Anda di halaman 1dari 15

KEWAJIBAN SUAMI-ISTRI

Muhammad Lutfi

A. Ayat Mengenai Kewajiban Suami-Istri

‫َو ِم ْن آَياِت ِه َأْن َخ َل َق َلُك ْم ِم ْن َأْنُف ِس ُك ْم َأْز َو اًج ا ِلَتْس ُك ُنوا ِإَلْيَه ا َو َجَع َل َبْيَنُك ْم َم َو َّدًة َو َر ْح َم ًة ِإَّن ِفي َذِل َك‬

)21-‫آَل َياٍت ِلَق ْو ٍم َيَتَف َّك ُر وَن (الروم‬

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah dia menciptakan


pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dia menjadikan di antara kamu rasa kasih
sayang, sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”.1

‫َو اْلُم َطَّلَق اُت َيَتَر َّبْص َن ِبَأْنُف ِس ِه َّن َثاَل َثَة ُقُر وٍء َو اَل َيِح ُّل َلُه َّن َأْن َيْك ُتْمَن َم ا َخ َلَق الَّل ُه ِفي َأْرَح اِم ِه َّن ِإْن ُكَّن ُيْؤ ِم َّن‬
‫وِف‬ ‫ِب‬ ‫ِم َّلِذ‬ ‫ِإ‬ ‫ِب ِه ِف ِل ِإ‬ ‫ِم ِخ‬ ‫ِب َّلِه‬
‫ال َو اْلَيْو اآْل ِر َو ُبُع وَلُتُه َّن َأَح ُّق َر ِّد َّن ي َذ َك ْن َأَر اُدوا ْص اَل ًح ا َو َلُه َّن ْث ُل ا ي َعَلْيِه َّن اْلَم ْع ُر‬
)228-‫َو ِللِّر َج اِل َعَلْيِه َّن َد َرَج ٌة َو الَّلُه َعِز يٌز َح ِكيٌم (البقرة‬

“dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu)
tiga kali quru’. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman pada Allah dan hari akhir,
dan para suami mereka lebih berhak kembali pada mereka dalam (masa) itu,
jika mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan)
mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang patut.
Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka, 36, Allah Maha
Perkasa, Maha Bijakasana”.2

‫َو اْلَو اِلَد اُت ُيْر ِض ْع َن َأْو اَل َدُه َّن َحْو َلْيِن َك اِم َلْيِن ِلَمْن َأَر اَد َأْن ُيِتَّم الَّر َض اَعَة َو َعَلى اْلَمْو ُلوِد َلُه ِر ْز ُقُه َّن َو ِكْسَو ُتُه َّن‬
‫ِباْلَم ْع ُر وِف اَل ُتَك َّلُف َنْف ٌس ِإاَّل ُو ْسَعَه ا اَل ُتَض اَّر َو اِل َد ٌة ِبَو َل ِد َه ا َو اَل َمْو ُلوٌد َل ُه ِبَو َل ِدِه َو َعَلى اْل َو اِر ِث ِم ْث ُل َذِل َك‬
‫ِض‬ ‫ِم‬ ‫ِف‬
‫َفِإ ْن َأَر اَد ا َص ااًل َعْن َتَر اٍض ْنُه َم ا َو َتَش اُو ٍر َفاَل ُج َناَح َعَلْيِه َم ا َو ِإْن َأَر ْدُتْم َأْن َتْس َتْر ُعوا َأْو اَل َدُك ْم َفاَل ُج َن اَح‬
)233-‫َعَلْيُك ْم ِإَذا َس َّلْم ُتْم َم ا آَتْيُتْم ِباْلَم ْع ُر وِف َو اَّتُقوا الَّلَه َو اْع َلُم وا َأَّن الَّلَه ِبَم ا َتْع َم ُلوَن َبِص يٌر (البقرة‬
“dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh,
bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah
menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seorang

1
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Bandung: Diponegoro, 2008), 306.
2
Ibid., 36.

2
tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
karena anaknya dan jangan pula (ayah) menderita karena anaknya. Ahli waris
pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih
dengan persetujuan atau permusyawarahan, maka, tidak ada dosa antar
keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu pada orang lain, maka
tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut.
Bertaqwalah pada Allah dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan”.3

‫َياَأُّيَه ا اَّل ِذ يَن آَم ُن وا اَل َيِح ُّل َلُك ْم َأْن َتِر ُثوا الِّنَس اَء َك ْر ًه ا َو اَل َتْع ُض ُلوُه َّن ِلَت ْذ َه ُبوا ِبَبْع ِض َم ا آَتْيُتُم وُه َّن ِإاَّل‬
‫الَّلُه ِفيِه‬ ‫ِف ِإ‬ ‫ِب‬ ‫ِت ِب ِح ٍة ٍة ِش‬
‫َأْن َيْأ يَن َف ا َش ُمَبِّيَن َو َعا ُر وُه َّن اْلَم ْع ُر و َف ْن َك ِر ْهُتُم وُه َّن َفَعَس ى َأْن َتْك َر ُه وا َش ْيًئا َو َيْجَعَل‬
)19-‫َخ ْيًر ا َك ِثيًر ا (النساء‬

“wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi


perempuan dengan jalan yang paksa. Dan jangan kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamuberikan
kepadanya, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan
bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. jika kamu tidak
menyukai mereka (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai
sesuatu padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.4

‫الِّر َج اُل َقَّو اُموَن َعَلى الِّنَس اِء ِبَم ا َفَّضَل الَّلُه َبْع َض ُه ْم َعَلى َبْع ٍض َو ِبَم ا َأْنَفُقوا ِم ْن َأْم َو اِلِه ْم َفالَّصاِلَح اُت َقاِنَتاٌت‬
‫َح اِفَظاٌت ِلْلَغْيِب ِبَم ا َح ِف َظ الَّل ُه َو الاَّل ِتي َتَخ اُفوَن ُنُش وَزُه َّن َفِعُظوُه َّن َو اْه ُج ُر وُه َّن ِفي اْلَم َض اِج ِع َو اْض ِر ُبوُه َّن‬
)34-‫َفِإ ْن َأَطْعَنُك ْم َفاَل َتْبُغوا َعَلْيِه َّن َس ِبياًل ِإَّن الَّلَه َك اَن َعِلًّيا َك ِبيًر ا (النساء‬
“laki-laki (suami) pelindun bagi wanita (istri), karena Allah telah
melebihkan sebagiann dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari
hartanya, maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat
(pada Allah) dan menjaga diri ketika (suami) tidak ada, karena Allah telah
menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan
nushuz, hendaknya kamu beri nasihat mereka, tinggalkanlah mereka di tempat
tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tapi jika mereka
menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya.
Sungguh Allah Maha Tinggi, Maha Besar”.5

‫َو ِإْن ِخ ْف ُتْم ِش َق اَق َبْيِنِه َم ا َف اْبَعُثوا َح َك ًم ا ِم ْن َأْه ِلِه َو َح َك ًم ا ِم ْن َأْه ِلَه ا ِإْن ُيِر يَد ا ِإْص اَل ًح ا ُيَو ِّف ِق الَّل ُه َبْيَنُه َم ا ِإَّن‬
)35-‫الَّلَه َك اَن َعِليًم ا َخ ِبيًر ا (النساء‬
3
Ibid., 37.
4
Ibid., 79.
5
Ibid., 84.

3
“dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan juru damai dari
keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai) beraksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sungguh,
Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti”.6
B. Asbab al-Nuzul
1. Al-Baqarah ayat 228.
Asma binti Yazid bin Sakan al-Ans}ariyyah mengemukakan tentang latar
belakang turunnya ayat 228 surah al-Baqarah. Sebab turunnya ayat ini berkaitan
dengan dirinya, suatu ketika ia diceraikan oleh suaminya, kejadian tersebut saat
Rasulullah masih hidup, disaat belum ada hukum iddah bagi seorang yang dijatuhi
talak oleh suaminya, yaitu menunggu tiga kali haid. Sehubungan dengan itulah
ayat ini turun, guna memberi ketegasan hukum bagi wanita yang diceraikan
suaminya.7
Selain itu, ada riwayat lain yang menjeaskan mengenai sebab turunnya
ayat ini, Isma>’il bin ‘Abdullah al-Ghifari menceraikan istrinya bernama Qatilah
di zaman Rasulullah masih hidup, pada waktu itu, Isma>’il bin ‘Abdullah tidak
tahu bahwa istrinya sedang hamil. Setelah dia mengetahui segara ia merujuk
istrinya kembali. Ketika melahirkan istrinya meninggal, demikian juga bayinya.
Setelah peristiwa tersebut Allah menurunkan ayat tersebut guna memberikan
penjelasan tentang betapa pentingnya masa iddah—masa menunggu bagi seorang
wanita yang diceraikan—sebab dengan demikian dapat diketahui apakah wanita
yang dicerai itu, dalam kondisi hamil atau tidak.8
2. Al-Nisa>’ ayat 19
Di masa Jahiliyyah, jika seorang pria meninggal dunia, maka wali orang
itu lebih berhak untuk menerima waris ketimbang istrinya yang ditinggalkan, jika
wali ingin mengawini janda tersebut atau mengawinkannya dengan orang lain,
maka wali itu lebih berkuasa dari pada wali si wanita yang sebenarnya.
Sehubungan dengan berjalannya hukum yang simpang-siur menurut aturan, maka
6
Ibid., 84.
7
A. Mujdab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman Al-Qur’an Surat al-Baqarah-al-
Na>s (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002),103.
8
Ibid., 104. Lihat juga Jala>l al-Di>n al-Shuyut}i>, Luba>b al-Nuqu>l fi> Asba>b al-
Nuzu>l (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), 33-34.

4
turunlah ayat ini, yang menjelaskan tentang kedudukan seorang wanita yang
ditinggal mati suaminya.9
Lebih jelasnya, Quraish Shihab menulis dalam tafsirnya al-Misbah,
bahwa pada masa jahiliyah, adat yang berlaku ketika seorang suami meninggal,
maka seorang anak laki-laki akan mendatangi janda bekas ayahnya, atau ibu
tirinya. Atau datang seorang keluarga si suami ke janda yang ditinggal tersebut,
disertai dengan meletakkan pakaiannya pada wanita tersebut. Hal tersebut menjadi
simbol bahwa yang bersangkutan lebih berhak memperistri si janda dari pada
orang lain. Bahkan sejak itu, kebebasan si wanita telah diambil oleh lelaki yang
bersangkutan. Jika mereka (anak atau keluarga suami yang meninggal) ingin
menikahinya, maka tidak perlu membayar mahar, dengan asumsi bahwa maharnya
sudah dibayarkan oleh si ayah yang telah meninggal. Jika wanita itu tidak dinikahi
pihak kelurga suami, kebanyakan nasibnya akan dibiarkan, bahkan dipersulit
untuk mendapatkan kebebasan. Dengan kondisi terdesak seperti itu, wanita yang
bersangkutan banyak memilih untuk menikah, bahkan dirinya membayar mahar
menggunakan warisan dari suami.10
3. Al-Nisa>’ ayat 34-35.

Suatu ketika menghadaplah seorang wanita pada Rasulullah untuk


mengadukan masalah, dia ditampar mukanya oleh sang suami. Rasulullah
bersabda, “suamimu harus diqisas (dibalas).” Sehubungan dengan sabda rasul
tersebut Allah menurunkan ayat 34-35 yang dengan tegas memberikan ketentuan,
bahwa bagi kaum laki-laki ada hak untuk mendidik istrinya yang melakukan
penyelewengan terhadap haknya selaku istri. Setelah mendengan keterangan ayat
ini, wanita tersebut menuntut qisas terhadap yang telah menampar mukanya.11
Riwayat lain yang menjelaskan asbab al-nuzul ayat tersebut terkait
dengan kejadian sepasang suami istri yang menghadap Rasulullah, sang istri
mengadu pada Rasulullah, “wahai Rasulullah, suamiku ini telah memukul
mukaku hingga terdapat bekas luka,” Rasulullah bersabda, “suamimu tidak berhak
9
Ibid., 215.
10
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, jilid 2
(Jakarta: Lentera Hati, 2009), 459.
11
Mahali, Asbabun Nuzul..., 223.

5
berlaku demikian, dia harus diqisas.” Sehubungan dengan keputusan Rasulullah
tersebut, Allah menurunkan ayat 34-35 di atas sebagai ketegasan hukum, bahwa
seorang suami berhak untuk mendidik istrinya. Dengan demikian, hukum qisas
yang diputuskan Rasulullah tersebut gugur, tidak terlaksanakan.12
C. Tafsir Bahasa Dan Mufrodat
1. Ar Ru>m ayat 21
Mawaddah wa rah{mah artinya cinta dan kasih sayang. Mawaddah berasal
dari fi'il wadda yawaddu, waddan wa mawaddan artinya cinta dan kasih,dan suka.
Sedangkan rah{mah dari fi'il rah{ima-yarh{amu-rah{matan wa marh{amatan
artinya sayang,menaruh kasihan. Memang kedua kata ini mengandung kemiripan
arti atau hampir sama maknanya.13

2. Al Baqarah Ayat 233


Ar-Radha’ah adalah kata yang berasal dari kata kerja - ‫ يرضعرضع‬yang

berarti “penyusuan”, yaitu penyusuan bayi pada ibu kandungnya atau bukan. Air
Susu Ibu (ASI) sangat berguna bagi bayi terutama setelah melahirkan, karena
akan memberikan kekebalan (imun) kepada bayi. ASI mengandung zat-zat yang
diperlukan oleh bayi yang tidak ada pada nutrisi lainnya. Penyusuan bayi pada ibu
yang bukan ibu kandungnya yang disebut ibu susu, mengakibatkan hubungan
mahram antara bayi itu dengan ibu susunya sama halnya dengan mahram antara
anak dengan ibu kandungnya, susuan menyebabkan berbagai mahram dengan
anak-anak dari ibu susuannya, sama halnya seperti mahram dengan saudara-
saudara kandungnya.14

3. An-Nisa> ayat 19
Dalam Alquran, kata Karha>n sering diungkapkan untuk mengimbangi
Thau’an, misalnya dalam surah al-Imran:83, at-Taubah:53, ar-Ra’d:15 dan
Fusshilat:11, kata Thau’an wa Karha>n, dalam surah al-Imran diartikan dengan
“baik dengan suka muapun terpaksa” Tetapi kata Karha>n dalam surah An-Nisa>

12
Ibid., 224.
13
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid 7 (Jakarta: Widya Cahaya,
2011),21: 478.
14
Ibid.,1:343.

6
ini berarti “dengan jalan paksa”. Maka terjemah ayat tersebut “Wahai orang-orang
yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa”.15

4. An-Nisa> ayat 34-35


Dalam kitabnya At Tahri>r Wat Tanwi>r Ibnu Asyur menafsirkan bahwa
kata "Al Qowwamu" merupakan suatu keadaan yang berimbas/berkelanjutan pada

kebaikan. Kata ini mempunyai bentuk lain yang berasal dari sumber yang sama ‫اْلقيام‬

diantaranya ‫َقَّو اٌم وقّي ام وقّي وم وقّيم‬yang merupakan bentuk majaz mursal atau majaz

isti'aroh tamtsiliyah. Karena keadaan ini menarik sesuatu penjagaan penetapan untuk
keberlangsungan keadaan tersebut, maka hal ini di istilahkan adanya perhatian pada
hubungan yang tetap. Atau penyerupaan ketetapan (berdiri). Kata Ar Rija>l merupakan
pengkategorian pembagian manusia,begitupun dengan kata An Nisa>'.16
Sedangkan dalam Tafsir Kemenag dijelaskan bahwa Kata Qawwa>mun
adalah jamak dari kata Qawwa>m bentuk Mubalaghah dari kata Qa‘Im, yang
berarti orang yang melaksanakan sesuatu secara sungguh-sungguh sehingga
hasilnya optimal dan sempurna (al-Manar). Oleh karena itu, Qawwa>mun bisa
diartikan penanggung jawab, pelindung, pengurus, bisa juga berarti kepala atau
pemimpin, yang diambil dari ata Qiya>m sehingga asal kata kerja Qama-Yaqumu
yang berarti berdiri. Jadi kata Qawwa>mun menurut bahasa adalah orang-orang
yang melaksanakan tanggung jawab atau para pemimpin dalam suatu urusan. Pada
ayat ini, Qawwa>mun adalah orang-orang yang memimpin, yang mengurusi atau
bertanggung jawab terhadap keluarganya yaitu para suami selama mereka
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya kepada keluarga. Kata
Qawwa>mun disebutkan satu kali dalam Alquran, yaitu An-Nis>a:34.17
D. Tafsir ‘Ulama
1. Ar Ru>m ayat 21.

Ibid.,4:133.
15

Muhammad Thohir Bin Muhamnmad Bin Muhammad Thohir Bin Asyur At Tunisy, At
16

Tahri>r Wat Tanwi>r, (Tunisia: At Tunisiyah Lin Nasr, 1984), 5: 38


17
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid 2 (Jakarta: Widya Cahaya,
2011). 5:161

7
Dalam menjelaskan ayat ini dalam kitabnya At Tahri>r Wat Tanwi>r Ibnu
Asyur menafsirkan bahwa Ayat ini menunjukkan: penciptaan manusia
(berkembang biak) dengan jalan reproduksi, dan suksesnya reproduksi itu dengan
perkawinan seperti perkawinan pada tumbuhan. Dijadikannya manusia dari
kategorinya (spesies) sendiri yakni dari manusia itu sendiri. Karena reproduksi itu
bisa berhasil harus dengan spesiesnya sendiri. Suatu perkawinan nantinya akan
menghasilkan genealogi (silsilah gen) dan dijadikannya setiap suami istri yang
saling mengasihi dan mencintai, segala sesuatu yang ketika sebelum menikah
merupakan larangan maka ketika sesudah menikah menjadi sesuatu yang
diperbolehkan, suami istri ketika sebelum menikah belum ada gairah saling
mengasihi maka ketika setelah menikah akan saling mengasihi hal ini akan
menjadi rahmat bagi orang tua masing-masing. Ayat ini mnejelaskan tentang
penciptaan esensi dari manusia yakni laki-laki dan perempuan.18

2. Al Baqarah ayat 228

Dalam menjelaskan ayat ini dalam kitabnya At Tahri>r Wat Tanwi>r Ibnu
Asyur menafsirkan bahwa wanita yang ditalak Raj'i menurut Imam Maliki tidak
boleh Istimta' (senang-senang), tidak boleh ada laki-laki masuk tanpa izin wanita,
suami harus memberi nafkah kepada wanita tersebut. Dan wajib bagi seorang istri
tinggal bersama suaminya dan menyiapkan kebutuhan suaminya, dan wajib bagi
seorang suami memberi nafkah pada istrinya. Kewajiban dari keduanya baik istri
maupun suami mempunyai derajat yang sama.19

Selain Ibnu Asyur, Ali Ashobuni juga menafsirkan ayat ini dalam kitabnya
Rowa>I'ul Bayan, beliau menjelaskan bahwa antara Suami dan Istri itu masing2
mempunyai hak dan kewajiban, haknya seorang Istri merupakan kewajiban bagi
seorang Suami begitupun sebaliknya, wajib bagi keduanya untuk menjaga rumah
tangganya dari hal-hal yang bisa memicu pertengkaran ataupun perpisahan. Tidak
diperbolehkan memasukan orang lain tanpa seizin Suami ataupun Istri. Kewajiban

18
Muhammad Thohir Bin Muhamnmad Bin Muhammad Thohir Bin Asyur At Tunisy, At
Tahri>r Wat Tanwi>r, (Tunisia: At Tunisiyah Lin Nasr, 1984), 21: 70
19
Ibid.,2: 396.

8
Suami kepada Istri harus menggauli dengan baik dan memberikan sandang
pangan yang baik.20

3. Al Baqarah ayat 233

Dalam menjelaskan ayat ini dalam kitabnya Rowa>I'ul Bayan Ali


Ashobuni menafsirkan bahwa Pada ayat ini lebih diperincikan kewajiban seorang
suami memberi nafkah kepada wanita-wanita yang dinikahinya dan wanita yang
telah ditalaknya (sebelum masa iddahnya selesai).21

4. An-Nisa> ayat 19

Dalam menjelaskan ayat ini dalam kitabnya At Tahri>r Wat Tanwi>r Ibnu
Asyur menafsirkan bahwa Pada ayat ini diterangkan larangan berbuat kasar dan
diperintahkan untuk menggauli dengan baik. Muasyaroh bil ma'ruf di sini lebih
dikenakan pada pergaulan yang dhohir tidak dipentingkan hawa nafsunya, tapi
lebih pada perbuatan yang menghasilkan kenyamanan. Maka tujuan disini itu
lebih menciptakan kedamaian dhohir dari pada batin.22

5. An-Nisa>’ ayat 34-35.

Dalam menjelaskan ayat ini dalam kitabnya At Tahri>r Wat Tanwi>r Ibnu
Asyur menafsirkan bahwa makna dari kalimat ‫ ِقَي اُم الِّر َج اِل َعَلى الِّنَس اِء‬yakni tegaknya

penjagaan suami istri. Penjagaan pertama pada dirinya sendiri yakni pada
keselamatan jiwanya serta bekerja untuk menghasilkan materi. Sedangkan
penyandaran kata ‫ اَأْلْم َو اُل‬kepada dhomir ‫الِّر َج اِل‬, yakni pada hakikatnya bekerja itu

merupakan kewajiban pihak suami dan profesi pada zaman dahulu yakni
penggembala, nelayan. Sedangkan pada zaman sekarang pekerjaan lebih
berkembang pada bidang perkebunan, perdagangan, dan tukang bangunan. Yang
mana pekerjaan itu tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Arab, karena memang

20
Muhammad Ali Ashobuni, Rowa>I'ul Bayan , (Mesir: Maktabah Syaruq Ad
Dauliyah),1: 225.
21
Ibid.,1: 245.
22
Muhammad Thohir Bin Muhamnmad Bin Muhammad Thohir Bin Asyur At Tunisy, At
Tahri>r Wat Tanwi>r, (Tunisia: At Tunisiyah Lin Nasr, 1984),4: 286

9
pada umumnya pekerjaan-pekerjaan itu adalah pekerjaan yang dilakukan oleh
mayoritas laki-laki.23

Fa' pada ‫ َفالَّص اِلحاُت‬merupakan fa' fasihah yang berimbas pada pemisahan

pekerjaan yang dilakukan suami dengan istri. Kalimat ‫ الاَّل ِتي َتخاُفوَن ُنُش وَزُه َّن‬yakni

Nusyuz merupakan kebalikan dari kata Shalah (perdamaian), dimana seorang istri
menolak untuk digauli suaminya. Hal ini bisa dilatar belakangi beberapa hal
yaitu : seorang istri tidak suka dengan suaminya atau karena kejamnya perlakuan
suami kepada istrinya. Mayoritas ahli fiqih mengartikan, tidak taanya seorang istri
kepada suaminya, menolaknya istri, memperlihatkan ketidak sukaannya istri
kepada suaminya. Hal ini memperbolehkan seorang suami untuk memberi
peringatan, dan memukulnya (untuk mendidik). Perizinan memukul istri ini
didasarkan pada atsar dimana terdapat sahabat yang melakukan demikian.24

Sedangkan dalam ayat 35 menjelaskan tentang persengketaan antar suami


istri, hal ini bisa dipicu beberapa hal: pertengkaran, kemarahan dari satu pihak
atau dari keduanya, kekerasan. (perlu dicatat hal ini tentu berbeda dengan istilah
nuzyuz, karena nuzyuz itu terjadi karena satu pihak yakni istri sedangkan
pertikaian itu terjadi karena dua pihak). Kata ‫ الِّش َق اِق‬merupakan bentuk masdar dari

‫ اْل َش اَّقِة‬berasal dari kata ‫ الِّش ِّق‬bermakna ‫( الَّناِح ِة‬area). Dimana antara suami dan istri
‫ُم‬ ‫َي‬
mempunyai imajinasi atau argumen masing-masing.25

Dalam segi hukum dijelaskan ketika ada persengketaan antara suami istri
maka untuk mendamaikannya wajib untuk hakim dari masing-masing pihak,
disyaratkan seorang hakim harus benar-benar mengetahui seluk beluk suatu hal
yang dipersengketakan. Pendatangan ini juga harus disertai wali, tanpa adanya
suami istri.26

23
Ibid., 5: 38-39.
24
Ibid.,5: 40-41 .
25
Ibid.,5: 44-45 .
26
Ibid.,5: 46 .

10
Selain Ibnu Asyur, Ali Ashobuni juga menafsirkan ayat ini dalam kitabnya
Rowa>I'ul Bayan, beliau menjelaskan bahwa ‫ الِّر َج اُل َقَّو اُموَن َعَلى الِّنَس اِء‬seorang laki-

laki memiliki derajat kepemimpinan dibandingkan perempuan, hal ini dikarenakan


Allah telah menganugerahkan akal dan logika yang lebih dibandingkan dengan
perempuan. Seorang suami juga diberi beban untuk bekerja dan menafkahi. Istri-
istri yang nusyuz (menolak untuk digauli suami), maka wajib bagi suami untuk
menasehatinya dan menenangkannya (dengan meninggalkannya,tidak
mendekatinya juga tidak mengajaknya bicara. Ketika sudah dinasehati dan dia
masih membangkang (nusyuz) maka boleh bagi suami untuk memukulnya dengan
pukulan yang mendidik tidak menyakiti. Ketika seorang istri sudah mau taat maka
jangan sekali-kali mendekatinya dengan cara yang menyakitinya. Ketika timbul
persengketaan antara suami istri, maka masing2 keduanya harus mengirim hakim
untuk menganalisis dan mengumpulkannya serta mencari solusinya.27

Lathoifut tafsir yang dijelaskan Ali Ashobuni dalam ayat ini terkait laki-
laki sebagai pelindung wanita yaitu, Sesempurnanya pengemban kepemimpinan,
maka kebebasan baginya memerintah melarang mendidiknya. Kepemimpinan ini
juga mewajibkan baginya untuk menjaga, membimbing dan merawatnya. Al-
zamakhsyari berkata : laki-laki dalam hal ini lebih diunggulkan dari sisi akal,
keteguhannya, torsi dan kekuatannya. Dari hal-hal tersebut maka diutusnya nabi
itu dari jenis laki-lai, jihad, adzan,khutbah,saksi dalam persidangan, qishosh,
pembagian waris (laki-laki mempunyai hak 2 kali bagian perempuan, wali dalam
pernikahan dan lainnya).28

E. Munasabah
1. Ar Ru>m ayat 21.
Pada ayat-ayat yang lalu, Allah memerintahkan kaum Muslimin
menyucikan-Nya dari segala kejelekan yang tidak pantas bagi keagungan dan
kesempurnaan-Nya. Allah juga menyebutkan bahwa segala makhluk,baik yang di
langit maupun yang di bumi, semuanya memuji-Nya, dan menerangkan
27
Muhammad Ali Ashobuni, Rowa>I'ul Bayan , (Mesir: Maktabah Syaruq Ad Dauliyah),
1: 333
28
Ibid.1:,342.

11
kesanggupan-Nya menghidupkan yang mati. Pada ayat-ayat berikut ini
diterangkan bukti-bukti kekuasaan dan kebesaran Allah, diantaranya penciptaan
manusia dari tanah kemudian kemudian berkembang biak, penciptaan langit dan
bumi, perbedaan warna kulit dan bahasa manusia, kebutuhan untuk tidur pada
malam hari dan berusaha pada siang hari. Semua tanda kekuasaan Allah ini
mengantar kita untuk meyakini bahwa Allah mampu membangkitkan manusia
yang sudah mati.29
2. Al Baqarah Ayat 228
Sebelum ayat ini, telah diterangkan hukum bersumpah tidak akan
mencampuri istri yang menyebabkan istri terkatung-katung. Jika pada akhirnya
suami memilih cerai dengan istrinya, maka dalam ayat ini diterangkan segala
sesuatu yang bertalian tentang talak, masa idah hukum talak tiga kali, atau sikap
terhadap bekas istri yang telah bercerai.30

3. Al Baqarah Ayat 233


Dalam ayat-ayat yang lalu telah diterangan hukum-hukum yang berhubungan
dengan talak, maka dalam ayat ini diterangkan pula hukum-hukum Allah yang
berhubungan dengan penyusuan anak dan cara yang harus ditempuh oleh kedua
ibu bapak dalam pemeliharaan bayi mereka.31

4. An-Nisa> ayat 19

Ayat yang lalu menerangkan hukuman bagi perempuan dan laki-laki yang
berbuat keji dan kemudian dilanjutkan dengan anjuran untuk bertaubat, maka
ayat-ayat ini memperingatkan ahli waris agar jangan mewarisi bekas istri dari
keluarga yang meninggal dengan secara paksa32

5. An-Nisa> ayat 34-35

29
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid 7 (Jakarta: Widya Cahaya,
2011). 21:478
30
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid 1 (Jakarta: Widya Cahaya,
2011). 335-337
31
Ibid.,2:344.
32
Kementerian Agama RI. Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid 2 (Jakarta: Widya Cahaya,
2011)4:134

12
Ayat-ayat yang lalu melarang iri hati terhadap seseorang yang memperoleh
karunia lebih banyak, kemudian menyuruh agar semua harta peninggalan
diberikan kepada ahli waris yang behak menerimanya, menurut bagiannya
masing-masing. Ayat ini menerangkan alasan laki-laki dijadikan pemimpin kaum
perempuan, dan cara-cara menyelesaikan perselisihan suami istri.33

33
Ibid.,5:162.

13
F. Hadis-Hadis Tentang Kewajiban Suami-Istri
Dalam surah al-Baqarah ayat ke 233 di atas, dengan eksplisit pada bagian
awal ayat, Allah menegaskan bahwa seorang suami terbebani untuk memberi
nafkah dan pakaian kepada istri dan anaknya, sehubungan dengan ayat tersebut,
Nabi pernah memberikan keterangan yang serupa, bahkan dalam hadis berikut,
juga dijelaskan mengenai kewajiban seorang istri:
-1218

‫َو اْسَتْح َلْلُتْم ُف ُر وَجُه َّنِبَك ِلَم ِةاللِه َو َلُك ْمَعَلْيِه َّنَأْناَل ُيوِط ْئَنُف ُر َش ُك ْم َأَح ًد اَتْك‬،‫َفِإ َّنُك ْم َأَخ ْذ ُتُم وُه َّنِبَأَم اِناِهلل‬، ‫َفاَّتُقوااللَه ِف يالِّنَس اِء‬
34
. ‫َو َلُه َّنَعَلْيُك ْم ِر ْز ُقُه َّنَو ِكْسَو ُتُه َّنِباْلَم ْع ُر وِف‬، ‫َفِإ ْنَف َعْلَنَذ ِلَكَف اْض ِر ُبوُه َّنَض ْر ًباَغْيَر ُمَبِّر ٍح‬،‫َر ُه وَنُه‬

“bertaqwalah pada Allah terkait perempuan, sesungguhnya kalian telah


mengambil mereka degan kalimat Allah, dan dihalalkan bagi kamu kemaluan
mereka dengan kalimat Allah, hak kalian yang harus kamu penuhi adalah
mereka tidak boleh mempersilahkan seorang pun yang tidak kalian sukai
berada di ranjang kalian. Jika mereka melakukan itu, maka pukullah mereka
dengan pukulan yang tidak keras. Dan hak mereka yang harus kalian penuhi
adalah memberi makan dan pakaian dengan layak”.
Selain hadis pertama di atas, terdapat sejumlah hadis lain yang
menjelaskan mengenai kewajiban suami, Al-T{abari misalnya, ketika
menjelaskan ayat 34 surah al-Nisa’ mengutip hadis yang menjelaskan kewajiban
suami terhadap istrinya,35 hadis tersebut juga terdapat di dalam Sunan ibn
Ma>jah, berikut yang ditulis oleh Ibn Ma>jah:
‫ َعْن َح ِكيِم‬،‫ َعْن َأِبي َقْز َع َة‬،‫ َعْن ُش ْع َبَة‬، ‫ َح َّد َثَنا َيِز يُد ْبُن َه اُروَن‬: ‫ َح َّد َثَنا َأُبو َبْك ِر ْبُن َأِبي َش ْيَبَة َقاَل‬- 1850

‫ «َأْن‬: ‫ َأَّن َرُج اًل َس َأَل الَّنِبَّي َص َّلى اُهلل َعَلْي ِه َو َس َّلَم َم ا َح ُّق اْلَم ْر َأِة َعَلى الَّز ْو ِج ؟ َق اَل‬،‫ َعْن َأِبيِه‬،‫ْبِن ُمَعاِو َي َة‬
36
. ‫ َو اَل َيْه ُجْر ِإاَّل ِفي اْلَبْيِت‬، ‫ َو اَل ُيَقِّبْح‬،‫ َو اَل َيْض ِر ِب اْلَو ْجَه‬،‫ َو َأْن َيْك ُسَو َه ا ِإَذا اْك َتَس ى‬، ‫ُيْطِعَم َه ا ِإَذا َطِعَم‬

34
Muslim bin H{ajja>j Abu> H{asan al-Qushairi> al-Naisabu>ri>, Musnad al-S{ah}ih}
Muslim juz 2 (Beirut: Da>r al-Ihya>’ al-Turath al-‘Arabi>, tt), 886.
35
Lihat Muh}ammad bin Jari>r bin Yazi>d bin Kathi>r bin G{a>ib al-T{aba>ri>, Jami>’
al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’an juz 8 (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 2000) 309.
36
Ibn Ma>jah Abu> ‘Abdullah Muh}ammad bin Yazi>d, Sunan Ibn Ma>jah juz 1
(Beirut: Da>r Ihya>’ al-Kitab al-‘Arabiyyah, tt), 593.

14
“Telah bercerita kepada kami Abu> Bakr bin abi> Shaybah, ia berkata,
telah bercerita pada kami Yazi>d bin Ha>ru>n, dari Shu’bah, dari Abu>
Qaz’ah dari H{a>kim bin Mu’a>wiyah, dari ayahnya, sesungguhnya seseorang
bertanya pada Raslulullah, “apa hak seorang istri atas suami?”, Rasulullah
menjawab, “memberinya makan, memberinya pakaian, tidak memukul wajah,
tidak memaki, dan tidak mendiamkannya kecuali dalam rumah.”

Senada dengan hadis di atas, cerita yang termuat dalam hadi berikut
menguatkan bahwa, kewajiban suami dalam mencari nafkah tidak dapat ditawar
lagi, bahkan seorang istri diperbolehkan, meski dalam batas tertentu, untuk
mengambil harta suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

‫ِه‬ ‫ِه‬ ‫ِل‬ ‫ِد‬ ‫ِن ِل‬


‫ َعْن‬، ‫ َعْن َأِبي‬،‫ َعْن َش اِم ْبِن ُع ْر َو َة‬، ‫ َح َّد َثَنا َع ُّي ْبُن ُمْس ِه ٍر‬، ‫ َح َّد َث ي َع ُّي ْبُن ُحْج ٍر الَّس ْع ُّي‬-1754
: ‫ َفَق اَلْت‬، ‫ َدَخ َلْت ِه ْنٌد ِبْنُت ُعْتَبَة اْم َر َأُة َأِبي ُس ْف َياَن َعَلى َرُس وِل اِهلل َص َّلى اُهلل َعَلْي ِه َو َس َّلَم‬: ‫ َقاَلْت‬،‫َعاِئَش َة‬
‫ِم‬ ‫ِف ِن‬ ‫ِف ِن‬ ‫ِة‬ ‫ِط ِن ِم‬ ‫ِح‬ ‫ِهلل‬
‫ اَل ُيْع ي ي َن الَّنَفَق َم ا َيْك ي ي َو َيْك ي َب َّي ِإاَّل َم ا َأَخ ْذ ُت ْن‬، ‫ ِإَّن َأَبا ُس ْف َياَن َرُج ٌل َش يٌح‬، ‫َيا َرُس وَل ا‬
‫ «ُخ ِذ ي ِم اِلِه‬: ‫َعَلَّي ِفي َذِلَك ِم َناٍح ؟ َق اَل وُل اِهلل َّلى ا َعَل ِه َّل‬ ‫ِلِه ِب ِع ِمِه‬
‫ْن َم‬ ‫َص ُهلل ْي َو َس َم‬ ‫َف َرُس‬ ‫ْن ُج‬ ‫ َفَه ْل‬، ‫َم ا َغْيِر ْل‬
. ‫ِباْلَم ْع ُر وِف َم ا َيْك ِف يِك َو َيْك ِف ي َب ي‬
37 ‫ِن ِك‬

“Telah menceritakan kepadaku Ali> bin H{ujr al-Sa'di> telah


menceritakan kepada kami ‘Ali> bin Mushir dari Hisham bin 'Urwah dari
ayahnya dari 'Aisyah dia berkata, "Hindun binti 'Ut}bah istri Abu> Sufya>n
menemui Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu>
Sufya>n adalah laki-laki yang pelit, dia tidak pernah memberikan nafkah yang
dapat mencukupi keperluanku dan kepeluan anak-anakku, kecuali bila aku
ambil hartanya tanpa sepengetahuan darinya. Maka berdosakah jika aku
melakukannya?” Rasulullah menjawab: “Kamu boleh mengambil sekedar
untuk mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu.”

Hadis-hadis di atas secara jelas membebani kewajiban suami maupun


istri secara materil, padahal, kewajiban berumah tangga juga mencakup kewajiban
yang immateril, karenanya, Rasulullah menegaskan, seorang yang baik adalah
seorang yang mampu berahlak bagus ketika berinteraksi dengan suaminya,
berahlak baik tersebut tentu saja termasuk berlaku adil, tidak mencaci, dan selalu
menjaga agar hubungan tetap harmonis, sabda Rasulullah:

37
al-Naisabu>ri>, Musnad al-S{ah}ih}juz 3..., 1338.

15
،‫ َح َّد َثَنا َأُبو َس َلَم َة‬: ‫ َق اَل‬،‫ َعْن ُمَح َّم ِد ْبِن َعْم ٍر و‬، ‫ َح َّد َثَنا َعْبَد ُة ْبُن ُس َلْيَم اَن‬: ‫ َقاَل‬، ‫َح َّد َثَنا َأُبو ُك َر ْيٍب‬-1162
،‫ َأْك َم ُل اْلُم ْؤ ِم ِنيَن ِإيَم اًن ا َأْح َس ُنُه ْم ُخ ُلًق ا‬: ‫ َق اَل َرُس وُل اِهلل َص َّلى الَّل ُه َعَلْي ِه َو َس َّلَم‬: ‫َعْن َأِبي ُه َر ْيَر َة َق اَل‬
38
. ‫َو َخ ْيُر ُك ْم َخ ْيُر ُك ْم ِلِنَس اِئِه ْم‬
“Telah bercerita kepada kami Abu> Kuraib, dia berkata, telah bercerita kepada
kami ‘Abdah bin Sulaima>n, dari Muh}ammad bin ‘Amr, dia berkata, telah
bercerita kepada kami Abu> Salamah dari Abu> Hurairah, dia berkata,
“Rasulullah bersabda, paling sempurnanya iman seorang mu’min adalah ia yang
paling baik ahlaknya, dan sebaik-baik seorang di antara kamu adalah yang
bersikap baik kepada istrinya.”

38
Abu> ‘Isa Muh}ammad bin ‘Isa bin Saurah al-Tirmidzi, al-Ja>mi’ al-Ka>bir Sunan al-
Tirmidzi juz 2 (Beirut: Da>r al-Gurb al-Islamy, 1998), 457.

16

Anda mungkin juga menyukai