Anda di halaman 1dari 8

ARAH BARU AJARAN ISLAM : PARADIGMA INTEGRASI

INTERKONEKSI

Dosen Pengampu: Hlmi Firdausy S.Ag, M.A


Kelompok 10 :
Meylin Tri Anggraeni 11200360000098
Mochammad Gibran Pujani 11200360000100
Muhammad Faruq Abyan 11200360000102

PEMBAHASAN
A. Pengertian Integrasi Interkoneksi
Secara etimologis, integrasi merupakan kata serapan dari
bahasa Inggris–integrate;integration-yang kemudian diadaptasi
ke dalam bahasa Indonesia menjadi integrasi yang menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) integrasi yaitu pembaruan hingga
menjadi kesatuan yang utuh dan bulat1. Sehingga integrasi ilmu
adalah pemaduan antara ilmu-ilmu yang terpisah menjadi satu
kepaduan ilmu, dalam hal ini penyatuan antara ilmu- ilmu yang
bercorak agama dengan ilmu-ilmu yang bersifat umum.
Keterpaduan antara ilmu agama dan ilmu umum perlu
mendapat perhatian yang khusus terutama berkenaan dengan
pendidikan agama Islam. Hal tersebut untuk membina iman dan
taqwa dengan penggalian berbagai teori ilmu pengetahuan tidak
cenderung diarahkan untuk mencerdaskan anak didik semata. Akan
tetapi diharapkan mampu memadukan pendidikan agama dengan

1
Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Gitamedia Press), tt, h. 348
ilmu pengetahuan lainnya, yang selanjutnya dihayati dan
diamalkan dalam kehidupan. Meninjau betapa urgennya kapasitas
agama dalam kehidupan manusia, maka sepatutnya agama
dikembangkan sebagai basic nilai pengembangan ilmu. Karena
perkembangan ilmu yang tanpa dibarengi dengan kemajuan nilai
religinya, menyebabkan terjadinya gap/jurang.
Integrasi menurut Minhaji berasal dari kata kerja to
integrate, yang berarti:” to join to something else so as to form a
whole” yang artinya untuk menjadi sesuatu bentuk dalam
keseluruhan atau “to join in society as a whole, spend time with
members of other groups and develop habits like theirs” yang
artinya untuk menjadi atau ikut serta dalam perkumpulan dalam
keseluruhan, menghabiskan waktu dengan anggota lainnya dan
mengembangkan kebiasaan seperti mereka. Bisa juga berarti “to
bring (parts) together into a whole” yang artinnya untuk
membawa (anggota-anggota) bersama dalam keseluruhan atau “to
remove barriers imposing segregation upon (racial groups)” yang
artinya untuk memindahkan penghalang-penghalang dengan
memisahkan menjadi kelompok-kelompok kecil. Dari kata kerja to
integrate inilah lahir kata benda integration dan kata sifat
integrative dan juga integrated2
Jadi kata integrasi bisa diartikan sebagai penyatuan dua
atau lebih hal-hal yang berbeda sehingga menjadi suatu kesatuan
yang utuh. Sedangkan kata interkoneksi dalam Kamus Ilmiah
Populer mengandung arti hubungan antara satu dengan

2
Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Suka Press, 2013),
hal 85.
lainnya.3 Minhaji menjelaskan pula untuk makna interkoneksi yaitu
dari dua akar kata: inter dan connect. Inter merupakan bentuk prefix
yang berarti between atau among (a group), inter disini dimaknai
sebagai among (diantara banyak pihak: triadik), bukan between (di
antara dua pihak: diadik), sebab interkoneksi menggunakan pilar
tridik, yaitu triple hadarah, Sedangkan connect adalah: to join,
unite, atau link, dan dari sini kemudian muncul pemahaman “to
think of as related”, to associate in the mind. Dari sini muncul kata
sifat berupa connective, karena connective pasti kata sifat,
sedangkan connected bisa kata sifat dan bisa juga kata kerja
dalam tense masa lampau (past). Atas dasar ini semua maka
kemudian dikenal istilah an integrated dan interconnected
approach (pendekatan integrasi-interkoneksi)4.
B. Paradigma Integrasi dan Interkoneksi
Fenomena dikotom ilmu telah mengusik pikiran Amin
Abdullah terhadap persoalan masyarakat, untuk meluruskan dan
membenahi beberapa persoalan, Amin Abdullah mengemukakan
prespektifnya dalam Paradigma Integrasi-Interkonektif yang mana
pemikiran Amin Abdullah sangat dipengaruhi oleh Muhammad
‘Abid al-Jabiri yang mengemukakan epistimologi menjadi tiga
bagian.
Menurut Muhammad Abid al-Jabiri, ada tiga model
epistemologis yang berlaku di kalangan Arab-Islam yaitu epistem
bayani, irfani dan burhani. al-Jabiri membedakan antara ketiga
epistemologi tersebut, bahwa bayani menghasilkan pengetahuan

3
Heppy El Rais, Kamus Ilmiah Populer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012
4
Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi..., hal. 85.
lewat analogi realitas non fisik atas realitas fisik (qiyas al-ghayb
‘ala al-shahid) atau meng-qiyaskan furu’ kepada asl, dan bayani
ialah pemikiran yang menekankan pada teks, nas sebagai sumber
pengetahuan bayani adalah al-Qur’an dan Hadis. ‘irfani yaitu
pemikiran berdasarkan pengalaman atau proses nalar berdasarkan
pada ilham dan kasyf sebagai sumber pengetahuan, pengetahuan
ruhani diperoleh melalui tiga tahap, yaitu persiapan, penerimaan
dan pengungkapan baik secara lukisan maupun tulisan. sedangkan
burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika
atas pengetahuan sebelumnya yang diyakini validitasnya.5
M. Amin Abdullah menilai bahwa keilmuan Islam
memiliki karakteristik yang berbeda dengan keilmuan Barat.
Perdebatan, pergumulan dan perhatian keilmuan di Barat lebih
terletak pada wilayah natural sciences dan sebagian pada wilayah
humanities dan social sciences, sedang kan keilmuan Islam lebih
terletak pada wilayah classical humanities. Jika filsafat ilmu di
Barat dikembangkan dengan perangkat rasionalisme, empirisme
dan pragmatisme, maka, karena perbedaan karakteristik tersebut,
menurut Amin Abdullah pengembangan keilmuan Islam (Islamic
Studies) ke depan harus dikembangkan dengan epistemologis yang
khas, salah satunya dengan meneruskan apa yang disebut al-Jabiri
dengan epistemologi bayani, ‘irfani dan burhanî.6
Jika al-Jabiri menawarkan konsep i’adat ta’sis al-bayan‘ala
alburhan, memperkuat epistemologi bayani dengan epistemologi

5
Al-Jabiri, Ishkaliyyat al-Fikr al-‘Arabi al- Mu’asir (Beirut: Markaz Dirasah al-‘Arabiyah,
1989). Hal.59
6
Amin Abdullah, Al-Takwin al-‘Ilmiy, hal.200-201
burhani, dengan tanpa melibatkan epistemologi ‘irfani, maka
dalam rangka pengembangan Islamic Studies, M. Amin Abdullah.
menawarkan gagasan bagaimana ketiga epistemologi bayani,
‘irfani dan burhani bisa berdialog antara yang satu dengan yang
lain dengan pola hubungan yang bersifat sirkuler.
Pemikiran al-Jabiri banyak dilatar belakangi oleh ajaran
Marxime yang mashyur pada masanya. Al-Jabiri sebagai seorang
yang lahir di negara bekas protektoriat Prancis, al-Jabiri tidak
mengalami kesulitan untuk memahami buku atau pemikiran
berbahasa Prancis, oleh karena itu al-Jabiri banyak menggunakan
pemikiran kaum strukturalis maupun kaum post-modernis yang
sebgaian besar lahir di Prancis.
Amin Abdullah menggagas Paradigma Integrasi-
Interkoneksi, Integrasi secara bahasa berasal kata (To Integrate)
yang mana muncul kata Integration. Sedangkan, Interkoneksi
secara bahasa berasal dari kata (Inter dan Connect) menjadi kata
Connection. Sehingga, Integrasi dapat diartikan dengan
“menghubungkan dan sekaligus menyatukan antara dua hal atau
lebih”, Interkoneksi adalah “mempertemukan atau
menghubungkan dua hal atau lebih”
Paradigma Integrasi-Interkoneksi yang mana tujuannya
untuk menyatukan kembali atau menjadikan kedua ilmu ini saling
berkaitan satu sama lain tidak berdiri sendiri.
C. Model-Model Kajian Integrasi-Interkoneksi
Model kajian integrasi-interkoneksi ini merupakan pintu
masuk praktek pengkajian keilmuan berparadigma integrasi-
interkoneksi. Dalam kaitan konstruksi keilmuan integratif-
interkonektif, model kajian menduduki peran sebagai (entrance).
Ibarat sebuah bangunan, apabila pondasi sudah ditanam
(foundation), dan tiang penyangga (stanchion) sudah berdiri tegak,
dinding sudah didirikan (wall), dan atap sudah terpasang (roof),
namun jika tidak ada pintu-pintu untuk masuk (enterances), maka
bangunan tersebut tidak akan bisa digunakan.
Dalam model kajian integrasi-interkoneksi yang telah
diuraikan pada bab sebelumnya, nampaknya model kajian yang
relevan dengan terma integrasiinterkoneksi dan sangat mungkin
untuk diimplementasikan dalam aktivitas pembelajaran di kelas
maupun aktivitas penelitian yakni;
a. Informatif, model kajian ini bagus untuk memperluas wacana
dan pengetahuan mahasiswa. Dengan memberikan informasi-
informasi dari disiplin atau bidang ilmu pengetahuan lain yang
masih relevan dengan terma pembahasan utama, hal ini
mendorong mahasiswa untuk memiliki wawasab
multidisipliner. Sehingga mahasiswa dalam memandang suatu
permasalahan bisa dengan berbagai sudut pandang yang
kompleks dan komprehensif, dengan ini kesempitan pandangan
dan perspektif mahasiswa dapat diatasi.
b. Konfirmatif (Klarifikatif), metode kajian ini menuntut adanya
suatu cross check antara satu teori atau penemuan dalam satu
bidang ilmu pengetahuan dengan teori atau penjelasan-
penjelasan yang ada dalam tubuh ilmu pengetahuan lain.
Melalui metode ini sebuah kekeliruan bahkan hal yang
berujung kontradiktif akan dapat dihindari. Selain itu, dengan
konfirmasi ini sebuah teori akan mendapatkan keabsahan dari
ilmu pengetahuan lain.
c. Korektif, dengan model kajian korektif ini, setiap teori-teori
ilmu pengetuahuan dari satu tubuh ilmu pengetahuan harus di
hadapkan dengan teori lain, sehingga koreksi akan teori baru
tersebut dapat dilakukan.
d. Komplementasi, model kajian ini mengarahkan pada proses
integrasi sebuah ilmu, dengan menambahkan informasi dan
dasar bagi sebuah teori, di mana penambahan itu saling timbal
balik dan bergantian, ada kalanya penambahan nilai-nilai atau
wawasan agama dalam ilmu lain, atau sebaliknya penambahan
itu terjadi dari ilmu-ilmu umum untuk ilmu-ilmu keagamaan.
e. Komparasi, dengan cara membandingkan antara teori dalam
ilmu umum dengan teori dalam ilmu keislaman tentang gejala
yang sama akan menemukan kepastiaan teori manakah yang
sesuai dengan semangat keislaman dan mana 74 yang tidak,
yang pada tahap selanjutnya akan memberikan arahan untuk
memilih mana yang patut untuk dikembangkan dalam
pendidikan Islam.
f. Induktifikasi, dengan cara membuktikan asumsi-asumsi dasar
dari teori umum yang didukung oleh temuan empirik dan
kemudian dilanjutkan pemikirannya pada teoritis abstrak ke
arah metafisis / ghaib, maka hal ini akan memberikan dasar
nilai transendental dan/atau segi normativitas dari teori
tersebut, dengan ini pula sebuah ilmu akan memiliki segi
aksiologis dalam konteks nilai kebenaran agama.
g. Verifikasi, model ini mensyaratkan adanya pembuktian
kembali baik itu dari teori umum diverifikasikan dengan
sumber ajran agama (al-Qur‟an) atau dari sumber ajaran al-
Qur‟an diverifikasikan dengan temuan-temuan ilmiah yang
ada. Dari dua arah metode ini, keduanya bisa dijadikan metode
untuk membuktikan kebenaran al-Quran juga kebenaran
temuan ilmiah yang sesuai dengan informasi dari sumber ajaran
Islam. Model ini juga bisa digunakan untuk objektivikasi ilmu-
ilmu keislaman.

Dari beberapa model kajian integrasi-interkoneksi tersebut,


hanya komplementatif saja yang menurut penulis bisa dijadikan
kajian integrasi, sedang yang lainnya lebih condong pada kajian
interkonektif.

Anda mungkin juga menyukai