Anda di halaman 1dari 10

© 2020 International Journal of Nursing and Midwifery Science (IJNMS)

This is an Open Access article distributed under the terms of the Creative Commons
Attribution 4.0 International License which permits unrestricted non-commercial use,
distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly
cited.
http://ijnms.net/index.php/ijnms e- ISSN: 2686-2123
p- ISSN: 2686-0538
ORIGINAL RESEARCH

HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN TINGKAT


KECEMASAN PASIEN PADA MASA PANDEMI
COVID-19

Vinda DwiNurmasari1, Windu Santoso2, Emyk Windartik3.


1
STIKESBina Sehat PPNI Mojokerto
2
STIKES Bina Sehat PPNI Mojokerto
3
STIKES Bina Sehat PPNI Mojokerto
Email : windusantoso36@gmail.com

ABSTRAK Kata Kunci

Komunikasi terapeutik sangat penting untuk membantu kesembuhan pasien,


tapi kenyataannya tidak semua perawat memberikan penjelasan dan informasi secara
detail tentang penyakit pasien yang dapat meningkatkan kecemasan pasien. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat
kecemasan pasien pada masa pandemi COVID-19. Desain penelitian ini menggunakan
analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh pasien rawat inap dewasa di RSUD Dr. R.A Basoeni Kabupaten Kota
komunikasi
Mojokerto pada bulan Juli 2021 sejumlah 103 orang. Teknik sampling penelitian ini
terapeutik,
adalah accidental sampling. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 30 orang.
kecemasan,
Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dalam bentuk kuesioner. Analisa data
pandemi
menggunakan Spearman Rho. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar
COVID-19
responden mengalami menilai komunikasi terapeutik perawat baik, yaitu 21 orang
(70%), dan hampir seluruh responden mangalami kecemasan ringan, yaitu 25 orang
(83,3%). Analisa data dengan uji Spearman Rho didapatkan p value sebesar 0,000
kurang dari α (0,05) dan nilai koefisien kolerasi 0,683 sehingga ada hubungan yang
kuat antara komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pada masa pandemi
COVID-19 Komunikasi terapeutik penting agar dapat memahami kondisi pasien yang
dapat menurunkan kecemasan pasien sehingga dapat mempercepat kesembuhan pasien.

ABSTRACT Keywords

Therapeutic communication is very important to help patients recover, but in


reality not all nurses provide detailed explanations and information about the
patient's illness that can increase patient anxiety. This study aims to determine the
nurse's therapeutic communication with the patient's level of anxiety during the
COVID-19 pandemic. This research design used correlation analytic with cross
therapeutic
sectional approach. The population in this study was all adult inpatients at RSUD Dr.
communication,
R.A Basoeni, Mojokerto City Regency, in July 2021 as many as 103 people. The
anxiety,
sampling technique of this research was accidental sampling. The sample in this
COVID-19
study was 30 people. The research instrument used a questionnaire in the form of a
pandemic
questionnaire. Data analysis used Spearman Rho. The results suggested that most of
the respondents rated the nurse's therapeutic communication as good, as many as 21
people (70%), and almost all respondents experienced mild anxiety, as many as 25
people (83.3%). Analysis of the data with the Spearman Rho test obtained a p value of
0.000 less than (0.05) and a correlation coefficient value of 0.683 so that there was a

113
Inter na t io na l Jo ur na l o f Nur si ng a nd M idwifer y Sci ence (IJNM S),Volume 4,
Iss ue 2, August 2020
strong relationship between therapeutic communication and anxiety levels during the
COVID-19 pandemic. Therapeutic communication is important in order to
understand the patient's condition which can reduce patient anxiety so that it can
accelerate the patient's recovery

PENDAHULUAN
Coronavirus disease 2019 atau disebut juga COVID-19 saat ini menjadi pandemi hampir
di seluruh negara di dunia (Banerjee, 2020). Saat ini, kekhawatiran kita meningkat terkait terus
menyebarnya wabah COVID-19 di beberapa bagian dunia dan tantangan dalam menekan
penyebaran wabah ini di bagian-bagian lain (ILO, 2020). Kasus penyakit yang parah dapat
menyebabkan jantung, dan gagal napas, sindrom pernapasan akut, atau bahkan kematian
(Holshue et al., 2020). COVID-19 juga dapat berdampak serius pada kesehatan mental
masyarakat. Orang lebih mungkin mengalami ketakutan sakit atau sekarat, merasa tidak
berdaya, dan distereotipkan oleh orang lain (Huang & Zhao, 2020). Pandemi telah berdampak
buruk pada kesehatan mental masyarakat yang bahkan dapat menyebabkan krisis psikologis
(Xiang et al., 2020).
Krisis psikologis tersebut dipicu oleh ketakutan dan kecemasan (Zhang et al., 2020). Hal
ini membutuhkan pemberian informasi yang benar melalui komunikasi antara perawat dan
pasien untuk menunjang kesembuhan pasien atau biasa disebut komunikasi terapeutik,
meskipun tidak semua perawat memberikan penjelasan dan informasi secara detail tentang
penyakit pasien yang dapat meningkatkan kecemasan pasien (Anjaswarni, 2016). Kecemasan
saat ini juga disebabkan karena pemberitaan tentang kasus penularan dan kematian akibat
COVID-19 yang semakin meningkat terus menyebar mendatangkan rasa takut dan kecemasan
terlebih bagi pasien rawat inap (WHO, 2020).
Sumber data WHO dan PHEOC Kemenkes tanggal 18 November 2020 menyatakan
bahwa Situasi Global Total kasus konfirmasi COVID-19 global per tanggal 18 November 2020
adalah 55,326,907 kasus dengan 1,333,742 kematian (CFR 2,4%) di 219 Negara Terjangkit dan
178 Negara Transmisi lokal. Data di Indonesia pada tanggal yang sama menunjukkan terdapat
3.456.835 kasus dengan spesimen diperiksa, 483.518 kasus konfirmasi (+4.798), 15.600 kasus
meninggal (3,2 %), 406.612 kasus sembuh (84,1 %), dan 61.306 kasus aktif (12,7 %)
(Kemenkes RI, 2021). Hasil penelitian Suwandi dan Malinti (2020) di SMA Advent Balikpapan
menunjukkan bahwa mayoritas 70% mengalami kecemasan ringan, dan sebagian kecil
mengalami kecemasan berat sebanyak 8,3% tentang pandemi COVID 19 (Suwandi & Malinti,
2020). Hal ini didukung oleh penelitian Rinaldi dan Yuniasanti (2020) tentang kecemasan di
masyarakat dalam pendemi COVID 19 menunjukkan bahwa tingkat kecemasan baik dialami
oleh 7,6% partisipan, tingkat kecemasan sedang pada 28,1%, dan kurang 64,3% (Rinaldi &
Yuniasanti, 2020).
Hasil studi pendahuluan di RSUD Dr. R.A Basoeni Kabupaten dengan cara wawancara
pada 7 pasien rawat inap menunjukkan bahwa 5 orang (71,4%) mengatakan bahwa mereka
sangat cemas dengan kondisi pandemi COVID-19 saat ini karena penularan yang sangat cepat
dan di Rumah Sakit banyak dirawat pasien COVID-19 sehingga takut tertular, sedangkan 2
orang (28,6%) mengatakan bahwa COVID-19 memang sangat mengancam, tetapi berserah diri
kepada yang Kuasa, tidak terlalu memikirkan tentang perkembangan COVID-19 agar tidak
takut, karena dapat menurunkan imunitas tubuhnya. Saat ditanya tentang bagaimana komunikasi
dengan perawat, 4 orang mengatakan bahwa perawat menjelaskan tentang COVID-19, bahwa
pasien biasa dipisah dari pasien COVID-19, sehingga pasien tidak perlu cemas atau khawatir
tertular, perawat COVID dan pasien biasa juga berbeda, sedangkan 3 orang mengatakan bahwa

114
Int er na t io na l Jo ur na l o f Nur si ng a nd M idwifer y Sci ence (IJNM S),Volume 4,
Iss ue 2, August 2020
perawat hanya datang untuk memberikan obat, tetapi tidak menjelaskan jika tidak ditanya oleh
pasien sehingga membuat pasien khawatir.
Kecemasan yang dialami dapat terjadi karena informasi yang didapatkan berlebihan,
dalam konteks masa pendemi ini rasa cemas muncul karena masyarakat menganggap virus
corona sebagai ancaman terhadap kesehatannya. Kecemasan datang karena takut terinfeksi virus
corona yang semakin hari banyak menginfeksi orang dan kematian yang semakin meningkat
(Supriyadi & Setyorini, 2020). Ketidaktahuan masyarakat tentang risiko terpapar juga
menyebabkan timbulnya kecemasan tentang pandemi COVID 19 sehingga membutuhkan
komunikasi terapuetik dari perawat (Rinaldi & Yuniasanti, 2020). Komunikasi terapeutik
merupakan komunikasi yang terjadi antara petugas medis/kesehatan dengan pasien. Komunikasi
ini umumnya lebih terjalin akrab secara emosional karena mempunyai tujuan berfokus pada
pasien yang membutuhkan bantuan. Petugas medis secara aktif mendengarkan dan memberi
respon kepada pasien dengan cara menunjukkan sikap mau menerima dan mau memahami
sehingga dapat mendorong pasien untuk berbicara secara terbuka tentang dirinya. Komunikasi
terapeutik penting agar dapat memahami kondisi pasien yang dapat menurunkan kecemasan
pasien sehingga dapat mempercepat kesembuhan pasien (Anjaswarni, 2016). Pasien yang
mengalami kecemasan lebih cenderung mengalami sensasi jasmaniah seperti gangguan sistem
saraf pusat akan membuat individu mengalami peningkatan hormon sehingga merasakan gejala
seperti sakit kepala, pusing, dan depresi dan tanda-tanda terancam. Kecemasan bila berlanjut
dapat mempengaruhi status kesehatan serta dapat mengubah prosedur diagnosa yang telah
ditentukan (Keliat et al., 2015).
Upaya untuk mencegah dan mengatasi kecemasan adalah meningkatkan komunikasi
terapeutik (Asrori, 2015). Pasien perlu mendapatkan komunikasi teraputik yang baik oleh
perawat. Komunikasi sebagai elemen terapi sangat nyata sekali dilakukan dalam perawatan pada
pasien yang mengalami masalah psikososial atau mengalami kecemasan. Untuk mengubah dan
membantu proses adaptasi pasien yang mengalami kecemasan, satu-satunya alat kerja yang
efektif untuk mencapai kesembuhan pasien adalah komunikasi yang dilakukan perawat.
Komunikasi yang dilakukan perawat, baik verbal maupun nonverbal, dapat memberikan
kesembuhan buat klien (Anjaswarni, 2016). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti
tertarik untuk meneliti tentang hubungan komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat
kecemasan pasien pada masa pandemi COVID-19.

METODE
Desain penelitian ini menggunakan analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien rawat inap dewasa di RSUD Dr. R.A
Basoeni Kabupaten Kota Mojokerto pada bulan Juli 2021 sejumlah 103 orang. Teknik
sampling penelitian ini adalah accidental sampling. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 30
orang. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dalam bentuk kuesioner komunikasi
terapeutik yang terdiri dari 14 pernyataan menggunakan skala Likert yang dikriteriakan menjadi
Baik: jika skor 61-80, Cukup: jika skor 41-60, dan Kurang: jika skor 20-40. Kuesioner HARS
untuk mengidentifikasi kecemasan yang dikriteriakan menjadi Tidak ada kecemasan : Kurang
14, Kecemasan ringan : 14-20, Kecemasan sedang: 21-27, Kecemasan Berat: 28-41, dan
Kecemasan panic: 42-56. Analisa data menggunakan Spearman Rho.

115
Inter na t io na l Jo ur na l o f Nur si ng a nd M idwifer y Sci ence (IJNM S),Volume 4,
Iss ue 2, August 2020
HASIL PENELITIAN
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik di RSUD R.A Basoeni
Mojokerto pada bulan Juli 2021
Karakteristik Kriteria Frekuensi Persentase (%)
Usia 17-25 tahun 0 0
26-35 tahun 7 23,4
36-45 tahun 19 63,3
46-55 tahun 4 13,3
56-65 tahun 0 0
17-25 tahun 0 0
Pendidikan SD 0 0
SMP 3 10,0
SMA 25 83,3
Perguruan Tinggi 2 6,7
Jenis Kelamin Laki-laki 8 26,7
Perempuan 22 73,3
Riwayat Penyakit Ada riwayat penyakit kronis 7 23,3
Tidak ada riwayat penyakit kronis 23 76,7
Jumlah 30 100
Sumber: Data Primer, 2021
Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia 36-45 tahun, yaitu 19
orang (63,3%), hampir seluruh responden berpendidikan SMA, yaitu 25 orang (83,3%),
sebagian besar responden adalah perempuan yaitu 22 orang (73,3%), hampir seluruh responden
tidak mempunyai riwayat penyakit kronis yaitu 23 orang (76,7%).

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Variabel di RSUD R.A Basoeni Mojokerto
pada bulan Juli 2021
Variabel Kriteria Frekuensi Persentase (%)
Komunikasi Terapeutik Baik 21 70,0
Cukup 9 30,0
Kurang 0 0
Tingkat Kecemasan Tidak ada kecemasan 0 0
Kecemasan ringan 25 83,3
Kecemasan sedang 5 16,7
Kecemasan berat 0 0
Panik 0 0
Sumber: Data Primer, 2021
Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden menilai komunikasi terapeutik
perawat baik, yaitu 21 orang (70%), dan hampir seluruh responden mengalami kecemasan
ringan, yaitu 25 orang (83,3%).

Tabel 3 Tabel Silang Hubungan Komunikasi terapeutik dengan Tingkat Kecemasan Pasien pada
Masa Pandemi COVID-19 Di RSUD R.A Basoeni Mojokerto
Komunikasi Tingkat Kecemasan Total
Terapeutik Tidak ada Ringan Sedang Berat Panik
F % F % F % F % F % F %
Baik 0 0 21 100 0 0 0 0 0 0 21 100
Cukup 0 0 4 44,4 5 55,6 0 0 0 0 9 100
Kurang 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 0 0 25 83,3 5 16,7 0 0 0 0 30 100
Sumber: Data Primer, 2021

116
Int er na t io na l Jo ur na l o f Nur si ng a nd M idwifer y Sci ence (IJNM S),Volume 4,
Iss ue 2, August 2020
Tabel 3 menunjukkan bahwa seluruh responden yang menilai komunikasi terapeutik baik
mengalami kecemasan ringan, yaitu 21 dari 21 orang (100%), dan sebagian besar yang menilai
komunikasi terapeutik cukup mengalami kecemasan sedang, yaitu 5 dari 9 orang (55,6%).
Hasil analisa Uji Spearman Rho didapatkan p value sebesar 0,000 kurang dari α (0,05)
dan nilai koefisien kolerasi 0,683 sehingga ada hubungan komunikasi terapeutik dengan tingkat
kecemasan pada masa pandemi COVID-19 di RSUD R.A Basoeni Mojokerto.

PEMBAHASAN
1. Komunikasi terapeutik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami menilai
komunikasi terapeutik perawat baik, yaitu 21 orang (70%), dan yang menilai sedang yaitu 9
orang (30%).
Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang terjadi antara petugas
medis/kesehatan dengan pasien. Komunikasi ini umumnya lebih terjalin akrab secara
emosional karena mempunyai tujuan berfokus pada pasien yang membutuhkan bantuan.
Petugas medis secara aktif mendengarkan dan memberi respon kepada pasien dengan cara
menunjukkan sikap mau menerima dan mau memahami sehingga dapat mendorong pasien
untuk berbicara secara terbuka tentang dirinya. Komunikasi terapeutik penting agar dapat
memahami kondisi pasien yang dapat menurunkan kecemasan pasien sehingga dapat
mempercepat kesembuhan pasien (Anjaswarni, 2016). Komunikasi terapeutik dipengaruhi
oleh perbedaan bahasa, perbedaan pendidikan antara perawat dan pasien, skor pandangan
pasien yang dirasakan, faktor terkait pasien: Ini mengacu pada keakraban dengan tugas
perawat (Fite et al., 2019). Komunikasi terapeutik juga dipengaruhi oleh lama bekerja
peningkatan keterampilan komunikasi terapeutik terjadi pada perawat yang memiliki
pengalaman mempraktikkan komunikasi terapeutik (Khoir et al., 2020).
Responden yang menilai komunikasi terapeutik perawat baik ada karena responden
merasakan bahwa apabila responden ingin bertanya pada perawat, perawat senantiasa
membantu menjawab pertanyaan responden tentang kekhawatiran penularan COVID-19 di
Rumah Sakit, perawat selalu menjelaskan tentang informasi untuk penyakit yang responden
idap, perawat selalu memberikan kesempatan pada responden untuk bercerita tentang
penyakit responden, perawat tidak pernah menawarkan untuk membantu permasalahan
kekhawatiran penularan COVID-19 yang sedang responden hadapi, responden senang jika
perawat menawarkan untuk membantu menyelesaikan kekhawatiran responden tentang
penularan COVID-19 di Rumah Sakit, responden merasa perawat sudah sepenuh hati saat
memberi tindakan keperawatan untuk responden, saat akan melakukan tindakan perawatan,
perawat selalu menjelaskan maksud dan tujuan tindakan tersebut.
Responden yang menilai komunikasi terapeutik cukup karena masiha ada beberapa
tindakan komunikasi perawat yang tidak sesuai dengan harapan pasien seperti jika
berbicara, perawat tidak pernah melihat ke arah responden, berbicara dengan bahasa yang
sulit responden mengerti, merasa perawat kurang mendengarkan keluhan pasien dengan
penuh perhatian, tidak pernah memberi kesempatan kepada responden untuk
mengemukakan masalah COVID-19, tidak selalu menawarkan bantuan untuk membantu
proses penyembuhan responden jika pasien tidak meminta bantuan. Perawat juga tidak
pernah memberikan pujian untuk responden jika responden mampu bekerja sama dengan
baik saat melakukan tindakan, perawat tidak selalu mendoakan agar responden lekas
sembuh jika bertemu, kebanyakan hanya diam atau tersenyum. Perawat tidak pernah

117
Inter na t io na l Jo ur na l o f Nur si ng a nd M idwifer y Sci ence (IJNM S),Volume 4,
Iss ue 2, August 2020
menanyakan perkembangan kondisi kesehatan responden, perawat menunjukkan sikap
tidak peduli, dan perawat tidak secara rutin menanyakan perkembangan panyakit responden.
Kominukasi terapeutik dapat disebabkan oleh faktor pendidikan. Hasil penelitian
pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa hampir seluruh responden berpendidikan SMA, yaitu 25
orang (83,3%). Perbedaan status pendidikan antara perawat dan pasien. Pasien yang
melaporkan perbedaan pendidikan sebagai faktor yang mempengaruhi efektifitas
implementasi komunikasi terapeutik memiliki rata-rata komunikasi terapeutik yang lebih
baik dibandingkan dengan mereka yang tidak melaporkan perbedaan pendidikan sebagai
faktor yang mempengaruhi efektivitas implementasi komunikasi terapeutik (Fite et al.,
2019). Perbedaan pendidikan antara perawat yang berpendidikan tinggi dan pasien yang
berpendidikan menengah tidak menjadi penghalang komunikasi antara perawat karena
perbedaan yang tidak terlalu mencolok dimana pendidikan menengah dari responden sudah
dapat menangkap pembicaraan dan informasi yang diberikan oleh perawat, karena saat
melakukan komunikasi terapeutik perawat juga menggunakan bahasa awam yang tidak
banyak mengandung istilah kesehatan sehingga mudah dipahami oleh pasien.
2. Tingkat Kecemasan Pasien
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh responden mengalami
kecemasan ringan, yaitu 25 orang (83,3%), dan yang mengalami kecemasan sedang yaitu 5
orang (16,7%).
Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan kecemasan yaitu faktor umur dan
pendidikan, serta faktor lain seperti faktor predisposisi yang meliputi peristiwa traumatik
yang dapat memicu terjadinya kecemasan, konflik emosional yang dialami individu, konsep
diri terganggu, frustasi, gangguan fisik, pola mekanisme koping keluarga, riwayat gangguan
kecemasan dalam keluarga, medikasi, dan faktor presipitasi meliputi ancaman terhadap
integritas fisik, ketegangan yang mengancam integritas fisik, ancaman terhadap harga diri
(Suliswati, et al., 2015). Kecemasan yang dialami dapat terjadi karena informasi yang
didapatkan berlebihan atau hal-hal yang negatif seperti kasus penularan dan kematian yang
semakin meningkat. Dalam konteks masa pendemi ini rasa cemas muncul karena
masyarakat menganggap virus corona sebagai ancaman terhadap kesehatannya. Kecemasan
datang karena takut terinfeksi virus korona yang semakin hari banyak menginfeksi orang
dan kematian yang semakin meningkat (Supriyadi & Setyorini, 2020).
Responden yang mengalami kecemasan ringan disebabkan karena responden
merasakan gejala minimal pada gangguan yang berhubungan dengan kemampuan berfikir
(kecerdasan) saat merasa berisiko terserang COVID-19, perasaan tertekan, perasaan di
jantung, gangguan pernafasan dan gangguan pencernaan. Gejala kecemasan yang dialami
hanya berupa kekhawatiran tertular COVID-19, menderita sakit, takut meninggal seperti
banyaknya pemberitaan, akan tetapi tidak merasakan gejala-gejala somatis seperti nyeri
pada otot, kaku, kedutan otot, gigi gemetar, suara tidak stabil, sehingga gejela kecemasan
yang timbul disini berupa reaksi psikologis saja dalam taraf yang ringan.
Responden yang mengalami kecemasan sedang dapat disebabkan karena terlalu
banyak mengkonsumsi berita tentang COVID-19 yang membuat responden ketakutan, dan
menyebabkan dirinya merasakan gejala-gejala kecemasan seperti perasaan saat merasa
berisiko terserang COVID-19 seperti cemas, ada firasat buruk, takut akan perasaan sendiri
dan mudah tersinggung, adanya keluhan seperti tegang, tidak dapat istirahat, mudah
terkejut, lesu, gemetar, dan gelisah, ketakutan akan terserang COVID-19 yang
menyebabkan meninggal, tidak bisa bernafas, diisolasi, dirawat di ICU, hingga

118
Int er na t io na l Jo ur na l o f Nur si ng a nd M idwifer y Sci ence (IJNM S),Volume 4,
Iss ue 2, August 2020
menyebabkan gangguan tidur seperti sukar tidur, terbangun tengah malam, tidur tidak pulas,
bangun dengan lesu, mimpi buruk, dan mimpi menakutkan karena COVID-19 dapat
menyerang siapapun tanpa pandang usia, sehingga tanpa bekal pengetahuan yang baik
tentang COVID-19, maka responden tetap akan merasakan gejala kecemasan baik secara
psikologis maupun somatis. Responden yang tidak pandai dalam memilah dan memilih
informasi dari sumber-sumber yang kompeten akan banyak menerima berita hoax seputar
COVID-19 yang membuat responden menjadi cemas.
Hasil penelitian pada tabulasi silang di lampiran menunjukkan bahwa responden
yang mengalami kecemasan ringan, yaitu 16 dari 19 orang (84,2%) responden yang berusia
36-45 tahun. Semakin tua umur seseorang semakin konstruktif dalam menggunakan koping
terhadap masalah maka akan sangat mempengaruhi konsep dirinya. Umur dipandang
sebagai suatu keadaan yang menjadi dasar kematangan dan perkembangan seseorang (Long,
2014). Kecemasan ringan dapat terjadi pada semua golongan umur, yang artinya
kecemasan ringan tidak tergantung pada umur, responden yang mempunyai mekanisme
koping yang baik, tidak akan merasakan gejala kecemasan yang berat, namun tetap masih
merasakan gejala kecemasan meskipun ringan karena bagaimanapun juga, saat itu anggota
keluarganya sedang sakit dan membutuhkan perawatan sehingga pasti menginginkan
keluarganya untuk cepat ditangani. Pada usia ini seseorang seharusnya sudah mempunyai
pemikiran yang matang dan mampu menjaga emosi dibandingkan dengan orang yang lebih
tua, akan tetapi COVID-19 menyerang siapapun tanpa pandang usia, sehingga tanpa bekal
pengetahuan yang baik tentang COVID-19, maka responden tetap akan merasakan gejala
kecemasan baik secara psikologis maupun somatis.
Faktor kedua yang menyebabkan kecemasan ringan adalah pendidikan dimana pada
tabel 4.2 diketahui bahwa responden yang mengalami kecemasan ringan yaitu 21 dari 25
(84%) responden yang berpendidikan SMA. Selain faktor umur, pendidikan juga
mempengaruhi tingkat kecemasan seseorang. Makin tinggi pendidikan seseorang makin
mudah menerima informasi, sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Jadi
dapat diasumsikan bahwa faktor pendidikan sangat berpengaruh terhadap tingkat kecemasan
seseorang tentang hal baru yang belum pernah dirasakan atau sangat berpengaruh terhadap
perilaku seseorang terhadap kesehatannya (Nursalam, 2015). Pendidikan yang tinggi
membuat responden lebih mudah dalam mengelola stressor yang membuatnya cemas,
mereka cenderung memiliki cara pengalihan cemas agar tidak menjadi panik, responden
dengan pendidikan menengah dan dasar juga dapat mengalami kecemasan tingkat ringan
jika mereka memiliki mekanisme koping yang baik.
Hasil penelitian pada tabulasi silang di lampiran menunjukkan bahwa responden
yang mengalami kecemasan ringan adalah 100% dari responden laki-laki dan 77,3% dari
responden perempuan. Pada umumnya seorang laki-laki dewasa mempunyai mental yang
kuat terhadap sesuatu hal yang dianggap mengancam bagi dirinya dibandingkan perempuan
(Saputri et al., 2013). Sesuai dengan pendapat tersebut bahwa laki-laki lebih kuat secara
mental daripada perempuan sehingga tidak ada laki-laki yang mengalami kecemasan
sedang, hal ini disebabkan karena laki-laki secara kondrati lebih kuat daripada perempuan
secara mental.
Hasil penelitian pada tabulasi silang di lampiran menunjukkan bahwa kecemasan
ringan dialami oleh 19 dari 23 (82,6%) responden yang tidak mempunyai riwayat penyakit
kronis. Penyandang Penyakit Tidak Menular (PTM) yang umumnya bersifat kronis,
merupakan komorbid terjadinya Covid-19 (WHO, 2020). Pasalnya penderita penyakit

119
Inter na t io na l Jo ur na l o f Nur si ng a nd M idwifer y Sci ence (IJNM S),Volume 4,
Iss ue 2, August 2020
kronis yang terkonfirmasi Covid-19 berpotensi besar mengalami perburukan klinis sehingga
meningkatkan risiko kematian. PTM yang menjadi komorbid terbesar Covid-19 adalah
hipertensi. Hal ini akan menjadi stressor berat bagi penderitanya (Kemenkes RI, 2020).
Responden yang tidak mempunyai riwayat penyakit kronis merasakan kecemasan yang
lebih ringan karena penyakit kronis merupakan komorbid utama kematian akibat COVID-
19, dengan tidak memiliki riwayat penyakit kronis, maka ketakutan akan meninggal dan
mengalami COVID-19 sedikit berkurang.
3. Hubungan Komunikasi Terapeutik dengan Tingkat Kecemasan pasien pada Masa
Pandemi COVID-19 Di RSUD R.A Basoeni Mojokerto
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh responden yang menilai komunikasi
terapeutik baik mengalami kecemasan ringan, yaitu 21 dari 21 orang (100%), dan sebagian
besar yang menilai komunikasi terapeutik cukup mengalami kecemasan sedang, yaitu 5 dari
9 orang (55,6%). Hasil analisa Uji Spearman Rho didapatkan p value sebesar 0,000 kurang
dari α (0,05) dan nilai koefisien kolerasi 0,683 sehingga ada hubungan komunikasi
terapeutik dengan tingkat kecemasan pada masa pandemi COVID-19 di RSUD R.A Basoeni
Mojokerto.
Kecemasan yang dialami dapat terjadi karena informasi yang didapatkan
berlebihan, dalam konteks masa pendemi ini rasa cemas muncul karena masyarakat
menganggap virus corona sebagai ancaman terhadap kesehatannya. Kecemasan datang
karena takut terinfeksi virus corona yang semakin hari banyak menginfeksi orang dan
kematian yang semakin meningkat (Supriyadi & Setyorini, 2020). Ketidaktahuan
masyarakat tentang risiko terpapar juga menyebabkan timbulnya kecemasan tentang
pandemi COVID 19 sehingga membutuhkan komunikasi terapuetik dari perawat (Rinaldi &
Yuniasanti, 2020). Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang terjadi antara
petugas medis/kesehatan dengan pasien. Komunikasi ini umumnya lebih terjalin akrab
secara emosional karena mempunyai tujuan berfokus pada pasien yang membutuhkan
bantuan. Petugas medis secara aktif mendengarkan dan memberi respon kepada pasien
dengan cara menunjukkan sikap mau menerima dan mau memahami sehingga dapat
mendorong pasien untuk berbicara secara terbuka tentang dirinya. Komunikasi terapeutik
penting agar dapat memahami kondisi pasien yang dapat menurunkan kecemasan pasien
sehingga dapat mempercepat kesembuhan pasien (Anjaswarni, 2016).
Perawat dapat membantu mengurangi atau menghindari kecemasan pasien dengan
memberikan dukungan dan kehadirannya. Perawat mendorong pasien mereka untuk berbagi
dengan mereka masalah mereka. Berbagi perasaan dan kekhawatiran pasien kepada perawat
dapat membantu mereka mengidentifikasi apakah pasien mengalami kecemasan. Perawat
mendorong pasien mereka untuk memberi tahu apa yang mengganggu mereka dan masalah
apa yang berkontribusi pada kekhawatiran mereka sehingga perawat dapat membantu untuk
menyelesaikannya, dengan demikian maka kecemasan pasien akan menurun (Cacayan et
al., 2021).
Responden yang menilai komunikasi terapeutik baik akan mengalami kecemasan
ringan, hal ini disebabkan karena responden dirawat di rumah sakit dimana banyak pasien
COVID-19 dirawat, sehingga meskipun sudah dijelaskan oleh perawat tentang pasien
COVID-19 yang dirawat terpisah dan tidak jadi satu dengan pasien umum, serta perawat
COVID juga berbeda dengan perawat umum, akan tetapi berita dahsyatnya penyakit
COVID-19 membuat responden tetap merasakan kecemasan meskipun dengan gejala
ringan. Responden yang menilai komunikasi terapeutik cukup dan mengalami kecemasan

120
Int er na t io na l Jo ur na l o f Nur si ng a nd M idwifer y Sci ence (IJNM S),Volume 4,
Iss ue 2, August 2020
ringan, hal ini disebabkan karena sudah mengetahui bahwa ruang perawatan umum dan
COVID-19 terpisah, meskipun tidak dijelaskan oleh perawat, akan tetapi pasien tetap
merasakan kecemasan.
Responden yang menilai komunikasi terapeutik cukup dan mengalami kecemasan
sedang, hal ini disebabkan karena responden tidak mendapatkan penjelasan dari perawat
tentang pasien COVID-19 dan pemberitaan besar tentang penyakit COVID-19 membuat
responden merasakan banyak kecemasan, apalagi jika pasien mempunyai komorbid
penyakit kronis sehingga sangat mudah untuk terinfeksi COVID-19, maka akan menambah
kecemasan pasien.

SIMPULAN
Terdapat hubungan komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan pasien
pada masa pandemi COVID-19 di RSUD R.A Basoeni Mojokerto dibuktikan dengan hasil Uji
Spearman Rho didapatkan p value sebesar 0,000 kurang dari α (0,05) dan nilai koefisien
kolerasi 0,683 sehingga sangat penting bagi pasien untuk lebih memahami dan memperhatikan
setiap ada informasi dari petugas kesehatan maupun kader dan mengurangi pencarian informasi
tentang COVID-19 dari sumber yang tidak kompeten di bidang kesehatan. Diharapkan
masyarakat tetap waspada dengan COVID-19 dengan selalu menerapkan protokol kesehatan
dan melindungi diri dan keluarga dan menghindari terlalu takut dan cemas agar imunitas tubuh
tetap terjaga dan menjadi perlindungan diri selama masa pandemi COVID-19.

REFERENCES
Anjaswarni, T. (2016). Komunikasi dalam Keperawatan. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
http://library1.nida.ac.th/termpaper6/sd/2554/19755.pdf
Asrori, A. (2015). Terapi Kognitif Perilaku Untuk Mengatasi Gangguan Kecemasan Sosial.
Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan (JIPT), 03(Vol 3, No 1 (2015)), 89–107.
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jipt/article/view/2128
Banerjee, D. (2020). Since January 2020 Elsevier has created a COVID-19 resource centre with
free information in English and Mandarin on the novel coronavirus COVID- 19 . The
COVID-19 resource centre is hosted on Elsevier Connect , the company ’ s public news
and information. Psychiatry Research, 288(January).
https://doi.org/10.1016/j.psychres.2020.112966
Cacayan, E. B., Alvarado, A. E., Esmundo, O. A., Cruz, A. C. Dela, Felix, F. C., Franco, D. S.,
& Galima, J. M. D. (2021). Nursing Therapy in Dealing with Anxiety of COVID-19
Patients Based on the Model of Interspersonal Relations of Hildegard Peplau. Health
Nations, 5(7), 232–241.
Fite, R. O., Assefa, M., Demissie, A., & Belachew, T. (2019). Predictors of therapeutic
communication between nurses and hospitalized patients. Heliyon, 5(10), e02665.
https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2019.e02665
Holshue, M. L., DeBolt, C., Lindquist, S., Lofy, K. H., Wiesman, J., Bruce, H., Spitters, C.,
Ericson, K., Wilkerson, S., Tural, A., Diaz, G., Cohn, A., Fox, L., Patel, A., Gerber, S. I.,
Kim, L., Tong, S., Lu, X., Lindstrom, S., … Pillai, S. K. (2020). First Case of 2019 Novel
Coronavirus in the United States. New England Journal of Medicine, 382(10), 929–936.
https://doi.org/10.1056/nejmoa2001191

121
Inter na t io na l Jo ur na l o f Nur si ng a nd M idwifer y Sci ence (IJNM S),Volume 4,
Iss ue 2, August 2020
Huang, Y., & Zhao, N. (2020). Generalized anxiety disorder, depressive symptoms and sleep
quality during COVID-19 epidemic in China: A web-based cross-sectional survey.
MedRxiv, January. https://doi.org/10.1101/2020.02.19.20025395
ILO. (2020). Pencegahan dan Mitigasi COVID-19 di Tempat Kerja untuk Usaha Kecil
Menengah ( UKM ). International Labour Organization, 41.
Keliat et al. (2015). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN (Basic Course). E-Journal
Keperawatan (EKP).
Kemenkes RI. (2020). 13,2 Persen Pasien Covid-19 Yang Meninggal Memiliki Penyakit
Hipertensi. https://www.kemkes.go.id/article/print/20101400002/13-2-persen-pasien-
covid-19-yang-meninggal-memiliki-penyakit-hipertensi.html
Kemenkes RI. (2021). Petunjuk Teknis Pelayanan Puskesmas Pada Masa Pandemi Covid-19.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Khoir, M., Fauzi, A., & Holis, W. (2020). Therapeutic Communication Skills of Nurses in
Hospital. International Journal of Nursing and Health Services, 3(2), 686–694.
https://doi.org/10.35654/ijnhs.v3i2.197
Nursalam. (2015). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 2. In
Salemba Medika.
Rinaldi, M. R., & Yuniasanti, R. (2020). KECEMASAN PADA MASYARAKAT SAAT
MASA PANDEMI COVID-19 DI INDONESIA. In COVID-19 DALAM RAGAM
TINJAUAN PERSPEKTIF (pp. 152–165). Jakarta: MBrigde Press.
Saputri, K. M., Handayani, L. T., & Kurniawan, H. (2013). Hubungan Jenis Kelamin dengan
Tingkat Kecemasan pada Pasien Pre Operasi di Ruang Bedah RS. Baladhika Husada
Jember. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Suliswati, Payapo, Maruhawa, Sianturi, & Sumijatun. (2015). Konsep Dasar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Supriyadi, & Setyorini, A. (2020). Pengeruh Pendidikan Kesehatan Tentang Pencegahan Covid-
19 Terhadap Kecemasan Pada Masyarakat Di Yogyakata. Jurnal Keperawatan, 12(4),
767–776.
Suwandi, G. R., & Malinti, E. (2020). HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN
TINGKAT KECEMASAN TERHADAP COVID-19 PADA REMAJA DI SMA
ADVENT BALIKPAPAN. MANUJU : Malahayati Nursing Journal, 2(Nomor 4).
TirtoJiwo. (2012). Anxiety (kecemasan). 1–10. http://tirtojiwo.org/wp
WHO. (2020). Coronavirus Disease (Covid 19) Pandemic.
https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019
Xiang, Y. T., Yang, Y., Li, W., Zhang, L., Zhang, Q., Cheung, T., & Ng, C. H. (2020). Timely
mental health care for the 2019 novel coronavirus outbreak is urgently needed. The Lancet
Psychiatry, 7(3), 228–229. https://doi.org/10.1016/S2215-0366(20)30046-8
Zhang, J., Lu, H., Zeng, H., Zhang, S., Du, Q., Jiang, T., & Du, B. (2020). The differential
psychological distress of populations affected by the COVID-19 pandemic. Brain,
Behavior, and Immunity, 87(April), 49–50. https://doi.org/10.1016/j.bbi.2020.04.031

122
Int er na t io na l Jo ur na l o f Nur si ng a nd M idwifer y Sci ence (IJNM S),Volume 4,
Iss ue 2, August 2020

Anda mungkin juga menyukai