BAHAYA MENGGUNJING
Oleh
Syaikh Shalih bin ‘Abdullah bin Humaid
َي ا َأُّي َه ا اَّلِذيَن آَم ُنوا اْج َت ِنُبوا َك ِثيًر ا ِمَن الَّظ ِّن ِإَّن َب ْع َض الَّظ ِّن ِإْث ٌمۖ َو اَل َت َج َّسُسوا
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa,
dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain. [al
Hujurat/49 : 12].
َو اَل َي ْغ َت ْب َب ْع ُض ُك ْم َب ْع ًض اۚ َأُيِحُّب َأَح ُد ُك ْم َأْن َي ْأُك َل َلْح َم َأِخيِه َم ْي ًت ا َفَك ِر ْه ُتُموُهۚ َو اَّتُقوا َهَّللاۚ ِإَّن َهَّللا َت َّو اٌب َر ِحيٌم
Menggunjing orang lain, tidak lepas dari salah satu dari tiga
istilah, yang semuanya disebutkan al Qur`an. Yaitu : ghibah,
ifku dan buhtan.
َي ا َم ْع َش َر َم ْن آَمَن ِبِلَس اِنِه َو َلْم َي ْد ُخ ِل اِإْليَم اُن َق ْلَب ُه اَل َتْغ َت اُبوا اْلُمْس ِلِميَن َو اَل َت َّت ِبُعوا َع ْو َر اِتِه ْم َف ِإَّن ُه َم ِن اَّت َبَع َع ْو َر اِتِه ْم
َي َّت ِبُع ُهَّللا َع ْو َر َت ُه َو َم ْن َي َّت ِبِع ُهَّللا َع ْو َر َت ُه َي ْف َض ْح ُه ِفي َبْيِتِه
َي ا َأُّي َه ا اَّلِذيَن آَم ُنوا ُك وُنوا َقَّو اِميَن ِهَّلِل ُشَه َد اَء ِباْلِقْس ِط ۖ َو اَل َي ْج ِر َم َّنُك ْم َشَن آُن َقْو ٍم َع َلٰى َأاَّل َت ْع ِد ُلواۚ اْع ِد ُلوا ُه َو َأْق َر ُب
ِللَّتْق َو ٰى
َر َّب َن ا اْغ ِفْر َلَن ا َو ِإِلْخ َو اِنَن ا اَّلِذيَن َس َب ُقوَن ا ِباِإْليَم اِن َو اَل َت ْج َع ْل ِفي ُقُلوِبَن ا ِغ اًّل ِلَّلِذيَن آَم ُنوا َر َّب َن ا ِإَّن َك َر ُءوٌف َر ِحيٌم
َو َم ْن َق اَل ِفي ُمْؤ ِم ٍن َم ا َلْي َس ِفيِه َأْس َكَن ُه ُهَّللا َر ْد َغ َة اْلَخ َب اِل َح َّت ى َي ْخ ُر َج ِمَّما َقاَل
Padahal, Rasulullah SAW sudah menyatakan bahwa dosa ghibah berat dari dosa zina:
َو ِإَّن َص اِحَب اْل ِغ يَبِة اَل ُيْغ َف ُر، َف َي ُتوُب ُهَّللا َع َلْيِه، الَّر ُجُل َي ْز ِني ُثَّم َي ُتوُب: َو َك ْي َف ؟ َق اَل: ِقيَل. اْل ِغ يَب ُة َأَش ُّد ِمَن الِّز َن ا
َلُه َح َّت ى َي ْغ ِفَر َلُه َص اِحُبُه
Artinya, “’Ghibah itu lebih berat dari zina.’” Seorang sahabat bertanya, ‘Bagaimana bisa?’
Rasulullah SAW menjelaskan, ‘Seorang laki-laki yang berzina lalu bertobat, maka Allah bisa
langsung menerima tobatnya. Namun pelaku ghibah tidak akan diampuni sampai dimaafkan oleh
orang yang dighibahnya,’” (HR At-Thabrani).
Secara lebih rinci Imam An-Nawawi menyebutkan enam kondisi itu sebagai berikut:
Pertama, dalam sidang perkara di muka hakim. Seseorang boleh menceritakan penganiaya
yang memperlakukannya secara zalim.
Kedua, dalam melaporkan pelanggaran hukum kepada aparat kepolisian atau otoritas terkait
dengan niat mengubah kemungkaran tersebut.
Ketiga, dalam meminta fatwa kepada seorang mufti. Seseorang boleh menceritakan masalahnya
untuk memberikan gamabaran yang jelas bagi ulama yang mengeluarkan fatwa. Tetapi kalau
penyebutan nama secara personal tidak dibutuhkan, lebih baik tidak mengambil jalan ghibah.
Keempat, dalam mengingatkan publik agar terhindar dari kejahatan pihak baik personal maupun
institusi. Hal ini dilakukan antara lain oleh para ahli hadits terhadap perawi-perawi bermasalah
atau misalnya dalam konteks kekinian adalah travel umrah bermasalah.
Kelima, dalam kondisi di mana pihak-pihak tertentu melakukan kejahatan terang-terangan
seperti meminum khamar, mengambil harta secara zalim, menarik upeti, mengambil kebijakan-
kebijakan batil. Dalam kondisi ini, kita boleh mengghibahkan pihak tersebut sesuai dengan
kejahatan yang diperlihatkannya. Tetapi kita haram menyebutkan aib lain pihak tersebut yang
tidak dilakukan secara terang-terangan.
Keenam, menandai seseorang dengan kekurangan fisik atau gelar-gelar buruknya. Misalnya
Abdullah. Orang bernama Abdullah tidak satu. Tetapi kita boleh menyebutnya tanpa maksud
merendahkan, “Abdullah yang buta, Abdullah yang tuli, Abdullah yang bisu, dan lain
sebagainya.” Baiknya sebutan itu didahului kata “maaf” untuk menghilangkan kesan
merendahkan.
Imam Nawawi mengajak kita mempertimbangkan sebab keenam. Sebab keenam ini bisa
digunakan dengan niat identifikasi, bukan maksud merendahkannya. Imam Nawawi
menyarankan kita untuk menggunakan identifikasi lain bagi seseorang di luar identifikasi fisik