UNIVERSITAS JAMBI
2023
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh :
Muhammad Rasyid Ridho, S.Ked
G1A222106
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Subhana Wata’ala
sebab karena rahmatnya, tugas Clinical Report Session (CRS) yang berjudul
“STEMI inferior late onset syok kardiogeik” ini dapat terselesaikan. Tugas ini
dibuat agar penulis dan teman-teman sesama koas periode ini dapat memahami
tentang patogenesis, komplikasi, dan pengobatan dari kasus ini. Selain itu juga
sebagai tugas dalam menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Bedah RSUD Raden Mattaher.
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
SKA dapat dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu Unstable Angina
Pectoris (UAP), Non ST-Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI), dan ST-
Elevation Myocardial Infarction (STEMI).1 STEMI merupakan suatu indicator
terjadinya oklusi total pembuluh darah arteinkoroner. Faktor-fakto risiko
terjadinya SKA terdapat yang dapat dimodifikasi dan tidak. Faktor yang tidak
dapat dimodifikasi ialah usia dan jenis kelamin, sedangkan faktor yang dapat di
modifikasi ialah hipertensi yang tidak terkontrol, memiliki riwayat diabetes
mellitus sebelumnya, status obesitas, kebiasaan merokok maupun makanan yang
dikonsumsi oleh pasien.4
5
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri dada sejak 13 jam SMRS
Keluhan Tambahan : Mual muntah, pingsan, berdebar debar
Riwayat Perjalanan Sekarang :
Os datang ke IGD Raden Mattaher dengan keluhan nyeri dada sebelah
kiri sejak ± 9 jam smrs. Nyeri dada dirasakan seperti tertindih beban berat,
kemudian menjalar ke ulu hati, punggung, dan rahang. Nyeri dirasakan terus-
menerus dan tiba-tiba saat os sedang bekerja sebagai kuli bangunan yang
dirasakan lebih dari 20 menit, sedikit membaik dengan istirahat.
6
Riwayat Penyakit Dahulu
• Riwayat DM (-)
• Riwayat kolestrol tinggi (-)
• Riwayat DM (-)
• TD : 74/52 mmHg
• HR : 56 x/menit
• RR : 24 x/menit
• T : 36,7 ºC
• SpO2 : 96%
7
Keadaan Gizi:
• BB : 70 kg
• TB : 165 cm
• IMT: 25,71 (Obesitas 1)
Head to toe:
Kepala : Normocephal
Mata
Mulut:
Mukosa bibir kering (-), sianosis (-), Pembengkakan gusi (-),karies (-)
Leher
Paru
8
Jantung
Abdomen
Ekstremitas
Superior : Akral dingin, CRT>2s, pucat(+) sianosis (-), edema (-)
Inferior : Akral dingin, CRT>2s, pucat(+),sianosis (-), edema (-)
9
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Interpretasi EKG :
• Irama: sinus bradikardi
• Regularitas: reguler
• HR : 56x/m
• Axis : Normoaxis
• Gel. P : Normal
• PR Interval : Normal (0,16s)
• gel QRS (0,08s), Q patologis di lead III, aVF
• Segmen ST : ST elevasi dilead II, III, aVF
• Gelombang T : T Inverted di III, aVF
• Kesimpulsn : Sinus Bradikardi, STEMI Inferior late Onset
10
Darah rutin 15/09/2023
Marker Jantung
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HS Troponin I 5268,5 < 2 ng/L
11
Echocardiography (16/09/2023
12
Dimensi ruang jantung: Dilatasi RA-RV
Fungsi sistolik LV EF : 48-50 %
Kontraktilitas RV TAPSE : 1.4
Katup – katup : TR mild
2.6 Tatalaksana
Nonfarmakologi
- Tirah baring
Farmakologi
- IVFD Ringer Laklat 500cc loading
- Inj. Ranitidine 2x25 mg
- Drip Vascon 0,05 mg/Kgbb/jam
- PO. Clopidogrel 300 mg (4 tab) loading, dosis rutin 1 x 75 mg (1 tab)
- PO. Aspilet 1x160 mg(kunyah)
- PO. Atorvastatin 1x20 mg
13
2.7 Rencana Tindakan
Primary PCI (Percutaneous Coronary Intervention) Telah dilakukan
Coronary Angiography (16 September 2023).Hasil Angiografi menunjukkan
LM : Normal
LAD : Normal
LCx : Normal
RCA : Dominan, Total oklusi di osteal
Kesimpulan:
CAD 1 VD PCI RCA 1 DES pada STEMI inferior Akut + Syok kardiogenik + CHF (EF
48%)
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
14
2.9 Follow Up
Tanggal Follow Up
16/09/2023 S: Nyeri dada (+)
(ICCU ) O:
KU : Tampak sakit sedamg
Kesadaran: Compos mentis
TD : 102/80 mmHg
HR : 61x/i
RR : 26 x/i
Suhu : 36,5ºC
SpO2 : 99%
P:
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Lovenox 2x0,6 ml
- Inj. Ranitidine 2x25 mg
15
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
- PO. Clopidogrel 1x75 mg
- PO. Aspilet 1x80 mg (kunyah)
- PO. Atorvastatin 1x20 mg
16
P:
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Lovenox 2x0,6 ml
- Inj. Ranitidine 2x25 mg
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
17
18/09/2023 S: Nyeri dada (-)
(ICCU) O:
KU : Tampak sakit ringan
Kesadaran: Compos mentis
TD : 108/82 mmHg
HR : 85x/i
RR : 24x/i
Suhu : 36,6ºC
SpO2 : 99%
P:
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Lovenox 2x0,6 ml
- Inj. Ranitidine 2x25 mg
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
P:
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Lovenox 2x0,6 ml
- Inj. Ranitidine 2x25 mg
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
19
20
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
21
Gambar. Batas Jantung
3.2 Sindrom Koroner Akut
SKA merupakan kumpulan gejala klinik yang ditandadi dengan
nyeri dada dan gejala lain yang disebabkan oleh penurunan aliran darah
kejantung, biasanya disebabkan oleh plak ateroskerotik. Pasien datang
dengan dicurigai ACS pada akhirnya dapat menerima diagnosis miokard
akut infark (AMI) atau angina tidak stabil (UA). Diagnosa dari infark
miokard (MI) dikaitkan dengan pelepasan troponin dan dibuat
berdasarkan definisi universal keempat MI, sedangkan UA didefinisikan
sebagai iskemia miokard saat istirahat atau saat aktivitas minimal tanpa
kehadiran cedera/nekrosis kardiomiosit akut.5
23
Gambar 1. Spektrum Sindroma Koroner akut.5
24
3.3 Epidemiologi
Studi epidemiologi menunjukkan peningkatan prevalensi sindrom koroner akut
(SKA) di seluruh dunia. Data World Health Organization (WHO) menyebutkan
bahwa terdapat kenaikan mortalitas akibat SKA mencapai 42%. sindrom koroner
akut (SKA) diderita oleh 15.5 juta orang di Amerika Serikat. American Heart
Association (AHA) memperkirakan bahwa henti jantung mendadak terjadi setiap 41
detik di Amerika Serikat. Keluhan paling sering yang dikemukakan pasien adalah
nyeri dada.2,3
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi penyakit
jantung koroner sebagai etiologi utama sindrom koroner akut (SKA) di Indonesia
sebesar 1,5%, dengan peringkat prevalensi tertinggi di Provinsi Kalimantan Utara
yaitu 2,2%, Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu 2%, dan Gorontalo yaitu 2%.Selain
ketiga provinsi tersebut, terdapat pula 8 provinsi lainnya dengan prevalensi yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi nasional. Delapan provinsi
tersebut adalah Aceh (1,6%),Sumatera Barat (1,6%), DKI Jakarta (1,9%), Jawa
Barat (1,6%), Jawa Tengah (1,6%), Kalimantan Timur (1,9%), Sulawesi Utara
(1,8%) dan Sulawesi Tengah (1,9%). Profesi penderita penyakit jantung koroner
terbanyak, yang merupakan etiologi utama SKA, adalah aparat pemerintahan, yaitu
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD dengan prevalensi 2,7%. Sementara jika dilihat dari
tempat tinggal, penduduk perkotaan lebih banyak menderita penyakit jantung
dengan prevalensi 1,6% dibandingkan penduduk pedesaan yang hanya 1,3%.6
26
yaitu dislipidemia, hipertensi, dan diabetes melitus.8
• Dislipidemia
Salah satu komponen lemak tubuh adalah kolesterol. Kolesterol
sangat penting bagi sel yang sehat, tetapi bila tubuh
mengakumulasikannya dalam jumlah banyak, kolesterol akan
berdeposit ke dinding pembuluh darah yang akan menyebabkan
kerusakan dan bisa menghambat aliran darah. Jika ini terjadi, risiko
serangan jantung akan meningkat. Kolesterol terdiri dari 2 bentuk
utama, yaitu HDL yang berperan dalam membawa kadar lemak
yang tinggi dalam jaringan ke hati untuk dimetabolisme dan
dikeluarkan dari tubuh dan LDL yang berperan membawa
kolesterol ke jaringan, termasuk arteri koroner. Nilai LDL yang
tinggi dan HDL yang rendah berperan dalam peningkatan risiko
penyakit jantung, terutama PJK.8
• Hipertensi
Hipertensi meningkatkan kerja jantung dan menyebabkan dinding
jantung menjadi tebal dan kaku yang menyebabkan jantung tidak
bekerja dengan baik. Patofisiologi dari hipertensi menyebabkan
PJK melalui 2 cara. Pertama, hipertensi menyebabkan kerusakan
pada endotel yang akan menyebabkan senyawa vasodilator tidak
28
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Sumbatan subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis juga dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Selain nekrosis, iskemia juga menyebabkan gangguan kontraktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), serta distritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Pada
sebagian pasien, SKA terjadi karena sumbatan dinamis akibat spasme lokal arteri
koronaria epikardial (angina prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa
spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi pembentukan plak atau
restenosis setelah intervensi koroner perkutan (PCI). Beberapa faktor ekstrinsik,
seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.1
29
3.6 Diagnosis
A. Anamnesis
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa
tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten
(beberapa menit) atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai
keluhan penyerta seperti diaforesis (keringat dingin), mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikall, gangguan pencernaan (indigesti), sesak napas yang tidak
dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Kelluhan atipikal
ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75
tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun
keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai
sebagai angina ekuivallen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien
dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah
terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA.
Nyeri dengan gambaran dibawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri
dada non-kardiak):
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks ventrikel
kiri atau pertemuan kostokondral.
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah.1
.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus, dan
hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaforesis,
ronkhi basah halus, atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.
30
Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang, dan
regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai
suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan
diagnosis banding SKA.1
C. Elektrokardiografi
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya
direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang mengarah kepada iskemia
dinding inferior. Sadapan V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang
mempunyai EKG awal non-diagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam
10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG
sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup
bervariasi, yaitu: normal, non-diagnostik, left bundle branch block (LBBB)
baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (220 menit) maupun tidak
persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian elevasi ST dilakukan pada titik J dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk laki-
laki dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Nilai ambang untuk
diagnostik pada berbagai sadapan beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin
(Tabel 1.2). Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan
permukaan tubuh segmen elevasi ST, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali jika
STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6). Pasien SKA dengan elevasi segmen
ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan baru
mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien
dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi
sebelum hasil pemeriksaan biomarka jantung tersedia.
31
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG pasien
dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen ST ≥1 mm
pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST 21 mm di V1-V3.
Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan konkordan yang
mempunyai spesivisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk diagnosis iskemik akut.
Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan dengan kompleks QRS negatif
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat rendah. Pada LBBB, diagnosis EKG
untuk IMA sulit ditegakkan tetapi seringkali dimungkinkan jika ditemukan
abnormalitas segmen ST yang bermakna. Terdapat beberapa algoritme kompleks
untuk membantu diagnosis, tetapi tidak memberikan kepastian diagnostik. Adanya
elevasi segmen ST kondordan merupakan salah satu indikator terbaik IM yang sedang
berlangsung dengan arteri infark yang mengalami oklusi. Pasien dengan dugaan klinis
iskemia miokard dan LBBB baru/dianggap baru, dirawat sebagai pasien STEMI.
Sementara pasien dengan dugaan klinis iskemia miokard dan LBBB sebelumnya,
dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan angiografi koroner.
32
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tanpa elevasi segmen ST yang
persisten, diagnosisnya adalah infark miokard non-elevasi segmen ST (NSTEMI) atau
angina pektoris tidak stabil (UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia
adalah sebesar 20,05 mV di sadapan V1-V3 dan 20,1 mV di sadapan lainnya.
Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang
tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi
gelombang T yang simetris 20,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk iskemia akut.
Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik
dikategorikan sebagai perubahan EKG yang non-diagnostik.
3. Non-diagnostik
4. Normal.
35
E. Pemeriksaan Non-invasif
G. Pemeriksaan Laboratorium
I. Tatalaksana
Terapi awal pada pasien dengan diagnosa kerja kemungkinan SKA atau
SKA atas keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil
pemeriksaan EKG dan atau marka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah
Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus semua
atau bersamaan.1
a. Tirah baring
b. Pada semua pasien STEMI direkomendasikan untuk mengukur saturasi
oksigen perifer Oksigen diindikasikan pada pasien dengan hipoksemia
37
(SaO2 <90%.
c. Aspirin 160-320 mg diberikan segera kepada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorpsi sublingual yang lebih cepat.
d. Penghambat reseptor adenosisn difosfat (ADP)
i. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan 2x90 mg/hari kecuali pada pasien
IMA- EST yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen
fibrinoliyik, atau
ii. Dosis awal Clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapi reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat
reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel).
e. Nitrogliserin tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih
berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada tidak hilang
bisa diulang sampai 3 kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. Dalam
keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai
sebagai pengganti.
f. Morfin sulfat 1-5 mg IV, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual.1
Terapi Reperfusi
38
rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan
waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik
selesai diberikan, jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan
fasilitas PCI sedang.1
39
1. Fibrinolitik
Fibrinolitik merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama di layanan
medis yang tidak dapat melakukan PCI pada pasien IMA-EST dalam waktu yang
disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak
awitan gejala pada pasien-pasien tanpa kontraindikasi apabila PCI primer tidak
bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis
pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala)
dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolitik perlu
dipertimbangkan bila waktu antara KMP dengan inflasi balon lebih dari 90 menit .
Fibrinolitik harus dimulai di ruang gawat darurat.1
Gambar 7 Kontaindikasi
40 Fibrinolitik1
Gambar 7. Alur pemberian fibrinolitik1
41
Gambar 8. Dosis fibrinolitik dan koterapi antitrombotik1
2. Primary PCI
Primay PCI merupakan PCI emergensi dengan balloon, stent, atau alat
lainnya, yang dikerjakan pada arteri yang infark (infarct-related artery/IRA)
tanpa terapi fibrinolitik sebelumnya. PCI primer adalah terapi reperfusi pilihan
apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam waktu 120 menit dari
KMP. PCI primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang
berat atau syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian PCI
akan tertunda lama dan bila pasien datang dengan awitan gejala yang telah
lama. Tidak disarankan untuk melakukan PCI secara rutin pada arteri yang
telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil
tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolitik. Bila
pasien tidak memiliki kontraindikasi terhadap terapi antiplatelet ganda (dual
42
antiplatelet therapy/DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap
pengobatan, lebih disarankan drug-eluting stents (DES) dari pada bare metal
stents (BMS).
b. Terapi Antitrombolitik
43
yang menjalani primary PCI hingga 12 bulan. Clopidogrel disarankan
selama minimal 1 bulan dan dipertimbangkan dilanjutkan hingga 12 bulan
pada pasien yang menjalani fibrinolisis. Pada pasien risiko tinggi
komplikasi perdarahan, dapat dipertimbangkan penghentian inhibitor
P2Y12 setelah 6 bulan. Pada pasien yang mendapat DAPT, perlu diberikan
agen proton pump inhibitor (PPI) sebagai pelindung lambung.9
c. Statin
K. Komplikasi
Gangguan Hemodinamik
a) Gagal Jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsi
miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan PCI atau trombolisis,
perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun apabila terjadi jejas transmural
dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama pada dinding anterior, dapat terjadi
komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling patologis disertai tanda
dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir dengan gagal jantung kronik.
Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai konsekuensi dari aritmia yang berkelanjutan
atau sebagai komplikasi mekanis
Diagnosis gagal jantung secara klinis pada fase akut dan subakut IMA- EST
didasari oleh gejala-gejala khas seperti dispnea, tanda seperti sinus takikardi, suara
jantung ketiga atau ronkhi pulmonal, dan bukti-bukti objektif disfungsi kardiak seperti
dilatasi ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi ejeksi. Disfungsi ventrikel kiri
merupakan satu-satunya prediktor terkuat untuk mortalitas setelah terjadinya IMA-
EST. Derajat kegagalan jantung setelah infark dapat dibagi menurut klasifikasi Killip
44
i. Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah 90 mmHg.
Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga disebabkan oleh
hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis. Bila berlanjut, hipotensi dapat
menyebabkan gangguan ginjal, acute tubular necrosis dan berkurangnya urine output.1
ii. Kongesti Paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal,
berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada Roentgen dada dan
perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator.
iii. Keadaan Output Rendah
Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang buruk dengan
hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produksi urin. Ekokardiografi dapat
menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang buruk, komplikasi mekanis atau infark
ventrikel kanan.
iv. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan penyebab
kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati 50%. Meskipun
syok seringkali terjadi di fase awal setelah awitan infark miokard akut, ia biasanya
tidak didiagnosis saat pasien pertama tiba di rumah sakit. Penelitian registry SHOCK
(SHould we emergently revascularize Occluded coronaries for Cardiogenic shocK)
menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik terjadi dalam 6 jam dan 75% syok terjadi
dalam 24 jam
Pasien biasanya datang dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah (takikardia
saat istirahat, perubahan status mental, oliguria, ekstremitas dingin) dan kongesti paru.
Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah indeks jantung <2,2, L/menit/ m2 dan
peningkatan wedge pressure >18 mmHg. Selain itu, diuresis biasanya <20 mL/jam.
Pasien juga dianggap menderita syok apabila agen inotropik intravena dan/atau IABP
dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik >90 mmHg. Syok
kardiogenik biasanya dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas, namun juga
dapat terjadi pada infark ventrikel kanan. Baik mortalitas jangka pendek maupun
jangka panjang tampaknya berkaitan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri awal dan
beratnya regurgitasi mitral
45
b) Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam pertama
setelah infark miokard. Monitor jantung yang dipasang dalam 11 ±5 hari sejak infark miokard
akut melaporkan insidensi fibrilasi atrium awitan baru sebesar 28%, VT yang tidak berlanjut
sebesar 13%, blok AV derajat tinggi sebesar 10% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik),
sinus bradikardi sebesar 7% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik), henti sinus sebesar 5%
(≥5 detik), VT berkelanjutan sebesar 3% dan VF sebesar 3%.
Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa manifestasi dari kondisi berat
yang mendasarinya, seperti iskemia miokard, kegagalan pompa, perubahan tonus otonom,
hipoksia, dan gangguan elektrolit (seperti hipokalemia) dan gangguan asam-basa. Keadaan-
keadaan tersebut memerlukan perhatian dan penanganan segera. Blok AV derajat tinggi
dulunya merupakan prediktor yang lebih kuat untuk kematian akibat jantung.
c) Komplikasi Kardiak
Usia lanjut, gejala Killip II-IV, penyakit 3 pembuluh, infark dinding anterior, iskemia
berkepanjangan atau berkurangnya aliran TIMI merupakan factor risiko terjadi komplikasi
kardiak. Beberapa komplikasi mekanis dapat terjadi secara akut dalam beberapa hari setelah
IMA-EST, meskipun insidensinya belakangan berkurang dengan meningkatnya pemberian
terapi reperfusi yang segera dan efektif. Semua komplikasi ini mengancam nyawa dan
memerlukan deteksi dan penanganan secepat mungkin. Pemeriksaan klinis berulang (minimal
dua kali sehari) dapat menangkap murmur jantung baru, yang menunjukkan regurgitasi mitral
atau defek septum ventrikel, yang kemudian perlu dikonfirmasi dengan ekokardiografi segera.
CABG secara umum perlu dilakukan apabila pantas saat operasi pada pasien yang
memerlukan operasi darurat untuk komplikasi mekanis yang berat.
Beberapa komplikasi kardiak diantaranya :
i. Regurgitasi katup mitral
v. Pericarditis
46
vii. Thrombus ventrikel kiri.1
47
Gambar 9. Evolusi kriteria syok kardiogenik.11
3.8 Etiologi
Penyebab tersering dari syok kardiogenik ialah SKA, dimana waktu median setelah STEMI
untuk terjadinya syok berada pada kisaran 5-6 jam. Pada UAP atau NSTEMI tampaknya
terjadi di kemudian hari, dengan median masing-masing 76 dan 94 jam. Secara umum,
kehilangan >40% miokardium fungsional dapat menyebabkan syok kardiogenik, seperti yang
ditunjukkan pada studi otopsi. Namun, komplikasi mekanis, seperti Ventrikular septal defect
(VSD), free wall rupture (FWR), papillary muscle rupture/dysfunction, Diikutimitral regurgitation
(MR),juga berkontribusi terhadap syok kardiogenik setelah SKA. Itu kejadian penyebabnya
telah dijelaskan sebesar 78,5% untuk kegagalan LV, 3,9% untuk VSD, 6,9% untuk MR
iskemik, 2,8% untuk ventrikel kanan (RV) kegagalan, dan 1,4% untuk tamponade jantung.10
48
Gmabar 9. Etiologi syok kardiogenik.12
3.9 Patofisiologi
Gangguan patofisiologi utama adalah berkurangnya curah jantung (CO)
menyebabkan sistemik hipoperfusi dan siklus maladaptif iskemia, peradangan,
vasokonstriksi, dan kelebihan volume, seringkali berpuncak pada kegagalan multiorga
dan kematian. Gangguan CO dan disfungsi diastolik progresif meningkatkan LEDP,
yang mengurangi tekanan perfusi koroner, miokard kontraktilitas, dan volume
sekuncup. Sebagai tanggapan untuk iskemia jaringan dan nekrosis, melepaskan
inflamasi mediator semakin mengganggu metabolisme jaringan dan menginduksi
produksi oksida nitrat, yang menyebabkan sistemik vasodilatasi dan memperburuk
hipotensi, menekankan miokardium yang sudah disfungsional.
Respons maladaptif ini mungkin bersifat akut, seperti yang terjadi pada AMI-
CS, atau ditumpangkan pada neurohormonal kronis aktivasi yang menyertai ADHF-
CS. Hipoksia dan peradangan paru menyebabkan vasokonstriksi paru,meningkatkan
afterload biventrikular dan kebutuhan oksigen miokard. Respon ginjal terhadap
gangguan perfusi glomerulus meningkatkan reabsorpsi natrium tubulus dan aktivasi
49
reninangiotensin- sumbu aldosteron, menghasilkan lebih lanjut kelebihan volume dan
mengganggu efektivitas diuretik. Vasokonstriksi splanknikus yang dimediasi secara
simpatik semakin memperburuk kelebihan volume sebesar mendistribusikan kembali
50% total volume darah ke sirkulasi. Peningkatan tekanan pengisian ventrikel
semakin memperburuk efisiensi miokard dan iskemia, terutama di ventrikel kanan
(RV) Jika dibiarkan, siklus maladaptif ini sering terjadi berkembang menjadi
kematian.12
51
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pasien datang keluhan Nyeri dada dirasakan seperti tertindih beban berat,
kemudian menjalar ke ulu hati, punggung, dan rahang. Keluhan pasien tersebut
merupakan ciri dari nyeri tipikal pada pasien iskemia miokard yaitu nyeri
dirasakan seperti rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar hingga ke area
interscapular atau epigastrium, dipicu oleh kegiatan dan membaik dengan
istirahat. Serta pasien ini juga mengalami keluhan yang penunjukkan
peningkatan sistem saraf simpatis yaitu keringat dingin, mual muntah, dan
berdebar-debar, serta sinkop
Pasien juga memiliki faktor resiko untuk terjadinya suatu SKA yaitu
pasien usia nya 54 tahun dan berjenis kelamin laki-laki, dimana prevalensi SKA
memang meningkat pada pasien laki-laki dengan usia >45 tahun. Pasien juga
mengalami obesitas derajat 1 (IMT = 25,71) dan memilki kebiasaan merokok
sejak ± 40 tahun yang lalu, dimana rokok mempunyai zat nikotin yang memiliki
efek simpatomimetik, seperti menyebabkan takikardi, kontraksi ventrikuler di
luar sistol, meningkatkan noradrenalin dalam plasma, tekanan darah, cardiac
output, dan konsumsi oksigen sehingga menyebabkan penyempitan
aterosklerotik, penempelan platelet, dan menurunkan HDL. LDL menjadi lebih
mudah memasuki dinding arteri yang berperan dalam patogenesis PJK. Merokok
juga meningkatkanoksidasi dari LDL dan meningkatkan berbagai faktor risiko
lain, yaitu dislipidemia, hipertensi, dan diabetes melitus
Berdasarkan pemeriksaan tanda vitaL os saat di IGD, didapatkan tekanan
darah os 74/52 mmHg, frekuensi nadi 56 kali/menit. Pemeriksaan fisik
menunjukkan hasil yang normal, kecuali pada ekremitas dimana sudah terdapat
gangguan perfusi berupa karal dingin dan CRT > 2 detik, sehingga berdasarkan hal
tersebut menunjukkan pasien mengalami syok kardiogenik, walaupun untuk
menegakkan syok kardiogenik harus dipastikan kembali adanya kongesti paru maupun
penurunan cardiac indeks
Pada pemeriksaan EKG 12 lead dan didapatkan hasil EKG dengan irama
52
sinus dan ST elevasi Q patologis di III, aVF. ST elevasi di VII, III, aVF. T inverted
di III, aVF. Dari EKG didapatkan adanya STEMI inferior yang sudah late
osnet,kemudian dari skor killip karena pasien menealami syok kardiogenik maka
skor klillip nya 4 dan skor TIMI 6 yang diapatkan dari skor killip II-IV (2), Tensi
kurang dari 100mmHg (3) dan waktu perfusi lebih dari 4 jam dari onset (1).
berdasarkan nyeri yang khas pada anamesis, pemeriksaan fisik pemeriksaan EKG
sehingga pasien dapat di diagnosa Sindrom koroner akut berupa STEMI inferior akut
late osnet killip 4 TIMI 6 dengan syok kardiogenik. Pada os kemudian dilakukan
pemeriksaan laboratorium rutin berupa darah perifer lengkap, gula darah sewaktu,
dan biomarka jantung. Pada pasien ini didapatkan troponin dengan nilai 5268,5 ng/ml
artinya terdapat peningkatan. Peningkatan troponin mulai meningkat pada 4-6 jam
setelah onset nyeri dada, mencapai puncaknya di hari ke-2, dan mulai menghilang
dalam 8-21 hari (troponin T) atau 7-14 hari (troponin I). Berdasarkan teori, pasien ini
terdapat infark di segmen inferior, yang mana pada segmen anteroseptal ini
diperdarahi oleh arteri RAC dan cabang-cabangnya, yang telah di konfirmasi saat
dilakukan tindakan PCI (percutaneus cathether intervention)
Tatalaksana awal yang diberikan pada kasus ini adalah IVFD RL 500cc
loading yang diberikan untuk meningkatkan preload sehingga dapat meningkatkan
cardiac output sehingga dapat meningkatkan tekanan dan memperbaiki perfusi.
Pemberian vascon juga diperuntuhkan untuk meningkatkan tekanan darah agar
dapat memperbaiki perfusi, sedangkan nitrat belum dapat diberikan karena dapat
memperparah hipotensi. Antiplatelet yang diberikan berupa clopidogrel 75 mg
tablet diberikan sebanyak 4 tablet dan aspilet 80 mg diberikan sebanyak 2 tablet.
Aspirin dan clopidogrel adalah kombinasi tersering pada terapi infark miokard
sebagai antiplatelet. Clopidogrel merupakan antiplatelet antagonis ADP (Adenosine
Di-Phospahate) yang diberikan bersama aspirin sesegera mungkinTujuan pemberian
clopidogrel adalah memblokir sub type dari reseptor ADP (reseptor P2Y12) pada
trombosit, mencegah pengikatan ADP ke resptordanekspresi berikutnya dari
trombosit reseptor GP IIb/IIIa, mengurangi agregasi platelet
Aspilet bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenasesehingga
menghambat produksi tromboksan A2 (TXA2) yang akan menghambat fungsi
trombosit agar menjaga ruptur plak sehingga tidak menyebabkan pengumpalan darah
kembali. Aspirin dikontraindikasikan pada pasien dengan ulkus petikum, kelainan
perdarahan dan alergi terhadapt penisilin.
53
Selain pemberian antiplatelet, antikoagulan parenteral juga harus diberikan,
kecuali pasien memiliki kontraindikasi absolut yaitu perdarahan. Efek samping dari
pemberian antiplatelet dan antikoagulan adalah meningkatnya risiko perdarahan,
sehingga pemberian obat tersebut dihentikan jika terdapat risiko perdarahan
berlebih. Obat antikoagulan berupa Inj. Lovenox 2 x 0,6 cc, Obat antikoagulan
berperan dalam mencegah pembekuan darah dan menghambat pembentukan fibrin
sehingga dapat mengurangi pembesaran thrombus, Pemberian obat ini juga
disarankan pada semua pasien yang mendapatkan terapi antiplatelet. Ranitidin 2 x
25 mg obat ini merupakan obat golongan antagonis reseptor H2 yang umumnya
digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung.
Pemberin atorvastatin 1x20 mg merupakan terapi pada STEMI pada teori
dikatakan pemberian statin tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa
mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A
reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita APTS/STEMI, termasuk
mereka yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat kontra indikasi.
Dimana pemberian statin dapat membatasi dalam sintesis kolestrol. Semua statin
mengurangi kolestrol low-density lipoprotein (LDL) dan beberapa juga meningkatkan
kolestrol high-density lipoprotein (HDL) (seperti simvastatin, atorvastatin) dan
mengurangi trigliserida.
54
BAB V
KESIMPULAN
Tn. E usia 54 tahun datang dengan keluhan nyeri dada tipikal sejak ± 13 hari
SMRS. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
os didiagnosa Stemi Inferior akut late onset Killip 4, TIMI 5/14 degan syok
kardiogenik, untuk tatalaksana stabilisasi kondisi os, sudah dilakukan strategi invasif
berupa tindakan primary PCI (Percunatenous Coronary Intervention) dengan hasil LM
: Normal, LAD : Normal LCx : Normal RCA : : Dominan, Total oklusi di osteal.
Dengan kesimpulan : CAD 1 VD PCI RCA 1 DES pada STEMI inferior Akut + Syok
kardiogenik + CHF (EF 48%)
55
DAFTAR PUSTAKA
1. PERKI. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut. 4th ed. Jakarta: Jurnal
Kardiologi Indonesia; 2018.
2. WHO. Cardiovaskular Disease [Internet]. 2021. Available from:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/cardiovascular-diseases- (cvds)
3. Shahjehan RD BB. Coronary Artery Disease. StatPearls.
4. Torry SRV, Panda L OJ. Gambaran Faktor Risiko Penderita Sindroma koroner Akut.
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fak Kedokt Unsrat. 2013;
5. Task A, Members F, Byrne RA, Ireland C, Rossello X, Coughlan JJ, et al. 2023 ESC
Guidelines for the management of acute coronary syndromes Developed by the task
force on the management of acute coronary syndromes of the European Society of
Cardiology ( ESC ) ( United Kingdom ), ( United Kingdom ),. 2023;1–107.
6. Kesehatan K. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar. Jakarta; 2018.
7. Thygesen. The universal definition of miocard infarction. Eur Hear J.
2012;33(2551):67.
8. Joewono, Soesetyo B. Penyakit Jantung Koroner. Surabaya. Airlangga Universitty
Press.
9. Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes MJ, Bucciarelli-Ducci C BH, Ambhore NS,
Katragabba R, Kalidhindi RSR, Thomson MA, Pabellck CM PY et all. 2017 ESC
Guidelines For The Management of Acute Myocardial Infarction In Patients Presenting
With ST-Segment Elevation. Eur Hear J. 2019;39.
10. Michou E, Kozhuharov N, Martin J, Mueller C. The ESC Textbook of Intensive and
Acute Cardiovascular Care. Oxford University Press. 2021. 103–112 p.
11. Vahdatpour C, Collins D, Goldberg S. Cardiogenic Shock. J Am Heart Assoc.
2019;8(8):1–12.
12. Tehrani BN, Truesdell AG, Psotka MA, Rosner C, Singh R, Sinha SS, et al. A
Standardized and Comprehensive Approach to the Management of Cardiogenic Shock.
JACC Hear Fail. 2020;8(11):879–91.
13. PERKI. Panduan praktik klinis (ppk) dan clinical pathway (cp) penyakit jantung dan
pembuluh darah. 2018.
56