Anda di halaman 1dari 51

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori
Pada bagian ini akan dibahas teori yang mendasari penelitian ini yaitu menjelaskan
definisi, konsep, proposisi dan perspektif dari variabel-variabel penelitian serta landasan
teori variabel lainnya yang relevan dalam masalah penelitian. Pembahasan yang ada akan
menjadi landasan dasar untuk memahami permasalahan yang ada dalam penelitian ini
untuk kemudian digunakan memperjelas masalah yang sedang diteliti, merumuskan
dugaan sementara (hipotesis) dan rujukan bagi peneliti untuk menyusun dan
mengembangkan instrumen yang digunakan dalam penelitian.
1. Pembelajaran Fisika
a. Pengertian Pembelajaran Fisika

Fisika berasal dari kata physics yang berarti ilmu alam, yaitu ilmu yang
mempelajari tentang permasalahan alam secara fisis. Fisika adalah cabang ilmu alam
(natural science) atau lebih dikenal sebagai sains (Rao & Rao, 2019). Sebagaimana
Mundilarto (2010: 4) menjelaskan fisika sebagai ilmu dasar dengan karakteristik
mencakup bangun ilmu yang terdiri atas fakta, konsep, prinsip, hukum, postulat, dan teori
serta metodologi keilmuan. Fisika juga diperoleh berdasarkan sikap ilmiah yang
menghasilkan produk berupa teori, konsep, dan prinsip (Trianto, 2014). Senada yang
dijelaskan Giancoli (2014:2), fisika sebagai cabang sains dasar yang mempelajari
perilaku dan struktur materi. Fisika sebagai cabang ilmu pengetahuan alam yang
menganalisis gejala alam melalui sederetan proses atau langkah ilmiah.
Permendikbud (2018) menyatakan bahwa fisika merupakan sebuah mata pelajaran
yang masih tergolong dalam sains yang bisa membuat keterampilan berpikir analitis,
induktif, dan deduktif menjadi berkembang di dalam proses pemecahan masalah yang
berhubungan dengan fenomena alam secara kuantitatif maupun kualitatif, serta mampu
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap percaya diri. Dalam Permendikbud
(2018) menyebutkan bahwa dalam fisika terdiri dari beberapa proses yakni:
1) Proses dalam memperoleh informasi secara empiris;
2) Proses penyelidikan yang sistematis dan logis untuk memperoleh informasi; dan
3) Terdapat kombinasi dalam berpikir guna menghimpun informasi valid dan dapat
dipercaya atau dipertanggungjawabkan.
Dari kajian teori diatas, dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran Fisika adalah salah
satu mata pelajaran yang termasuk dalam ilmu pengetahuan alam dengan karakteristik
mencakup teori, konsep, dan prinsip yang mempelajari fenomena alam secara fisis serta
diperoleh berdasarkan sikap-sikap ilmiah.

b. Hakikat Pembelajaran Fisika


Karakteristik fisika adalah sebagai cara berpikir untuk mencari tahu tentang
fenomena-fenomena alam. Sebagaimana diungkapkan oleh Collete & Chiapetta (1994)
yang menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan alam, pada dasarnya adalah: 1) kumpulan
ilmu pengetahuan; 2) pola pikir; 3) prosedur untuk menyelidiki. Oleh karena itu, fisika
termasuk dalam sains atau ilmu alam yang mencakup ketiga aspek tersebut.
Menurut Chiapetta & Koballa (2010: 105), terdapat 4 aspek dalam hakikat sains
yaitu fisika sebagai sikap (a way of thinking), fisika sebagai proses (a way of
invertigating), fisika sebagai produk (a body of knowledge) dan penerapan dalam
teknologi dan masyarakat (application/interaction with technology and society).
Dijelaskan lebih lanjut, pada aspek a way of thinking akan mengajarkan peserta didik
untuk menumbuhkan sikap ilmiah seperti tanggungjawab, jujur, objektif, terbuka, rasa
ingin tahu, percaya diri, dan lainnya yang melekat kuat. Collette dan Chiappetta (1994)
juga menyebutkan beberapa sikap ilmiah tersebut adalah sebagai beliefs (keyakinan),
curiosity (rasa ingin tahu), imagination (imajinasi), reasoning (penalaran), dan self-
examination (pemahaman diri). Pada aspek a way of investigating mengajarkan peserta
didik tentang perlunya metode ilmiah atau langkah ilmiah dalam pembelajaran fisika.
Proses sains diturunkan dari langkah-langkah yang dikerjakan saintis ketika melakukan
penelitian ilmiah. Langkah-langkah tersebut disebut sebagai keterampilan proses sains
yang mencakup observasi, mengukur, inferensi, memanipulasi variabel, merumuskan
hipotesis, menyusun grafik dan tabel data, mendefinisikan secara operasional, serta
melakukan eksperimen (Mundilarto, 2002: 13). Kedua hal tersebut jika dikolaborasikan
akan membentuk suatu produk ilmiah (a body of knowledge). Aspek hakikat fisika ketiga
adalah fisika sebagai produk (a body of knowledge) adalah kumpulan informasi/fakta
yang dihasilkan dari proses-proses ilmiah yang dilandasi dengan sikap-sikap ilmiah
(Mundilarto, 2002: 2). Fisika sebagai produk tersusun dari fakta, konsep, prinsip, hukum,
hipotesis, teori, dan model (Collette & Chiappetta,1994) yang dapat menumbuhkan sikap
ilmiah dan metode ilmiah pada diri peserta didik melalui proses pembiasaan dan
pelatihan, kemudian dikemas dalam suatu proses yang lebih kompleks yaitu proses
pembelajaran fisika. Mundilarto (2012:12-13) menyatakan bahwa pembelajaran fisika
pada tingkat SMA telah diajarkan secara terpisah, tidak dipadukan dengan biologi dan
kimia.
Fisika pada hakikatnya dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah dan sikap
ilmiah. Fisika adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala melalui serangkaian proses
ilmiah yang dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk
ilmiah yang tersusun atas tiga komponen yang berupa konsep, prinsip dan teori yang
berlaku secara universal. Sebagai produk merupakan kumpulan pengetahuan, konsep,
prinsip, hukum dan teori mengenai gejala alam. Sebagai proses dipergunakan untuk
mempelajari objek studi, menemukan dan mengembangkan produk. Sedangkan sebagai
aplikasi akan melahirkan teknologi yang dapat memberi kemudahan bagi kehidupan
(Trianto, 2014:137). Pendapat yang senada dijelaskan lebih lanjut oleh Trianto
(2014:137), bahwa hakikat fisika mencakup:
1) Fisika sebagai produk (a body of knowledge), fisika merupakan kumpulan
pengetahuan yang mempelajari kejadian-kejadian di alam yang ditangkap oleh panca
indra manusia.
2) Fisika sebagai proses (a way of invetigating), fisika sebagai proses memberikan
gambaran berupa cara yang digunakan untuk mengumpulkan pengetahuan. Dalam
proses pengumpulan informasi dengan melakukan percobaan harus menggunakan
metode ilmiah yang sistematis sehingga dapat menghasilkan produk yang dapat
dipertanggung jawabkan.
3) Fisika sebagai sikap (a way of thinking), proses dalam mewujudkan produk fisika
diperlukan pemikiran dan kreativitas. Pada proses berpikir harus diiringi dengan sikap
ilmiah. Adapun sikap ilmiah yang harus dimiliki adalah:
a) Rasa ingin tahu, sikap ini ditunjukkan dengan suka bertanya tentang objek atau
peristiwa, kebiasaan menggunakan alat indra untuk menyelidiki masalah.
b) Kritis, sikap ini ditunjukkan dengan tidak langsung menerima kesimpulan tanpa
adanya bukti yang kuat, bersedia mengganti kesimpulan sesuai dengan bukti.
c) Objektif, sikap ini ditunjukkan dengan menuliskan hal-hal yang dilihat, dirasakan
dan diamati sesuai dengan yang sebenarnya.
d) Tekun, sikap ini ditunjukkan dengan tidak pernah bosan dan putus asa dalam
penyelidikan meskipun menghadapi kegagalan.
e) Terbuka, sikap ini ditunjukkan dengan menghargai pendapat orang lain yang tidak
sesuai dengan pendapatnya, berpikir positif, menerima kritik dan saran.
f) Bertanggung jawab, sikap ini ditunjukkan dengan tidak menghindari jika ada
kesalahan saat menjalani penyelidikan serta menerima kesalahan yang diperbuat.
Dari kajian teori diatas, dapat disimpulkan bahwa Hakikat Fisika dibangun dalam 4
aspek dasar yaitu: a) fisika sebagai produk merupakan kumpulan pengetahuan yang
mencakup konsep, prinsip dan teori mengenai gejala-gejala alam; b) fisika sebagai proses
merupakan kumpulan langkah-langkah ilmiah dan metode ilmiah yang digunakan untuk
mempelajari, mengumpulkan dan mengembangkan produk ilmiah; c) fisika sebagai sikap
merupakan kumpulan sikap yang mendasari pemikiran ilmiah individu dalam
mewujudkan produk fisika; dan d) fisika sebagai aplikasi merupakan kumpulan
penerapan fisika dalam menghasilkan teknologi yang dapat memberi kemudahan bagi
kehidupan masyarakat.

c. Fungsi dan Tujuan Pembelajaran Fisika


Menurut Jones (2017), kompetensi-kompetensi yang diperoleh peserta didik dalam
pembelajaran fisika yaitu: (1) kemampuan untuk menganalisis fenomena fisika termasuk
pengetahuan, prinsip dan alasan matematis; (2) kemampuan untuk melakukan
penyelidikan ilmiah menggunakan metode eksperimen; (3) kemampuan memecahkan
masalah; (4) kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan fisika ke masalah dunia
nyata; (5) kemampuan bekerja dalam tim; (6) kemampuan untuk mengkomunikasikan
berdasarkan laporan tertulis, presentasi, dan penjelasan secara langsung; dan (7)
kemampuan menggunakan teknologi informasi, melakukan penyelidikan dan
menyelesaikan masalah. Berdasarkan Permendiknas Nomor 37 Tahun 2018,
menunjukkan bahwa salah satu standar isi dan tujuan pembelajaran fisika di sekolah
menengah yakni peserta didik memiliki kemampuan memecahkan masalah secara
fleksibel, akurat, efisien dan tepat, memahami konsep fisika, menjelaskan hubungan antar
konsep, dan menerapkan konsep atau algoritma fisika.
Berdasarkan Kemendikbud (2014) menjelaskan fungsi dan tujuan fisika adalah
sebagai berikut:
1) Membentuk sikap positif terhadap fisika dengan menyadari keteraturan dan
keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.
2) Memupuk sikap ilmiah, yaitu jujur, obyektif, terbuka, ulet, kritis, dan dapat
bekerjasama dengan orang lain.
3) Mengembangkan pengalaman untuk dapat merumuskan masalah, mengajukan dan
menguji hipotesis melalui percobaan, merancang dan merakit instrumen percobaan,
mengumpulkan, mengolah dan menafsirkan serta mengkomunikasikan hasil
percobaan secara lisan dan tertulis.
4) Mengembangkan kemampuan nalar dalam berpikir, analisis induktif dan deduktif
dengan menggunakan materi dan prinsip fisika untuk menjelaskan berbagai peristiwa
alam dan menjelaskan masalah baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
5) Menguasai materi dan prinsip fisika serta mempunyai keterampilan mengembangkan
pengetahuan dan sikap percaya diri sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan
pada jenjang yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi.

Dari kajian teori diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran fisika
adalah peserta didik memiliki kemampuan memecahkan masalah dalam pembelajaran
fisika secara fleksibel, akurat, efisien dan tepat, memahami konsep dan prinsip fisika,
menjelaskan hubungan antar konsep atau prinsip, dan menerapkan konsep atau prinsip
algoritma fisika, mengembangkan kemampuan penalaran dan kemampuan analisis
induktif dan deduktif serta membentuk sikap positif terhadap fisika dan sikap-sikap
ilmiah dalam pembelajaran fisika.

2. E-book Fisika
a. Definisi E-book Fisika
Electronic Book (E-Book) adalah bentuk alih dari buku cetak ke dalam bentuk buku
elektronik. E-book termasuk ke dalam kategori media digital atau media elektronik.
Menurut Kumar, Agarwal, Lijhara, & Tapkir (2009:125) menyatakan:
“E-book can be defined as a text in digital form, a book converted into digital form,
digital reading material, a book in a computer file format, an electronic file of words
and images to be displayed on a desktop/notebook/dedicated portable device, or read
on all types of computer or formatted for display on e-book readers.”
Dalam penjelasan Kumar, el al. mengungkapkan bahwa e-book adalah sebagai teks dalam
bentuk digital, sebuah buku yang dikonversi menjadi bentuk digital, bahan bacaan digital,
buku dalam format file komputer yang ditampilkan pada perangkat portable dan sistem
perangkat lunak dan menampilkan informasi berupa teks dalam jumlah besar kepada
pengguna.
E-book merupakan susunan bahan ajar yang memuat langkah-langkah belajar
secara terpadu, sistematis, dan terperinci untuk mencapai tujuan pembelajaran (Daryanto
& Dwicahyo, 2014: 179). E-book memiliki tampilan gambar berwarna, animasi, simulasi,
audio, dan video (Buckingham, 2013: 4). Pendapat senada disebutkan Haritz (2013:3),
bahwa e-book merupakan sebuah buku publikasi yang terdiri dari teks, gambar, maupun
suara dan dipublikasikan dalam bentuk digital yang dapat dibaca di komputer maupun
perangkat elektronik lain. Buku digital atau e-book juga merupakan media pembelajaran
untuk menyampaikan pesan atau informasi pembelajaran dalam bentuk digital yang
menyajikan teks, gambar atau keduanya, serta dipublikasikan melalui komputer ataupun
perangkat mobile (Amalia & Kustijono, 2019). Sejalan dengan itu lebih lanjut
Letchumanan dan Tarmizi (2011) menambahkan bahwa e-book merujuk pada
representasi digital dari materi cetak yang disajikan melalui perangkat elektronik atau
media seperti komputer pribadi, notebook, pembaca e-book, personal digital assistant
(PDA), smartphone, dan iPad.
E-book diartikan sebagai salah satu sumber belajar interaktif, dimana informasi
dapat disajikan secara lebih menarik dan beragam dalam bentuk kombinasi antara teks,
gambar, animasi, suara maupun video (Khoiriah & Kholiq, 2020). Diungkapkan oleh
Poon (2014) bahwa isi e-book mencakup salinan elektronik dari materi buku cetak,
penelitian, jurnal dan majalah. Herther (2005) juga menerangkan bahwa:
E-books are similar to printed books, only the medium is different. To some, an “e-
book” means any type of digitized material that was previously available in print
format (e.g. books and reference materials). In the e-book industry, the term implies
to the use of devices designed to distribute and allow for the “reading” of largely
copyrighted, digitized books.
Kutipan tersebut menyatakan e-book hampir sama dengan buku cetak, hanya saja
medianya berbeda. E-book merupakan semua jenis digital yang sebelumnya tersedia
dalam format cetak ((mis. buku dan bahan referensi). Di dunia industri istilah e-book
berarti penggunaan perangkat yang dirancang untuk mendistribusikan dan
memungkinkan untuk “membaca” buku-buku yang memiliki hak cipta digital.

Dari kajian teori diatas, dapat disimpulkan bahwa E-book Fisika adalah Buku
dalam bentuk digital yang ditampilkan pada perangkat portable atau perangkat lunak
komputer dan perangkat mobile yang berisikan materi fisika serta memuat langkah-
langkah belajar secara terpadu, sistematis, dan terperinci untuk mencapai tujuan
pembelajaran fisika

b. Karakteristik E-book Fisika


E-book merupakan objek digital dengan isi kontekstual yang mengintegrasikan
konsep buku dengan fitur-fitur teknologi, hypertext, bookmark atau objek multimedia.
Konten dalam e-book dapat berupa hyperlink, gambar tiga dimensi, animasi (Ghaebi &
Fahimifar, 2011). Sistematika e-book dilihat dari struktur isi, komponen navigasi, daya
tarik tampilan, evaluasi, kemudahan penggunaan, dan rekayasa teknologi. Sebagaimana
Bozkurt & Bozkaya (2015) menjelaskan bahwa struktur e-book terdiri dari segi isi (materi
sesuai dengan tujuan pembelajaran dan penggunaan bahasa yang jelas), tampilan yang
sesuai dengan karakteristik pengguna, adanya evaluasi yang dapat menilai proses belajar,
tata letak yang sederhana dan mudah, visual animasi bergerak maupun gambar yang
menarik, konsistensi tombol, menu maupun warna, kemudahan aksesbilitas, dan dapat
dijalankan dalam keadaan offline.
Widodo & Jasmadi (Lestari, 2013) menyebutkan bahwa terdapat lima karakteristik
dari e-book yakni sebagai berikut.
1) Self Instructional
E-book dapat membuat peserta didik belajar secara mandiri. E-book yang digunakan
harus memiliki tujuan yang jelas serta berisi materi pembelajaran yang jelas pula,
sehingga dapat memudahkan peserta didik untuk belajar secara mandiri.
2) Self Contained
Materi yang dibahas dari tiap kompetensi ataupun sub kompetensi pada e-book harus
bersifat utuh atau lengkap.
3) Stand Alone
E-book dapat berdiri sendiri atau tidak bergantung terhadap bahan ajar lain dalam
penggunaannya.
4) Adaptive
E-book hendaknya dapat menyesuaikan atau mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
5) User Friendly,
Instruksi atau informasi yang terdapat pada e-book dapat membantu dan memudahkan
pengguna dalam mengakses e-book tesebut.
Materi dalam e-book dapat disajikan secara lebih menarik, lebih interaktif, dan
lebih beragam penyajiannya dalam arti tidak hanya disajikan melalui teks dan gambar
saja, tetapi dapat dilengkapi dengan animasi, video, simulasi, kuis, lembar kerja peserda
didik (LKPD), evaluasi yang diakses melalui atau tanpa jaringan internet (Saprudin et al.,
2021a; Saprudin et al., 2021b; Saprudin et al., 2022). Pengembangan e-book yang baik
terdiri dari lima tahap: (1) memahami masalah belajar dan kebutuhan pengguna; (2)
desain konten untuk memanfaatka teknologi yang memungkinkan; (3) membuat materi
multimedia dengan aturan standar web (4) uji coba produk (5) evaluasi dan perbaikan
desain (Huang, 2005). Gibbons et al., (2003) mengamati bahwa terdapat enam jenis
fungsi e-book antara lain sebagai berikut:
1) Fungsi perangkat fisik (mis. keterbacaan, ergonomi),
2) Fungsi yang membantu membaca konten (mis. searchability, alat navigasi),
3) Meningkatkan fungsionalitas (mis. penyertaan multimedia, tautan ke data dan papan
buletin),
4) Fungsionalitas yang menempatkan konten dalam konteks (mis. tautan ke e-konten
lainnya, kemampuan pencarian antar-teks),
5) Fungsi yang membantu pembaca "memiliki" teks (mis. membuat anotasi, pencetakan),
6) Fungsionalitas yang mendukung kegiatan perpustakaan (mis. Menjaga kerahasiaan
pengguna, menjadi "scrubbable").

Dari kajian teori diatas, dapat disimpulkan bahwa Karakteristik E-book Fisika
adalah: 1) Self- instructional, yaitu e-book dapat membuat peserta didik belajar secara
mandiri; 2) Self-contained, yaitu e-book berisi materi yang lengkap dan utuh; 3) Stand
Alone, yaitu e-book tidak tergantung dengan bahan ajar yang lain dalam penggunaannya;
4) Adaptive, yaitu e-book mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; 5)
User Friendly, yaitu instruksi atau komponen navigasi memudahkan pengguna dalam
mengakses e-book.

c. Kelebihan dan Kekurangan E-book Fisika


Kelebihan e-book mudah dibawa oleh pembelajar (Sanders, Faesi, & Goodman,
2013); isi materi yang lengkap, tampilan yang menarik (Kao, Tsai, Liu, & Yang, 2016);
belajar dengan cara menyenangkan dan memperoleh keterampilan baru (Solcova &
Magdin, 2016). Gambar mampu mendukung konsep dan meningkatkan hasil belajar
(Herrlinger, Hoffler, Opfermann, & Leutner, 2017), serta e-book menampilkan simulasi
yang mampu menggambarkan sesuatu kompleks (Moore, Chamberlain, Parson, &
Perkins, 2014). E-book lebih nyaman, lugas, kuat, portable, mudah disalin, mudah
dibagikan, dan ramah lingkungan daripada buku fisik (Putri & Festiyed, 2019). Bahkan
Shirattudin et al., (2003) menyebutkan e-books also offer presumed lower reproduction
and distribution costs, and longevity, as they are paperless. Dalam penjelasan bahwa e-
book juga menawarkan reproduksi dan distribusi biaya yang lebih rendah karna tidak
menggunakan kertas.
E-book berfungsi sebagai perangkat pembelajaran interaktif valid untuk membantu
proses belajar sains dan pemahaman peserta didik (Lee & Osman, 2012). Beberapa studi
menunjukkan e-book mampu mendukung pemahaman konsep dan meningkatkan hasil
belajar (Yunita & Hamdi, 2019; Wijayanti, 2019; Herrlinger et al., 2017); mampu
menggambarkan sesuatu kompleks dari materi (Moore et al., 2014); Meningkatkan minat
dan motivasi belajar (Sari, 2018; Yunita & Hamdi, 2019; Gryczka et al., 2016);
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kritis (Amalia & Kustijono,
2019; Nurcahyono & Kustijono, 2019; Indriani & Kholiq, 2019; Artiwi dkk, 2020; Lee &
Osman, 2012); literasi sains (Sumantri & Kholiq, 2020; Wulandari et al., 2022). Hasil
penelitian lain juga menunjukkan bahwa e-book dalam pembelajaran fisika digunakan
sebagai sumber belajar (Azmanita & Festiyed, 2019), keterampilan berpikir kreatif (Anisa
& Kustijono, 2018; Artiwi dkk, 2020), keterampilan proses sains (Anisa & Kustijono,
2018; Darmaji & Kurniawan, 2019), kreativitas (Maimunah & Arumi, 2019), sikap
peserta didik (Ayu & Fauzi, 2021).
Penelitian oleh Gilbert & Fister (2015) juga mendapatkan hasil bahwa peserta didik
menyatakan minat yang cukup tinggi dalam e-book, meskipun bukan tanpa menimbulkan
kekhawatiran yang signifikan. Sedangkan Fidausy & Prasetyo (2020) menyatakan bahwa
penggunaan e-Book dapat digunakan sebagai alternatif untuk meningkatkan secara
signifikan kemampuan literasi sains peserta didik dengan mengintegrasikan 6 konten,
diantaranya animasi, video, hyperlink, pertanyaan interaktif, lembar kerja, dan evaluasi.
Sejalan dengan penelitian Kusumawati et al., (2019) mengungkapkan bahwa e-book yang
dikembangkan dilengkapi dengan berbagai fitur layak digunakan dalam melatihkan
kemampuan literasi sains peserta didik.
Kelemahan e-book ditambahkan oleh Lam & McNaught (2009) yang menyatakan
bahwa pengguna ponsel pintar dan personal digital assistant (PDA) sering terhalang oleh
masalah seperti terbatas masa pakai baterai dan ukuran layar kecil. E-book dalam
pembelajaran fisika memiliki kendala-kendala yang membuat sulit untuk diterapkan
dalam pembelajaran. Beberapa kendala dalam pembelajaran yang didapatkan yaitu:
1) Materi belum rutut (Ghofur & Kustijono, 2015),
2) Kesulitan dalam mengelola alokasi waktu (Amalia & Kustijono, 2019; Haque et al.,
2021),
3) Kurang interaktif (Rohmah & Kustijono, 2016; Anisa & Kustijono, 2018),
4) Kesulitan menginstal e-book pada laptop, tidak bisa dibuka, dan LCD yang digunakan
mati (Rohmah & Kustijono, 2016),
5) Memerlukan aplikasi untuk membuka e-book (Hidayat, Suyatna, & Suana, 2017;
Sumarsono & Anggaryani, 2022),
6) Tidak ada alat evaluasi untuk mengukur tingkat pemahaman peserta didik (Rosida
dkk., 2017),
7) Aplikasi hanya bisa terpasang pada android saja (Wulandari, Sulur, & Pramono, 2019)
8) Sulitnya akses jaringan (Artiwi dkk., 2020),
9) Peminjaman laboratorium komputer kepada pihak sekolah tidak diperbolehkan (Artiwi
dkk., 2020).

3. Model Pembelajaran Project Based Learning (PjBL)


a. Pengertian Model Pembelajaran Project Based Learning (PjBL)
Project Based Learning diartikan sebagai pembelajaran yang menghasilkan proyek
atau produk (Guo & Yang, 2012: 43; Kosasih, 2014: 96; Sari, 2018: Farindhani &
Wangid, 2019). Project Based Learning atau pembelajaran berbasis proyek dikategorikan
dalam strategi pembelajaran tidak langsung (Ruutman & Kipper, 2011: 110).
Pembelajaran berbasis proyek (PjBL) merupakan bagian dari pembelajaran
konstruktivisme (Collins, 2008: 1). Pembelajaran berbasis proyek (project based
learning) adalah model pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai inti
pembelajaran. Peserta didik melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan
informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar (Kemendikbud, 2014: 45).
Thomas (2000: 1) menyebutkan "project-based learning is a model that organizes
learning around project". Kutipan tersebut berarti pembelajaran berbasis proyek adalah
model yang mengorganisir pembelajaran yang berkaitan dengan proyek. Selain itu,
Blumenfeld et al. (1991: 371) menerangkan "project-based learning as a comprehensive
perspecive focused on teaching by engaging students in investigation", yakni
pembelajaran berbasis proyek sebagai perspektif yang komprehensif berfokus pada
pengajaran dengan melibatkan peserta didik dalam penyelidikan. Menurut Mergendoller
et al. (2006: 9) mendefinisikan Project Based Learning is a systematic teaching method
that engages students in learning essential knowledge and life-enhancing skills through
an extended, student-influenced inquiry process structured around complex, juthentic
questions and carefully designed products and tasks. Pernyataan tersebut menjelaskan
pembelajaran berbasis proyek merupakan metode pengajaran yang sistematis yang
melibatkan peserta didik dalam mempelajari pengetahuan yang penting dan peningkatan
kualitas keterampilan melalui proses penyelidikan terstruktur yang kompleks, pertanyaan
otentik dan rancangan produk serta tugas.
Daryanto & Raharjo (2012: 162) juga menjelaskan Project Based Learning (PjBL)
merupakan model pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam
mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dan
aktivitas secara nyata. Sedangkan Tamim, & Grant (2013: 73) menyatakan bahwa Project
Based Learning (PjBL) adalah model pembelajaran yang didasarkan pada pendekatan
belajar konstruktivis, yang mencakup pembangunan pengetahuan dengan berbagai
perspektif, dalam kegiatan sosial, dan memungkinkan kesadaran diri untuk belajar dan
mengetahui konteks belajar. Bell (Fathurrohman, 2014) mendefinisikan Project Based
Learning (PjBL) yaitu sebagai berikut:
1) Project Based Learning is curriculum fueled and standards based. Melalui
pembelajaran berbasis proyek, proses inquiry dimulai dengan memunculkan
pertanyaan penuntun (aguiding question) dan membimbing peserta didik dalam
sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam
kurikulum.
2) Project Based Learning asks a question or poses a problem that each student can
answer. Mengingat masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda,
maka pembelajaran berbasis proyek memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk menggali konten (materi) dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna
bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara kolaboratif.
3) Project Based Learning asks students to investigate issues and topics addressing real-
world problems while integrating subjects across the curriculum. Pembejaran berbasis
proyek merupakan model pembelajaran yang menuntut peserta didik membuat
“jembatan” yang menghubungkan antar berbagai subjek materi.
4) Project Based Learning is a models that fosters abstract, intellectual tasks to explore
complex issues. Pembelajaran berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang
menyangkut pemusatan pertanyaan dan masalah yang bermakna, proses pencarian
berbagai sumber, pemberian kesempatan berkolaborasi, dan menutup dengan
presentasi produk nyata.
Thompson & Beak (2007: 278) mendefinisikan project-based learning is a
comprehensive approach to classroom teaching and learning that is designed to engage
students in investigation of authentic problem. Menurut Thompson & Beak, pembelajaran
berbasis proyek adalah sebuah pendekatan yang komprehensif pada proses belajar dan
mengajar di kelas yang dirancang untuk melibatkan peserta didik dalam investigasi dari
masalah yang nyata. Sejalan dengan itu, Schuetz (2018) menyatakan “PjBL is an
instructional approach designed to give students the opportunity to develop knowledge
and skills through engaging projects set around challenges and problems they may face
in the real world”. Schuetz menyatakan PjBL adalah pendekatan pembelajaran yang
dirancang untuk memberi peserta didik kesempatan dalam mengembangkan pengetahuan
dan keterampilan melalui proyek sesuai tantangan dan masalah yang dihadapi dalam
dunia nyata. Lebih lanjut Goodman & Stivers (2010) mengatakan bahwa “PjBL is a
dynamic approach to teaching in which students explore real-world problems and
challenges, simultaneously developing 21st Century skills while working in small
collaborative groups”. Goodman & Stivers menambahkan PjBL merupakan pendekatan
yang dinamis untuk mengajarkan peserta didik mengeksplorasi masalah dunia nyata dan
tantangannya, secara bersamaan mengembangkan keterampilan abad ke-21 melalui
bekerja dalam kelompok kecil secara kolaboratif.

Berdasarkan kajian teori di atas, dapat disimpulkan bahwa model Project Based
Learning (PjBL) adalah model pembelajaran yang menggunakan proyek dari masalah-
masalah dunia nyata sebagai inti pembelajaran melalui proses penyelidikan terstruktur
yang kompleks dan sistematis, pertanyaan otentik dan rancangan produk serta penugasan
dengan cara bekerja sama dalam kelompok kecil secara kolaboratif.

b. Karakteristik model Project Based Learning (PjBL)


Thomas, Margendoiler, & Michaelson (1999: 83-94) menyebutkan secara lebih
spesifik karakteristik model Project Based Learning (PjBL) yaitu:
1) Terpusat (centrality), yaitu proyek adalah inti dari pembelajaran.
2) Pertanyaan (driving question), yaitu pembelajaran diawali dengan permasalahan
berupa pertanyaan.
3) Penyelidikan (constructive investigation), yaitu penyelidikan dilakukan peserta didik
untuk mendapatkan pengetahuan.
4) Otonom (autonomy), yaitu peserta didik sebagai pusat pembelajaran.
5) Nyata (realisme), yaitu kegiatan pembelajaran didasarkan pada masalah yang nyata
dan dinilai secara otentik.
Sedangkan Tippelt & Amoros (2003: 17) menjelaskan karakteristik model Project
Based Learning (PjBL) sebagai berikut:
1) Segala aktivitas pembelajaran diantaranya pemberian tugas dan penyelesaian
masalah didasarkan pada maslaah nyata,
2) Tugas yang diberikan harus sesuai dengan kemampuan peserta didik,
3) Aktivitas pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik peserta didik, menarik, dan
menumbuhkan semangat dalam belajar,
4) Proyek yang dihasilkan bermanfaat bagi peserta didik dan berhubungan dengan
peserta didik,
5) Peserta didik diberi kebebasan dalam melakukan kegiatan pembelajaran yang sesuai
dengan arahan guru,
6) Hasil pembelajaran dirancang bukan hanya meningkatkan pemahaman peserta didik,
namun keterampilan dan sikap,
7) Menumbuhkan tanggungjawab (self-organization) peserta didik,
8) Kolaboratif antar peserta didik,
9) Melibatkan pengintegrasian multidisiplin ilmu.
Adapun karakteristik dari model Project Based Learning (PjBL) yang diungkapkan
oleh Reeve, Herrington, & Oliver (Mergendoller, 2006: 8) sebagai kegiatan belajar
otentik yaitu:
1) Real-world relevance: Aktivitas sedekat mungkin dengan dunia nyata.
2) Ill-defined: Aktivitas mengharuskan peserta didik untuk menentukan tugas-tugas dan
sub tugas yang dibutuhkan untuk menyelesaikan aktivitas.
3) Complex, sustained tasks: Peserta didik membutuhkan investasi yang signifikan waktu
dan sumber daya intelektual.
4) Multiple perspectives: Memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk memeriksa
tugas dari perspektif yang berbeda menggunakan berbagai sumber daya, dan
memisahkan informasi relevan dari informasi yang tidak relevan.
5) Collaborative: Kolaborasi diperlukan untuk menyelesaikan tugas.
6) Value laden: Memberikan kesempatan untuk merefleksikan dan melibatkan peserta
didik.
7) Interdisciplinary: Aktivitas mendorong perspektif interdisipliner dan memungkinkan
peserta didik untuk memainkan peran yang beragam dan membangun keahlian.
8) Authentically assessed: Penilaian terintegrasi dengan pembelajaran
9) Authentic products: Kegiatan otentik menciptakan produk yang peserta didik rancang
sendiri.
10) Multiple possible outcomes: Aktivitas memungkinkan jangkauan dan keragaman
hasil terbuka untuk beberapa solusi yang bersifat asli dengan penerapan aturan yang
telah ditetapkan dan prosedur.
Sedangkan menurut Daryanto dan Raharjo (2012: 162), Model pembelajaran
Project Based Learning memiliki karakteristik antara lain sebagai berikut:
1) Peserta didik membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja.
2) Terdapat permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada peserta didik.
3) Peserta didik mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau
tantangan yang diajukan.
4) Peserta didik secara kolaboratif bertanggungjawab untuk mengakses dan mengelola
informasi untuk memecahkan permasalahan.
5) Proses evaluasi dijalankan secara kontinu.
6) Peserta didik secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dikerjakan.
7) Produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif.
8) Situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan yang terjadi
dalam proses pembelajaran
Karakteristik model pembelajaran Project Based Learning menurut Trianto
(2014:49) di antaranya:
1) Isi difokuskan pada ide-ide peserta didik, yaitu dalam membentuk gambaran sendiri
bekerja atas topik-topik yang relevan dan minat peserta didik yang seimbang dengan
pengalaman sehari-hari.
2) Kondisi, yakni kondisi untuk mendorong peserta didik mandiri dalam mengelola tugas
dan waktu belajar.
3) Aktivitas berupa strategi yang efektif dan menarik, yaitu dalam mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan dan memecahkan masalah menggunakan kecakapan
4) Hasil, adalah penerapan hasil yang produktif dalam membantu peserta didik
mengembangkan kecakapan belajar dan mengintegrasikan dalam belajar yang
sempurna.
Lima kriteria suatu pembelajaran merupakan Project Based Learning (PjBL)
adalah sentralitas, mengarahkan pertanyaan, penyelidikan kontruktivisme, otonomi, dan
realistis (Thomas, 2000; Kemdikbud, 2014) yang dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
1) The project are central, not peripheral to the curriculum. Kriteria ini memiliki dua
corollaries. Pertama, proyek merupakan kurikulum. Pada PjBL, proyek merupakan
inti strategi mengajar yang berpusat pada peserta didik dan pembelajaran konsep inti
materi melalui proyek. Kedua, keterpusatan yang berarti jika peserta didik belajar
sesuatu di luar kurikulum, maka tidaklah dikategorikan sebagai PjBL.
2) Proyek PjBL difokuskan pada pertanyaan atau problem yang mendorong peserta didik
mempelajari konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti atau pokok dari mata pelajaran.
Proyek dilakukan dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa
dipastikan jawabannya (ill-defined problem). Proyek dalam PjBL dapat dirancang
secara tematik, atau gabungan topik-topik dari dua atau lebih mata pelajaran.
3) Proyek melibatkan peserta didik pada penyelidikan konstruktivisme. Sebuah
penyelidikan dapat berupa perancangan proses, pengambilan keputusan, rumusan
masalah, pemecahan masalah, penemuan, atau proses pengembangan model.
4) Project are sudent-driven to some significant degree. Inti proyek bukanlah berpusat
pada guru berupa teks aturan atau sudah dalam bentuk paket tugas. PjBL lebih
mengutamakan kemandirian, pilihan, waktu kerja yang tidak bersifat kaku, dan
tanggung jawab peserta didik daripada proyek konvensional dan pembelajaran
konvensional
5) Proyek adalah realistis, tidak school-like. Karakterisitik proyek memberikan
keotentikan pada peserta didik. Karakteristik ini boleh jadi meliputi topik, tugas,
peranan yang dimainkan peserta didik, konteks di mana kerja proyek dilakukan,
produk yang dihasilkan, atau kriteria di mana produk-produk atau unjuk kerja dinilai.
PjBL melibatkan tantangan-tantangan kehidupan nyata, berfokus pada pertanyaan atau
masalah autentik (bukan simulatif), dan pemecahannya
Menurut Fathurrohman (2016: 121-122) prinsip yang mendasari Project Based
Learning (PjBL) adalah sebagai berikut:
1) Pembelajaran berpusat pada peserta didik yang melibatkan tugas-tugas pada
kehidupan nyata,
2) Tugas proyek menekankan pada kegiatan penelitian berdasarkan suatu tema atau
topik yang telah ditentukan dalam pembelajaran,
3) Penyelidikan atau eksperimen dilakukan secara autentik dengan menghasilkan
produk nyata yang telah dianalisis dan dikembangkan berdasarkan tema atau topik
yang disusun dalam bentuk produk (laporan atau hasil karya) ,
4) Kurikulum. PjBL memerlukan strategi sasaran dimana proyek sebagai pusat,
5) Responbility. PJBL menekankan responbility dan answerbility peserta didik,
6) Realisme. Kegiatan peserta didik difokuskan pada pekerjaan yang serupa dengan
situasi yang sebenarnya. Aktivitas ini mengintegrasikan tugas autentik dan
menghasilkan sikap professional,
7) Active learning. Menumbuhkan isu yang berujung pada pertanyaan dan keinginan
peserta didik untuk menentukan jawaban yang relevan sehingga terjadi proses
pembelajaran yang mandiri,
8) Umpan balik. Diskusi, presentasi dan evaluasi terhadap peserta didik menghasilkan
umpan balik yang berharga yang mendorong ke arah pembelajaran berdasarkan
pengalaman,
9) Keterampilan umum. PJBL dilkembangkan tidak hanya pada keterampilan pokok
dan pengerahuan saja, tetapi juga mempunyai pengaruh besar terhadap keterampilan
mendasar seperti pemecahan masalah, kerja kelompok, dan self menegement,
10) Driving question. PJBL difokuskan pada pertanyaan atau permasalahan yang
memicu peserta didik untuk menyelesaikan permasalahan dengan konsep, prinsip,
dan ilmu pengetahuan yang sesuai,
11) Constructive investigation. PJBL sebagai titk pusat, proyek harus disesuaikan
dengan pengetahuan peserta didik,
12) Autonomy. Proyek menjadikan aktivitas peserta didik yang penting.

c. Langkah-langkah (Syntax) Model Project Based Learning (PjBL)


Tahapan Model Project Based Learning (PjBL) dikembangkan oleh dua ahli, The
George Lucas Education Foundation (2005) dan Doppelt (2005). Sintaks PjBL menurut
Kemdikbud (2014: 34) yaitu:
1) Penentuan pertanyaan mendasar (start with essential question)
Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan esensial, yaitu pertanyaan yang dapat
memberi penugasan peserta didik dalam melakukan suatu aktivitas pembelajaran.
Pertanyaan disusun dengan mengambil topik yang relevan dengan realitas dunia nyata
dan dimulai dengan sebuah investigasi mendalam. Pertanyaan yang disusun hendaknya
tidak
mudah untuk dijawab dan dapat mengarahkan peserta didik untuk membuat proyek.
Pertanyaan seperti itu pada umumnya bersifat terbuka (divergen), provokatif, menantang,
membutuhkan keterampilan berpikir tingkat tinggi (high order thinking), dan terkait
dengan kehidupan sehari-hari.
2) Menyusun perencanaan proyek (design project)
Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara guru dan peserta didik. Dengan
demikian peserta didik diharapkan akan merasa “memiliki” atas proyek tersebut.
Perencanaan berisi tentang aturan main, pemilihan kegiatan yang dapat mendukung
dalam menjawab pertanyaan/permasalahan penting, dengan cara mengintegrasikan
berbagai materi yang mungkin, serta mengetahui alat dan bahan yang dapat diakses untuk
membantu penyelesaian proyek.
3) Menyusun jadwal (create schedule)
Guru dan peserta didik secara kolaboratif menyusun jadwal kegiatan dalam
menyelesaikan proyek. Aktivitas pada tahap ini antara lain: (a) membuat jadwal untuk
menyelesaikan proyek, (b) menentukan waktu akhir penyelesaian proyek, (c) membawa
peserta didik agar merencanakan cara yang baru, (d) membimbing peserta didik ketika
mereka membuat cara yang tidak berhubungan dengan proyek, dan (e) meminta peserta
didik untuk membuat penjelasan (alasan) tentang cara pemilihan waktu. Jadwal yang
telah disepakati harus disetujui bersama agar guru dapat melakukan monitoring kemajuan
belajar dan pengerjaan proyek diluar kelas.
4) Memantau peserta didik dan kemajuan proyek (monitoring the students and
progress of project)
Guru bertanggung jawab untuk memantau kegiatan peserta didik selama
menyelesaikan proyek. Pemantauan dilakukan dengan cara memfasilitasi peserta didik
pada setiap proses pembelajaran. Dalam hal ini, guru berperan menjadi mentor dan
fasilitator bagi aktivitas peserta didik. Agar mempermudah proses pemantauan, dibuat
sebuah rubrik yang dapat mereka keseluruhan kegiatan yang penting.
5) Penilaian hasil (assess the outcome)
Penilaian dilakukan untuk membantu guru dalam mengukur ketercapaian standar
kompetensi, berperan dalam mengevaluasi kemajuan masing-masing peserta didik,
memberi umpan balik tentang tingkat pemahaman yang sudah dicapai peserta didik,
membantu guru dalam menyusun strategi pembelajaran berikutnya.
6) Evaluasi Pengalaman (evaluation the experience)
Pada akhir proses pembelajaran, guru dan peserta didik melakukan refleksi terhadap
kegiatan dan hasil proyek yang sudah dikerjakan. Proses refleksi dilakukan baik secara
individu maupun kelompok. Pada tahap ini peserta didik diminta untuk mengungkapkan
perasaan dan pengalamannya selama menyelesaikan proyek. Guru dan peserta didik
mengembangkan diskusi dalam rangka memperbaiki kinerja selama proses pembelajaran,
sehingga pada akhirnya ditemukan suatu temuan baru (new inquiry) untuk menjawab
permasalahan yang diajukan.

Gambar 1. Sintaks pelaksanaan model pembelajaran PjBL (Kemendikbud, 2014: 34)

Sedangkan menurut Johnson (Trianto, 2014:52), langkah-langkah pembelajaran


dalam Project Based Leraning antara lain sebagai berikut:
1) Arrange meliputi: menentukan tujuan belajar, memutuskan proyek yang akan
dikerjakan, dan mengatur waktu pelaksanaan proyek dengan sebaik-baiknya;
2) Begin, yaitu mulai mengerjakan proyek;
3) Change, yaitu membuat perubahan yang diperlukan dalam rangka memperbaiki
proyek yang sedang dikerjakan, dan
4) Demonstrate, yaitu menunjukkan apa yang telah dicapai melalui presentasi.
Mergendollar et al. (2006: 13) juga mengungkapkan tahapan model pembelajaran
Project Based Learning pada intinya adalah sebuah proses inkuiri terbimbing
Adapun penjelasan lebih lanjut untuk tahapan model Project Based Learning dijabarkan
sebagai berikut:
1) Tahap 0. Mempersiapkan Proyek (Project Planning)
Tahap 0 terjadi sebelum peserta didik mulai bekerja pada proyek. Peserta didik
mungkin terlibat dalam perencanaan berdasarkan pengalaman peserta didik untuk
berpartisipasi dalam perencanaan proyek yang dirancang guru. Pada tahap 0 terdapat
beberapa langkah yang harus dilakukan yaitu (1) Menentukan tema untuk proyek yang
berkaitan dengan kehidupan dunia nyata, (2) Mengembangkan pertanyaan yang
membimbing (driving question) peserta didik dalam pengerjaan proyek, (3) Menentukan
strategi pengelompokan, (4) Merencanakan penilaian.
2) Tahap 1. Project Launch
Tahap ini perlu dijelaskan kepada peserta didik mengenai aturan, prosedur, produk,
waktu dan praktik penilaian. Pengaturan aturan yang terbaik ditujukan sebagai
kolaboratif, proses pemecahan masalah yang mempertimbangkan jenis kegiatan yang
diperlukan untuk penyelesaian proyek, seperti mendiskusikan rencana dan hal yang baru
dipelajari dalam kelompok, membangun artefak dan menampilkan. Guru harus
menjelaskan dengan peserta didik pada awal tugas proyek yang diharapkan, produk dan
aktivitas peserta didik dan peserta didik harus bertanggungjawab untuk
menyelesaikannya. Dalam tahap ini, peserta didik mengambil tanggung jawab untuk
mengelola diri peserta didik dan menyelesaikan tugas-tugas proyek.
3) Tahap 2. Guided Inquiry and Product Creation
Pada tahap ini, guru membantu peserta didik mendefinisikan tugas dan menilai
kemajuan peserta didik. Tahap 2 dimulai dengan diskusi kelas, dimana setiap kelompok
diminta untuk menjelaskan kepada kelompok lain apa yang telah mereka selesaikan dan
apa yang mereka rencanakan untuk dilakukan selanjutnya. Diskusi ini juga dapat
memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok yang tidak yakin apa yang harus
dilakukan berikutnya dan kesempatan kelompok untuk bertanya tentang tugas yang telah
selesai dan akan direncanakan. Guru juga memberikan scaffold belajar dan menfasilitasi
peserta didik untuk berpikir kritis, menerapkan strategi metakognitif dan
mengembangkan pemahaman yang mendalam mengenai fakta-fakta, konsep dan prinsip-
prinsip.
4) Tahap 3. Project Conclusion
Pada tahap ini, peserta didik dapat mengembangkan keterampilan presentasi, dimana
proyek ditampilkan dengan penyajian produk, dan memberikan contoh dengan
pengetahuan baru yang diperoleh peserta didik. Dengan presentasi dapat menunjukkan
keahlian menguasai dan pengetahuan yang diperoleh. Kualitas yang baik dalam presentasi
membutuhkan latihan, kritik dan revisi presentasi mereka. Peserta didik dan guru menilai
seluruh proyek dengan rubrik penilaian. Rubrik (awalnya diberikan kepada peserta didik)
digunakan oleh peserta didik dan guru untuk menilai kinerja dalam perencanaan,
pembangunan, menulis, berbicara, kerja kelompok dan lainnya.
Selain itu, terdapat 6 langkah‐langkah pembelajaran model Project Based Learning
yang dijelaskan Delisle (1997:27‐35) lebih lanjut sebagai berikut:
1) Connecting with the problem, yaitu peserta didik terlibat dalam memilih, merancang
dan menyampaikan masalah yang dihubungkan dengan kehidupan sehari hari.
2) Setting up the structure, yaitu pendidik menciptakan struktur untuk bekerja melalui
masalah yang dihadapi. Struktur ini akan memberikan rancangan tugas ‐tugas yang
harus dilakukan oleh peserta didik dan melatih berfikir melalui situasi nyata serta
dalam mencapai solusi yang tepat.
3) Visiting the problem. Pendidik fokus pada ide‐ide yang dimiliki peserta didik dalam
menyelesaikan masalah. Fokus tersebut diarahkan untuk menghasilkan fakta dan
daftar item yang membutuhkan klarifikasi lebih lanjut.
4) Revisiting the problem. Setelah peserta didik dalam kelompok kecil telah
menyelesaikan tugas mandiri, mereka harus segera bergabung kembali dalam kelas
untuk menemukan kembali masalah‐masalah tersebut, dengan meminta kelompok
kecil untuk melaporkan hasil pengamatan. Kemudian, pendidik menilai sumber yang
mereka pakai sebagai referensi, waktu yang digunakan, dan efektivitas rencana
tindakan yang akan dilakukan.
5) Producing a product/performance. Membuat hasil pemecahan masalah yang
disampaikan kepada pendidik untuk di evaluasi tentang mutu isi dan penguasaan
keterampilan peserta didik.
6) Evaluating performance and the problem. Pendidik meminta peserta didik untuk
mengevaluasi hasil kerja (performance) dari kajian masalah dan alternatif solusi
yang diajukan.

Berdasarkan kajian teori yang telah dijelaskan, maka langkah-langkah (sintaks)


model pembelajaran Project Based Learning yang digunakan dalam penelitian meliputi:
1) Penentuan pertanyaan mendasar (start with essential question); 2) Menyusun
perencanaan proyek (design project); 3) Menyusun jadwal kegiatan penyelesaian proyek
(create schedule); 4) Memantau peserta didik dan kemajuan proyek (monitoring the
students and progress of project); 5) Penilaian hasil proyek (assess the outcome); dan 6)
Evaluasi hasil kerja proyek (evaluation the experience).

d. Kelebihan dan Kekurangan Model Project Based Learning (PjBL)


Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ergul & Kargin, pembelajaran Project
Based Learning memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat keberhasilan peserta
didik dalam proses pembelajaran sains. Pembelajaran berbasis proyek mampu membuat
peserta didik berpartisipasi aktif dalam proses dan mencapai tujuan pembelajara,
membangun proyek-proyek secara mandiri dan memberikan kontribusi positif terhadap
hasil belajar peserta didik. Pembelajaran berbasis proyek (PjBL) juga menciptakan
lingkungan belajar yang fleksibel (Doppelt, 2005: 258), melatihkan daya kreatif dan
inovatif peserta didik (Ciang & Lee, 2016: 709) dan pemecahan masalah (Santrock, 2011:
316).

Hasil studi Tippelt & Amoros (2003: 19) menjabarkan 9 kelebihan model Project
Based Learning (PjBL) antara lain:
1) Peserta didik diberikan keleluasaan untuk memutuskan, melakukan tindakan, dan
melakukan sesuatu yang dapat mengembangkan kemampuan mereka,
2) Meningkatkan motivasi peserta didik,
3) Pembelajaran bersifat fleksibel,
4) Meningkatkan keterampilan dan pengetahuan peserta didik,
5) Mengembangkan sikap percaya diri dan menjadikan peserta didik sebagai inisiator,
6) Terintegrasi multidisiplin ilmu dan kompetensi (pengetahuan, keterampilan dan
sikap),
7) Meningkatkan keterampilan induktif peserta didik, melibatkan kemampuan peserta
didik dalam menyelesaikan masalah,
8) Meningkatkan sikap toleransi dan kolaborasi.
Daryanto dan Raharjo (2012: 162) juga mengungkapkan kelebihan model
pembelajaran Project Based Learning (PjBL) sebagai berikut:
1) Meningkatkan motivasi belajar peserta didik, mendorong kemampuan mereka untuk
melakukan pekerjaan penting, dan penghargaan diri.
2) Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.
3) Membuat peserta didik menjadi lebih aktif dan berhasil memecahkan masalah-
masalah kompleks.
4) Meningkatkan kolaborasi.
5) Mendorong peserta didik untuk mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan
komunikasi.
6) Meningkatkan keterampilan peserta didik dalam mengelola sumber.
7) Memberikan pengalaman pembelajaran kepada peserta didik dan praktik dalam
mengorganisasi proyek, membuat alokasi waktu serta sumber-sumber lain seperti
perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.
8) Menyediakan pengalaman belajar yang melibatkan peserta didik secara kompleks dan
dirancang untuk berkembang sesuai dengan dunia nyata.
9) Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, sehingga peserta didik maupun
pendidik menikmati proses pembelajaran
Wrigley (1998) dalam studinya menyimpulkan bahwa:
We all await research that can capture the many dimensions of learning that
project-based learning addresses: gaining meaning from reading authentic
materials; writing for an audience; communicating with others outside of the
classroom; working as part of a team, and giving voice to one's opinions and
ideas, using literacy to affect change. In the meantime, we may have to take the
project-based learning on faith and see it as a promising approach that are acts
much of what we know about the way adults learn.
Kutipan tersebut menjelaskan penerapan Project Based Learning (PjBL) telah
menunjukan bahwa peserta didik mengalami proses pembelajaran yang bermakna, yaitu
pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan paham konstruktivisme. Peserta didik
diberi kesempatan untuk menggali sendiri informasi melalui membaca berbagai buku
secara langsung, membuat presentasi, mengkomunikasikan hasil, bekerja dalam
kelompok, memberikan saran atau gagasan dan berbagai aktivitas belajar lainnya.
Namun, model pembelajaran Project Based Learning (PjBL) ini juga memiliki
kelemahan yang disebutkan Daryanto & Raharjo (2012: 162), yaitu:
1) Memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan masalah.
2) Membutuhkan biaya yang cukup banyak.
3) Banyak pengajar yang merasa nyaman dengan kelas konvensional, dimana pengajar
memegang peran utama dikelas.
4) Banyaknya peralatan yang harus disediakan.
5) Peserta didik yang memiliki kelemahan dalam percobaan dan pengumpulan informasi
akan mengalami kesulitan.
6) Ada kemungkinan peserta didik yang kurang aktif dalam bekerja kelompok.
7) Ketika topik yang diberikan kepada masing-masing kelompok berbeda, dikhawatirkan
peserta didik tidak bisa memahami topik secara keseluruhan
Pendapat yang senada diungkapkan Abidin (2013) dalam risetnya terhadap
kelemahan dari model pembelajaran Project Based Learning (PjBL) antara lain sebagai
berikut:
1) Model PjBL memerlukan banyak waktu dan biaya,
2) Banyak media dan sumber belajar yang digunakan
3) Memerlukan guru dan peserta didik yang sama-sama siap belajar dan berkembang
4) Dikhawatirkan peserta didik hanya menguasai satu topik tertentu
yang dikerjakan.

4. Pendekatan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics)


a. Pengertian Pendekatan STEM (Science, Technology, Engineering, and
Mathematics)

Hanover (2011) menerangkan istilah Science Technology Engineering and


Mathematics (STEM) dikenalkan oleh National Science Foundation (NSF) di Amerika
Serikat pada tahun 1990-an sebagai tema gerakan reformasi pendidikan yang bertujuan
untuk mengembangkan inovasi iptek dan meningkatkan daya saing global. The National
Science Foundation mengembangkan kata STEM sebagai akronim untuk sains, teknologi,
teknik, dan matematika (Roberts, 2012). STEM (Science, Technology, Engineering, and
Mathematics) didefinisikan sebagai pembelajaran dengan pendekatan terpadu yang up to
date sesuai tujuan keterampilan abad ke-21 (Tezer et al., 2021). Sebagaimana disebutkan
Torlakson (2014) bahwa pendekatan STEM mengintegrasikan empat disiplin ilmu
melalui pembelajaran yang terpadu dan aktif untuk menyelesaikan masalah sehingga
keempat bidang ilmu tersebut dapat membuat pengetahuan menjadi lebih bermakna
apabila diintregasikan dalam proses pembelajaran.. Empat disiplin ilmu STEM yang telah
dijabarkan oleh Torlakson (2014) yaitu:
1) Science, merupakan ilmu tentang alam, yang mewakili hukum alam yang
berhubungan degan fisika, kimia, dan biologi dan pengobatan atau aplikasi dari
fakta, prinsip, konsep dan konveksi terkait dengan disiplin ilmu tersebut.
2) Technology, merupakan keterampilan atau sebuah sistem yang digunakan dalam
mengatur masyarakat, organisasi, pengetahuan atau dapat didefinisikan sebuah
produk sari ilmu pengetahuan dan teknik.
3) Engineering, merupakan pengetahuan rekayasa dengan memanfaatkan konsep-
konsep dari ilmu pengetahuan dan matematika serta alat-alat teknologi untuk
memecahkan sebuah masalah.
4) Mathematics merupakan pengetahuan yang menghubungkan antara besaran, ruang,
dan angka yang membutuhkan argument logis.
Empat disiplin ilmu lebih lanjut juga dijelaskan oleh National Research Council
(2014) sebagai berikut:
1) Science, merupakan akumulasi pengetahuan-pengetahuan dari waktu ke waktu yang
didapatkan dari suatu proses ilmiah yang menghasilkan suatu pengetahuan baru.
Pengetahuan yang ada memiliki peran untuk mendasari proses rancangan teknik dalam
bentuk informasi-informasi.
2) Technology, merupakan adanya proses penciptaan benda dan pengoperasiannya dari
suatu sistem yang terdiri atas orang dan organisasinya, proses, pengetahuan, dan
perangkat-perangkat.
3) Engineering, merupakan bagian dari pengetahuan yang berkaitan dengan desain dan
penciptaan suatu benda yang buat oleh manusia sebagai proses dalam memecahkan
masalah.
4) Mathematics merupakan studi mengenai hubungan dan pola yang berkaitan dengan
penjumlahan, angka-angka dan ruang.
STEM merupakan sebuah upaya yang dilakukan untuk mengintegrasikan ilmu
pengetahuan sains, teknologi, teknik, dan matematika dalam sebuah pembelajaran yang
menghubungkan beberapa mata pelajaran dan masalah dunia nyata (Stohlmann, Moore,
& Rochig, 2012). Hal serupa diungkapkan Sanders (2009), STEM diartikan sebagai
pendekatan untuk mengeksplorasi pembelajaran antara dua atau lebih dari mata pelajaran
sekolah. Menurut Brown & Dick (2011) mendefinisikan pendekatan STEM sebagai meta-
disiplin di tingkat sekolah dimana instruktur sains, teknologi, teknik, dan matematika
mengajar dengan pendekatan terpadu dan masing-masing materi disiplin tidak terbagi,
tetapi diperlakukan sebagai satu kesatuan yang dinamis. Senada dengan pendapat Krajcik
& Delen (2017: 37), bahwa STEM merupakan akumulasi pengetahuan dari berbagai
ilmu, teknologi, teknik dan matematika sebagai bidang yang terpisah tetapi saling terkait
satu sama lain. Selain itu, Pendekatan STEM merupakan pendekatan yang menerapkan
perpaduan antara ilmu science, technology, engineering, and mathematics dan melibatkan
konteks realistis dalam menerapkan masing-masing bidang ilmu sehingga peserta didik
secara sadar akan berpikir dan bernalar dalam mencari solusi dari permasalahan (Lowrie
et al., 2017).
Moore et al. (2014:24) menjelaskan STEM sebagai penggabungan disiplin ilmu,
teknologi, teknik, dan matematika untuk: (1) memperdalam pemahaman peserta didik
terhadap masing-masing disiplin dengan mengkontekstualisasikan konsep, (2 memperluas
pemahaman peserta didik tentang disiplin STEM melalui pemaparan terhadap masalah
sosial dan konteks STEM yang relevan secara budaya, dan (3) meningkatkan minat
terhadap disiplin STEM dengan meningkatkan jalur bagi peserta didik dalam memasuki
bidang-bidang pekerjaaan berkaitan disiplin STEM. Kennedy & Odell (dalam Kelley,
2016) menunjukkan bahwa pendekatan STEM yang berkualitas tinggi harus mencakup
(a) integrasi teknologi dan teknik menjadi ilmu pengetahuan dan matematika; (b)
mengedepankan penyelidikan ilmiah dan desain teknik, termasuk matematika dan
instruksi sains; (c) pendekatan kolaboratif terhadap belajar, menghubungkan peserta didik
dan pendidik dengan STEM; (d) Menyediakan sudut pandang global dan multi perspektif;
(e) Menggabungkan strategi seperti pembelajaran berbasis proyek, menyediakan
pengalaman belajar formal dan informal; dan (f) Memasukkan teknologi yang sesuai
untuk meningkatkan pembelajaran.
Pentingnya pendekatan STEM pada pembelajaran (Poppy et al., 2018) adalah
sebagai berikut:
1) Transformasi proses pendidikan, STEM mengintegrasikan sains, teknologi, rekayasa,
matematika untuk memecahkan masalah pada kehidupan nyata;
2) Peningkatan pemahaman saintifik dengan meningkatkan kompetensi literasi sains
yaitu mengaktualisasikan pengetahuan dengan permasalahan yang nyata
3) Pengembangan sumber daya manusia;
4) Tantangan teknologi;
5) Kunci dalam kemajuan dan inovasi;
6) Penting untuk kesejahteraan
Dalam pembelajaran dengan pendekatan STEM perlu menekankan aspek dalam
proses pembelajaran (National Research Council, 2011) diantaranya: (1) mengajukan
pertanyaan (science) dan mendefinisikan masalah (engineering) (2) mengembangkan dan
menggunakan model, (3) merencanakan dan melakukan investigasi, (4) menganalisis dan
menafsirkan data (mathematics), (5) menggunakan matematika, teknologi informasi dan
computer, dan berfikir komputasi, (6) membangun eksplanasi (science) dan merancang
solusi (engineering), (7) terlihat dalam argumen berdasarkan bukti, (8) memperoleh,
mengevaluasi, dan mengkomunikasikan informasi. Selain itu, Menurut Wang (2011)
terdapat empat faktor yang harus dipertimbangkan dalam pembelajaran dengan
pendekatan STEM, yaitu: 1) aspek support atau dukungan, 2) aspek teaching atau
pembelajaran, 3) aspek efficacy atau kepercayaan diri pendidik, 4) aspek material atau
sarana prasarana.

b. Karakteristik Pendekatan STEM (Science, Technology, Engineering, and


Mathematics)
Karakteristik pendekatan STEM menekankan pada tahap/proses desain rekayasa
atau merekayasa dengan lebih dikenal dengan Engineering Design Process (EDP). Proses
ini meningkatkan kemampuan peserta didik dalam memecahkan permasalahan (problem
solving) dalam dunia nyata (real world). Langkah-langkah dalam proses desain rekayasa
(EDP) sebagai berikut: (1) Identifikasi masalah. (2) Bertukar pikiran (brainstrorm). (3)
Merancang. (4) Membangun (build/construct). (5) Ujicoba. (6) Revisi. (7) Berbagi
solusi/komunikasi. Terdapat beberapa karakteristik pembelajaran berbasis pendekatan
Science. Technology, Engineering, and Mathematics (STEM), yaitu:
1) STEM berbeda dengan pembelajaran konvensional biasa.
Breiner et al. (2012) mengatakan bahwa STEM berlawanan dengan model
pembelajaran konvensional. STEM merupakan pendidikan yang menggunakan
pendekatan integrasi yang melibatkan penyelidikan dan pendekatan berbasis proyek
(Sanders, 2009)
2) Melalui penyelidikan.
STEM membentuk peserta didik agar mampu mengatasi masalah yang memiliki
aplikasi di dunia nyata. Dalam kelas STEM peserta didik dituntut memecahkan masalah
dunia nyata dan terlibat dalam ill-defined tasks menjadi well-defined outcome melalui
kerja sama dalam kelompok (Han et al., 2015)
3) Pendekatan STEM memiliki berbagai manfaat bagi peserta didik.
Stohlman et al. (2012) mengatakan beberapa manfaat dari pendekatan STEM yaitu;
membantu peserta didik menjadi pemecah masalah yang lebih baik, inovator, inventors,
mandiri, pemikir logis, dan memiliki literasi teknologi.
Roberts & Cantu (2012: 112-114) telah mengembangkan tiga pendekatan
pembelajaran STEM dalam proses belajar mengajar yaitu pendekatan silo (terpisah),
pendekatan embended (tertanam) dan pendekatan integrated (terpadu).
1) Pendekatan silo (terpisah)
Pendekatan silo (terpisah) mengacu pada pembelajaran yang terpisah-pisah antar subjek
STEM. STEM yang dilakukan dalam bentuk proses penyajian materi dilakukan secara
terpisah, proses pengintegrasiannya tidak disajikan dalam sekali waktu seperti yang
diilustrasikan dalam gambar berikut.

Gambar 2. Pendekatan Silo


2) Pendekatan Embended
Pendekatan STEM secara embended (tertanam) didefinisikan sebagai pendekatan
pembelajaran dimana domain pengetahuan diperoleh melalui penekanan pada situasi
dunia nyata dan teknik memecahkan masalah. Dalam pendekatan embended, salah satu
konten/materi lebih diutamakan (sama juga dalam pendekatan silo), sedangkan bidang
ilmu lain merupakan aspek pendukung untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Gambar 3. Pendekatan Embended


3) Perndekatan integrated (terpadu)
Pendekatan integrated (terpadu) dilakukan dengan mengkombinasi serta
mengintegrasikan antar disiplin ilmu dalam satu waktu. Pendekatan terpadu
menghubungkan materi dari berbagai bidang STEM yang diajarkan di kelas berbeda dan
menggabungkan konten lintas kulikuler dengan keterampilan berpikir kritis, keterampilan
pemecahan masalah, dan pengetahuan untuk mencapai suatu kesimpulan. Pada gambar 4.
Terlihat bahwa materi STEM diajarkan merupakan satu subjek.

Gambar 4. pendekatan Integrated


Lebih lanjut dijelaskan Dugger (2010), beberapa cara pengintegrasian STEM.
menyampaikan beberapa cara, yaitu:
1) Mengajarkannya sebagai masing-masing subjek yang terpisah,
2) Mengajarkan keempat subjek dengan memberi penekanan pada salah satu atau
duanya,
3) Mengintegrasikan salah satu subjek kedalam tiga subjek lainnya,
4) Mengajarkannya sebagai subjek yang terintegrasi.
Sedangkan Sanders (2009) menyebutkan bahwa integrasi STEM memiliki
pengertian;
1) Pengintegrasian konsep desain teknologi/teknik dalam pengajaran dan pembelajaran
sains/matematik di kurikulum sekolah, dapat pula berarti,
2) Pengajaran yang menggabungkan dua atau lebih komponen STEM atau antara satu
komponen STEM dengan disiplin ilmu lain.

c. Fungsi dan Tujuan Pendekatan STEM (Science, Technology, Engineering, and


Mathematics)
Beberapa tujuan pendekatan STEM terangkum dalam National Council Australia
(2011: 6) meliputi:
1) Menghasilkan peserta didik yang cakap teknologi, paham pengetahuan dasar,
memiliki jiwa kolaborasi, berpikir kritis dan kreatif, mampu memecahkan masalah
sederhana bahkan kompleks;
2) Sekolah sebagai penanggung jawab terhadap kesuksesan yang akan dicapai peserta
didik;
3) Sekolah sebagai motivator bagi peserta didik untuk mengembangkan dan mendalami
satu bidang STEM atau lebih.
Menurut Bybee (2013) tujuan STEM pada konteks pendidikan dasar dan menengah
adalah mengembangkan peserta didik yang memiliki literasi STEM dengan rincian
sebagai berikut:
1) Memiliki tiga aspek penilaian dalam pendidikan, yaitu: pengetahuan, sikap, dan
keterampitan untuk mengidentifikasi pertanyaan dan masalah dalam situasi
kehidupannya, menjelaskan fenomena alam, mendesain, serta menarik kesimputan
berdasar bukti mengenai isu-isu terkait STEM;
2) Memahami ciri khusus disiplin STEM sebagai bentuk-bentuk pengetahuan,
penyelidikan, dan desain yang digagas manusia;
3) Memiliki kesadaran cara disiplin-disiplin STEM membentuk lingkungan material,
intelektual dan kebudayaan;
4) Memiliki keinginan untuk terlibat dalam kajian isu-isu terkait STEM (misalnya
efisiensi energi, kualitas lingkungan, keterbatasan sumber daya alam) sebagai warga
negara yang konstruktif, peduli, serta reflektif dengan menggunakan gagasan-gagasan
sains, teknologi, rekayasa, dan matematika.
d. Langkah-langkah Pendekatan STEM (Science, Technology, Engineering, and
Mathematics)
Berdasarkan Thibaut (2018), kerangka kerja pendekatan STEM sebagai berikut:
1) Integration of STEM content
Dalam pendekatan STEM terdapat integrasi konten STEM yang merupakan suatu
karakter yang mengacu pada fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan terkait
tujuan pembelajaran dan praktik dari berbagai disiplin STEM.
2) Design
Proses Design melibatkan peserta didik dalam proses perencanaan untuk selanjutnya
menciptakan dan merancang penemuan konsep.
3) Inquiry

Dalam pembelajaran berbasis inquiry, peserta didik terlibat dalam kegiatan langsung
yang memungkinkan mereka menemukan konsep-konsep baru dan mengembangkan
pemahaman baru.
4) Focus on problem
Mencakup penggunaan masalah dunia nyata terkait dengan konteks yang menarik dan
memotivasi peserta didik.
5) Teamwork
Teamwork mencakup kerja tim dan kolaborasi yang tidak hanya menekankan
pentingnya merangsang keterampilan kerja tim, tetapi juga mengembangkan
keterampilan komunikasi.
Syukri et al. (2013: 109) menjelaskan pembelajaran STEM memiliki lima tahapan
dalam pelaksanaannya pembelajaran yaitu observe, new idea, innovation, creativity, dan
society yang dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.
1) Pengamatan (observe), dalam tahap ini peserta didik dimotivasi untuk melakukan
pengamatan terhadap berbagai fenomena/isu yang terdapat dalam lingkungan
kehidupan sehari-hari yang memiliki kaitan dengan konsep mata pelajaran yang
diajarkan.
2) Ide baru (New Idea), dalam tahap ini peserta didik mengamati dan mencari informasi
tambahan mengenai berbagai fenomena atau isu yang berhubungan dengan topik mata
pelajaran yang dibahas, selanjutnya peserta didik merancang ide baru. Peserta didik
diminta mencari ide baru dari informasi yang sudah ada dan memerlukan ketrampilan
menganalisis dan berfikir keras.
3) Inovasi (Innovation), langkah inovasi peserta didik diminta untuk menguraikan hal-hal
yang telah dirancang dalam langkah merencanakan ide baru yang dapat diaplikasikan
dalam sebuah alat.
4) Kreasi (Creativity), dalam langkah ini merupakan pelaksanaan dari hasil pada langkah
ide baru.
5) Nilai (society) merupakan langkah terakhir yang dilakukan peserta didik yang
dimaksud adalah nilai yang dimiliki oleh ide yang dihasilkan peserta didik bagi
kehidupan sosial yang sebenarnya.
Adapun langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan STEM
yang disebutkan oleh Bybee (2013) adalah sebagai berikut:
1) Asking question and defining problem
Pada tahap ini peserta didik diminta untuk melakukan proses mengamati fenomena
yang terjadi di lingkungan sekitar dan diminta untu merumuskan pertanyaan dan
didukung agar termotivasi dalam memecahkan permasalahan dan mengklarifikasinya.
2) Developing and using models
Pada tahap ini peserta didik diminta untuk mengembangkan dan menggunakan contoh
atau model untuk memperoleh informasi lebih lanjut.
3) Planning and carrying out investigations
Pada tahap ini peserta didik diminta untuk menyusun dan melakukan proses
penyelidikan untuk memperoleh data dan informasi yang ilmiah.
4) Analyzing and interpreting data
Peserta didik diminta untuk menganalisis dan menafsirkan data yang telah didapatkan
setelah melakukan penyelidikan.
5) Using mathematics and computational thinking
Pada tahap ini peserta didik diminta untuk berpikir menggunakan kemampuan berpikir
matematis dan komputasi terhadap data yang dianalisis.
6) Contucting explanations and designing solutions
Pada tahap ini peserta didik membangun informasi agar dapat menjelaskan
permasalahan yang dihadapi kemudian merancang soludi baru.
7) Engaging in argument from evidence
Pada tahap ini peserta didik melakukan argumentasi dan memberikan bukti dalam
meberikan solusi permasalahan serta mempertahankannya.
8) Obtaining, evaluating, and communicating information
Pada tahap ini peserta didik mendapatkan informasi dan mengevaluasinya kemudian
dilakukan proses pengkomunikasian.

e. Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan STEM (Science, Technology,


Engineering, and Mathematics)
Sanders (2009) menyebutkan integrasi sains, teknologi, teknik, dan matematika
(STEM) dapat memunculkan "lingkungan belajar yang kuat". Melalui pendekatan STEM
meningkatkan minat individu tentang sains, teknologi, rekayasa, dan matematika serta
untuk mengejar karir dalam cakupan keempat disiplin ilmu tersebut (National Research
Council, 2012). Hasil penelitian Luo (2010) menunjukkan pengintegrasian pembelajaran
STEM menempatkan peserta didik sebagai pusat kegiatan belajar, pengetahuan menjadi
bermakna, membentuk karakter kritis, menerapkan pengetahuan untuk merancang strategi
dengan analisa yang matang untuk memperoleh solusi atas penyelesaian persoalan
sehingga mempermudah pekerjaan manusia.
Melibatkan masalah di kehidupan nyata pada pembelajaran STEM akan membuat
peserta didik menjadi termotivasi dan juga terinspirasi dalam pembelajaran (Ozel, 2013).
Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Chittum, Jones, Akalin, &
Schram (2017) yang mengemukakan bahwa peserta didik yang mengikuti pembelajaran
dengan pendekatan STEM dapat termotivasi untuk belajar dan memiliki persepsi yang
lebih baik mengenai suatu ilmu pengetahuan. Selain itu, Kelebihan pembelajaran STEM
berdasarkan penelitian Fathoni (2020) dapat meningkatkan kreativitas, daya berpikir
kritis, penguasaan konsep, literasi sains, dan kolaborasi peserta didik dalam
pembelajaran. Sejalan dengan studi yang dilakukan Cotabish & Dailey (2013)
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada keterampilan proses
sains, konsep sains dan pengetahuan berkonten sains dari peserta didik yang
berpartisipasi dalam program STEM
Berdasarkan studi Bybee (2013: 48) menuliskan kelebihan dalam pendekatan
STEM antara lain sebagai berikut:
1) Kecakapan dalam menyelesaikan rangkaian proses ilmiah yang diawali dengan telaah
permasalahan, melakukan pembuktian, merancang penyelesaian, dan pada tahap akhir
mampu menyimpulkan atas semua proses tersebut.
2) Kemampuan mengenali masing-masing ciri khas dari sains, teknologi, teknik, dan
matematika.
3) Kemampuan memahami bahwa sejatinya teknologi, sains, teknik, dan matematika
membentuk segala rupa unsur lingkungan.
4) Keingintahuan yang menuntun pada keterlibatan untuk andil dalam penyelesaian
masalah sekitar yang berkaitan dengan alam sekitar.
Becker & Park (2011) menjelaskan lebih lanjut beberapa kelebihan dari pendekatan
STEM diantaranya:
1) Memiliki dampak positif dalam meningkatkan kemampuan pengetahuan sains dengan
menggunakan pendekatan STEM;
2) Peserta didik lebih kreatif dan mampu menyelesaikan masalah dengan sendirinya saat
belajar menggunakan pendekatan STEM
3) Dengan adanya teknologi membantu peserta didik dalam memahami penerapan ilmu
pengetahuan yang terdapat dalam sains, teknik dan matematika;
4) Dengan menggunakan pendekatan STEM dapat menghubungan konsep yang abstrak
terhadap ilmu sains, teknologi dan teknik;
5) Pendekatan STEM mengajarkan peserta didik untuk dapat menerapkan ilmu
penngetahuann yang sudah dipelajarinya di sekolah dimanfaatkan dalam
kesehariannya
Namun, terdapat juga kekurangan pada pendekatan STEM menurut studi yang
dilakukan Becker & Park (2011) antara lain sebagai berikut:
1) Pendekatan STEM termasuk baru di kalangan guru-guru yang ada di daerah-daerah;
2) Pendidik dalam menggunakan pendekatan STEM harus memiliki kompeten yang
setiap bidang ilmu STEM yaitu sains, teknologi, teknik dan matematika;
3) Setiap pendidik harus mampu berinovasi terhadap penyusunan LKPD yang mampu
menarik daya belajar peserta didik;
4) Pendekatan STEM lebih cocok digunakan di sekolah yang jenjangnya lebih tinggi
seperti SMA atau perguruan tinggi

5. Model Pembelajaran STEM-PjBL


Model PjBL terintegrasi pendekatan STEM (PjBL-STEM) dipengaruhi oleh
learning sciences (pembelajaran saintifik) dan learning environment (lingkungan sebagai
pembelajaran). Model PjBL terintegrasi pendekatan STEM menekankan pada: 1) making
content accessible (pembuatan konten/perencanaan pembelajaran, 2) making thingking
visible (penentuan dan pemerolehan ide-ide yang jelas), 3) helping students learn from
others (penanaman sikap kolaborasi atau kerjasama peserta didik), 4) promoting
autonomy dan lifelong learning (penanaman sikap mandiri dan pengetahuan peserta
didik), 5) summarizing foundations for learning and design principles (ketercapaian
pembelajaran) (Slough & Milam, 2013: 15-17).
Slough & Milam (2013) menjelaskan lebih lanjut penerapan model PjBL
terintegrasi pendekatan STEM sebagai berikut:
a. Making content accesible (pembuatan konten/perencanaan pembelajaran)
Salah satu karakteristik model PjBL terintegrasi pendekatan STEM adalah student
center (terpusat pada peserta didik). Dalam langkah kerja pertama model PjBL
terintegrasi pendekatan STEM, guru membuat perencanaan/menentukan ide atau konten.
Konten atau ide yang dirancang harus memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk terlibat dalam masalah, peristiwa/fenomena, dan konteks yang ada di lingkungan
sekitar. Rencana pembelajaran yang dibuat oleh guru harus dapat menghubungkan
ide/pengetahuan awal yang dimiliki oleh peserta didik sebelumnya dengan pengetahuan
baru. Perencanaan atau pembuatan konteks/ide didasarkan pada 3 dimensi pedagogis
pembelajaran yaitu kegiatan pembelajaran dirancang untuk menumbuh kembangkan ide
kreatif peserta didik, menggunakan masalah yang relevan, dan berupa penyelidikan.
Pembelajaran efektif harus memberikan kesempatan peserta didik untuk mengajukan
pertanyaan, merumuskan pertanyaan yang muncul melalui penyelidikan, mencari
pembuktian dari berbagai sumber, dan kegiatan evaluasi dilakukan oleh peserta didik dan
guru. Keseluruhan rangkaian kegiatan PjBL-STEM didasarkan pada proses saintifik.
b. Making thinking visible
Melalui rangkaian proses saintifik diharapkan peserta didik dapat membuat
pemahaman yang jelas akan suatu pengetahuan. Dalam tahap kedua penerapan PjBL-
STEM ini, peserta didik melakukan kegiatan seperti melakukan identifikasi terhadap
gagasan, memberikan umpan balik dari guru atau peserta didik lain, serta menjelaskan
hasil temuan.
c. Helping students learn from others
Kegiatan dalam model PjBL terintegrasi pendekatan STEM didasarkan pada
kegiatan diskusi dan kerja kelompok. Hal-hal yang menjadi tujuan dalam PjBL-STEM
pada tahap ini adalah penanaman sikap saling menghormati antar peserta didik dan
peserta didik ke guru dan kolaborasi. Dalam kegiatan diskusi, peserta didik dilatih untuk
mendengarkan orang lain, berpikir sebelum bertindak dan bertutur. Dalam kegiatan
diskusi peserta didik bertanya dan menjelaskan serta menghubungkan ide antar peserta
didik lain.
d. Promoting autonomy & lifelong learning
Kegiatan PjBL-STEM didasarkan pada metakognisi, penyelidikan, dan pembuatan
produk sebagai hasil dari proyek bersama. Peserta didik dilibatkan dalam proyek-proyek
penyelidikan. Peserta didik didorong untuk mengorganisir ide, membangun argumen, dan
mencari bukti dari berbagai sumber. Guru didorong untuk merencanakan dan membuat
suatu pertanyaan/fenomena yang dapat menumbuhkan rasa ingin tahu peserta didik.
e. Summarizing foundations for learning and design principles
Perubahan dalam pemahaman konseptual terjadi ketika guru melibatkan dan
memberikan pertanyaan peserta didik tentang pengetahuan yang dimiliki oleh peserta
didik sebelumnya. Model PjBL terintegrasi pendekatan STEM memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mengaitkan pengetahuan, keterampilan, konsep, dan
kepercayaan dalam lingkungan sekitar. Dalam tahap akhir ini dijelaskan bahwa peserta
didik diberi kesempatan untuk memberi umpan balik, melakukan perbaikan terhadap
hasil berupa proyek Bersama kelompok atau mandiri, dan guru melakukan evaluasi
terkait hasil belajar
peserta didik.
Penerapan model PjBL terintegerasi pendekatan STEM pada intinya mengacu pada
beberapa prinsip model PjBL dan langkah kegiatan PjBL yang terintegerasi pendekatan
STEM. Prinsip model PjBL terintegerasi pendekatan STEM (Hosnan, 2014: 323) tersebut
meliputi:
(1) keputusan (centrality);
(2) fokus pertanyaan atau masalah;
(3) penyelidikan terhadap desain/proyek;
(4) kemandirian/otonom;
(5) sesuai dengan fakta
Model PjBL terintegerasi pendekatan STEM dirancang sesuai dengan langkah-
langkah pembelajaran yaitu penyajian permasalahan, membuat perencanaan, membuat
jadwal, memonitor pembuatan proyek, melakukan penilaian, dan perbaikan
berkesinambungan (Sani, 2014: 181). Langkah dalam penerapan model PjBL
diintegerasikan dengan pendekatan STEM, yaitu: (1) literasi sains meliputi kemampuan
mengidentifikasi, menemukan solusi, dan menerapkan dalam lingkungan; (2) literasi
teknologi meliputi keterampilan menggunakan teknologi; (3) literasi teknik meliputi
kemampuan mengembangkan teknologi dengan desain yang lebih kreatif dan inovatif; (4)
literasi matematika meliputi kemampuan menganalisis, menyampaikan gagasan,
menyelesaikan masalah secara matematis. Berikut adalah langkah penerapan model PjBL
terintegrasi pendekatan STEM berdasarkan kemendikbud (2016).

Tabel 1. Tahapan Pembelajaran Model PjBL STEM Kemdikbud, (2016)

Tahapan Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran


Tujuan dari tahap pertama untuk
membawa peserta didik ke dalam konteks
Reflection masalah dan memberikan inspirasi kepada
peserta didik agar dapat segera mulai
menyelidiki/investigasi.
Tahap kedua dapat mengambil bentuk
penelitian peserta didik, guru
membimbing dalam konsep sains, peserta
Research
didik memilih bacaan atau
mengumpulkan informasi dari sumber
yang relevan.
Tahap penemuan umumnya menjembatani
penelitian dan informasi yang sudah
dikenal dengan langkah-langkah proyek.
Discovery
Peserta didik mulai menemukan proses
pembelajaran dan menentukan apa yang
masih belum diketahui
Dalam tahap aplikasi, peserta didik
memodelkan suatu pemecahan masalah,
peserta didik menguji model yang
Application
dirancang, berdasarkan hasil pengujian
peserta didik dapat mengulang ke langkah
sebelumnya
Tahap akhir dalam setiap proyek adalah
mempresentasikan model dan
solusi langkah ini untuk
mengembangkan keterampilan
Communication
komunikasi dan kolaborasi serta
kemampuan untuk menerima dan
menerapkan umpan balik yang
membangun

6. Kemampuan Pemahaman Konsep Fisika


a. Definisi Pemahaman Konsep Fisika
Konsep adalah umpulan dari objek, kejadian, serta karakteritik dasar suatu hal
secara umum (Santrock, 2011). Menurut Moran & Keeley (2015:5) mengartikan konsep
sebagai alat yang dibangun untuk tujuan pengamatan, diatur dan digunakan sebagai
sebagai prediksi dan klasifikasi. Sedangkan Schunk (2012: 408) mendefinisikan konsep
sebagai proses membentuk representasi dengan tujuan mengenali sifat dan
menyesuaikannya ke dalam contoh baru, serta memisahkan antara contoh dan bukan
contoh.
Pemahaman siswa tentang konsep membentuk dasar untuk pembelajaran di
tingkat lebih tinggi. Konsep dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu konsep
kongkrit (concrete concept) dan konsep terdefinisi (definite concept) (Nitko &
Brookhart, 2011:226). Konsep kongkrit adalah konsep yang merujuk kepada suatu
klasifikasi dimana setiap anggota-anggota dari kelas tersebut bersifat kongkrit yaitu
secara fisik bisa ditangkap panca indera. Sedangkan konsep terdefinisi mengacu pada
klasifikasi, yang anggotanya dapat didefinisikan dengan cara yang sama oleh sifat-
sifat yang tidak nyata dan sering melibatkan hubungan dengan konsep-konsep lain.
Konsep terdefinisi sering disebut konsep abstrak (abstract concept) atau konsep
relasional (relational concept). Seseorang memahami suatu konsep apabila dia dapat
(1) menyebutkan definisi atau pengertian dari konsep tersebut, dapat (2) memberikan
contoh dari suatu konsep tersebut, dapat (3) membedakan Antara contoh dan bukan
contoh berdasarkan konsep tersebut, dan dapat (4) mengidentifikasi komponen-
komponen serta menyebutkan hubungan dari komponen-komponen yang terkandung
dalam konsep tersebut (Nitko & Brookhart, 2011:226). Akan tetapi, dengan mampu
melakukan keempat hal tersebut, seseorang belum bisa dikatakan memahami konsep
secara mendalam. Seseorang dikatakan memahami konsep secara mendalam apabila
(1) mampu menggunakan konsep untuk memecahkan masalah, (2) menghubungkan
konsep dengan konsep atau prinsip lain dan menggeneralisasinya dan (3)
menggunakan konsep dalam memahami materi yang baru (Nitko & Brookhart,
2011:226).
Pemahaman konsep menurut Anderson & Krathwohl (2010: 100-102) berdasarkan
Taksonomi Bloom yaitu understand (memahami) merupakan tingkat kognitif C2 yang
meliputi kemampuan menafsirkan, mencontohkan, mengklarifikasi, merangkum,
menyimpulkan, membandingkan dan menjelaskan. Pendapat yang dikemukakan
Santrock, (2013) menerangkan pemahaman konsep sebagai kemampuan yang untuk
menjelaskan kembali apa yang sudah disampaikan atau dikaji (dieksplorasi) dengan
pendekatan tertentu untuk menemukan konsep berupa contoh. Skemp mengemukakan
dalam Kent & Foster (2015: 99) bahwa karakteristik pemahaman konseptual adalah
mengetahui apa yang harus dilakukan dan mengapa hal itu harus dilakukan.
Permendiknas 2016 juga mengungkapkan bahwa, pemahaman konseptual
merupakan salah satu kecakapan atau kemahiran fisika yang diharapkan dapat tercapai
dalam belajar fisika yaitu dengan menunjukkan pemahaman konsep fisika yang
dipelajarinya, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep secara
luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. Sebagaimana dijelaskan
bahwa Kemampuan pemahaman konsep adalah kemampuan memahami konsep fisika
yan menyangkut kemampuan peserta didik dalam memaknai konsep atau arti fisis dari
konsep (Engelhardt & Beichner, 2004). Keuntungan dari mempelajari suatu konsep
diantaranya yaitu (Olympiou & Zacharia, 2012: 25):
1) Mengurangi beban berat otak manusia dalam mengkategorikan berbagai pengetahuan
yang diperolah,
2) Membantu proses berpikir,
3) Membantu untuk mengembangkan mental
4) Dibutuhkan dalam proses penyelesaian masalah.

b. Indikator Pemahaman Konsep Fisika


Pemahaman konsep dapat diukur menggunakan empat indikator yaitu
mendefinisikan konsep, mengidentifikasi karakter-karakter dari konsep, menghubungkan
suatu konsep dengan konsep lainnya, dan mengidentifikasi atau memberi contoh dari
konsep (Eggen & Kauchack, 2012: 247). Indikator pemahaman konseptual yang
dikemukakkan Permendiknas (2018) di antaranya adalah: 1) Menyatakan ulang suatu
konsep; 2) Mengklarifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu; 3) Memberi
contoh dan non-contoh dari konsep; 4) Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk
representasi; 5) Mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup sautu konsep; 6)
Menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu; dan 7)
Mengaplikasikan konsep dalam pemecahan masalah.
Indikator proses kognitif pada kemampuan pemahaman konsep berdasarkan
Taxonomi Bloom yang direvisi (Anderson et al., 2001) adalah: (1) menafsirkan
(interpreting), (2) mencontohkan (exemplifying), (3) mengklasifikasikan (classifying), (4)
meringkas (summarizing), (5) menginferensi (inferring), (6) membandingkan
(comparing), dan (7) menjelaskan (explaining). Menurut Bloom et al. (1956: 89–96)
pemahaman konsep dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu translasi (translation),
interpretasi (interpretation) dan ekstrapolasi (extrapolation) dengan penjelasan lebih
lanjut sebagai berikut.
1) Translasi (Translation)
Translasi sebagai kemampuan seseorang untuk memahami sesuatu yang dinyatakan
dengan cara lain dari pernyataan asli yang telah dikenal sebelumnya. Bloom et al. (1956:
91-92) mengemukakan indikator pencapaian kemampuan translasi meliputi:
a) The ability to translate a problem given in tehnical or abstract phraseology into
concrete or less abstract phraseologi. Hal ini berarti kemampuan menerjemahkan
suatu masalah yang diberikan dengan kata-kata abstrak menjadi uraian kata-kata yang
kongkret;
b) The ability to translate relationships expressed in symbolic form, including
illustration, maps, table, diagrams, graphs and mathematical and other formulas, to
verbal form or vice versa. Hal ini menunjukkan kemampuan menerjemahkan
hubungan yang terkandung dalam bentuk simbolik, meliputi ilustrasi, peta, tabel,
diagram, grafik, persamaan matematis, dan rumus-rumus lain ke dalam bentuk verbal
dan sebaliknya.
2) Interpretasi (Interpretation)
Interpretasi adalah kemampuan seseorang untuk memahami sesuatu yang direkam,
diubah atau disusun dalam bentuk lain seperti grafik, tabel, diagram dan lain-lain.
3) Ekstrapolasi (Extrapolation)
Ekstrapolasi adalah kemampuan seseorang menyimpulkan dan menyatakan lebih
eksplisit suatu bentuk grafik, data-data, memprediksi konsekuensi dari tindakan yang
digambarkan dari sebuah komunikasi, sensitif atau peka terhadap faktor yang
mungkin membuat prediksi menjadi akurat.
Menurut NCTM (2012) untuk mengetahui pemahaman konsep peserta didik
dapat dilihat dari kemampuan yang meliputi:
1) Mendefinisikan konsep secara lisan dan tertulis.
2) Mengidentifikasi dan membuat contoh dan bukan contoh konsep
3) Menggunakan model, diagram dan simbol untuk merepresentasikan konsep
4) mengubah satu representasi ke representasi lain
5) Memahami berbagai arti dan penjelasan konsep
6) mengidentifikasi atribut konsep dan identifikasi kondisi yang menentukan konsep
tersebut
7) Membandingkan dan membedakan konsep-konsep
Sedangkan menurut Kilpatrick, Swafford & Findell (2002:106) menyatakan
pemahaman konseptual mengacu pada kemampuan untuk memahami konsep-konsep
matematika untuk melakukan operasi dan memahami hubungan konsep. Dalam hal
ini terdapat tiga komponen pemahaman konseptual yaitu pemahaman, operasi dan
hubungan atau relasi dalam fisika. Indikator kemampuan memahami konsep antara
lain:
1) Mengidentifikasi dan menghasilkan contoh dan non-contoh;

2) Menerjemahkan dan menjelaskan arti simbol, tabel, diagram, gambar, grafik dan
kalimat fisika;
3) Memahami dan menerapkan ide-ide fisika;
4) Melakukan ekstrapolasi (estimasi).
Tingkat pencapaian kompetensi sains dalam PISA menunjukkan kemampuan
konseptual sampai pada level 6 yang merupakan tingkat pencapaian yang paling tinggi.
PISA menjelaskan bahwa pada level ini, siswa dapat membuat konsep dan
menggeneralisasi dalam situasi kompleks dengan menggunakan informasi berdasarkan
pemodelan dan pembelajaran, mereka dapat secara fleksibel menghubungkan berbagai
sumber informasi dan melakukan transformasi (OECD, 2019:92). Berdasarkan survei
kualitas pendidikan yang dilakukan PISA tahun 2018, Indonesia termasuk dalam sepuluh
besar dari bawah untuk kategori kompetensi sains. Indonesia menempati urutan ke-74
atau peringkat keenam dari bawah dengan nilai rata-rata diperoleh skor 396, lebih rendah
dibanding rata-rata skor OECD yaitu sebesar 489 pada negara-negara peserta. Dalam
survei PISA, indikator kognitif yang dievaluasi adalah kemampuan pemahaman konsep
pada penilaian fisika (OECD, 2019:18). Berdasarkan data tersebut, rata-rata kemampuan
sains peserta didik pada tahap kemampuan mengenal fakta dasar, tetapi belum mampu
mengkomunikasikan dan mengaitkan kemampuan itu dengan berbagai topik sains,
apalagi menerapkan konsep-konsep yang kompleks dan abstrak.
Selain itu, beberapa studi sebelumnya ditemukan banyak kesalahan konsep dalam
memahami fisika, menerapkan ide fisika dan merekonstruksi konsep fisika yang telah
dipahami (De Vore, S., Stewart, J. & Stewart, G.,2016). Ini dapat mengakibatkan
memasukkan angka ke dalam rumus dengan urutan yang salah, terjadi miskonsepsi yang
mengacu pada kesalahan dalam berpikir siswa, serta kesalahpahaman yang sedang
berlangsung mengganggu pembelajaran dan menghambat asimilasi dan akomodasi
pengetahuan siswa. Adapun juga ditemukan beberapa pengajar hanya menekankan
pemahaman prosedural dan tidak langsung fokus pada pemahaman konseptual (Milligan
& Wood, 2010) serta ketidatersediaan perangkat pembelajaran fisika yang berfokus
dalam memfasilitasi kemampuan pemahaman konsep peserta didik. Sejalan dengan hal
tersebut, studi lainnya mengemukakan bahwa fisika dianggap sulit, membosankan, tidak
praktis dan abstrak, untuk memahaminya diperlukan kemampuan spesifik yang tidak
dimiliki semua peserta didik. Oleh karena itu, kemampuan pemahaman siswa terhadap
materi konsep fisika masih lemah.
Berdasarkan kajian teori yang dijabarkan diatas, dapat disimpulkan kemampuan
pemahaman konsep fisika adalah kemampuan untuk memahami konsep-konsep fisika,
untuk melakukan operasi dan memahami hubungan antar konsep fisika. Kemampuan
pemahaman konsep yang diukur pada penelitian ini berdasarkan indikator-indikator,
yaitu: KPK-1) mengidentifikasi dan membuat contoh dan bukan contoh, KPK-2)
menyajikan konsep dalam berbagai macam representasi fisika, KPK-3) menerapkan
konsep secara algoritma, KPK-4) mampu menerapkan secara verbal konsep yang
dipelajarinya, dan KPK-5) mengaitkan berbagai konsep internal dan eksternal

7. Literasi Sains
a. Definisi Literasi Sains
Holbrook & Rannikmae (1997) mendefinisikan literasi sains sebagai “developing
the ability to creatively utilise sound science knowledge in everyday life or in a career, to
solve problems, make decisions and hence improve the quality of life”. Dapat diartikan
bahwa literasi sains merupakan mengembangkan kemampuan untuk kreatif dalam
memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, memecahkan masalah,
membuat keputusan dan untuk meningkatkan kualitas hidup.
PISA (Program for International Student Assessment) mendefinisikan literasi
sains sebagai kemampuan untuk menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi
pertanyaan, dan mengambil kesimpulan berdasarkan bukti-bukti dalam rangka
memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahannya akibat
aktivitas manusia (OECD, 2019: 60). Sebagaimana Laugksch (2000:72) menjelaskan
literasi sains untuk pemahaman dan pengaplikasian sains dalam lingkungan. Literasi sains
sebagai pengetahuan ilmiah yang penting digunakan, tidak hanya memahami sains
sebagai suatu konsep namun juga dapat mengaplikasikan sains dalam kehidupan sehari-
hari (Gultepe & Kilic, 2015). Dalam hal ini, literasi sains diperuntukkan bagi seluruh
peserta didik, tidak memandang apakah nanti peserta didik tersebut akan menjadi saintis
atau tidak (Deboer, 2000). Literasi sains mencakup aspek kemampuan mengakses,
membaca, dan memahami lingkungan global berdasarkan dimensi ilmiah dan teknologi,
bertujuan agar cermat dalam melakukan penilaian dan evaluasi, sehingga dapat menjadi
acuan membuat keputusan dan menyebarkan informasi (Okada,2013: 263-274).
Literasi sains juga diartikan sebagai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan
tentang sains, dapat mengidentifikasi pertanyaan, serta dapat menarik sebuah kesimpulan
yang berdasarkan bukti-bukti yang nyata (Fleischman, Hopstock, Pelczar, & Shelley,
2010: 5). Sejalan dengan itu, Literasi sains atau scientific literacy didefinisikan sebagai
kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-
pertanyaan dan untuk menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti agar dapat memahami
dan membantu membuat keputusan tentang dunia dan interaksi manusia dengan alam
(Thomson, et al., 2013). National Science Teaching Association (NSTA, 1971)
menambahkan bahwa seorang yang literasi sains atau melek sains adalah orang yang
menggunakan konsep sains, keterampilan proses sains, dan nilai dalam membuat
keputusan sehari-hari ketika berhubungan dengan orang lain atau lingkungannya, dan
memahami interelasi antara sains, teknologi dan masyarakat, termasuk perkembangan
sosial dan ekonomi.
Penilaian literasi sains dinilai adalah peranan sains (role of science), tingkat
berpikir dan bekerja (scientific thinking and doing process), keterlibatan sains dalam
masyarakat (science and society), integrasi matematika dan sains, motivasi dan percaya
diri (Fives, et al., 2014: 572). Selaras dengan pernyataan PISA, mendefinisikan literasi
sains meliputi 4 domain yang saling terkait yaitu konteks, pengetahuan, kompetensi, dan
sikap. Wenning (2006: 10) menyatakan bahwa peserta didik menjadi melek sains
merupakan hasil dari keikutsertaan dalam aktivitas inkuiri dan dengan mengembangkan
pemahaman dasar dari konsep dasar sains dan teknologi yang berhubungan dengan
individu dan masyarakat. Lebih lanjut Wenning mengkategorikan unsur-unsur dari
literasi sains yaitu:
The element of scientific literacy fall into six categories according to the NSES that is
science as inquiry, science content, science and technology, science in personal and
social perspectives, history and nature of science and unifying concepts and
processes.
Kutipan diatas diartikan bahwa terdapat delapan unsur yang mendukung literasi sains
yaitu sains sebagai inkuiri, konten sains, sains dan teknologi, sains dalam personal dan
perspektif masyarakat, sejarah dan hakekat IPA, dan kesatuan dari konsep dan proses
Berdasarkan kajian teori diatas, disimpulkan bahwa Literasi Sains adalah
kemampuan untuk memahami pengetahuan tentang sains, mengidentifikasi pertanyaan-
pertanyaan ilmiah dan mengaplikasikan sains dalam kehidupan sehari-hari serta memiliki
sikap sains.

b. Indikator Literasi Sains


Berdasarkan studi PISA (2018: 7) dijabarkan 3 kompetensi literasi sains, yang
meliputi: (a) menjelaskan suatu fenomena ilmiah; (b) mengevaluasi dan merancang
penyelidikan ilmiah; dan (c) menginterpretasikan data dan bukti-bukti ilmiah. Penguasaan
ketiga kompetensi tersebut dalam membutuhkan 3 macam pengetahuan yang perlu untuk

Gambar 5. Framework for PISA (2018) Scientific Literacy Assessment


dikuasai yaitu content knowledge, procedural knowledge, dan epistemic knowledge.
Content Knowledge merupakan fakta, konsep, ide, dan teori-teori tentang alam yang telah
dibentuk oleh sains. Procedural Knowledge merupakan pengetahuan tentang prosedur-
prosedur yang digunakan para ilmuwan untuk membentuk suatu pengetahuan ilmiah.
Epistemic Knowledge merupakan pemahaman mengenai fungsi dari pertanyaan ilmiah,
observasi, teori-teori, hipotesis, model, dan pendapat-pendapat dalam sains; sehingga
dapat mengenali berbagai bentuk penyelidikan ilmiah.
Menurut OECD (2019: 11), penilaian literasi sains didasarkan pada empat aspek
yang saling berhubungan yaitu:
1) Aspek Konteks
Penilaian PISA tidak hanya berfokus pada konteks sekolah saja. Namun mengarah
pada situasi yang berhubungan dengan diri sendiri, keluarga dan kelompok individu
(personal), komunitas (lokal dan nasional), dan kehidupan lintas negara (global).
Permasalahan-permasalahan yang diambil sekitar tentang kesehatan dan bencana, sumber
daya alam, mutu lingkungan, bahaya dan perkembangan sains dan teknologi.
2) Aspek Konten
Memahami fakta utama, konsep dan penjelasan teori yang membentuk dasar
pengetahuan. Mencakup pengetahuan dunia alam dan teknologi (pengetahuan konten),
pengetahuan tentang bagaimana ide diperoleh (pegetahuan prosedural) dan pengatahuan
tentang konstruksi dan mendefinisikan aspek penting dalam proses pembangunan
pengetahuan ilmiah dan peranannya dalam membenarkan pengetahuan yang dihasilkan
oleh ilmu pengetahuan atau menjustifikasi pengetahuan ilmiah (pengetahuan epistemik).
3) Aspek Kompetensi
Kemampuan untuk menjelaskan fenomena ilmiah, mengevaluasi dan merancang
penyelidkan ilmiah dan menginterpretasikan data dan bukti- bukti ilmiah. OECD (2019:
15-16) menjabarkan 3 kompetensi literasi sains dan memiliki indikator tersendiri yang
meliputi:
a) Menjelaskan suatu fenomena secara ilmiah, dapat dilihat dari kemampuan:
a.(1)Mengingat kembali dan menerapkan ilmu-ilmu ilmiah,
a.(2)Mengidentifikasi, menggunakan dan menggeneralisasikan model-model yang
bersifat menjelaskan dan merepresentasikan,
a.(3)Membuat dan membenarkan prediksi-prediksi dengan tepat,
a.(4)Menawarkan hipotesis dengan penjelasan-penjelasannya ,
a.(5)Menjelaskan penerapan yang potensial dari ilmu-ilmu pengetahuannya untuk
masyarakat,
b) Mengevaluasi dan merancang penyelidikan ilmiah, ditandai dengan kemampuan:
b.(1)Mengidentifikasi pertanyaan penyelidikan yang dari pembelajaran ilmiah,
b.(2)Membedakan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin untuk diselidiki secara
ilmiah,
b.(3)Mengusulkan cara untuk menyelidiki pertanyaan yang diberikan secara ilmiah,
b.(4)Mengevaluasi cara menyelidiki pertanyaan yang diberikan secara ilmiah,
b.(5)Mendeskripsikan dan mengevaluasi cara-cara ilmiah yang digunakan untuk
memastikan reliabilitas data dan objektifitas dan generalisasi dari penjelasan-
penjelasannya.
c) Menginterpretasikan data dan bukti-bukti ilmiah, ditandai dengan kemampuan:
c.(1)Mengubah data dari satu representasi ke representasi yang lain,
c.(2)Menganalisis dan menginterpretasi data dan membuat kesimpulan yang tepat,
c.(3)Mengidentifikasi asumsi-asumsi, bukti-bukti dan alasan-alasan yang
dihubungkan dengan literatur,
c.(4)Membedakan antara argumen yang berdasarkan bukti-bukti ilmiah dan teori yang
keduanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lain,
c.(5)Mengevaluasi argumen ilmiah dan bukti-bukti dari sumber-sumber lain.
4) Aspek Sikap
Sikap-sikap sains berperan penting dalam keputusan peserta didik untuk
mengembangkan pengetahuan sains. Sikap-sikap sains berupa, ketertarikan terhadap sains
dan teknologi, persepsi dan kesadaran akan isu-isu lingkungan. Aspek attitudes meliputi
hubungan timbal balik terhadap sains dan teknologi, menggunakan pendekatan saintifik
dalam investigasi, serta memiliki persepsi terhadap isu kehidupan (Lindner & Kubat,
2014). Literasi sains pada aspek sikap sains meliputi seperangkat sikap terhadap sains
yang ditunjukkan melalui indikator-indikator yaitu: a) minat terhadap sains meliputi rasa
ingin tahu dalam ilmu dan masalah ilmu, kesediaan untuk memperoleh pengetahuan
ilmiah dan keterampilan menggunakan berbagai sumber daya dan metode, serta minat
dalam sains termasuk pertimbangan karir ilmu yang berhubungan; b) menilai pendekatan
ilmiah terhadap suatu inkuiri yang cocok meliputi bukti sebagai dasar keyakinan untuk
penjelasan materi dunia, pendekatan ilmiah untuk penyelidikan serta Valuing kritik
sebagai sarana membangun validitas ide, dan c) persepsi serta kesadaran akan lingkungan
meliputi kepedulian terhadap lingkungan dan hidup berkelanjutan dan disposisi untuk
mengambil dan mempromosikan perilaku ramah lingkungan(OECD, 2019: 23).
Sebagaimana Graber dalam Holrook & Rannikmae (2009: 278) menyatakan orang yang
berliterasi sains tidak hanya mumpuni dalam konten dan proses serta keterampilan sains,
melainkan juga memiliki sikap sains. Norris & Philips (Holbrook & Rabbikmae,
2009:276) menambahkan komponen sikap dalam literasi sains, yaitu: kemandirian dalam
belajar sains, kemampuan untuk berpikir ilmiah, keingintahuan, dan kemampuan untuk
berpikir kritis.
Graber (Holbrook & Rannikmae, 2007: 278) memodelkan literasi sains dengan
keseimbangan antara beberapa kompetensi dan refleksi dari kontribusi pendidikan IPA
ditunjukkan pada gambar berikut:

Gambar 6. Model Literasi Sains menurut Graber


Indikator literasi sains berdasarkan instrumen Test of Scientific Literacy Skills
PISA oleh Gormally (2012) meliputi:
1) Mengidentifikasi argumen ilmiah yang sesuai,
2) Menggunakan pencarian literatur yang efektif,
3) Mengevaluasi penggunaan informasi ilmiah,
4) Memahami elemen desain penelitian dan bagaimana mereka mempengaruhi penemuan
ilmiah,
5) Membuat grafik yang dapat mewakili data,
6) Membaca dan menafsirkan data,
7) Memecahkan masalah menggunakan kemampuan kuantitatif,
8) Memahami dan mampu menafsirkan statistik dasar,
9) Menyajikan kesimpulan, prediksi berdasarkan data kuantitatif
Bybee (2013: 205) menyatakan bahwa kemampuan literasi sains peserta didik
dapat dibedakan dalam beberapa level sebagai berikut.
1) Scientific illiteracy, yaitu peserta didik tidak dapat menghubungkan atau merespon
pertanyaan penjelasan tentang sains. Mereka tidak memiliki kosakata, konsep,
prinsip, ataupun kemampuan kognitif untuk mengidentifikasi pertanyaan secara
ilmiah.
2) Nominal scientific literacy, yaitu peserta didik mengenali konsep yang berhubungan
dengan sains, tetapi level pemahamannya masih mengindikasikan adanya
miskonsepsi.
3) Functional scientific literacy, yaitu peserta didik dapat mendeskripsikan konsep
dengan benar, tetapi pemahamannya terbatas.
4) Conseptual scientific literacy, yaitu peserta didik dapat mengembangkan
pemahaman-pemahamannya dari skema konseptual utama dari disiplin ilmu dan
menghubungkan skema-skema tersebut dengan pemahaman umum mereka tentang
sains. Kemampuan prosedural dan memahami proses penyelidikan ilmiah dan desain
teknologi juga termasuk dalam level literasi ini.
5) Multidimensional scientific literacy, yaitu peserta didik dapat menggabungkan
pemahaman-pemahaman tentang sains yang telah melampaui konsep-konsep disiplin
ilmu ilmiah dan prosedur penyelidikan ilmiah. Hal ini termasuk dimensi filosofis,
historis, dan sosial dari sains dan teknologi. Mereka mulai membuat hubungan antara
disiplin-displin ilmu sains dan antara sains, teknologi, dan isu-isu masyarakat.
Hasil penelitian menunjukkan literasi sains membantu keberhasilan dalam
memahami suatu konsep fisika (McDonald & Dominguez, 2009: 38); literasi sains
mendorong pikiran kreatif dan pengambilan keputusan (Holbrook & Rannikmae, 2009:
281); mendorong tindakan kerjasama dalam kegiatan ilmiah (Crowell & Schunn, 2016:
129). Namun, dalam hal literasi sains peserta didik Indonesia masih memiliki prestasi
rendah. Data PISA (The Programme for International Student Assessment) menunjukan
literasi sains peserta didik dalam aspek sikap sains menunjukkan peserta didik di sekolah
menengah cenderung memiliki sikap negatif dalam pembelajaran sains, dimana ukuran
minat dan kesadaran belajar sains peserta didik rendah (OECD, 2019). Berdasarkan
beberapa kajian literatur juga menunjukkan rendahnya kemampuan literasi sains peserta
didik secara umum disebabkan oleh kegiatan pembelajaran yang belum berorientasi pada
pengembangan literasi sains, pemilihan metode dan model pengajaran menfasilitasi
literasi sains, sarana dan fasilitas belajar, serta bahan ajar berbasis literasi sains untuk
peserta didik masih kurang (Budiningsih, Rusilowati, & Marwoto, 2015; Kurnia &
Fathurohman, 2014).
Berdasarkan kajian teori yang dijabarkan, maka literasi sains yang diukur pada
kompetensi sikap dalam literasi sains dan dikembangkan dari indikator yang telah ada
dan merujuk pada indikator kompetensi sikap literasi sains PISA. Adapun indikator sikap
literasi sains meliputi: 1) ketertarikan/minat terhadap sains, 2) menilai pendekatan ilmiah
terhadap suatu inkuiri yang cocok, dan 3) persepsi dan kesadaran akan lingkungan

B. Kajian Penelitian Yang Relevan


Beberapa penelitian relevan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Diah Susanti (2019) dengan judul “Pengembangan
Perangkat Pembelajaran Model Project-Based Learning (PjBL) terintegrasi
Pendekatan Science, Technology, Engineering, Mathematics (STEM) untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Literasi Sains Peserta didik
Kelas V Sekolah Dasar”. Hasil penelitian menunjukkan (1) Perangkat
pembelajaran model PjBL yang dikembangkan layak untuk digunakan oleh peserta
didik berdasarkan penilaian para reviewer; (2) Perangkat pembelajaran model PjBL
yang dikembangkan efektif dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
peserta didik, yang dibuktikan n-gain score sebesar 0,49 dengan kategori sedang;
(3) Perangkat pembelajaran model PjBL yang dikembangkan juga efektif secara
signifikan dalam meningkatkan literasi sains peserta didik, yang terbukti dari hasil
perhitungan n-gain score sebesar 0,64 dengan kategori sedang.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Yuberti, Komikesari dan Lubis (2022) berjudul
“Developing STEM-Based Interactive E-Books to Improve Students’ Science
Literacy”. Temuan ini menunjukkan bahwa e-book interaktif berbasis STEM
efektif meningkatkan literasi sains peserta didik, dengan skor N-gain 0,56 dalam
kategori sedang. Berdasarkan validasi ahli, e-book yang dikembangkan
memperoleh persentase 82,33 % dari para ahli materi, 86,38 % dari para ahli
media, 80,00 % dari para ahli IT, dan 88,09 % dari para ahli instrumen tes literasi
sains. Semua kategori memiliki kriteria yang sangat layak. Persentase tanggapan
peserta didik terhadap daya tarik e-book adalah 87,02 %.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Yulia Pratiwi (2021) yang berjudul “Pengembangan
E-book Fisika Berbasis Pendekatan STEM (Science, Technology, Engineering and
Mathematics) untuk Meningkatkan Kompetensi Pengetahuan Peserta Didik SMA
Kelas X”. Hail penelitian diperoleh bahwa e-book berbasis pendekatan STEM
berada pada kategori valid dengan nilai rata-rata 0,90. Uji praktikalitas penggunaan
e-book oleh pendidik dan peserta didik masing-masing memperoleh nilai rata-rata
95,31% dan 92,64% dengan kategori sangat praktis. Penggunaan e-book berada
pada kriteria efektif, hal ini terlihat pada peningkatan kompetensi pengetahuan
dengan perolehan nilai N-Gain sebesar 0,67 berada pada kategori sedang.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Novelia, Raihanati & Fahdiran(2022) yang berjudul
“Pengembangan E-Modul Fisika Dengan Pendekatan Science, Technology,
Engineering, Mathematic (STEM) Berbasis Project Based Learning (Pjbl) Pada
Materi Medan Magnet”. Hasil penelitian menunjukkan E-modul ini dapat diakses
menggunakan laptop atau smartphone yang terhubung dengan jaringan internet. E-
modul yang dihasilkan memberikan hasil validasi yang layak untuk digunakan
dalam membantu proses pembelajaran. Terdapat peningkatan dalam penilaian hasil
belajar peserta didik pada topik yang dibahas
5. Penelitian yang dilakukan oleh Astutik & Fajriyah (2021) dengan judul “Efektifitas
Perangkat Pembelajaran Fisika Model Project Based Learning (PjBL) Untuk
Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Materi Elastisitas”. Diperoleh hasil
penelitian bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan memenuhi kriteria
keefektifan, sehingga perangkat
pembelajaran tersebut efektif untuk meningkatkan keterampilan proses sains
peserta didik.
6. Hasil penelitian Afriana, Permanasari, & Fitriani (2016) dengan judul “Project
Based Learning Integrated to STEM Enhance Secondary School’s Students
Scientific Literacy”. Hasil Penelitian mengungkapkan bahwa literasi sains peserta
didik di kelas yang menggunakan PjBL-STEM lebih tinggi sebesar 0,31 jika
dibandingkan dengan kelas yang tidak menggunakan. Selain itu hampir seluruh
peserta didik sangat antusias menggunakan model pembelajaran PjBL terintegrasi
pendekatan STEM.

C. Kerangka Berpikir
Dalam proses pembelaajran fisika, kompetensi hasil belajar menjadi bagian penting
yang diperhatikan dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dalam
Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD) dan indikator pembelajaran. Secara
ideal, dalam pelaksanaan proses pembelajaran fisika harus terdapat keseimbangan antara
ketiga kompetensi pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk mengembangkan soft
skills dan hard skills peserta didik. Sehingga penilaian pencapaian kompetensi fisika pada
peserta didik jelas tidak hanya pada dimensi kemampuan pengetahuan namun juga dalam
dimensi keterampilan dan sikap.
Pemahaman konsep fisika adalah kemampuan aspek kognitif yang penting
diperlihatkan peserta didik dalam pembelajaran fisika. Kemampuan Pemahaman konsep
menjadi sangat penting untuk dikuasai peserta didik dalam kurikulum 2013. Namun
penguasaan peserta didik terhadap materi konsep – konsep fisika masih lemah bahkan
dipahami dengan keliru. Sebagian besar peserta didik tidak memahami keterkaitan
antar konsep fisika sehingga ditemukan kesulitan dan kesalahan dalam memecahkan
masalah fisika. Salah satunya miskonsepsi pada materi elastisitas pada pembelajaran
fisika.
Salah satu keterampilan yang perlu dimiliki untuk membekali peserta didik dalam
mengahadapi karakteristik pendidikan dan tantangan abad ke-21 adalah literasi sains.
Namun, dalam hal literasi sains peserta didik masih rendah diantaranya sikap sains
menunjukkan peserta didik di sekolah menengah cenderung memiliki sikap negatif dalam
pembelajaran fisika, dimana ukuran minat dan kesadaran belajar fisika peserta didik
rendah.
Oleh karena itu, mengintegrasikan media pembelajaran atau perangkat
pembelajaran yang menfasilitasi kemampuan pemahaman konsep fisika dan literasi sains
peserta didik menjadi salah satu alternatif dalam keberhasilan pembelajaran fisika.
perangkat pembelajaran berbasis pendekatan atau model pembelajaran sangat mendukung
proses pembelajaran berupa ketersediaan e-book pembelajaran fisika. Salah satunya
dengan penggunaan e-book berbasis STEM-PjBL (Science, Technology, Engineering, and
Mathematics – Project Based Learning). Bahan ajar elektronik berbasis STEM-PjBL
menjadi solusi alternatif untuk melatih kemampuan pemahaman konsep fisika dan literasi
sains peserta didik. Berikut dapat dilihat pada Gambar 7. bagan dari kerangka berpikir
dalam penelitian ini.
Gambar 7. Kerangka Berpikir

D. Pertanyaan Penelitian
Adapun pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian pengembangan e-book berbasis
STEM-PJBL untuk meningkatkan pemahaman konsep fisika dan literasi sains pada
materi pembelajaran fisika adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana kualitas e-book fisika berbasis STEM-PJBL yang layak meningkatkan
pemahaman konsep fisika dan literasi sains peserta didik pada materi Elastisitas
kelas X SMA Negeri 3 Tarakan menurut ahli materi?
2. Bagaimana kualitas e-book fisika berbasis STEM-PJBL yang layak meningkatkan
pemahaman konsep fisika dan literasi sains peserta didik pada materi Elastisitas
kelas X SMA Negeri 3 Tarakan menurut ahli media?
3. Bagaimana kualitas e-book fisika berbasis STEM-PJBL yang layak meningkatkan
pemahaman konsep fisika dan literasi sains peserta didik pada materi Elastisitas
kelas X SMA Negeri 3 Tarakan ditinjau dari aspek kepraktisan guru dan peserta
didik?
4. Bagaimana efektifitas kualitas e-book fisika berbasis STEM-PJBL untuk
meningkatkan pemahaman konsep fisika peserta didik pada materi Elastisitas kelas
X SMA Negeri 3 Tarakan?
5. Bagaimana efektifitas e-book fisika berbasis STEM-PJBL untuk meningkatkan
literasi sains pesserta didik pada materi Elastisitas kelas X SMA Negeri 3 Tarakan?

Anda mungkin juga menyukai