Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep guided imagery

2.1.1 Definisi

Imagery merupakan pembentukan representasi mental dari suatu

objek, tempat, peristiwa, atau situasi yang dirasakan melalui indra. Saat

berimajinasi individu dapat membayangkan melihat sesuatu, mendengar,

merasakan, mencium, dan atau menyentuh sesuatu (Snyder, 2016).

Guided imagery atau imajinasi terbimbing adalah upaya untuk

menciptakan kesan dalam pikiran pasien kemudian berkonsentrasi dalam

kesan tersebut sehingga secara bertahap dapat menurunkan persepsi pasien

terhadap nyeri (Prasetyo, 2020).

Istilah guide imagery merujuk pada berbagai teknik termasuk

visualisasi sederhana, saran yang menggunakan imaginasi langsung,

metafora dan bercerita, eksplorasi fantasi dan bermain “game”, penafsiran

mimpi, gambar, dan imajinasi yang aktif dimana unsur-unsur

ketidaksadaran dihadirkan untuk ditampilkan sebagai gambaran yang dapat

berkomunikasi dengan pikiran sadar (Academic for Guide Imagery, 2018).

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa guided imagery

merupakan teknik untuk menuntun individu dalam berimaginasi sensasi apa

yang dilihat, dirasakan, didengar, dicium, dan disentuh tentang kondisi yang

santai atau pengalaman yang menyenangkan untuk membawa respon fisik

yang diinginkan (sebagai pengurang stres, kecemasan, dan nyeri).

6
7

2.1.2 Mekanisme fisiologi Guided imagery

Guided imagery memberikan efek rileks dengan menurunkan

ketegangan otot sehingga nyeri akan berkurang. Dalam keadaan rileks

tersebut secara alamiah akan memicu pengeluaran hormon endorfin.

Hormon ini merupakan analgesik alami dari tubuh yang terdapat pada otak,

spinal, dan traktus gastrointestinal Relaksasi (guided imagery) ini dengan

imajinasi positif melemahkan psikoneuroimmunologi yang mempengaruhi

respon nyeri. Respon nyeri dipicu ketika situasi atau peristiwa (nyata atau

tidak) mengancam fisik atau kesejahteraan emosional atau tuntunan dari

sebuah situasi melebihi kemampuan seseorang, sehingga dengan imajinasi

diharapkan dapat merubah situasi dari respon negatif yaituketakutan dan

kecemasan menjadi gambaran positif yaitu penyembuhan dan kesejahteraan

(Snyder, 2016).

Respon emosional terhadap situasi, memicu sistem limbik dan

perubahan sinyal fisiologis pada sistem saraf perifer dan otonom yang

mengakibatkan nyeri. Mekanisme imajinasi positif dapat melemahkan

psikoneuroimmunologi yang mempengaruhi respon nyeri.

2.1.3 Manfaat guided imagery

Guided imagery merupakan salah satu jenis teknik relaksasi

sehingga manfaat dari teknik ini pada umumnya sama dengan manfaat dari

teknik relaksasi yang lain. Para ahli dalam bidang teknik guided imagery

berpendapat bahwa imajinasi merupakan penyembuh yang efektif yang

dapat mengurangi nyeri, kecemasan, mempercepat penyembuhan dan


8

membantu tubuh mengurangi berbagai macam penyakit. Guided imagery

telah menjadi terapi standar untuk mengurangi kecemasan dan memberikan

relaksasi pada orang dewasa atau anak- anak, dapat juga untuk mengurangi

nyeri kronis, tindakan prosedural yang menimbulkan nyeri, susah tidur,

mencegah reaksi alergi, dan menurunkan tekanan darah (Snyder, 2016).

Imajinasi terpimpin sejak lama dikenal manusia dalam

meningkatkan relaksasi terhadap gangguan fisik maupun mental

Menurut Perry and Potter (2016) imajinasi terpimpin memiliki efek

relaksasi yang bermanfaat terhadap kesehatan seseorang antara lain :

a. Menurunkan nadi, tekanan darah, dan pernapasan.

b. Menurunkan ketegangan otot.

c. Meningkatkan kesadaran global.

d. Mengurangi perhatian terhadap stimulus lingkungan.

e. Membuat tidak adanya perubahan posisi yang volunter.

f. Meningkatkan perasaan damai dan sejahtera.

g. Menjadikan periode kewaspadaan yang santai, terjaga, dan dalam.

2.1.4 Pelaksanaan guided imagery

Guided imagery adalah metode relaksasi untuk mengkhayal tempat

dan kejadian berhubungan dengan rasa relaksasi yang menyenangkan.

Khayalan tersebut memungkinkan klien memasuki keadaan atau

pengalaman relaksasi (Novarenta, 2019).

Guided imagery mempunyai elemen yang secara umum sama

dengan relaksasi, yaitu sama-sama membawa klien ke arah relaksasi namun


9

guided imagery menekankan bahwa klien membayangkan hal-hal nyaman

dan menenangkan dan tidak dapat memusatkan perhatian pada banyak hal

dalam satu waktu oleh karena itu klien harus membayangkan satu imajinasi

yang sangat kuat dan menyenangkan (Novarenta 2019).

Menurut Snyder (2016) teknik guided imagery secara umum antara lain:

1. Membuat individu dalam keadaan santai yaitu dengan cara:

1) Mengatur posisi yang nyaman (duduk atau berbaring)

2) Silangkan kaki, tutup mata atau fokus pada suatu titik atau suatu

benda di dalam ruangan

3) Fokus pada pernapasan otot perut, menarik napas dalam dan pelan,

napas berikutnya biarkan sedikit lebih dalam dan lama dan tetap

fokus pada pernapasan dan tetapkan pikiran bahwa tubuh semakin

santai dan lebih santai

4) Rasakan tubuh menjadi lebih berat dan hangat dari ujung kepala

sampai ujung kaki.

5) Jika pikiran tidak fokus, ulangi kembali pernapasan dalam dan pelan

2. Sugesti khusus untuk imajinasi yaitu:

1) Pikirkan bahwa seolah-olah pergi ke suatu tempat yang

menyenangkan dan merasa senang ditempat tersebut

2) Sebutkan apa yang bisa dilihat, dengar, cium, dan apa yang

dirasakan

3) Ambil napas panjang beberapa kali dan nikmati berada ditempat

tersebut
10

4) Sekarang, bayangkan diri anda seperti yang anda inginkan (uraikan

sesuai tujuan yang akan dicapai/ diinginkan

3 Beri kesimpulan dan perkuat hasil praktek yaitu:

1) Mengingat bahwa anda dapat kembali ke tempat ini, perasaan ini,

cara ini kapan saja anda menginginkan

2) Anda bisa seperti ini lagi dengan berfokus pada pernapasan anda,

santai, dan membayangkan diri anda berada pada tempat yang anda

senangi

4 Kembali ke keadaan semula yaitu:

1) Ketika anda telah siap kembali ke ruang dimana anda berada

2) Anda merasa segar dan siap untuk melanjutkan kegiatan anda

3) Sebelumnya anda dapat menceritakan pengalaman anda ketika anda

telah siap

2.2 Konsep Neyri

2.2.1 Definisi

Secara umum nyeri adalah suatu rasa tidak nyaman, baik ringan

maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang

mempengaruhi seseorang dan estensinya di ketahui bila seseorang pernah

mengalaminya (Tamsuri, 2017).

Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang

muncul akibat kerusakan jaringan aktual dan potensial atau yang

mengambarkan sebagai kerusakan (International Association fot the Study of

Pain) (Herdman & Heather, 2017).


11

2.2.2 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala nyeri bermacam-macam perilaku yang tercermin dari

pasien. Secara umum orang yang mengalami nyeri akan didapatkan respon

psikologis berupa :

1. Suara menangis, merintih, menarik atau menghembuskan nafas.

2. Ekspresi wajah meringis

3. Kegelisahan, mondar-mandir, gerakan menggosok atau berirama,

bergerak melindungi tubuh, imobilisasi, otot tegang.

4. Menghindari percakapan dan kontak sosial

2.2.3 Patofisiologi nyeri

Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada kulit bias intensitas

tinggi maupun rendah seperti peregganggan dan suhu serta oleh lesi

jaringan. Sel yang mengalami nekrotik akan merilis K+ dan protein

intraseluler. Peningkatan kadar K+ ekstra seluler akan menyebabkan

depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada beberapa keadaan akan

menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan peradangan atau

inflamasi (Bahrudin, 2017)

2.2.4 Fisiologi Nyeri

Rasa nyeri merupakan sebuah mekanisme yang terjadi dalam tubuh,

yang melibatkan fungsi organ tubuh, terutama sistem sistem saraf sebagai

reseptor nyeri. Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk

menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri

adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus
12

kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga dengan

nosireseptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireseptor) ada yang

bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf perifer. Berdasarkan

letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh

yaitu pada kulit (cutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah

viseral. Oleh karena letaknya yang berbeda- beda inilah, nyeri yang timbul

juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireseptor cutaneus berasal dari

kulit dan subcutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudak untuk

dialokasi dan didefinisikan (Mubarak et al., 2015).

Reseptor jaringan kulit (cutaneus) terbagi dalam dua komponen

yakni sebagai berikut:

a. Reseptor A delta, merupakan serabut komponen cepat (kecepatan

transmisi 6-30 m/s) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang

akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.

b. Serabut C, merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi

0,5 m/s) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya

bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.

Terdapat tiga komponen fisiologis dalam nyeri yaitu resepsi,

persepsi, dan reaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui

serabut saraf perifer. Serabut nyeri memasuki medula spinalis, kemudian

melalui salah satu dari beberapa rute saraf, dan akhirnya sampai di dalam

masa berwarna abu- abu di medula spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat

berinteraksi dengan sel- sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri


13

sehingga tidakk mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks

serebral, maka otak menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses

informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki serta asosiasi

kebudayaan dalam upaya mempersiapkan nyeri. (Mubarak et al., 2015).

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang

terdapat pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot, dan jaringan penyangga

lainnya. Oleh karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul

merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor nyeri yang

ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral

seperti jantung, hati, usus, ginjal, dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada

reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi

sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia, dan inflamasi. Proses nyeri

merambat dan dipersepsikan oleh individu masih belum sepenuhnya

dimengerti. Akan tetapi, bisa tidaknya nyeri dirasakan dan hingga derajat

mana nyeri tersebut mengganggu dipengaruhi oleh interaksi antara sistem

analgesia tubuh dan transmisi sistem saraf serta interpretasi stimulus

(Mubarak et al., 2015).

2.2.5 Proses dan efek nyeri

1. Proses Terjadinya Nyeri

Mekanisme terjadinya nyeri secara sederhana dimulai dari transduksi

stimuli akibat kerusakan jaringan dalam saraf sensoris menjadi

aktivitas listrik kemudian ditransmisikan melalui serabut syaraf

bermielin A delta dan saraf tidak bermielin C ke kornu dorsalis


14

medula spinalis, talamus, dan korteks serebri. Impuls listrik tersebut

dipersepsikan dan didiskriminasikan sebagai kualitas dan kuantitas

nyeri setelah mengalami modulasi sepanjang saraf perifer dan disusun

saraf pusat. Rangsangan yang dapat membangkitkan nyeri dapat

berupa rangsangan mekanik, suhu (panas atau dingin), dan agen

kimiawi yang dilepaskan karena trauma / inflamasi. Fenomena nyeri

timbul karena adanya kemampuan sistem saraf untuk mengubah

berbagai stimulasi mekanik, kimia, termal, dan elektris menjadi

potensial aksi yang dijalarkan ke sistem saraf pusat (Mubarak et al.,

2015).

2. Efek yang ditimbulkan Nyeri

a. Tanda dan gejala fisik

Tanda fisiologis dapat menimbulkan nyeri pada klien yang

berupaya untuk tidak mengeluh dan mengakui

ketidaknyamanan. Sangat penting untuk mengkaji tanda- tanda

vital dan pemeriksaan fisik termasuk mengobservasi keterlibatan

saraf otonom. Saat awitan nyeri akut, denyut jantung, tekanan

darah, dan frekuensi pernapasan meningkat (Mubarak et al.,

2015).

b. Efek perilaku

Klien yang mengalami nyeri menunjukkan ekspresi wajah dan

gerakan tubuh yang khas dan berespon secara vokal serta

mengalami kerusakan dalam interaksi sosial. Klien sering kali


15

meringis, mengernyitkan dahi, menggigit bibir, gelisah, dan

imobilisasi, mengalami ketegangan otot, melakukan gerakan

melindungi tubuh sampai dengan menghindari percakapan,

menghindari kontak sosial, dan hanya fokus pada aktivitas

menghilangkan nyeri (Mubarak et al., 2015).

c. Pengaruh pada Aktivitas Sehari- hari

Klien yang mengalami nyeri setiap hari kurang mampu

berpartisipasi dalam aktivitas rutin, seperti mengalami kesulitan

dalam melakukan tindakan kebersihan normal serta dapat

mengganggu aktivitas sosial dan hubungan seksual (Mubarak et

al., 2015)

2.2.6 Intensitas Nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri

dirasakan oleh individu,pengukuran intensitas nyeri subjektif dan individual

dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat

berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan

pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon

fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan

Teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu

sendiri (Tamsuri, 2017).


16

2.2.7 Skala Nyeri

a. Skala identitas nyeri numerik

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak ringan nyeri sedang nyeri berat nyeri
nyeri terkontrol berat
b. Skala identitas nyeri numerik tidak
terkontrol

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak
nyeri sedang nyeri hebat
nyeri

c. Skala analog visual

Tidak nyeri sangat


nyeri hebat

d. Skala nyeri menurut bourbanis

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri Nyeri berat


berat tidak
terkontrol terkontrol
17

2.2.8 Strategi pelaksanaaan nyeri

a. Terapi farmakologi

Terapi farmakologi biasanya menggunakan obat analgetik. Obat

golongan ini menyebabkan penurunan nyeri dengan menghambat

produksi prostaglandin dari jaringan yang mengalami trauma atau

inflamasi Obat analgetik dikelompokkan menjadi tiga yaitu non-narkotik

dan obat anti inflamasi non-steroid (NSAID), analgetik narkotik dan obat

tambahan (adjuvan) atau ko- analgetik Obat NSAID umumnya

digunakan untuk mengurangi nyeri ringan dan sedang, analgetik narkotik

umumnya untuk nyeri sedang dan berat (Mubarack et al., 2015).

b. Terapi non farmakologi

Terapi non farmakologi atau disebut dengan terapi komplementer.

Ada dua jenis terapi komplementer yang dapat digunakan untuk

mengurangi nyeri kepala yaitu Behavioral treatment seperti, latihan

relaksasi (guided imagery), (Machfood & Suharjanti, 201 5).

2.2.9 Intervensi

Terapi guided imagery dalam aplikasinya terhadap pasien

memiliki prosedur yang berbeda-beda. Tetapi pada intinya, terapi ini

diberikan kepada pasien untuk meningkatkan relaksasi. Keadaan rileks ini

akan mengurangi keadaan patologis fisik maupun mental pada pasien.

Guided imagery yang diberikan pada pasien harus didukung oleh


18

keadaan intern dan ekstern. Keadaan yang intern yang mendukung

lancarnya proses terapi ini adalah salah satunya pasien harus kooperatif

dengan perawat, tidak mengalami gangguan pendengaran, dan mudah

berkonsentrasi. Keadaan ekstern yang mendukung imajinasi terpimpin

adalah lingkungan yang tenang, nyaman sehingga akan meningkatkan

konsentrasi pada saat terapi berlangsung. terapi imajinasi terpimpin

memiliki prosedur sebagai berikut :

h. Kaji suatu imajinasi keadaan yang membuat pasien senang dan rileks

seperti suasana keindahan pegunungan, deburan ombak di pantai, pesona

air terjun, dan kebersamaan dengan keluarga tercinta. Pilihlah imajinasi

yang menggunakan sedikitnya 2 panca indera.

i. Bimbing pasien untuk bernapas secara rileks.

j. Mulai bimbing pasien untuk melakukan relaksasi progresif.

k. Bimbing pasien untuk memasuki imajinasi yang telah disepakati di awal

dan secara perlahan mendeskripsikan mengalami imajinasi tersebut.

l. Selesaikan terapi imajinasi ini dengan menghitung 1 sampai 3 dan

bimbing pasien untuk mengatakan Saya rileks (terminasi ini digunakan

untuk menghindari pasien mengantuk dan tertidur yang akan

menghilangkan tujuan

2.2
2.3 Konsep Cedera Kepala

2.3.1 Definisi

Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu

kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi


19

disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat

mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan

kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala (trauma capitis) adalah

cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung megenai kepala

yang mengakibatkan luka dikulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan

selaput otak, dan kerusakan jaringan otak, serta mengakibatkan gangguan

neurologis (Putri, Rahayu, & Sidharta, 2016).

Trauma kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara

langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi

neurologis, yaitu fungsi fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporal

maupun permanen (Atmadja, 2016)

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang

dapat menyebabkan adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau

garis pada tulang tengkorak dan disertai atau tanpa disertai perdarahan

intertisial dalam subtansi otak tanpaDiikuti terputusnya kongtinuetias otak

(Ristanto, Indra, Pueranto, & Styorini, 2017)

Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala

adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara

langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan

terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian.

2.3.2 Etiologi Cidera kepala

1. Trauma tajam

Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera


20

setempat&menimbulkan cedera lokal. Kerusakan local meliputi

Contusio serebral, hematoma serebral, kerusakan otak sekunder yang

disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.

2. Trauma tumpul

Trauma oleh benda tumpul&menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)

: Kerusakannya menyebar secara luas&terjadi dalam 4 bentuk : cedera

akson, keruskan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar,

hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera kepala

menyebar pada hemisfer cerebral, batang otak atau kedua- duanya.

a. Akibat Trauma Tergantung Pada :

1) Kekuatan benturan menyebabkan parahnya

kerusakan.

2) Akselerasi dan decelerasi.

3) Cup dan kontra cup

b. Cedera cup menyebabkan kerusakan pada daerah dekat yang

terbentur.

c. Cedera kontra cup menyebabkan kerusakan cedera berlawanan

pada sisi desakan benturan.

1) Lokasi benturan.

2) Rotasi merupakan pengubahan posisi rotasi pada kepala

menyebabkan trauma regangan dan robekan substansia alba dan

batang otak.

3) Depresi fraktur merupakan kekuatan yang mendorong fragmen


21

tulang turun menekan otak lebih dalam. Akibatnya CSS

mengalir keluar ke hidung, kuman masuk ke telinga

berkontaminasi dengan GCS menyebabkan infeksi dan kejang.

2.3.3 Klasifikasi Cidera kepala

Cedera kepala terbuka Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan

pecahnya tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe

ini ditentukan oleh massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga

dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk ke dalam jaringan

otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/

tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki

abses langsung ke otak. Cedera kepala tertutup Benturan kranial pada

jaringan otak di dalam tengkorak ialah goncangan yang mendadak.

Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian serentak

berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi:

kombusio gagar otak, kontusio memar, dan laserasi.

Berdasarkan keparahan cedera :

1. Cedera kepala ringan (CKR)

a) Tidak ada fraktur tengkorak

b) Tidak ada kontusio serebri,hematoma

c) GCS 13 -15

d) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi< 30 menit

2. Sedang Cedera kepala sedang (CKS)

a) Kehilangan kesadaran (amnesia) > 30 menit tapi< 24 jam


22

b) Muntah

c) GCS 9 – 12

d) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorentasi ringan

e) (bingung)

3. Cedera kepala berat (CKB)

a) GCS 3 – 8

b) Hilang kesadaran> 24 jam

c) Adanya kontosioserebri,laserasi/hematoma intracranial

Menurut Jenis Cedera

1) Cedera Kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang

tengkorak dan jaringan otak.

2) Cedera Kepala tertutup dapat disamakan dengan Keluhan geger otak

ringan dan odema serebral yang luas.

2.3.4 Tanda dan gejala Cidera kepala

Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi

cedera otak.

1. Cedera kepala ringan

a. Kebingungansaatkejadiandan kebinggungan

b. terus menetap setelah cedera.

c. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.

d. Kesulitan berkonsentrasi,pelupa, gangguanbicara, masalah tingkah

laku

Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa


23

minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma

ringan.

2. Cedera kepala sedang

a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan

Kebinggungan atau bahkan koma.

b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba Defisit

neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan

pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo

dan gangguan pergerakan.

3. Cedera kepala berat

a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan

sesudah terjadinya penurunan kesehatan.

b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motoric tidak aktual, adanya Cedera

terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.

c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.

d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area

tersebut.

2.3.5 Patofisiologi Cidera kepala

Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat

ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera percepatan

aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang

diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena

lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila kepala


24

membentur objek yang secara relatife tidak bergerak, seperti badan mobil

atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila

terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang

terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bias

dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang

menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan

batangotak.

Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak,

yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer

adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma,

dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi

permanen. Tidak banyak yang bias kita lakukan kecuali membuat fungsi

stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bias mengalami proses

penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu

benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi

alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan

dan trauma saat lahir yang bias mengakibatkan terjadinya gangguan pada

seluruh system dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan

hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera

primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera

sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi

atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal

diantanya, bila trauma ekstrakranial akan dapat menyebabkan adanya


25

leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai

pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat

menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area

peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasidilatasi arterial, semua

menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan

tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi.

Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan

robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intracranial dapat

mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan

bias terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik yang

mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas (Brain, 2019).

2.3.6 Komplikasi

1. Epilepsi Pasca Trauma

Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi

beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di

kepala. Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang mengalami

cedera hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40%

penderita yang memiliki luka tembus di kepala. Obat-obat anti kejang

(misalnya feniton, karbamazepinatau valproate) biasanya dapat

mengatasi kejang pasca trauma.

2. Afasia

Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena

terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu


26

memahami atau mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang

mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan

bagian lobus frontalis di sebelahnya.

3. Apraksia

Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang

emerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi

dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis ataulobus

frontalis.

4. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk

mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah

lama berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti.

Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam

(tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang dengan

sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesia bias bersifat menetap.

5. Fistel Karotis-kavernosus

Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat

timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.

6. Diabetes Insipidus

Disebabkan oleh kerusakan traumatic pada tangkai hipofisis,

menyebabkan penghentian sekresi hormone antidiuretik.

7. Kejang pasca trauma

Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau

lanjut (setelah satu minggu).


27

8. Kebocoran cairan serebrospinal

Dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 %

pasien dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan

dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85 % pasien.

9. Edema serebral & herniasi

Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, Puncak edema terjadi 72

jam setelah cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak

teratur merupakan gejala klinis adanya peningkatan TIK

10. Defisit Neurologis & Psikologis

Tanda awal penurunan fungsi neurologis :perubahan TK kesadaran,

Nyeri kepala hebat, Mual atau Muntah proyektil (tanda dari

peningkatan TIK).

2.3.7 Pemeriksaan diagnostic Cidera kepala

1. CT scan

CT scan digunakan untuk mengidentifikasi adanya hemoragig ,ukuran

ventrikuler , infark pada jaringan mati.

2. Foto tengkorak atau cranium

Foto tengkorak atau cranium digunakan untuk mengetahui adanya

fraktur pada tengkorak.

3. MRI

MRI digunakan sebagai penginderaan yang menggunakan gelombang

elektomagnetik.

4. Laboratorium
28

a. Kimia darah : Untuk mengetahui keseimbangan elektrlit

b. Kadar elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit

sebagai akibat peningkatan tekanan intracranial.

c. Screen toksikologi : Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga

menyebabkan penurunan kesadaran.

5. Serebral angiographi

Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral ,seperti perubahan jaringan

otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.

6. Serial EEG

Serial EEG digunakan untuk melihat erkembangan gelombang yang

patologis.

7. X-ray

Digunakan untuk mendeteksi perubahan struktur tulang , perubahan

truktur garis (perdarahan atau edema), frakmen tulang.

8. BAER

BAER digunakan untuk mengoreksi batas fungsi kortek dan otak kecil.

9. PET

PET digunakan untuk mendeteksi perubahan aktivitas metabolism otak.

10. CSF & lumbalpungsi

CSF & lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan

subaracnoid.

11. ABGs

ABGs digunakan untuk mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah


29

pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan intracranial.

2.3.8 Penatalaksanaan Cidera kepala

1. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral,

dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.

2. Therapihiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi

vasodilatasi.

3. Pemberian analgetik.

4. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,

glukosa 40% atau gliserol.

5. Antibiotik yang mengandung barrier darah otak (pinicilin) atau untuk

infeksi anaerobdi berikan metronidazole.

6. Makanan atau cairan infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam

pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan

makanan lunak.

7. Tidur tanpa bandal atau diganjal dengan bantal (kurang lebih 30o)

8. Pembedahan.
30

2.4 Penelitian terkait

No Nama Judul Metode Hasil


1. Indri Ayu Asuhan Jenis penelitian Hasil studi menunjukkan
dkk, 2021 Keperawatan ini adalah bahwa pengelolaan asuhan
Pasien Cedera deskriptif dengan keperawatan pada pasien
Kepala Ringan menggunakan cedera kapala ringan
metode dalam pemenuhan
Dalam Pemenuhan
pendekatan studi kebutuhan aman nyaman
Kebutuhan Aman kasus. Subjek nyeri dengan masalah
Nyaman Nyeri studi kasus ini keperawatan nyeri akut
yaitu satu orang dilakukan tindakan guided
pasien dengan imagery selama 1 x 8 jam
keluhan nyeri di didapatkan hasil skala
ruang IGD nyeri pada pasien menurun
dari skala nyeri 6 menjadi
skala nyeri 4.
Rekomendasi tindakan
tekhnik guided imagery
efektif dilakukan pada
pasien cedera kepala
ringan dengan keluhan
nyeri.
2. Yesi Pengaruh Guide Metode yang Hasil uji statistic
Pusparini, Imagery digunakan adalah menunjukan pengaruh
2017 Terhadap nyeri experimen dengan secara signifikan (p
kepala pasien CKR pretest dan post sig=0,000) guide imagery
test terhadap penutunan tingkat
nyeri pada pasien dengan
cedera kepala ringan,
tetapi pasien belum
terbebas dari rangsangan
nyeri.
Nugroho Efektivitas Metode Hasil penelitian Setelah
Priyo manajemen nyeri penelitian yang dilakukan tindakan
Handono dkk dengan guided digunakan guide imagery relaxation
2018 imagery relaxation menggunakan dengan menggunakan
Pada pasien cedera
kepala jenis penelitian musik ,dan membimbing
studi kasus untuk berimajinasi
(case study). selama kurang lebih 15-
30 menit didapatkan
bahwa TN.E dengan
cedera kepala ringan
dari skala nyeri 8
31

menjadi skala nyeri


6,.Maka terjadi selisih
penurunan skala nyeri

2.5 Kerangka Teori

Cedera Kepala ringan

Nyeri kepala, yang diukur dengan


Numerical Rating Scale

Terapi Intervensi untuk


Farmakologi mengurangi nyeri

Terapi Non
Farmakologi

Mekanisme
Mengeluarkan
Guided imagery
hormon endorfin
sehingga
menimbulkan efek
analgesik &
mengeliminasi
neurotransmitter
Penurunan
Intensitas Nyeri

Bagan 2.1 Kerangka teori Penerapan Guided Imagery Untuk


Menurunkan Insensitas Nyeri Pada Pasien Cidera Kepala
ringan Ringan Di IGD Puskesmas Gunung Megang
Keterangan

= diteliti
32

= tidak diteliti

2.6 Kerangka Konsep

Menurut Notoatmodjo (2018) kerangka konsep adalah merupakan

formulasi atau simplikasi dari kerangka teori atau teori-teori yang mendukung

penelitian tersebut. Kerangka konsep dalam penelitian ini digambarkan seperti

gambar 2.1

Gambar 2.1 Kerangka Konsep

Pretest Postest
Intensitas nyeri pada Intensitas nyeri
pasien cidera kepala pada pasien cidera
ringan kepala ringan

Intervensi
guided imagery

(Sumber:Synder,2016)

2.7 Hipotesis

Ha : Ada pengaruh guided iamgery untuk menurunkan intensitas nyeri pada

pasien cidera kepala ringan di IGD Puskesmas Gunung Megang.

Ho : Tidak ada pengaruh guided iamgery untuk menurunkan intensitas nyeri

pada pasien cidera kepala ringan di IGD Puskesmas Gunung Megang

Anda mungkin juga menyukai