagai salah satu tanda vital diindikasikan

pada semua kondisi. (Mubarak, dkk,2015)

f) Kontraindikasi

Kontraindikasi pengukuran suhu lebih berdasarkan pada tempat

pengukuran, misalnya pengukuran suhu tubuh lewat rektal

dikontraindikasikan pada bayi baru lahir, untuk lebih lengkapnya, silakan

lihat kembali tulisan di atas tentang tempat pengukuran suhu tubuh.

(Mubarak, dkk,2015)

g) Tempat Pengukuran Suhu Tubuh

Menurut Mubarak, dkk (2015) terdapat beberapa tempat

pengukuran suhu, antara lain sebagai berikut.

Tabel 2.2 Tempat Pengukuran Suhu Tubuh

Suhu Inti Suhu Permukaan


1. Rektal 1. Kulit
2. Membran timpani 2. Aksila
3. Esofagus 3. Oral
4. Arteri pulmonal
5. Kandung kemih
Pemilihan tempat pengukuran terus disesuaikan dengan kondisi

klien, dan jenis termometer yang digunakan juga harus sesuai.

Keuntungan dan kerugian dari masing-masing tempat pengukuran

adalah sebagai berikut.


24

1. Membran timpani

Pengukuran suhu membran timpani, penempatan termometer adalah pada

lubang telinga, masukan ujung prove thermometer secara perlahan-lahan ke

dalam saluran telinga yang mengarah ke titik tengah.

a. Keuntungan

1) Tempat mudah dicapai.

2) Perubahan posisi yang dibutuhkan minimal

3) Memberi pembacaan inti yang akurat.

4) Waktu pengukuran sangat cepat (2-5 detik).

5) Dapat dilakukan tanpa membangunkan atau mengganggu klien.

6) Secara emosional kurang invansif untuk anak-anak dan remaja yang

sedang membangun identitas seksual dan citra diri.

b. Kerugian

1) Alat bantu dengar harus dikeluarkan sebelum pengukuran.

2) Tidak boleh dilakukan pada klien yang mengalami bedah telinga atau

membrane timpani.

3) Membutuhkan pembungkus probe sekali pakai.

4) Impaksi serumen dan otitis media dapat mengganggu pengukuran suhu.

5) Keakuratan pengukuran pada bayi baru lahir dan anak-anak di bawah tiga

tahun masih diragukan.

6) Variabilitas pengukuran melebihi variabilitas alat suhu inti yang lain.

2. Rektal

Pengukuran suhu tubuh pada rektal, letakkan ujung termometer yang telah

diberi pelumas, instruksikan klien untuk mengambil napas dalam selama


25

memasukan termometer, jangan paksakan termometer jika dirasakan ada tahanan.

Masukan setengah inci (3,5 cm) pada orang dewasa dan 2,5 cm pada anak-anak.

a. Keuntungan

1) Terbukti lebih dapat diandalkan bila suhu oral tidak dapat diperoleh.

2) Menunjukkan suhu inti.

b. Kerugian

1) Tidak boleh dilakukan pada klien yang mengalami bedah rektal,

kelainan rektal, nyeri pada area rektal, atau cenderung perdarahan.

2) Memerlukan perubahan posisi dan dapat merupakan sumber rasa malu

dan ansietas klien.

3) Risiko terpajan cairan tubuh.

4) Memerlukan lubrikasi.

5) Dikontradiksikan pada bayi baru lahir.

3. Oral

Pengukuran suhu tubuh oral. Probe harus tetap pada sublingual untuk

periode waktu tertentu untuk memastikan pengukuran oral akurat. Periode ini

umumnya beberapa detik untuk termometer elektronik kontak dalam model

prediktif, tetapi pada model monitor pengukuran yang sama mungkin memakan

waktu tiga menit atau lebih. Satu menit diperlukan untuk termometer kimia.

Waktu pengukuran yang diperlukan ditentukan oleh waktu yang dibutuhkan

untuk suhu probe menyeimbangkan dengan area kontak.

a. Keuntungan

1) Mudah dijangkau dan tidak membutuhkan perubahan posisi.

2) Nyaman bagi klien.


26

3) Memberi pembacaan suhu permukaan yang akurat.

b. Kerugian

1) Tidak boleh dilakukan pada klien yang bernapas melalui mulut.

2) Tidak boleh dilakukan pada klien yang mengalami bedah oral, trauma

oral, riwayat epilepsi, atau gemetar akibat kedinginan.

3) Tidak boleh dilakukan pada bayi, anak kecil, anak yang sedang

menangis, atau klien konfusi, tidak sadar, atau tidak kooperatif.

4) Risiko terpapar cairan tubuh.

5) Dipengaruhi oleh cairan atau makanan yang dicerna, merokok, dan

pemberian oksigen.

4. Aksila

Pengukuran suhu tubuh aksila. Penempatan yang benar dalam pengukuran

suhu aksila dan kontak kulit secara langsung adalah penting. Termometer

ditempatkan di bawah lengan dengan bagian ujungnya berada di tengah aksila

dan jaga agar menempel pada kulit, bukan pada pakaian, pegang lengan anak

dengan lembut agar tetap tertutup. Termometer elektronik kontak membutuhkan

waktu lima menit untuk mengukur suhu yang akurat.

a. Keuntungan

1) Aman dan noninvasif.

2) Cara yang lebih efektif pada bayi baru lahir dan klien yang tidak

kooperatif.

b. Kerugian

1) Waktu pengukuran lama.

2) Memerlukan bantuan perawat untuk mempertahankan posisi klien.


27

5. Kulit

a. Keuntungan

1) Murah.

2) Memberi pembacaan kontinu.

3) Aman dan inovasif.

b. Kerugian

1) Pengukuran lebih lambat dari pengukuran pada tempat lain selama

perubahan suhu, khususnya pada saat hipertermia.

2) Diaforesis atau keringat dapat mengganggu adesi.

h) Hal-Hal yang Harus Diperhatikan pada Saat Pengukuran Suhu

Tubuh

Menurut Mubarak, dkk (2015) ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan pada saat melakukan pengukuran suhu tubuh

1. Termometer harus dalam keadaan nol suhunya.

2. Penggunaan termometer untuk tiap tempat pengukuran harus terpisah.

3. Cara menurunkan suhu harus dilakukan hati-hati jangan sampai

termometer jatuh dan pecah.

4. Sebelum melakukan pengukuran harus dijelaskan dengan benar tentang

tempat dan tujuan pengukuran suhu.

5. Fungsi termometer harus menghadap ke luar untuk arah yang dibaca

6. Pembacaan termometer harus di tempat.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Termoregulasi

Perubahan fisiologi tentang regulasi suhu tubuh membantu perawat

untuk mengkaji respons klien terhadap gangguan tubuh dan dapat


28

dilakukan tindakan secara aman. Tindakan mandiri dapat meningkatkan

kenyamanan. Tindakan ini menambah efek terapi pengobatan selama sakit.

Banyak tindakan yang juga dapat diajarkan kepada anggota keluarga,

orang tua anak, atau pemberi perawatan lain.

2.2.1 Pengkajian

1) Inspeksi dan palpasi kulit untuk mengetahui suhu, kelembapan, dan

turgor.

2) Inspeksi kondisi mukosa mulut untuk adanya penebalan, lesi, dan

penurunan saliva.

3) Tanyakan apakah klien mengalami sakit kepala, mialgia, menggigil,

mual, kelemahan, kelelahan, kehilangan selera makan, atau fotofobia.

4) Catat muntah dan diare.

5) Observasi perubahan perilaku seperti bingung, disorientasi, dan

kegelisahan.

6) Tempat

Ada banyak tempat untuk mengkaji suhu inti dan permukaan

tubuh. Suhu inti dari arteri paru, esofagus, dan kandung kemih digunakan

untuk perawatan intensif. Pengukuran ini membutuhkan peralatan yang

dipasang invasif secara terus-menerus dalam rongga atau organ tubuh.

Peralatan ini harus memiliki penmbacaan akurat yang secara cepat dan

terus-menerus menunjukkan pembacaan pada monitor elektronik.

Tempat yang paling sering digunakan untuk pengukuran suhu ini

juga invasif tetapi dapat digunakan secara intermiten. Termasuk membran


29

timpani, mulut, rektum, dan aksila. Lapisan termometer noninvasif yang

disiapkan secara kimia juga dapat digunakan pada kulit.

Tempat pengukuran seperti oral, rektal, aksila, dan kulit

mengandalkan sirkulasi efektif darah pada tempat pengukuran panas dari

darah dialitkan ke alat termometer. Suhu timpani mengandalkan radiasi

panas tubuh terhadap sensor inframerah. Oleh karena suplai darah arteri

membran timpani dianggap sebagai suhu inti. Untuk memastikan bacaan

suhu yang akurat, setiap tempat harus diukur dengan akurat.

Variasi suhu yang didapatkan bergantung pada tempat pengukuran,

tetapi harus antara 36° C dan 38" C. Walaupun temuan dari banyak riset

didapati pertentangan; secara umum diterima bahwa suhu rektal biasanya

0,5° C lebih tinggi dari suhu oral dan suhu aksila 0,5° C lebih rendah dari

suhu oral. Setiap tempat pengukuran tersebut memiliki keuntungan dan

kerugian. Perawat memilih tempat yang paling aman dan akurat untuk

pasien. Perlu dilakukan pengukuran pada tempat yang sama bila

pengukuran tersebut diulang.

7) Termometer

Ada tiga jenis termometer yang digunakan untuk menentukan suhu

tubuh yaitu air raksa-kaca, elektronik, dan sekali pakai. Perawat bertanggung

jawab untuk banyak mengetahui dan terampil dalam menggunakan alat ukur

yang dipilih. Tingkat pendidikan dapat memengaruhi keakuratan dan

reliabilitas pembacaan suhu. Setiap alat pengukuran menggunakan derajat

celsius atau skala fahrenheit. Termometer elektronik membuat perawat dapat

mengonversi skala dengan cara mengaktifkan tombol.


30

a. Termometer air raksa-kaca

Termometer air raksa-kaca adalah termometer yang paling dikenal,

telah digunakan sejak abad ke-15. Termometer tersebut terbuat dari kaca

yang pada salah satu ujungnya ditutup dan ujung lainnya dengan pentol

berisi air raksa. Ada tiga jenis thermometer kaca, yaitu oral (ujungnya

ramping), stubby, dan rektal (ujungnya berbentuk buah pir). Ujung

termometer oral langsing, sehingga memungkinkan pentol/ujung lebih

banyak terpapar pada pembuluh darah di dalam mulut. Termometer oral

biasanya memiliki ujung berwarna biru. Termometer stubby biasanya lebih

pendek dan lebih gemuk dari pada jenis oral. Dapat digunakan mengukur

suhu di mana saja. Termometer rektal memiliki ujung yang tumpul atau

runcing, untuk mencegah trauma terhadap jaringan rektal pada saat insersi.

Termometer ini biasanya dikenali dengan ujung yang berwarna merah.

Keterlambatan waktu pencatatan dan mudah pecah merupakan kerugian

dari termometer air raksa-kaca. Keuntungan dari termometer air raksa-kaca

adalah harga murah, mudah diperoleh, dan banyak tersedia.

b. Termometer elektronik

Termometer elektronik terdiri atas unit tampilan tenaga baterai yang

dapat diisi ulang, kabel kawat yang tipis, dan alas yang memproses suhu

yang dibungkus dengan kantung plastik sekali pakai. Salah satu bentuk

termometer elektronik menggunakan alat seperti pensil. Probe tersendiri

yang antipecah tersedia untuk oral dan rektal. Probe untuk oral dapat juga

digunakan untuk mengukur suhu di aksila. Selama 20 sampai 50 detik dari

insersi, pembacaan terlihat pada unit tampilan, tanda bunyi yang terdengar
31

bila puncak pembacaan suhu terukur. Bentuk lain dari termometer

elektronik digunakan secara khusus untuk pengukuran timpanik. Spekulum

otoskop dengan ujung sensor inframerah mendeteksi penyebaran panas dari

membran timpani. Dalam dua sampai lima detik dari mulai dimasukkan ke

dalam kanal auditorius, hasilnya terlihat pada layar. Tanda bunyi terdengar

saat puncak bacaan suhu telah tercapai.

c. Termometer sekali pakai

Termometer sekali pakai dan penggunaan tunggal berbentuk strip

kecil yang terbuat dari plastik dengan sensor suhu pada salah satu

ujungnya. Sensor tersebut terdiri atas metrik dari lekukan seperti titik yang

mengandung bahan kimia yang larut dan berubah warna pada perbedaan

suhu. Digunakan untuk suhu oral dan aksila, terutama pada anak-anak.

Dipakai dengan cara yang sama dengan termometer aksila dan digunakan

hanya sekali. Waktu yang dibutuhkan untuk menunjukkan suhu hanya 60

detik (Erickson dkk., 1996). Termometer diambil dan dibaca setelah

sekitar sepuluh detik supaya stabil. Bentuk lain dari termometer sekali

pakai adalah koyo (patch) atau pita sensitive suhu. Digunakan pada dahi

atau abdomen, koyo akan berubah warna pada suhu yang berbeda. Kedua

jenis termometer sekali pakai ini berguna untuk mengetahui suhu,

khususnya pada bayi yang baru lahir.

2.2.2 Diagnosis Keperawatan

Perawat mengkaji temuan pengkajian dan mengelompokkan

karateristik yang ditentukan untuk membuat diagnosis keperawatan.

Misalnya, pada peningkatan suhu tubuh, kulit kemerahan, kulit hangat saat
32

disentuh, dan takikardia menandakan diagnosis hipertermia. Diagnosis

keperawatan mengidentifikasi risiko klien terhadap perubahan suhu tubuh

atau perubahan suhu yang aktual. Jika klien memiliki faktor risiko, perawat

meminimalkan atau menghilangkan faktor yang meningkatkan perubahan

suhu. Pengkajian suhu di batas normal mengarah pada diagnosis keperawatan.

Pada contohnya hipertermia, faktor yang berhubungan dengan aktivitas yang

berat akan menghasilkan intervensi yang sangat berbeda daripada faktor yang

berhubungan dengan ketidakmampuan atau berkeringat. Data pengkajian

dapat menyatakan adanya karakteristik untuk diagnosis keperawatan pada

gangguan termoregulasi adalah sebagai berikut.

1. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan energi cadangan.

3. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan peningkatan metabolisme.

4. Gangguan pertukaran gas behubungan dengan peningkatan konsumsi

oksigen.

5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan

metabolisme.

6. Nyeri berhubungan dengan demam.


33

Tabel 2.3 Diagnosa Keperawatan

Pengakajian Batasan Karakteristik Diagnosa Keperawatan


Ukur tanda vital, termasuk suhu, Peningkatan suhu tubuh Hipertermia yang
nadi, penapasan diatas batas normal, berhubungan dengan
takikardia, takipnea proses infeksi.
Palpasi kulit Kulit terasa hangat
Observasi penampilan dan perilaku Gelisah, tampak
klien saat berbicara dan istirahat kemerahan
2.2.3 Intervensi Keperawatan

Klien yang berisiko mengalami perubahan suhu membutuhkan

rencana perawatan individu yang ditunjukkan dengan mempertahankan

normotermia dan mengurangi faktor risiko. Hasil yang diharapkan ditetapkan

untuk menentukan kemajuan ke arah kembalinya suhu tubuh ke batas normal.

Rencana perawatan bagi klien dengan perubahan suhu yang aktual berfokus

pada pemulihan normotermia, meminimalkan komplikasi, dan meningkatkan

kenyamanan.

Tabel 2.4 Rencana Asuhan Keperawatan Diagnosa Hipertermi yang Berhubungan

dengan Proses Infeksi

Tujuan Hasil yang Diharapkan


1. Klien akan kembali ke batasan suhu tubuh 1. Suhu tubuh turun paling sedikit 1°C
normal setelah terapi
2. Klien mencapai rasa nyaman dan istirahat 2. Suhu tubuh tetap sama antara 36-38°C
sampai paling sedikit 24 jam
3. Klien mampu istirahat dengan tenang
Intervensi Rasional
1. Pertahankan suhu ruangan pada 21°C kecuali 1. Suhu ruangan sekitar dapat
klien menggigil. meningkatkansuhu tubuh. Namun,
menggigil harus dihindari karena
meningkatkan suhu tubuh.
2. Antiseptik menurunkan set point.
2. Berikan asetaminofen sesuai program medic
apabila suhu tubuh lebih tinggi dari 39°C
3. Kurangi penutup eksternal padatubuh klien 3. Pakaian yang basah atau terlalu basah
dan jaga supaya pakaian dan tempat tidur mencegah pengeluaran panas melalui
tetap kering. radiasi, konveksi, dan konduksi.
34

2.2.4 Implementasi Keperawatan

Tabel 2.5 Implementasi Keperawatan

Diagnosis Implementasi
Hipertemi yang Selama menggigil
berhubungan dengan 1. Berikan tindakan untuk merangsang selera makan dan tawarkan
proses infeksi menu hidangan yang seimbang
2. Kurangi aktivitas yang melelahkan seperti bolak-balik yang
berlebihan atau ambulasi.
3. Berikan oksigen tambahan sesuai keperluan.
4. Tawarkan selimut ekstra dan naikkan suhu ruangan.
5. Berikan cairan tambahan.
6. Monitor denyut nadi dan pernapasan.
Selama masa serangan demam
1. Sediakan cairan sedikitnya tiga liter per hari bila fungsi jantung dan
ginjal normal
2. Lakukan pembersihan mulut untuk mencegah mengeringnya
membrane mukosa
3. Kurangi penutup tubuh luar namun jangan sampai menyebabkan
gemetar.
4. Jaga pakaian dan alat tenun tempat tidur tetap kering.
5. Kendalikan suhu lingkungan tanpa menyebabkan gemetar.
6. Batasi aktivitas fisik.
7. Berikan pengobatan antipiretik sesuai instruksi.

2.2.5 Evaluasi

Semua intervensi keperawatan dievaluasi dengan membandingkan

respons actual klien terhadap hasil yang diharapkan dari rencana perawatan.

Hal ini menunjukkan apakah tujuan keperawatan terpenuhi atau apakah

dibutuhkan revisi terhadap rencana.


35

Tabel 2.6 Evaluasi Intervensi Terhadap Hipertermi

Tujuan Tindakan Evaluasi Hasil yang Diharapkan


1. Suhu tubuh klien 1. Pantau suhu tubuh 1. Suhu tubuh turun paling sedikit
akan kembali ke setelah intervensi. 1°C setelah terapi.
batas normal. 2. Tanyakan apa yang 2. Suhu tubuh tetap berada antara
2. Klien mendapatkan dirasakan klien. 36-38°C selama paling paling
rasa nyaman dan 3. Observasi adanya sedikit 24 jam.
istirahat kegelisahan, kelemahan 3. Klien menyatakan kepuasan
terhadap istirahat dan tidur
meningkat.
4. Klien dapat istirahat dan tidur
dengan tenang.
2.3 Konsep Demam Thypoid

2.3.1 Pengertian Demam Thypoid

Demam thypoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada

saluran cerna dengan gejala demam lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan

kesadaran. (Suriadi, 2010)

Demam thypoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang

disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam paratifoid adalah penyakit sejenis yang

disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, B, dan C. Gejala dan tanda kedua

penyakit tersebut hampir sama, tetapi manifestasi klinis paratifoid lebih ringan.

Kedua penyakit di atas disebut tifoid. Terminologi lain yang sering digunakan

adalah typhoid fever, paratyphoid fever. typhus, dan paratyphus abdominalis atau

demam enterik. (Widoyono,2011)

Demam thypoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang

disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam Paratiroid adalah penyakit sejenis yang

disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, B, dan C, gejala dan tanda kedua

penyakit tersebut hampir sama tetapi manifestasi klinis paratiroid lebih ringan.

(Firdaus,2012)
36

Demam thypoid adalah penyakit infeksi akut usus halus, yang disebabkan

oleh Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B,

Salmonella paratyphi C, paratyphoid biasanya lebih ringan dengan gambaran

klinis sama (Purnawan Junadi, 2001 yang dikutip Ridha, 2014)

Penyakit thypoid atau disebut juga dengan demam thypoid adalah suatu

infeksi akut yang terjadi pada usus kecil disebabkan oleh Salmonella typhi.

Bakteri ini dapat hidup lama di air kotor, makanan tercemar, dan tempat-tempat

kotor lainnya. (Chomaria, 2015)

Penyakit demam thypoid (typhus abdominalis) merupakan penyakit

infeksi akut pada usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhosa dan hanya

terdapat pada manusia (Marni,2016).

2.3.2 Etiologi

Salmonella typhosa, basil gram negatif yang bergerak dengan rambut getar

dan tidak berspora. Masa inkubasi 10-20 hari. (Suriadi, dkk, 2010)

Menurut Widoyono (2011) Penyebab demam thypoid adalah bakteri

Salmonella typhi. Salmonella adalah bakteri gram-negatif, tidak berkapsul.

mempunyai flagela, dan tidak membentuk spora. Bakteri ini akan mati pada

pemanasan 57 oC selama beberapa menit. Kuman ini mempunyai tiga antigen

yang penting untuk pemeriksaan laboratorium, yaitu:

1) Antigen O (somatik).

2) Antigen H (flagela), dan

3) Antigen K (selaput).

Menurut nomenklatur yang baru, Salmonella dibedakan menurut adanya

keterkaitan DNA-nya, sehingga sekarang hanya terdapat dua spesies Salmonella


37

yaitu Salmonella bongori dan Salmonella enterica (perhatikan bahwa semua

genus dan spesies ditulis dengan huruf miring). Nama semula S. typhi menjadi S.

enterica serovar Typhi yang disingkat menjadi S. Typhi (perhatikan, bahwa nama

typhi tidak lagi ditulis miring dan ini memakai huruf T besar). Salmonella yang

menyerag manusia disebut sebagai strain dalam subspesies I dan S. enterica

Salmonella enterica mempunyai 2000 serovar atau strain dan hanya

sekitar 200 yang berhasil terdeteksi di Amerika Serikat. Dari sekian banyak strain,

Salmonella enterica serovar Typhimurium (S. Typhimurium) dan Salmonella

cnterica serovar Entiritidis (S. Entiritidis) adalah strain yang paling banyak

diketemukan.

Manifestasi klinis demam thypoid tergantung dari virulensi dan daya tahan

tubuh. Suatu percobaan pada manusia dewasa menunjukkan bahwa 10 mikroba

dapat menyebabkan 50% sukarelawan menderita sakit, meskipun 1000 mikroba

juga dapat menyebabkan penyakit. Masa inkubasinya adalah 10-20 hari, meskipun

ada yang menyebut angka 8-14 hari. Adapun pada gejala gastroenteritis yang

diakibatkan oleh paratifoid, masa inkubasinya berlangsung lebih cepat, yaitu

sekitar 1-10 hari.

Mikroorganisme dapat ditemukan pada tinja dan urin setelah 1 minggu

demam (hari ke-8 demam). Jika penderita diobati dengan benar, maka kuman

tidak akan ditermukan pada tinja dan urin pada minggu ke-4. Akan tetapi. Jika

masih terdapat koman pada minggu ke-4 melalui pemeriksaan kultur tinja, maka

penderita dinyatakan sebagai carrier.

Seorang carrier biasanya berusia dewasa, sangat jarang terjadi pada anak.

Kuman Salmonella bersembunyi dalam kandung empedu orang dewasa. Jika


38

carrier tersebut mengonsumsi makanan berlemak, maka cairan empedu akan

dikeluarkan ke dalam saluran pencernaan untuk mencerna lemak, bersamaan

dengan mikroorganisme (kuman Salmonella). Setelah itu, cairan empedu dan

mikroorganisme dibuang melalui tinja yang berpotensi menjadi sumber penularan

penyakit.

Menurut Firdaus (2012) Penyebab demam thypoid adalah bakteri

Salmonella. Bakteri Salmonella adalah gram negative, tidak berkapsul,

mempunyai flagella, dan tidak membentuk spora kuman ini mempunyaitiga

antigen yang penting untuk pemeriksaan laboratorium, yaitu:

1. Antigen O (Somatik)

2. Antigen H (Flagella)

3. Antigen K (Selaput)

Menurut Chomaria (2015) beberapa hal dibawah ini merupakan penyebab

anak dapat menderita penyakit thypoid:

a) Lingkungan yang kurang bersih, yang terkontaminasi dengan Salmonella.

b) Kebiasaan yang kurang sehat, mulai mengkonsumsi makanan dari luar.

c) Tidak mencuci tangan sebalum makan, penyebab terbanyak penyakit ini.

Menurut Marni (2016) penyebab dari demam thypoid yaitu:

Salmonella typhosa yang juga dikenal dengan nama Salmonella typhi

merupakan mikroorganisme patogen yang berada di jaringan limfatik usus halus,

hati, limpa dan aliran darah yang terinfeksi. Kuman ini berupa gram negative yang

akan nyaman hidup dalam suhu tubuh manusia. Kuman ini akan mati pada suhu

70°C dan dengan pemberian antiseptic. Masa inkubasi penyakit ini 7-20 hari.
39

Namun, ada juga yang memiliki masa inkubasi paling pendek yaitu 3 hari, dan

paling panjang 60 hari.

Tabel 2.7 Antigen pada Kuman Salmonella typhosa atau Eberthella typhosa

Macam-macam Antigen Karakteristik


Antigen O (Ohne Hauch) Antigen somatic (tidak menyebar)

Antigen H (Hauch) Menyebar


Antigen V (Kapsul) Kapsul yang menyelimuti tubuh kuman dan
melindungi antigen O terhadap fagositosis
Penyebab demam thypoid adalah bakteri Salmonella typhi. Sementara

demam paratiroid yang gejalanya mirip dengan demam tifoid namun lebih ringan,

disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, B atau C. Bakteri ini hanya menginfeksi

manusia. (Utaminingsih,2017).

Menurut Wijayaningsih (2013) yang dikutip oleh Dewi Wulandari dan

Meira Erawati (2016) Penyakit thypoid disebabkan oleh infeksi kuman

Salmonella thposa/Eberthela thyposa yang merupakan kuman negatif, motil, dan

tidak menghasilkan spora, hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia maupun

suhu yang lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 70 oCdan antiseptic.

Menurut Wijaya dan Putri (2013) yang dikutip oleh Dewi Wulandari dan

Meira Erawati (2016) Salmonella thyphosa mempunyai 3 macam antigen yaitu:

1. Antigen O: Ohne Hauch, yaitu somatik antigen (tidak menyebar).

2. Antigen H: Hauch (menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat

termolabil.

3. Antigen V: kapsul, merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan

melindungi O antigen terhadap fagositosis.


40

Menurut Padila (2013) yang dikutip oleh Dewi Wulandari dan Meira

Erawati (2016) Salmonella parathyphi terdiri dari 3 jenis yaitu A, B, dan C. Ada

dua sumber penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan demam thypoid dan

pasien dengan carrier. Carrier adalah orang yang sembuh dari demam thypoid

dan masih terus mengekskresi Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama

lebih dari satu tahun.

2.3.3 Patofisiologi

Salmonella
typhosa
Masuk ke dalam saluran
pencernaan (usus halus)
Nekrosis
Menginfasi jaringan limfoid
Peradangan
Masuk peredaran darah

Hati Limpa Nyeri

Kembali ke usus halus


Pelepasan endotoksin
(berkembang biak)

Kuman dan endotoksin

Merangsang Pelepasan
sintesis pirogen

Mempengaruhi pusat
Beredar dalam darah Demam
termoregulator

Menyebar ke Perdarahan
Tukak mukosa
seluruh tubuh
Perforasi

Gambar 2.1 Patofisiologi demam tifoid (Asuhan Keperawatan Anak pada

Penyakit Tropis, Marni, 2016)


41

Kuman masuk melalui mulut. Sebagian kuman akan dimusnahkan dalam

lambung oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus, ke jaringan

limfoid dan masuk keperedaran darah (bakterimia primer) dan mencapai sel-sel

retikuloendoteleal, hati, limpa dan organ-organ lainnya. Proses ini terjadi dalam

masa tunas dan akan berakhir saat sel-sel retikuloendoteleal melepaskan bakteri

kembali kedalam peredaran darah dan menimbulkan bakterimia untuk kedua

kalinya. Selanjutnya kuman masuk ke beberapa jaringan organ tubuh, terutama

limpa, usus dan kandung empedu. Pada minggu pertama sakit terjadi hyperplasia

plaks player. Ini terjadi pada kelenjar limfoid usus halus. Minggu kedua terjadi

nekrosis dan pada minggu ketiga terjadi ulserasi plaks player. Pada minggu

keempat terjadi penyembuhan ulkus yang dapat menimbulkan sikatrik. Ulkus

dapat menyebabkan perdarahan bahkan sampai terjadi perforasi usus. Selain itu

hepar kelenjar-kelenjar mesentrial dan limpa membesar. Gejala demam

disebabkan oleh endotoksil, sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan

oleh kelainan pada usus halus. (Suriadi, dkk,2010).

Penularan Salmonella typhi melalui mulut oleh makanan yang tercemar,

sebagai kuman yang dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk ke

usus halus, kejaringan lamford dan berkembang biak, kemudian kuman masuk

aliran darah dan mencapai sel-sel retikulum melepaskan kuman kedalam

peredaran darah dan menimbulkan bakterinia untuk kedua kalinya. Selanjutnya

kuman masuk kejaringan beberapa organ tubuh terutama limpa, usus dan kandung

empedu pada minggu pertama sakit, terjadi hiperplasia plaks peyer, minggu kedua

terjadi nekrosis dan minggu ketiga terjadi ulsenasi plaks peyer. Pada minggu
42

keempat tejadi penyembuhan ulkus-ulkus yang menimbulkan sikatriks, ulkus

dapat menyebabkan pendarahan, bahkan sampai perfarasi usus, selain itu hepar,

kelenjar-kelenjar mesenterial dan limpa membesar (Purnawan Junadi, 2001

dikutip oleh Ridha tahun 2014).

Kuman Salmonella typhosa masuk ke saluran pencernaan, khususnya usus

halus bersama makanan, melalui pembuluh limfe. Kuman ini masuk atau

menginvasi jaringan limfoid mesenterika. Disini akan terjadi nekrosis dan

peradangan. Kuman yang berada pada jaringan limfoid tersebut masuk ke

peredaran darah menuju hati dan limpa. Di sini biasanya pasien merasakan nyeri.

Kuman tersebut akan keluar dari hati dan limpa. Kermudian, kembali ke usus

halus dan kuman mengeluarkan endotoksin yang dapat menyebabkan reinfeksi di

usus halus. Kuman akan berkembang biak disini. Kuman Salmonella typhosa dan

endotoksin merangsang sintesis dan pelepasan pirogen yang akhirnya beredar di

darah dan mempengaruhi pusat termoregulator di hipotalamus yang menimbulkan

hipertermi. Kuman menyebar ke seluruh tubuh melalui sistem peredaran darah

serta dapat menyebabkan terjadinya tukak mukosa yang mengakibatkan

perdarahan dan perforasi (Marni,2016)

Menurut Padila (2013) yang dikutip oleh Dewi Wulandari dan Meira

Erawati (2016) Penularan Salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai

cara, yang dikenal dengan 5F yaitu: food (makanan), fingers (jari tangan/kuku),

fomilus (muntah), fly (lalat), dan melalui feses. Feses dan muntah pada penderita

thypoid dapat menularkan kuman Salmonella thypi kepada orang lain. Kuman

tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, di mana lalat akan hinggap di

makanan yang akan dikonsumsi oleh orang sehat.


43

Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti

mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman Salmonella thypi masuk ke

tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam

lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian

lagi masuk ke usus halus ke bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di

dalam jaringan limpoid kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan

mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian

melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman

selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu. Semula disangka

demam dan gejala toksimia pada thypoid disebabkan oleh endotoksemia. Akan

tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia

bukan merupakan penyebab utama demam pada thypoid. Endotoksemia berperan

pada pathogenesis thypoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus

halus. Demam disebabkan karena Salmonella typhi dan endotoksinnya

merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang

meradang.

Menurut Wijaya & Putri (2013) yang dikutip oleh Dewi Wulandari dan

Meira Erawati (2016) Patogenesis (tata cara masuknya kuman thypoid ke dalam

tubuh) pada penyakit typhcid dibagi atas dua bagian yaitu:

1. Menembus dinding usus masuk ke dalam darah kemudian dipatogenesis

oleh kuman RES (Reticulo Endothelial System) dalam hepar dan lien. Di

sini kuman berkembangbiak dan masuk ke dalam darah lagi dan

menimbulkan infeksi di usus lagi.


44

2. Basil melalui tonsil secara lymphogen dan heamophogen masuk ke dalam

hepar dan lien kecil, basil mengeluarkan toksin, toksin inilah yang

menimbulkan gejala klinis, (Wijaya & Putri, 2013)

2.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Demam Thypoid

Menurut Utaminingsih tahun 2017 Penyebab demam thypoid adalah

bakteri Salmonella typhi. Sementara demam paratiroid gejalanya mirip dengan

demam thypoid namun lebih ringan, disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, B,

atau C. Bakteri ini hanya menginfeksi manusia. Penyebaran demam thypoid

terjadi melalui makanan dan air yang telah tercemar oleh tinja atau urin penderita

demam thypoid.dan mereka yang diketahui sebagai carrier (pembawa) demam

thypoid.

Di beberapa Negara berkembang yang masih menjadi daerah endemik

demam thypoid, kasus yang terjadi umumnya disebabkan pencemaran air minum

dan sanitasi yang buruk. Infeksi terjadi jika anda mengkonsumsi makanan yang

disiapkan oleh penderita demam thypoid yang tidak mencuci tangan dengan baik

setelah ke toilet. Infeksi dapat juga terjadi meminum air yang telah tercemar

bakteri Salmonella.

Walaupun telah diobati dengan antibiotic, sejumlah kecil penderita yang

sembuh dari demam akan tetap menyimpan bakteri Salmonella didalam usus dan

kantung empedu bahkan selama bertahun-tahun. Orang ini disebut carrier kronis

yang dapat menyebarkan bakteri melalui tinja mereka dan dapat menginfeksi

orang lain. Perlu diwaspadai bahwa seorang carrier tidak memiliki gejala demam

tifoid.
45

Penularan yang paling berbahaya dari tinja. Misalnya kita jajan, kalau

mengelola jajan itu jorok, setelah ke toilet tidak cuci tangan dengan sabun

kemudian dia dia membuat makanan, pasti makanan itu akan tercemar

Salmonella. Atau dia memakai air yang kurang bagus, misalnya air sumur yang

tercemar.

2.3.5 Manifestasi Klinis

Menurut Suriadi,dkk (2010), manifestasi klinis pada pasien demam

thypoid, yaitu:

1) Nyeri kepala, lemah, lesu

2) Demam yang tidak terlalu tinggi selama 3 minggu.

Minggu pertama peningkatan suhu berfluktuasi. Biasanya suhu

tubuh meningkat pada malam hari dan turun pada pagi hari. Pada minggu

kedua suhu tubuh terus meningkat dan pada minggu ketiga suhu

berangsur turun dan kembali normal.

3) Gangguan pada saluran cerna; halitosis, bibir kering dan pecah-pecah,

lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), meteorismus, mual

tidak napsu makan, hepatomegaly, splenemogali yang disertai nyeri pada

perabaan.

4) Gangguan kesadaran; penurunan kesadaran (apatis, somnolen)

5) Bintik-bintik kemerahan pada kulit (roseola) akibat emboli basil dalam

kapiler kulit.

6) Epitaksis.
46

Menurut Widoyono (2011) Demam thypoid mengakibatkan 3 kelainan

pokok, yaitu:

1) Demam berkepanjangan.

2) Gangguan sistem pencernaan.

3) Gangguan kesadaran.

Demam lebih dari tujuh hari merupakan gejala yang paling menonjol.

Demam ini bisa diikuti oleh gejala tidak khas lainnya, seperti anoreksia atau

batuk. Gangguan saluran pencernaan yang sering terjadi adalah konstipasi dan

obstipasi (sembelit), meskipun diare bisa juga terjadi. Gejala lain pada saluran

pencernaan adalah mual, muntah, atau perasaan tidak enak di perut. Pada kondisi

yang parah, demam thypoid bisa disertai dengan gangguan kesadaran yang berupa

penurunan kesadaran ringan, apatis, somnolen, hingga koma.

Menurut FKUI pada tahun 1996 yang dikutip Ridha pada tahun 2014

gejala-gejala yang timbul bervariasi, dalam minggu pertama keluhan dan gejala

serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,

pusing nyeri otot, anoreksia, mual muntah obstipasi atau diare, perasaan tidak

enak diperut, batuk dan epitaris, pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan

peningkatan suhu tubuh. Dalam minggu kedua gejala-gejala lebih jelas berupa

demam, bradikardi relative, lidah thypoid (kotor ditengah, tepi dan ujung merah

dan termor). Hepatomegali, splenomegaly, metiorismes, gangguan kesadaran

berupa somnolen hingga koma, sedangkan residopi jarang ditemukan pada orang

Indonesia.

Menurut Padila (2013) yang dikutip oleh Dewi Wulandari dan Meira

Erawati (2016) Gejala klinis demam thypoid pada anak biasanya lebih ringan jika
47

dibandingkan dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari. Masa

tunas tersingkat adalah empat hari, jika infeksi terjadi melalui makanan.

Sedangkan, jika irnfeksi melalui minuman masa tunas terlama berlangsung 30

hari. Selama masa inkubasi, mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan

tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan tidak bersemangat, yang

kemudian disusul dengan gejala-gejala klinis sebagai berikut:

1. Demam

Demam khas (membentuk pelana kuda) berlangsung 3 minggu. sifat febris

remitten dan suhu tidak scberapa tinggi. Minggu pertama suhu meningkat setiap

hari, menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.

Minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan demam. Minggu ketiga

suhu tubuh berangsur turun dan normal pada akhir minggu ketiga.

2. Gangguan pada saluran pencermaan

Napas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah-pecah, lidah tertutup

selaput putih kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tremor, anoreksia,

mual, dan perasaan tidak enak di perut. Abdomen kembung, hepatomegali, dan

splenomegali, kadang normal, dapat terjadi diare.

3. Gangguan kesadaran

Kesadaran menurun yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor,

koma, atau gelisah. (Ardiansyah, 2012)


48

Masa tunas thypoid adalah sekitar 10-14 hari dengan rincian sebagai

berikut:

a) Minggu I

Pada umumnya demam berangsur naik, terutama pada sore hari dan

malam hari. Dengan keluhan dan gejala demam, nyeri otot, nyeri kepala,

anoreksia, dan mual, batuk, epistaksis, obstipasi atau diare, perasaan tidak

enak đi perut.

b) Minggu ke-2

Pada minggu ke-2 gejala sudah jelas dapat berupa demam, bradikardi,

lidah yang khas (putih, kotor, pinggirnya hiperemi), hepatomegali,

meteorismus, penurunan kesadaran.

Menurut Marni (2016) Tanda khas penyakit ini yaitu demam tinggi kurang

lebih satu minggu disertai nyeri kepala hebat dan gangguan saluran pencernaan,

bahkan ada yang sampai mengalami gangguan kesadaran. Demam tinggi biasanya

dimulai sore hari sampai dengan malam hari. Kemudian, menurun pada pagi hari.

Demam ini terjadi kurang lebih selama 7 hari. Pada anak yang mengalami demam

tinggi dapat terjadi kejang. Gangguan pencernaan yang terjadi pada pasien demam

thypoid yaitu mual, muntah, nyeri ulu hati, perut kembung, anoreksia, lidah tifoid

(kotor, bagian belakang tampak putih pucat dan tebal, serta bagian ujung dan tepi

kemerahan). Selain itu, juga dapat menyebabkan diare dan konstipasi. Gangguan

kesadaran juga dapat terjadi pada pasien demam thypoid yaitu apatis dan

somnolen.

Pada minggu kedua, dapat terjadi hepatomegali, splenomegali, dan

roseola. Roseola merupakan bintik kecil kemerahan yang hilang dengan


49

penekanan. Roseola ini terdapat pada daerah perut, dada, dan kadang bokong.

Pemeriksaan fisik menunjukkan peningkatan suhu tubuh, lidah tifoid,

hepatomegali, splenomegali, dan terdapat roseola (tidak semua pasien ada).

Pembesaran limpa terjadi pada akhir minggu pertama, tidak progresif dengan

konsistensi yang lebih lunak. Pada anak berusia di bawah 2 tahun, tanda dan

gejala yang terjadi yaitu demam tinggi mendadak, disertai muntah, kejang, dan

tanda rangsangan meningeal.

Menurut Utaminingsih (2017) gejala klinis yang sering terjadi pada

demam tifoid adalah sebagai berikut:

1) Demam

Demam atau panas merupakan gejala utama demam thypoid.

Awalnya, demam thypoid hanya samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh

turun naik yakni pada pagi hari lebih rendah atau normal, sementara sore dan

malam hari lebih tinggi. Demam dapat dapat mencapai 39-40 oC. Intensitas

demam akan makin tinggi disertai gejala lain seperti sakit kepala, diare, nyeri

otot, pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah.

Pada minggu ke-2 intensitas demam makin tinggi, kadang terus-

menerus. Bila pasien membaik maka pada minggu ke-3 suhu tubuh

berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke-3. Perlu

diperhatikan bahwa demam yang khas pada demam thypoid. Tipe demam

menjadi tidak beraturan, mungkin karena intervensi pengobatan atau

komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada anak khususnya balita,

demam tinggi dapat menimbulkan kejang.

2) Gangguan saluran pencernaan


50

Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang

terlalu lama. Bibir kering terkadang pecah-pecah. Lidah terlihat kotor dan

ditutupi selaput kecoklatan dengan ujung dan tepi lidah kemerahan dan

tremor, pada penderita anak jarang ditemukan. Umumnya penderita sering

mengeluh nyeri perut, terutama pada ulu hati, disertai mual dan muntah.

Penderita anak lebih sering mengalami diare, sementara dewasa cenderung

mengalami konstipasi.

3) Gangguan kesadaran

Umumnya terdapat gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran

ringan. Sering ditemui kesadaran apatis. Bila gejala klinis berat, tak jarang

penderita sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis. Pada

penderita dengan toksik, gejala delirium (mengigau) lebih menonjol.

4) Hepatosplenomegali

Pada penderita demam tifoid, hati dan atau limpa sering ditemukan

membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri bila ditekan.

5) Bradikardia relatif dan gejala lain

Bradikardia relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti

oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa

sertiap peningkatan suhu 1° tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut

dalam 1 menit. Bradikardi relative tidak sering ditemukan, mungkin karena

teknis pemeriksaan yang sulit dilakukan.

Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada demam thypoid adalah

rose spot (bintik kemerahan pada kulit) yang biasanya ditemukan di perut
51

bagian atas, serta gejala klinis yang berhubungan dengan komplikasi yang

terjadi. Rose spot pada anak sangat jarang ditemukan.

2.3.6 Komplikasi Demam Thypoid

Menurut Suriadi, dkk (2010), komplikasi yang ditimbulkan pada

pasien demam thypoid, yaitu:

1) Usus : Perdarahan usus, melena; perforai usus; peritonitis.

2) Organ lain : Meningitis, kolesistitis, ensefalopati, bronkopneumoni.

Menurut Widoyono (2011) Komplikasi yang bisa terjadi adalah:

1) Perforasi usus

2) Perdarahan usus

3) Neuropsikiatri (koma).

Menurut Ridha (2014) komplikasi demam thypoid dapat dibagi dalam:

1. Komplikasi intestinal.

a. Perdarahan usus

b. Perforasi usus

c. Ileus paralitik

2. Komplikasi ekstra intertinal

a. Komplikasi kardiovaskuler: miokarditis, thrombosis, dan

tromboflebitis.

b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombusta penia, dan sindrom

uremia hemolitik.

c. Komplikasi paru: preomonia, emfiema, dan pleuritis.

d. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitaris.

e. Komplikasi ginjal: glumerulonetritis, prelenetritis dan perinepitis


52

f. Komplikasi tulang: ostieomilitis, spondylitis, dan ortitis.

Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang

terjadi. Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan tak semua berat dan

kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang sempurna.

Menurut Marni (2016), komplikasi yang terjadi apabila pasien

mendapatkan penanganan yang tidak adekuat atau terlambat akan menyebabkan

komplikasi diusus halus, diantaranya perdarahan, perforasi, dan peritonitis. Pasien

yang mengalami nyeri hebat juga dapat mengalami syock neurogenic. Komplikasi

dapat menyebar diluar usus halus misalnya bronchitis, kolelitiasis, peradangan

pada meningen, dan miokarditis.

Menurut Utaminingsih (2017), komplikasi yang timbul pada pasien

demam thypoid, yaitu:

1. Perdarahan usus dan perforasi

Perdarahan dan perforasi merupakan suatu komplikasi serius dan perlu

diwaspadai dari demam tifoid yang muncul pada minggu ke-3. Sekitar 5 persen

penderita demam thypoid mengalami komplikasi ini. Perdarahan usus ditandai

keluhan nyeri perut, perut membesar, nyeri pada perabaan, seringkali disertai

dengan penurunan tekanan darah dan terjadinya syok, diikuti dengan

perdarahan saluran cerna sehingga tampak darah kehitaman yang keluar

bersama tinja.

Perdarahan usus muncul ketika ada luka diusus halus, sehingga

membuat gejala seperti sakit perut, mual, muntah, dan terjadi infeksi pada

selaput perut (peritonitis). Jika hal ini terjadi, diperlukan perawatan medis

segera.
53

2. Komplikasi lain yang lebih jarang

a) Pembengkakan dan peradangan pada otot jantung (miokarditis).

b) Pneumonia.

c) Peradangan pancreas (pankreatitis).

d) Infeksi ginjal atau kandung kemih.

e) Infeksi dan pembengkakan selaput otak (meningitis).

f) Masalah psikiatri seperti mengigau, halusinasi, dan paranoid psikosis.

Ada dua jenis komplikasi pada demam thypoid, yakni komplikasi yang

terjadi diluar usus dan didalam usus.

1. Komplikasi diluar usus.

Anak dengan panas tinggi umumnya tidak mau makan karena ada

diare. Sehingga dapat terjadi kekurangan cairan (dehidrasi) dan elektrolit.

Usahakan cairan yang masuk harus banyak, baik air putih, teh manis, jus

buah atau susu. Panas yang tinggi juga dapat mengakibatkan anak kejang

(kejang karena demam).

2. Komplikasi didalam usus

Luka didalam usus dapat menimbulkan perdarahan sehingga tinja

berdarah. Usus yang luka ini dapat pecah. Gejala lainnya berupa perut

kembung dan panas tinggi sampai tidak sadar.

Menurut Mansjoer (2003) yang dikutip oleh Dewi Wulandari dan Meira

Erawati (2016) komplikasi demam thypoid dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu:

1. Komplikasi intestinal

a) Perdarahan usus: diketahui dengan pemeriksaan tinja dengan benzidin.

Dapat terjadi melena, disertai nyeri perut dengan tanda renjatan.


54

b) Perforasi usus: biasa terjadi pada minggu ke II bagian distal ileum.

Perforasi yang tidak disertai peritonitis terjadi bila ada udara di hati dan

diafragma pada foto RO abdomen posisi tegak.

c) Peritonitis: gejala akut abdomen yang ditemui nyeri perut hebat, dinding

abdomen tegang, dan nyeri tekan.

2. Komplikasi ekstraintestinal

a) Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan, sepsis),

miokarditis, trombosis, dan tromboflebitis.

b) Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, atau koagulasi

intravaskuler diseminata dan sindrom uremia hemolitik,

c) Komplikasi paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.

d) Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.

e) Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.

f) Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan arthritis.

g) Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis,

polyneuritis perifer, dan sindrom katstonia.

2.3.7 Test Diagnostik

Menurut Muttaqin, dkk pemeriksaan diagnostic penderita thypoid, yaitu:

1. Pemeriksaan darah

Untuk mengidentifikasi adanya anemia karena asupan makanan

yang terbatas, malabsorbsi, hambatan pemebentukan darah dalam sumsum,

dan penghancuran sel darah merah. Leukopenia dengan jumlah leukosit

3000-4000/mm3ditemukan pada fase demam. Hal ini diakibatkan oleh

penghancuran leukosit oleh endotoksin. Aneosinofilia yaitu hilangnya


55

eosinophil dari darah tepi. Trombositopenia terjadi pada stadium panas

yaitu pada minggu pertama. Limfositosis umumnya jumlah limfosit

meningkat akibat rangsangan endotoksin. Laju endap darah meningkat.

2. Pemeriksaan Urine

Didapatkan proteinuria ringan (<2gr/lt) juga didpatakan peningkatan

leukosit dalam urine.

3. Pemeriksaan feses

Didapatkan adanya lendir dan darah, dicurigai akan bahaya

perdarahan usus dan perforasi.

4. Pemeriksaan bakteriologi

Untuk identifikasi adanya kuman Salmonella pada biakan darah tinja,

urine, cairan empedu, atau sumsum tulang.

5. Pemeriksaan serologis

Untuk mengevaluasi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi

(aglutinin). Respons antibody yang dihasilkan oleh tubuh akibat oleh infeksi

bakteri Salmonella adalah antibody O dan H. Apabila titer antibody O adalah

1:20 atau lebih pada minggu pertama atau terjadi peningkatan titer antibody

yang progresif (lebih dari 4 kali). Pada pemeriksaan ulangan 1 atau 2 minggu

kemudian menunjukkan diagnosis positif infeksi Salmonella typhi.

6. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah ada kelainan atau

komplikasi akibat demam thypoid.


56

Menurut Suriadi, dkk, (2010) pemeriksaan diagnostik dapat dilakukan

dengan cara:

1. Pemeriksaan darah tepi: leukopenia, limfositosis, aneosinofilia, anemia,

trombositopenia.

2. Pemeriksaan sumsum tulang: menunjukkan gambaran hiperaktif sumsum

tulang.

3. Biakan empedu: terdapat basil Salmonella typhosa pada urine dan tinja.

Jika pada pemeriksaan selama dua kah berturut-turut tidak didapatkan

basil Salmonella typhosa pada urine dan tinja, maka pasien dinyatakan

betul-betul sembuh.

4. Pemeriksaan widal: didapatkan titer terhadap antigen O adalah 1/200 atau

lebih, sedangkan titer terhadap antigen H walaupun tinggi akan tetapi

tidak bermakna untuk menegakkan diagnose karena titer H dapat tetap

tinggi setelah dilakukan imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh.

Menurut Widoyono (2011) Diagnosis pasti dibuat berdasarkan adanya

Salmonella dari darah melalui kutur. Karena isolasi Salmonella relatif sulit dan

lama, maka pemeriksaan serologi Widal untuk mendeteksi antigen O dan H sering

dipakai sebagai alternatif, meskipun sekitar 30% penderita menunjukkan titer

yang tidak meningkat.

Pemeriksaan Widal akan menunjukkan hasii yang signifikan apabila

dilakukan secara serial per minggu, dengan adanya peningkatan titer sebanyak 4

kali. Nilai titer yang dianggap positif demam thypoid tergantung dari tingkat

endemisitas daerahnya. Laporan-laporan dari daerah menunjukkan nilai standar

uji Widal O positif yang berbeda-beda, misalnya Jakarta: titer > 1/80, Yogyakarta:
57

titer > 1/160, Surabaya: titer > 1/160, Makasar: titer > 1/320, dan Manado: titer >

1/80.

Menurut Marni (2016) pemeriksaan penunjang, yaitu

Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan peningkatan leukosit atau

leukositosis (20.000-25.000/mm3). Laju endap darah meningkat dan terdapat

gambaran leukosit normokromik normosikit. Selain itu, juga dapat ditemukan

leukopenia dengan limfositosis relative. Untuk memastikan diagnostik demam

thypoid, perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologis dan pemeriksaan serologis.

Pemeriksaan bakteriologis dilakukan melalui biakan darah, feses, urin,

sumsum tulang ataupun duodenum. Pada pasien demam thypoid, biasanya

dilakukan biakan pada minggu pertama, sedangkan biakan feses dilakukan pada

minggu kedua, dan biakan urin dilakukan pada minggu ketiga. Pemeriksaan

serologis, yang digunakan yaitu tes widal, dengan dasar reaksi aglutinasi antara

antigen Salmonella typhosa dan antibody serum pada pasien. Tes widal dilakukan

beberapa kali, karena jika hanya dilakukan satu kali saja, maka pemeriksaan

tersebut balum bisa dijadikan standart untuk menetukan diagnosa demam thypoid.

Belum ada standart baku untuk menetukan diagnosis demam thypoid, setiap

rumah sakit mempunyai standart nilai widal sendiri. Standart nilai untuk

menentukan diagnosis demam thypoid tercantum pada table 2.4

Tabel 2.8 Standart Nilai untuk Menentukan Diagnosa Demam Thypoid

Kota Standart Nilai


Surabaya ≥1/200
Yogyakarta ≥1/160
Manado ≥1/80
Jakarta ≥1/40
58

Pemeriksaan penunjang pada klien dengan thypoid menurut Padila (2013)

yang dikutip oleh Dewi Wulandari dan Meira Erawati (2016) adalah pemeriksaan

laboratorium yang terdiri dari:

1. Pemeriksaan leukosit

Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam thypoid terdapat

leucopenia dan limpositosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering

dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam thypoid, jumlah leukosit pada sediaan

darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat

leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder.

2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT

SGOT dan SGPT pada demam thypoid sering kali meningkat tetapi dapat

kembali normal setelah sembuhnya thypoid.

3. Biakan darah

Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam thypoid, tetapi bila

biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan terjadi demam thypoid. Hal ini

karena hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor yaitu:

a) Teknik pemeriksaan laboratorium

Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium

yang lain. Hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang

digunakan, Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam

tinggi, yaitu pada saat bakterimia berlangsung.


59

b) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit

Biakan darah terhadap Salmonella thypi terutama positif pada minggu

pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh

biakan darah dapat positif kembali.

c) Vaksinasi di masa lampau

Vaksinasi terhadap demam thypoid di masa lampau dapat

menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan

bakterimia sehingga biakan darah negatif.

d) Pengobatan dengan obat anti mikroba

Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti

mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan

mungkin negatif.

4. Uji widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi

(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella thypi terdapat dalam

serum klien dengan thypoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan.

Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang sudah

dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk

menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita

thypoid.

Terdapat 2 macam pemeriksaan Tes Widal, yaitu:

a) Widal care tabung (konvensional)


Aktual/resiko
ketidakseimbangan
nutrisi
60

b) Salmonella Slide Test (cara slides)

Nilai sensitivitas, spesifisitas serta ramal reaksi widal tes sangat

bervariasi dari satu laboratorium dengan laboratorium lainnya. Disebut tidak

sensitif karena adanya sejumlah penderita dengan hasil biakan positif telapi

tidak pernah dideteksi adanya titer antibody sering titer naik sebelum timbul

gejala klinis, sehingga sulit untuk memperlihatkan terjadinya kenaikan titer

yang berarti. Disebut tidak spesifikasi oleh karena semua grup D Salmonella

mempunyai antigen O, denikian juga grup A dan B Salmonella. Semua grup D

Salmonella mempunyai fase H antigen yang sama dengan Salmonella typhosa,

titer H tetap meningkat dalam waktu sesudah infeksi. Untuk dapat

memberikan hasil yang akurat, widal tes sebaiknya tidak hanya dilakukan satu

kali saja melainkan perlu satu seri pemeriksaan, kecuali bila hasil tersebut

sesuai atau melewati nilai standar setempat. Nilai titer pada penderita thypoid

adalah:

a. Jika hasil titer widal tes terjadi pada antigen O positif (+) lebih dari

1/200 maka sedang aktif.

b. Jika hasil titer widal tes terjadi pada antigen H dan positif (+) lebih dari

1 / 200 maka dikatakan infeksi lama.

2.3.8 Penatalaksanaan Demam Thypoid

Menurut Suriadi, dkk (2010) Penatalaksanaan terapeutik dapat dilakukan

dengan cara:

1. Isolasi, desinfeksi pakaian dan ekskreta

2. Istirahat selama demam hingga dua minggu

3. Diit tinggi kalori, tinggi protein, tidak mengandung banyak serat.


61

4. Pemberian antibiotic kloramfenikol dengan dosis tinggi.

Menurut Widoyono (2011) Terapi ini dimaksudkan untuk membunuh

kuman penyebab demam thypoid.

A. Obat yang sering dipergunakan adalah:

1. Kloramfenikol 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali selama 14 hari.

2. Amoksilin 100 mg/kg berat badan/hari/4 kali.

3. Kotrimoksazol 480 mg. 2 x 2 tablet selama 14 hari.

4. Sefalosporin generasi Il dan III (ciprofloxacin 2 x 500 mg selama 6 hari;

5. Ofloxacin 600 mg/hari selama 7 hari; ceftriaxone 4 gram/hari selama 3

hari).

B. Istirahat dan perawatan

Langkah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya komplikasi.

Penderita sebaiknya beristirahat total di tempat tidur selama 1 minggu setelah

bebas dari demam. Mobilisasi dilakukan secara bertahap. Sesuai dengan keadaan

penderita. Mengingat mekanisme penularan penyakit ini, kebersihan perorangan

perlu dijaga karena ketidakberdayaan pasien untuk buang air besar dan air kecil.

C. Terapi penunjang secara simptomatis dan suportif serta diet.

Agar tidak memperberat kerja usus, pada tahap awal penderita diberi

makanan berupa bubur saring. Selanjutnya penderita dapat diberi makanan yang

lebih padat dan akhirnya nasi biasa, sesuai dengan kemampuan dan kondisinya.

Pemberian kadar gizi dan mineral perlu dipertimbangkan agar dapat menunjang

kesembuhan penderita.
62

Menurut Ridha (2014) Penatalaksanaan medis dapat berupa:

1. Obat-obat antibiotika yang biasa digunakan adalah klorampenikoi, tiam

fenikal, kotra maksazol, ampizilin dan amoksilin.

2. Antipiretika.

3. Bila perlu diberikan laksansia.

4. Tirah baring selama demam, untuk mencegah komplikasi pendarahan usus

atau perforasi usus.

5. Nemisasi bertahap bila tidak panas

6. Diet pada permukaan, diet makanan yang tidak merangsang saluran cerna

dalam bentuk saring atau lemak.

7. Makanan dapat ditingkatkan sesuai perkembangan keluhan gastra intertinal

sampai makanan biasa.

8. Tindakan operasi bila ada komplikasi perforasi.

9. Transfusi bila diperlukan pada komplikasi perdarahan.

Menurut Marni (2016) penatalaksanaan penyakit demam thypoid yaitu:

Penatalaksanaan demam thypoid dilakukan dengan terapi suportif,

simptomatis, dan pemberian antibiotik jika sudah ditegakkan diagnosis. Pasien

demam thypoid harus segera dirawat di rumah sakit atau pelayanan kesehatan

karena pasien memerlukan istirahat selama 5-7 hari. Selain itu, pengawasan ketat

perlu dilakukan agar tidak terjadi komplikasi yang berbahaya. Pasien boleh

bergerak (mobilisasi) sewajarnya, misalnya ke kamar mandi, duduk di teras,

mandi sendiri, dan makan sendiri, yang prinsipnya adalah tidak melakukan

aktivitas berat yang membutuhkan banyak energi.


63

Pengaturan pola makan sangat penting pada penyakit ini mengingat organ

yang terganggu yaitu sistem pencernaan, khususnya usus halus. Jika pasien tidak

sadar, maka dapat diberikan makanan cair dengan menggunakan sonde lambung.

Jika pasien sadar, maka pemberian makanan bisa dimulai dari bubur saring. Jika

kondisi pasien sudah membaik, maka ditingkatkan makanannya menjadi bubur

kasar, dan jika sudah normal, maka dapat diberikan nasi biasa. Susu diberikan 2

gelas sehari. Pemberian makanan padat secara dini lebih menguntungkan karena

dapat mengurangi risiko penurunan berat badan yang berlebihan (berat badan

stabil), masa perawatan lebih pendek karena pasien lebih cepat sembuh, menekan

penurunan albumin, dan dapat mencegah terjadinya infeksi lain. Pada prinsipnya,

makanan yang diberikan adalah makanan yang tidak begitu merangsang, misalnya

terlalu pedas atau asam. Selain itu, dapat pula diberikan makanan yang rendah

selulosa serta tidak menimbulkan gas.

Obat diberikan secara simptomatis, misalnya pada pasien yang mual dapat

diberikan antiemetik, pada pasien yarg demam dapat diberikan antipiretik, dan

boleh ditambahkan vitamin untuk meningkatkan stamina tubuh pasien. Antibiotik

dapat diberikan jika diagnosis sudah ditegakkan. Antibiotik yang dapat mengatasi

penyakit demam thypoid yang sering kali digunakan yaitu kloramfenikol,

kotrimoksazol, ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson. Obat yang paling efektif

mengatasi infeksi ini yaitu kloramfenikol yang diberikan dengan dosis 50-100

mg/kg/BB/hari. Selain pemberian antipiretik pada pasien demam, juga dapat

dilakukan kompres air dingin biasa tanpa es di daerah ketiak, leher, maupun

selangkangan.
64

Untuk mencegah terjadinya demam thypoid, perlu diberikan kombinasi

vaksin. Vaksin yang sering diberikan yaitu vaksin polisakarida. Vaksin lain yang

dapat digunakan sebagai kombinasi yaitu vaksin Salmonella typhosa yang

dimatikan dan vaksin dari strain Salmonella yang dilemahkan. Pemberian vaksin

ini diulang setiap 3 tahun.

Kontraindikasi pemberian vaksin tersebut yaitu anak yang hipersensitif,

wanita hamil, ibu yang menyusui anaknya, kondisi anak sedang demam, dan anak

berusia di bawah 2 tahun. Anak berusia di atas 2 tahun dianggap sudah

mempunyai antibodi untuk menerima vaksin Salmonella tersebut dan sudah

terpapar dengan bakteri Salmonella dari makanan jajanan. Untuk mengontrol

epidemi, dapat dilakukan dengan penyediaan air bersih yang adekuat, sanitasi

lingkungan, dan personal higiene yang memadai. Pemberian penyuluhan tentang

perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dapat meningkatkan kesadaran

masyarakat untuk berperilaku bersih dan sehat. Tindakan tersebut diharapkan

dapat mengurangi atau menghilangkan kejadian penyakit demam thypoid.

Penatalaksanaan penyakit thypoid menurut Aru & Setiyohadi (2006) yang

dikutip oleh Dewi Wulandari & Meira Erawati (2016) dibagi menjadi tiga yaitu:

1. Istirahat dan perawatan

Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah

komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti

makanan, minuman, mandi, buang air kecil dan buang air besar akan membantu

dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga

kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien
65

perlu diawasi untuk mencegah decubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene

perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.

2. Diet dan terapi penunjang

Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan

penyakit demam thypoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan

keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan

akan menjadi lama. Dimasa lampau penderita thypoid diberi bubur saring,

kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberi nasi, perubahan

diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur

saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna

atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus

diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat

dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran

yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada penderita demam.

3. Pemberian antibiotik

a. Antimikroba:

1) Kloramfenikol 4X500 mg sehari/IV

2) Tiamfenikol 4X500 mg sehari oral

3) Kotrimoksazol 2X2 tablet sehari oral (1 tablet=sulfa-metoksazol

400mg+trimetoprim 80 mg atau dosis yang sama IV, dilarutkan dalam

250 ml cairan infus).

4) Ampisilin atau amoksilin 100mg/kg BB sehari oral/IV, dibagi dalam 3

atau 4 dosis.
66

5) Antimikroba diberikan selama 14 hari atau sampai 7 hari bebas

demam.

b. Antipieretik seperlunya.

c. Vitamin 3 kompleks dan vitamin C.

2.4 Konsep Pertumbuhan Anak

2.4.1 Pengertian Pertumbuhan Anak

Pertumbuhan adalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi

tingkat sel, organ, maupun individu yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram,

pon, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang, dan keseimbangan

metabolic (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). (Adriana,2017)

Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar,

jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur

dengan berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang

dan keseimbangan metabolic (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). (Soetjiningsih,

dkk., 2012)

Menurut Chomaria (2015) Perkembangan fisik sangat erat kaitannya dengan

perkembangan motorik, yaitu kemampuan seorang anak untuk melakukan gerakan

perkembangan ini, sangat dipengaruhi oleh susunan saraf pusat atau otak.

Perkembangan sistem saraf otak yang mengatur otot menentukan perkembangan

kompetensi atau kemampuan motorik anak. Perkembangan motorik anak dibagi

menjadi dua yaitu motoric kasar dan halus. Motorik kasar seperti berjalan, berlari

melompat, naik turun tangga. Motorik halus yaitu keterampilan manipulasi seperti

menulis. menggambar, memotong, melempar dan menangkap bola,


67

sertamemainkan benda-benda atau alat-alat mainan. Jika diperhatikan,

perkembangan seorang anak selalu menganut prinsip-prinsip di bawah ini:

1. Berlangsung terus menerus.

Sejak masa pembuahan hingga terlahir di dunia, seorang anak akan selalu

tumbuh atau bertambah ukuran berat dan panjang badannya hingga fase tertentu

(dewasa).

2. Tumbuh dan kembang tergantung kematangan susunan saraf.

Contoh: seorang bayi tidak akan mampu berjalan bila sistem saraf belum

siap. Namun, bila bayi tidak diberi kesempatan untuk berlatih berjalan, maka

kemampuan berjalan akan terlambat.

3. Urutan perkembangan setiap bayi selalu kecepatannya berbeda.

Contoh: bayi akan belajar duduk terlebih dahulu sebelum belajar berdiri,

tetapi umur saat bayi belajar duduk berbeda antara bayi satu dengan lainnya.

Perbedaan kecepatan perkembangan tersebut karena pengaruh bawaan dan

rangsangan lingkungan.

4. Refleks primitif akan hilang dan digantikan dengan gerakan yang disadari.

Contoh: bayi usia di bawah satu bulan tangannya selalu menggenggam

(karena ada refleks menggenggam), setelah umur bayi lebih dari satu bulan,

refleks tersebut secara perlahan menghilang dan diganti gerakan jari-jari secara

sadar.

5. Arah perkembangan dari atas ke bawah

Langkah pertama pada perkembangan motorik adalah perkembangan

kemampuan mempertahankannya kepala dalam posisi tegak yang melibatkan otot-


68

otot leher. Selanjutnya akan diikuti perkembangan otot-otot punggung sehingga

bayi mampu mengangkat kepala dan badan pada posisi tengkurap.

6. Penambahan keterampilan baru yang dimiliki anak tidak berarti

menghilangkan keterampilan yang dimiliki sebelumnya.

Sebelum anak bisa merangkak, ia terlebih dulu belajar tengkurap,

berguling, dan duduk. Setelah ia mampu merangkak, kemampuan-kemampuan

sebelumnya tidak akan hilang.

2.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Anak

Coba perhatikan anak-anak yang berkumpul di ruang kelas. Sebagian

besar dari mereka memunyai usia yang sama. Namun, mengapa mereka

mempunyai bentuk tubuh, warna kulit, jenis rambut, dan tinggi badan yang

berbeda? Setiap orang yang terlahir di dunia selalu membawa potensi baik fisik

maupun psikis yang berbeda. Sebenarnya, apa saja yang membuat mereka semua

berbeda?

1. Faktor keturunan

Seorang anak yang memunyai postur tubuh tinggi, dimungkinkan

memunyai ayah dan (atau) ibu yang tinggi. Kalau memang kedua orangtuanya

berpostur rata-rata, dimungkinkan ada garis keturunan dari kakek atau nenek

yang posturnya tinggi.

2. Faktor gizi

Anak-anak yang memperoleh gizi cukup biasanya akan lebih optimal

perkembangan tubuhnya (lebih tinggi dan lebih gemuk). Mereka juga akan lebih
69

cepat mencapai taraf kematangan dibandingkan dengan mereka yang kurang

memperoleh gizi yang baik.

3. Faktor lingkungan

Keluarga yang memberikan stimulasi memadai yang berkenaan dengan

latihan fisik akan menghasilkan anak-anak yang relatif tinggi. Anak-anak juga

akan memiliki gerakan yang lebih gesit.

4. Faktor emosi

Anak-anak yang sering mengalami stres hingga depresi akan

menyebabkan kekebalan tubuhnya terganggu. Stres atau depresi akan

mengganggu pertumbuhan fisiknya karena cadangan makanan yang ada hanya

untuk melakukan respon mempertahankan diri.

5. Faktor jenis kelamin

Anak laki-laki cenderung lebih tinggi dan lebih berat dari pada anak

perempuan. Anak perempuan akan memiliki fisik yang lebih kecil dibandingkan

anak laki-laki.

6. Faktor status sosial ekonomi

Anak-anak yang berasal dari keluarga yang status sosial ekonominya

rendah cenderung lebih kecil daripada anak yang berasal dari keluarga yang status

sosial ekonominya tinggi. Hal ini berkaitan erat dengan makanan serta asupan gizi

penunjang yang masuk dalam tubuhnya.

7. Faktor kesehatan

Anak-anak yang sehat dan jarang sakit, biasanya akan memiliki tubuh

yang lebih berat dari pada anak yang sering sakit.


70

Menurut Soetjiningsih, dkk (2012) faktor yang mempengaruhi tumbuh

kembang anak adalah:

1. Faktor genetik

Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses

tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung di dalam sel

telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan.

Ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan

terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang.

Termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal

dan patologik, jenis kelamin, suku bungsa atau bangsa. Potensi genetik yang

bermutu hendaknya dapat berinteraksi dengan lingkungan secara positif sehingga

diperoleh hasil akhir yang optimal. Gangguan pertumbuhan di negara maju lebih

sering diakibatkan oleh faktor genetik ini. Sedangkan di negara yang sedang

berkembang, gangguan pertumbuhan selain diakibatkan oleh faktor genetik, juga

faktor lingkungan yang kurang memadai untuk tumbuh kembang anak yang

optimal, bahkan kedua faktor ini dapat menyebabkan kematian anak-anak

sebelum mencapai usia Balita. Disamping itu, banyak penyakit keturunan yang

disebabkan oleh kelainan kromosom, seperti sindrom Down, sindrom Turner, dll.

2. Faktor lingkungan.

Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapai atau

tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan

tercapainya potensi bawaan, sedangkan yang kurarg baik akan menghambatnya.


71

Lingkungan ini merupakan lingkungan "bio-fisik-psiko-sosial" yang

mempengaruhi individu setiap hari, mulai dari konsepsi sampai akhir hayatnya.

Faktor lingkungan ini secara garis besar dibagi menjadi:

a. Faktor lingkungan yang mempengaruhi anak pada waktu masih di dalam

kandungan (Faktor pranatal).

b. Faktor lingkungan yang mempengaruhi tumbuh kembang anak setelah

lahir (Faktor postnatal).

A. Faktor Lingkungan Pranatal

Faktor lingkungau pranatal yang berpengaruh terhaJap tuinbuh kembang

janin mulai dari konsepsi sampai lahir, antara lain adalah:

1. Gizi ibu pada waktu hamil.

Gizi ibu yang jelek sebelum terjadinya kehamilan maupun pada waktu

sedang hamil, lebih sering menghasilkan bayi BBLR (berat badan lahir rendah)

atau lahir mati dan jarang menyebabkan cacat bawaan. Disamping itu dapat pula

menyebabkan hambatan pertumbuhan otak janin, anemia pada bayi baru lahir,

bayi baru lahir mudah terkena infeksi, abortus, dan sebagainya. Anak yang lahir

dan ibu yang gizinya kurang dan hidup di lingkungan miskin maka akan

mengalami kurang gizi juga dan mudah lerkena infeksi dan selanjutnya akan

menghasilkan wanita dewasa yang berat dan tinggi badannya kurang pula.

Keadaan ini merupakan lingkaran setan yang akan berulang dari generasi ke

generasi selama kemiskinan tersebut tidak ditanggulangi.

2. Mekanis

Trauma dan cairan ketuban yang kurang dapat menyebabkan kelainan

bawaan pada bayi yang dilahirkan. Demikian pula dengan posisi janin pada uterus
72

dapat mengakibatkan talipes, dislokasi panggul, tortikolis kongenital, palsi

fasialis, atau kranio tabes.

3. Toksin zat kimia

Masa organogenesis adalah masa yang sangat peka terhadap zat-zat

teratogen. Misalnya obat-obatan seperti thalidomide, phenitoin, methadion, obat-

obat anti kanker, dan lain sebagainya dapat menyebabkan kelainan bawaan.

Demikian pula dengan ibu hamil yang perokok berat/peminum alkohol kronis

sering melahirkan bayi berat badan lahir rendah, lahir mati, cacat, atau retardasi

mental. Keracunaan logam berat pada ibu hamil, misalnya karena makan ikan

yang terkontaminasi merkuri dapat menyebabkan mikrosefali dan palsi serebralis,

seperti di Jepang yang dikenal dengan penyakit Minamata.

4. Endokrin.

Hormon-hormon yang mungkin berperan pada pertumbuhan janin, adalah

somatotropin, hormon plasenta, hormon tiroid, insulin dan peptida-peptida lain

dengan aktivitas mirip insulin (Insulin like growth factors/IGFS) Somatotropin

(growth hormone) disekresi oleh kelenjar hipofisis janin sekitar minggu ke-9.

Produksinya terus meningkat sampai minggu ke-20, selanjutnya menetap sampai

lahir. Perannya belum jelas pada pertumbuhan janin.

Hormon plasenta (Human placental lactogen = hormon chorionic

somatromamotropic), disekresi oleh plasenta di pihak ibu dan tidak dapat masuk

ke janin. Kegunaannya mungkin dalam fungsi nutrisi plasenta. Hormon-hormon

tiroid seperti TRH (Thyroid Releasing Hormon), TSH (Thyroid Stimulating

Hormon), T3 dan T4 sudah diproduksi oleh janin sejak minggu ke 12 Pengaluran

oleh hipofisis sudah terjadi pada minggu ke-13. Kadar hormone ini makin
73

meningkat sampai minggu ke-24, lalu konstan. Perannya belum jelas, tetapi jika

tendapat defisiensi hormon tersebut, dapat terjadi gangguan pada pertumbuhan

susunan saraf pusat yang dapat mengakibatkan retardasi mental. Insulin mulai

diproduksi oleh janin pada minggu ke-11, lalu meningkat sampai bulan ke 6 dan

kemudian konstan. Berfungsi untuk pertumbuhan janin melalui pengaturan

keseimbangan glukosa darah, sintesis protein janin, dan pengaruhnya pada

pembesaran sel gesudah minggu ke-30. Sedangkan fungsi IGFS pada janin belum

diketahui dengan jelas.

Cacat bawaan sering terjadi pada ibu diabetes yang hamil dan tidak

mendapat pengobatan pada trimester I kehamilan, umur ibu kurang dari 18

tahun/lebih dari 35 tahun, defisiensi yodium pada waktu hamil, PKU

(phenylketonuria), dll.

1. Radiasi.

Radiasi pada janin sebelum umur kehamilan 18 minggu dapat

menyebabkan kematian janin, kerusakan otak, mikrosefali, atau cacat

bawaan lainnya. Misalnya pada peristiwa di Hiroshima, Nagasaki dan

Chernobyl. Sedangkan efek radiasi pada orang laki laki, dapat

mengakibatkan cacat bawaan pada anaknya.

2. Infeksi

Infeksi intrauterin yang sering menyebabkan cacat bawaan adalah

TORCH (Texoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex).

Sedangkan infeksi lainnya yang juga dapat menyebabkan penyakit pada janin

adalah varisela, Coxsackie, Echovirus, malaria, lues, HIV, polio, campak,


74

listeriosis, leptospira, mikoplasma, virus influensa, dan virus hepatitis.

Diduga setiap hiperpireksia pada ibu hamil dapat merusak janin.

3. Stres

Stres yang dialami ibu pada waktu hamil dapat mempengaruhi

tumbuh kembang janin, antara lain cacat bawaan, kelainan kejiwaan, dan

lain-lain.

4. Imunitas

Rhesus atau ABO inkontabilitas sering menyebabkan abortus,

hidrops fetalis, kern ikterus, atau lahir mati.

5. Anoksia embrio

Menurunnya oksigenasi janin melalui gangguan pada plasenta atau tali

pusat menyebabkan berat badan lahir rendah.

B. Faktor Lingkungan Post Natal

Bayi baru lahir harus berhasil melewati masa transisi, dari suatu sistem

yang teratur yang sebagian besar tergantung pada organ-organ ibunya, ke suatu

sistem yang tergantung pada kemampuan genetik dan mekanisme homeostatik

bayi itu sendiri. Perbedaan lingkungan sebelum dan sesudah anak lahir adalah

sebagai berikut (Timiras, dikutip dari Johnston 1986):

Masa perinatal yaitu masa antara 28 minggu dalam kandungan sampai 7

hari setelah dilahirkan, merupakan masa rawan dalam proses tumbuh kembang

anak, khususnya tumbuh kembang otak. Trauma kepala akibat persalinan akan

berpengaruh besar dan dapat meninggalkan cacat yang permanen. Risiko palsi

serebralis lebih besar pada BBLR (Berat Badan Lahir Rendai) yang disertai
75

asfiksia berat, hiperbilirubinemi yang disertai kern ikterus, IRDS (Idiophatic

Respiratory Distress Syndrome), asidosis metabolik, dan meningitis/ensefalitis.

Dalam tumbuh kembang anak tidak sedikit peranan ibu dalam ekologi

anak, yaitu peran ibu sebagai "para genetik faktor" yaitu pengaruh biologisnya

terhadap pertumbuhan janin dan pengaruh psikobiologisnya terhadap

pertumbuhan post natal dan perkembangan kepribadian. Disamping itu pemberian

ASI/menyusui adalah periode ekstragestasi dengan payudara sebagai "plasenta

eksternal", karena payudara menggantikan fungsi plasenta tidak hanya dalam

memberikan nutrisi bagi bayi, tetapi juga sangat mempunyai arti dalam

perkembangan anak karena seolah-olah hubungan anak-ibu tidak terputus begitu

dia dilahirkan ke dunia. Demikian pula dengan memberikan ASI sedini mungkin

segera setelah bayi lahir, merupakan stimulasi dini terhadap tumbuh kembang

anak.

Di dalam interaksi timbal balik antara ibu dan anak tersebut terdapat

keuntungan yang timbal balik pula. Keuntungan untuk bayi selain nilai gizi ASI

yang tinggi, juga adanya zat anti pada ASI yang melindungi bayi terhadap

berbagai macam infeksi. Di samping itu bayi juga merasakan sentuhan, kata-kata

dan tatapan kasih sayang dari ibunya, serta mendapatkan kehangatan yang penting

untuk tumbuh kembangnya. Sedangkan keuntungan yang diperoleh ibu, adalah

selain menimbulkan perasaan senang dan dibutuhkan oleh bayinya sehingga

menimbulkan rasa percaya diri, juga adanya sekresi hormon oksitosin akan

mempercepat berhentinya perdarahan setelah melahirkan dan prolaktin akan

mencegah terjadınya ovulasi yang mempunyai efek menjarangkan kehamilan.


76

Lingkungan post-natal yang mempengaruhi tumbuh kembang anak secara

umum dapat digołongkan menjadi:

1. Lingkungan biologis, antara lain:

a. Ras/suku hangsa

Pertumbuhan somatik juga dipengaruhi oleh ras/suku bangsa.

Bangsa kulit putih/ras Eropa mempunyai pertumbuhan somatik lebih

tinggi daripada bangsa Asia.

b. Jenis kelamin

Dikatakan anak laki-laki lebih sering sakit dibandıngkan anak

perempuan, tetapi belum diketahui secara pasti mengapa demikian.

c. Umur

Umur yang paling rawan adalah masa balita, olch karena pada

masa itu anak mudah sakit dan mudah terjadi kurang gizi. Disamping itu

masa balıta merupakan dasar pembentukan kepribadian anak. Sehingga

diperlukan perhatian khusus.

d. Gizi

Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang

anak, dimana kebutuhan anak berbeda dengan orang dewasa, karena

makanan bagi anak dibutuhkan juga untuk pertumbuhan, dimana

dipengaruhi oleh ketahanan makanan (food security) keluarga.

Ketahanan makanan keluarga mencakup pada ketersediaan

makanan dan pembagian yang adıl makanan dalam keluarga, dimana

acapkali kepentingan budaya bertabrakan dengan kepentingan biologis

anggota-anggota keluarga. Satu aspek yang penting yang perlu


77

ditambahkan adalah keamanan pangan (food safety) yang mencakup

pembebasan makanan dari berbagai "racun" fisika, kimia dan biologis,

yang kian mengancam kesehatan manusia.

e. Perawatan kesehatan

Perawatan kesehatan yang teratur, tidak saja kalau anak sakit,

tetapi pemeriksaan kesehatan dan menimbang anak secara rutin setiap

bulan, akan menunjang pada tumbuh kembang anak. Oleh karena itu

pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan dianjurkan untuk dilakukan

secara komprehensif, yang mencakup aspek-aspek promotif, preventif,

kuratif dan rehabiltatif.

f. Kepekaan terhadap penyakit

Dengan memberikan imunisasi, maka diharapkan anak terhindar

dari penyakit-penyakit yang sering menyebabkan cacat atau kematian.

Dianjurkan sebelum anak berumur satu tahun sudah mendapat imunisasi

BCG, Polio 3 kali, DPT 3 kali, Hepatitis-B 3 kali, dan campak. Disamping

imunisasi, gizi juga memegang peranan penting dalam kepekaan terhadap

penyakit.

g. Penyakit kronis

Anak yang menderita penyakit menahun akan terganggu tumbuh

kembangnya dan pendidikannya, disamping itu anak juga mengalami stres

yang berkepanjangan akibat dari penyakitnya.

h. Fungsi metabolisme

Khusus pada anak, karena adanya perbedaan yang mendasar dalam

proses metabolisme pada berbagai umur, maka kebutuhan akan berbagai


78

nutrien harus didasarkan atas perhitungan yang tepai atau setidak-tidaknya

memadai.

i. Hormon

Hormon-hormon yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang

antara lain adalah: "growth hormon", tiroid, hormon seks, insulin, IGFS

(Insulin-like growth factors), dan hormon yang dihasilkan kelenjar

adrenal.

a) Somatotropin atau "growth hormon" (GH=hormon pertumbuhan)

Merupakan pengatur utama pada pertumbuhan somatis terutama

pertumbuhan kerangka. Pertambahan tinggi badan sangat dipengaruhi

hormon ini. GH merangsang terbentuknya somatomedin yang kemudian

berefek pada tulang rawan. GH mempunyai "circadian variation" dimana

aktivitasnya meningkat pada malam hari pada waktu tidur, sesudah makan,

sesudah latihan fisik, perubahan kadar gula darah dan sebagainya.

b) Hormon Tiroid

Hormon ini mutlak diperlukan pada tumbuh kembang anak, karena

mempunyai fungsi pada metabolisme protein, karbohidrat dan lemak.

Maturasi tulang juga dibawah pengaruh hormon ini. Demikian pula dengan

pertumbuhan dan fungsi otak sangat tergantung pada tersedianya hormon

tiroid dalam kadar yang cukup.

Defisiensi hormon tiroid mengakibatkan retardasi fisik dan mental

yang kalau berlangsung terlalu lama, dapat menjadi permanen. Sebaliknya

pada hipertiroidisme dapat mengakibatkan gangguan pada kardiovaskular,


79

metabolisme, otak, mata, seksual, dll. Hormon ini mempunyai interaksi

dengan hormon-hormon lain seperti somatotropin.

c) Glukokortikoid

Mempunyai fungsi yang bertentangan dengan somatotropin, tiroksin

serta androgen, karena kortison mempunyai efek anti-anabolik. Kalau

kortison berlebihan akan mengakibatkan pertumbuhan terhambat/terhenti

dan terjadinya osteoporosis.

d) Hormon-hormon seks

Terutama mempunyai peranan dalam fertilitas dan reproduksi. Pada

permulaan pubertas, hormon seks memacu pertumbuhan badan, tetapi

sesudah beberapa lama justru menghambat pertumbuhan. Androgen

disekresi kelenjar adrenal (dehidroandrosteron) dan testis (testosteron),

sedangkan estrogen terutama diproduksi oleh ovarium.

e) Insulin like growth factors (IGFS)

Merupakan somatomedin yang kerjanya sebagai mediator GH dan

kerjanya mirip dengan insulin. Fungsinya selain sebagai growth promoting

factor yang berperan pada pertumbuhan, sebagai mediator GH, aktifitasnya

cfek mitogenik terhadap kondrosit, osteoblas dan jaringan lainnya. IGFS

diproduksi oleh berbagai jaringan tubuh, tetapi IGFS yang beredar dalam

sirkulasi terutama diproduksi di hepar.


80

2. Faktor fisik, antara lain:

a. Cuaca, musim, keadaan geografis suatu daerah

Musim kemarau yang panjang/adanya bencana alam lainnya, dapat

berdampak pada tumbuh kembang anak antara lain sebagai akibat

gagalnya panen, sehingga banyak anak yang kurang gizi. Demikian pula

gondok endemik banyak ditemukan pada daerah pegunungan, dimana air

tanahnya kurang mengandung yodium.

b. Sanitasi

Sanitasi lingkungan memiliki peran yang cukup dominan dalam

penyediaan lingkungan yang mendukung kesehatan anak dan tumbuh

kembangnya. Kebersihan, baik kebersihan pcrorangan maupun lingkungan

memegang peranan penting dalam timbulnya penyakit. Akibat dari

kebersihan yang kurang, maka anak akan sering sakit, misalnya diare,

kecacingan, tifus abdominalis, hepatitis, malaria, demam berdarah, dan

sebagainya.

Demikian pula dengan polusi udara baik yang berasal dari pabrik,

asap kendaraan atau asap rokok, dapat berpengaruh terhadap tingginya

angka kejadian ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Kalau anak sering

menderita sakit, maka tumbuh kembangnya pasti terganggu.

c. Keadaan rumah: struktur bangunan, ventilasi, cahaya dan kepadatan

hunian

Keadaan perumahan yang layak dengan konstruksi bangunan yang

tidak membahayakan penghuninya, serta tidak penuh sesak akan menjamin

kesehatan penghuninya.
81

d. Radiasi

Tumbuh kembang anak dapat terganggu akibat adanya radiasi yang

tinggi.

3. Faktor psikososial antara lain:

a. Stimulasi

Stimulasi merupakan hal yang penting dalam tunbuh kembang anak

Anak yang mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat

berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang/tidak mendapat

stimulasi.

b. Motivasi belajar

Motivasi belajar dapat ditimbulkan sejak dini, dengan memberikan

lingkungan yang kondusif untuk belajar, misalnya adanya sekolah yang

tidak terlalu jauh, buku-buku, suasana yang tenang serta sarana lainnya.

c. Ganjaran ataupun hukuman yang wajar

Kalau anak berbuat benar, maka wajib kita memberi ganjaran,

mnisalnya pujian, ciuman, belaian, tepuk tangan dan sebagainya. Ganjaran

tersebut akan menimbulkan motivasi yang kuat bagi anak untuk

mengulangi tingkah lakunya.

Sedangkan menghukum dengan cara-cara yang wajar kalau anak

berbuat salah, masih dibenarkan. Yang penting hukuman harus diberikan

secara obyektif, disertai pengertian dan maksud dari hukuman tersebut,

bukan hukuman untuk melampiaskan kebencian dan kejengkelan terhadap

anak. Sehingga anak tahu mana yang baik dan yang tidak baik, akibatnya
82

akan menimbulkan rasa percaya diri pada anak yang penting untuk

perkembangan kepribadian anak kelak kemudian hari.

d. Kelompok sebaya

Untuk proses sosialisasi dengan lingkungannya anak memerlukan

teman sebaya. Tetapi perhatian dari orang tua tetap dibutuhkan untuk

memantau dengan siapa anak tersebut hergaul. Khususnya bagi remaja,

aspek lingkungan teman sebaya menjadi sangat penting dengan makin

meningkatnya kasus-kasus penyalahgunaan obat-obat dan narkotika.

e. Stres

Stres pada anak juga berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya,

misalnya anak akan menarik diri, rendah diri, terlambat bicara, nafsu

makan menurun, dan sebagainya.

f. Sekolah

Dengan adanya wajib belajar 9 tahun sekarang ini, diharapkan

setiap anak mendapat kesempatan duduk di bangku sekolah minimal 9

tahun. Sehingga dengan mendapat pendidikan yang baik, maka diharapkan

dapat meningkatkan taraf hidup anak-anak tersebut. Yang masih menjadi

masalah sosial saat ini adalah masih banyaknya anak-anak yang terpaksa

meninggalkan bangku sekolah karena harus membantu mencari nafkah

untuk keluarganya.

g. Cinta dan kasih sayang

Salah satu hak anak adalah hak untuk dicintai dan dilindungi. Anak

memerlukan kasih sayang dan perlakuan yang adil dari orang tuanya. Agar
83

kelak kemudian hari menjadi anak yang tidak sombong dan bisa

memberikan kasıh sayangnya pula kepada sesamanya.

Sebalıknya kasih sayang yang diberikan secara berlebihan yang

menjurus kearah memanjakan, akan menghambat bahkan mematikan

perkembangan kepribadian anak. Akibatnya anak akan menjadi manja,

kurang mandiri, pemboros, sombong dan kurang bisa menerima kenyataan.

h. Kualitas interaksi anak-orang tua

Interaksi timbal balik antara anak dan orang tua, akan menimbulkan

keakraban dalam keluarga. Anak akan terbuka kepada orang tuanya,

sehingga komunikasi bisa dua arah dan segala permasalahan dapat

dipecahkan bersama karena adanya keterdekatan dan kepercayaan antara

orang tua dan anak. Interaksi tidak ditentukan oleh seberapa lama kita

bersama anak. Tetapi lebih ditentukan oleh kualitas dari interaksi tersebut

yaitu pemahaman terhadap kebutuhan masing-masing dan upaya optimal

untuk memenuhi kebutuhan tersebut yang dilandasi oleh rasa saling

menyayangi.

4. Faktor keluarga dan adat istiadat antara lain:

a. Pekerjaan/pendapatan keluarga

Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh

kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan

anak baik yang primer maupun yang sekunder.

b. Pendidikan ayah/ibu

Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting

dalam tumbuh kembang anak. Karena dengan pendidikan yang baik, maka
84

orang tua dapat menerinia segala informasi dan luar terutama tentang cara

pengasuhan anak yang iaik, bagaimana menjaga keseb tan anaknya,

pendidıkannya dan sebagainya.

c. Jumlah saudara

Jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan sosial

ekonominya cukup, akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan

kasih sayang yang diterima anak. Lebih-lebih kalau jarak anak terlalu

dekat. Sedangkan pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomı yang

kurang, jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan selain kurangnya

kasih sayang dan perhatian pada anak, juga kebutuhan primer seperti

makanan, sandang dan perumahan pun tidak terpenuhi. Oleh karena itu

Keluarga Berencana tetap diperlukan.

d. Jenis kelamin dalam keluarga

Pada masyarakat tradisional, wanita mempunyai status yang lebih

rendah dibandingkan laki-laki, sehingga angka kematian bayi dan

malnutrisi masih tinggi pada wanita. Demikian pula dengan pendidikan,

masıh banyak ditemukan wanita yang buta huruf.

e. Stabilitas rumah tangga

Stabilitas dan keharmonisan rumah tangga mempengaruhi tumbuh

kembang anak. Tumbuh kembang anak akan berbeda pada keluarga yang

harmonis, dibandingkan dengan mereka yang kurang harmonis.

f. Kepribadian ayah/ibu
85

Kepribadian ayah dan ibu yang terbuka tentu pengarufnya berbeda

terhadap tumbuh kembang anak, bila dibandingkan dengan mereka yang

kepribadiannya tertutup.

g. Adat-istiadat, norma-norma, tabu-tabu

Adat-istiadat yang berlaku di aap daerah akan berpengarah terhadap

tumbuh kembang anak. Misalnya di Bali karena seringnya upacara agama

yang diadakan oleh suatu keluarga, dimana harus disediakan berbagai

makanan dan buah-buahan, maka sangat jarang terdapat anak yang gizi

buruk karena makanan mau pun buah-buahan tersebut akan dimakan

bersama setelah selesai upacara. Demikian pula dengan norma-norma

maupun tabu-tabu yang berlaku đi masyarakat, berpengaruh pula terhadap

tumbuh kembang anak.

h. Agama

Pengajaran agama harus sudah ditanamkan pada anak-anak sedini

mungkn karena dengan memahami agama akan menuntun umatnya untuk

bertuat kebaikan dan kebajikan.

i. Urbanisasi

Salah satu dampak dari urbanisasi adalah kemiskinan dengan segala

permasalahannya.

j. Kehidupan politik dalam masyarakat yang mempengaruhi prioritas

kepentingan anak, anggaran, dan lain-lain.


86

2.5 Konsep Perkembangan Anak

2.5.1 Pengertian Perkembangan Anak

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi

tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai

hasil dari proses pematangan. (Adriana,2011)

Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill)

dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan

dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut

adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan

sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat

memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan

tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. (Soetjiningsih,

dkk.,2012)

2.5.2 Perkembangan Fisik Motorik

Walaupun tiap anak memunyai perbedaan dalam menjalani masa tumbuh

dan kembangnya tetapi mereka memunyai pola yang menganut asas "kurva

normal". Rata-rata anak yang berada di area tengah mewakili kondisi normal yang

diharapkan. Kondisi apa saja yang masuk dalam kategori normal sesuai dengan

usia anak?

Ciri-ciri perkembangan fisik-motorik anak usia 0-4 bulan adalah sebagai

berikut:

a. Kepala dan lingkar dada hampir sama dengan bagian perut.

b. Lingkar kepala meningkat sekitar 2 cm per bulan sampai dua bulan,

kemudian meningkat 1,5 cm per bulan sampai empat bulan.


87

Meningkatkanya ukuran lingkar kepala merupakan indikasi penting dari

pertumbuhan otaknya.

c. Bernapas menggunakan otot perut.

d. Ubun-ubun (fontanelle) masih berdenyut

e. Kulit masih sensitif dan mudah teriritasi.

f. Gusi berwarna merah.

g. Mata mulai bergerak bersama-sama secara serempak (penglihatan

binokular).

h. Keterampilan motorik kasar: tangan dan kaki bergerak aktif, mengangkat

kepala ketika tengkurap, kepala tegak ketika didudukkan.

i. Keterampilan motorik halus: kepala menoleh ke kanan dan kiri,

memegang mainan.

j. Kepala dan dada lingkar pada dasarnya sama.

k. Lingkar kepala meningkat sekitar 1 cm per bulan sampai enam sampai

tujuh bulan, kemudian 0,5 cm per bulan, lingkar kepala harus terus

meningkat terus, menunjukkan pertumbuhan otak yang sedang

berlangsung sehat.

l. Ubun-ubun menutup sebagian atau tertutup sepenuhnya.

m. Bernapas dengan perut, laju respirasi tergantung pada aktivitas, tingkat

dan pola bervariasi.

n. Gigi mungkin mulai muncul, dengan gigi seri atas dan bawah yang datang

pertama.

o. Gusi bisa menjadi merah dan bengkak, disertai dengan peningkatan air

liur, mengunyah, menggigit, dan mengucapkan benda.


88

p. Baby fat (lemak gulungan) muncul di paha, lengan atas, dan leher.

q. Warna mata menuju ke kondisi yang permanen.

r. Keterampilan motorik kasar: tengkurap dan terlentang sendiri, merangkak,

duduk tanpa berpegangan.

s. Keterampilan motorik halus: meraih dan menggapai, mengambil sesuatu

dengan tangan kanan dan kiri.

Ciri-ciri perkembangan fisik motorik anak usia 8-12 bulan adalah sebagai

berikut:

a. Lingkar kepala dan lingkar dada tetap sama.

b. Ubun-ubun mulai menutup.

c. Terus menggunakan otot perut untuk bernapas.

d. Gigi muncul lebih banyak, seringkali di urutan dua gigi seri bawah

kemudian dua gigi seri atas diikuti oleh empat gigi seri dan dua geraham

tetapi sebagian bayi mungkin belum mengalaminya.

e. Baby fat atau timbunan lemak terus muncul di paha, lengan atas, dan leher.

f. Timbunan lemak di paha, lengan atas, dan leher.

g. Kaki tampak seperti lengkungan.

h. Keterampilan motorik kasar: berdiri dengan berpegangan.

i. Keterampilan motorik halus: menjimpit, memasukkan mainan ke dalam

cangkir.

Ciri-ciri perkembangan fisik-motorik anak usia 12-24 bulan adalah sebagai

berikut:

a. Berat sekarang sekitar tiga kali berat lahir anak.

b. Tingkat pertumbuhan melambat.


89

c. Ukuran kepala meningkat perlahan-lahan, turnbuh sekitar 1,3 cm setiap

enam bulan.

d. Ubun-ubun menutup atau tertutup sepenuhnya, biasanya pada usia 18

bulan.

e. Lingkar dada lebih besar dari lingkar kepala.

f. Balita akan mulai kehilangan "baby fat" setelah ia mulai berjalan.

g. Perubahan bentuk tubuh, penampilannya seperti anak-anak.

h. Keterampilan motorik kasar: berdiri tanpa berpegangan, berjalan, lari, naik

tangga, minum sendiri dari gelas tanpa turmpah.

i. Keterampilan motorik halus: mencoret-coret, menumpuk dua mainan.

Ciri-ciri perkembangan fisik-motorik anak usia dua tahun adalah sebagai

berikut:

a. Postur lebih tegak, perut masih besar dan menonjol.

b. Suhu tubuh menyesuaikan dengan aktivitas, kondisi emosional, dan

lingkungan.

c. Perkembangan otak mencapai sekitar 80 persen dari ukuran dewasa.

d. 16 gigi bayi hampir selesai tumbuh.

e. Keterampilan motorik kasar: menendang bola, melompat, berdiri dengan

satu kaki.

f. Motorik halus: menumpuk empat mainan.

Ciri-ciri perkembangan fisik-motorik anak usia tiga tahun adalah sebagai

berikut:

a. Pertumbuhan stabil meskipun lebih lambat dibandingkan dalam dua tahun

pertama.
90

b. Pertumbuhan kaki lebih cepat dari pada lengan.

c. Lingkar kepala dan dada sama, ukuran kepala proporsional.

d. Kemontokan bayi menghilang dan leher terlihat lebih jenjang.

e. Postur lebih tegak, perut menonjol lagi.

f. Bisa melompat dari langkah rendah.

g. Bisa berjalan-jalan berjinjit.

h. Keterampilan motorik kasar: naik sepeda roda tiga, melepas pakaiannya

sendiri.

i. Keterampilan motorik halus: menggambar garis tegak, menggambar

lingkaran.

Ciri-ciri perkembangan fisik-motorik anak usia empat tahun adalah

sebagai berikut:

a. Lingkar kepala biasanya tidak diukur setelah usia tiga tahun.

b. Perkembangan lain: anak mengetahui instruksi yang diberikan kepadanya.

c. Keterampilan motorik halus: bisa menggambar manusia secara lengkap

(kepala, badan, kaki, tangan), bisa menulis sesuatu (sudah bisa mengontrol

gerakan tangannya).

Ciri-ciri perkembangan fisik-motorik anak usia 5 tahun adalah sebagai

berikut:

a. Gigi susu mulai tanggal.

b. Bentuk tubuh seperti orang dewasa secara proporsional.

c. Penglihatan berkembang dengan baik.


91

2.6 Konsep Asuhan Keperawatan Demam Thypoid

2.6.1 Pengkajian

Menurut Suriadi, dkk, (2010) pengkajian pada pasien anak dapat

dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a) Riwayat keperawatan

b) Kaji adanya gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh terutama pada

malam hari, nyeri kepala, lidah kotor, tidak napsu makan, epitaksis,

penurunan kesadaran.

Menurut Firdaus (2012) pengkajian dilakukan dengan cara:

Kaji adanya gejala dan tanda meningkatnya suhu tubuh terutama pada

malam hari, nyeri kepala, lidah kotor, tidak napsu makan, epistaksis, penurunan

kesadaran.

Menurut Marni (2016) pengkajian dapat dilakukan dengan cara:

1) Kaji keluhan pasien: apakah pasien mengeluh lemas, tidak nafsu

makan, tidak bergairah untuk beraktivitas, dan sebagainya.

2) Kaji riwayat demam: apakah pasien mengalami demam pada sore dan

malam hari. Suhu tubuh pasien turun pada pagi hari selama kurang

lebih 3 minggu, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor, berwarna

putih ditengah, serta kemerahan ditepi dan ujung lidah (lidah tifoid).

3) Kaji riwayat penyakit sekarang: Sejak kapan mulai demam, mulai

merasakan tidak selera makan, mual, muntah lemas; apakah terdapat

pembesaran hati dan limpa; apakah terdapat gangguan kesadaran;

apakah terdapat komplikasi misalnya perdarahan, perforasi, peritonitis,

dan sebagainya.
92

4) Kaji riwayat penyakit dahulu: apakah sebelumnya pernah menderita

penyakit yang sama, apakah anggota keluarga pernah menderita

penyakit yang sama, apakah sebelumnya pasien pernah sakit, apakah

sampai dirawat dan sakit apa.

5) Lakukan pemeriksaan fisik: kesadaran pasien dan pemeriksaan dari

kepala sampai ujung kaki.

Pengkajian yang dapat dilakukan oleh perawat menurut Dewi

Wulandari dan Meira Erawati (2016) adalah

1) Identitas

Menurut Rampengen dan Laurentz diperkirakan insiden demam

typhoid pada tahun 1985 di Indonesia adalah sebagai berikut umur 0-4

tahun 25,32%, umur 5-9 tahun 35-59%, dan umur 10-14 tahun 39,09%.

2) Riwayat keperawatan

a. Keluhan utama

Demam lebih dari 1 minggu, gangguan kesadaran: apatis sampai

somnolen, dan gangguan saluran pencernaan seperti perut kembung atau

tegang dan nyeri pada perabaan, mulut bau, konstipasi atau diare, tinja

berdarah dengan atau tanpa lendir, anoreksia, dan muntah.

b. Riwayat kesehatan lingkungan

Demam thypoid saat ini terutama ditemukan di Negara sedang

berkembang dengan kepadatan penduduk tinggi serta kesehatan. Pengaruh

cuaca terutama pada musim hujan sedangkan dari kepustakaan barat

dilaporkan terutama pada musim parnas.

c. Imunisasi
93

Pada thypoid congenital dapat lahir hidup sampai beberapa hari

dengan gejala tidak khas serta menyerupai sepsis neonatorum.

d. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.

e. Nutrisi

Gizi buruk atau meteorismus.

3) Pemeriksaan fisik

a. Sistem kardiovaskuler.

Takikardi, hipotensi, dan syok jika perdarahan, infeksi sekunder

atau septikemia.

b. Sistem pernapasan.

Batuk non produktif, sesak napas.

c. Sistem pencernaan.

Umumnya konstipasi daripada diare, perut tegang, pembesaran

limpa, dan hati, nyeri perut perabaan, bising usus melemah atau hilang,

muntah, lidah tifoid dengan ujung dan tepi kemerahan dan tremor, mulut

bau, bibir kering, dan pecah-pecah.

d. Sistem genitourinarius

Distensi kandung kemih, retensi urine.

e. Sisiem saraf

Demam, nyeri kepala, kesadaran menurun: delirium hingga stupor,

gangguan kepribadian, katatonia, aphasia, kejang.

f. Sistem lokomotor/musculoskeletal

Nyeri sendi.
94

g. Sistem endokrin

Tidak ada kelainan.

h. Sistem integument

Rose spot di mana hilang dengan tekanan, ditemukan pada dada

dan perut, turgor kulit menurun, membran mukosa kering.

i. Sistem pendengaran

Tuli ringan atau otitis media.

j. Sistem penciuman.

4) Pemeriksaan diagnostik dan hasil:

a. Jumlah leukosit normal/leukopenia/leukositosis.

b. Anemia ringan, LED meningkat, SGOT, SGPT, dan fosfat alkali

meningkat.

c. Minggu pertama biakan darah S.Typhi positif, dalam minggu

berikutnya menurun.

d. Biakan tinja positif dalam minggu kedua dan ketiga.

e. Kenaikan titer reaksi widal 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang

memastikan diagnosis. Pada reaksi widal titer aglutinin O dan H

meningkat sejak minggu ke dua. Titer reaksi widal di atas 1: 200

menyokong diagnosis.

2.6.2 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan

Menurut Firdaus (2012) Diagnosa keperawatan yang sering timbul yaitu:

a.Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi:

1) Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang hipertermia.


95

2) Observasi suhu, nadi, napas, tekanan darah, pernapasan.

3) Beri minum yang cukup.

4) Berikan kompres air hangat.

5) Pakaian (Baju) yang tipis dan menyerap keringat.

6) Kolaborasi pemberian obat antipiretik.

7) Pemberian cairan parenteral (IV) yang adekuat.

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

tidak nafsu makan, mual, dan kembung:

1) Menilai status nutrisi.

2) Izinkan untuk makan makanan yang dapat ditoleransi,

direncanakan untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera

makan meningkat.

3) Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk

meningkatkan kualitas intake nutrisi.

4) Menganjurkan untuk memberikan makanan dengan teknik 5kecil

tetapi sering.

5) Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama, dan

dengan skala yang sama.

6) Mempertahankan kebersihan mulut.

7) Menjelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk

menyembuhkan penyakit.

8) Kolaborasi untuk pemberian makanan melalui parenteral jika

pemberian makanan melalui oral tidak memenuhi kebutuhan gizi

anak.
96

c. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya

intake cairan dan peningkatan suhu tubuh:

1) Mengobservasi tanda-tanda vital (suhu tubuh) palingsedikit setiap 4

jam.

2) Monitor tanda-tanda meningkatnya kekurangan cairan: turgor tidak

elastis, ubun-ubun cekung, produksi urin menurun, membrane

mukosa kering, bibir pecah-pecah.

3) Mengobservasi dan mencatat berat badan pada waktu yang sama

dan dengan skala yang sama.

4) Memonitor pemberian cairan melalui intravena setiap jam.

5) Mengurangi kehilangan cairan yang tidak telihat (Insensible Water

Loss/IWL) dengan memberikan kompres dingin atau dengan Tepid

Sponge.

6) Memberikan antibiotic sesuai program.

Menurut Ridha (2014) Diagnosa yang sering timbul adalah

1. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi Salmonella thyposa

Definisi: suhu tubuh naik diatas rentang normal

Batasan Karakteristik:

a) Kenaikan suhu tubuh diatas rentang normal.

b) Serangan atas konvulsi (kejang)

c) Kulit kemerahan

d) Pertambahan RR

e) Takikardia

f) Saat disentuh tangan terasa hangat


97

Faktor-faktor yang berhubungan:

a) Penyakit/trauma

b) Peningkatan metabolisme

c) Aktivitas yang berlebihan

d) Pengaruh medikasi/anastesi

e) Ketidakmampuan/penurunan kemampuan untuk berkeringat

f) Terpapar dilingkungan panas

g) Dehidrasi

h) Pakaian yang tidak tepat

NOC: Termoregulation

Kriteria hasil:

a) Suhu tubuh dalam rentang normal

b) Nadi dan RR dalam rentang normal

c) Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing merasa

nyaman.

NIC

Fever treatment

a) Monitor suhu sesering mungkin

b) Monitor warma dan suhu kulit

c) Monitor tekanan darah, nadi dan RR

d) Monitor penurunan tingkat kesadaran

e) Monitor WBC, Hb, dan Ht

f) Monitor intake dan output

g) Kolaborasi pemberian anti piretik


98

h) Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam

i) Selimuti pasien

j) Lakukan tapid sponge

k) Kolaboraikan dengan dokter mengenai pemberian cairan intravena

sesuai program

l) Kompres pasien pada lipat paha dan aksila.

m) Tingkatkan sirkulasi udara

n) Berikan pengobatan untuk mencegah terjadinya menggigil

Temperature regulation

a) Monitor suhu minimal tiap 2 jam

b) Rencanakan monitoring suhu secara kontinue

c) Monitor TD, nadi, dan RR

d) Monitor wama dan suhu kulit

e) Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi

f) Tingkatkan intake cairan dan nutrisi

g) Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh

h) Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas

i) Diskusikan tentang pentingnya pengaturan suhu dan kemungkinan

efek negatif dari kedinginan

j) Beritahukan tentang indikasi terjadinya keletihan dan penanganan

emergency yang diperlukan

k) Ajarkan indikasi dari hipotermi dan penanganan yang diperlukan

l) Berikan anti piretik jika perlu

Vital sign Monitoring


99

a) Monitor TD, nadi, suhu, dan HR

b) Catat adanya fluktuasi tekanan darah

c) Monitor VS saat pasien berbaring duduk, atau berdiri

d) Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan

e) Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas

f) Monitor kualitas dari nadi

g) Monitor frekuensi dan irama pernapasan

h) Monitor suara paru

i) Monitor pola penapasan abnormal

j) Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit

k) Monitor sianosis perifer

l) Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar,

bradikardi, peningkatan sistolik)

m) Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign

2. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang

kurang, mual, muntah/pengeluaran yang berlebihan, diare, panas tubuh.

Definisi Penurunan cairan intravaskuler, interstisial, dan/atau

intraseluler. Ini mengarah ke dehidrasi, kehilangan cairan dengan

pengeluaran sodium.

Batasan Karakteristik:

a) Kelemahan

b) Haus

c) Penurunan turgor kulit/lidah

d) Membran mukosa/kulit kering


100

e) Peningkatan denyut nadi penurunan tekanan darah, penurunan

volume/tekanan nadi

f) Pengisian vena menurun

g) Perubahan status mental

h) Konsentrasi urine meningkat

i) Temperatur tubuh meningkat

j) Hematokrit meninggi

k) Kehilangan berat badan seketika (kecuali pada third spacing)

Faktor-faktor yang berhubungan:

a) Kehilangan volume cairan secara aktif

b) Kegagalan mekanisme pengaturan

NOC:

a) Fluid balance

b) Hydration

c) Nutritional Status: Food and Fluid Intake

Kriteria Hasil:

a) Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine

normal, HT normal

b) Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal

c) Tidak ada tanda tanda dehidrasi. Elastisitas turgor kulit baik,

membran mukosa lembah, tidak ada rasa haus yang berlebihan

NIC:

Fluid management
101

a) Timbang popok/pembalut jika diperlukan

b) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat

c) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat,

tekanan darah ortostatik), jika diperlukan

d) Monitor vital sign

e) Monitor masukan makanan/cairan dan hitung intake kalori harian

f) Lakukan terapi IV

g) Monitor status nutrisi

h) Berikan cairan

i) Berikan cairan IV pada suhu ruangan

j) Dorong masukan oral

k) Berikan penggantian nesogatrik sesuai output

l) Dorong keluarga untuk membantu pasien

m) Tawarkan snack (jus buah, buah segar)

n) Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul memburuk

o) Atur kemungkinan tranfusi

p) Persiapan untuk tranfusi

3. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan intake kurang akibat mual, muntah, anoreksia,

atau output yang berlebihan akibat diare.

Definisi: Intake nutrisi tidak cukup untuk keperluan metabolisme tubuh.

Batasan karakteristik:

a) Berat badan 20 % atau lebih di bawah ideal


102

b) Dilaporkan adanya intake makanan yang kurang dari RDA

(Recomended Daily Allowance)

c) Membran mukosa dan konjungtiva pucat

d) Kelemahan otot yang digunakan untuk menelan/mengunyah

e) Luka, inflamasi pada rongga mulut

f) Mudah merasa kenyang, sesaat setelah mengunyah makanan

g) Dilaporkan atau fakta adanya kekurangan makanan

h) Dilaporkan adanya perubahan sensasi rasa

i) Perasaan ketidakmampuan untuk mengunyah makanan

j) Miskonsepsi

k) Kehilangan BB dengan makanan cukup

l) Keengganan untuk makan

m) Kram pada abdomen

n) Tonus otot jelek

o) Nyeri abdominal dengan atau tanpa patologi

p) Kurang berminat terhadap makanan

q) Pembuluh darah kapiler mulai rapuh

r) Diare dan atau steatorrhea

s) Kehilangan rambut yang cukup banyak (rontok)

t) Suara usus hiperaktif

u) Kurangnya informasi, misinformasi

Faktor-faktor yang berhubungan:


103

Ketidakmampuan pemasukan atau mencerna makanan atau

mengabsorpsi zat-zat gizi berhubungan dengan faktor biologis,

psikologis atau ekonomi.

NOC:

a) Nutritional Status: food and Fluid Intake

Kriteria Hasil:

a) Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan

b) Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan

c) Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi

d) Tidak ada tanda tanda malnutrisi

e) Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti

NIC:

Nutrition Management

a) Kaji adanya alergi makanan

b) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan

nutrisi yang dibutuhkan pasien.

c) Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe.

d) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C.

e) Berikan substansi gula.

f) Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk

mencegah konstipasi.

g) Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan ahli

gizi)

h) Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.


104

i) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori

j) Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi

k) Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan

Nutrition Monitoring

a) BB pasien dalam batas normal

b) Monitor adanya penurunan berat badan

c) Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan

d) Monitor interaksi anak atau orangtua selama makan

e) Monitor lingkungan selama makan

f) Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan

g) Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi

h) Monitor turgor kulit

i) Monitor kekeringan, rambut kusam, dan mudah patah.

j) Monitor mual dan muntah

k) Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht

l) Monitor makanan kesukaan

m) Monitor pertumbuhan dan perkembangan

n) Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva.

o) Monitor kalori dan intake nutrisi.

p) Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas

oral.

q) Catat jika lidah berwarna magenta, scarlet

4. Gangguan pola defeksi: diare berhubungan dengan proses peradangan

pada dinding usus halus.


105

NOC.:

a) Bowel elimination

b) Fluid Balance

c) Hydration

d) Electrolyte and Acid Bace Balance

Kriteria Hasil:

a) Feses berbentuk, BAB sehari sekali- tiga hari

b) Menjaga daerah sekitar rectal dari iritasi

c) Tidak mengalami diare

d) Menjelaskan penyebab diare dan rasional tindakan

e) Mempertahankan turgor kulit

NIC:

Diarhea Management

a) Evaluasi efek samping pengobatan terhadap gastrointestinal

b) Ajarkan pasien untuk menggunakan obat antidiare.

c) Instruksikan pasien/keluarga untuk mencatat warna, jumlah,

frekuenai dan konsistensi dari feses.

d) Evaluasi intake makanan yang masuk.

e) Identifikasi factor penyebab dari diare

f) Monitor tanda dan gejala diare.

g) Observasi turgor kulit secara rutin.

h) Ukur diare/keluaran BAB.

i) Hubungi dokter jika ada kenanikan bising usus.


106

j) Instruksikan pasien untukmakan rendah serat, tinggi protein dan

tinggi kalori jika memungkinkan.

k) Instruksikan untuk menghindari laksative.

l) Ajarkan tehnik menurunkan stress.

m) Monitor persiapan makanan yang aman

5. Resiko tinggi trauma fisik berhubungan dengan gangguan mental,

delirium/psikosis.

NOC

a) Knowledge: personel safety

b) Safety behavior: falls Prevention

c) Safety Behavior: Falls Occurance

d) Safety behavior: Physical injury

e) Environmental Management safety

f) Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien

g) Identifikasi kebutuhan keamanan pasien, sesuai dengan kondisi fisik

dan fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu pasien.

h) Menghindarkan lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan

perabotan)

i) Memasang side rail tempat tidur.

j) Menyediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih.

k) Menempatkan saklar lampu ditempat yang mudah dijangkau pasien.

l) Membatasi pengunjung

m) Memberikan penerangan yang cukup

n) Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien.


107

o) Mengontrol lingkungan dari kebisingan.

p) Memindahkan barang-barang yang dapat membahayakan.

q) Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung

adanya perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit

6. Perubahan pola defeksi: konstipasi berhubungan dengan proses

peradangan pada dinding usus halus.

NOC:

a) Bowel elimination

b) Hydration

Kriteria Hasil:

a) Mempertahankan bentuk feses lunak setiap 1-3 hari

b) Bebas dari ketiaaknyamanan dan konstipasi

c) Mengidentifikasi indicator untuk mencegah konstipasi

d) Constipation/ Impaction Management

e) Monitor tanda dan gejala konstipasi

f) Monior bising usus

g) Monitor feses: frekuensi, konsistensi dan volume

h) Konsultasi dengan dokter tentang penurunan dan peningkatan bising

usus.

i) Mitor tanda dan gejala ruptur usus/peritonitis

j) Jelaskan etiologi dan rasionalisasi tindakan terhadap pasien

k) Identifikasi faktor penyebab dan kontribusi konstipasi

l) Dukung intake cairan

m) Kolaborasikan pemberian laksatif


108

Tabel 2.9 Diagnosa Keperawatan Hipertermi (Marni,2016)

Diagnosa 1: Hipertermi yang berhubungan dengan proses infeksi


Kriteria Hasil: Suhu tubuh normal 36-37,5℃ dengan tubuh tidak teraba panas dan haus
berkurang.
Intervensi Rasional
a) Kaji keluhan pasien, rasa haus Informasi ini menentukan data dasar
kondisi pasien dan memandu intervensi
keperawatan.
b) Kaji pengetahuan dan keluarga tentang Pengkajian semacam ini berfungsi sebagai
hipertermi dasar untuk memulai penyuluhan.
c) Observasi suhu tubuh, pernapasan, Peningkatan denyut nadi, penurunan
denyut nadi dan tekanan darah setiap 4 tekanan vena sentral dan penurunan
jam. tekanan darah dapat mengindikasikan
hipovolemi yang mengarah pada
penurunan perfusi jaringan. Peningkatan
frekuensi pernapasan berkompensasi pada
hipoksia jaringan.
d) Kompres dengan air dingin biasa Kompres air biasa akan mendinginkan
tanpa es (suhu ruang) permukaan tubuh dengan cara konduksi
e) Berikan cairan yang adekuat. Jika Berguna untuk menghindari kehilangan
perlu, tambahkan cairan intravena cairan natrium klorida dan kalium yang
berlebihan.
f) Lakukan water tepid sponge (seka) Tindakan keperawatan yang bertujuan
untuk menurunkan suhu tubuh pasien
g) Kenakan anak pakian tipis dan Tindakan tersebut meningkatkan
menyerap keringat kenyamanan dan menurunkan suhu tubuh
pasien.
h) Berikan antipiretik jika perlu Antipiretik (misalnya asetaminofen) efektif
dalam menurunkan demam.

2.6.3 Evaluasi
Suhu tubuh dalam rentang normal, nadi dan RR dalam rentang normal, dan
tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing merasa nyaman.
(Ridha,2016)
2.7 Tindakan Kompres Hangat
2.7.1 Pengertian

Memberikan rasa hangat pada klien dengan menggunakan cairan atau

alat yang menimbulkan hangat pada bagian tubuh yang memerlukannya. Kompres
109

hangat adalah suatu metode dalam penggunaan suhu hangat setempat yang dapat

menimbulkan beberapa efek fisiologis. Efek terapeutik pemberian kompres hangat

di antaranya mengurangi nyeri, meningkatkan aliran darah, mengurangi kejang

otot, dan menurunkan kekakuan tulang sendi. (Mubarak, dkk, 2015)

2.7.2 Tujuan Terapi Kompres hangat

1. Memperlancar sirkulasi darah.

2. Mengurangi rasa sakit.

3. Merangsang peristaltik usus.

4. Memperlancar pengeluaran getah radang (eksudat).

5. Memberi rasa nyaman/hangat dan tenang.

2.7.3 Sasaran Tindakan Kompres Hangat

1. Klien dengan perut kembung.

2. Klien yang kedinginan, misalnya, akibat narkose, iklim, dan sebagainya.

3. Klien yang mengalami radang, misalnya radang persendian, adneksitis,

dan lain-lain.

4. Kekejangan otot (spasmus).

5. Adanya abses (bengkak) akibat suntikan.

6. Tubuh dengan abses, hematom.

2.7.4 Penggunaan Kompres Hangat

Kompres hangat dapat dilakukan pada saat terjadinya:

1. Untuk demam

Jadi penanganan demam bukanlah dengan dikompres air dingin seperti yang biasa

dilakukan dahulu kala karena orang demam jika dikompres dingin akan lebih
110

demam lagi saat kompres dihentikan. Oleh karena pada saat dikompres dingin,

pusat pengatur suhu menerima sinyal bahwa suhu tubuh sedang dingin maka

tubuh harus segera dihangatkan. Jadi, justru akan bertentangan dengan hasil yang

diharapkan. Lain halnya bila dilakukan kompres hangat. Pusat suhu akan

menerima informasi bahwa suhu tubuh sedang hangat, maka suhu tubuh harus

segera diturunkan. Inilah pengaruh yang diharapkan. Apalagi ketika demam

memang merasa kedinginan meskipun tubuh sebenarnya panas. Kompres hangat

membantu mengurangi rasa dingin dan menjadikan tubuh terasa lebih nyaman.

2. Untuk cedera lama/kondisi krónis bisa membantu membuat relaks,

mengurangi tekanan pada jaringan, serta merangsang aliran darah ke

daerah tersebut.

3. Untuk pengobatan nyeri dan merelaksasi otot-otot yang tegang tetapi tidak

boleh digunakan untuk yang cedera akut atau ketika masih ada bengkak,

karena panas dapat memperparah bengkak yang sudah ada.

4. Untuk mereka yang perutnya kembung dan yang mempunyai sakit radang

sendi.

2.7.5 Cara Menggunakan Kompres Hangat

1. Tempelkan ke bagian tubuh yang nyeri dengan kantong karet/botol yang

berisi air hangat atau handuk yang telah dicelupkan ke dalam air hangat

dengan temperatur 40-50°C atau bila sulit mengukurnya, coba pada dahi

terlebih dahulu. Jangan sampai terlalu panas atau sesuaikan panasnya

dengan kenyamanan yang akan dikompres.

2. Peras kain yang digunakan untuk mengompres, jangan terlalu basah.

3. Lama kompres sekitar 15-20 menit dan dapat diperpanjang.


111

4. Sebaiknya diikuti dengan latihan pergerakan atau pemijatan.

5. Dampak fisiologis dari kompres hangat adalah pelunakan jaringan

fibrosa, membuat otot tubuh lebih relaks, menurunkan atau

menghilangkan rasa nyeri, dan memperlancar aliran darah.

2.7.6 Metode Kompres Panas


Metode yang dapat dilakukan oleh perawat secara mandiri yaitu:

1. Kompres panas basah

Merupakan tindakan keperawatan dengan memberikan kompres panas

basah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman. Tindakan ini

dapat dilakukan pada klien y[ang mengalami nyeri, risiko terjadi infeksi luka,

dan kerusakan fisik (mobilitas) tetapi kompres panas basah digunakan pada

permukaan jaringan yang tertutup (bengkak) tidak memerlukan prinsip steril.

Tujuan dari pemberian kompres panas basah antara lain untuk memperbaiki

sirkulasi, menghilangkan edema, meningkatkan drainase pus, dan mengurangi

rasa nyeri.

Sementara itu, alat dan bahan yang perlu disiapkan adalah sebagai

berikut.

a) Kom bertutup steril berisi cairan hangat sesuai kebutuhan (40°-46°C).

b) Baki steril berisi pinset dua buah, kasa beberapa potongan dengan

ukuran yang sesuai.

c) Perban kasa atau kain segitiga.

d) Plester dan gunting plester.

e) Sarung tangan bersih di tempatnya.

f) Kapas dalam botol kecil.


112

g) Bengkok dua (satu kosong, satu berisi lisol 3%)

Hal yang harus diperhatikan dalam pemberian kompres panas

basah di antaranya sebagai berikut.

a) Kain kasa harus diganti pada waktunya dan suhu kompres

dipertahankan tetap hangat.

b) Cairan jangan terlalu panas, hindarkan kulit terbakar (suhu cairan 40°-

46°C).

c) Kain kompres harus lebih besar dari bagian yang akan dikompres.

d) Untuk kompres hangat basah pada luka terbuka, peralatan harus steril.

e) Untuk permukaan tertutup (bengkak, memar), peralatan harus bersih

(steril).

Prosedur pelaksanaan kompres panas basah adalah sebagai berikut.

a) Berikan penjelasan kepada klien tentang perasat yang akan dilakukan.

b) Bawa alat-alat ke dekat klien.

c) Pasang sampiran, jika perlu.

d) Bantu klien pada posisi yang nyaman dan tepat.

e) Cuci tangan.

f) Pasang pengalas di bawah area yang akan diberi kompres.

g) Pakai sarung tangan.

h) Buka balutan perban (jika diperban) dan buang bekas balutan ke

dalam bengkok kosong.

i) Ambil beberapa potong kasa dengan pinset dari baki steril dan

masukkan ke dalam kom berisi cairan hangat untuk mengompres.


113

j) Ambil pinset satu lagi untuk memegang dan memeras kasa kompres

hangat dan kom kompresan hangat agar kasa tidak terlalu basah.

k) Selanjutnya ambil kasa dengan cara direnggangkan/dibentangkan dan

letakkan di atas area yang membutuhkan kompres hangat.

l) Perhatikan respons klien, adakah rasa tidak nyaman dan dalam

beberapa detik setelah kasa hangat menempel kulit, angkat tepi kasa

untuk mengkaji apakah terdapat kemerahan pada kulit yang

dikompres.

m) Jika klien menoleransi kompres hangat tersebut, tutup dengan kasa

pres hangat basah pada area yang memerlukan kompres, lalu lapisi

dengan kasa kering dan selanjutnya balut dengan perban kasa atau

kain segitiga serta fiksasi dengan plester atau ikat.

n) Lakukan perasat ini selama 15-30 menit atau program terapi dan

antibalutan. Kompres hangat setiap lima menit sekali. Masukkan ke

dalam tempatnya.

o) Lepas sarung tangan dan masukkan ke dalam tempatnya.

p) Atur posisi klien kembali nyaman.

q) Bereskan dan bersihkan alat-alat untuk disimpan kembali.

r) Cuci tangan.

s) Dokumentasikan.

2. Kompres panas kering

Kompres panas kering dapat menggunakan beberapa alat, di antaranya

sebagai berikut,

a) Buli-buli panas (WWZ)


114

b) Bantal listrik

c) Busur lampu/cahaya, solux, Fohn (tidak dibahas)

Tujuan dari penggunaan kompres panas kering dengan

menggunakan buli-buli adalah untuk mengurangi/membebaskan rasa nyeri,

spasmus otot, peradangan atau kongesti, dan memberikan rasa hangat.

Kompres ini diberikan kepada klien yang kedinginan dan persiapan aether

bed. Selain itu, hal yang harus diperhatikan dalam pemberian kompres ini

adalah sebagai berikut.

a) Buli-buli panas tidak boleh diberikan pada klien perdarahan.

b) Jika buli-buli panas dipasang pada bagian perut, tutup buli-buli

mengarah ke atas atau ke samping.

c) Jika dipasang pada bagian kaki, tutup buli-buli mengarah ke bawah atau

ke samping.

d) Buli-buli diperiksa kembali, harus ada cincin karet pada tutupnya.

Peralatan yang diperlukan untuk melakukan kompres panas kering

dengan buli- buli adalah buli-buli panas dan sarungnya, termos berisi air

panas, termometer air panas (jika perlu), dan lap kerja. Sementara itu,

prosedur pelaksanaan adalah sebagai berikut.

a) Berikan penjelasan kepada klien tentang perasat yang akan diberikan.

b) Siapkan peralatan.

c) Cuci tangan.

d) Lakukan pemanasan pendahuluan pada buli-buli panas dengan cara

mengisi buli-buli dengan air panas, mengencangkan penutupnya,


115

kemudian membalik posisi buli-buli berulang kali lalu dikosongkan

isinya.

e) Siapkan dan ukur suhu air yang diinginkan (50°-60° C).

f) Isi buli-buli dengan air panas sebanyak setengah bagian, lalu keluarkan

udaranya dengan cara:

1) Meletakkan/menidurkan buli-buli di atas meja/tempat datar.

2) Melipat bagian atas buli sampai kelihatan permukaan air di leher

buli-buli,

3) Menutup buli-buli dengan benar/rapat.

g) Periksa buli-buli apakah bocor/tidak, lalu keringkan dengan lap kerja

dan masukkan dalam sarungnya.

h) Bawa buli-buli ke dekat klien.

i) Beri tahu klien.

j) Siapkan/atur posisi klien.

k) Letakkan/pasang buli-buli pada bagian/area yang memerlukannya.

l) Kaji secara teratur kondisi klien untuk mengetahui kelainan yang timbul

akibat pemberian kompres dengan buli-buli panas, misalnya

kemerahan, ketidaknyamanan kebocoran, dan sebagainya.

m) Ganti buli-buli panas setelah 20 menit dipasang dengan air panas

(sesuai kebutuhan).

n) Bereskan dan kembalikan peralatan bila perasat sudah selesai.

o) Cuci tangan.

p) Dokumentasikan.
116

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi

kasus adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan

suatu fase spesifik atau yang khas dari suatu keseluruhan personalitas. Subjek

penelitian dapat berupa individu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat. Pada

tahap ini peneliti menggunakan metode penelitian secara intensif misalnya satu

klien, keluarga. Penelitian studi kasus dibatasi oleh ruang dan waktu, serta kasus

yang dipelajari berupa peristiwa, aktivitas atau individu. Data penelitian diambil

dengan metode time series yaitu penelitian yang dilakukan selam 2 hari berturut-

turut pada masing-masing pasien dengan Penyakit Demam Thypoid.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Waktu Penelitian

Adapun pelaksanaan studi kasus dimulai saat pengumpulan judul pada

tanggal 8 November 2019 hingga pengesahan judul pada tanggal 15 November

2019. Setelah judul disahkan oleh pembimbing, bimbingan dimulai pada tanggal

18 November 2019 hingga 28 Februari 2020. Pada tanggal 2 hingga 6 Maret 2020

dilaksanakan pengumpulan berkas untuk persiapan sidang proposal. Pada tanggal

9 hingga 13 Maret 2020 dilaksanakan sidang proposal. Pada tanggal 16 hingga 20

Maret 2020 dilaksanakan revisi proposal dan pengumpulan berkas untuk

persiapan uji etik penelitian. Pada tanggal 30 Maret hingga 6 April 2020

dilaksanakan uji etik penelitian. Pada tanggal 5 April hingga 12 Juni 2020

dilaksanakan pengambilan data pasien dan pembahasan hasil studi kasus. Pada
117

tanggal 15 hingga 19 Juni 2020 dilaksanakan pengumpulan berkas ujian siding

KTI. Pada tanggal 29 Juni hingga 17 Juli 2020 dilaksanakan remedial dan revisi

ujian KTI. Pada tanggal 20 hingga 24 Juli 2020 dilaksanakan pengumpulan berkas

KTI. Pada tanggal 29 Juli 2020 dilaksanakan yudisium.

3.2.2 Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Gedung Duvall Lantai II Rumah Sakit Baptis

Kediri Jl. Brigjen Pol. I.B.H. Pranoto No. 1-7 Kediri. Studi kasus ini akan

dilaksanakan di Ruang Karunia di Rumah Sakit Baptis Kediri memiliki sumber

daya sebagai berikut:

1) Sumber Daya Manusia

Tabel 3.1 Jumlah dan Klasifikasi Perawat Di Gedung Duvall Lantai II Ruang
Karunia Rumah Sakit Baptis Kediri.
No. Ruangan Keterangan Tingkat Pendidikan
Perawat
DIII % Ners %
1 Ruang 18 5 28% 13 72%
Karunia
Sumber: Data jadwal dinas di Ruang Karunia bulan Januari 2020

Dari 18 perawat yang melayani di Ruang Karunia Rumah Sakit Baptis

Kediri, paling banyak di tingkat Ners sebanyak 13 perawat

2) Sarana dan Prasarana

Tabel 3.2 Kapasitas Tempat Tidur dan BOR Di Gedung Duvall Lantai II

Ruang Karunia Rumah Sakit Baptis Kediri.

No Ruangan Kapasitas BOR


Tempat Tidur
Oktober November Desember
1 Gedung Duvall II 36 41% 32% 50%
Ruang Karunia Rumah
Sakit Baptis Kediri
Sumber Data: Ruang Karunia Rs. Baptis Kediri pada bulan Januari 2020
118

3) Metode MAKP yang diterapkan

Ruang Karunia di Gedung Duvall lantai II Rumah Sakit Baptis Kediri

terbagi menjadi 2 Tim terdiri dari TIM 1 Dan TIM 2 Rincian sebagai berikut:

Tabel 3.3 Pembagian Tim dalam MAKP di Gedung Duvall Lantai II

Ruang Karunia Rumah Sakit Baptis Kediri

No. MAKP Jumlah


1 TIM 1 9
2 TIM 2 9
Total 18
Sumber Data: Rekam Medis pada Bulan Januari 2020

Pada tahun 2020 Model Asuhan Keperawatan Profesional (MAKP) yang

digunakan di Ruang Karunia Rumah Sakit Baptis Kediri yaitu model tim, dimana

kepala ruang dan wakil kepala ruang masuk dalam tim tersebut. Shift dinas yang

diberlakukan di Ruang Karunia Rumah Sakit Baptis Kediri adalah dinas pagi

(Pukul 07.00-14.00 WIB), dinas siang (Pukul 14.00-21.00 WIB), dinas malam

(Pukul 21.00-07.00 WIB).

4) Studi Kasus yang Pernah Dilakukan

Tabel 3.4 Penelitian yang Pernah Dilakukan di Gedung Duvall Lantai II

Ruang Karunia Rumah Sakit Baptis Kediri

No. Penelitian dan Judul Studi Kasus Hasil Studi Kasus


Tahun Penelitian
1 Sumarhaenis (2017) Asuhan Keperawatan Pada Terjadi kesenjangan antara
Anak dengan Demam teori dan fakta. Saat
Tifoid di Gedung Duvall pengkajian tidak
Lantai II Ruang Karunia didapatkan tanda dan
Rumah Sakit Baptis Kediri gejala hipertermi yang
terdapat pada teori.
119

3.3 Subjek Penelitian

Subjek penelitian pada studi kasus ini terdiri dari dua orang pasien anak

dengan Demam Thypoid. Kedua pasien menjadi subjek penelitian merupakan

pasien yang mengalami Demam Thypoid yang mengalami gangguan

termoregulasi. Kedua pasien tersebut untuk selanjutnya disebut dengan responden

I dan responden II.

3.4 Pengumpulan Data

1) Persiapan Pengumpulan Data

Persiapan pengumpulan data yang terdiri dari tahap permohonan

izin dari KEPK STIKES RS Baptis Kediri, Ketua STIKES RS Baptis

Kediri dan Direktur RS Baptis Kediri, kemudian melakukan penelitian

(studi kasus) sesuai dengan kasus yang diambil serta menetapkan kasus

yang akan digunakan sebagai subyek studi kasus yaitu Pasien Anak

dengan Demam Thypoid dalam Pemenuhan Masalah keperawatan

Kebutuhan Termoregulasi, kemudian peneliti melakukan pendekatan

pada responden dan menjelaskan tujuan pemberian asuhan keperawatan,

kerahasiaan responden dan meminta persetujuan melalui informed

consent.

2) Tahap Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan selama 2 hari (Time Series) di Rumah

Sakit Baptis Kediri. Pengumpulan data penelitian terdiri dari data umum

(data demografi Responden dan keluarga) dan pengumpulan data khusus

terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi,

dan evaluasi. Data pengkajian meliputi riwayat penyakit sekarang,


120

riwayat penyakit masa lalu, hasil pemeriksaan laboratorium, penunjang

lainnya dan pemeriksaan fisik. Diagnosa keperawatan meliputi penetapan

masalah (Problem), etiologi dan tanda gejala (Symptom). Data

pelaksanaan implementasi didokumentasikan sesuai jam pelaksanaan

dokumentasi dan dilakukan evaluasi pada setiap selesai tindakan. Data

perkembangan pasien dievaluasi setiap hari dan didokumentasikan dalam

catatan perkembangan.

a) Wawancara (indeepth interview)

Merupakan metode pengumpulan data dari sumber data primer

(data pasien) yaitu dengan indeepth interview yang dilakukan pada

pasien, perawat dan keluarga diawali dengan proses pengkajian,

implementasi sampai dengan evaluasi keperawatan. Adapun kisi-kisi

wawancara yang akan disampaikan dalam studi kasus pada Pasien Anak

dengan Demam Thypoid dengan diagnosa keperawatan Hipertermi,

tindakan yang dilakukan yaitu:

1) Hipertermi yang dialami oleh pasien berapa hari?

2) Seperti apa hipertermi yang dialami?

3) Kapan keluhan hipertermi muncul?

b) Observasi

Didapatkan dari sumber data primer yang dilakukan dengan cara

melakukan pengukuran dan pengamatan secara langsung kepada

pasien yang dapat berupa pemeriksaan fisik, serta mengobservasi

respon pada saat pasien diberikan tindakan keperawatan. Adapun


121

observasi pemeriksaan fisik secara fokus pada studi kasus ini

meliputi:

(1) Mengidentifikasi hipertermi.

(2) Pemeriksaan fisik apakah terdapat kemerahan ataupun tidak.

c) Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi yang akan dilakukan dalam studi kasus ini

adalah pengambilan data dengan sumber data sekunder. Adapun

sumber data sekunder untuk studi dokumentasi adalah catatan dokter,

catatan perawat, rekam medik berupa data demografi, data riwayat

penyakit masa lalu maupun hasil pemeriksaan penunjang sebelumnya.

Pada studi kasus ini dilakukan studi dokumentasi untuk

mengidentifikasi faktor pencetus, predisposisi, dan riwayat Demam

Thypoid. Adapun data yang dikumpulkan adalah sebagai berikut:

(1) Identitas Klien

(2) Bagaimana riwayat pengobatan pasien.

3.5 Uji Keabsahan Data

Uji keabsahan data dilakukan untuk menguji kebenaran data yang

dilakukan dengan menggunakan triangulasi dari tiga sumber data utama

yaitu pasien, perawat dan keluarga pasien yang berkaitan dengan masalah

keperawatan gangguan termoregulasi. Keabsahan data dapat diterima

dengan adanya kesesuaian antara data subyektif dan obyektif yang

diperoleh dari hasil wawancara, pengamatan dan pengukuran langsung

kepada responden dan keluarga serta dapat diperoleh pula dari hasil studi

dokumentasi berupa rekam medis.


122

Tabel 3.5 Uji Keabsahan Data Studi Kasus Asuhan Keperawatan pada Responden
dengan Demam Thypoid di ruang Karunia
Sumber data
No Jenis data Interpretasi
Pasien Perawat Keluarga
Masalah Keperawatan : Hipertermi
1 Data
subyektif

2 Data
obyektif
3.6 Analisa Data

Teknik analisa yang digunakan dengan cara menarasikan jawaban-jawaban

dari penilaian yang diperoleh dari hasil interpretasi wawancara mendalam,

observasi dan studi dokumentasi pada kedua responden penelitian. Teknik analisis

dilakukan dengan membandingkan data pada kedua responden dengan teori

keperawatan untuk menjadi dasar dalam memberikan rekomendasi dalam

pelaksanaan asuhan keperawatan yang komprehensif.

Adapun langkah analisa data adalah sebagai berikut:

1) Pengumpulan data dari hasil wawancara mendalam, observasi dan studi

dokumentasi. Hasil ditulis dalam bentuk catatan lapangan, kemudian

dikelompokkan sesuai dengan isi data.

2) Mereduksi data dengan membuat koping atau kategori yaitu penelitian

akan memilih data yang diperlukan dan menyalin data dari catatan

lapangan ke dalam tabel analisa data. Tahap ini diawali dengan

penelitian menetapkan koding/tema/topik yang telah dibuat.

Selanjutnya peneliti akan membandingkan yang ditetapkan

menganalisis kesenjangan yang muncul berdasarkan teori.


123

3) Penyajian data

Penyajian data pada penelitian akan dilakukan dengan tabel dan

teks naratif untuk mengemukakan hasil dan membantu pembaca lebih

mudah memahami hasil studi kasus ini.

4) Kesimpulan

Pembahasan hasil penelitian dilakukan untuk menganalisa antara

fakta, teori dan menyampaikan opini yang disusun sesuai tahapan

proses keperawatan. Diawali dari pengkajian, perumusan diagnose

keperawatan, perencanaan intervensi, implementasi tindakan dan

evaluasi
124

Tabel 3.6 Analisa Data Studi Kasus Asuhan Keperawatan pada Pasien Anak Demam Thypoid Rawat Inap Ruang Karunia Rumah Sakit

Baptis Kediri.

No Topik Data Teori Responden I Responden II Keterangan


1 Pengkajian
1) Etiologi Menurut Marni (2016) penyebab dari demam
thypoid yaitu:
Salmonella typhosa yang juga dikenal dengan
nama Salmonella typhi merupakan mikroorganisme
patogen yang berada di jaringan limfatik usus halus,
hati, limpa dan aliran darah yang terinfeksi. Masa
inkubasi penyakit ini 7-20 hari. Namun, ada juga yang
memiliki masa inkubasi paling pendek yaitu 3 hari,
dan paling panjang 60 hari.
2) Manifestasi Menurut Marni (2016) Tanda khas penyakit ini yaitu
Klinis demam tinggi kurang lebih satu minggu (terjadi pada
sore hingga malam hari sedangkan pada pagi hari
hingga siang hari turun), Gangguan pencernaan yang
terjadi pada pasien demam thypoid yaitu mual,
muntah, nyeri ulu hati, perut kembung, anoreksia,
lidah tifoid
4) Pemeriksaan Menurut Marni (2016) pengkajian dapat
Fisik dilakukan dengan cara:
6) Kaji keluhan pasien: apakah pasien mengeluh lemas,
tidak nafsu makan, tidak bergairah untuk beraktivitas,
dan sebagainya.
7) Kaji riwayat demam: apakah pasien mengalami
demam pada sore dan malam hari. Suhu tubuh pasien
turun pada pagi hari selama kurang lebih 3 minggu,
125

No Topik Data Teori Responden I Responden II Keterangan


bibir kering dan pecah-pecah, lidah kotor, berwarna
putih ditengah, serta kemerahan ditepi dan ujung lidah
(lidah tifoid).
8) Kaji riwayat penyakit sekarang: Sejak kapan mulai
demam, mulai merasakan tidak selera makan, mual,
muntah lemas; apakah terdapat pembesaran hati dan
limpa; apakah terdapat gangguan kesadaran; apakah
terdapat komplikasi misalnya perdarahan, perforasi,
peritonitis, dan sebagainya.
9) Kaji riwayat penyakit dahulu: apakah sebelumnya
pernah menderita penyakit yang sama, apakah anggota
keluarga pernah menderita penyakit yang sama,
apakah sebelumnya pasien pernah sakit, apakah
sampai dirawat dan sakit apa.
10) Lakukan pemeriksaan fisik: kesadaran pasien dan
pemeriksaan dari kepala sampai ujung kaki.
5) Penatalaksaan Menurut Marni (2016) Penatalaksanaan
Medis demam thypoid dilakukan dengan terapi suportif,
simptomatis, dan pemberian antibiotik jika sudah
ditegakkan diagnosis. Pasien boleh bergerak
(mobilisasi) sewajarnya, misalnya ke kamar mandi,
duduk di teras, mandi sendiri, dan makan sendiri, yang
prinsipnya adalah tidak melakukan aktivitas berat
yang membutuhkan banyak energi.
6) Komplikasi Menurut Marni (2016)
komplikasi diusus halus, diantaranya
perdarahan, perforasi, dan peritonitis. Pasien yang
mengalami nyeri hebat juga dapat mengalami syock
neurogenic. Komplikasi dapat menyebar diluar usus
halus misalnya bronchitis, kolelitiasis, peradangan
126

No Topik Data Teori Responden I Responden II Keterangan


pada meningen, dan miokarditis.
2 Diagosa Keperawatan
1) Masalah (P) Menurut Marni (2016)
Hipertermi
2) Etiologi Menurut Marni (2016)
proses infeksi
3 Intervensi, Implementasi dan Evaluasi Keperawatan
(sesuai diagnose yang muncul pada kedua pasien)
1) Target Diagnosa 1: Hipertermi yang berhubungan dengan
Capaian proses infeksi
Respon Kriteria Hasil: Suhu tubuh normal 36-37,5℃ dengan
Pasien tubuh tidak teraba panas dan haus berkurang.
2) Target Waktu
Intervensi
3) Intervensi Menurut Marni (2016)
keperawatan Hipertermi yang berhubungan dengan proses infeksi
a) Kaji pengetahuan dan keluarga tentang hipertermi
b) Observasi suhu tubuh, pernapasan, denyut nadi dan
tekanan darah setiap 4 jam.
c) Kompres dengan air dingin biasa tanpa es (suhu
ruang)
d) Kenakan anak pakian tipis dan menyerap keringat
4) Evaluasi Hasil Suhu tubuh dalam rentang normal, nadi dan
capaian / RR dalam rentang normal, dan tidak ada perubahan
Respon Pasien warna kulit dan tidak ada pusing merasa nyaman.
(Ridha,2016)
127

3.7 Etika Penelitian

Penelitian yang menggunakan objek manusia tidak boleh bertentangan

dengan etika agar hak responden dapet terlindungi, penelitian dilakukan

dengan menggunakan etika sebagai berikut:

1. Informed Consent (Persetujuan menjadi responden)

Lembar persetujuan diberikan kepada responden, peneliti menjelaskan

maksud dan tujuan penelitian yang dilakukan. Peneliti menghormati

keputusan responden untuk menerima atau menolak. Kedua responden

menyatakan bersedia dilakukan pengambilan data studi kasus dan

menandatangani informed concent.

1. Anonimity (Tanpa Nama)

Masalah etika keperawatan adalah masalah yang memberikan jaminan

kepada responden dengan Demam Thypoid sebagai subjek penelian dengan

cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden dengan nama

inisial pada lembar alat hasil ukur dan hanya menuliskan kode pada

pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.

2. Prinsip Confidentiality (Kerahasiaan)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian pada responden I dan II dengan Demam Thypoid,

baik informasi, maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang

telah, dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok

data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil penelitian (studi kasus).
128

DAFTAR PUSTAKA

Adriana, Dian, 2017, Tumbuh Kembang & Terapi Bermain Pada Anak Edisi 2,
Salemba Medika, Jakarta.
Asmadi, 2012, Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan
Dasar Klien, Salemba Medika, Jakarta.
Chomaria, Nurul, 2015, Panduan Terlengkap Tumbuh Kembang Anak Usia 0-5
Tahun, Cinta Menebar Cinta Menuai Hikmah, Surakarta.
Devi, Anakardian Kris Buana, 2017, Anatomi Fisiologi & Biokimia Keperawatan,
Pustaka Baru Press, Yogyakarta.
Hidayat, A. Aziz Alimul & Uliyah, Musrifatul, Pengantar Kebutuhn Dasar
Manusia Edisi 2 Buku 1, Salemba Medika, Jakarta.
Kunoli, Firdaus J., 2012. Asuhan Keperawatan Penyakit Tropis, CV. Trans Info.
Jakarta.
Marni, 2016, Asuhan Keperawatan Pada Penyakit Tropis, Penerbit Erlangga,
Mubarak, Wahid Iqbal, dkk. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar Buku 2,
Salemba Medika. Jakarta.
Putri, Atina, Wira 2012. ‘Pola Resistensi Bakteri Salmonella typhi Pada Penderita
Demam Tifoid’, Buletin Penelitian RSUD Dr. Soetomo, vol. 14, no1
Ridha, H. Nabiel, 2014. Buku Ajar Keperawatan Anak. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Soetjiningsih, 2012, Tumbuh Kembang Anak, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Suriadi & Yuliani, Rita, 2010, Asuhan Keperawatan Pada Anak, CV. Sagung
Seto, Jakarta.
Tumini, 2014. ‘Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan
Kejadia Typhoid Fever Pada Keluarga di Medokan Semampir Surabaya’,
Jurnal Kesehatan, vol. 1 no.3
Utaminingsih, Wahyu Rahayu, 2017, Menjadi Dokter Bagi Anak Anda,
Cakrawala Ilmu, Yogyakarta.
Widoyono, 2011, Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya, Penerbit Erlangga.
Wulandari, Dewi & Erawati, Meira, 2016. Buku Ajar Keperawatan Anak, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai