Anda di halaman 1dari 31

BIOPSIKOLOGI

“Biopsikologi Emosi, Stres, dan Kesehatan”

Dosen Pengampu : Wakhid Musthofa, M.Psi., Psikolog

Kelompok 6
Psikologi Islam – IVB

 Adinda Yusvika R 171141047


 Fidya Nugraheni M. S 171141049
 Ahamad Mujahid 171141054
 Dini Iltizam Izza A 171141069
 Aprisa Rachmananda 171141078

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
IAIN SURAKARTA 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas limpahan
nikmat, rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Biopsikologi Emosi, Stres dan Kesehatan”. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurah kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam, beserta
keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna
dan hal ini disebabkan, antar lain karena keterbatasan kami. Oleh sebab itu, penulis terbuka
dengan kritik dan saran yang membangun. Dan kami berharap semoga tugas makalah yang
telah tersusun ini dapat memberikan manfaat terutama bagi seluruh pembaca yakni
mahasiswa/i IAIN Surakarta. Terimakasih

Surakarta, 21 April 2019

Penyusun

BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................1

DAFTAR ISI.....................................................................................................................................2

BAB I................................................................................................................................................3

PENDAHULUAN.............................................................................................................................3

A. Latar Belakang......................................................................................................................3

B. Rumusan Masalah.................................................................................................................3

C. Tujuan...................................................................................................................................3

BAB II...............................................................................................................................................4

PEMBAHASAN...............................................................................................................................4

A. Biopsikologi Emosi...............................................................................................................4

B. Biopsikologi Ketakutan.........................................................................................................8

C. Mekanisme Neural untuk Pengondisian Ketakutan.............................................................12

D. Mekanisme Otak dan Emosi Manusia.................................................................................14

E. Stress dan Kesehatan...........................................................................................................22

BAB III...........................................................................................................................................29

PENUTUP.......................................................................................................................................29

A. Kesimpulan.........................................................................................................................29

B. Saran....................................................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................30

BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna, anugerah yang
diberikan berupa akal dan hawa nafsu merupakan satu kesatuan dalam rangka
mengemban misinya di bumi ini. Dalam menjalani kehidupan, manusia tidak
terlepas dengan yang namanya stress maupun emosi – baik dalam bentuk verbal
maupun non verbal. Beberapa kelompok orang yang tertarik dengan dinamika
emosional manusia kemudian mencoba memahami; fisiologis, psikologis, hingga
mutakahir kini pencitraan otak, otak yang digadang sebagai pusat kendali segala
aktivitas manusia, yang populer disebut disiplin ilmu neurosains.
Perkembangan dan dampak untuk berbagai sektor cukup signifikan dari
hasil penelitian maupun eksperimen neurosains, yang tentunya dalam rangka
menjadikan manusia sebagai makhluk yang optimal di bumi. Namun bagi manusia
sendiri, tidak mudah menjalani suka-duka kehidupannya, pelbagai tantangan
jasmani maupun rohani juga kian kompleks seiring berkembangnya zaman. Dalam
hal ini kaitannya emosi, stress, dan kesehatan.
Sudah banyak studi-studi yang mengkaji tentang hubungan emosional dan
kesehatan, oleh sebab itu, pada makalah ini kami memaparkan kembali dan
mengelaborasikan beberapa literatur baik pustaka, jurnal, maupun web untuk
menyajikan keilmuan mata kuliah Biopsikologi yang sedang kami tempuh dengan
mekanisme otak dan kesehatan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan tentang biopsikologi dan emosi?
2. Bagaimana mekanisme otak saat emosi dan stress?
3. Bagaimana penjelasan emosi dan kesehatan?

C. Tujuan
1. Menjelaskan tentang biopsikologi dan emosi
2. Menjelaskan tentang mekanisme otak saat emosi dan stress
3. Menjelaskan tentang kaitan emosi dan kesehatan

BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biopsikologi Emosi
A.1. Peristiwa-Peristiwa Penting dalam Sejarah
Teori James-Lange tahun 1894 adalah salah satu pendiri besar psikologi,
Wilhelm Wundt. Wundt (1896) menganggap perasaan (Gefuhle) sebagai yang
utama, tidak dapat dianalisis, dan dalam hal ini mirip dengan sensasi visual atau
pendengaran primitif. Wundt al-lowed bahwa Gefuhle yang berbeda dapat
digabungkan atau diuraikan, bahwa perubahan fisiologis mungkin memberikan
pengaruh sekunder, dan mengakui bahwa Affekt luas yang dihasilkan adalah
peristiwa mental yang kompleks. Namun, ia dengan tegas menyatakan bahwa
perasaan yang semula awalnya adalah awal dan esensi primitif dari emosi.
William James tidak kurang yakin daripada Wundt tentang pentingnya
perasaan sadar. Dia mengusulkan, bagaimanapun, bahwa perasaan emosional tidak
benar-benar diberikan. Mereka sebenarnya adalah fenomena sekunder, didorong
oleh persepsi perubahan somatik dan visceral yang telah ditimbulkan kurang lebih
secara langsung oleh stimulasi eksternal. Patut dicatat bahwa tidak satu pun dari
antagonis ilmiah yang besar ini mendasarkan pandangan mereka pada apa yang
sekarang kita anggap data eksperimental (atau, kebetulan, memang Lange), tetapi
sebaliknya pada pemikiran. Wundt's Gefuhle adalah unsur-unsur dalam organisasi
klasifikasi mental yang luar biasa dari pengalaman mental yang didirikan pada
metode introspektif; Ide James adalah intu-ition tunggal, didukung oleh anekdot
dan didorong oleh pandangan fungsional, pragmatis (jika belum perilaku).
Peter J. Lang
Tentang penelitian emosi yang diterbitkan pada abad ini telah dimulai dengan
teori James-Lange, dan sejumlah eksperimen terkait telah muncul dalam jurnal
selama bertahun-tahun. Terlepas dari minat yang tajam ini, tidak ada percobaan
yang secara langsung menguji hipotesis pusatnya. Sebenarnya, seperti dinyatakan
oleh James, dugaan bahwa perasaan emosional adalah penyadaran sadar dari
interaksi fisiologis adalah aporia ilmiah dan tidak terbuka untuk uji langsung.
Sementara peristiwa fisiologis dapat diukur dengan ketepatan obyektif, target
perusahaan — keadaan perasaan subjektif — tidak menghasilkan jam, skala, atau
penggaris ilmuwan.

BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

4
James, saya pikir, sangat menyadari masalahnya. Dalam edisi 1892
Principles-nya, ia merenungkan psikologi zamannya. Dia menyimpulkan bahwa itu
memang telah menjadi ilmu alam tetapi "sebuah psikolog yang sangat rapuh, dan
ke dalamnya air kritik metafisik bocor di setiap sendi" (hal. 467). Mungkin karena
alasan ini, James tumbuh jauh dari psikologi dalam dua dekade terakhir hidupnya
dan mendedikasikan kembali upayanya yang utama untuk masalah-masalah
filosofis, psikis, dan keagamaan (Boring, 1950, hlm. 511; lihat juga Murphy &
Ballou, 1969; Vanden Burgt, 1981). Setelah 1897, James dengan senang hati pergi
ke Miinsterberg ke arah laboratorium Harvard yang ia dirikan dan tidak pernah
mencari bukti eksperimental untuk teorinya tentang emosi.
James dan Lange
Warisan Jamesian adalah warisan dari figur transisi — sekaligus resonansi
dari masa lalu filosofis dualistik dan pemberita masa depan biobehavioral.
Pengaruhnya memancar ke depan dari posisinya yang tinggi pada kesenjangan yang
besar ini. Akan tetapi, karena asal-usul yang bercampur-aduk ini, wasiatnya sering
salah dibaca, pencarian yang dilakukan di tempat lain tidak semestinya, dan teori
tersebut menyatakan bahwa mereka telah meninggal, dikubur, dilanggar, dan
ditemukan hidup, hanya untuk dikuburkan lagi. James — seandainya dia masih
menjadi saksi atas berbagai peristiwa — pasti akan kagum pada perkembangan
riset emosi di abad ini.
Pemikiran umum James tentang pentingnya fisiologi emosi tidak sepenuhnya
unik. Sebagai contoh, psikolog Australia AlexanderSutherland (1898) secara
independen mengembangkan konsepsi yang serupa, yang darinya ia menarik
implikasi sosial dan biologis yang lebih luas. James, tentu saja, merasa bahwa ia
dan Lange (1885/1922) berbagi dalam penemuan teori dan memberikan tempat
yang setara kepada Lange dalam pernyataan ulang tahun 1894.
Dilihat dari jauh, posisi Lange (1885/1922) tampaknya memiliki penekanan
yang terpisah. Dane adalah ahli fisiologi — bukan filsuf — dan menunjukkan
perhatian seorang ilmuwan terhadap obyektivitas dan ketidaksabaran dengan
mental semata: "Tidak ada objek yang dapat ditangani secara ilmiah kecuali ia
memiliki kualitas obyektif, berkenaan dengan sifat-sifat yang disetujui para
peneliti" ( hlm. 37). Dia tidak berbagi minat James dalam menjelaskan perasaan
sadar dalam terminologi formal saat itu tetapi mencari, sebagai gantinya, penjelasan
umum tentang fenomena emosional sebagai fisiologi yang dapat dipertahankan.
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

5
Lebih jauh, sementara James menggambarkan katalog beragam respons somatik
dan visceral yang mendorong pengalaman emosional sadar, hipotesis Lange adalah
spesifik. Pendekatan Jogic of Lange membawanya untuk menciptakan organisasi
baru.
Gagasan utama yang dibagikan oleh James dan Lange adalah bahwa emosi
tidak dimulai dengan pengalaman sadar dari suatu pengaruh. Mereka berdua
mengusulkan bahwa respons tubuh dan perilaku dalam emosi adalah peristiwa
sebelumnya. Perbedaan utama dalam pemikiran Lange dan James adalah bahwa
sementara James membuat emosi sadar fokus utama teorinya (menggeser fungsinya
dari inisiator aksi menjadi pengamat perubahan fisiologis yang pasif), bagi Lange,
emosi adalah fisiologinya, dan sadar pengalaman adalah sedikit penting, jika tidak
sepenuhnya epifenomenal (lihat juga Wenger, 1950, pandangan). Ide-ide terpisah
ini telah dikalahkan bersama secara historis, menghasilkan telur dadar yang rasanya
berbeda dengan pengunjung yang berbeda. Dengan demikian, teori James-Lange
dikutip sangat beragam baik dalam mendukung dan melawan pengurangan
fisiologis, sebagai pendahulu dari analisis perilaku emosi, dan sebagai titik awal
untuk teori kognitif mempengaruhi. Darwin mengembangkan teori James-Lange
tentang ekpresi emosi. Menurut Darwin ekspresi wajah mempunyai pengaruh
langsung terhadap pengalaman emosional.
A.2. Hubungan Antara Sistem Saraf Autonom dan Emosi
Menurut akal sehat, pertama-tama emosi itu dirasakan oleh perasaan,
kemudian perasaan itu mengubah laju detak jantung serta respon lainya. Sebaliknya
meutur teori James Lange, pembangkitan aksi saraf autonom dan otot-otot rangka
muncul terlebih dahulu, sedangkan emosi yang kita alami hanya merupakan label
yang kita berikan untuk respons yang kita berikan. Saya takut karena saya lari
menjauh, saya marah karena saya menyerang.1 Pada akal sehat itu pertama-tama itu
ada situasi yang menakutkan nah selanjutnya kita merasa ketakutan laru munculah
respon berupa lari menjauh, detak jantung meningkat, dan sebagainya sedangkan
pada teori james lange itu pertama-tama kita merasakan situasi yang menakutkan
lalu muncullah respon berupa lari menjauh, detak jantung meningkat dan
sebagainya nah setelah itu barulah muncul emosi berupa ketakutan karena karena
kita berikan kepada respon kita. Mungkin anda keberatan dengan teori james-lange
dan menyatakan bahwa “Bagaimana saya tahu bahwa saya harus lari menjauh
1
J.W.Kalat, BIOPSIKOLOGI, ( Jakarta : Penerbit Saelmba Humanika,2008 ), hal 128
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

6
sebelum saya merasa takut?” pada laoran penelitian selanjutnya, William James
(1894) menegaskan posisinya. Emosi memiliki tiga komponen, yaitu : kognisi,
tindakan, dan perasaan. Aspek kognitif muncul terlebih dahulu. Anda menilai
sesuatu baik atau buruk, menakutkan atau menganggu, dan proses tersebut
seringkali berlangsung dengan sangat cepat. Penilaian anda tentang sesuatu akan
menimbulkan tindakan seperti lari menjauh, menyerang, atau hanya diam terpaku
dengan jantung berdegup kencang, William James mengatakan bahwa pembangkit
dan tindakan menghasilkan emosi, maka yang dimaksudkan oleh james tindakan
disini adalah aspek perasaan dari sebuah emosi. Jadi yang dimaksudkan james itu
ada sebuah kejadian terlebih dahulu lalu munculah penilaian dalam diri kita pakah
menakutkan atau tidak lalu setelah itu kita melakukan sebuah tindakan dan barulah
muncul perasaan emosional yaitu kita merasakan ketakutan pada diri kita.
Para peneliti telah meneliti bagaimana dampak seseorang yang melakukan
sebuah umpan balik dari tubuh kita terhadap emosi kita. Misalnya ketika kita
menggigit pulpen dengan gigi dan senyum lebar lalu membaca komik dan sebagian
besar individu menilai komik lebih lucu ketika menggigit pulpen sehingga
membuat mereka harus tersenyum dibandingkan hanya menahan pulpen dengan
bibir sehingga mereka tidak dapat tersenyum. Yang artinya bahwa sensasi senyum
itu dapat meningkatkan kesenangan walaupun hanya sedikit. Selain itu juga ada
contoh untuk memicu kesedihan, yaitu dengan cara partisipasi diminta untuk
bernafas panjang berulang-ulang lalu duduk dengan kepala menunduk dan tubuh
dilemaskan lalu bibir bawah dimajukan kedepan. Nah ketika partisipasi melakukan
tindakan tersebut mereka melaporkan adanya perasaan emosional yang ringan ada
yang merasakan sedih dan ada juga yang merasakan marah ataupun badmood. Dari
beberapa contoh diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi kita mengenai tindakan
tubuh seperti mengerutkan dahi, memajukan bibir bawah, mata melotot, senyum
dilebarkan akan memengaruhi terhadap perasaan emosional kita.
A.3. Penelitian Tentang Ekpresi Wajah Berbagai Emosi
Pada penelitian yang dilakukan oleh Astiningrum dan Prawitasari, (2007)
dalam Jurnal Psikologi tentang Hubungan antara minat terhadap komik Jepang
(manga) dengan kemampuan rekognisi emosi melalui ekpresi wajah. tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada korelasi positif antara minat
seseorang terhadap Komik Jepang (Manga) dan kemampuannya untuk mengenali
emosi melalui ekspresi wajah. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

7
Astiningrum dan Prawitasari yakni terdapat hubungan positif yang sangat
signifikan antara minat terhadap manga dengan kemampuan rekognisi emosi
melalui ekspresi wajah dimana adanya hubungan antara rekognisi melalui ekspresi
wajah dengan minat terhadap manga pada anak SMAN 12 Yogyakarta.

B. Biopsikologi Ketakutan
Kebanyakan penelitian biopsikologi tentang emosi difokuskan pada
ketakutan dan perilaku defensif. Takut adalah reaksi emosional terhadap ancaman,
kekuatan pendorong untuk perilaku defensif. Perilaku defensif adalah perilaku yang
fungsi primernya adalah untuk melindungi organisme dari ancaman atau bahaya.
Sebaliknya dengan periaku agresif adalah perilaku yang fungsi primernya adalah
untuk mengancam atau mencelakai. Meskipun salah satu maksud dalam bagian ini
adalah untuk mendiskusikan ketakutan, pertahanan, dan agresi, tetapi juga memiliki
maksud penting lain, yaitu untuk menjelaskan masalah yang lazim di hadapi oleh
para biopsikolog dan bagaimana mereka melaksanakan penelitian di bidang khusus
ini mampu mengelakkannya. Mendeskripsikan hasil penelitian yang menghasilkan
pembedaan antara perilaku agresif dan defensif pada mamalia :
Barret ( 2006 ) mengatakan bahwa kemajuan dalam studi tentang dasar
neural emosi terbatas karena para pakar neurosains sering kali dipedomani oleh
asumsi-asumsi kultural tentang emosi yang tidak bisa dibenarkan: oleh karena itu
kita memiliki kata-kata seperti ketakutan, kebahagiaan, dan kemarahan. Dalam
bahasa kita, maka para ilmuwan sering kali berasumsi bahwa emosi-emosi saat ini
ada sebagi entitas-entitas di otak, dan mereka telah berusaha menemukannya
biasanya tidak banyak membawa hasil.
Kemajuan yang cukup besar dalam pemahaman tentang perilaku agresif dan
defensif berasal dari penelitian blanchard dan blanchard ( lihat 1989,1990) tentang
cp;pny-intruder model of aggresion and defense ( model penyusup-koloni untuk
agresi dan pertahanan ) pada tikus. Blachard dan blachard mengambil deskrepsi-
deskrepsi yang kaya dari perilaku-perilaku agresif dan defensif intraspesifik dengan
mempelajari interaksi antara alpha male ( jantan alfa ) jantan yang dominan dalam
sebuah koloni berjenis kelamin campuran yang established dan seekor penyusup
janyan yang kecil: ketika bertemu dengan penyusup, jantan alfa biasanya
mengejarnya, berulang kali menggigit punggungnya selama pengejaran. Penyusup
akhirnya berhenti berlari dan mengembalikan tumnuhnya menghadap jantan alfa.
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

8
Penyusup lalu bertumpu pada kaki belakangnya, tetap menghadapnke arah
penyerangnya dan mengunakan kaki-kaki depannya untuk mengusir penyerang.
Sebagai respon jantan alfa berubah ke orientasi lateral, dengan proses panjang
tubuhnya tegak lurus dengan bagian depan penyusup yang berada di posisi
bertahan. Lalu jantan alfa bergerak menyamping ke arah penyusup, mendesak dan
kadang-kadang mendorongnya sambil kehilangan keseimbangan. Bila tikus yang
bertahan itu berdiri solid terhadap gerakan “serangan lateral” ini, jantan alfa sering
kali bereaksi dengan cepat memutari tubuh tikus yang bertahan dalam upaya
mengiggit punggungnya. Sebagai respon terhadap sergapan itu, tikus yang bertahan
biasanya berputar dengan bertumpu pada telapak kaki belakangnya, dengan arah
yang sama dengan gerakan penyerangan, melanjutkan orientasi frontalnya terhadap
penyerang sebagai upaya untuk mencegah gigitan di punggungnya.
Ilustrasi sempurna lainnya untuk betapa observasi yang teliti terhadap
perilaku dapat meningkatkan pemahaman tentang perilaku dapat meningkatkan
pemahaman tentang perilaku agresif dan defensif diberikan oleh studi pellis dan
rekan-rekan sejawatnya (1988) terhadap kucing. Mereka mulai membuat rekaman
video interaksi antara kucing dan tikus. Mereka menemukan bahwa kucing yang
berbeda bereaksi terhadap tikus dengan cara yang berbeda: senagian adalah
pembunuh tikus yang efisien, sebagian bereaksi defensif, dan sebagian tampak
bermain-main dengan tikus. Kesimpulan yang penting yang pertama adalah,
berlawanan dengan keyakinan lazim, kucing tidak bermain dengan korbannya;
kucing yang tampak bermain-main dengan tikus sebenarnya terombang-ambing
antara menyerang dan bertahan. Yang kedua adalah orang dapat memahami
interaksi setiap kucing dengan tikus dengan menempatkan interaksi itu di atas skala
liter, dengan agresivitas total di salah satu ujungnya, bertahan total di sisi lain, dan
beragam proposi interaksi di kedua ujungnya.
Berdasarkan banyak deskrepsi terperinci tentang perilaku agresif dan
defensif yang di berikan blanchards dan para biopsokolog lainnaya yang mengikuti
contoh mereka, sekarang kebanyakan peneliti menganggap ada gunanya untuk
membedakan berbagai katagori perilaku yang berbeda. Kategori-katagori perilaku
agresif dan defensif tikus didasarkan pada tiga kriteria: 1) topografi(bentuk)
mereka, 2) situasi yang menimbulkannya, dan 3) fungsi nyata mereka. Analisis
tentang perilaku agresif dan perilaku defensif telah menyebabkan berkembangnya
konsep tempat-target ide bahwa perilaku agresif dan defensif seekor binatang sering
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

9
kali dirancang untuk menyerang tempat-tempat tertentu di tubuhnya sendiri.
Sebagai contoh , perilaku seekor tikus yang agresif secara sosial (misalnya,
serangan lateral) tampaknya dirancang untuk menggigit punggung tikus yang
bertahan untuk melindungi wajahnya sendiri, yang kemungkinan besar menjadi
target serangan defensif. Sebaliknya, kebanyakan manuver tikus yang bertahan
( misalnya, meninju ) tampaknya dirancang untuk melindungi tempat yang menjadi
target serangan dipunggungnya.
B. 1. Agresi dan Testosteron
Faktanya bahwa agresi sosial pada banyak spesies terjadi lazim di kalangan
spesies jantan dari pada betina biasanya dijelaskan dengan mengacu pada efek-efek
organisasional dan aktivasional testosteron. Periode singkat pelepasan testosteron
yang terjadi di seputar kelahiran spesies jantan genetik diduga mengorganisasikan
sistem syaraf mereka di sepanjang garis maskulin dan oleh sebab itu menciptakan
potensi bagi pola-pola agresi sosial jantan untuk diaktifkan oleh kadar testosteron
yang tinggi muncul setelah pubertas. Efek organisasional dan aktivasional ini telah
didemonstrasikan pada beberapa sepesies mamalia nonprimata. Sebagai contoh,
kastrasi neonatal tikus jantan mengeliminasi kemampuan suntikan testosteron untuk
menginduksi agresi sosial di masa dewasa, dan kastrasi di masa
dewasamengeliminasi agresi sosial pada tikus yang tidak menerima suntikan
penggantian testosteron. Sayangnya, penelitian tentang testosteron dan agresi pada
spesies-spesies lain belum selempang itu.
Soma dan rekan-rekan sewajarnya telah meninjau literatur penelitian
ektensif tentang testosteron dan agresi ( demas et al. 2005; soma,2006). Inilah
kesimpulan mereka :
1. Testosteron meningkatkan agresi sosial pada jantan di banyak spesies; agresi
banyak berkurang dengan kastrasi pada spesies yang sama.
2. Pada beberapa spesies, kastrasi tidak memiliki pada efek agresi sosial, dan
pada yang lainnya, kastrasi mengurangi agresi selama musim kawin tetapi
tidak pada waktu-waktu lainnya disepanjang tahun.
3. Hubungan antara agresi dan kadar testosteron sulit diinterpretasi karena
keterlibatan di dalam kegiatan agresif itu sendiri dapat menaikkan kadar
testosteron sebagai contoh hanya dengan bermain-main dengan senjata api
saja dapat menaikkan kadar testosteron mahasiswa laki-laki ( klinesmith,
kasser & McAndrew,2006)
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

10
4. Kadar testosteron dalam darah, yang menjadi satu-satunya ukuran yang
digunakan dibanyak studi, bukanlah ukuran terbaik. Yang lebih penting
adalah bahwa kadar testosteron di daerah-daerah otak yang relevan.
Meskipun studi-studi yang memfokuskan pada kadar testosteron di otak
sangat jarang, telah testosteron dapat disintesis di tempat-tempat tertentu otak
dan tidak di tempat-tempat lain.
Kecil kemungkinan bahwa manusia merupakan pengecualian dalam
keterlibatan testoseron dalam agresi sosial mamalia. Akan tetapi, bukti-buktinya
masih sangat belum jelas. Pada manusia laki-laki, perilaku agresif tidak meningkat
pada saat pubertas ketika kadar testosteron di dalam darah naik; perilaku agresif
tidak tereliminasi oleh kastrasi; dan perilaku agresif tidak ditingkatkan oleh
suntikan testosteron dalam darah. Beberapa studi telah menemukan bahwa pelaku
kriminal laki-laki yang kasar dan atlet laki-laki yang agresif cenderung memiliki
kadar testosteron yang lebih tinggi dibanding normalnya; akan tetapi, korelasi ini
mungkin menunjukan bahwa perilaku agresif ,emgingatkan kolesterol,bukan
sebaliknya.
Kurangnya bukti yang kuat tentang keterlibatan testosteron dalam agresi
manusia bisa berarti bahwa regulasi hormonal dan neural untuk agresi pada
manusia berbeda dengan spesies mamalia non primata. Atau, hal ini bisa jadi
merefleksikan kenyataan bahwa penelitian pada manusia memiliki kelemahan.
Sebagai contoh, studi-studi manusia biasanya berdasarkan pada kadar testosteron
dalam darah ( yang sering disimpulkan dari kadar testosteron di dalam saliva/air
ludah karena mengumpulkan air ludah lebih aman dan lebih mudah dibandingkan
mengumpulkan darah ) dan bukan berdasarkan pada kadar testosteron di otak. Akan
tetapi, kadar sebuah hormon dalam darah belum tentu menunjukan baerapa banyak
hormon yang mencapai otak. Disamping itu, para peneliti yang mempelajari agresi
manusia sering kali tidak mengapresiasi perbedaan antara agresi sosial, yang
berhubungan dengan testosteron di banyak spesies, dan agresi defensif yang tidak
berhubungan dengan testoseron. Kebanyakan ledakan yang tampak agresif pada
manusia adalah reaksi yang berlebihan terhadap ancaman, dan oleh sebab itu
mereka lebih tepat untuk dilihat sebagai serangan defensif, bukan agresif sosial.

BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

11
C. Mekanisme Neural untuk Pengondisian Ketakutan
Fear conditioning (pengondisisan ketakutan) adalah pembentukan ketakutan
sebagai respos terhadap stimulus yang semula netral (stimulus kondisional) dengan
memperlihatkannya, biasanya beberapa kali, sebelum datangnya stimulus aversif
(stimulus tak-kondisional).2
Dalam eksperimen pengondisian-ketakutan standard, subjek, biasanya tikus,
mendengar sebuah bunyi (stimulus kondisional) dan setelah itu menerima kejutan
listri ringan di telapak kakinya (stimulus tak-kondisional). Setelah beberapa
pemasangan bunyi dan kejutan listrik, tikus merespons bunyi itu dengan perilaku
defensive (misalnya, diam tak bergerak dan meningkatnya kerentanan untuk kaget)
dan respons sistem saraf simpatik (misalnya, meningkatnya detak jantung dan
tekanan darah). LeDoux dan rekan-rekan sejawatnya telah memetakan mekanisme
neural yang memediasi bentuk pengondisian ketakutan auditorik ini.
C.1. Amigdala dan Pengondisian Ketakutan
LeDoox dan rekan-rekan sejwatnya memulai pencarian mekanisme neural
untuk pengondisian ketakutan auditorik dengan membuat lesi pada jalur-jalur
auditorik tikus. Mereka menemukan bahwa lesi bilateral pada nucleus genikulat
medial (nucleus relay [pamancar sinyal] auditorik di thalamus) memblokir
pengondisian ketakutan terhadap bunyi, tetapi lesi bilateral pada korteks auditorik
tidak demikian.3 Hal ini menunjukkan bahwa agar pengondisian ketakutan auditorik
terjadi, sinyal-sinyal yang diberikan oleh bunyi itu perlu mecapai nucleus genikulat
medial tetatpi bukan korteks auditoriknya. Hal ini juga menunjukkan bahwa jalur
nucleus genikulat medial ke struktur selain korteks auditorik memainkan peran
kunci dalam pengondisiian ketakutan. Jalur ini terbukti merupakan jalur nucleus
genikulat medial ke amigdala. Lesi amigdala, seperti lesi pada nukleus genikulat
medial, memblokir pengondisian ketakutan. Amigdala menerima input dari semua
sistem sensorik, dan ia diyakini merupakan struktur dimana signifikansi emosional
dari sinyal-sinyal sensorik dipelajari dan disimpan.
Beberapa jalur membawa sinyal-sinyal dari amigdala ke berbagai struktur
batang-otak yang mengontrol berbagai respons emosional. Sebagai contoh, sebuah
jalur ke periaqueductal gray di otak-tengah membangkitkan respons defensive

2
John P.J Pinel; Steven J Barners, Biopsikologi, hal 565

3
Ibid
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

12
yang sesuai dimana sebuah jalur lain ke hipotalamus lateral membangkitkan
respons simpatik yang sesuai.
Fakta bahwa lesi korteks auditorik tidak mendisrupsi pengondisian
ketakutan auditorik tidak terlibat di dalam pengondisian ketakutan auditorik. Ada
dua jalur dari nucleus genikulat medial ke amigdala yakni jalur langsung dan jalur
tidak langsung yang berproyeksi melalui korteks auditorik. Kedua rute itu mampu
memediasi pengondisian ketakutan terhadap bunyi-bunyi sederhana bila hanya satu
yang rusak, pengondisian tetap berjalan normal. Akan tetapi, hanya rute kortikal
yang mampu memediasi pengondisian ketakutan terhadap bunyi-bunyi yang
kompleks.
C.2. Pengondisian Ketakutan Kontekstual dan Hipokampus
Lingkungan atau konteks, dimana stimuli yang menginduksi-ketakutan
ditemui, dapat membangkitkan ketakutan. Contextual fear conditioning
(pengondisian ketakutan kontekstual) merupakan proses dimana konteks yang tidak
berbahaya membangkitkan ketakutan melalui asosiasinya dengan stimuli yang
menginduksi-ketakutan.
Pengondisian ketakutan kotekstual dihasilkan di laboratorium dengan dua
cara. Pertama, pengondisian ketakutan ini dihasilkan emlalui prosedur
pengondisian ketakutan konvesio nal. Sebagai contoh, bila seekor tikus menerima
kejutan listrik berulang kali setelah meemui stimulus kondisional, misalnya sebuah
bunyi, tikus itu akan menjadi takyt terhadap konteks kondisionalnya (bilik tes)
maupun bunyi itu. Kedua¸pengondisian ketakutan kontekstual ini dihasilkan dengan
memberikan stimuli aversif dalam konteks tertentu tanpa adanya stimulus
kondisional lain. Sebagai contoh, bila seekor tikus menerima kejutan listrik di
sebuah bilik tes yang benar-benar berbeda, tikus itu akan menjadi takut terhadap
bilik itu.
Hipokampus memainkan peran kunci dalam ingatan akan lokasi spasial,
masuk akal untuk menduga bahwa hipokampus mestinya terlibat di dalam
pengondisian ketakutan kontekstual. Lesi hipokampal bilateral memblokir
perkembangan respons ketakutan terhadap konteks selanjutnya tanpa mendirupsi
retensi respons ketakutan terhadap stimulus kondisional eksplisit (misalnya sebuah
bunyi).
C.3. Kompleks Amigdala dan Pengondisian Ketakutan

BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

13
Amigdala terdiri atas kira-kira selusin nuklei utama, yang masing-masing
terbagi menjadi subnuklei. Masing-masing subnuklei sangat berbeda secara
struktural dan masing-masing memiliki koneksi yang berbeda, sehingga
kemungkinan besar memiliki fungsi yang berbeda pula
Studi pengondisian ketakutan memberikan demonstrasi yang sangat
menarik tentang tidak disarankannya untuk berasumsi bahwa amigdala adalah
struktur tunggal. Bukti-bukti menunjukkan bahwa nukelus lateral amigdala—bukan
seluruh amigdala—adalah yang terlibat secara kritis dalam perolehan,
penyimpanan, dan pengekspresian ketakutan terkondisi.4 Korteks prefrontal
maupun hipokampus berproyeksi ke nukleus lateral amigdala, korteks prefrontal
diduga memengaruhi nukleus lateral amigdala untuk menekan ketakutan terkondisi,
dan hipokampus diduga berinteraksi dengan bagian amigdala untuk memperantarai
belajar tentang konteks berbagai kejadian terkait ketakutan. Amigdala diduga
mengontrol perilaku defensi melalui output-output dari nukleus sentral amigdala.

D. Mekanisme Otak dan Emosi Manusia


D.1. Anatomi Fisiologis

D.2. Penelitian Neurosains dan Emosi


4
Ibid, hal 567
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

14
Studi mengenai pencitraan otak sudah banyak dilakukan terhadap orang-
orang yang sedang mengalami atau membayangkan berbagai emosi atau melihat
orang lain yang sedang mengalami emosi. Beberapa studi berikut menjadi hal
fundamental untuk kita memahami tentang mekanisme emosi untuk otak,
a) Aktivitas otak yang berkaitan dengan setiap emosi manusia bersifat menyebar
– tidak ada sebuah pusat untuk setiap emosi (Feinsten, 2013). Pikiran
“mosaik” dan bukan “pusat” untuk lokasi-lokasi mekanisme otak untuk
emosi.
b) Hampir selalu ada aktivitas di korteks motorik dan sensorik ketika seseorang
mengalami sebuah emosi atau berempati dengan seseorang yang sedang
mengalami sebuah emosi.
c) Pola-pola aktivitas otak serupa cenderung terekam ketika seseorang
mengalami sebuah smosi, membayangkang emosi itu, atau melihat orang lain
mengalami emosi itu.
Temuan tersebut secara umum menjelaskan bahwa kemampuan menakjubkan
manusia untuk berempati dengan orang lain. 5

D.3. Amigdala (Sistem Limbik)


Sistem limbik ini menjadi salah satu bagian yang berkembang lebih dulu
daripada bagian-bagian lainnya. Sistem limbik merupakan struktur jaringan yang
mencakup subkortikal, kortikal, dan area
batang otak yang memainkan peran utama
dalam perilaku emosional, mencakup
memori dan belajar yang berkaitan dengan
emosi serta interaksi sosial (Donders &
Hunter, 2010). Dengan kata lain,
perkembangan emosi manusia, menjadi salah satu bagian otak yang berkembang
lebih awal dan terus berlanjut hingga lansia.6 Amigdala adalah struktur dalam
sistem saraf berbentuk seperti almonds yang terletak di dasar lobus temporalis.
Amigdala merupakan bagian dari sistem limbik yang terlibat dalam pengalaman
emosional dan fungsi seksual. Struktur ini berperan dalam ingatan yang bersifat
emosional dan terbentuk dari sebuah nukleus atau kluster badan sel. Amigdala
5
Ibid, hlm. 568

6
Isman Rahmani, Otak Emosi dan Otak Sosial...., Fakulas Psikologi Universitas Gadjah Mada, hlm. 3
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

15
tumbuh dan mencapai puncak perkembangannya sebelum usia 4 tahun. Karena itu
pada anak-anak di bawah 4 tahun, sensasi dan rangsangan yang paling cepat
ditangkap, dikonsilidasi dan disimpan adalah sensasi-sensasi yang bersifat
emosional. Pengalaman atau pelajaran pada usia ini akan berdampak lebih kuat jika
diberikan dengan nuasa emosi yang tinggi, misalnya melalui bermain. Amigdala
menyimpan memori tentang peristiwa emosional, menerima input dari sistem
visual, auditif dan pencernaan, termasuk bagian otak yang mengenal rasa dan
sentuhan. Amigdala adalah peran stimulasi, regulasi, emosi dan respon emosional
terhadap informasi sensor serta mengevaluasinya dengan cepat dalam menentukan
nilai emosionalnya serta mengambil keputusan terhadap kejadian tertentu. Jadi
amigdala adalah struktur yang menghubungkan antara emosional dan rasio atau
kesadaran emosional (emotional awareness).
Sebagai contoh, apabila kita menghadapi rasa takut maka hal ini adalah
suatu komponen dari kondisi emosional yang cirinya adalah kondisi tergerak (a
state of being moved). Komponen emosi lainnya adalah kesadaran (awareness)
yang dirasakan. “Emotional awareness” kemudian timbul untuk menentukan
tindakan yang diambilnya terhadap rasa takut tersebut.
Joseph Le Doux (1996) dalam buku The Emosional Brain menulis bahwa
sistem emosional utama yaitu rasa takut mencakup amigdala dan bagian frontal dari
korteks singulat (cingulater cortex, yaitu struktur setengah lengkung yang
melingkupi bagian tengah otak atau daerah limbik melalui jalur neuron, visual dan
auditif yang mengait langsung ke struktur yang berbentuk almond tersebut).
Struktur ini ditemukan di setiap belahan bagian tengah otak. Amigdala
mengirimkan serabut ke hipotalamus dan batang otak, tempat pernafasan, keringat,
denyut jantung, pembuluh darah dan tonus otak dikendalikan.
Dalam anatominya, bagian otak yang paling bertanggung jawab atas
pembajakan itu ialah amigdala, sebuah pusat di sistem limbik di dalam otak kita.
Joseph LeDoux, seorang ahli saraf di Center for Neural Science di New York
University, adalah orang pertama yang menemukan peran kunci amigdala dalam
otak emosional. Ia mengungkapkan bahwa arsitektur otak memberi tempat
istimewa bagi amigdala sebagai penjaga emosi, penjaga yang mampu membajak
otak.

BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

16
Selain sebagai aktor utama dalam otak emosional, amigdala juga berperan
sebagai gudang ingatan emosional. Bagi beberapa ahli saraf, hipokampus adalah
bagian yang berperan dalam hal ingatan emosional itu. Namun bagi LeDoux,
hipokampus hanyalah berperan untuk mengenali sebuah benda sedangkan amigdala
yang memberikan memori terhadap benda tersebut. Misalnya, ketika Anda melihat
foto mantan, hipokampus bekerja untuk mengenali bahwa itu adalah foto mantan
Anda. Sedangkan bagian yang mengingatkan bahwa wajah itu telah memberikan
rasa cinta dan rasa sakit dalam waktu yang sama adalah peran dari amigdala.
Amigdala memindai pengalaman dan membandingkan antara apa yang
sedang terjadi sekarang dan yang terjadi di masa lampau. Oleh sebab itu, seringkali
kita dibingungkan dengan ledakan emosi yang kita miliki, yang mana terkadang
kita juga belum memiliki pembendaharaan kata untuk memahami peristiwa-
peristiwa tersebut.
LeDoux telah membuktikan jika ketika suatu stimulus diterima oleh indra
maka stimulus akan disampaikan ke talamus (bagian otak penerima informasi),
kemudian talamus membagi informasi stimulus tersebut dalam dua cabang. Salah
satu cabang membawa sebuah informasi mentah atau penuh akan ingatan
emosional, sedangkan cabang yang lain membawa informasi lengkap yang sangat
terperinci. Informasi mentah itu dikirim melewati sebuah sirkuit rahasia menuju
amigdala sedangkan informasi terperinci disampaikan ke neokorteks.
Dalam percabangan ini, memungkinkan amigdala mulai memberi respon
lebih awal sebelum neokorteks. Seperti sebuah kendaraan yang mengangkut beban
berat, respon neokorteks sedikit lambat karena harus melewati berbagai
pertimbangan yang melibatkan bagian-bagian otak lainnya. Pada saat itulah, apabila
amigdala atau informasi mentah telah membajak kita, seolah tidak melibatkan
neokorteks dalam memberi respon, kita akan menghasilkan perilaku sebelum otak
sepenuhnya memahami apa yang kita lakukan.
Sebuah Amarah
Amarah agaknya yang paling susah diajak berkompromi. Dolf Zillman ahli
psikologi di University of Alabama menemukan bahwa pemicu amarah adalah
perasaan terancam akan bahaya. Ancaman tersebut dapat dipicu bukan saja oleh
ancaman fisik langsung melainkan juga oleh ancaman simbolis seperti berkaitan
dengan harga diri, diperlakukan tidak adil, dicaci-maki atau diremehkan. Ancaman-
ancaman itulah yang menjadi pemicu awal bagi amigdala untuk membangkitkan
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

17
energi, yang lonjakan energinya memberikan alarm tubuh untuk bertempur atau
kabur (fight or flight). Barangkali inilah yang menjadi sumber utama letupan
amarah yang sering terjadi pada diri kita.
Akan tetapi, sirkuit emosi dalam otak kita tidak hanya terletak pada itu.
Neokorteks juga memiliki peran akan emosi yang ada pada diri seseorang.
Meskipun harus melewati proses berpikir yang penuh pertimbangan, seperti ketika
kita menderita kehilangan lalu menjadi sedih, merasa bahagia setelah merebut
kemenangan, atau merenenungkan ucapan teman kemudian merasa sakit hati.
Neokorteks-lah yang sering menawarkan amarah yang lebih terukur atau menurut
Benjamin Franklin dianggap sebagai amarah yang mempunyai alasan yang benar.
Meskipun demikian, tidak sedikit seseorang yang memiliki perspektif jika
luapan amarah merupakan sesuatu yang lebih baik daripada memendamnya. Seperti
pendapat para psikodinamika bahwa jika kita tidak mengungkapkan amarah, maka
ia akan lewat cara lain yang lebih destruktif, seperti serangan jantung. Apakah
benar demikian?
Martin Seligman memaparkan dalam bukunya sebuah penelitian pada 255
mahasiwa kedokteran yang menjalani serangkaian tes kepribadian untuk mengukur
sikap permusuhan. Dua puluh lima tahun kemudian, mereka yang paling pemarah
mendapat serangan jantung lebih banyak lima kali lipat daripada yang tidak
pemarah. Kajian lain menemukan jika para pria yang paling beresiko terkena
serangan jantung adalah mereka yang bersuara lebih meledak-ledak, lebih mudah
jengkel, dan lebih mudah menumpahkan kemarahan.
Keselarasan Emosi dan Nalar
Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence memberitahukan
bahwa di dalam otak kita, sakelar peredam ledakan amigdala itu terletak di ujung
lain sirkuit penting neokorteks, yaitu di lobus-lobus prefrontal. Lazimnya, wilayah
prefrontal mengatur reaksi emosional kita sejak awal. Di sanalah tempat dimana
informasi dikoordinasikan lalu direncanakan dan diorganisasikan untuk menuju
suatu sasaran, termasuk sasaran emosional. Namun sayangnya kita sering tidak
tertarik proses panjang yang neokorteks tawarkan. Kita lebih memilihh amigdala
yang mengambil alih kendali apa yang kita kerjakan sewaktu neokorteks masih
dalam proses menyusun suatu keputusan. Ringkasnya kita selalu terburu-buru.
Arti dalam sebuah buru-buru bukan berarti kita harus memikirkan apa yang
membuat kita marah. Diane Tice, seorang ahli psikologi pada Case Western
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

18
Research University mengatakan jika semakin lama kita berpikir tentang apa yang
membuat kita marah, maka akan semakin banyak alasan kuat atas pembenaran
bahwa diri kita memang seharusnya marah. Tetapi, memikirkan segala sesuatunya
dengan titik pandang yang berbeda akan dikit demi sedikit memadamkan api
kemarahan.
Ungkapan Tice ini dibuktikan lewat percobaan yang dilakukan oleh Dolf
Zillman. Zillman melakukan percobaan dengan meminta asistennya memaki-maki
dan memanas-manasi para sukarelawan. Para sukarelawan dibagi menjadi dua
kelompok, satu tidak diberi kesempatan berpikir sedangkan yang lainnya diberikan
kesempatan berpikir. Pada sukarelawan yang tidak diberikan waktu untuk
memikirkannya, mengatakan bahwa balas dendam adalah rasa puas yang ingin
didapatkannya. Sedangkan sukarelawan yang lain diberikan kesempatan berpikir,
yang berupa penjelasan salah satu asisten lain jika asisten (yang memaki-maki) itu
sedang mengalami tekanan yang hebat dan sedang gelisah karena akan menghadapi
ujian akhir, lebih memiliki empati dan mengungkapkan belas kasihan atas
keadaannya.
Oleh karena itu, apabila pria yang menghancurkan motor kekasihnya
tersebut tidak berdiri dipikiran bahwa aparat merugikannya dan lebih memilih
berdiri dipikiran yang mengatakan bahwa aparat tersebut bertugas untuk
menertibkan lalu lintas guna keselamatan dirinya dan orang lain, sangat mungkin
jika ia tidak meluapkan amarah yang akhirnya ia sesali sendiri.
D.4. Lobus Prafrontal Medial dalam Emosi
Setelah masa dua tahun pertama kehidupan, seiring dengan berbagai
pengalaman emosional dan sosial, menghasilkan berbagai ekspresi dan
pengalaman emosi yang semakin kompleks. Tidak hanya area limbik, namun area
fungsi berpikir tingkat tinggi (High order function) seperti area korteks frontal,
banyak terlibat dalam pemrosesan emosi pada anak-anak. Pemrosesan emosi, yang
diusulkan oleh LeDoux (Kolb & Whishaw, 2015), dimulai sensori thalamus yang
kemudian dihantarkan ke area korteks dan amigdala. Area korteks dan amigdala
saling berinteraksi melalui transformasi area korteks ke formasi hipokampus dan
kemudian kembali ke amigdala. Proyeksi dari korteks ke amigdala yang juga saling
berinteraksi, memicu pelepasan hormon melalui kelenjar pituitary di hipotalamus,
mengaktifkan sistem saraf otonom, membangkitkan perilaku emosional melalui
batang otak, dan menstimulasi bangkitan atau atensi melalui otak depan basal.
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

19
Hampir serupa, sirkuit otak pemrosesan emosi yang diusulkan oleh Papez (Kolb &
Whishaw, 2015) melibatkan prefrontal korteks dan korteks yang berasosiasi dengan
sensori.
Prefrontal korteks menghantarkan ke area cingulate korteks, dan dari
korteks sensori kemudian ditransformasikan ke area cingulate korteks, formasi
hipokampus, dan amigdala. Transformasi dari prefrontal korteks melalui cingulate
korteks dihantarkan ke hipokampus dan amigdala, dan kemudian amigdala
mentransformasi ke area hipotalamus yang kemudian menjadi respons dari
perilaku. Mammillary nucleus dari hipotalamus, mendapat transformasi dari
hipokampus yang kemudian mengkoneksikan pada cingulate korteks melalui
thalamus anterior.7
Medial Prefrontal Cortex, yang berkaitan dengan diri dan individu lain.
Area ini berimplikasi pada berbagai aspek dari kognisi sosial, dan bagian ini aktif
ketika memahami kepercayaan orang lain, membuat kesimpulan atau atribusi
mengenai kondisi mental orang lain. Porsi-porsi medial lobus prefrontal (termasuk
porsi-porsi medial korteks orbitofrontal dan korteks singulat) adalah tempat-tempat
berinteraksi emosi-kognisi yang telah menerima perhatian paling besar. Studi
pencitraan otak fungsional menemukan bukti aktivitas di dalam lobus preforntal
medial ketika berbagai reaksi emosional sedang ditekan atau direevaluasi secara
kognitif (Okon-Singer, 2015)8
D.5. Aktivitas Neural saat Emosi Pencitran Otak
Hasil riset dalam educational neuroscience ditemukan menggunakan
beberapa alat pemindai aktivitas otak manusia. Semakin jelas alat tersebut dalam
mengamati perubahan struktur dalam sel saraf otak maka akan semakin pesat pula
hasil riset dalam educational neuroscience. Di antara alat pemindai otak yang telah
menyumbangkan berbagai temuan baru dalam educational neuroscience adalah
sebagai berikut.
1. Electroencephalography (EEG) dan Magnetoencephalography (MEG).
EEG dan MEG mampu membaca seberapa cepat informasi diproses dalam
otak. Alat ini memiliki 100 detektor magnetik yang ditempelkan di sekitar
kepala. Fungsinya adalah untuk mendeteksi aktivitas elektrik dan magnetik
yang terjadi pada otak selama proses mental (termasuk proses
7
Ibid., hlm. 5-6

8
John P.J Pinel; Steven J Barners, Biopsikologi, hlm. 570
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

20
belajarmengajar) berlangsung. EEG dan MEG mencatat perubahan yang
terjadi di dalam otak secara berkelanjutan, yakni dalam kisaran satu mili
detik (satu per seribu detik) kisaran umum waktu yang dibutuhkan otak
untuk memproses kata. Hasil pencatatan memberi informasi mengenai
waktu yang diperlukan oleh otak untuk proses membaca atau menghitung
angka matematika.
2. Positron-Emission Tomography (PET) PET merupakan teknologi yang
diakui untuk mengobservasi fungsi-fungsi otak yang mengandung radioaktif
pada subjek di mana cairan akan bereaksi ke dalam otak. Wilayah bereaksi
ke tingkat tinggi akan mengakumulasi lebih banyak radiasi dan aktivitas ini
ditangkap oleh cincin detektor yang di pasang di sekitar kepala subjek
(pasien).
3. Functional Magnetic Resonance Imaging (FMRI) FMRI merupakan
teknologi yang dengan cepat menggantikan pemindaian PET karena efek
radiasi yang terlalu tinggi. Teknologi ini mampu menunjukkan area-area
otak yang lebih besar atau lebih kecil ketika memproses Hasil-hasil temuan
menggunakan informasi (belajar). Operasinya berdasarkan fakta bahwa
bagian otak yang lebih aktif membutuhkan oksigen dan nutrisi yang lebih
tinggi. Oksigen dibawa menuju sel-sel otak oleh hemoglobin. Hemoglobin
mengandung zat besi yang bersifat magnetik. FMRI memiliki magnet untuk
membandingkan jumlah hemoglobin teroksigenasi yang memasuki otak
dengan hemoglobin teroksigenasi.
4. Functional Magnetic Resonance Spectroscopy (FMRS). FMRS adalah
teknologi yang dapat menunjukkan dengan tepat area otak yang sedang aktif
berpikir serta dapat mengidentifikasi apakah zat-zat kimiawi muncul pada
area otak teraktivasi.
5. Single Photon Emission Computed Tomography (SPELT) SPELT adalah
istrumen yang paling canggih di bidang neurosains. Teknologi ini mampu
merekam gelombang otak ketika manusia melakukan kegiatan tertentu tanpa
membawa orang tersebut ke dalam laboratorium rekam medis 9
Meskipun ada beberapa konsensus umum bahwa amigdala dan korteks
prefrontal medial memainkan peran penting dalam persepsi dan pengalaman emosi

9
Hamdan H. B; Asep Supena, Educational Neuroscience..., Jurnal Pendidikan Dasar,hlm. 143-144
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

21
manusia, hasil-hasil studi pencitraan umum meletakkan konsensus ini dalam
perspektif berikut,
 Situasi emosional menghasilkan peningkatan menyebar dalam aktivitas
serebral, bukan hanya di amigdala dan korteks prefrontal
 Semua daerah otak yang diaktifkan oleh stimulus emosional juga diaktifkan
selama proses-proses psikologis lain
 Tidak ada struktur otak yang jelas berkaitan dengan sebuah emosi tertentu.
 Stimuli emosional yang sama seringkali mengaktifkan daerah-daerah berbeda
pada orang-orang yang berbeda. 10

E. Stress dan Kesehatan


E.1. Stress
Secara sederhana stress dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan individu
ynang terganggu keseimbangannya. Stress terjadi akibat adanya situasi eksternal
atay internal yang memunculkan gangguan dan menuntut individu untuk berespon
adaptif. ( Smith, 1993). Menurut Lazarus dan Falkman (1984), stress diartikan
sebagai reaksi fisik dan psikologis terhadap tuntutan hidup yang membebani
kehidupan seseorang dan akan mengganggu kesejahteraan hidupnya
Stress menampilkan diri melalui berbagai gejala, seperti meningkatnya
kegelisahan, ketegangan dan kecemasan, sakit fisik (sakit kepala, mual, gatal-gatal,
dan diare), kelelahan, ketegangan otot, gangguan tidur, atau meningkatkan tekanan
darah dan detak jantung. Stres juga dapat tampil dalam perubahan perilaku ; yakni
individu manjadi tidak sabar, lebih cepat marah, menarik diri, atau menampilkan
perubahan pola makan. Sebagain individu merasa frustasi, tidak berdaya, menjadi
lesu dan memiliki harga diri rendah. (Ursin & Eriksen, 1999).11
Brannon dan Feist (2000), mengemukakan stres dapat diuraikan dengan tiga
cara : stimulus, respon, dan interaksi.
a. Stimulus
Stimulus yang mengacu pada stress dapat di bedakan menjadi tiga ketegori :
1. peristiwa karena bencana, seperti angin topan dan gempa bumi.
Peristiwa-peristiwa tersebut dapat memunculkan stress bagi
10
John P.J Pinel; Steven J Barners, Biopsikologi, hlm. 571

11
Farida aryani, stres belajar suatu pendekatan dan intervensi konseling, (sulawasi tengah, edukasi
mitra grafika, 2016), hal.9.
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

22
individu yang mengalaminya karena biasanya terjadi secara tiba-
tiba dan mengakibatkan kehilangan orang-orang yang disayangi.
2. Peristiwa hidup utama ( major live event). Kejadian tertentu yang
menyedihkan, misalnya kematian atau perceraian.
3. Keadaan kronis, seperti tinggal di lingkungan rumah yang sempit
dan kumuh yang membuat tidak nyaman.
b. Respons Stres
Respon mengacu pada cara seseorang bereaksi terhadap stress
tertentu. Dalam konteks ini terdapat dua komponen yaitu:
1. Fisiologi, misalnya jantung berdebar kencang, kerongkongan
terasa kering, dan sering sakit perut
2. Psikologis, meliputi perilaku, pikiran, dan emosi. Misalnya
perasaan gugup ketika menghadapi ulangan umum dan berbicara
di depan muka umum.
c. Interaksi
Gambaran interaksi stress disebutkan dengan rangkaian penyesuaian dan
proses interaksi antara diri dan lingkungan atau diartikan sebagai transaksi.
Stres bukan saja dilihat sebagai stimulus atau respon, melainkan juga
sebagai interaksi (Hardjana, 1994). Artinya terjadi stres pada seseorang
merupakan akibat adanya interaksi antara diri dan lingkungan.12
 Perbedaan antara stress biasa/ ringan dan sters traumatic

Stres biasa atau ringan Stres traumatik


Ada perbedaan sikap dan perilaku yang  Perubahan sikap dan perilaku
terjadi secara perlahan atau bertahap terjadi sangat mendadak, sering
dalam bentuk kehilangan/kesulitan
 Sangat mengagetkan,
menyebabkan shock/mengguncang
sistem individu/kelompok
Individu yang terkena stres, biasanya Menimbulkan rasa tak berdaya yang
mampu mengelolany dan dapat sangat kuat/ tak tertahankan
mengambil keputusan
Masih terkendali dan tidak mengganggu Menyebabkan sikap dan perilaku anti
kepribadian sosial sehingga dapat mengganggu
12
Farida aryani, stres belajar suatu pendekatan dan intervensi konseling, (sulawasi tengah, edukasi
mitra grafika, 2016), hal.10-15.
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

23
kepribadian seseorang
Tidak menimbulkan trauma Tampilan /karakteristik trauma
1. Kesiagaan terus-menerus
2. Perasaan seperti mengalami
kembali peristiwa traumatic
3. Ingat terus-menerus tentang
kejadian gangguan
tubuh/somatik13

E.2. Respon tubuh terhadap stres

Stres didefinisikan sebagai stimulus eksternal yang kuat baik fisiologis dan
psikologis yang menyebabkan respon fisiologis dalam tubuh seseorang. Oleh
karena itu, stres dapat digambarkan sebagai proses dengan komponen fisiologis dan
psikologis. Definisi psikologis dari stres dilihat dari cara seseorang merespon stres
pada sejumlah faktor, termasuk kemampuan untuk menghadapi stres (coping),
predisposisi genetik, stresor, tingkat dukungan sosial, dan faktor gaya hidup
lainnya. Stressor adalah stimulus, situasi, atau keadaan dengan potensi
menyebabkan reaksi stres.
Efek potensial respon stres yang dapat diobservasi atau diukur termasuk
kecemasan, depresi, kognisi yang terganggu, dan kepercayaan diri terganggu.
Definisi fisiologis stres adalah stres dapat menyebabkan deregulasi sistem imun,
dimediasi oleh HPA axis dan sympatheticadrenal-medullary axis. Sebagai respon
terhadap berbagai stimuli stres, terjadi inisiasi sekuens kejadian. Ketika situasi
tertentu diinterpretasikan sebagai keadaan stress, hal ini akan memicu aktivasi
hyothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis melepaskan hormon corticotropin-
releasing hormone (CRH).
Pelepasan CRH memicu sekresi dan pelepasan hormon lain, yaitu
adrenocorticotropin hormone (ACTH) dari kelenjar pituitary, yang juga terletak di
otak. Ketika ACTH disekresi oleh kelenjar pituitary, hormon ini mengikuti aliran
darah dan mencapai kelenjar adrenal, yang berada di atas ginjal, dan memicu
sekresi hormon stres. Ada dua macam hormon stres utama, yaitu glukokortikoid
(kortisol pada manusia) dan katekolamin (adrenalin dan on adrenalin).
13
Farida aryani, stres belajar suatu pendekatan dan intervensi konseling, (sulawasi tengah, edukasi
mitra grafika, 2016), hal.16.
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

24
Sekresi akut glukokortikoid dan katekolamin sebagai respon terhadap adanya
stresor merupakan mediator primer dalam rantai hormonal yang dipicu respon
terhadap stres. Kedua hormon yang disekresi sebagai respon terhadap stres ini
bertindak dalam tubuh untuk memberikan respon fight-or-flight menyebabkan
peningkatan detak jantung dan tekanan darah. Glukokortikoid memiliki efek yang
berbeda-beda pada sistem target, bertujuan untuk meningkatkan keberadaan
substrat energi pada bagian tubuh yang berbeda, dan memberikan adaptasi optimal
untuk menghadapi tuntutan lingkungan. Sedangkan aktivasi HPA axis dianggap
sebagai mekanisme adaptasi dasar terhadap adanya perubahan, aktivasi
berkepanjangan memberikan risiko pada kesehatan organisme.
Katabolik glukokortikoid yang tinggi melawan insulin dan meningkatkan
tekanan darah sehingga meningkatkan risiko diabetes, hipertensi, dan penyakit
arterial. Pertumbuhan dan perbaikan jaringan terganggu. Di sisi lain, aktvitas HPA
axis menekan fungsi imun, dan dalam keadaan kronis berbahaya bagi organisme
karena berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya infeksi.
Stres memiliki efek pada respon imun dan kerentanan terhadap infeksi. Sel
inang (host), T limfosit dan makrofag merupakan sel-sel yang penting dalam
pengaturan proses imun-inflamasi. Respon psikologis terhadap pemicu stres dapat
mengubah sistem imun melalui sistem neural dan endokrin, respon akibat stres
dihantarkan melalui tiga jalur yaitu ke aksis hyphotalamopituitary-adrenal (HPA)
ke sistem saraf simpatik dan ke saraf sensonic peptidergic. Sebaliknya stres juga
dapat menyebabkan aktivasi imun melalui berbagai jalur. CRF sendiri dapat
merangsang pelepasan norepinefrin melalui reseptor CRF yang terletak di locus
cereleus yang mengaktifkan sistem saraf simpatis, baik sentral maupun perifer,
serta meningkatkan pelepasan epinefrin dari medulla adrenal. Di samping itu,
terdapat hubungan langsung neuron norepinefrin yang bersinaps pada sel target
imun. Dengan demikian, di dalam menghadapi stresor, juga terdapat aktivasi imun
yang dalam termasuk pelepasan faktor imun humoral (sitokin) seperti IL-1 dan IL-
Sitokin dapat menyebabkan pelepasan CRF lebih lanjut, yang di dalam teori
berfungsi untuk meningkatkan efek glukokortikoid sehingga membatasi sendiri
aktivasi imun.
Sel-sel sistem imun didistribusi di seluruh tubuh ketika infeksi terjadi, respon
inflamasi yang menyusun elemen sistem imun pada area spesifik. Setelah proses
infeksi menjadi kronis, inflamasi secara klinis terjadi, meningkatkan sitokin dan
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

25
mediator inflamasi lain yang berhubungan dengan aktivasi dari sistem stress.
Apabila reaksi inflamasinya bermakna dan bertahan lama, terjadi manifestasi
berupa penyakit sistemik seperti rheumatoid arthritis dan penyakit periodontal 14
Dari beberapa kajian uraian dan penelitian diatas, dapat kita pahami bahwa
emosi sangat berkaitan dengan kesehatan. Beberapa contoh dalam kehidupan
sehari-hari misalnya, saat seseorang wanita sedang mengalami menstruasi. Disitu
dapat kita lihat saat wanita mengalami masa-masa mens dengan secara tidak sadar
emosi sering kali memuncak, entah itu hal kecil atau hal yang serius, itu disebabkan
hormon seorang wanita yang sedang naik. Apalagi saat dibuat marah oleh orang
lain, susah untuk mengontrol emosi yang terjadi. Contoh lain adalah saat seseorang
naik kendaraan ( bus, kapal, kereta, dll) sebelum menaiki kendaraan tersebut sering
kali kita memikirkan hal yang anah-aneh, seperti di bus nanti terbayang bau-bau
yang tidak diinginkan atau supir bus nanti ugal-ugalan, dan stigma lainnya. Itu bisa
menjadi penyebab seorang menjadi muntah. Hal tersebut mempengaruhi emosi
pada seseorang.
E.3. Kesehatan
Kesehatan adalah keadaan seimbang yang dinamis, dipengaruhi faktor
genetik, lingkungan dan pola hidup sehari-hari seperti makan, minum, seks, kerja,
istirahat, hingga pengelolaan kehidupan emosional. Status kesehatan tersebut
menjadi rusak bila keadaan keseimbangan terganggu, tetapi kebanyakan kerusakan
pada periode-periode awal bukanlah kerusakan yang serius jika orang mau
menyadarinya. (Santoso, 2012: 8)
Menurut definisi yang dirumuskan oleh WHO, kesehatan adalah sebagai :
”a state of complete physical, mental and social well being and not merely the
absence of disease or infirmity“. (WHO, 1948), adalah keadaan sejahtera fisik,
mental, social tanpa ada keluhan sama sekali (cacat atau sakit). Dalam UU RI
Nomor 23 tahun 1992 kesehatan juga dinyatakan mengandung dimensi mental dan
social : “Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara social dan ekonomi
“.Kesehatan merupakan salah satu faktor utamayang dapat mempengaruhi
kebugaran dan penampilan tubuh, sertaharta yang paling berharga yang tidak
pernah bisa ditukar dengan apapun. Oleh karena itu setiap orang tentu

14
Ratih Larasati, Pengaruh Stress Pada Kesehatan Jaringan Periodontal, Jurnal Skala Husada
Volume 13, Nomor 1, 2016, hlm. 83-85
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

26
mendambakan hidup sehat bahagia dan ingin selalu tampak sehat, bugar,
penampilan yang bagus dan awet muda, tidak lekas keriput karena menua. Hal
tersebut dapat dirasakan apabila kita pernah sakit. Olahraga dan kesehatan
merupakan kebutuhan bagi setiap orang, karena semua orang pasti ingin sehat,
tidak seorangpun yangingin sakit atau terganggu kesehatannya.
Penerapan prilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan
dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk mempertahan dan meningkatkan
kesehatannya. (Notoatmodjo, 2007)
a) Makan dengan menu seimbang (appropriate diet).
Menu seimbang di sini dalam arti kualitas (mengandung zat-zat gizi yang
diperlukan tubuh), dan kuantitas dalam arti jumlahnya cukup untuk
memenuhi kebutuhan tubuh (tidak kurang, tetapi juga tidak lebih), di
Indonesia dikenal dengan ungkapan empat sehat lima sempurna.
b) Olahraga teratur, juga mencakup kualitas (gerakan), dan kuantitas dalam arti
frekuensi dan waktu yang digunakan untuk olahraga. Dengan sendirinya
kedua aspek ini akan tergantung dari usia, status kesehatan yang
bersangkutan.
c) Istirahat yang cukup.
Dengan meningkatnya kebutuhan hidup akibat tuntutan untuk penyesuaian
dengan lingkungan modern. mengharuskan rang untuk bekerja keras dan
berlebihan, sehingga waktu istirahat berkurang. Hal ini juga dapat
membahayakan kesehatan.
d) Mengendalikan stres.
Stres akan terjadi pada siapa saja, dan akibatnya bermacam-macam bagi
kesehatan. Lebih-lebih sebagai akibat dari tuntunan hidup ang keras seperti
diuraikan di atas. Kecenderungan stres akan meningkat pada setiap orang.
Stres tidak dapat kita hindari, yang penting dijaga agar stres tidak
menyebabkan gangguan kesehatan, kita harus dapat mengendalikan atau
mengelola stres dengan kegiatan-kegiatan yang positif.
e) Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya: tidak
berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks, penyeuaian diri kita terhadap
lingkungan dan sebagainya

BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

27
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Beberapa kajian di atas dapat kita simpulkan bahwa, emosi erat
hubungannya dengan kesehatan, setiap orang pasti menjumpai dan melakukan
perilaku emosi. Pada fokus makalah ini, emosi stress dan ketakutan memiliki
dampak terhadap kesehatan, sehingga memang perlu upayanya untuk menjaga
kesehatan dengan pengendalian emosi yang tepat. Karena mekanisme emosi pada
aktivitas neural dan produksi hormon-hormon dalam tubuh yang menyebabkan
tubuh merespon beban pikiran yang mempengaruhi kesehatan.
BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

28
B. Saran
Demikian makalah yang kami susun, kami ucapkan terimakasih atas
bantuan dari semua pihak yang terkait, terutama untuk referensi dalam penyusunan
makalah ini, semoga dalam penulisan ini mampu meningkatkan wawasan, dan
khasanah keilmuan kita tentang Biopsikologi, khususnya tentang emosi, stress, dan
kesehatan. Serta berusaha tidak hanya mempelajari tapi juga mengamalkannya di
kehidupan kita sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Astiningrum, N., & Prawitasari, J. H. (2007). Hubungan Antara Minat Terhadap

Komik Jepang (Manga) Dengan Keampuan Rekognisi Emosi Melalui Ekspresi

Wajah. Jurnal Psikologi, 34(2), 130-150.

Batubara, H. H., & Supena, A. (2015). Educational Neuroscience dalam Pendidikan

Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar, 140-148. doi:10.21009/JPD.092.013

BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

29
Canon, W. B. (1927). The James-Lange Theory Of Emotions: A Critical Examination

and An Alternative Theory. The American Journal of Psychology, Vol. 39(1),

1-4.

Kalat, J. (2008). Biopsikologi. (D. Pramudito, Trans.) Jakarta: Salemba Humanika.

Larasati, Ratih. Pengaruh Stress Pada Kesehatan Jaringan Periodontal, Jurnal Skala

Husada Volume 13, Nomor 1, 2016.

Pinel, J. P., & Barnes, S. J. (2019). Biopsikologi. (H. P. Soetjipto, & S. M. Soetjipto,

Trans.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pudjono, M. (1995). Dasar-Dasar Fisiologi Emosi. Buletin Psikologi, 3(2), 41-47.

Suyanto, S. (2011). Hasil Kajian Neuroscience dan Implikasinya dalam Pendidikan.

Seminar Nasional Pendidikan Biologi. Yogyakarta: Fakultas MIPA Universitas

Negeri Yogyakarta.

Yusron, I. R. (2018). Otak Emosi dan Otak Sosial: Fondasi Perspektif Neurosains

dalam Perkembangan Sosial dan Emosi. Fakultas Psikologi Universitas

Gadjah Mada, pp. 1-10.

BIOPSIKOLOGI EMOSI, STRESS, DAN KESEHATAN

30

Anda mungkin juga menyukai