Anda di halaman 1dari 56

Clinical Report Session (CRS)

* Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A222106/ September 2023


** Pembimbing/ dr. Evi Supriadi Sukardi, Sp.JP (K), M.Ked, FIHA, FAsCC

STEMI INFERIOR AKUT LATE ONSET + SYOK KARDIOGENIK

Muhammad Rasyid Ridho, S.Ked*


dr. Evi Supriadi Sukardi, Sp.JP (K), M.Ked, FIHA, FAsCC**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN KARDIOLOGI RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI

JAMBIFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2023
HALAMAN PENGESAHAN

STEMI INFERIOR LATE ONSET + SYOK KARDIOGENIK

Oleh :
Muhammad Rasyid Ridho, S.Ked
G1A222106

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU BEDAH RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2023

Jambi, September 2023


Pembimbing:

dr. Evi Supriadi Sukardi, Sp.JP (K), M.Ked, FIHA, FAsCC

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhana Wata’ala
sebab karena rahmatnya, tugas Clinical Report Session (CRS) yang berjudul
“STEMI inferior late onset syok kardiogeik” ini dapat terselesaikan. Tugas ini
dibuat agar penulis dan teman-teman sesama koas periode ini dapat memahami
tentang patogenesis, komplikasi, dan pengobatan dari kasus ini. Selain itu juga
sebagai tugas dalam menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Bedah RSUD Raden Mattaher.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Evi Supriadi Sukardi, Sp.JP


(K), M.Ked, FIHA, FAsCC selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior
ini dan khususnya pembimbing dalam tugas Clinical Report Session (CRS). Penulis
menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan
kritik dan saran agar lebih baik kedepannya. Akhir kata, semoga tugas CRS ini
bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah informasi serta pengetahuan kita.

Jambi, September 2023

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... 2


KATA PENGANTAR ........................................................................................... 3
DAFTAR ISI .......................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 5
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................. 7
2.1 Identitas Pasien ....................................................................................... 7
2.2 Anamnesis ............................................................................................... 7
2.3 Pemeriksaan Fisik .................................................................................. 9
2.4 Pemeriksaan Penunjang ...................................................................... 11
2.5 Diagnosis Kerja..................................................................................... 13
2.6 Tatalaksana ........................................................................................... 13
2.7 Rencana Tindakan ............................................................................... 15
2.8 Prognosis ............................................................................................... 15
2.9 Follow Up .............................................................................................. 16
BAB III TINAJUAN PUSTAKA ....................................................................... 20
BAB IVANALISIS KASUS ................................................................................ 44
BAB V KESIMPULAN....................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 49

4
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan masalah kardiovaskuler utama


karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang
tinggi.1 World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa terdapat
kenaikan mortalitas akibat SKA mencapai 42%. SKA diderita oleh 15.5 juta
orang di Amerika Serikat. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018,
prevalensi penyakit jantung koroner sebagai etiologi utama sindrom koroner akut
(SKA) di Indonesia sebesar 1,5%.2,3

SKA dapat dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu Unstable Angina
Pectoris (UAP), Non ST-Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI), dan ST-
Elevation Myocardial Infarction (STEMI).1 STEMI merupakan suatu indicator
terjadinya oklusi total pembuluh darah arteinkoroner. Faktor-fakto risiko
terjadinya SKA terdapat yang dapat dimodifikasi dan tidak. Faktor yang tidak
dapat dimodifikasi ialah usia dan jenis kelamin, sedangkan faktor yang dapat di
modifikasi ialah hipertensi yang tidak terkontrol, memiliki riwayat diabetes
mellitus sebelumnya, status obesitas, kebiasaan merokok maupun makanan yang
dikonsumsi oleh pasien.4

Pasien dengan SKA terutama STEMI dapat menyebabkan berbagai


komplikasi, jika titak tertangani dengan baik, salah satunya ialah syok kardiogenik
yang terjadi pada 6-10% kasus STEMI yang ditandai dengan tekanan darah yang
rendah dan gangguan perfusi. Tatalaksana yang ceoat dan tepat dapat menurunan
angka mortalitas.1

Tatalaksana awal penting dialukan sesegara mungkin pada pasien dengan


SKA dilanjutkan dengan terapi reperfusi yaitu melalui tindakan reperfusi dengan
terapi fibrinolisis dan dengan PCI primer. Reperfusi sendiri harus dilakukan pada
saat-saat awal terjadinya nyeri untuk menyelamatkan miokardium yang
mengalami iskemia.1
\

5
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. E
Umur : 54 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Kuli bangunan
Agama : Islam
Alamat : Indagiri hilir, Riau
Masuk : IGD (15 September 2023 pukul 01:30 WIB)
Ruang Rawat : ICCU (15 September 2023)

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri dada sejak 13 jam SMRS
Keluhan Tambahan : Mual muntah, pingsan, berdebar debar
Riwayat Perjalanan Sekarang :
Os datang ke IGD Raden Mattaher dengan keluhan nyeri dada sebelah
kiri sejak ± 9 jam smrs. Nyeri dada dirasakan seperti tertindih beban berat,
kemudian menjalar ke ulu hati, punggung, dan rahang. Nyeri dirasakan terus-
menerus dan tiba-tiba saat os sedang bekerja sebagai kuli bangunan yang
dirasakan lebih dari 20 menit, sedikit membaik dengan istirahat.

OS juga mengeluhkan keluhan berdebar-debar, mual, dan muntah


sebanyak 10x berisi makanan dan air. Keluhan sesak (-), demam (-), batuk (-),
benturan dada (-), bab normal (-), keluhan sering merasa lapar, haus, dan
terbagun di malam hari untuk berkemih di sangkal. Pasien belum pernah
mengalami keluhan seperti ini sebelumnya

Saat os mengalami nyeri dada os sempat pingsan dan dibawa warga ke


rumah, kemudian os sadar. Setelah itu os langsung dibawa ke RSUD Raden
Mattaher tanpa ke fasilitas kesehatan lain sebelumnya

6
Riwayat Penyakit Dahulu

• Riwayat keluhan serupa (-)


• Riwayat penyakit jantung (-)

• Riwayat hipertensi (-)

• Riwayat DM (-)
• Riwayat kolestrol tinggi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

• Riwayat keluhan serupa (-)


• Riwayat penyakit jantung (-)

• Riwayat hipertensi (-)

• Riwayat DM (-)

Riwayat Pekerjaan, Kebiasaan dan Sosial Ekonomi

• Os merupakan seorang kuli bangunan


• Riwayat merokok (+) sejak ± 40 tahun yang lalu sehari 1-2 bungkus

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalisata
Keadaan umum: Tampak sakit berat
Kesadaran: Compos mentis
GCS: 15 (E4M6V5)
Vital Sign:

• TD : 74/52 mmHg
• HR : 56 x/menit
• RR : 24 x/menit
• T : 36,7 ºC
• SpO2 : 96%

7
Keadaan Gizi:

• BB : 70 kg
• TB : 165 cm
• IMT: 25,71 (Obesitas 1)

Head to toe:

Kepala : Normocephal

Mata

• Konjungtiva : Konjungtiva anemis (-)


• Sklera : Sklera ikterik (-)
• Pupil : Refleks cahaya (+/+), isokor

Mulut:

Mukosa bibir kering (-), sianosis (-), Pembengkakan gusi (-),karies (-)

Leher

• JVP : Distensi vena jugular (-), JVP 5 + 2 cmH2O


• Kelenjar Tiroid : Tidak ditemukan pembesaran
• Kelenjar getah bening : Tidak teraba

Paru

Pemeriksaan Kanan Kiri


Inspeksi Bentuk dada simetris, Bentuk dada simetris,
retraksi subcostal (-), retraksi subcostal (-), bantuan
bantuan otot napas (-) otot napas (-)
Palpasi Nyeri tekan (-), fremitus Nyeri tekan (-), fremitus taktil
taktil normal, sama antara normal, sama antara kiri dan
kiri dan kanan kanan
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler (+) Wheezing (-), Vesikuler (+) Wheezing (-),
Rhonki (-) Rhonki (-)

8
Jantung

Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat


Palpasi Ictus cordis tidak teraba

Perkusi Batas Jantung


Atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Kanan : ICS IV linea parasternalis kanan
Kiri : ICS V linea midklavikula sinistra
Auskultasi Bunyi Jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi Cembung, distensi (-), sikatriks (-)


Palpasi Nyeri tekan (-) 4 kuadran, hepar, lien dan ginjal tidak teraba

Perkusi Timpani diseluruh lapang abdomen


Auskultasi Bising usus (+) normal

Ekstremitas
Superior : Akral dingin, CRT>2s, pucat(+) sianosis (-), edema (-)
Inferior : Akral dingin, CRT>2s, pucat(+),sianosis (-), edema (-)

9
2.4 Pemeriksaan Penunjang

Elektrokardiografi (15/09/2023) di IGD

Interpretasi EKG :
• Irama: sinus bradikardi
• Regularitas: reguler
• HR : 56x/m
• Axis : Normoaxis
• Gel. P : Normal
• PR Interval : Normal (0,16s)
• gel QRS (0,08s), Q patologis di lead III, aVF
• Segmen ST : ST elevasi dilead II, III, aVF
• Gelombang T : T Inverted di III, aVF
• Kesimpulsn : Sinus Bradikardi, STEMI Inferior late Onset

10
Darah rutin 15/09/2023

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hb 13.8 11.5-17.3 g/dL
HCT 42,73 34.00 – 53.90 %
RBC 4,91 3.79 - 5.78 x106/uL
MCV 87,1 84-98 fl
MCH 28,2 27.5 – 34.2 pg
MCHC 32,3 31.7 – 34.2 g/dL
WBC 15,60 (H) 5 - 11.6 x103/uL
Trombosit 274 156-342 x103/uL
Limfosit % 17,8 (H) 19.1 - 48.5%
Granulosit % 76,9 (H) 43.6 – 73.4%
Kesan : Leukositosis, Limfositopenia, Granulositosis

GDS 147 < 200 ng/dl

Profil Lipid (15/09/2023)

Parameter Hasil Nilai Rujukan


Cholesterol Total 155 <200 mg/dl
Trigiserida 133 <150 mg/dl
HDL Cholesterol 63 >35 mg/dl
LDL Cholesterol 65 0-99 mg/dl

Faal Ginjal (15/09/2023)


Parameter Hasil Nilai Rujukan
Ureum 35 10-50 mg/dl
Creatinin 1.8 0,8-1,1
Asam Urat 7,6 2.6 - 7.2

Faal Hemostasis (15/09/2023)

Faal Ginjal Hasil Nilai Rujukan


BT 2.5 1-3 menit
CT 3 2-6 menit

Marker Jantung
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HS Troponin I 5268,5 < 2 ng/L

11
Echocardiography (16/09/2023

12
Dimensi ruang jantung: Dilatasi RA-RV
Fungsi sistolik LV EF : 48-50 %
Kontraktilitas RV TAPSE : 1.4
Katup – katup : TR mild

2.5 Diagnosis Kerja


STEMI Inferior akut late onset Killip 4, TIMI 6/14 + Syok Kardiogenik

2.6 Tatalaksana
Nonfarmakologi

- Tirah baring

- Edukasi mengenai penyakit pasien, tata laksana dan kemungkinan


risiko selama dirawat di rumah sakit.

- Edukasi mengenai perilaku hidup bersih dan sehat, rutin


berolahraga dan menghindari faktor risiko PJK lainnya.
- Rawat ICCU
- EKG serial

Farmakologi
- IVFD Ringer Laklat 500cc loading
- Inj. Ranitidine 2x25 mg
- Drip Vascon 0,05 mg/Kgbb/jam
- PO. Clopidogrel 300 mg (4 tab) loading, dosis rutin 1 x 75 mg (1 tab)
- PO. Aspilet 1x160 mg(kunyah)
- PO. Atorvastatin 1x20 mg

13
2.7 Rencana Tindakan
Primary PCI (Percutaneous Coronary Intervention) Telah dilakukan
Coronary Angiography (16 September 2023).Hasil Angiografi menunjukkan

LM : Normal
LAD : Normal

LCx : Normal
RCA : Dominan, Total oklusi di osteal
Kesimpulan:
CAD 1 VD PCI RCA 1 DES pada STEMI inferior Akut + Syok kardiogenik + CHF (EF
48%)

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

14
2.9 Follow Up
Tanggal Follow Up
16/09/2023 S: Nyeri dada (+)
(ICCU ) O:
KU : Tampak sakit sedamg
Kesadaran: Compos mentis
TD : 102/80 mmHg
HR : 61x/i
RR : 26 x/i
Suhu : 36,5ºC
SpO2 : 99%

Pemeriksaan Jantung : BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-)


Pemeriksaan Paru : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Interpretasi : Sinus rhythm, QRS rate 60x/i, axis N, P wave N, PR


interval 0,08 s, QRS dur 0,08 s, Q patologis di III, aVF. ST
elevasi di VII, III, aVF. T inverted di III, aVF
Kesan: Sinus rhythm, STEMI inferior late onset

P:
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Lovenox 2x0,6 ml
- Inj. Ranitidine 2x25 mg

15
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
- PO. Clopidogrel 1x75 mg
- PO. Aspilet 1x80 mg (kunyah)
- PO. Atorvastatin 1x20 mg

17/09/2023 S: Nyeri dada berkurang


(ICCU) O:
KU : Tampak sakit ringan
Kesadaran: Compos mentis
TD : 105/80 mmHg
HR : 79x/i
RR : 21x/i
Suhu : 36,3ºC
SpO2 ; 100 %

Pemeriksaan Jantung : BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-)


Pemeriksaan Paru : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Interpretasi : Sinus rhythm, QRS rate 75x/i, axis N, P wave N, PR


interval 0,08 s, QRS dur 0,08 s, Q patologis di III, aVF. T inverted
di III, aVF
Kesan: Sinus rhythm, STEMI inferior late onset

16
P:
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Lovenox 2x0,6 ml
- Inj. Ranitidine 2x25 mg
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gr

- PO. Clopidogrel 1x75 mg


- PO. Aspilet 1x80 mg (kunyah)
- PO. Atorvastatin 1x20 mg

17
18/09/2023 S: Nyeri dada (-)
(ICCU) O:
KU : Tampak sakit ringan
Kesadaran: Compos mentis
TD : 108/82 mmHg
HR : 85x/i
RR : 24x/i
Suhu : 36,6ºC
SpO2 : 99%

Pemeriksaan Jantung : BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-)


Pemeriksaan Paru : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Interpretasi : Sinus rhythm, QRS rate 75x/i, axis N, P wave N, PR


interval 0,08 s, QRS dur 0,08 s, Q patologis di III, aVF. T inverted
di III, aVF
Kesan: Sinus rhythm, STEMI inferior late onset

P:
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Lovenox 2x0,6 ml
- Inj. Ranitidine 2x25 mg
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gr

- PO. Clopidogrel 1x75 mg


- PO. Aspilet 1x80 mg (kunyah)
- PO. Atorvastatin 1x20 mg
18
19/09/2023 S: Nyeri dada (-)
Bangsal O:
Jantung KU : Tampak sakit ringan
Kesadaran: Compos mentis
TD : 110/80 mmHg
HR : x/i
RR : 22x/i
Suhu : 36,2ºC
SpO2 : 100%

Pemeriksaan Jantung : BJ I/II regular, gallop (-), murmur (-)


Pemeriksaan Paru : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

P:
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Lovenox 2x0,6 ml
- Inj. Ranitidine 2x25 mg
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gr

- PO. Clopidogrel 1x75 mg


- PO. Aspilet 1x80 mg (kunyah)
- PO. Atorvastatin 1x20 mg
- Pulang

19
20
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pemeriksaan Batas jantung


Pada dasarnya untuk menentukan besar dan bentuk jantung, perkusi dapat
dilakukan dari semua arah
1 Untuk menentukan batas jantung kanan, ditentukan lebih dulu batas paru hati
pada garis midklavikula kanan (kemudian ± 2 jari di atas tempat tersebut
dilakukan perkusi lagi ke arah sternum sampai terdengar perubahan suara
sonor menjadi redup. Perubahan yang normal terjadi pada tempat di antara
garis midsternum dan sternum kanan. Bila batas ini terdapat di sebelah kanan
garis sternum kanan, mungkin sekali hal ini disebabkan pembesaran ventrikel
kanan atau atrium kanan.Normaknya interkostal IIIIV kanan,di line
parasternalis kanan.
2 Untuk mendapatkan batas jantung kiri, ditentukan lebih dulu batas bawah
paru kiri pada garis aksilaris anterior kiri kemuadian ± 2 jari diatasnya
dilakukan perkusi ke arah sternum sampai terdengar perubahan bunyi ketukan
dari sonor menjadi redup. Normal ruang interkostale V kiri agak ke medial dari
terdapat di tempat sedikit sebelah medial dari garis midklavikula kiri. Bila
batas ini ada di sebelah kiri garis midklavikula, mungkin sekali ada
pembesaran ventrikel kiri. Bila ternyata batas paru sebelah kiri sukar
ditentukan, dapat dilakukan perkusi dari lateral kiri ke arah sternum setinggi
tempat perkusi pada waktu menentukan batas kanan jantung (± 2 jari di atas
batas paru-hati)
3 Untuk menggambarkan pinggang jantung dilakukan perkusi dari arah atas ke
bawah pada garis parasternum kiri. Batas normal terdapat pada ruang
interkostal II kiri di linea parasternalis kiri. Bila letaknya lebih ke atas,
mungkin karena adanya pembesaran atrium kiri (misalnya pada stenosis
mitral).

21
Gambar. Batas Jantung
3.2 Sindrom Koroner Akut
SKA merupakan kumpulan gejala klinik yang ditandadi dengan
nyeri dada dan gejala lain yang disebabkan oleh penurunan aliran darah
kejantung, biasanya disebabkan oleh plak ateroskerotik. Pasien datang
dengan dicurigai ACS pada akhirnya dapat menerima diagnosis miokard
akut infark (AMI) atau angina tidak stabil (UA). Diagnosa dari infark
miokard (MI) dikaitkan dengan pelepasan troponin dan dibuat
berdasarkan definisi universal keempat MI, sedangkan UA didefinisikan
sebagai iskemia miokard saat istirahat atau saat aktivitas minimal tanpa
kehadiran cedera/nekrosis kardiomiosit akut.5

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom
Koroner Akut dibagi menjadi:1
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (IMA-EST/STEMI)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (IM-NEST/
NSTEMI)
22
3. Angina Pektoris tidak stabil (APTS/UAP)

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan


indicator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah
dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan
agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut
disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan

menunggu hasil peningkatan marka jantung. Diagnosis NSTEMI dan


angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris
akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen
ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-
normalization, atau bahkan tanpa perubahan angina Pektoris tidak stabil dan
NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai
dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan
adalah Troponin /T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka
jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark
Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial
Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil marka jantung tidak
meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang
untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi
nilai normal atas (upper limits of normal, ULN).1

23
Gambar 1. Spektrum Sindroma Koroner akut.5

24
3.3 Epidemiologi
Studi epidemiologi menunjukkan peningkatan prevalensi sindrom koroner akut
(SKA) di seluruh dunia. Data World Health Organization (WHO) menyebutkan
bahwa terdapat kenaikan mortalitas akibat SKA mencapai 42%. sindrom koroner
akut (SKA) diderita oleh 15.5 juta orang di Amerika Serikat. American Heart
Association (AHA) memperkirakan bahwa henti jantung mendadak terjadi setiap 41
detik di Amerika Serikat. Keluhan paling sering yang dikemukakan pasien adalah
nyeri dada.2,3
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi penyakit
jantung koroner sebagai etiologi utama sindrom koroner akut (SKA) di Indonesia
sebesar 1,5%, dengan peringkat prevalensi tertinggi di Provinsi Kalimantan Utara
yaitu 2,2%, Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu 2%, dan Gorontalo yaitu 2%.Selain
ketiga provinsi tersebut, terdapat pula 8 provinsi lainnya dengan prevalensi yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi nasional. Delapan provinsi
tersebut adalah Aceh (1,6%),Sumatera Barat (1,6%), DKI Jakarta (1,9%), Jawa
Barat (1,6%), Jawa Tengah (1,6%), Kalimantan Timur (1,9%), Sulawesi Utara
(1,8%) dan Sulawesi Tengah (1,9%). Profesi penderita penyakit jantung koroner
terbanyak, yang merupakan etiologi utama SKA, adalah aparat pemerintahan, yaitu
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD dengan prevalensi 2,7%. Sementara jika dilihat dari
tempat tinggal, penduduk perkotaan lebih banyak menderita penyakit jantung
dengan prevalensi 1,6% dibandingkan penduduk pedesaan yang hanya 1,3%.6

3.4 Faktor Risiko


Faktor risiko STEMI dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor yang dapat
dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi.
A. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
• Usia
Umur berperan penting dalam terjadinya penyakit jantung koroner
karena dapat mempengaruhi faktor risiko lain, seperti tekanan
darah tinggi, obesitas, dan kadar lemak. Berat badan merupakan
faktor risiko yang dapat dimodifikasi meningkat pada umur dewasa
tua. Gangguan dalam profil lemak, seperti nilai total kolesterol dan
25
Low Density Lipoprotein (LDL) meningkat disertai nilai High
Density Lipoprotein (HDL) yang rendah, juga berhubungan
dengan pertambahan umur.7
• Jenis Kelamin
Jenis Kelamin merupakan faktor resiko yang sangat signifikan
dalam IMA Laki-laki cenderung terkena serangan jantung daripada
wanita. Serangan jantung meningkat pada wanita setelah
mengalami menaopause tetapi tetap memiliki tingkat yang tidak
sama dengan pria. Pada wanita lebih mungkin mengalami IMA
tanpa nyeri dada dan memiliki mortalitas yang tinggi dibandingkan
dengan pria. Faktor resiko yang lebih dominan pada wanita
dibandingkan pria yaitu seperti hipertensi, diabetes, alkohol serta
aktivitas fisik, sedangkan pada pria yang lebih dominan
dibandingkan wanita yaitu faktor kebiasaan seperti merokok.8
• Riwayat Keluarga
Peningkatan risiko pertama adanya hubungan darah yang relatif
yang memiliki penyakit jantung koroner atau stroke, sebelum usia
55 tahun untuk saudara laki-laki dan 65 tahun untuk saudara
perempuan.8

B. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi


• Merokok

Rokok mengandung zat kimia, seperti nikotin, karbon monoksida,


ammonia, formaldehida, tar, dan lain-lain. Bahan aktif utamanya
adalah nikotin (efek akut) dan tars (efek kronis). Efek nikotin pada
system kardiovaskuler adalah efek simpatomimetik, seperti
menyebabkan takikardi, kontraksi ventrikuler di luar sistol,
meningkatkan noradrenalin dalam plasma, tekanan darah, cardiac
output, dan konsumsi oksigen sehingga menyebabkan
penyempitan aterosklerotik, penempelan platelet, dan menurunkan
HDL. LDL menjadi lebih mudah memasuki dinding arteri yang
berperan dalam patogenesis PJK. Merokok juga meningkatkan
oksidasi dari LDL dan meningkatkan berbagai faktor risiko lain,

26
yaitu dislipidemia, hipertensi, dan diabetes melitus.8
• Dislipidemia
Salah satu komponen lemak tubuh adalah kolesterol. Kolesterol
sangat penting bagi sel yang sehat, tetapi bila tubuh
mengakumulasikannya dalam jumlah banyak, kolesterol akan
berdeposit ke dinding pembuluh darah yang akan menyebabkan
kerusakan dan bisa menghambat aliran darah. Jika ini terjadi, risiko
serangan jantung akan meningkat. Kolesterol terdiri dari 2 bentuk
utama, yaitu HDL yang berperan dalam membawa kadar lemak
yang tinggi dalam jaringan ke hati untuk dimetabolisme dan
dikeluarkan dari tubuh dan LDL yang berperan membawa
kolesterol ke jaringan, termasuk arteri koroner. Nilai LDL yang
tinggi dan HDL yang rendah berperan dalam peningkatan risiko
penyakit jantung, terutama PJK.8
• Hipertensi
Hipertensi meningkatkan kerja jantung dan menyebabkan dinding
jantung menjadi tebal dan kaku yang menyebabkan jantung tidak
bekerja dengan baik. Patofisiologi dari hipertensi menyebabkan
PJK melalui 2 cara. Pertama, hipertensi menyebabkan kerusakan
pada endotel yang akan menyebabkan senyawa vasodilator tidak

dapat keluar dan membuat penumpukan okigen reaktif serta


penumpukan faktor-faktor inflamasi yang mendukung
perkembangan dari aterosklerosis, trombosis, dan penyumbatan
pembuluh darah. Kedua, hipertensi menyebabkan peningkatan
afterload yang menyebabkan hipertrofi dari ventrikel kiri. Itu
menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen miokardium dan
menurunnya aliran darah koroner.8
• Diabetes Melitus
Kadar gula darah yang tinggi akan menyebabkan peningkatan
pembentukan plak ateromatous pada arteri. Hiperglikemi pada
orang diabetes menyebabkan banyak perubahan pada biomolekuler
tubuh, yaitu peningkatan reduksi nicotinamide adenine
dinucleotide (NAD+) menjadi NADH yang belum terbukti sebagai
27
stresor oksidatif seluler, peningkatan produksi uridine diphosphate
(UDP) N-acetyl glucosamine yang diperkirakan mengubah fungsi
enzimatik seluler, dan pembentukan advanced glycation end
product (AGE) yang secara langsung menganggu fungsi sel endotel
dan mempercepat aterosklerosis, serta peningkatan reactive
oxygen species (ROS) yang menganggu produksi nitrit oksida
endotel dan menipiskan plak aterosklerosis sehingga mudah
rupture.4
• Obesitas
Kelebihan berat badan dan obesitas berhubungan dengan risiko
yang tinggi pada IMA. Kelebihan berat badan dan obesitas dapat
mempengaruhi kesehatan dan perlu adanya kontrol body mass
indeks (BMI) untuk mencegah terjadinya IMA.
• Inaktivasi fisik
Orang-orang yang tidak aktif dengan faktor resiko jantung lebih
mungkin berkembang menjadi infark miokard. Untuk
mendapatakan kebaikan, harus dimulai dengan latihan-latihan

yang sederhana. Harus ada faktor risiko modifikasi yang agresif


sebelum pelaksanaan aktivitas yang kuat.
3.5 Patogenesis
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah
koroner yang koyak atau pecah akibat perubahan komposisi plak dan penipisan
tudung fibrosa yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses
agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi sehingga terbentuk trombus yang
kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat lubang pembuluh
darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang
menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat
vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan
alliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia
miokardium. Suplai oksigen yang berhenti selama kurang lebih 20 menit
menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard/IM).1

28
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Sumbatan subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis juga dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Selain nekrosis, iskemia juga menyebabkan gangguan kontraktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), serta distritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Pada
sebagian pasien, SKA terjadi karena sumbatan dinamis akibat spasme lokal arteri
koronaria epikardial (angina prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa
spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi pembentukan plak atau
restenosis setelah intervensi koroner perkutan (PCI). Beberapa faktor ekstrinsik,
seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.1

Gambar 2, Peoses atheroskerosis

29
3.6 Diagnosis
A. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa
tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten
(beberapa menit) atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai
keluhan penyerta seperti diaforesis (keringat dingin), mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop.

Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikall, gangguan pencernaan (indigesti), sesak napas yang tidak
dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Kelluhan atipikal
ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75
tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun
keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai
sebagai angina ekuivallen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien
dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah
terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA.

Nyeri dengan gambaran dibawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri
dada non-kardiak):
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks ventrikel
kiri atau pertemuan kostokondral.
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah.1
.

B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus, dan
hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaforesis,
ronkhi basah halus, atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.

30
Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang, dan
regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai
suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan
diagnosis banding SKA.1

C. Elektrokardiografi

Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia
dinding inferior. Sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang
mempunyai EKG awal non-diagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam
10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG
sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.

Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, non-diagnostik, left bundle branch block (LBBB)
baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (220 menit) maupun tidak
persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.

Penilaian elevasi ST dilakukan pada titik J dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk laki-
laki dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Nilai ambang untuk
diagnostik pada berbagai sadapan beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin
(Tabel 1.2). Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan
permukaan tubuh segmen elevasi ST, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika
STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen
ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru
mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien
dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi
sebelum hasil pemeriksaan biomarka jantung tersedia.

31
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien
dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm
pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST 21 mm di V1-V3.
Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang
mempunyai spesivisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut.
Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah. Pada LBBB, diagnosis EKG
untuk IMA sulit ditegakkan tetapi seringkali dimungkinkan jika ditemukan
abnormalitas segmen ST yang bermakna. Terdapat beberapa algoritme kompleks
untuk membantu diagnosis, tetapi tidak memberikan kepastian diagnostik. Adanya
elevasi segmen ST kondordan merupakan salah satu indikator terbaik IM yang sedang
berlangsung dengan arteri infark yang mengalami oklusi. Pasien dengan dugaan klinis
iskemia miokard dan LBBB baru/dianggap baru, dirawat sebagai pasien STEMI.
Sementara pasien dengan dugaan klinis iskemia miokard dan LBBB sebelumnya,
dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan angiografi koroner.

Pasien dengan IM dan RBBB memiliki prognosis buruk. Iskemia transmural


pada pasien dengan nyeri dada dan RBBB sulit terdeteksi. Karenanya strategi PCI
primer harus dipertimbangkan jika gejala-gejala iskemia persisten terjadi pada RBBB.

32
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tanpa elevasi segmen ST yang
persisten, diagnosisnya adalah infark miokard non-elevasi segmen ST (NSTEMI) atau
angina pektoris tidak stabil (UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia
adalah sebesar 20,05 mV di sadapan V1-V3 dan 20,1 mV di sadapan lainnya.
Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang
tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi
gelombang T yang simetris 20,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk iskemia akut.
Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik
dikategorikan sebagai perubahan EKG yang non-diagnostik.

Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis


pertama. Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya dapat
sangat membantu diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu
dilakukan perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang mungkin
dijumpai pada pasien NSTEMI dan UAP antara lain:

1. Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan elevasi


segmen ST yang tidak persisten (<20 menit)

2. Gelombang Q yang menetap

3. Non-diagnostik

4. Normal.

Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan


diagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat iskemia tersembunyi di
daerah sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel kanan, oleh karena itu pada hasil EKG
normal perlu dipertimbangkan pemasangan sadapan tambahan.

Depresi segmen ST 20,5 mm di z 2 sadapan berdekatan sugestif untuk


diagnosis UAP atau NSTEMI; tetapi mengingat kesulitan mengukur depresi segmen
ST yang kecil, diagnosis lebih relevan dihubungkan dengan depresi segmen ST 21
mm. Depresi segmen ST 21 mm dan/atau inversi gelombang T22 mm di beberapa
sadapan prekordial sangat sugestif untuk mendiagnosis UAP atau NSTEMI (tingkat
peluang tinggi). Gelombang Q 20,04 detik tanpa disertai depresi segmen ST dan/atau
inversi gelombang T menunjukkan tingkat persangkaan terhadap SKA tidak
tinggisehingga diagnosis yang seharusnya dibuat adalah Kemungkinan SKA atau
Definitif SKA.1
33
Jika pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan non-diagnostik, sementara
angina masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian (rekam juga
V7-V9). Pada keadaan di mana EKG ulang tetap menunjukkan kelainan yang non-
diagnostik dan biomarka jantung negatif sementara keluhan angina sangat sugestif
SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang setiap terjadi angina
berulang atau setidaknya 1 kali dalam 24 jam. Bila dalam masa pemantauan terjadi
perubahan EKG, misalnya depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T yang
signifikan, maka diagnosis UAP atau NSTEMI dapat dipastikan. Walaupun demikian,
depresi segmen ST yang kecil (0,5 mm) yang terdeteksi saat nyeri dada dan
mengalami normalisasi saat nyeri dada hilang sangat sugestif diagnosis UAP atau
NSTEMI..1

D. Pemeriksaan Biomarka Jantung

Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan biomarka


nekrosis miosit jantung dan menjadi biomarka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai biomarka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesivisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan biomarka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk menentukan
penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner atau non-koroner). Troponin IT
juga dapat meningkat akibat kelainan kardiak non-koroner seperti takiaritmia, trauma
kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan non-
kardiak yang dapat meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal
napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan
insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi
yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi
ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesivisitas yang lebih tinggi dari
troponin T.

Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T


menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, sehingga
pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA
tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam
setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada
seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesivisitas lebih rendah)
34
dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-
MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark
periprosedural.

Pemeriksaan biomarka jantung sebaiknya dilakukan di Jaboratorium sentral.


Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care testing)
pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (15-20 menit)
tetapi kurang sensitif. Point of care testing sebagai alat diagnostik rutin SKA hanya
dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral memerlukan waktu >1 jam.
Jika biomarka jantung secara point of care testing menunjukkan hasil negatif maka
pemeriksaan harus diulang di laboratorium sentral.

Dalam menentukan kapan marka jantung hendak diulang hendaknya


mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan angina. Tes yang
negatif pada 1 kalli pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis IMA. Kadar troponin pada pasien IMA meningkat di dalam darah perifer 3-
4 jam setelah awitan infark dan menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar
troponin biasanya menghilang dalam 2-3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas,
peningkatan ini dapat menetap hingga 2 minggu (Gambar 1.1). Apabila pemeriksaan
troponin tidak tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan CKMB. CKMB akan meningkat
dalam waktu 4-6 jam, mencapai puncaknya pada 12 jam, dan menetap sampai 2 hari.

Gambar 3. Biomarker jantung1

35
E. Pemeriksaan Non-invasif

Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan


gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan diagnosis
banding. Hipokinesia atau akinesia segmental dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat
iskemia dan menjadi normal saat iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis banding
seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta dapat dideteksi melalui
pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan, pemeriksaan ekokardiografi
transtorakal saat istirahat harus tersedia di ruang gawat darurat dan dilakukan secara rutin
dan sesegera mungkin pada pasien tersangka SKA. Stress test seperti EKG exercise yang
telah dibahas sebelumnya dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding PJK
obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat normal, dan marka jantung
yang negatif.1

F. Pemeriksaan Invasif (angiografi koroner)

Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat


keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien
dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik
akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang sedang
mengalami gejala atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG
diagnostik. Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan pasien dengan stenosis
arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian kardiovaskular yang serius,
angiografi koroner disertai perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding regional
seringkali memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan angiografi
yang khas antara lain eksentrisitas, batas yang ireguler, ulserasi, penampakkan yang
kabur, dan filling defect yang mengesankan adanya trombus intrakoroner.1

G. Pemeriksaan Laboratorium

Data laboratorium, di samping biomarka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang


gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes
fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh menunda terapi SKA.1

H. Pemeriksaan Foto Polos Dada

Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis banding, identifikasi


komplikasi dan penyakit penyerta. Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh
dari anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes biomarka jantung, dan foto
36
polos dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan
sebagai berikut: non-kardiak, angina stabil, kemungkinan SKA, dan definitif SKA.1

Gambar 4. Alur diagnosa SKA1

I. Tatalaksana

Tindakan Umum dan Langkah Awal

Terapi awal pada pasien dengan diagnosa kerja kemungkinan SKA atau
SKA atas keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil
pemeriksaan EKG dan atau marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah
Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus semua
atau bersamaan.1

a. Tirah baring
b. Pada semua pasien STEMI direkomendasikan untuk mengukur saturasi
oksigen perifer Oksigen diindikasikan pada pasien dengan hipoksemia
37
(SaO2 <90%.
c. Aspirin 160-320 mg diberikan segera kepada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorpsi sublingual yang lebih cepat.
d. Penghambat reseptor adenosisn difosfat (ADP)
i. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2x90 mg/hari kecuali pada pasien
IMA- EST yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinoliyik, atau
ii. Dosis awal Clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat
reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel).

e. Nitrogliserin tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih
berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada tidak hilang
bisa diulang sampai 3 kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. Dalam
keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai
sebagai pengganti.
f. Morfin sulfat 1-5 mg IV, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual.1
Terapi Reperfusi

Terapi reperfusi segera, baik dengan PCI atau farmakologis,


diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam
dengan elevasi segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block
(LBBB) yang (terduga) baru.Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa PCI
primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia
yang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau
jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat. Dalam menentukan terapi
reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada rumah sakit sekitar yang
memiliki fasilitas PCI. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. Bila ada,
pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke

38
rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan
waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik
selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan
fasilitas PCI sedang.1

Gambar 5. Alur tatalaksana STEMI5

39
1. Fibrinolitik
Fibrinolitik merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama di layanan
medis yang tidak dapat melakukan PCI pada pasien IMA-EST dalam waktu yang
disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak
awitan gejala pada pasien-pasien tanpa kontraindikasi apabila PCI primer tidak
bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis
pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala)
dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolitik perlu
dipertimbangkan bila waktu antara KMP dengan inflasi balon lebih dari 90 menit .
Fibrinolitik harus dimulai di ruang gawat darurat.1

Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenecteplase, alteplase, reteplase) lebih


disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin
(streptokinase). Harus diberikan aspirin oral. Clopidogrel diindikasikan diberikan
sebagai tambahan untuk aspirin. Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-
pasien IMA-EST yang diobati dengan fibrinolitik sampai revaskularisasi (bila
dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari. Antikoagulan yang
digunakan dapat berupa:

1. Enoxaparin subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak


terfraksi)

2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat


badan dan infus selama 3 hari.

3. Pada pasien-pasien yang mendapatkan streptokinase, fondaparinux


intravena secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam
kemudian

Gambar 7 Kontaindikasi
40 Fibrinolitik1
Gambar 7. Alur pemberian fibrinolitik1

41
Gambar 8. Dosis fibrinolitik dan koterapi antitrombotik1

2. Primary PCI
Primay PCI merupakan PCI emergensi dengan balloon, stent, atau alat
lainnya, yang dikerjakan pada arteri yang infark (infarct-related artery/IRA)
tanpa terapi fibrinolitik sebelumnya. PCI primer adalah terapi reperfusi pilihan
apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam waktu 120 menit dari
KMP. PCI primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang
berat atau syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian PCI
akan tertunda lama dan bila pasien datang dengan awitan gejala yang telah
lama. Tidak disarankan untuk melakukan PCI secara rutin pada arteri yang
telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil
tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolitik. Bila
pasien tidak memiliki kontraindikasi terhadap terapi antiplatelet ganda (dual
42
antiplatelet therapy/DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap
pengobatan, lebih disarankan drug-eluting stents (DES) dari pada bare metal
stents (BMS).

Pasien yang akan menjalani primary PCI akan diberikan farmakoterapi


periprosedural berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP disertai
antikoagulan intravena. Farmakoterapi periprosedural yang dapat diberikan
antara lain:

1. Aspirin : dosis loading 150-300 mg per oral diikuti dosis rumatan


75- 100 mg.
2. Inhibitor reseptor ADP:
- Clopidogrel : dosis loading 600 mg per oral diikuti dosis
rumatan 75 mg
- Ticagrelor : dosis loading 180 mg peroral diikuti dosis rumatan
90 mg.
- Sediaan lain : Prasugrel, Abciximab, Eptifibatide, Tirofiban
3. Antikoagulan:
- UFH : bolus 70-100 IU/kg iv bolus jika tidak diberikan inhibitor
GP IIb/IIIa, 50-70 IU/kg iv bolus jika diberikan inhibitor GP
Iib/IIIa
- Enoxaparin : 0,5 mg/kg iv bolus
- Bivalirudin : 0,75 mg/kg iv bolus.1

J. Terapi Jangka Panjang


a. Intervensi Gaya Hidup

Edukasi mengenai intervensi gaya hidup sudah dimulai selama rawatan


di rumah sakit. Perubahan pola gaya hidup yang dianjurkan adalah berhenti
merokok, kontrol tekanan darah optimal, kontrol diet dan berat badan,
olahraga dan rehabilitasi, dan kepatuhan dalam pengobatan.9

b. Terapi Antitrombolitik

Pemberian double anti platelet (DAPT), aspirin dan inhibitor P2Y12


(prasugrel, ticagrelor, clopidogrel), direkomendasikan pada pasien STEMI

43
yang menjalani primary PCI hingga 12 bulan. Clopidogrel disarankan
selama minimal 1 bulan dan dipertimbangkan dilanjutkan hingga 12 bulan
pada pasien yang menjalani fibrinolisis. Pada pasien risiko tinggi
komplikasi perdarahan, dapat dipertimbangkan penghentian inhibitor
P2Y12 setelah 6 bulan. Pada pasien yang mendapat DAPT, perlu diberikan
agen proton pump inhibitor (PPI) sebagai pelindung lambung.9

c. Statin

Direkomendasikan untuk memulai statin intensitas tinggi sesegera


mungkin kecuali terdapat kontraindikasi. Target LDL yang
drekomendasikan  70 mg/dL. Yang dapat diberikan adalah Rosuvastatin
10-20 mg/hari, Atorvastatin 20-40 mg/dL.1

K. Komplikasi
Gangguan Hemodinamik

a) Gagal Jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsi
miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan PCI atau trombolisis,
perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun apabila terjadi jejas transmural
dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama pada dinding anterior, dapat terjadi
komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling patologis disertai tanda
dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir dengan gagal jantung kronik.
Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai konsekuensi dari aritmia yang berkelanjutan
atau sebagai komplikasi mekanis
Diagnosis gagal jantung secara klinis pada fase akut dan subakut IMA- EST
didasari oleh gejala-gejala khas seperti dispnea, tanda seperti sinus takikardi, suara
jantung ketiga atau ronkhi pulmonal, dan bukti-bukti objektif disfungsi kardiak seperti
dilatasi ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi ejeksi. Disfungsi ventrikel kiri
merupakan satu-satunya prediktor terkuat untuk mortalitas setelah terjadinya IMA-
EST. Derajat kegagalan jantung setelah infark dapat dibagi menurut klasifikasi Killip

44
i. Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah 90 mmHg.
Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga disebabkan oleh
hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis. Bila berlanjut, hipotensi dapat
menyebabkan gangguan ginjal, acute tubular necrosis dan berkurangnya urine output.1
ii. Kongesti Paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal,
berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada Roentgen dada dan
perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator.
iii. Keadaan Output Rendah
Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang buruk dengan
hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produksi urin. Ekokardiografi dapat
menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang buruk, komplikasi mekanis atau infark
ventrikel kanan.
iv. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan penyebab
kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati 50%. Meskipun
syok seringkali terjadi di fase awal setelah awitan infark miokard akut, ia biasanya
tidak didiagnosis saat pasien pertama tiba di rumah sakit. Penelitian registry SHOCK
(SHould we emergently revascularize Occluded coronaries for Cardiogenic shocK)
menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik terjadi dalam 6 jam dan 75% syok terjadi
dalam 24 jam
Pasien biasanya datang dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah (takikardia
saat istirahat, perubahan status mental, oliguria, ekstremitas dingin) dan kongesti paru.
Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah indeks jantung <2,2, L/menit/ m2 dan
peningkatan wedge pressure >18 mmHg. Selain itu, diuresis biasanya <20 mL/jam.
Pasien juga dianggap menderita syok apabila agen inotropik intravena dan/atau IABP
dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik >90 mmHg. Syok
kardiogenik biasanya dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas, namun juga
dapat terjadi pada infark ventrikel kanan. Baik mortalitas jangka pendek maupun
jangka panjang tampaknya berkaitan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri awal dan
beratnya regurgitasi mitral

45
b) Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam pertama
setelah infark miokard. Monitor jantung yang dipasang dalam 11 ±5 hari sejak infark miokard
akut melaporkan insidensi fibrilasi atrium awitan baru sebesar 28%, VT yang tidak berlanjut
sebesar 13%, blok AV derajat tinggi sebesar 10% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik),
sinus bradikardi sebesar 7% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik), henti sinus sebesar 5%
(≥5 detik), VT berkelanjutan sebesar 3% dan VF sebesar 3%.
Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa manifestasi dari kondisi berat
yang mendasarinya, seperti iskemia miokard, kegagalan pompa, perubahan tonus otonom,
hipoksia, dan gangguan elektrolit (seperti hipokalemia) dan gangguan asam-basa. Keadaan-
keadaan tersebut memerlukan perhatian dan penanganan segera. Blok AV derajat tinggi
dulunya merupakan prediktor yang lebih kuat untuk kematian akibat jantung.

c) Komplikasi Kardiak
Usia lanjut, gejala Killip II-IV, penyakit 3 pembuluh, infark dinding anterior, iskemia
berkepanjangan atau berkurangnya aliran TIMI merupakan factor risiko terjadi komplikasi
kardiak. Beberapa komplikasi mekanis dapat terjadi secara akut dalam beberapa hari setelah
IMA-EST, meskipun insidensinya belakangan berkurang dengan meningkatnya pemberian
terapi reperfusi yang segera dan efektif. Semua komplikasi ini mengancam nyawa dan
memerlukan deteksi dan penanganan secepat mungkin. Pemeriksaan klinis berulang (minimal
dua kali sehari) dapat menangkap murmur jantung baru, yang menunjukkan regurgitasi mitral
atau defek septum ventrikel, yang kemudian perlu dikonfirmasi dengan ekokardiografi segera.
CABG secara umum perlu dilakukan apabila pantas saat operasi pada pasien yang
memerlukan operasi darurat untuk komplikasi mekanis yang berat.
Beberapa komplikasi kardiak diantaranya :
i. Regurgitasi katup mitral

ii. Rupture jantung

iii. Rupture septum ventrikel

iv. Infark ventrikel kanan

v. Pericarditis

vi. Aneurisma ventrikel kiri

46
vii. Thrombus ventrikel kiri.1

3.7 Syok Kardiogenik


Syok kardiogenik merupakan setiap keadaan yang menyebabkan keadaan
gangguan perfusi organ akhir, karena penurunan curah jantung Hal ini ditandai
dengan hipotensi, kongesti paru, dan gangguan perfusi jaringan dan organ vital.
Secara umum, Syok kardiogenik dapat didefinisikan secara klinis. Namun,
khususnya, di beberapa tempat uji klinis, parameter hemodinamik tambahan, seperti
penilaian tekanan pengisian ventrikel kiri (LV) atau indeks jantung, digunakan untuk
mendefinisikan kedaan Dalam uji coba IABP-SHOCK II terbaru definisi klinis
digunakan.10
Umumnya, kriteria yang ditetapkan untuk syok kardiogenik adalah sebagai berikut:
1 Tekanan darah sistolik <90 mmHg >30 menit atau vasopresor diperlukan
untuk mencapai ≥90 mmHg
2 Kongesti paru atau peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri (misalnya
PCWP>18 mmHg)
3 Tanda-tanda gangguan perfusi organ dengan setidaknya salah satu dari tanda
berikut, kriteria:
a) Perubahan status mental
b) Kulit dan ekstremitas dingin dan lembap
c) Oliguria dengan haluaran urin <30 mL/jam
d) Serum laktat >2,0 mmol/L
4 Penurunan indeks jantung (<1,8 L/mnt/m tanpa dukungan, dan 2,0–2,2
L/mnt/m dengan dukungan).10

47
Gambar 9. Evolusi kriteria syok kardiogenik.11
3.8 Etiologi
Penyebab tersering dari syok kardiogenik ialah SKA, dimana waktu median setelah STEMI
untuk terjadinya syok berada pada kisaran 5-6 jam. Pada UAP atau NSTEMI tampaknya
terjadi di kemudian hari, dengan median masing-masing 76 dan 94 jam. Secara umum,
kehilangan >40% miokardium fungsional dapat menyebabkan syok kardiogenik, seperti yang
ditunjukkan pada studi otopsi. Namun, komplikasi mekanis, seperti Ventrikular septal defect
(VSD), free wall rupture (FWR), papillary muscle rupture/dysfunction, Diikutimitral regurgitation
(MR),juga berkontribusi terhadap syok kardiogenik setelah SKA. Itu kejadian penyebabnya
telah dijelaskan sebesar 78,5% untuk kegagalan LV, 3,9% untuk VSD, 6,9% untuk MR
iskemik, 2,8% untuk ventrikel kanan (RV) kegagalan, dan 1,4% untuk tamponade jantung.10

48
Gmabar 9. Etiologi syok kardiogenik.12
3.9 Patofisiologi
Gangguan patofisiologi utama adalah berkurangnya curah jantung (CO)
menyebabkan sistemik hipoperfusi dan siklus maladaptif iskemia, peradangan,
vasokonstriksi, dan kelebihan volume, seringkali berpuncak pada kegagalan multiorga
dan kematian. Gangguan CO dan disfungsi diastolik progresif meningkatkan LEDP,
yang mengurangi tekanan perfusi koroner, miokard kontraktilitas, dan volume
sekuncup. Sebagai tanggapan untuk iskemia jaringan dan nekrosis, melepaskan
inflamasi mediator semakin mengganggu metabolisme jaringan dan menginduksi
produksi oksida nitrat, yang menyebabkan sistemik vasodilatasi dan memperburuk
hipotensi, menekankan miokardium yang sudah disfungsional.
Respons maladaptif ini mungkin bersifat akut, seperti yang terjadi pada AMI-
CS, atau ditumpangkan pada neurohormonal kronis aktivasi yang menyertai ADHF-
CS. Hipoksia dan peradangan paru menyebabkan vasokonstriksi paru,meningkatkan
afterload biventrikular dan kebutuhan oksigen miokard. Respon ginjal terhadap
gangguan perfusi glomerulus meningkatkan reabsorpsi natrium tubulus dan aktivasi

49
reninangiotensin- sumbu aldosteron, menghasilkan lebih lanjut kelebihan volume dan
mengganggu efektivitas diuretik. Vasokonstriksi splanknikus yang dimediasi secara
simpatik semakin memperburuk kelebihan volume sebesar mendistribusikan kembali
50% total volume darah ke sirkulasi. Peningkatan tekanan pengisian ventrikel
semakin memperburuk efisiensi miokard dan iskemia, terutama di ventrikel kanan
(RV) Jika dibiarkan, siklus maladaptif ini sering terjadi berkembang menjadi
kematian.12

Gambar 10. Patofisiologi syok kardiogenik.


3.10 Terapi
a. Bedrest total
b. Lakukan resusitasi jantung jika terjadi cardiac arrest
c. Sedasi dengan midazolam, propofol atau morfin
d. Oksigen support (NRM atau CPAP, intubasi jika terjadi gagal napas)
e. Pemasangan IVFD
f. Jika terjadi gangguan irama seperti taki/bradiaritmia atasi segera dengan pemberian preparat
anti-arimia atau pemasangan pacu jantung, over drive atau kardioversi
g. Monitoring invasive atau non invasif untuk mengetahui status preload, SVR dan curah
jantung (CO).
h. Jika preload rendah maka diberikan fluid challenge 1-4 cc/kgBB/10 menit hingga
dipastikan preload cukup.
i. Jika CO rendah dengan SVR tinggi namun MAP masih Terapi definitif seperti PCI, operasi
50
penggantian katup, BMV (pada MS), urgent CABG harus segera dilakukan, atau transplantasi
jantung bila memungkinkan. n. Semua pasien syok kardiogenik harus dirawat di ruang
CVCU.13

51
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien datang keluhan Nyeri dada dirasakan seperti tertindih beban berat,
kemudian menjalar ke ulu hati, punggung, dan rahang. Keluhan pasien tersebut
merupakan ciri dari nyeri tipikal pada pasien iskemia miokard yaitu nyeri
dirasakan seperti rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar hingga ke area
interscapular atau epigastrium, dipicu oleh kegiatan dan membaik dengan
istirahat. Serta pasien ini juga mengalami keluhan yang penunjukkan
peningkatan sistem saraf simpatis yaitu keringat dingin, mual muntah, dan
berdebar-debar, serta sinkop

Pasien juga memiliki faktor resiko untuk terjadinya suatu SKA yaitu
pasien usia nya 54 tahun dan berjenis kelamin laki-laki, dimana prevalensi SKA
memang meningkat pada pasien laki-laki dengan usia >45 tahun. Pasien juga
mengalami obesitas derajat 1 (IMT = 25,71) dan memilki kebiasaan merokok
sejak ± 40 tahun yang lalu, dimana rokok mempunyai zat nikotin yang memiliki
efek simpatomimetik, seperti menyebabkan takikardi, kontraksi ventrikuler di
luar sistol, meningkatkan noradrenalin dalam plasma, tekanan darah, cardiac
output, dan konsumsi oksigen sehingga menyebabkan penyempitan
aterosklerotik, penempelan platelet, dan menurunkan HDL. LDL menjadi lebih
mudah memasuki dinding arteri yang berperan dalam patogenesis PJK. Merokok
juga meningkatkanoksidasi dari LDL dan meningkatkan berbagai faktor risiko
lain, yaitu dislipidemia, hipertensi, dan diabetes melitus
Berdasarkan pemeriksaan tanda vitaL os saat di IGD, didapatkan tekanan
darah os 74/52 mmHg, frekuensi nadi 56 kali/menit. Pemeriksaan fisik
menunjukkan hasil yang normal, kecuali pada ekremitas dimana sudah terdapat
gangguan perfusi berupa karal dingin dan CRT > 2 detik, sehingga berdasarkan hal
tersebut menunjukkan pasien mengalami syok kardiogenik, walaupun untuk
menegakkan syok kardiogenik harus dipastikan kembali adanya kongesti paru maupun
penurunan cardiac indeks
Pada pemeriksaan EKG 12 lead dan didapatkan hasil EKG dengan irama

52
sinus dan ST elevasi Q patologis di III, aVF. ST elevasi di VII, III, aVF. T inverted
di III, aVF. Dari EKG didapatkan adanya STEMI inferior yang sudah late
osnet,kemudian dari skor killip karena pasien menealami syok kardiogenik maka
skor klillip nya 4 dan skor TIMI 6 yang diapatkan dari skor killip II-IV (2), Tensi
kurang dari 100mmHg (3) dan waktu perfusi lebih dari 4 jam dari onset (1).
berdasarkan nyeri yang khas pada anamesis, pemeriksaan fisik pemeriksaan EKG
sehingga pasien dapat di diagnosa Sindrom koroner akut berupa STEMI inferior akut
late osnet killip 4 TIMI 6 dengan syok kardiogenik. Pada os kemudian dilakukan
pemeriksaan laboratorium rutin berupa darah perifer lengkap, gula darah sewaktu,
dan biomarka jantung. Pada pasien ini didapatkan troponin dengan nilai 5268,5 ng/ml
artinya terdapat peningkatan. Peningkatan troponin mulai meningkat pada 4-6 jam
setelah onset nyeri dada, mencapai puncaknya di hari ke-2, dan mulai menghilang
dalam 8-21 hari (troponin T) atau 7-14 hari (troponin I). Berdasarkan teori, pasien ini
terdapat infark di segmen inferior, yang mana pada segmen anteroseptal ini
diperdarahi oleh arteri RAC dan cabang-cabangnya, yang telah di konfirmasi saat
dilakukan tindakan PCI (percutaneus cathether intervention)
Tatalaksana awal yang diberikan pada kasus ini adalah IVFD RL 500cc
loading yang diberikan untuk meningkatkan preload sehingga dapat meningkatkan
cardiac output sehingga dapat meningkatkan tekanan dan memperbaiki perfusi.
Pemberian vascon juga diperuntuhkan untuk meningkatkan tekanan darah agar
dapat memperbaiki perfusi, sedangkan nitrat belum dapat diberikan karena dapat
memperparah hipotensi. Antiplatelet yang diberikan berupa clopidogrel 75 mg
tablet diberikan sebanyak 4 tablet dan aspilet 80 mg diberikan sebanyak 2 tablet.
Aspirin dan clopidogrel adalah kombinasi tersering pada terapi infark miokard
sebagai antiplatelet. Clopidogrel merupakan antiplatelet antagonis ADP (Adenosine
Di-Phospahate) yang diberikan bersama aspirin sesegera mungkinTujuan pemberian
clopidogrel adalah memblokir sub type dari reseptor ADP (reseptor P2Y12) pada
trombosit, mencegah pengikatan ADP ke resptordanekspresi berikutnya dari
trombosit reseptor GP IIb/IIIa, mengurangi agregasi platelet
Aspilet bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenasesehingga
menghambat produksi tromboksan A2 (TXA2) yang akan menghambat fungsi
trombosit agar menjaga ruptur plak sehingga tidak menyebabkan pengumpalan darah
kembali. Aspirin dikontraindikasikan pada pasien dengan ulkus petikum, kelainan
perdarahan dan alergi terhadapt penisilin.

53
Selain pemberian antiplatelet, antikoagulan parenteral juga harus diberikan,
kecuali pasien memiliki kontraindikasi absolut yaitu perdarahan. Efek samping dari
pemberian antiplatelet dan antikoagulan adalah meningkatnya risiko perdarahan,
sehingga pemberian obat tersebut dihentikan jika terdapat risiko perdarahan
berlebih. Obat antikoagulan berupa Inj. Lovenox 2 x 0,6 cc, Obat antikoagulan
berperan dalam mencegah pembekuan darah dan menghambat pembentukan fibrin
sehingga dapat mengurangi pembesaran thrombus, Pemberian obat ini juga
disarankan pada semua pasien yang mendapatkan terapi antiplatelet. Ranitidin 2 x
25 mg obat ini merupakan obat golongan antagonis reseptor H2 yang umumnya
digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung.
Pemberin atorvastatin 1x20 mg merupakan terapi pada STEMI pada teori
dikatakan pemberian statin tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa
mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A
reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita APTS/STEMI, termasuk
mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat kontra indikasi.
Dimana pemberian statin dapat membatasi dalam sintesis kolestrol. Semua statin
mengurangi kolestrol low-density lipoprotein (LDL) dan beberapa juga meningkatkan
kolestrol high-density lipoprotein (HDL) (seperti simvastatin, atorvastatin) dan
mengurangi trigliserida.

54
BAB V
KESIMPULAN

Tn. E usia 54 tahun datang dengan keluhan nyeri dada tipikal sejak ± 13 hari
SMRS. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
os didiagnosa Stemi Inferior akut late onset Killip 4, TIMI 5/14 degan syok
kardiogenik, untuk tatalaksana stabilisasi kondisi os, sudah dilakukan strategi invasif
berupa tindakan primary PCI (Percunatenous Coronary Intervention) dengan hasil LM
: Normal, LAD : Normal LCx : Normal RCA : : Dominan, Total oklusi di osteal.
Dengan kesimpulan : CAD 1 VD PCI RCA 1 DES pada STEMI inferior Akut + Syok
kardiogenik + CHF (EF 48%)

55
DAFTAR PUSTAKA
1. PERKI. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. 4th ed. Jakarta: Jurnal
Kardiologi Indonesia; 2018.
2. WHO. Cardiovaskular Disease [Internet]. 2021. Available from:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/cardiovascular-diseases- (cvds)
3. Shahjehan RD BB. Coronary Artery Disease. StatPearls.
4. Torry SRV, Panda L OJ. Gambaran Faktor Risiko Penderita Sindroma koroner Akut.
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fak Kedokt Unsrat. 2013;
5. Task A, Members F, Byrne RA, Ireland C, Rossello X, Coughlan JJ, et al. 2023 ESC
Guidelines for the management of acute coronary syndromes Developed by the task
force on the management of acute coronary syndromes of the European Society of
Cardiology ( ESC ) ( United Kingdom ), ( United Kingdom ),. 2023;1–107.
6. Kesehatan K. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar. Jakarta; 2018.
7. Thygesen. The universal definition of miocard infarction. Eur Hear J.
2012;33(2551):67.
8. Joewono, Soesetyo B. Penyakit Jantung Koroner. Surabaya. Airlangga Universitty
Press.
9. Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes MJ, Bucciarelli-Ducci C BH, Ambhore NS,
Katragabba R, Kalidhindi RSR, Thomson MA, Pabellck CM PY et all. 2017 ESC
Guidelines For The Management of Acute Myocardial Infarction In Patients Presenting
With ST-Segment Elevation. Eur Hear J. 2019;39.
10. Michou E, Kozhuharov N, Martin J, Mueller C. The ESC Textbook of Intensive and
Acute Cardiovascular Care. Oxford University Press. 2021. 103–112 p.
11. Vahdatpour C, Collins D, Goldberg S. Cardiogenic Shock. J Am Heart Assoc.
2019;8(8):1–12.
12. Tehrani BN, Truesdell AG, Psotka MA, Rosner C, Singh R, Sinha SS, et al. A
Standardized and Comprehensive Approach to the Management of Cardiogenic Shock.
JACC Hear Fail. 2020;8(11):879–91.
13. PERKI. Panduan praktik klinis (ppk) dan clinical pathway (cp) penyakit jantung dan
pembuluh darah. 2018.

56

Anda mungkin juga menyukai