yang belum aku kerjakan. Cuaca hari itu cerah namun sedikit dingin. Aku segera mempersiapkan diri untuk mulai mengerjakan tugasku. Aku bingung memulai dari mana karena tidak terpikirkan olehku tugas yang kupikir mudah ternyata bisa sesulit ini. Segera kuambil beberapa buku untuk melihat contoh dari tugas yang diberikan. Tetapi masih belum juga aku tahu harus mulai dari mana. Aku pikir aku benar-benar mengacaukannya kali ini. Aku tidak pernah berpikir kalau aku terlalu menganggap remeh semua ini. Pikirku, “Haruskah aku minta tolong pada seseorang? Tapi pada siapa?” Lalu, terlintas dipikiranku untuk membangunkan kakakku. Aku pikir dia mungkin bisa membantuku member nasihat untuk tugas ini. Kakakku bangun begitu aku membangunkannya, dan bertanya “Ada apa?”. Aku menjelaskan kalau aku kesulitan mengerjakan tugasku, kemudian dia menceritakan kepadaku sebuah cerita. Dia bercerita tentang gadis kecil yang pernah dia lihat sewaktu perjalanannya ke kota lain. Biasanya anak-anak pada usianya sering memainkan mainan seperti boneka, bercanda bersama temannya, dengan heboh menceritakan pengalamannya bermain di taman bermain, bahkan jaman sekarang anak kecil sering memainkan gadget. Gadis kecil itu katanya sedikit berbeda. Dia terlihat duduk dibawah pohon seorang diri. Matanya terlihat sedih dan dia hanya diam saja disana. Apa yang dilakukannya disana sendirian? Kakakku berkata, “Gadis kecil itu sedang memandangi langit. Aku bisa melihatnya mengucapkan beberapa kata, tapi aku tidak bisa mendengarkan apa yang dia katakan. Dalam pikiranku, apa dia sedang mengajak bicara langit? Tapi entahlah, aku hanya memperhatikannya dalam diam.” Kakakku melanjutkan lagi, “Gadis kecil itu, seperti meneruskan ceritanya pada lagit. Aku bisa melihatnya, perasaan dalam yang ingin ia curhatkan kepada seorang. Tapi dia tidak melakukannya, anehnya dia justru memilih langit sebagai tempatnya mengadu. Aku berpikir-pikir lagi, apa yang begitu tidak adil? Aku merasa sedih hanya dengan melihatnya. Matanya berkaca-kaca, seolah dia berusaha untuk menahan tangisnya.” Aku dengan seksama mendengarkan kakakku bercerita. Aku sebenarnya tidak begitu mengerti apa maksud dari cerita yang kakakku katakan. Tetapi aku tetap memperhatikannya dalam diam. Aku sedikit penasaran bagaimana kelanjutan ceritanya. Aku hanya berpikir, “Apa yang aneh dari seorang gadis kecil menangis? Pada usia itu mereka hanya bisa menangis kalau apa yang diinginkannya tidak dapat terpenuhi. Maksudku aku sering melihat anak kecil menangis karena berebut mainan jadi aku pikir itu hal yang wajar. Mungkinkah aku yang tidak bisa memahami yang dimaksud kakakku?” Sejenak saat aku melamun, kakakku berkata lagi, “Melihatnya mengingatkanku pada seseorang.” Aku bertanya, “Siapa maksudmu kak?” Dia menjawab, “Seseorang yang terlihat dingin, bersikap acuh seolah tidak terjadi apapun, padahal aku tahu betul hal buruk yang dia lalui. Dia hanya tersenyum setelah menerima perlakuan yang tidak adil. Melangkah pasti dengan raut wajah yang tidak bisa kubaca.” Aku hanya berkata “Huh?” Dslam benakku, “Apa maksudnya? Aku sama sekali tidak mengerti. Mungkin pemikiran kakakku terlalu jauh untuk bisa aku mengerti.” Aku memikirkannya baik-baik dari cerita kakakku. “Aku setidaknya harus mengerjakan tugasku entah bagaimana nanti hasilnya”, pikirku. Tapi aku masih bingung karena ini pertama kalinya aku diberikan tugas seperti ini. Setelah berpikir sejenak, akhirnya aku memutuskan untuk menjadikan cerita kakakku sebagai acuan. Meskipun sebagian besar aku tidak paham, aku mencoba memikirkan sendiri apa yang aku pahami. “Aku harus bisa menyelesaikan tugasku. Aku tahu salahku dan tidak mau mengulanginya lagi.” gumamku pada diri sendiri. Menjelang pagi hari, aku akhirnya bisa menyelesaikan tugasku. Aku merasa lega. Kemudian, terbesit di benakku tentang gadis kecil yang diceritakan kakakku. “Mungkin gadis itu menangis karena suatu alasan” 19 08 04