Anda di halaman 1dari 195

ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN SUSU SEGAR

DALAM NEGERI DI INDONESIA

Risma Kurnia Putri


11140920000020

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1440 H

i
ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN SUSU SEGAR
DALAM NEGERI DI INDONESIA

Risma Kurnia Putri


11140920000020

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Pertanian Pada Program Studi Agribisnis

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1440 H

i
ii
iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Risma Kurnia Putri


Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Klaten, 7 Mei 1997
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Perum. Permata Sepatan Blok D2. No.12,
RT. 003. RW.005, Kel. Pisangan Jaya,
Kec. Sepatan, Kab. Tangerang, Banten.
No. Handphone : 08975894854
E-mail : rismakurniaputri@gmail.com

PENDIDIKAN FORMAL
2003-2009 : SDN 2 Sepatan
2009-2012 : SMP Negeri 1 Sepatan
2012-2014 : SMA Negeri 11 Kab. Tangerang
2014-2019 : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

PENGALAMAN ORGANISASI & PEKERJAAN


2015-2016 : Sekretaris Departemen Penelitian dan Pengembangan Himpunan
Mahasiswa Jurusan Agribisnis.
2015-2016 : Sekretaris LSO Club Bisnis Koperasi Mahasiswa Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta.
2017 : Praktek Kerja Lapang pada September-Desember 2017 di PT
Anugrah Citra Boga.

iv
RINGKASAN

Risma Kurnia Putri. Analisis Penawaran dan Permintaan Susu Segar Dalam
Negeri di Indonesia. Dibawah bimbingan Lilis Imamah Ichdayati dan Eny
Dwiningsih.

Susu merupakan salah satu komoditas subsektor peternakan yang memiliki


potensi dan memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan. Ditinjau dari segi
permintaan, konsumsi susu di Indonesia menunjukkan trend cenderung meningkat
dari tahun ke tahunnya. Meskipun demikian, tingkat konsumsi susu per kapita
bangsa Indonesia masih relatif rendah. Disamping itu, apabila ditinjau dari sisi
produksi dan penawarannya, produksi susu dalam negeri hanya mampu memenuhi
kebutuhan permintaan konsumsi susu sebesar 30%. Sehingga, 70% pemenuhan
kebutuhan susu di Indonesia masih dipasok oleh impor.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi produksi dan biaya produksi susu segar, penawaran dan
permintaan serta harga susu segar dalam negeri di Indonesia. Periode data kurun
waktu (time series) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 tahun terakhir
(1993-2017). Analisis dan pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan metode persamaan simultan two stage least square
(2SLS) dengan alat bantu software Statistic Analysis System (SAS) 9.1.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, model biaya produksi susu
segar dipengaruhi oleh variabel biaya pakan, biaya listrik dan air, biaya obat-
obatan, dan biaya bahan bakar. Variabel biaya tenaga kerja tidak berpengaruh
signifikan pada taraf nyata 0,05. Kemudian dalam model persamaan produksi susu
segar, variabel jumlah sapi laktasi dan jumlah pakan konsentrat berpengaruh
signifikan pada taraf nyata 0,05. Sedangkan variabel jumlah pakan hijauan dan
jumlah tenaga kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah produksi susu
segar.
Model penawaran susu segar dipengaruhi oleh variabel jumlah produksi
susu segar dan harga teh sebagai produk komplementer pada taraf nyata 0,05.
Variabel harga susu segar dan harga kopi sebagai produk substistusi berpengaruh
signifikan pada taraf nyata 0,15. Kemudian, variabel total biaya produksi tidak
berpengaruh signifikan terhadap jumlah penawaran susu segar.
Model permintaan susu segar dipengaruhi oleh variabel pendapatan
perkapita, jumlah produksi, harga teh dan harga kopi sebagai produk subtitusi dan
komplementer dari susu yang berpengaruh signifikan pada taraf nyata 0,05.
Sedangkan variabel harga susu segar tidak berpengaruh signifikan terhadap
jumlah permintaan. Disamping itu, model harga susu segar dipengaruhi oleh
variabel total biaya produksi dan jumlah permintaan susu segar.
Peningkatan jumlah produksi susu segar dalam negeri perlu dilakukan
untuk memenuhi jumlah permintaan susu segar yang diperkirakan bertambah
seiring dengan adanya peningkatan pendapatan perkapita di Indonesia. Upaya
peningkatan produksi susu segar dalam negeri dapat dilakukan dengan

v
penambahan input produksi seperti sapi laktasi minimal sebanyak 1.204.144 ekor
dan perbaikan pakan sebagai asupan ternak sapi perah serta memperhatikan
jumlah tenaga kerja yang sesuai dengan skala usaha. Selain itu, diperlukan
kebijakan terkait harga susu segar ditingkat peternak demi menjamin adanya
kepastian harga dan pasar. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan
daya tawar peternak sapi perah dan membuat bisnis sapi perah lebih menjanjikan
dan memberikan keuntungan untuk terus dijalankan.

Kata Kunci : Penawaran, Permintaan, Susu Segar Dalam Negeri.

vi
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat,

rahmat dan karunia-Nya yang tiada terkira besarnya. Shalawat serta salam penulis

haturkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta para sahabat

dan pengikutnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Analisis Penawaran dan Permintaan Susu Segar Dalam Negeri di Indonesia”

sebagai salah satu syarat kelulusan program Strata-1 pada Program Studi

Agribisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini, tidaklah dapat

terselesaikan tanpa adanya bantuan dan dukungan yang diberikan dari berbagai

pihak. Dalam kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa terima

kasih kepada:

1. Kedua orangtuaku, ayahanda dan ibunda tercinta yang senantiasa selalu

memberikan dukungan baik materi dan non materi, memberikan motivasi,

nasihat serta doa-doa yang selalu dipanjatkan.

2. Ibu Dr. Ir. Lilis Imamah Ichdayati, M.Si dan Ibu Eny Dwiningsih, M.Si selaku

dosen pembimbing I dan dosen pembimbing II yang telah dengan sabar

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan, saran

dan arahan serta motivasi kepada penulis selama penyusunan skripsi.

vii
3. Bapak Dr. Ujang Maman, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Iwan Aminudin, M.Si

selaku dosen penguji I dan dosen penguji II yang telah memberikan

bimbingan dan arahan kepada penulis demi kesempurnaan hasil dari skripsi

ini.

4. Bapak Dr. Ir. Edmon Daris, MS selaku Ketua Prodi Agribisnis dan Bapak Dr.

Ir. Iwan Aminudin, M.Si selaku Sekretaris Prodi Agribisnis, Fakultas Sains

dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud selaku Dekan Fakultas

Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Bapak/Ibu pegawai bagian Layanan Administrasi dan bagian Akademik

Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

7. Bapak/Ibu pegawai Kementerian Pertanian RI dan Bapak/Ibu pegawai Badan

Pusat Statistik Indonesia yang telah berkenan membantu penulis dalam

pengambilan data penelitian.

8. Seluruh jajaran dosen pengajar Program Studi Agribisnis yang telah

memberikan pendidikan dan ilmu yang bermanfaat bagi penulis selama masa

perkuliahan.

9. Teman-teman Agribisnis UIN Jakarta 2014, terutama Ira, Rahmi, Vonita dan

Liana yang selalu memberikan dukungan, semangat serta bantuan kepada

penulis dalam menyelesaikan skripsi.

10. Seluruh pihak yang terlibat dalam membantu penulis menyelesaikan skripsi

ini dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu karena keterbatasan.

viii
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih memiliki

kekurangan akibat dari keterbatasan dan kendala yang dihadapi selama masa

penyusunan skripsi. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis

berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak terutama bagi penulis

pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Mei 2019

Penulis

ix
DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ..................................................................................................... v

DAFTAR ISI ...................................................................................................... x

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 8
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................. 8
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................... 9
1.5. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 12


2.1. Agribisnis Sapi Perah di Indonesia ..................................................... 12
2.2. Komoditas Susu ................................................................................. 17
2.3. Teori Produksi ................................................................................... 19
2.4. Teori Penawaran ................................................................................ 22
2.5. Teori Permintaan ................................................................................ 26
2.6. Teori Penetapan Harga ....................................................................... 31
2.7. Keseimbangan Pasar (Equilibrium Pasar) .......................................... 32
2.8. Konsep Elastisitas .............................................................................. 34
2.9. Sistem Persamaan Simultan ............................................................... 35
2.10. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 44
2.11. Kerangka Pemikiran Konseptual ...................................................... 46
2.12. Hipotesis Penelitian .......................................................................... 49

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 50

x
3.1. Waktu Penelitian ................................................................................ 50
3.2. Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 50
3.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................... 51
3.3.1. Penetapan Komponen Variabel ................................................. 51
3.3.2. Spesifikasi Model ..................................................................... 53
3.3.3. Merumuskan Model Persamaan ................................................ 55
3.3.4. Identifikasi Model Persamaan................................................... 59
3.3.5. Pengujian Model ...................................................................... 62
3.3.6. Definisi Operasional ................................................................. 66

BAB IV GAMBARAN UMUM ....................................................................... 68


4.1. Perkembangan Usaha Peternakan Sapi Perah ..................................... 68
4.2. Kondisi Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia ........................... 70
4.3. Populasi Sapi Perah dan Produksi Susu Segar Nasional ..................... 71
4.4. Struktur Biaya Usaha Ternak Sapi Perah ............................................ 74
4.5. Perkembangan Konsumsi Susu secara Nasional ................................. 75
4.6. Kebijakan Pemerintah Terkait Komoditas Susu Segar di Indonesia .... 78

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 81


5.1. Deskripsi Komponen Variabel Penelitian ........................................... 81
5.2. Uji Validasi ........................................................................................ 94
5.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Total Biaya Produksi ................... 98
5.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Segar ................. 103
5.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran Susu Segar .............. 112
5.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Susu Segar.............. 119
5.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Susu Segar ...................... 126

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 129


6.1. Kesimpulan ...................................................................................... 129
6.2. Saran................................................................................................ 130

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 132

LAMPIRAN ................................................................................................... 141

xi
DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi Susu berbagai Bangsa Sapi ..................................................... 13

2. Komposisi Susu dari Berbagai Spesies ..................................................... 18

3. Ringkasan Penelitian Terdahulu ................................................................ 44

4. Ringkasan Penelitian Terdahulu Lanjutan ................................................. 45

5. Komponen Variabel dan Lembaga Penyedia Data ..................................... 52

6. Hasil Identifikasi Model Persamaan .......................................................... 62

7. Produksi dan Total Biaya Produksi Usaha Sapi Perah per Ekor
per Tahun dengan Cara Pemeliharaan Dikandangkan ................................ 75

8. Hasil Uji Validasi dengan Niai U-Theil ..................................................... 94

9. Hasil Uji Autokorelasi Durbin Watson ...................................................... 95

10. Hasil Uji statistik t Model Total Biaya Produksi Susu Segar ...................... 99

11. Hasil Uji statistik t Model Jumlah Produksi Susu Segar............................ 105

12. Hasil Uji Statistik t Model Jumlah Penawaran Susu Segar ........................ 113

13. Hasil Uji Statistik t Model Permintaan Susu Segar ................................... 120

14. Hasil Uji Statistik t Model Harga Susu Segar ........................................... 127

15. Rata-rata pemakaian dan prediksi harga pakan ternak


tahun 2012-2014 ..................................................................................... 149

16. Prediksi Jumlah Pemakaian Pakan Ternak Tahun 2015-2017 ................... 150

17. Prediksi Jumlah Pemakaian Pakan Ternak Tahun 2015-2017 ................... 150

18. Penggunaan dan Nilai Listrik dan Air Perusahaan Peternakan .................. 151

19. Hasil Perhitungan Rata-rata Nilai atau Biaya Listrik dan Air
Tahun 1993-2014 dan Persentase Nilai Biaya Listrik dan Air ................... 152

xii
20. Hasil Perhitungan Biaya Listrik dan Air Tahun 2015-2017....................... 153

21. Perhitungan Nilai Prediksi Harga Air dan Listrik Tahun 2015-2017 ......... 154

22. Hasil Perhitungan Prediksi Jumlah Penggunaan Listrik dan Air


Tahun 2015-2017 ..................................................................................... 155

23. Jumlah Kuantitas Penggunaan Produksi Perusahaan Sapi Perah (Liter) .... 156

24. Hasil Perhitungan Persentase Kuantitas Penggunaan Produksi Susu


Segar Tahun 2010-2014 .......................................................................... 157

25. Kuantitas Penggunaan Produksi Perusahaan Sapi Perah (Liter) ................ 159

26. Harga Susu Segar per Liter tingkat Produsen Perusahaan Sapi Perah........ 160

27. Jumlah Permintaan Susu Segar ................................................................. 161

xiii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Grafik Konsumsi Susu di Indonesia Periode (1993-2017)........................... 2

2. Grafik Ketersediaan Susu di Indonesia Periode (1993-2017) ...................... 4

3. Perkembangan Volume Impor Susu di Indonesia........................................ 5

4. Kurva Hubungan TP, AP dan MP ............................................................. 21

5. Pergerakan dan Pergeseran Kurva Penawaran ........................................... 26

6. Pergerakan dan Pergeseran Kurva Permintaan ........................................... 31

7. Diagram Ekuilibrium Pasar ....................................................................... 32

8. Kerangka Pemikiran Konseptual ............................................................... 48

9. Dugaan Keterkaitan Hubungan antar Variabel dalam Model ..................... 53

10. Perkembangan Jumlah Populasi Sapi Perah (Ekor) .................................... 71

11. Perkembangan Produksi Susu Segar Dalam Negeri (Ton) ......................... 73

12. Perkembangan Tingkat Konsumsi Susu di Indonesia ................................. 76

13. Grafik Perkembangan Konsumsi Susu di Indonesia Periode


(1993-2017) .............................................................................................. 77

14. Rata-rata Jumlah Produksi Susu Segar per Perusahaan Sapi Perah............. 82

15. Persentase Rata-rata Jumlah Sapi Perah Betina menurut


Produktivitasnya ....................................................................................... 83

16. Rata-rata Jumlah Sapi Laktasi per Perusahaan (Ekor/Tahun) ..................... 84

17. Rata-rata Jumlah Pemakaian Pakan pada Perusahaan Sapi Perah


(Kg/Tahun) ............................................................................................... 85

18. Rata-rata Jumlah Tenaga Kerja per Perusahaan (Orang/Tahun) ................. 86

19. Rata-rata Jumlah Pemakaian Air per Perusahaan Sapi Perah


(M3/Tahun) ............................................................................................... 86

xiv
20. Rata-rata Jumlah Penawaran dan Permintaan Susu Segar
per Perusahaan Peternakan Sapi Perah (Liter/Tahun)................................. 87

21. Perkembangan Harga Susu Segar di Tingkat Peternak (Rp/Liter) .............. 89

22. Perkembangan Harga Teh di Tingkat Konsumen (Rp/Kg) ......................... 90

23. Perkembangan Harga Kopi Bubuk di Tingkat Konsumen (Rp/Kg) ............ 91

24. Persentase Total biaya produksi Perusahaan Sapi Perah ............................ 92

25. Rata-rata Total biaya produksi per Perusahaan Sapi Perah (Rp/Tahun) ...... 93

26. Perkembangan Pendapatan per Kapita (Rupiah) ........................................ 93

27. Keterkaitan Hubungan antar Variabel dalam Model .................................. 96

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian Tahun 2014 – 2017 .................. 142

2. Perkembangan Jumlah Konsumsi Susu di Indonesia .................................. 143

3. Perkembangan Ketersediaan Susu di Indonesia ......................................... 144

4. Data yang digunakan dalam Penelitian ...................................................... 145

5. Lanjutan Data yang digunakan dalam Penelitian ....................................... 146

6. Lanjutan Data yang digunakan dalam Penelitian ....................................... 147

7. Lanjutan Data yang digunakan dalam Penelitian ....................................... 148

8. Perhitungan Angka Prediksi Jumlah Pakan ternak yang digunakan


untuk Tahun 2015-2017 ............................................................................ 149

9. Perhitungan Nilai Prediksi Jumlah Air yang digunakan Tahun 2015-


2017 ...................................................................................................... ....151

10. Perhitungan Jumlah Kuantitas Pengggunaan Produksi ............................... 156

11. Perhitungan Prediksi Harga Susu Segar Tingkat Produsen........................ 160

12. Perhitungan Nilai Jumlah Permintaan Susu Segar ..................................... 161

13. Populasi Sapi Perah di Indonesia Periode 1993-2017 ................................ 162

14. Perkembangan Produksi Susu Segar dalam Negeri Periode 1993-


2017 ......................................................................................................... 163

15. Perkembangan Tingkat Konsumsi Susu di Indonesia ................................. 164

16. Perhitungan Jumlah Penambahan Populasi Sapi Laktasi ............................ 165

17. Sintaks Uji Model Total Biaya Produksi, Produksi, Penawaran dan
Permintaan Susu Segardengan SAS ........................................................... 166

18. Hasil Uji Model Total Biaya Produksi Susu Segar ..................................... 167

19. Hasil Uji Model Produksi Susu Segar ........................................................ 168

xvi
20. Hasil Uji Model Penawaran Susu Segar .................................................... 169

21. Hasil Uji Model Permintaan Susu Segar .................................................... 170

22. Hasil Uji Model Harga Susu Segar ............................................................ 171

23. Sintaks Uji Validasi Model ....................................................................... 172

24. Lanjutan Sintaks Uji Validasi Model ......................................................... 173

25. Hasil Uji Validasi Model........................................................................... 174

26. Lanjutan Hasil Uji Validasi ....................................................................... 175

27. Lanjutan Hasil Uji Validasi ....................................................................... 176

28. Perhitungan Nilai Elastisitas Silang


dalam Model Penawaran dan Permintaan .................................................. 177

xvii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang menjadikan sektor pertanian

sebagai andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Sektor pertanian

telah diakui memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional yang dapat

dilihat dari kemampuannya berkontribusi terhadap PDB, penyerapan tenaga kerja,

penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan bahkan

perolehan devisa. Dalam sektor pertanian, subsektor peternakan adalah salah satu

subsektor yang berkontribusi cukup baik terhadap nilai PDB sektor pertanian.

Menurut data Badan Pusat Statistik (2018;1) subsektor peternakan pada tahun

2017 mampu menyumbang PDB sebesar Rp. 148,5 triliun atau sebesar 15,33 %

dari total PDB sektor pertanian secara nasional. Disamping itu, Subsektor

peternakan memiliki trend pertumbuhan positif dengan kontribusi yang berada di

kisaran 15,02-15,33 persen. Secara lebih rinci data kontribusi subsektor pertanian

terhadap PDB sektor pertanian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Daryanto (2009;2-3) menyatakan bahwa subsektor peternakan di

Indonesia memiliki potensi besar dan sekaligus memiliki prospek yang cerah

untuk dikembangkan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa bangsa Indonesia

memiliki keunggulan (comparative advantage) yang cukup baik di bidang

peternakan. Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari subsektor

pertanian yang memiliki nilai strategis didalam pemenuhan kebutuhan pangan

yang terus meningkat. Salah satu komponen subsektor peternakan yang memiliki

1
banyak manfaat dan berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut di Indonesia

adalah komoditas susu.

Susu dan produk olahannya adalah bahan pangan yang berperan sebagai

sumber protein hewani dengan kandungan nilai nutrisi baik bagi manusia. Ako,

(2013;1) menjelaskan bahwa kebutuhan akan susu diperkirakan akan terus

meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk, tingkat pendidikan

dan selera masyarakat. Hal ini sesuai dengan data permintaan konsumsi susu di

Indonesia yang menunjukkan trend berfluktuasi cenderung meningkat dari tahun

ke tahunnya. Berdasarkan data neraca bahan makanan Badan Ketahanan Pangan

Kementerian Pertanian (2018;1), konsumsi susu masyarakat Indonesia di tahun

2016 mencapai 4.284.000 ton. Secara lebih rinci data jumlah konsumsi susu di

Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 2. Sedangkan grafik perkembangan jumlah

konsumsi susu di Indonesia dapat disajikan pada Gambar 1.

4.500
Konsumsi Susu di Indonesia

4.000
3.500
3.000
(000 Ton)

2.500
2.000
1.500
1.000
500
0
2017*)
1999

2007

2012
1993
1994
1995
1996
1997
1998

2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006

2008
2009
2010
2011

2013
2014
2015
2016

Gambar 1. Grafik Perkembangan Konsumsi Susu di Indonesia Periode


(1993-2017)
Sumber : Neraca Bahan Makanan, Badan Ketahanan Pangan Kementerian
Pertanian (diolah, 2018)

2
Bakri dan Saparinto (2015;3) berpendapat bahwa semakin meningkatnya

kebutuhan akan gizi yang berasal dari susu sapi akan membuka dan menambah

kesempatan dalam pengelolaan susu dari hasil ternak. Meskipun demikian,

menurut data permintaan konsumsi susu nasional Kementerian Pertanian

(2017;12), tingkat konsumsi susu per kapita bangsa Indonesia masih relatif

rendah, yaitu sekitar 11,8 liter/kapita/tahun termasuk produk olahan yang

mengandung susu. Angka ini tergolong rendah dibandingkan dengan negara di

Asia seperti Malaysia, Myanmar, Thailand dan Filipina. Konsumsi susu Malaysia

mencapai 36,2 liter/kapita/tahun, Myanmar mencapai 26,7 liter/kapita/tahun,

Thailand mencapai 22,2 liter/kapita/tahun dan Filipina mencapai 17,8

liter/kapita/tahun.

Tingkat konsumsi susu yang relatif rendah terutama susu segar, menjadi

salah satu tantangan dan peluang pasar yang baik untuk terus dikembangkan. Ako,

(2013;1) menyatakan bahwa selama ini profil konsumsi susu di Indonesia

menunjukkan bahwa susu cair segar hanya memberikan kontribusi sekitar 18%

dari total konsumsi susu putih, sementara 82% lainnya merupakan konsumsi susu

putih bubuk. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi susu

cair maupun susu cair olahan perlu ditingkatkan agar terus memaksimalkan

serapan produksi susu sapi domestik. Salah satunya adalah dengan mendorong

industri untuk meningkatkan produksi produk susu olahan segar dibanding olahan

bubuk.

Terlepas dari permasalahan rendahnya tingkat konsumsi susu di Indonesia

dan trend konsumsi susu yang cenderung meningkat, produksi susu dalam negeri

3
sebagai bahan baku dasar susu segar maupun susu olahan justru masih belum

mencukupi untuk memenuhi kebutuhan permintaan konsumsi susu. Sehingga,

pemenuhan kebutuhan susu di Indonesia masih dipasok oleh impor. Berdasarkan

data Neraca Bahan Makanan (NBM) Badan Ketahanan Pangan Kementerian

Pertanian (2018;1), saat ini produksi susu sapi dalam negeri hanya mampu

memasok sekitar 30% dari permintaan nasional, sedangkan 70% berasal dari

impor. Adapun secara lebih rinci data ketersediaan susu di Indonesia dapat dilihat

pada Lampiran 3. Sedangkan grafik ketersediaan susu di Indonesia dapat dilihat

pada Gambar 2.

120,00
Ketersediaan Susu di Indonesia

100,00
80,00
60,00
(%)

40,00
20,00
0,00
1993

1996

1999

2015
1994
1995

1997
1998

2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014

2016
2017*)

Produksi Susu Sapi (%) Susu Impor (%)

Gambar 2. Grafik Ketersediaan Susu di Indonesia Periode (1993-2017)


Sumber : Neraca Bahan Makanan, Badan Ketahanan Pangan Kementerian
Pertanian (diolah, 2018)

Daryanto (2009;121) menjelaskan bahwa Indonesia saat ini berada dalam

posisi sebagai net-consumer dalam peta perdagangan internasional produk-produk

susu. Sampai saat ini, industri pengolahan susu nasional masih sangat bergantung

pada impor bahan baku susu. Jika kondisi ini tidak dibenahi dengan membangun

sebuah sistem agribisnis yang kuat, maka Indonesia akan terus menjadi negara

4
pengimpor susu sapi. Hal ini sejalan dengan grafik pada Gambar 3, yang

menunjukkan bahwa volume impor susu di Indonesia berfluktuatif cenderung

meningkat dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 2016, total impor susu Indonesia

mencapai angka 3.485.000 ton. Apabila diperhatikan lebih spesifik, tren grafik

volume impor susu pada Gambar 3 terlihat hampir menyerupai dengan grafik

konsumsi susu pada Gambar 1. Hal ini mengindikasikan bahwa pemenuhan

konsumsi susu dalam negeri masih didominasi oleh pasokan susu impor untuk

memenuhi permintaan. Adapun grafik perkembangan impor susu dapat dilihat

pada Gambar 3.

4000
3500
Impor Susu di Indonesia

3000
2500
(000 Ton)

2000
1500
1000
500
0
2017*)
1995

2004

2012
1993
1994

1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003

2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011

2013
2014
2015
2016

Gambar 3. Perkembangan Volume Impor Susu di Indonesia


Periode (1993-2017)
Sumber : Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian (diolah, 2018)

Kementerian Pertanian (2017;3), menyatakan bahwa permasalahan terkait

rendahnya produksi susu dalam negeri dan tingginya impor komoditas susu

mengakibatkan kerugian langsung terhadap peternak sapi perah lokal di

Indonesia. Mengingat potensi sumberdaya alam Indonesia yang besar bagi

5
pengembangan agribisnis komoditas susu, ironis jika sebagian besar dari

kebutuhan susu Indonesia masih harus diimpor.

Program percepatan peningkatan produksi susu segar dalam negeri

menjadi salah satu upaya dalam mengurangi tingginya impor susu Indonesia dan

upaya substitusi susu impor dengan susu segar dalam negeri. Program ini harus

dilaksanakan dengan meningkatkan produksi dan konsumsi susu nasional secara

bersamaan. Dalam hal ini, salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah

adalah dengan memberikan dukungan nyata untuk meningkatkan produktivitas

dan kualitas hasil ternak (susu) kepada para peternak melalui berbagai kebijakan.

Berkaitan dengan hal tersebut, Kementerian Pertanian dalam Supianto (2018;1)

terus berupaya mengejar kemandirian susu nasional dengan target produksi susu

segar dalam negeri mampu mencapai 60% dari kebutuhan susu nasional pada

tahun 2025 mendatang. Untuk itu diperlukan langkah dan upaya serius dalam

meningkatkan jumlah produksi susu dalam negeri demi mewujudkan target yang

sudah ditetapkan untuk mencapai swasembada susu.

Siregar (2003;48) juga menyatakan bahwa upaya peningkatan produksi

susu nasional harus terus dilakukan agar tidak terjadi kesenjangan yang semakin

melebar antara produksi susu nasional dengan permintaan konsumen pada tahun-

tahun mendatang melalui berbagai peluang yang masih terbuka luas. Akan tetapi

peluang-peluang yang ada, tidaklah terlepas dari sejumlah tantangan. Salah satu

tantangan yang cukup signifikan adalah harga susu di tingkat peternak yang relatif

murah.

6
Siregar (2003;52) selanjutnya menjelaskan bahwa permintaan konsumen

susu yang selalu lebih besar dari produksi susu nasional menunjukkan masih

terbukanya pasar untuk susu. Namun fungsi pasar tidak hanya sebatas penyerapan

susu, tetapi juga sekaligus penentu harga. Walaupun pasar masih terbuka luas,

namun apabila harga tidak memadai, maka tidak akan terjadi peningkatan

produksi yang signifikan. Hal inilah yang terjadi pada usaha pemeliharaan sapi

perah di Indonesia selama ini. Dalam hal ini meskipun pasar untuk susu masih

terbuka luas, namun para peternak sapi perah tidak begitu termotivasi untuk

mengembangkan, ataupun meningkatkan produksi susunya. Hal ini dikarenakan

harga susu yang diterima para peternak umumnya masih relatif rendah, sehingga

tidak mendorong para peternak untuk mengembangkan usaha sapi perahnya

ataupun peningkatan produksi susunya karena tidak berdampak pada peningkatan

penghasilannya.

Mengacu pada permasalahan dari segi permintaan konsumsi, produksi dan

penawaran susu segar serta harga susu segar dalam negeri, maka diperlukan suatu

analisis lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi,

penawaran dan permintaan susu segar serta harga susu segar dalam negeri di

Indonesia. Dengan adanya analisis mendalam mengenai faktor-faktor tersebut,

diharapkan mampu menjadi salah satu referensi pengambilan kebijakan dalam

upaya mendorong pengembangan dan peningkatan produksi susu segar dalam

negeri serta secara tidak langsung dapat menjadi salah satu informasi tambahan

dalam upaya penyelesaian permasalahan pemenuhan kebutuhan susu di Indonesia.

7
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi total biaya produksi dan jumlah

produksi susu segar dalam negeri di Indonesia ?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penawaran susu segar dalam

negeri di Indonesia ?

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi permintaan susu segar dalam

negeri di Indonesia ?

4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi harga susu segar dalam negeri di

Indonesia ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dapat ditentukan tujuan penelitian yaitu

sebagai berikut :

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi total biaya produksi dan

jumlah produksi susu segar dalam negeri di Indonesia.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran susu segar dalam

negeri di Indonesia.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan susu segar dalam

negeri di Indonesia.

4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga susu segar dalam

negeri di Indonesia.

8
1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk beberapa pihak,

yaitu sebagai berikut :

1. Penulis

Manfaat bagi penulis yaitu, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana dan menyelesaikan program studi Agribisnis, Fakultas Sains dan

Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, penelitian ini diharapkan

memberi manfaat untuk menambah pengetahuan dan mengembangkan pola pikir

yang cermat terkait ilmu ekonomi agribisnis secara menyeluruh.

2. Pembaca

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk memberikan informasi

terkait faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, penawaran, permintaan dan

harga susu segar dalam negeri di Indonesia. Serta Menganalisis gambaran

hubungan antar variabel produksi, penawaran, permintaan dan harga susu segar

dalam negeri di Indonesia. Selain itu, penelitian ini diharapkan memberi manfaat

sebagai salah satu bahan acuan atau referensi dalam penelitian berikutnya.

3. Pengambil Kebijakan

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi tambahan mengenai

faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, penawaran, permintaan dan harga

susu segar dalam negeri di Indonesia. Sehingga dengan adanya penelitian ini

diharapkan dapat menjadi referensi dalam pengambilan kebijakan terkait

pengembangan agribisnis susu, yaitu sebagai upaya mendorong peningkatan

9
produksi susu segar dalam negeri secara nasional untuk pemenuhan kebutuhan

konsumsi susu di Indonesia.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor

yang mempengaruhi jumlah produksi dan biaya produksi, penawaran, permintaan

dan harga susu segar dalam negeri di Indonesia melalui perumusan beberapa

model persamaan. Dengan pembatasan variabel yang digunakan yaitu sebagai

berikut.

1. Variabel yang digunakan dalam model persamaan biaya produksi yaitu biaya

pakan, biaya tenaga kerja, biaya listrik dan air, biaya obat-obatan dan biaya

bahan bakar. Sedangkan variabel yang digunakan dalam persamaan jumlah

produksi susu segar dalam negeri di Indonesia adalah jumlah sapi laktasi,

jumlah pakan hijauan, jumlah pakan ternak tambahan berupa pakan

konsentrat dan pakan lain, jumlah pemakaian air dan jumlah tenaga kerja.

2. Variabel yang digunakan dalam model persamaan penawaran susu segar

dalam negeri di Indonesia adalah harga susu segar, jumlah produksi susu

segar, total biaya produksi, harga teh dan harga kopi.

3. Variabel yang digunakan dalam model permintaan susu segar dalam negeri di

Indonesia adalah harga susu segar, jumlah produksi susu segar, harga teh,

harga kopi dan pendapatan per kapita di Indonesia.

4. Variabel yang digunakan dalam model persamaan harga susu segar dalam

negeri adalah total biaya produksi dan jumlah permintaan susu segar.

10
5. Periode data kurun waktu (time series) yang digunakan dalam penelitian ini

adalah 25 tahun terakhir (1993-2017). Data penelitian kemudian akan

dianalisis dengaantuan perangkat lunak SAS versi 9,1.

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Agribisnis Sapi Perah di Indonesia

Usahaternak sapi perah merupakan salah satu usaha peternakan yang

mempunyai potensi yang cukup tinggi untuk terus dikembangkan. Susu yang

dihasilkan dari sapi perah dapat bermanfaat, baik sebagai sumber protein bagi

peternak untuk dikonsumsi maupun sebagai sumber pendapatan untuk dijual.

Menurut Murti (2014;216), pengetahuan tentang biaya produksi dan harga-harga

mutlak diperlukan oleh peternak dalam menjalankan usaha ternak sapi perah.

Selanjutnya Murti (2014;217) menjelaskan bahwa biaya dalam usaha ternak sapi

perah terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.

Widjajanto dalam Hasanah (2015;25) menjelaskan bahwa biaya tetap

merupakan biaya yang harus dikeluarkan dengan jumlah yang tetap pada periode

waktu tertentu tanpa melihat jumlah produksi yang dihasilkan. Sedangkan biaya

variabel adalah biaya yang dikeluarkan dengan jumlah yang berubah sesuai

dengan jumlah produksi yang dihasilkan. Selanjutnya, Hasanah (2015;74)

menjelaskan bahwa biaya tetap terdiri dari biaya penyusutan ternak, kandang dan

peralatan. Sedangkan biaya variabel terdiri dari biaya yang dikeluarkan untuk

pembelian barang dan jasa dalam usaha ternak sapi perah.

Sistem peternakan sapi perah yang ada di Indonesia masih merupakan

jenis peternakan rakyat yang berskala kecil. Murti (2014;185-198) menjelaskan

beberapa faktor yang mempengaruhi produksi susu dalam agribisnis peternakan

sapi perah, diantaranya yaitu, jumlah produktivitas sapi perah, penyakit, peternak

12
dan jumlah tenaga kerja, pergantian ternak, penguasaan lahan, dan tanaman

pakan. Sedangkan Ako (2013;33-42) menjabarkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi dan kualitas susu segar terdiri dari faktor internal dan

faktor eksternal. Berikut merupakan penjabaran lebih rinci mengenai faktor-faktor

yang mempengaruhi produksi dan kualitas susu segar.

2.1.1. Faktor Internal

Faktor internal merupakan faktor yang mempengaruhi produksi susu

segar dari dalam atau faktor genetik dari sapi itu sendiri. Adapun faktor-faktor

internal yang mempengaruhi produksi susu segar dapat dilihat sebagai berikut.

a. Bangsa/Rumpun/Breed

Sifat kekhasan dari setiap bangsa sapi perah adalah kemampuan

berproduksi susu dalam jumlah dan kualitasnya. Dalam tabel 1, dapat dilihat

secara rinci kemampuan menghasilkan susu dan kualitasnya berdasarkan jenis

bangsa sapi.

Tabel 1. Komposisi Susu berbagai Bangsa Sapi

Air Lemak Protein Laktosa Abu BK


Bangsa Sapi
(%) (%) (%) (% (%) (%)
Jersey 85.27 5.14 3.80 5.04 0.75 14.73
Guernsey 85.45 4.98 3.84 4.98 0.75 14.55
Ayrshire 87.10 3.85 3.34 5.02 0.69 12.90
Shorthorn 87.43 3.63 3.32 4.89 0.73 12.57
Fries Holland 88.01 3.45 3.15 4.65 0.68 11.93
Sumber : Sudono (1999) dalam Ako (2013;34)

b. Keturunan

Variasi dalam sifat produksi susu pada setiap individu sapi perah

pada bangsa yang sama disebabkan faktor keturunan dan hereditas. Bangsa

13
sapi yang telah mengalami seleksi dengan baik mampu menghasilkan

produksi susu yang lebih tinggi.

c. Masa laktasi

Masa laktasi adalah masa sapi berproduksi susu, yaitu antara waktu

beranak sampai masa kering. Masa laktasi berlangsung selama 10 bulan atau

sekitar 305 hari, sedangkan masa kering berlangsung selama 2 bulan atau 60

hari.

d. Umur

Soeharsono (2008) dalam Ako (2013;35) mengemukakan bahwa

secara umum kapasitas produksi susu berbeda pada setiap periode laktasi.

Kemampuan produksi susu meningkat dari laktasi pertama sampai dengan

puncak laktasi keempat atau kelima pada umur 6-8 tahun. Hal ini menujukkan

bahwa kenaikan produksi susu sejalan dengan bertambahnya umur sapi perah.

e. Kondisi ternak dan ambing

Peningkatan dimensi tubuh (panjang badan, tinggi pundak, dan

lingkar dada) dan lingkar ambing sangat berpengaruh terhadap peningkatan

produksi susu pada sapi perah FH. Tubuh yang besar pada seekor sapi dapat

menampung banyak makanan untuk diproses menjadi air susu, sedangkan

ambing yang besar memiliki banyak kelenjar untuk berproduksi susu serta

dapat menampung air susu dalam jumlah yang banyak.

f. Siklus Esterus (Birahi)

Pada saat ternak perah birahi, perubahan-perubahan fisiologis dalam

tubuhnya adalah sering gelisah dan nafsu makan berkurang, sehingga siklus

14
esterus biasanya menurunkan produksi susu dan kadar lemak yang cukup

berarti.

g. Kebuntingan

Umur kebuntingan secara langsung tidak mempengaruhi jumlah

produksi dan komposisi air susu, tetapi secara tidak langsung selama sapi

laktasi bunting, energi pakan tidak sepenuhnya diproses menjadi air susu,

tetapi sebagian digunakan untuk membesarkan dan memelihara fetus.

2.1.2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi

susu dari luar atau lingkungan sekitar. Adapun faktor-faktor eksternal yang

mempengaruhi produksi dan kualitas susu segar, sebagai berikut.

a. Musim/Iklim

Iklim dapat berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap

proses fisiologis pada ternak perah. Suhu lingkungan yang tinggi dapat

menganggu pertumbuhan atau penurunan berat badan, produksi susu,

reproduksi kesehatan, bahkan dapat menimbulkan kematian. Untuk itu perlu

diperhatikan batas maksimum temperatur nyaman dari ternak FH adalah

21oC, Nrown Swiss 24oC, dan Jersey 26oC.

b. Interval Pemerahan

Pada umumnya sapi diperah 2 kali sehari, pagi dan sore hari.

Pemerahan yang dilakukan lebih dari 2 kali sehari hanya dilakukan pada sapi

yang dapat berproduksi susu tinggi, misalnya pada sapi yang produksi

15
susunya 20 liter per hari dapat diperah 3 kali sehari dan sapi yang berproduksi

susu 25 liter per hari dapat diperah sebanyak 4 kali sehari.

c. Lama Masa Kering

Produksi susu pada laktasi ke-2 dan berikutnya dipengaruhi oleh

lama masa kering yang lalu. Sapi perah harus diberi istirahat selama 6-8

minggu sebelum melahirkan pada setiap periode laktasi.

d. Pengaturan Jarak Beranak (Calving Interval)

Calving interval atau jarak beranak adalah jumlah hari atau bulan

antara kelahiran dengan kelahiran berikutnya. Calving Interval yang optimal

adalah 12 dan 13 bulan.

e. Penyakit

Berbagai jenis penyakit pada ternak sapi perah utamanya adalah

penyakit mastitis, ketosis, milk fever, dan salah pencernaan yang dapat

mempengaruhi produksi dan komposisi air susu. Penyakit ternak memiliki

pengaruh yang merugikan karena dapat menurunkan jumlah dan kualitas

produksi susu, serta memerlukan biaya tambahan untuk pengobatan dan

perawatan penyembuhan.

f. Pergantian Pemerah

Sapi perah lebih suka diperah secara teratur oleh pemerah yang sama

dengan sistem pemerahan tangan (manual). Pergantian pemerah dapat

menyebabkan stres pada sapi perah. Hal ini terjadi karena sapi perah sangat

peka terhadap perubahan-perubahan pada dirinya termasuk pergantian sapi

perah.

16
g. Makanan dan Pemberian Air

Pakan merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan

keberhasilan peternakan sapi perah. Bahan pakan digolongkan menjadi dua

kategori, yaitu bahan pakan hijauan dan bahan pakan konsentrat. Pakan

hijauan pada umumnya merupakan pakan utama bagi ternak sapi perah.

Sedangkan pakan konsentrat merupakan pakan tambahan bagi ternak sapi

perah. Kualitas bahan pakan konsentrat pada umumnya lebih baik jika

dibandingkan dengan pakan hijauan. Pemberian makanan yang optimal pada

seekor sapi yang sedang dalam masa kering kandang dapat meningkatkan

produksi susu sebesar 10-30%. Disamping itu, faktor pemberian air juga

merupakan salah satu faktor yang sangat penting terhadap kelangsungan

hidup ternak. Selanjutnya, Ako (2013;50) menjelaskan bahwa pada umumnya

seekor sapi membutuhkan air sebanyak 40 liter per hari. Jumlah ini akan

menjamin semua fungsi tubuh ternak sapi perah berfungsi optimum.

2.2. Komoditas Susu

Soeparno (2015;6) mendefinisikan susu sebagai sekresi normal kelenjar

mamari atau ambing mamalia atau dapat juga didefinisikan sebagai cairan yang

diperoleh dari hasil pemerahan ambing sapi sehat, tanpa dikurangi atau ditambah

sesuatu. Susu dan produk susu sudah sangat dikenal sebagai bahan makanan

bergizi tinggi dan baik untuk kesehatan. Susu mengandung zat gizi yang sangat

dibutuhkan oleh tubuh seperti air, protein, lemak, karbohidrat, mineral dan

vitamin. Sumber susu untuk manusia terutama dapat berasal dari sapi perah,

17
kerbau perah dan kambing perah. Akan tetapi, sebagian besar susu dan produk

susu berasal dari susu sapi. Perbedaan kandungan komposisi antara air susu

berbagai spesies terletak pada persentase komposisi zat yang dikandungnya.

Khususnya pada kadar lemak. Adapun perbedaan kandungan komposisi susu dari

berbagai spesies dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Susu dari Berbagai Spesies.

Spesies Air (%) Lemak (%) Protein (%) Laktosa (%) Abu (%)
Manusia
88,30 3,11 1,19 7,18 0,21
(ASI)
Sapi 87,25 3,80 3,50 4,80 0,65
Kambing 87,88 3,82 3,20 4,54 0,55
Domba 80,82 6,68 6,52 4,91 0,89
Kuda 90,70 1,20 2,00 5,70 0,40
Kerbau 76,89 12,48 6,03 3,74 0,89
Rusa 67,20 17,09 9,89 2,82 1,49
Unta 87,61 5,38 2,98 3,26 0,70
Sumber : Ako (2013;29)

Ako (2013;28) menjelaskan bahwa air susu merupakan campuran zat

yang istimewa. Hasil analisis yang banyak dilakukan di Indonesia menunjukkan

bahwa secara garis besar air susu terdiri dari air, lemak dan bahan kering tanpa

lemak (solid non fat – SNF).

Susu di Indonesia hampir 90% dihasilkan oleh peternak sapi perah kecil

dengan kepemilikan 2-4 ekor sapi perah. Setelah susu dikumpulkan kemudian

dikirim ke koperasi dan berakhir sebagian besar di industri pengolahan susu (IPS).

Pada kenyataannya susu merupakan komoditas pangan prima karena mengandung

gizi lengkap untuk pertumbuhan. Gula susu atau laktosa yang hanya terdapat pada

susu akan mengasilkan galaktosa yang sangat penting bagi pertumbuhan bayi

diatas umur 3 tahun. Sedangkan protein yang memiliki asam amino lengkap

18
adalah esensial untuk pembangunan tubuh. Susu juga kaya akan kalsium yang

baik untuk pertumbuhan tulang. Melihat hal semacam ini maka susu menjadi

komoditas strategis terkait dengan pengembangan kualitas SDM suatu bangsa.

2.3. Teori Produksi

Produksi dalam agribisnis didefinisikan sebagai seperangkat prosedur

dan kegiatan yang terjadi dalam penciptaan produk agribisnis, diantaranya yaitu

produk usaha pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan hasil olahan

produk-produk tersebut (Sa’id dan Intan, 2001:43).

2.3.1. Fungsi produksi

Baye dan Prince (2016;152) mendefinisikan fungsi produksi adalah

sebuah fungsi yang mendefinisikan jumlah maksimum keluaran (output) yang

dapat diproduksi dengan serangkaian masukan (input) tertentu. Sedangkan,

Tasman dan Aima (2016;66) mendefinisikan fungsi produksi adalah suatu fungsi

atau persamaan yang menujukkan hubungan antara tingkat output dan tingkat

penggunaan input-input. Simbol Q menunjukkan tingkat produksi atau jumlah

keluaran yang dihasilkan dan simbol X1-n menunjukkan berbagai input yang

digunakan. Adapun, fungsi produksi secara matematis dalam Tasman dan Aima

(2016;66) dituliskan sebagai berikut :

Q = f(X1, X2, X3, ...., Xn) .................................................................................. (1)

Baye dan Prince (2016;153) menjelaskan bahwa komponen paling

penting dalam pengambilan keputusan manajerial adalah penentuan produktivitas

dari masukan yang digunakan dalam proses produksi. Ukuran yang paling penting

19
dari produktivitas adalah produk total, produk rata-rata dan produk marginal.

Ukuran-ukuran ini berguna untuk mengevaluasi efektivitas proses produksi dan

untuk membuat keputusan masukan yang memaksimalkan laba.

Rahardja dan Manurung (2010;109) mendefinisikan produk total, produk

marginal dan produk rata-rata sebagai berikut :

a. Produk Total, produksi total (total product - TP) adalah banyaknya produksi

yang dihasilkan dari penggunaan total faktor produksi. Produk total

merupakan tingkat maksimum output yang dapat dihasilkan dengan

menggunakan sejumlah input tertentu.

b. Produk Marginal, produksi marginal (marginal product - MP) adalah

perubahan total produksi karena penambahan penggunaan satu unit faktor

produksi. produsen dapat terus menambah faktor produksi selama MP > 0.

Apabila MP < 0, maka penambahan faktor produksi justru akan mengurangi

jumlah produksi total. Penurunan nilai MP merupakan indikasi terjadinya

hukum the law of deminishing return.

c. Produk Rata-rata, produk rata-rata (average production - AP) adalah rata-rata

output yang dihasilkan per unit faktor produksi.

2.3.2. Kurva Produksi

Rahardja dan Manurung (2010; 112-114) menjelaskan bahwa terdapat

tiga tahap penting dari proses perilaku produksi. Pada tahap pertama, penambahan

input faktor produksi, misalnya tenaga kerja akan meningkatkan produk total

maupun produk rata-rata. Pada tahap kedua, terjadi hukum law of deminishing

return yang mengakibatkan produk marginal dan produk rata-rata mengalami

20
penurunan, namun nilai keduanya masih positif. Penambahan tenaga kerja akan

menambah produksi total sampai mencapai nilai maksimum. Pada tahap ketiga,

perusahaan tidak mungkin melanjutkan produksi karena penambahan tenaga kerja

justru akan menurunkan jumlah produksi total yang dihasilkan. Berdasarkan hasil

uraian diatas maka dapat dikatakan bahwa produsen sebaiknya berproduksi pada

tahap II, hal ini dikarenakan pada tahap ini setiap tambahan satu unit faktor

produksi akan memberikan tambahan produksi total (TP), walaupun produk rata-

rata (AP) dan produk marginal (MP) menurun namun kondisinya masih positif

sehingga pada tahap ini akan dicapai pendapatan maksimum. Adapun secara lebih

rinci, kurva produksi dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Kurva Hubungan TP, AP dan MP


Sumber : Rahardja dan Manurung (2010;113)

21
2.4. Teori Penawaran

Rahardja dan Manurung (2010;28) mendefinisikan penawaran (supply)

sebagai jumlah barang atau jasa yang ditawarkan oleh produsen pada berbagai

tingkat harga dan pada periode tertentu. Secara lebih rinci, Setyowati dkk

(2013:59) menjelaskan bahwa dalam konteks perubahan penawaran mengikuti

hukum penawaran (the law of supply). Adapun hukum penawaran menyatakan

bahwa “jika harga turun, maka jumlah barang yang ditawarkan cenderung

menurun, sebaliknya jika harga naik, maka jumlah barang yang ditawarkan

cenderung meningkat dengan asumsi faktor-faktor diluar harga dianggap tetap

(ceteris paribus)“.

2.4.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran

Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dirangkum dari Rahardja

dan Manurung (2010; 28-39) sebagai berikut:

a. Harga Barang itu sendiri

Harga berpengaruh terhadap jumlah penawaran, apabila harga suatu

barang naik, maka produsen cenderung akan menambah jumlah penawaran

melalui penambahan jumlah barang yang dihasilkan. Fenomena ini terangkum

dalam hukum penawaran yang menjelaskan sifat hubungan antara harga suatu

barang dengan jumlah produk yang ditawarkan.

b. Harga barang-barang lain

Harga barang lain yang dimaksud adalah harga barang substitusi dan

barang komplementer. Barang seperti itu dapat menimbulkan pengaruh yang

penting kepada penawaran suatu barang. Secara umum dapat dikatakan bahwa

22
apabila harga barang subtitusi naik, maka penawaran suatu barang akan

bertambah. Sedangkan untuk barang komplementer, dapat dinyatakan bahwa

apabila harga barang komplementer naik, maka penawaran suatu barang akan

berkurang.

c. Harga Faktor Produksi dan Total biaya produksi

Kenaikan harga faktor produksi akan menyebabkan produsen

memproduksi lebih sedikit dengan jumlah anggaran yang tepat. Sedangkan total

biaya produksi secara umum meliputi harga faktor produksi yang digunakan.

Kenaikan terhadap biaya-biaya tersebut dapat mengurangi penawaran barang

perusahaan, dengan asumsi kemampuan modal perusahaan tidak bertambah.

d. Teknologi produksi

Kemajuan teknologi produksi menyebabkan penurunan total biaya

produksi. Teknologi produksi memiliki hubungan positif terhadap jumlah

penawaran, artinya apabila semakin maju teknologi produksi yang digunakan

maka jumlah penawaran akan semakin meningkat.

e. Tujuan perusahaan

Perusahaan pada umumnya bertujuan untuk memaksimumkan laba,

bukan memaksimumkan hasil produksinya. Akibatnya, tiap produsen akan

berusaha untuk memanfaatkan kapasitas produksinya pada tingkat produksi yang

memberikan keuntungan maksimum. Namun demikian terdapat juga perusahaan

yang bertujuan untuk memaksimumkan produksi dibandingkan memaksimumkan

keuntungan. Sehingga dengan demikian, penawaran suatu barang dipengaruhi

oleh tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan.

23
f. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi penawaran suatu barang.

Sebagai contoh misalnya dalam model penawaran beras di Indonesia, kebijakan

pemerintah untuk mengurangi impor beras dan meningkatkan produksi dalam

negeri guna mencapai swasembada beras, menyebabkan para petani menanam

padi tertentu yang memberikan hasil banyak setiap panennya. Kebijakan seperti

ini, menyebabkan jumlah penawaran beras bertambah dan impor beras dapat

dikurangi.

2.4.2. Fungsi Penawaran

Fungsi penawaran adalah penawaran yang dinyatakan dalam hubungan

matematis dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penjelasan mengenai

faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dapat dituliskan menjadi sebuah

persamaan sebagai berikut :

Sx = f(Px, Py,Pi, Tek, Tu, K) ........................................................................... (2)

Dimana :
Sx = Penawaran Barang X
Px = Harga Barang X
Py = Harga Barang Y (barang substitusi atau komplementer)
Pi = Harga Input (Total biaya produksi)
Tek = Teknologi
Tu = Tujuan Perusahaan
K = Kebijakan Pemerintah

2.4.3. Kurva Penawaran

Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2007;24), kurva penawaran (supply

curve) didefinisikan sebagai hubungan jumlah barang yang ingin ditawarkan

dengan harga yang akan diterima di pasar. Sukirno (2011;89) menjelaskan

pergerakan dalam kurva penawaran menggambarkan hubungan antara harga suatu

24
barang dengan jumlah barang yang ditawarkan dengan faktor selain harga

dianggap tetap (ceteris paribus). Pada Gambar 5, pergerakan kurva ke bawah

menunjukkan bahwa apabila terjadi penurunan harga, maka jumlah barang yang

akan ditawarkan juga menurun. Pergerakan sepanjang kurva penawaran SS dapat

dilihat dari titik PA yang bergerak ke titik P 1B. Hal ini menunjukkan bahwa

apabila harga pada titik P turun menjadi titik P 1, maka jumlah barang yang

ditawarkan akan menurun dari titik Q ke titik Q1. Sebaliknya, pergerakan kurva ke

arah atas menunjukkan bahwa apabila terjadi kenaikan harga, maka jumlah barang

yang akan ditawarkan juga meningkat. Pergerakan kurva ini dapat dilihat dari titik

P1B yang bergerak ke titik PA. Hal ini menunjukkan bahwa apabila harga pada

titik P1 naik menjadi titik P, maka jumlah barang yang ditawarkan akan meningkat

dari titik Q1 ke titik Q. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diketahui bahwa

hubungan dalam pergerakan kurva penawaran bersifat positif atau searah.

Penawaran terhadap suatu barang tidak hanya ditentukan oleh faktor

harga, melainkan ditentukan pula oleh banyak faktor lain selain harga. Apabila

terdapat perubahan penawaran yang ditimbulkan oleh faktor bukan harga, maka

perubahan ini akan menimbulkan pergeseran kurva penawaran. Kurva penawaran

akan bergerak ke kanan atau ke kiri. Pergeseran dari SS menjadi S1S1 atau S2S2

menggambarkan perubahan penawaran oleh faktor non harga. Pergeseran dari SS

menjadi S1S1 atau dari titik A ke titik A1 menyebabkan jumlah barang yang

ditawarkan bertambah dari Q menjadi Q2 ke arah kanan dengan harga tetap

sebesar P. Pergeseran SS menjadi S2S2 atau dari titik A ke titik A2 ke arah kiri,

menggambarkan jumlah barang yang ditawarkan berkurang dari Q menjadi Q 3

25
pada harga tetap sebesar P. Gambar pergerakan dan pergeseran kurva permintaan

secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Pergerakan dan Pergeseran Kurva Penawaran


Sumber : Sukirno, (2011;89)

2.5. Teori Permintaan

Permintaan (demand) didefinisikan sebagai jumlah barang atau jasa yang

diminta oleh konsumen pada berbagai tingkat harga. Dalam konteks perubahan

permintaan konsumen mengikuti hukum permintaan (the law of demand).

Setyowati dkk (2013:23) menjelaskan bahwa hukum permintaan menyatakan

“Jika harga turun, maka jumlah permintaan barang cenderung meningkat dengan

asumsi faktor-faktor lain diluar harga cenderung tetap. Sebaliknya jika harga naik,

maka jumlah permintaan barang cenderung menurun dengan asumsi faktor-faktor

lain diluar harga cenderung tetap (ceteris paribus)”.

26
2.5.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan.

Rahardja dan Manurung (2010;20-22) menjelaskan bahwa dalam konsep

teori permintaan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan

diantaranya sebagai berikut :

a. Harga barang itu sendiri

Jika harga barang semakin murah, maka permintaan terhadap barang

akan bertambah. Begitu juga sebaliknya bila harga suatu barang naik, maka

jumlah barang yang diminta akan turun.

b. Harga barang lain yang terkait

Harga barang lain yang memiliki keterkaitan dengan suatu barang juga

akan mempengaruhi permintaan akan suatu barang. Keterkaitan antar dua barang

ini, bisa dalam bentuk keterkaitan barang substitusi (pengganti) dan barang

komplementer (pelengkap).

c. Tingkat pendapatan perkapita

Tingkat pendapatan perkapita dapat mencerminkan daya beli. Makin

tinggi tingkat pendapatan, daya beli akan semakin kuat. Sehingga permintaan

terhadap suatu barang akan meningkat.

d. Selera atau kebiasaan

Selera atau kebiasaan dapat mempengaruhi tingkat permintaan. Misalnya,

permintaan komoditas beras di beberapa daerah di Indonesia lebih rendah

dikarenakan selera dan kebiasaan makanan utama mereka bukan komoditas beras,

melainkan komoditas pangan lain seperti jagung dan sagu.

27
e. Jumlah penduduk

Jumlah penduduk berhubungan positif terhadap permintaan akan suatu

barang dan jasa. Artinya, semakin banyak jumlah penduduk, maka semakin

banyak pula jumlah barang yang diminta. Akan tetapi, Sukirno (2011;82)

menjelaskan bahwa pertambahan jumlah penduduk tidak dengan sendirinya

menyebabkan pertambahan permintaan. Biasanya pertambahan jumlah penduduk

akan diikuti oleh perkembangan dalam kesempatan kerja. Sehingga lebih banyak

orang yang menerima pendapatan dan hal ini akan menambah daya beli dalam

masyarakat. peningkatan daya beli ini diduga akan mempengaruhi jumlah

permintaan.

f. Perkiraan harga di masa mendatang

Apabila diperkirakan harga barang akan naik, maka lebih baik membeli

barang tersebut saat ini, sehingga mendorong orang untuk membeli lebih banyak

guna menghemat belanja dimasa mendatang.

g. Distribusi pendapatan

Tingkat pendapatan per kapita dapat memberikan kesimpulan yang salah

apabila distribusi pendapatan buruk. Artinya jika pendapatan distribusi secara

umum melemah, sehingga permintaan terhadap suatu barang menurun.

h. Usaha produsen meningkatkan penjualan

Era perekonomian modern, strategi pemasaran dengan bujukan para

penjual untuk membeli barang, besar sekali peranannya dalam mempengaruhi

masyarakat. pengiklanan memungkinkan masyarakat untuk mengenal suatu

barang baru atau menimbulkan permintaan terhadap suatu barang tersebut.

28
2.5.2. Fungsi Permintaan

Fungsi permintaan adalah permintaan yang dinyatakan dalam hubungan

matematis dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dengan fungsi

permintaan, maka dapat diketahui hubungan antar variabel tidak bebas (dependent

variable) dan variabel-variabel bebas (independent variabel). Rahardja dan

Manurung (2010;23) menjelaskan bahwa dalam analisis ekonomi tidak semua

variabel diperhitungkan. Biasanya yang diperhitungkan adalah variabel yang

memiliki pengaruh besar dan secara langsung. Dalam hal ini variabel yang

dianggap mempengaruhi permintaan suatu barang adalah harga barang itu sendiri,

harga barang lain dan pendapatan. Adapun persamaan permintaan dapat ditulis

sebagai berikut :

Dx = f(Px, Py, Pc)............................................................................................. (3)

Dimana :
Dx = Permintaan barang X
Px = Harga Barang X
Py = Harga Barang Y (barang substitusi atau komplementer)
Pc = Pendapatan per kapita

2.5.3. Kurva Permintaan

Pindyck dan Rubinfeld (2007;26) menjelaskan bahwa kurva permintaan

(demand curve) menyatakan hubungan antara harga suatu barang dengan tingkat

permintaan barang tersebut. Kurva permintaan ditandai dengan D, menunjukkan

bagaimana jumlah barang yang diminta konsumen bergantung pada harga. Kurva

permintaan pada umumnya menurun dari kiri atas ke kanan bawah.

Hukum permintaan terutama memperhatikan sifat hubungan antara harga

suatu barang dengan jumlah barang yang diminta. Pergerakan dalam kurva

29
permintaan menggambarkan hubungan antara harga suatu barang dengan jumlah

barang yang diminta dengan faktor selain harga dianggap tetap (ceteris paribus).

Dalam Sukirno (2011;83-84) dijelaskan bahwa pergerakan kurva ke bawah

menujukkan bahwa apabila terjadi penurunan harga, maka jumlah barang yang

akan diminta akan meningkat. Pergerakan sepanjang kurva permintaan DD dapat

dilihat dari titik PA yang bergerak ke titik P 1B. Hal ini menunjukkan bahwa

apabila harga pada titik P turun menjadi titik P 1, maka jumlah barang yang

diminta akan meningkat dari titik Q ke titik Q1. Sebaliknya, pergerakan kurva ke

arah atas menujukkan bahwa apabila terjadi kenaikan harga, maka jumlah barang

yang diminta akan menurun. Pergerakan kurva ini dapat dilihat dari titik P 1B yang

bergerak ke titik PA. Hal ini menunjukkan bahwa apabila harga pada titik P 1 naik

menjadi titik P, maka jumlah barang yang diminta akan menurun dari titik Q1 ke

titik Q. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diketahui bahwa hubungan dalam

pergerakan kurva permintaan bersifat negatif atau tidak searah.

Permintaan terhadap suatu barang tidak hanya ditentukan oleh faktor

harga, melainkan ditentukan pula oleh banyak faktor lain selain harga. Apabila

terdapat perubahan permintaan yang ditimbulkan oleh faktor bukan harga, maka

perubahan ini akan menimbulkan pergeseran kurva pemintaan. Sebagai contoh,

dimisalkan bahwa pendapatan pembeli mengalami kenaikan, maka perubahan

faktor pendapatan ini akan menaikkan permintaan. Kurva permintaan akan

bergerak ke kanan atau ke kiri, yaitu seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 6.

30
Gambar 6. Pergerakan dan Pergeseran Kurva Permintaan
Sumber : Sukirno, (2011;84)

Titik A pada kurva DD menggambarkan bahwa pada harga P, jumlah

yang diminta adalah Q. Sedangkan titik A1 pada kurva D1D1 menunjukkan bahwa

pada harga P yang sama jumlah yang diminta naik menjadi Q1. Contoh ini

menunjukkan apabila kurva bergerak ke sebelah kanan, maka perpindahan itu

menunjukkan pertambahan dalam permintaan. Sebaliknya pergeseran kurva

permintaan ke sebelah kiri menjadi D2D2, pada titik A2 menunjukkan bahwa

permintaan telah menurun dari Q menjadi Q2.

2.6. Teori Penetapan Harga

Sugiarto (2002;55) menjelaskan bahwa harga pasar dari suatu komoditas

dan jumlah yang diperjualbelikan pada umumnya ditentukan oleh penawaran, dan

bentuk pasar dari komoditas tersebut. Analisis permintaan dan penawaran

digunakan untuk menggambarkan mekanisme pasar. Tanpa campur tangan dari

pemerintah, maka permintaan dan penawaran diasumsikan dengan sendirinya

akan mencapai keseimbangan harga dan jumlah komoditas yang diperjualbelikan.

31
Disamping itu Amir (2005;165) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi keputusan penetapan harga terdiri dari faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal dipengaruhi oleh tujuan perusahaan dalam memasarkan

produknya dan total biaya produksi yang dikeluarkan dalam proses produksinya.

Sedangkan faktor eksternal diantaranya terdiri dari karakter pasar dan jumlah

permintaan.

2.7. Keseimbangan Pasar (Equilibrium Pasar)

Baye dan Prince (2016:49-51) menjelaskan harga ekuilibrium di pasar

ditentukan oleh interaksi dari semua pembeli dan penjual dalam pasar. Harga dari

suatu barang ditentukan oleh interaksi penawaran dan permintaan pasar atas

barang itu. Harga ekuilibrium adalah harga yang menyamakan kuantitas yang

diminta dengan kuantitas yang ditawarkan atau dapat dikatakan jumlah penawaran

sama dengan jumlah permintaan. Adapun diagram ekuilibrium pasar dapat dilihat

pada Gambar 7.

Defisit

Gambar 7. Diagram Ekuilibrium Pasar


Sumber : Baye dan Prince (2016;50)

32
Berdasarkan pada Gambar 7, harga barang P L pada titik B kurva

permintaan, jumlah barang yang diminta konsumen adalah sebesar Q 1 unit barang.

Sedangkan harga PL pada titik A di kurva penawaran, produsen memproduksi Q 0

unit barang pada harga ini. Dengan demikian, ketika harga PL terjadi kekurangan

(defisit) barang atau barang yang diproduksi tidak cukup untuk memenuhi

permintaan konsumen. Dalam situasi ini, terdapat kecenderungan natural bahwa

harga akan naik. Konsumen yang tidak kebagian membeli barang akan

menawarkan produsen dengan harga yang lebih tinggi untuk mendapatkan produk

tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan naiknya harga barang dari P L ke Pe. Dengan

adanya kenaikan harga, produsen memiliki insentif untuk memperbanyak

kuantitas keluaran dari Q0 ke Qe. Sejalan dengan naiknya harga, konsumen

bersedia membeli lebih sedikit barang, yaitu ketika harga naik dari P L menjadi Pe,

maka kuantitas yang diminta konsumen turun dari Q1 menjadi Qe. Pada harga P e,

barang yang diproduksi cukup untuk memenuhi kesediaan dan kemampuan

konsumen untuk membeli barang pada harga tersebut. Dalam hal ini pada titik E

terjadi ekulibrium yaitu, kuantitas yang diminta sama dengan kuantitas yang

ditawarkan.

Apabila harga sebesar PH pada titik F di kurva permintaan, menunjukkan

bahwa konsumen ingin membeli barang sejumlah Q0 unit. Sedangkan harga PH

pada titik G di kurva penawaran menunjukkan bahwa produsen memproduksi

barang sejumlah Q1 unit. Dengan demikian, pada harga PH terdapat kelebihan

(surplus) barang. Dalam situasi ini, terdapat kecenderungan natural bahwa harga

akan jatuh agar kuantitas yang ditawarkan sama dengan yang diminta. Produsen

33
yang tidak mampu menjual produknya akan menurunkan harga dari P H ke Pe.

Sejalan dengan turunnya harga, konsumen bersedia untuk membeli lebih banyak

barang. Ketika harga PH turun menjadi P e, maka kuantitas yang diminta konsumen

naik dari Q0 menjadi Qe. Dalam hal ini pada titik E terjadi ekulibrium yaitu,

kuantitas yang diminta sama dengan kuantitas yang ditawarkan.

Interaksi penawaran dan permintaan pada akhirnya menentukan

ekulibrium harga pasar (P e) dan barang (Qe). Dengan demikian, tidak terjadi

defisit atau surplus barang. Harga ini disebut dengan harga ekulibrium (P e) dan

kuantitasnya disebut dengan kuantitas ekuilibrium (Q e). Ketika harga dan

kuantitas ini tercapai, kekuatan permintaan dan penawaran seimbang, tidak

terdapat kecenderungan harga naik atau turun.

2.8. Konsep Elastisitas

Rahardja dan Manurung (2010;57) menjelaskan elastisitas adalah

persentase perubahan pada variabel dependen atau variabel endogen akibat

perubahan dari variabel independen atau variabel eksogen. Elastisitas dapat

dikelompokkan menjadi elastisitas harga, elastisitas silang dan elastisitas

pendapatan.

1. Elastisitas harga, adalah elastisititas yang dikaitkan dengan harga barang itu

sendiri. Adapun rumus untuk menghitung elastisitas harga dapat dilihat

sebagai berikut.

34
2. Elastisitas silang, adalah elastisitas yang dikaitkan dengan perubahan harga

barang lain. adapun rumus untuk menghitung elastisitas silang adalah sebagai

berikut.

3. Elastisitas pendapatan merupakan elastisitas yang dikaitkan dengan jumlah

pendapatan. Adapun rumus untuk menghitung elastisitas pendapatan adalah

sebagai berikut.

2.9. Sistem Persamaan Simultan

Model persamaan dalam pendekatan ekonometrika dibedakan menjadi

persamaan tunggal dan persamaan simultan. Gujarati dan Porter (2013;337-339)

menjelaskan bahwa sebuah pandangan umum yang dipublikasikan dalam ilmu

bisnis dan ekonomi akan menunjukkan bahwa hubungan ekonomi terdiri atas

banyak persamaan tunggal. Dalam model tersebut satu variabel (variabel Y)

dijelaskan sebagai fungsi linear dari satu atau lebih variabel penjelas X. Asumsi

tersebut merupakan hubungan antara variabel Y dan X adalah searah. Akan tetapi,

35
dalam banyak situasi, hubungan sebab akibat satu arah tidak mempunyai arti.

Terdapat situasi dimana diantara variabel-variabel ekonomi memiliki hubungan

yang bersifat dua arah. Maksud dari hubungan dua arah tersebut yaitu satu

variabel ekonomi (X) dapat mempengaruhi variabel ekonomi yang lain dan juga

variabel ekonomi (X) tersebut dapat dipengaruhi oleh variabel ekonomi lain.

Artinya dalam sebuah sistem persamaan simultan, variabel ekonomi (X) dapat

menjadi variabel eksogen atau variabel yang mempengaruhi variabel lain dalam

sebuah persamaan. Kemudian dalam persamaan lain, variabel ekonomi (X) juga

dapat berperan sebagai variabel endogen atau variabel yang dipengaruhi oleh

variabel lain. Sehingga, hal tersebut menuju pada model persamaan simultan,

yaitu suatu model yang didalamnya terdapat lebih dari satu persamaan regresi,

masing-masing memiliki variabel yang saling bergantung satu dengan yang

lainnya.

Sitepu dan Sinaga (2006;199) mendefinisikan model persamaan simultan

sebagai model kausalitas dua arah, karena sejumlah persamaan akan membentuk

suatu sistem persamaan yang menggambarkan ketergantungan diantara berbagai

variabel di dalam persamaan-persamaan tersebut. Metode analisis yang digunakan

dalam penyelesaian masalah penelitian dengan menggunakan persamaan simultan,

secara teoritis dapat dilakukan melalui berbagai tahapan sebagai berikut.

2.9.1. Merumuskan Model

Tahap pertama adalah membangun model yang akan digunakan dalam

persamaan simultan. Setiawan dan Kusrini (2010;198) menjabarkan variabel-

variabel dalam model persamaan simultan terdiri atas dua jenis yaitu :

36
a. Variabel endogen (endogenous), variabel endogen atau variabel dependen

didefinisikan sebagai variabel-variabel yang sudah ditentukan didalam model.

b. Variabel yang sudah ditentukan (predetermined), variabel predetermined

didefinisikan sebagai variabel-variabel yang ditentukan di luar model.

Variabel-variabel predetermined dibagi menjadi dua kategori yaitu variabel

eksogen dan lag endogen (lagged endogenous). Nilai variabel eksogen

ditentukan diluar sistem yang dibentuk. Namun nilai variabel lagged

endogenus didapatkan dari variabel endogen yang ada di dalam model di

masa lalu.

2.9.2. Identifikasi Model

Tahap kedua adalah melakukan identifikasi terhadap persamaan dalam

model yang telah dirumuskan. Menurut Gujarati dan Porter (2013;363),

identifikasi model ini dilakukan untuk mengetahui apakah model persamaan yang

telah dirumuskan dapat diidentifikasi (identified) atau tidak dapat diidentifikasi

(unidentified atau underindetified). Persamaan yang telah diidentifikasi dapat

menjadi diidentifikasi secara tepat (exactly identified) atau dapat diindentifikasi

secara berlebihan (over identified). Sebuah sistem persamaan dikatakan under

identified apabila terlalu sedikit informasi yang digunakan sehingga tidak dapat

disimpulkan dan teknik ekonometrika tidak dapat diterapkan untuk menduga

semua parameternya. Persamaan exactly identified merupakan persamaan yang

dapat tepat teridentifikasikan apabila adanya variabel atau informasi tambahan

yang dapat membedakan persamaan-persamaan tersebut. Sedangkan, persamaan

37
over identified adalah adanya variabel atau informasi yang terlalu berlebih

sehingga persamaan tersebut menjadi terlalu teridentifikasi.

Gujarati dan Porter (2013;372-373) menjelaskan salah satu cara dalam

melakukan identifikasi dapat dilakukan dengan identifikasi kondisi orde (order

condition). Dalam suatu model dari M persamaan simultan, agar suatu persamaan

diidentifikasikan, jumlah variabel yang ditetapkan terlebih dahulu

(predetermined) yang dikeluarkan dari persamaan tidak boleh lebih sedikit dari

jumlah variabel endogen yang dimasukkan dalam persamaan dikurangi dengan

satu, yaitu :

K–k>m-1

Dimana :

K = jumlah variabel yang sudah ditetapkan (predetermined) dalam model


termasuk intercept.
k = jumlah variabel yang ditetapkan dalam model persamaan.
m = jumlah variabel endogen dalam persamaan yang diberikan.

Prinsip dalam menentukan identifikasi dalam model persamaan simultan,

secara sederhana adalah sebagai berikut.

a. Jika K-k > m-1, persamaan tersebut adalah overidentified.

b. Jika K-k = m-1, persamaan tersebut adalah teridentifikasi secara tepat.

c. Jika K-k < m-1, persamaan struktural tidak teridentifikasi.

2.9.3. Pendekatan Estimasi Model

Gujarati dan Porter (2013;413) menjabarkan metode estimasi yang

digunakan dalam persamaan simultan, yaitu :

38
a. Indirect Least Square (ILS)

Metode estimasi Indirect Least Square (ILS) sesuai digunakan untuk

mengestimasi model persamaan exactly identified. Dalam metode ini, OLS

digunakan untuk persamaan reduce form, dan koefisien dari reduced form yang

kemudian digunakan untuk menduga koefisien aslinya.

b. Two Stage Least Square

Setiawan dan Kusrini (2010;220) menjelaskan bahwa metode Two Stage

Least Square (2 SLS) digunakan untuk mengestimasi persamaan overidentified

dalam persamaan simultan. Model 2 SLS digunakan karena adanya saling

ketergantungan antara variabel error dengan variabel penjelas endogenus.

2.9.4. Pengujian Model

Pengujian model yang dilakukan dalam penelitian diantaranya yaitu uji

autokorelasi, uji F, uji t, uji R2, dan uji validasi model. Adapun penjabaran lebih

rinci terkait uji yang dilakukan, dapat dilihat sebagai berikut :

2.9.4.1. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi

linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan

pengganggu pada periode sebelumnya. Salah satu metode yang digunakan untuk

mendeteksi autokolerasi adalah uji Durbin-Watson. Untuk pengambilan keputusan

dapat dilakukan dengan membandingkan nilai duji dengan dkritis. Nilai dkritis

dibentuk dari dL (d bawah) dan dU (d atas). Nilai dL dan dU dapat diperoleh dari

tabel durbin watson dengan informasi n = jumlah observasi dan k’ = jumlah

variabel independen dalam model regresi.

39
Kriteria pengambilan keputusan menurut Sunyoto (2010;110) dibagi

menjadi tiga keputusan, keputusan pertama yaitu jika nilai dW dibawah -2 (dW < -

2), maka terjadi autokorelasi positif. Keputusan kedua, yaitu jika nilai dW berada

diantara -2 dan + 2 atau (-2< dW +2), maka dapat disimpulkan tidak terjadi

autokorelasi. Keputusan ketiga yaitu jika dW diatas +2 atau (dW > +2) maka

terjadi autokorelasi negatif. Sedangkan, Hakim (2014;142) menjelaskan bahwa

kriteria pengambilan keputusan dalam uji autokorelasi sebagai berikut :

a. Jika 0 < d < dL artinya terdapat autokolerasi positif.

b. Jika dL < d < dU artinya merupakan daerah keragu-raguan, tidak ada

keputusan.

c. Jika dU < d < 4 – dU artinya tidak ada autokolerasi.

d. Jika 4 – dU < d < 4 – dL artinya merupakan daerah keragu-raguan, tidak ada

keputusan.

e. Jika 4 – dL < d < 4 artinya terdapat autokolerasi negatif.

2.9.4.2. Pengujian Serentak (Uji F)

Suliyanto (2011;61-62) menjelaskan bahwa pengujian serentak atau uji F

dilakukan untuk menguji pengaruh secara simultan terhadap variabel terikatnya.

Pengujian serentak atau uji F dilakukan untuk menguji pengaruh secara simultan

terhadap variabel terikatnya. Nilai F hitung digunakan untuk menguji ketepatan

model atau goodness of fit. Jika variabel bebas memiliki pengaruh secara simultan

terhadap variabel terikat, maka model persamaan masuk dalam kriteria cocok atau

fit. Sebaliknya, jika tidak terdapat pengaruh secara simultan maka model

persamaan masuk dalam kriteria tidak cocok atau non fit. Untuk menyimpulkan

40
hasil uji serentak (Uji F) dan kriteria cocok atau tidak, dapat digunakan kriteria

pengambil keputusan sebagai berikut.

a. Ho menunjukkan bahwa variabel independen yang diuji tidak berpengaruh

secara serentak terhadap variabel independennya. Sedangkan H1 atau

hipotesis alternatif menunjukkan bahwa variabel yang diuji berpengaruh

secara serentak terhadap variabel independen.

b. Kriteria pengambilan keputusan berdasarkan nilai F hitung dan nilai F tabel

dengan ketentuan :

1) Apabila nilai F hitung < F tabel, maka Ho diterima. Artinya variabel

independen secara serentak tidak berpengaruh signifikan terhadap

variabel dependen.

2) Apabila F hitung > F tabel, maka Ho ditolak. Artinya, variabel

independen secara serentak berpengaruh signifikan terhadap variabel

dependen.

c. Kriteria pengambilan keputusan dengan nilai probability (P-value) atau nilai

sig dengan ketentuan :

1) Jika nilai probability > , maka Ho diterima. Artinya, variabel dependen

secara serentak tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

2) Jika nilai probability < , maka Ho ditolak. Artinya, variabel independen

secara serentak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

2.9.4.3. Pengujian Individu (Uji t)

Menurut Setiawan dan Kusrini (2010;64) uji t dilakukan untuk menguji

pengaruh secara parsial (per variabel) terhadap variabel terikatnya. Kesimpulan

41
yang diputuskan dapat diperoleh dari kriteria pengambil keputusan sebagai

berikut.

a. Ho menunjukkan bahwa variabel yang diuji tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap variabel independen. Sedangkan H1 atau hipotesis

alternatif menunjukkan bahwa variabel yang diuji berpengaruh secara

signifikan terhadap variabel independen.

b. Kriteria pengambilan keputusan dengan nilai t hitung dan nilai t tabel, dengan

ketentuan :

1) Apabila nilai t hitung < t tabel, maka Ho diterima. Artinya variabel

independen ke-i tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

variabel dependen.

2) Apabila t hitung > t tabel, maka H o ditolak. Artinya, variabel independen

ke-i memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen.

c. Kriteria pengambilan keputusan dengan nilai probability (P-value) atau nilai

sig dengan ketentuan :

1) Jika nilai probability > , maka Ho diterima. Artinya, variabel

independen tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen

secara parsial.

2) Jika nilai probability < , maka Ho ditolak. Artinya, variabel independen

berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen secara parsial.

2.9.4.4. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Menurut Suliyanto (2011;39) koefisien determinasi didefinisikan sebagai

besarnya kontribusi variabel bebas terhadap variabel terikatnya. Nilai koefisien

42
determinasi adalah 0 sampai 1. Semakin tinggi nilai koefisien determinasi maka

semakin tinggi variabel bebas dalam menjelaskan variasi perubahan pada variabel

terikatnya. Sedangkan Setiawan dan Kusrini (2010;64-65) menjelaskan bahwa

Nilai R2 = 0, artinya tidak ada hubungan antara X dan Y, atau model yang

terbentuk tidak tepat untuk menjelaskan variabel Y. Sedangkan apabila nilai R2 =

1, artinya model persamaan yang dibentuk mampu menjelaskan variabel Y secara

sempurna.

2.9.4.5. Uji Validasi Model

Uji validasi dalam penelitian menggunakan nilai uji autokorelasi dan

nilai uji statistik U-Theil . Uji autokorelasi dilakukan dengan uji durbin watson

dengan tujuan untuk menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi

antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada

periode sebelumnya. Sedangkan uji statistik U-Theil menurut Sitepu dan Sinaga

(2006;254-255) dilakukan untuk mengetahui sejauh mana model dapat mewakili

dunia nyata. Nilai statistik U-Theil (Theil’s Inequality Coefficient) dapat

digunakan sebagai ukuran validasi model dalam sistem persamaan simultan.

Statistik U-Theil selalu bernilai antara 0 dan 1. Jika nilai U = 0, maka model

secara historis adalah sempurna. Sedangkan apabila nilai U = 1, maka pendugaan

model tersebut tidak sempurna atau naif. Statistik U dapat diuraikan ke dalam

komponen bias, variance, dan covariance yang dijumlahkan sama dengan 1.

Kemudian, nilai-nilai statistik yang dihasilkan dalam nilai U-Theil juga dapat

diuraikan kedalam komponen bias, regression dan disturbance, dan jika

dijumlahkan nilainya sama dengan 1.

43
2.10. Penelitian Terdahulu

Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan dan menjadi

rujukan penulis dalam menyusun penelitian ini, diantaranya dapat dilihat dalam

Tabel 3 dan 4.

Tabel 3. Ringkasan Penelitian Terdahulu

Peneliti dan Pendekat-


No Model Variabel Hasil
Judul an Model
1. Hasanah (2015), Regresi Model Pakan hijauan, Faktor yang
Faktor-faktor Linear Produksi pakan mempengaruhi
yang Berganda konsentrat, produksi susu
Mempengaruhi dengan ampas tahu, diantaranya
Produksi Susu estimasi jumlah sapi yaitu faktor
Sapi Perah dan OLS dan laktasi, jumlah pakan hijauan,
Analisis analisis sapi bunting konsentrat,
Pendapatan pendapatan ampas tahu,
Peternak (Studi jumlah sapi
Kasus laktasi dan
Peternakan jumlah sapi
Kampung 99 bunting.
Pepohonan)

2. Dhaifullah Regresi Model Harga susu Permintaan susu


(2017), Linear Permintaan sapi domestik, sapi dipengaruhi
Analisis Berganda harga teh, oleh harga susu
Permintaan dan dengan pendapatan sapi domestik,
Penawaran Susu estimasi per kapita dan harga teh
Sapi di OLS jumlah pendapatan per
Indonesia penduduk kapita dan
Indonesia jumlah
penduduk.
Model Harga susu Penawaran susu
Penawaran sapi domestik sapi dipengaruhi
dan jumlah oleh harga susu
populasi sapi sapi dan jumlah
perah populasi sapi
perah.

44
Tabel 4. Ringkasan Penelitian Terdahulu Lanjutan

Peneliti Pendekat-
No Model Variabel Hasil
dan Judul an Model
3. Pratiwi Regresi Model Harga susu cair, Faktor-faktor
(2018), Linear Permintaan harga susu kental yang
Analisis Berganda manis, pendapatan berpengaruh
Permintaan dengan perkapita dan jumlah terhadap
Susu Cair estimasi penduduk di Provinsi permintaan susu
di Provinsi OLS DKI Jakarta cair yaitu faktor
DKI harga susu cair,
Jakarta pendapatan per
kapita dan
jumlah
penduduk
4. Zuhriyah Persamaan Model Harga susu segar, Permintaan susu
(2010), simultan Permintaan harga susu bubuk, segar di Jawa
Analisis dengan harga susu kental Timur
Permintaan estimasi 2 manis, jumlah dipengaruhi oleh
dan SLS produksi industri, harga susu
Penawaran jumlah penduduk, segar, tingkat
Susu Segar konsumsi susu segar konsumsi susu
di Jawa per kapita dan segar per kapita
Timur pendapatan dan pendapatan
perkapita. per kapita
penduduk.
Model Harga susu segar, Penawaran susu
Penawaran produksi susu segar segar
peternak, stok susu dipengaruhi oleh
daerah, jumlah susu jumlah produksi
segar keluar daerah, susu segar dan
dan jumlah susu impor susu
segar masuk daerah. segar.
Model Harga susu segar, Hasil yang
Harga harga susu bubuk, diperoleh dari
harga susu kental persamaan harga
manis, jumlah susu segar yaitu,
produksi industri, harga susu
jumlah penduduk, kental manis,
konsumsi susu segar jumlah
per kapita, penduduk,
pendapatan konsumsi susu
perkapita, Harga perkapita
susu segar, produksi pendapatan
susu segar peternak, perkapita,
stok susu daerah, ekspor dan
jumlah susu segar impor memiliki
keluar daerah, dan efek pengganda
jumlah susu segar positif.
masuk daerah

45
2.11. Kerangka Pemikiran Konseptual

Subsektor peternakan merupakan salah satu subsektor pertanian yang

memiliki potensi besar dan sekaligus memiliki prospek yang cerah untuk

dikembangkan. Salah satu komoditas subsektor peternakan yang memiliki banyak

manfaat dan berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut adalah komoditas susu.

Ditinjau dari segi permintaan, konsumsi susu di Indonesia yang menunjukkan

trend cenderung meningkat dari tahun ke tahunnya. Meskipun demikian, menurut

data permintaan konsumsi susu nasional, tingkat konsumsi susu per kapita bangsa

Indonesia masih relatif rendah, yaitu sekitar 11,8 liter/kapita/tahun termasuk

produk olahan yang mengandung susu. Angka ini tergolong rendah dibandingkan

dengan negara di Asia seperti Malaysia, Myanmar, Thailand dan Filipina.

Konsumsi susu Malaysia mencapai 36,2 liter/kapita/tahun, Myanmar mencapai

26,7 liter/kapita/tahun, Thailand mencapai 22,2 liter/kapita/tahun dan Filipina

mencapai 17,8 liter/kapita/tahun. Tingkat konsumsi susu yang relatif rendah

terutama susu segar, menjadi salah satu tantangan dan peluang pasar yang baik

untuk terus dikembangkan Ako, (2013;1). Oleh karena itu, kesadaran masyarakat

untuk mengkonsumsi susu cair maupun susu cair olahan perlu ditingkatkan agar

terus memaksimalkan serapan produksi susu sapi domestik.

Ditinjau dari sisi produksi dan penawaran, produksi susu dalam negeri

justru masih belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan permintaan konsumsi

susu. Sehingga, pemenuhan kebutuhan susu di Indonesia masih dipasok oleh

impor. Berdasarkan data Neraca Bahan Makanan (NBM) Kementerian Pertanian,

saat ini produksi susu segar dalam negeri hanya mampu memasok sekitar 30%

46
dari permintaan nasional, sedangkan 70% berasal dari impor. Untuk itu diperlukan

langkah dan upaya serius dalam meningkatkan jumlah produksi susu dalam negeri

demi mencapai swasembada susu.

Siregar (2003;48) menyatakan bahwa upaya peningkatan produksi susu

nasional harus terus dilakukan melalui berbagai peluang yang masih terbuka luas.

Akan tetapi peluang-peluang yang ada, tidaklah terlepas dari sejumlah tantangan.

Salah satu tantangan yang cukup signifikan adalah harga susu di tingkat peternak

yang relatif murah. Dalam hal ini meskipun pasar untuk susu segar masih terbuka

luas, namun para peternak sapi perah tidak begitu termotivasi untuk

mengembangkan, ataupun meningkatkan produksi susunya. Hal ini dikarenakan

harga susu yang diterima para peternak umumnya masih relatif rendah, sehingga

tidak mendorong para peternak untuk mengembangkan usaha sapi perahnya

ataupun peningkatan produksi susunya karena tidak berdampak pada peningkatan

penghasilannya.

Mengacu pada permasalahan permintaan dan penawaran susu segar dalam

negeri di Indonesia, maka diperlukan suatu analisis lebih mendalam mengenai

faktor-faktor yang mempengaruhi produksi, penawaran dan permintaan susu segar

dalam negeri di Indonesia. Dengan adanya analisis mendalam mengenai faktor-

faktor tersebut, diharapkan mampu menjadi salah satu referensi pengambilan

kebijakan dalam upaya pengembangan dan peningkatan produksi susu segar

dalam negeri sebagai upaya pemenuhan kebutuhan susu di Indonesia. Kerangka

pemikiran konseptual dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.

47
Komoditas Susu

Tingkat konsumsi susu 1. Produksi susu segar dalam negeri (SSDN) hanya mampu
relatif rendah dengan memenuhi permintaan (30%).
trend permintaan susu 2. Persentase jumlah penyediaan SSDN 30:70 dengan jumlah
cenderung meningkat. impor susu.
3. Harga susu segar ditingkat peternak relatif murah.

Permintaan Komoditas
Susu

Permintaan Penawaran Harga Produksi Total biaya


SSDN (QD) QS=QD SSDN (QS) SSDN (HS) SSDN (QP) produksi (TB)

1. Harga 1. Jumlah 1. Total biaya 1. Jumlah Sapi 1. Biaya Pakan


SSDN Produksi produksi Laktasi 2. Biaya
2. Harga Teh SSDN SSDN 2. Jumlah Tenaga
3. Harga Kopi 2. Harga 2. Jumlah Pakan Kerja
4. Jumlah SSDN Permintaan Hijauan 3. Biaya
Produksi 3. Harga Teh 3. Jumlah Listrik dan
5. Jumlah 4. Harga Pakan Air
Pendapatan Kopi Konsentrat 4. Biaya Obat-
Per Kapita 5. Total biaya 4. Jumlah obatan
produksi Pemakaian 5. Biaya Bahan
air Bakar
5. Jumlah
Tenaga
Kerja

Persamaan simultan melalui metode Two Stages Least Square (2 SLS)

Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan total


biaya produksi, penawaran, permintaan dan harga susu segar dalam
negeri

Rekomendasi saran terkait permasalahan produksi, penawaran dan


permintaan susu segar dalam negeri.

Gambar 8. Kerangka Pemikiran Konseptual.

48
2.12. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran dan mengacu pada tinjauan teori serta

studi penelitian terdahulu yang telah dijabarkan, maka dapat diajukan beberapa

dugaan sementara atau hipotesis dalam penelitian sebagai berikut.

1. Model total biaya produksi diduga memiliki hubungan positif dengan variabel

biaya pakan, biaya tenaga kerja, biaya listrik dan air, biaya obat-obatan dan

biaya bahan bakar.

2. Model produksi susu segar diduga memiliki hubungan positif dengan variabel

jumlah sapi laktasi, jumlah pakan hijauan, jumlah pakan tambahan, jumlah

pemberian air dan jumlah tenaga kerja.

3. Model penawaran susu segar diduga memiliki hubungan positif dengan

variabel harga susu segar, variabel harga teh, harga kopi dan jumlah produksi

susu segar. Sedangkan variabel total biaya produksi diduga memiliki

hubungan negatif terhadap jumlah penawaran susu segar.

4. Model permintaan susu segar diduga memiliki hubungan positif dengan

variabel harga teh, harga kopi, jumlah produksi susu segar dan jumlah

pendapatan per kapita. Sedangkan untuk variabel harga susu segar diduga

memiliki hubungan negatif terhadap model permintaan susu.

5. Model harga susu segar diduga memiliki hubungan positif dengan variabel

total biaya produksi. Sedangkan, untuk variabel jumlah permintaan diduga

memiliki hubungan negatif terhadap harga susu segar.

49
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan sejak bulan Oktober – Desember 2018. Penelitian

ini dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder time series yang berasal dari

Badan Pusat Statistik dengan metode dokumentasi. Pengumpulan informasi

terkait penelitian diperoleh dari beberapa instansi, studi pustaka dan publikasi

ilmiah dari berbagai sumber yang relevan.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder

berupa deret waktu (time series) selama kurun waktu 25 tahun terakhir yaitu

berdasarkan tahun 1993-2017. Data yang digunakan untuk mendapatkan nilai

estimasi pendugaan parameter dalam setiap model menggunakan data yang

bersumber dari statistik perusahaan peternakan sapi perah.

Data statistik perusahaan peternakan sapi perah merupakan publikasi

yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik RI (berbagai tahun). Data tersebut

terdiri dari data jumlah sapi laktasi, jumlah pakan ternak yang digunakan, jumlah

tenaga kerja, jumlah listrik dan air yang digunakan, total biaya produksi berupa

biaya pakan, biaya tenaga kerja, biaya obat-obatan, serta biaya lain yang

digunakan oleh perusahaan peternakan per satu tahun. Dalam publikasi tersebut

juga menyajikan data jumlah produksi susu segar, serta data jumlah penggunaan

kuantitas produksi atau konsumsi susu segar yang berasal dari perusahaan

50
peternakan sapi perah. Sementara itu, data jumlah penduduk dan pendapatan

perkapita juga bersumber dari Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dalam

publikasi Statistik Indonesia.

3.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode pengolahan dan analisis data dalam penelitian menggunakan

metode deskriptif kuantatif. Metode deskriptif digunakan untuk melihat

perkembangan susu segar dalam negeri di Indonesia. Sedangkan, metode

kuantitatif digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi

produksi, penawaran dan permintaan serta harga susu segar dalam negeri di

Indonesia. Metode kuantitatif yang digunakan dalam analisis adalah persamaan

simultan dengan metode Two Stages Least Squares (2SLS) dan menggunakan

program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1 sebagai alat bantu dalam

pengolahan data. Adapun tahapan dalam pengolahan dan analisis data sebagai

berikut.

3.3.1. Penetapan Komponen Variabel

Penetapan komponen variabel dalam penelitian ditetapkan berdasarkan

tinjauan teori terkait model persamaan yang dibangun dalam penelitian. Selain itu,

penetapan komponen variabel penelitian juga mempertimbangkan beberapa

penelitian terdahulu sebagai rujukan. Adapun komponen variabel dan lembaga

penyedia data yang digunakan dalam penelitian ini secara lebih rinci terangkum

dalam Tabel 5.

51
Tabel 5. Komponen Variabel dan Lembaga Penyedia Data

Simbol
dalam Lembaga
No. Komponen Variabel Keterangan
Model Penyedia Data
Persamaan
Jumlah Produksi
1 QP BPS Lampiran 4
Susu Segar
2 Jumlah Sapi Laktasi SL BPS Lampiran 4
Jumlah Pakan Kompilasi
3 PH Lampiran 4 dan 8
Hijauan data BPS
Jumlah Pakan Kompilasi
4 PK Lampiran 4 dan 8
Konsentrat data BPS
Jumlah Tenaga
5 TK BPS Lampiran 4
Kerja/Peternak
Jumlah Pemakaian Kompilasi d
6 A Lampiran 4 dan 9
Air ata BPS
Jumlah Penawaran Kompilasi Lampiran 5 dan
7 QS
Susu Segar data BPS 10
Harga Susu Segar Kompilasi Lampiran 5 dan
8 HS
Dalam Negeri data BPS 11
9 Harga Teh HT BPS Lampiran 5
10 Harga Kopi HK BPS Lampiran 5
11 Total biaya produksi TB BPS Lampiran 5
12 Biaya Tenaga Kerja BTK BPS Lampiran 6
13 Biaya Pakan BP BPS Lampiran 6
14 Biaya Listrik dan Air BLA BPS Lampiran 6
15 Biaya Obat-obatan BO BPS Lampiran 6
16 Biaya Bahan Bakar BB BPS Lampiran 7
Jumlah Permintaan Kompilasi Lampiran 7 dan
17 QD
Susu Segar data BPS 12
Pendapatan Per
18 IN BPS Lampiran 7
Kapita
Sumber : Lampiran 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 dan 12.

Nilai variabel jumlah pakan ternak tahun 2015-2017, variabel pemakaian

air tahun 2015-2017, variabel harga susu segar, serta variabel jumlah penawaran

dan permintaan susu segar diperoleh berdasarkan pengolahan data yang

bersumber dari BPS. Hal ini dilakukan karena keterbatasan data yang tersedia.

52
3.3.2. Spesifikasi Model

Berdasarkan uraian variabel yang digunakan, maka dapat dibangun

keterkaitan hubungan antar variabel dalam model sistem persamaan simultan

seperti yang tertera pada Gambar 9.

Keterangan : = Variabel Endogen = Variabel Eksogen


Gambar 9. Dugaan Keterkaitan Hubungan antar Variabel dalam Model

Skema pada Gambar 9 merupakan skema dugaan keterkaitan antar

variabel dalam model pada kondisi pasar yang seimbang. Artinya, jumlah

penawaran akan sama dengan jumlah permintaan dalam kondisi pasar seimbang.

Asumsi ini digunakan karena adanya keterbatasan data jumlah permintaan susu

segar. Sehingga dalam penelitian ini jumlah permintaan susu segar diasumsikan

sama dengan jumlah penawaran susu segar yang ditawarkan oleh produsen.

Dalam skema pasar seimbang variabel harga diduga menjadi variabel penghubung

antara variabel jumlah penawaran dan jumlah permintaan. Berdasarkan skema

53
diatas, dapat diduga bahwa variabel harga salah satunya dipengaruhi oleh

perubahan jumlah permintaan. Sedangkan perubahan variabel harga diduga dapat

mempengaruhi variabel penawaran susu segar.

Berdasarkan skema dugaan model sistem persamaan simultan yang

dibentuk dalam penelitian, dapat diketahui bahwa dalam sistem terdapat 5

variabel endogen (TB, QP, QS, QD dan HS) dan 13 variabel eksogen (SL, PH,

PK, A, TK, BP, BTK, BO, BL, BB, HT, HK, dan IN). Variabel QS merupakan

variabel endogen murni, artinya variabel QS merupakan variabel yang hanya

dipengaruhi oleh variabel-variabel eksogen lainnya. Sedangkan variabel SL, PH,

PK, A, TK, BP, BTK, BO, BL, BB, HT, HK, dan IN merupakan variabel yang

bersifat eksogen murni, artinya variabel tersebut hanya dapat menjadi variabel

yang mempengaruhi variabel endogen dalam sebuah sistem persamaan.

Variabel TB, QP, HS dan QD merupakan variabel yang bersifat recursive

(dua arah), maknanya variabel TB, QP, HS dan QD merupakan variabel yang

dapat dipengaruhi (endogen) dalam sebuah persamaan dan dapat menjadi variabel

yang mempengaruhi (eksogen) dalam model persamaan yang lain pada sebuah

sistem persamaan simultan. Sedangkan variabel QS, SL, PH, PK, A, TK, BP,

BTK, BO, BL, BB, HT, HK, dan IN merupakan variabel yang memiliki sifat

precursive (satu arah). Artinya, variabel tersebut hanya bersifat satu arah, yakni

hanya dapat berperan sebagai variabel yang dipengaruhi saja (endogen) atau

hanya dapat berperan sebagai variabel yang mempengaruhi saja (eksogen) dalam

sebuah model persamaan.

54
3.3.3. Merumuskan Model Persamaan

Model persamaan terdiri dari persamaan struktural dan persamaan

identitas. Adapun persamaan struktural merupakan persamaan dasar yang

dibangun berdasarkan teori terkait model persamaan yang dibentuk. Persamaan

struktural digunakan untuk menggambarkan struktur atau perilaku dari fenomena

ekonomi yang diamati. Persamaan struktural menggambarkan perilaku variabel

endogen terhadap perubahan-perubahan variabel eksogen pada persamaan yang

dibentuk. Sedangkan persamaan identitas merupakan persamaan yang dibentuk

oleh tanda matematis seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian atau

pembagian beberapa variabel. Adapun model persamaan yang dibentuk dalam

penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut.

3.3.3.1. Model Persamaan Total Biaya Produksi

Model persamaan total biaya produksi merupakan persamaan struktural

yang diduga dipengaruhi oleh biaya-biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan

peternakan. Adapun model persamaan identitas total biaya produksi susu dapat

dirumuskan sebagai berikut :

................... (7)

Estimasi parameter yang diharapkan adalah .

Dimana :
= Total biaya produksi (Rp)
= Biaya pakan (Rp)
= Biaya tenaga kerja (Rp)
= Biaya listrik dan air (Rp)
BO = Biaya obat-obatan (Rp)
= Biaya bahan bakar (Rp)
= Intercept
= Koefisien regresi
= error

55
3.3.3.2. Model Persamaan Produksi Susu Segar Dalam Negeri

Model persamaan produksi susu segar dalam negeri diestimasi dengan

menggunakan variabel-variabel yang diduga mempengaruhi produksi susu, yaitu

jumlah sapi laktasi, jumlah pakan hijauan, jumlah pakan konsentrat, jumlah

pemakaian air dan jumlah tenaga kerja. Model persamaan produksi susu dapat

dirumuskan sebagai berikut :

........................... (4)

Estimasi parameter yang diharapkan adalah .

Dimana :
= Jumlah produksi susu segar dalam negeri (Liter)
= Jumlah sapi laktasi (Ekor)
= Jumlah pakan hijauan (Kg)
= Jumlah pakan konsentrat (Kg)
= Jumlah pemakaian air (M3)
= Jumlah tenaga kerja (Orang)
= Intercept
= Koefisien regresi
= error

3.3.3.3. Model Persamaan Penawaran Susu Segar Dalam Negeri

Total penawaran susu segar dicerminkan oleh data jumlah susu yang

terjual. Penawaran susu segar diestimasi dengan menggunakan variabel-variabel

yang diduga berpengaruh terhadap penawaran susu segar yaitu jumlah produksi

susu segar, harga susu segar dalam negeri, harga teh dan kopi sebagai harga

barang lain serta nilai total biaya produksi. Variabel total biaya produksi (TB) dan

jumlah produksi susu segar (QP) dalam model persamaan total biaya produksi dan

jumlah produksi susu segar merupakan variabel bebas atau endogen. Namun,

variabel TB dan QP dalam model persamaan penawaran susu segar menjadi

56
variabel eksogen. Hal ini terjadi karena variabel TB dan QP bersifat timbal balik,

atau dua arah. Model persamaan penawaran susu segar dalam negeri dapat

dirumuskan sebagai berikut :

........................... (6)

Estimasi parameter yang diharapkan adalah dan .

Dimana :
Q = Jumlah penawaran susu segar (Liter)
= Harga susu segar dalam negeri (Rp/Liter)
= Harga teh (Rp/Kg)
= Harga kopi (Rp/Kg)
= Jumlah produksi susu segar (Liter)
TB = Total biaya produksi (Rupiah)
= Intercept
= Koefisien regresi
= error

3.3.3.4. Model Persamaan Keseimbangan Pasar (Equlibrium)

Mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Sugiarto dkk (2002;55) yang

menjelaskan bahwa tanpa campur tangan pemerintah, permintaan dan penawaran

dengan sendirinya akan mencapai keseimbangan harga dan jumlah komoditas

yang diperjualbelikan. Sehingga prinsip model keseimbangan pasar yaitu jumlah

kuantitas penawaran sama dengan kuantitas permintaan. Adapun model

persamaan identitas keseimbangan pasar dapat dirumuskan sebagai berikut :

........................................................................................................ (9)

3.3.3.5. Model Persamaan Harga Susu Segar Dalam Negeri

Model persamaan harga susu segar diestimasi dengan variabel-variabel

yang diduga mempengaruhi dalam pembentukan harga. Variabel tersebut

57
diantaranya yaitu variabel total biaya produksi, jumlah permintaan dan jumlah

pendapatan perkapita.

Variabel persamaan harga susu segar pada persamaan 6 dan 8 merupakan

variabel bebas atau eksogen. Namun, variabel HS dalam model persamaan harga

susu segar memiliki sifat timbal balik atau dua arah. Sehingga dalam model

persamaan harga susu segar berperan sebagai variabel endogen. Adapun

pembentukan model persamaan harga dapat dilihat sebagai berikut :

.................................................................. (10)

Estimasi parameter yang diharapkan adalah dan

Dimana :
= Harga susu segar dalam negeri (Rp/Liter)
TB = Total biaya produksi (000 Rp)
= Jumlah produksi susu segar (Liter)
= Intercept
= Koefisien regresi
= error

3.3.1.6. Model Permintaan Susu Segar

Data permintaan susu segar tidak dapat diidentifikasi karena adanya

keterbatasan tersedianya data, maka dalam penelitian ini menggunakan asumsi

bahwa model permintaan dan penawaran susu segar terletak pada pasar yang

seimbang. Sehingga, data jumlah permintaan susu segar dalam penelitian

diasumsikan sama dengan jumlah penawaran susu segar. Asumsi ini juga

mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Sugiarto dkk (2002;55) bahwa tanpa

campur tangan pemerintah, permintaan dan penawaran dengan sendirinya akan

mencapai keseimbangan harga dan jumlah komoditas yang diperjualbelikan.

58
Variabel permintaan susu segar diestimasi dengan variabel-variabel yang

diduga mempengaruhi yaitu harga susu segar dalam negeri, harga teh, harga kopi,

jumlah produksi susu segar dalam negeri, jumlah penduduk serta pendapatan per

kapita di Indonesia. Model persamaan permintaan susu segar dalam negeri dapat

dirumuskan sebagai berikut :

............................. (8)

Estimasi parameter yang diharapkan adalah < 0, dan > 0.


Dimana :
= Permintaan susu segar dalam negeri (Liter)
= Harga susu segar dalam negeri (Rp/Liter)
= Harga teh (Rp/Kg)
= Harga kopi (Rp/Kg)
= Produksi susu segar dalam negeri (Liter)
= Pendapatan per kapita (Rp/Tahun)
= Intercept
= Koefisien regresi
= error

3.3.4. Identifikasi Model Persamaan

Identifikasi model adalah syarat yang diperlukan untuk mengestimasi

parameter pada setiap persamaan struktural dalam sistem persamaan simultan.

Identifikasi model persaman dapat dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi

orde (order condition) dengan rumus sebagai berikut :

K–k>m–1

Dimana :

K = jumlah variabel yang sudah ditetapkan (predetermined) dalam model


termasuk intercept.
K = jumlah variabel yang ditetapkan dalam persamaan yang diberikan.
m = jumlah variabel endogen dalam persamaan yang diberikan.

59
Prinsip dalam menentukan identifikasi dalam model persamaan simultan,

secara sederhana adalah sebagai berikut :

a. Jika K-k > m-1, persamaan tersebut adalah overidentified.

b. Jika K-k = m-1, persamaan tersebut adalah teridentifikasi secara tepat.

c. Jika K-k < m-1, persamaan struktural tidak teridentifikasi.

Berdasarkan model sistem persamaan simultan yang dibentuk dalam

penelitian, dapat diketahui bahwa dalam sistem terdapat 13 variabel eksogen (SL,

PH, PK, A, TK, BP, BTK, BO, BL, BB, HT, HK dan IN) dan 5 variabel endogen

(TB, QP, QS, QD dan HS). Nilai K yang merupakan jumlah variabel yang sudah

ditetapkan (predetermined) dalam model dengan jumlah intercept dapat diketahui

jumlahnya yaitu sebanyak 18.

Model persamaan total biaya produksi (TB) memiliki variabel endogen

dalam persamaan (m) sebanyak 1 variabel. Sedangkan jumlah variabel yang

ditetapkan dalam persamaan total biaya produksi susu segar (k) terdapat 5

variabel. Sehingga identifikasi kondisi orde dengan menggunakan rumus K – k >

m - 1, diperoleh hasil 13 > 0 dan dapat disimpulkan bahwa persamaan total biaya

produksi susu segar merupakan persamaan overidentified.

Model persamaan produksi susu segar (QP) memiliki variabel endogen

dalam persamaan (m) sebanyak 1 variabel. Sedangkan jumlah variabel yang

ditetapkan dalam persamaan produksi susu segar (k) terdapat 5 variabel. Sehingga

identifikasi kondisi orde dengan menggunakan rumus K – k > m - 1, diperoleh

hasil 13 > 0 dan dapat disimpulkan bahwa persamaan produksi susu segar

merupakan persamaan overidentified.

60
Model persamaan penawaran susu segar (QS) memiliki variabel endogen

dalam persamaan (m) sebanyak 3 variabel yaitu variabel jumlah penawaran (QS),

variabel total biaya produksi (TB) dan jumlah produksi (QP). Sedangkan jumlah

variabel yang ditetapkan dalam persamaan penawaran susu segar (k) terdapat 5

variabel. Sehingga identifikasi kondisi orde dengan menggunakan rumus K – k >

m - 1, diperoleh hasil 13 > 2 dan dapat disimpulkan bahwa persamaan penawaran

susu segar merupakan persamaan overidentified.

Model persamaan harga susu segar (HS) memiliki variabel endogen dalam

persamaan (m) sebanyak 3 variabel yaitu variabel harga susu segar (HS), variabel

total biaya produksi (TB) dan jumlah permintaan (QD). Sedangkan jumlah

variabel yang ditetapkan dalam persamaan (k) terdapat 2 variabel. Sehingga

identifikasi kondisi orde dengan menggunakan rumus K – k > m - 1, diperoleh

hasil 16 > 1 dan dapat disimpulkan bahwa persamaan harga susu segar merupakan

persamaan overidentified.

Model persamaan permintaan susu segar (QD) memiliki variabel endogen

dalam persamaan (m) sebanyak 3 variabel yaitu variabel jumlah permintaan (QD),

jumlah produksi (QP) dan harga susu segar (HS). Sedangkan jumlah variabel yang

ditetapkan dalam persamaan (k) terdapat 5 variabel. Sehingga identifikasi kondisi

orde dengan menggunakan rumus K – k > m - 1, diperoleh hasil 13 > 2 dan dapat

disimpulkan bahwa persamaan permintaan susu segar merupakan persamaan

overidentified. Adapun hasil identifikasi model persamaan dalam penelitian ini

dapat diihat secara rinci pada Tabel 6.

61
Tabel 6. Hasil Identifikasi Model Persamaan Struktural

Model Hasil
K k M K-k m-1 Keterangan
Persamaan Identifikasi
TB 18 5 1 13 0 13>0 Overidentified
QP 18 5 1 13 0 13>0 Overidentified
QS 18 5 3 13 2 13>2 Overidentified
HS 18 2 3 16 2 16>2 Overidentified
QD 18 5 3 13 2 13>2 Overidentified

Berdasarkan identifikasi kondisi orde (order condition), maka metode

estimasi yang tepat digunakan dalam penelitian ini adalah metode 2SLS karena

termasuk dalam kategori suatu persamaan yang terlalu diidentifikasi

(overidentified).

3.3.5. Pengujian Model

Pengujian model yang dilakukan dalam penelitian adalah dengan uji

autokorelasi, uji nilai F, uji nilai t dan uji validasi. Adapun penjabaran rinci dari

masing-masing uji sebagai berikut :

1. Uji Autokorelasi

Pengambilan keputusan dengan uji durbin watson adalah dengan

membandingkan nilai duji dengan dkritis. Nilai dkritis dibentuk dari dL (d bawah) dan

dU (d atas). Nilai dL dan dU dapat diperoleh dari tabel durbin watson dengan

informasi n = jumlah observasi dan k’ = jumlah variabel independen dalam model

regresi. Kriteria pengambilan keputusan adalah sebagai berikut (Hakim,

2014;142) :

a. Jika 0 < d < dL artinya terdapat autokolerasi positif.

b. Jika dL < d < dU artinya merupakan daerah tidak ada keputusan.

c. Jika dU < d < 4 – dU artinya tidak ada autokolerasi.

62
d. Jika 4 – dU < d < 4 – dL artinya merupakan daerah tidak ada keputusan.

2. Uji F
Uji F digunakan dalam suatu model untuk menguji apakah variabel

independen secara bersama sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel

dependen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik F. Adapun

hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini adalah :

H0: Variabel independen yang diuji tidak berpengaruh secara serentak terhadap

variabel independennya.

H1: Variabel yang diuji berpengaruh secara serentak terhadap variabel

independen.

Untuk menghitung nilai F hitung dapat digunakan formula (Suliyanto, 2011; 62) :

Dimana :

Fhit = Nilai F hitung


= Koefisien determinasi
= Jumlah variabel
= Jumlah pengamatan (ukuran sampel)
= Tingkat kepercayaan (95%)

Kriteria pengambilan keputusan dalam uji F dengan nilai F hitung dan F

tabel, yaitu sebagai berikut :

1) Apabila nilai F hitung < F tabel, maka Ho diterima. Artinya variabel

independen secara serentak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

variabel dependen.

63
2) Apabila F hitung > F tabel, maka Ho ditolak. Artinya, variabel independen

secara serentak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel

dependen.

Kriteria pengambilan keputusan dengan nilai probability (P-value) atau

nilai sig dengan ketentuan :

1) Jika nilai probability > , maka Ho diterima. Artinya, variabel dependen

secara serentak tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

2) Jika nilai probability < , maka Ho ditolak. Artinya, variabel independen

secara serentak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.

3. Uji t

Uji t, dilakukan terhadap masing-masing peubah independen untuk

menguji apakah berpengaruh nyata atau tidak terhadap peubah dependen. Uji t

dilakukan dengan membandingkan nilai t hitung dengan nilai t tabel.

Adapun hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini adalah :

1) Ho : Variabel yang diuji tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel

independen.

2) H1 : Variabel yang diuji berpengaruh secara signifikan terhadap variabel

independen.

Kriteria pengambilan keputusan dalam uji t, yaitu sebagai berikut :

2) Apabila nilai t hitung < t tabel, maka Ho diterima. Artinya variabel

independen ke-i tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

variabel dependen.

64
3) Apabila t hitung > t tabel, maka H o ditolak. Artinya variabel independen ke-i

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen.

Kriteria pengambilan keputusan dengan nilai probability (P-value) atau

nilai sig dengan ketentuan :

1) Jika nilai probability > , maka Ho diterima. Artinya, variabel independen

tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen secara parsial.

2) Jika nilai probability < , maka Ho ditolak. Artinya, variabel independen

berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen secara parsial.

4. Uji Determinasi (R2)

Sifat yang dimiliki koefisien determinasi dijelaskan dalam (Setiawan dan

Kusrini, 2010;64-65) sebagai berikut :

R2 = 0, artinya tidak ada hubungan antara X dan Y, atau model yang terbentuk

tidak tepat untuk menjelaskan variabel Y.

R2 = 1, artinya model persamaan yang dibentuk mampu menjelaskan variabel Y

secara sempurna.

5. Uji Validasi Model

Uji validasi dilakukan dengan kriteria statistika Theil’s Inequality

Coefficient (U) dan hasil uji autokorelasi. Nilai koefisien U berkisar antara 0 dan

1. Jika nilai U = 0 atau mendekati 0, maka pendugaan model tersebut sempurna

dan jika nilai U = 1 atau mendekati angka 1 maka pendugaan model tersebut tidak

sempurna. Sedangkan apabila tidak terjadi masalah autokorelasi, maka model juga

dapat dinyatakan valid.

65
3.3.6. Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini dapat dilihat secara rinci

sebagai berikut :

1. Jumlah produksi susu segar dalam negeri adalah jumlah susu yang dihasilkan

oleh peternak, koperasi dan perusahaan peternakan yang ada di wilayah

negara Indonesia.

2. Jumlah sapi laktasi adalah jumlah sapi perah yang sedang berproduksi atau

menghasilkan susu.

3. Jumlah pakan hijauan adalah jumlah segala macam jenis rumput atau

tumbuhan lain yang dapat dimakan oleh ternak. Jenis pakan ini meliputi

antara lain tanaman yang tergolong dalam bangsa gramineae dan leguminose.

4. Jumlah pakan konsentrat adalah jumlah bahan makanan hasil olahan pabrik

seperti pellet dan sebagainya.

5. Jumlah pemakaian air adalah jumlah air yang digunakan untuk usaha

peternakan sapi perah.

6. Jumlah tenaga kerja adalah mereka yang bekerja di perusahaan serta

menerima upah/gaji langsung dari perusahaan baik berupa uang maupun

berupa barang.

7. Jumlah penawaran susu segar dalam negeri merupakan jumlah susu yang

dijual atau ditawarkan oleh peternak, koperasi dan perusahaan peternakan

yang ada di wilayah negara Indonesia.

8. Harga susu segar dalam negeri adalah harga yang harus dibayar oleh

konsumen untuk mendapatkan susu yang berasal dari produksi dalam negeri.

66
9. Harga teh adalah harga yang harus dibayar oleh konsumen untuk

mendapatkan teh yang berasal dari produksi dalam negeri.

10. Harga kopi adalah harga yang harus dibayar oleh konsumen untuk

mendapatkan kopi yang berasal dari produksi dalam negeri.

11. Total biaya produksi adalah pengeluaran yang benar-benar digunakan untuk

mengelola perusahaan selama satu tahun.

12. Biaya pakan adalah total pengeluaran biaya yang digunakan untuk

penyediaan pakan. Biaya pakan meliputi biaya pakan konsentrat, biaya pakan

hijauan dan biaya pakan lain-lain.

13. Biaya tenaga kerja pengeluaran yang digunakan untuk keperluan penyediaan

tenaga kerja selama satu tahun.

14. Biaya obat-obatan adalah pengeluaran yang digunakan untuk keperluan

penyediaan obat-obatan untuk ternak sapi perah.

15. Biaya bahan bakar adalah pengeluaran yang digunakan untuk keperluan

penyediaan bahan bakar dalam mengelola usaha sapi perah.

16. Biaya listrik adalah pengeluaran yang digunakan untuk keperluan penyediaan

listrik dalam mengelola usaha sapi perah.

17. Jumlah permintaan susu segar dalam negeri adalah jumlah permintaan susu

yang dihasilkan oleh peternak, koperasi dan perusahaan peternakan yang ada

di wilayah negara Indonesia.

18. Pendapatan per kapita adalah pendapatan rata-rata yang dimiliki oleh

penduduk Indonesia.

67
BAB IV
GAMBARAN UMUM

4.1. Perkembangan Usaha Peternakan Sapi Perah

Usaha peternakan sapi perah di Indonesia bermula sejak tahun 1905 yang

dikenalkan oleh Belanda untuk memenuhi kebutuhan akan susu dan produk

olahan susu seperti keju. Belanda mengembangkan sapi perah di daerah

pegunungan di Jawa Tengah, khususnya di daerah Boyolali, Salatiga dan

Ambarawa. Kemudian pengembangan peternakan sapi perah diperluas ke daerah

Jawa Barat khususnya Bandung dan Jawa Timur khususnya di daerah

Nongkojajar, Malang dan Batu. Sedangkan peternakan sapi perah yang dikelola

oleh peternak lokal mulai berkembang setelah kemerdekaan yaitu sekitar tahun

1940-1950. Peternakan sapi perah terus berkembang seiring dengan kebijakan

pemerintah yang mendukung perkembangan usaha peternakan sapi perah di

Indonesia (Nurtini dan Muzayanah, 2014;11).

Sudaryanto dan Hermawan (2014;267-268) menjelaskan seiring dengan

berjalannya waktu, perkembangan usaha peternakan sapi perah di Indonesia

dirangkum dan terbagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap I (periode sebelum tahun

1980) disebut fase perkembangan sapi perah, Tahap II (1980-1997) disebut

periode peningkatan populasi sapi perah, dan Tahap III (Periode 1997 sampai

sekarang) disebut periode stagnasi.

Pada tahap I, usaha peternakan sapi perah berkembang dengan tujuan

memenuhi kebutuhan orang Belanda di Indonesia. Pada mulanya usaha sapi perah

diusahakan oleh warga non pribumi, dan diperkiraan tahun 1925 berdiri

68
perusahaan sapi perah pertama. Sampai dengan tahun 1980, perkembangan

peternakan sapi perah masih cukup lambat karena usaha hanya merupakan usaha

sampingan bagi para peternak.

Pada tahap II, pemerintah melakukan upaya pengembangan secara

insentif dan terencana untuk meningkatkan produksi dalam negeri dengan

beberapa kebijakan. Kebijakan pertama yaitu Pemerintah melakukan impor sapi

perah pada awal tahun 1980-an yang bertujuan untuk menstimulus peternak agar

mengembangkan dan meningkatkan jumlah produksi susu segar yang dihasilkan.

Kebijakan kedua yaitu melakukan program inseminasi buatan untuk

meningkatkan mutu genetik dan meningkatkan populasi ternak sapi perah.

Kebijakan-kebijakan tersebut diikuti keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3

menteri (Perdagangan dan Koperasi, Perindustrian, dan Pertanian) pada tahun

1982, dan dimantapkan dengan Intruksi Presiden No. 2 tahun 1985 tentang

Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional yang berisi

kewajiban Industri Pengolahan Susu (IPS) menyerap susu produksi peternakan

sapi perah rakyat dengan bukti serap susu (BUSEP). Berbagai kebijakan tersebut

di atas telah dinilai berhasil dengan indikator adanya peningkatan jumlah populasi

dan produki susu segar nasional, serta berkurangnya jumlah rasio impor susu di

Indonesia, dan berkembangnya jumlah koperasi dan IPS di Indonesia

Pada tahap III, populasi sapi perah mengalami penurunan dan stagnasi.

Hal tersebut dipengaruhi oleh kejadian krisis ekonomi yang melanda Indonesia.

Di samping itu, pemerintah mencabut perlindungan terhadap peternak rakyat

dengan menghapus kebijakan rasio susu impor dan susu lokal terhadap IPS

69
melalui Intruksi Presiden No.4 Tahun 1998. Kebijakan ini sebagai dampak adanya

kebijakan global menuju perdagangan bebas hambatan. Berdasarkan kebijakan

tersebut, maka peternak harus mampu bersaing dengan produk susu dari luar

negeri, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.

4.2. Kondisi Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia

Usaha ternak sapi perah di Indonesia dibagi menjadi dua bentuk

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 751/kpts/Um/10/1982

tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Dalam

Negeri. Pertama, peternakan sapi perah rakyat yaitu usaha ternak sapi perah yang

diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang memiliki sapi perah kurang dari

10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan kurang dari 20

ekor sapi perah campuran. Kedua, perusahaan peternakan sapi perah, yaitu usaha

ternak sapi perah untuk tujuan komersil dengan produksi utama susu sapi, yang

memiliki lebih dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah

keseluruhan lebih dari 20 ekor sapi perah campuran.

Nurtini dan Muzayyanah (2014; 2) menyatakan bahwa usaha peternakan

sapi perah saat ini didominasi oleh usaha peternakan sapi perah rakyat dengan

manajemen tradisional dan skala kepemilikian yang belum ekonomis yaitu sekitar

1-4 ekor dengan produktivitas produksi susu rata-rata sekitar 10 liter per ekor per

hari. Kondisi skala usaha yang belum ekonomis ini antara lain disebabkan oleh

terbatasnya modal peternak dan sulitnya mencari pakan hijauan karena semakin

terbatasnya lahan untuk makanan hijauan ternak. Menurut Murti (2014;187), skala

70
usaha peternakan kecil ini dianggap tidak ekonomis, karena keuntungan yang

diperoleh dari hasil penjualan susu hanya cukup untuk memenuhi sebagian

kebutuhan hidup. Skala ekonomis dapat dicapai dengan kepemilikan ternak 10-12

ekor sapi per peternak.

4.3. Populasi Sapi Perah dan Produksi Susu Segar Nasional

Perkembangan usaha peternakan sapi perah di Indonesia dapat

ditunjukkan dari perkembangan jumlah populasi sapi perah. Berdasarkan data

Kementerian Pertanian RI (2017;37), jumlah populasi sapi perah periode 1993-

2017 di Indonesia memiliki angka yang cenderung terus meningkat dengan

pertumbuhan hanya sebesar 2,54% per tahun. Data jumlah populasi sapi perah di

Indonesia secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 13. Adapun perkembangan

jumlah populasi sapi perah dapat dilihat pada Gambar 10.

700.000
Populasi Sapi Perah (Ekor)

600.000

500.000

400.000

300.000

200.000

100.000

0
1999

2001

2014

2016
1993
1994
1995
1996
1997
1998

2000

2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

2015

2017

Gambar 10. Perkembangan Jumlah Populasi Sapi Perah (Ekor) Tahun 1993-2017
Sumber : PUSDATIN Kementerian Pertanian RI, 2017 (diolah)

71
Berdasarkan data Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian

Pertanian (2017;11), sebaran populasi sapi perah yang ada di Indonesia, pusat

populasi sapi perah terbesar terdapat di Jawa Timur sekitar 252,68 ribu ekor atau

49,66% dari total populasi sapi perah Indonesia. Provinsi lain yang memiliki

populasi sapi perah cukup besar adalah Jawa Tengah dan Jawa Barat masing-

masing 126,69 ribu ekor atau 24,9% dan 117,16 ribu ekor atau 23,02% dari total

populasi sapi perah Indonesia.

Perkembangan dan peningkatan jumlah populasi sapi perah di Indonesia

juga berdampak terhadap perkembangan dan peningkatan nilai produksi susu

segar dalam negeri yang dihasilkan. Peningkatan dari segi kuantitas dan kualitas

produksi susu segar merupakan aspek utama dalam pengembangan agribisnis sapi

perah di Indonesia. Berdasarkan data dari Pusat Data dan Sistem Informasi

Kementerian Pertanian RI (2017;38), produksi susu segar dalam negeri di

Indonesia ditahun 2017 mencapai angka 920.093 ton susu segar yang mayoritas

dipasok sebesar 912.898 ton dari pulau Jawa dan 7.195 ton dipasok dari luar pulau

Jawa. Perkembangan jumlah produksi susu segar dalam negeri cenderung

berfluktuatif namun memiliki trend cenderung meningkat dengan rata-rata

pertumbuhan sebesar 5,08% per tahun. Peningkatan produksi terbesar terjadi pada

Tahun 2010, yaitu meningkat 86,15 % dari tahun 2009 dengan peningkatan

produksi sebesar 420.932 ton. Sedangkan penurunan produksi terbesar terjadi

pada tahun 2007 dan tahun 2013. Penurunan produksi di tahun 2007 mencapai

19,48 % dengan angka penurunan produksi sebesar 111.219 ton susu segar.

Kemudian ditahun 2013 kembali terjadi penurunan produksi susu segar sebesar

72
18,01 % dari tahun 2012 sebesar 172.859 ton susu segar. Perkembangan produksi

susu segar dalam negeri dapat dilihat pada Lampiran 14. Adapun Grafik

perkembangan produksi susu segar dalam negeri dapat dilihat pada Gambar 11.

1.200.000
Jumlah Produksi Susu Segar

1.000.000
Dalam Negeri (Ton)

800.000

600.000

400.000

200.000

0
2001

2003

2014

2016
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000

2002

2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

2015

2017
Gambar 11. Perkembangan Produksi Susu Segar Dalam Negeri (Ton)
Sumber : PUSDATIN Kementerian Pertanian RI, 2017 (diolah)

Berdasarkan Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian

(2017;11), dapat diketahui bahwa daerah sentra produksi susu segar berpusat di

Provinsi Jawa Timur. Provinsi penghasil susu terbesar juga berasal dari Jawa

Timur, pada tahun 2013 sampai 2017 rata-rata produksi sapi perah di Jawa Timur

sebesar 461,73 ribu ton atau sebesar 54,25% dari produksi nasional. Urutan kedua

adalah provinsi Jawa Barat dengan rata-rata produksi mencapai 272,08 ribu ton

atau 31,97%, kemudian Jawa Tengah pada urutan ketiga dengan rata-rata produksi

sebesar 99,70 ribu ton atau 11,7%. Sementara provinsi lainnya hanya

berkontribusi sebesar kurang dari 1%

Berdasarkan data sebaran wilayah sentra populasi dan produksi susu

segar sebagian besar masih berpusat di wilayah Pulau Jawa. Hal ini disebabkan

73
karena sapi perah memerlukan kriteria lingkungan yang sesuai untuk

perkembangannya. Matondang dkk, (2012;163) menjelaskan bahwa di Indonesia,

sapi FH mampu berkembang cukup baik di daerah dengan ketinggian lebih dari

700 m dpl seperti di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali dan Timor. Namun, juga

mampu berkembang baik di daerah dataran rendah 0 – 300 m dpl seperti di Grati

(Jawa Timur) dan Sumedang (Jawa Barat).

4.4. Struktur Biaya Usaha Ternak Sapi Perah

Struktur biaya usaha ternak sapi perah terdiri dari beberapa komponen

biaya yang menyusunnya. Badan Pusat Statistik (2017;6) dalam hasil survei

struktur ongkos usaha ternak menyebutkan bahwa komponen-komponen tersebut

diantaranya adalah biaya upah tenaga kerja, biaya pakan, biaya bahan bakar, biaya

listrik dan air, biaya pemeriksaan kesehatan serta biaya lain-lain. Nilai biaya

terbesar yang harus dikeluarkan oleh peternak yaitu pengeluaran biaya pakan yang

mendominasi sebesar 67,09% dan diikuti oleh biaya upah tenaga kerja sebesar

23,62 %. Sedangkan untuk struktur nilai penerimaan (nilai produksi) usaha ternak

terdiri dari pertambahan bobot ternak, nilai produksi susu segar, nilai produksi

ikutan, jasa peternakan dan nilai penjualan sapi afkir. Produksi ikutan terdiri atas

pupuk kandang, biogas, pupuk cair dan kulit. Persentase penerimaan produksi

usaha ternak sapi perah didominasi oleh produksi susu segar sebesar 58,68%,

diikuti dengan pertambahan bobot ternak sapi perah sebesar 38,56% dan produksi

ikutan sebesar 1,57%. Berdasarkan struktur nilai penerimaan (nilai produksi) dan

biaya pengeluaran dapat dihitung usaha peternakan sapi perah dapat menghasilkan

74
keuntungan sebesar Rp. 1.973.440 per ekor sapi perah selama satu tahun dengan

persentase pengeluaran terhadap penerimaan sebesar 82,07%. Adapun tabel

struktur biaya yang dikeluarkan terangkum dalam Tabel 7.

Tabel 7. Produksi dan Total biaya produksi Usaha Sapi Perah per Ekor per Tahun
dengan Cara Pemeliharaan Dikandangkan.

Nilai per ekor selama Komposisi


Uraian
setahun (000 Rp) (%)
A. Persentase Pengeluaran
82.07
terhadap Penerimaan
B. Nilai Produksi 11,008.22 100.00
1. Perubahan Bobot 4,244.45 38.56
2. Susu 6,459.65 58.68
3. Produksi Ikutan 172.57 1.57
4. Jasa Peternakan 2.45 0.02
5. Penjualan Ternak Afkir 129.10 1.17
C. Total biaya produksi 9,034.78 100.00
1. Upah Tenaga Kerja 2,134.22 23.62
a. Upah Pekerja Dibayar 75.90 0.84
b. Upah Pekerja Tidak
2,058.32 22.78
Dibayar
2. Pakan 6,061.10 67.09
a. Hijauan Pakan Ternak 3,620.83 40.08
b. Pakan Buatan
1,063.05 11.77
Pabrik/Konsentrat
c. Pakan Lainnya 1,377.22 15.24
3. Bahan Bakar 232.01 2.57
4. Listrik 24.49 0.27
5. Air 40.78 0.45
6. Pemeliharaan Kesehatan 74.63 0.83
7. Pengeluaran Lain-lain 467.55 5.17
Sumber : Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Ternak, Badan Pusat Statistik (2017;6)

4.5. Perkembangan Konsumsi Susu secara Nasional

Perkembangan konsumsi susu di Indonesia dapat dilihat melalui

perkembangan indikator tingkat konsumsi susu per kapita. Adapun grafik

75
perkembangan tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia dapat dilihat pada

Gambar 12 berikut.

5
Tingkat Konsumsi Susu

0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Susu Segar/Murni (Liter/Kapita) Susu Bubuk (Kg/Kapita)


Susu Kental Manis (397 Gram/Kapita) Susu Cair Pabrik (250ml/Kapita)
Susu Bubuk Bayi (400 Gram/Kapita)

Gambar 12. Perkembangan Tingkat Konsumsi Susu di Indonesia.


Sumber : SUSENAS BPS dalam Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian RI (diolah, 2018)

Berdasarkan data SUSENAS BPS dalam Dirjen Peternakan dan

Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI (2018;74), pada tahun 2002-2017

rata-rata tingkat konsumsi susu segar masyarakat Indonesia adalah sebesar 0,162

Liter/Kapita, susu bubuk 0,665 Kg/Kapita, Susu Kental Manis 3,142 (397

Gram/Kapita), dan susu cair pabrik sebesar 1,284 (250 gram/kapita). Secara lebih

rinci perkembangan konsumsi beberapa jenis susu dapat dilihat pada Lampiran

15.

Tingkat konsumsi susu segar memiliki nilai terendah jika dibandingkan

dengan tingkat konsumsi susu olahan seperti susu bubuk, susu cair pabrik, dan

susu kental manis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsumsi susu masyarakat

di Indonesia didominasi oleh produk susu olahan dibandingkan dengan susu

76
segar. Penyebab konsumsi susu masyarakat di Indonesia didominasi oleh produk

susu olahan dibandingkan susu segar, Simatupang, et al. (1993) dalam Amaliah

(2008;80) mengemukakan penyebab kondisi tersebut adalah: pertama, kurangnya

kepercayaan masyarakat terhadap susu segar domestik; kedua, jangkauan

pemasaran susu segar terbatas karena sifatnya yang mudah rusak dan terbatasnya

akses terhadap cold storage; dan ketiga, keunggulan susu olahan yang praktis dan

relatif tahan lama apabila disimpan; keempat, harga susu segar yang langsung

disalurkan kepada konsumen relatif lebih mahal dibandingkan dengan produk

susu olahan. Faktor–faktor tersebut menyebabkan konsumsi susu segar terbatas

pada konsumen yang tinggal di daerah peternakan dan masyarakat kota yang

berpendapatan tinggi.

Perkembangan konsumsi susu secara nasional memiliki tren berfluktuasi

cenderung meningkat dari tahun ketahunnya. Grafik perkembangan jumlah

konsumsi susu di Indonesia dapat disajikan pada Gambar 13 berikut.

4.500
Konsumsi Susu di Indonesia

4.000
3.500
3.000
(000 Ton)

2.500
2.000
1.500
1.000
500
0
2017*)
1997

2004

2013
1993
1994
1995
1996

1998
1999
2000
2001
2002
2003

2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012

2014
2015
2016

Gambar 13. Grafik Perkembangan Konsumsi Susu di Indonesia Periode


(1993-2017)
Sumber : Neraca Bahan Makanan, Badan Ketahanan Pangan Kementerian
Pertanian (diolah, 2018)

77
Kementerian Pertanian mencatat pada tahun 2017 jumlah konsumsi susu

masyarakat Indonesia mencapai 3.109.000 ton dengan tingkat konsumsi susu

segar dan produk olahan susu perkapita sebesar 11 liter/kapita. Kebutuhan

konsumsi ini baru dipenuhi oleh produksi dalam negeri sebanyak 30% yaitu

sebesar 920.000 ton, sedangkan 70% dari pemenuhan konsumsi susu di Indonesia

dipasok oleh impor susu sebesar 2.189.000 ton. Hal ini menyebabkan Indonesia

saat ini berada pada posisi net consumer dalam peta perdagangan internasional

produk-produk susu. Sampai saat ini, industri pengolahan susu nasional masih

bergantung pada impor bahan baku susu. Apabila hal ini terus berlangsung,

tentunya akan berakibat langsung terhadap kerugian peternak sapi perah lokal.

Untuk itu, program percepatan peningkatan produksi susu segar dalam negeri

harus terus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri sebagai peluang pasar.

Dalam hal ini Siregar (2003;50) menyatakan bahwa penambahan populasi sapi

perah betina produktif atau dalam masa laktasi merupakan salah satu alternatif

dalam meningkatkan produksi susu nasional. Berdasarkan rumus perhitungan

produksi dan populasi, populasi sapi perah betina produktif yang diperlukan untuk

memenuhi kurangnya pasokan kebutuhan susu sebanyak 2.189.000 ton adalah

sebanyak 1.204.144 ekor sapi perah laktasi. Adapun secara lebih rinci perhitungan

penambahan jumlah populasi sapi perah terlampir dalam Lampiran 16.

4.6. Kebijakan Pemerintah Terkait Komoditas Susu Segar di Indonesia

Kebijakan pemerintah terkait komoditas susu segar di Indonesia tertuang

dalam berbagai keputusan dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh

78
beberapa Kementerian terkait. Berikut merupakan penjabaran beberapa kebijakan

yang tertuang terkait pengembangan peternakan sapi perah dan komoditas susu

segar :

a. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perdagangan dan Koperasi, Menteri

Perindustrian dan Menteri Pertanian, Nomor 236/Kpb/VII/1982, Nomor

341/M/SK/7/1982 dan Nomor 521/Kpts/Um/7/1982

Daryanto (2009;122) menjelaskan bahwa dalam SKB yang sudah

ditetapkan berisi ketentuan terkait kewajiban IPS dalam menyerap susu segar

dalam negeri sebagai pendamping dari susu impor sebagai bahan baku untuk

industri. Proporsi penyerapan susu segar dalam negeri ditetapkan dalam bentuk

rasio susu, yaitu perbandingan antara penyerapan susu segar dalam negeri dan

harus dibuktikan dalam bentuk bukti serap “BUSEP”.

b. Intruksi Presiden No.2 Tahun 1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan

Pengembangan Persusuan Nasional

Instruksi presiden No.2 Tahun 1985 merupakan rumusan terkait

penyusunan dan perumusan kebijakan terpadu mengenai pembinaan dan

pengembangan persusuan nasional untuk meningkatkan produksi susu ternak

perah, pengolahan, pemasaran dan konsumsi susu.

c. Intruksi Presiden No. 4 Tahun 1998 tentang Koordinasi Pembinaan dan

Pengembangan Persusuan Nasional

Intruksi presiden No. 4 Tahun 1998 berisi mengenai pencabutan

kebijakan rasio impor susu dan adanya kebijakan bukti serap yang mewajibkan

IPS menyerap dan menjamin pasar susu segar para peternak.

79
d. Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional

Peraturan Presiden No. 28 memerintahkan menteri yang bertanggung

jawab di bidang perindustrian untuk menyusun dan menetapkan peta panduan

(Road Map) pengembangan klaster industri prioritas antara lain industri

berbasis agro (industri susu).

e. Permenkeu No. 131 Tahun 2009 tentang Kredit Usaha Pembibitan Sapi

Peraturan Menteri Keuangan No. 131 Tahun 2009 terbit sebagai

dukungan pengadaan satu juta ekor bibit sapi dalam lima tahun. Untuk

mencapai hal tersebut, maka diciptakan suatu mekanisme kredit usaha

pembibitan sapi yang terpadu sebagai dukungan pendanaan dari perbankan

dengan bunga yang disubsidi oleh pemerintah.

f. Permentan No 26/2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu

Peraturan Kementerian Pertanian No. 26 Tahun 2017 diantaranya

berisi ketentuan yang mengatur terkait penyediaan dan peredaran susu segar,

kewajiban kemitraan antara pelaku usaha dan peternak.

g. Permentan No. 33 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Permentan

No.26 Tahun 2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu.

Ketentuan inti yang diubah dalam peraturan Menteri Pertanian No.

26 Tahun 2017 yaitu, pelaku usaha tidak dibebankan kewajiban untuk

melakukan kemitraan dengan peternak, gabungan kelompok peternak dan

koperasi melalui pemanfaatan SSDN atau promosi yang saling

menguntungkan.

80
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Deskripsi Komponen Variabel Penelitian

Model sistem penawaran dan permintaan susu segar dalam penelitian

merupakan persamaan yang dibangun dari 5 model persamaan struktural. Dalam

setiap persamaan terdiri beberapa komponen variabel yang menyusunnya.

Pemilihan komponen variabel yang digunakan dalam penelitian terdiri dari

beberapa variabel yang dipilih berdasarkan teori pendukung dalam masing-masing

persamaan struktural.

Data yang digunakan dalam penelitian merupakan nilai produksi susu

segar, kuantitas penggunaan produksi susu segar, serta jumlah penggunaan input

yang digunakan dan dihasilkan perusahaan ternak sapi perah per satu tahun yang

bersumber dari Badan Pusat Statistik Indonesia dalam periode 1993-2017. Berikut

merupakan deskripsi dari masing-masing komponen variabel yang digunakan

dalam penelitian.

5.1.1. Jumlah Produksi

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Pertanian dalam statistik usaha

peternakan sapi perah tahun 1993-2017, dapat diketahui jumlah produksi susu

segar perusahaan sapi perah di Indonesia memiliki angka yang berfluktuatif setiap

tahunnya dengan rata-rata jumlah produksi berdasarkan tahun 1993-2017 sebesar

42.292.048 Liter/Tahun. Perkembangan jumlah produksi susu segar yang

dihasilkan oleh perusahaan peternakan sapi perah di Indonesia memiliki

pertumbuhan rata-rata sebesar 10,3 % per tahun. Adapun grafik perkembangan

81
jumlah produksi susu segar perusahaan peternakan sapi perah di Indonesia dapat

dilihat pada Gambar 14.

140.000.000
Jumlah Produksi Susu

120.000.000
Segar (Liter)

100.000.000
80.000.000
60.000.000
40.000.000
20.000.000
0 1999

2006

2011
1993
1994
1995
1996
1997
1998

2000
2001
2002
2003
2004
2005

2007
2008
2009
2010

2012
2013
2014
2015
2016
2017
Gambar 14. Produksi Susu Segar Perusahaan Peternakan Sapi Perah di Indonesia
(Liter/Tahun)
Sumber : Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah 1993-2017, Badan Pusat
Statistik (diolah, 2018)

Berdasarkan grafik pada Gambar 14, dapat diketahui bahwa pada tahun

2011, jumlah produksi susu mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun

sebelumnya, yakni meningkat sebesar 112% atau sebanyak 18.309.140 liter.

Selain pada tahun 2011, peningkatan yang signifikan juga terjadi pada tahun 2013

dan 2017. Pada tahun 2013, jumlah produksi susu meningkat sebesar 92,5% atau

sebanyak 28.277.000 liter dari tahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2017,

peningkatan produksi susu segar terjadi sebesar 85% atau sebanyak 58.144.000

liter dari tahun sebelumnya. Disamping itu, penurunan jumlah produksi susu segar

terbesar terjadi pada tahun 2008. Dengan penurunan jumlah produksi susu segar

sebanyak 25.597.420 liter atau sebesar 56,84% dari tahun 2007.

82
5.1.2. Jumlah Sapi Laktasi

Jumlah populasi sapi perah yang dimiliki oleh perusahaan peternakan

sapi perah di Indonesia memiliki rata-rata sebesar 22.958 ekor per tahun. Populasi

sapi perah terdiri dari 53% jumlah sapi betina laktasi sebanyak 12.031

Ekor/Tahun, 26% sapi betina belum berproduksi sebanyak 6.035 Ekor/Tahun,

11% sapi betina dalam keadaan kering sebanyak 2.564 Ekor/Tahun, 2% sapi

betina yang sudah tidak berproduksi lagi sebanyak 430 Ekor/Tahun dan 8% sapi

perah jantan sebanyak 1.897 Ekor/Tahun. Adapun diagram persentase jumlah

populasi sapi yang dimiliki oleh perusahaan peternakan sapi perah di Indonesia

dapat dilihat dalam Gambar 15.

2%
8%
Jumlah Sapi Betina Laktasi
11% (Ekor)
Jumlah Sapi Betina Belum
Berproduksi (Ekor)
Jumlah Sapi Betina dalam
53% Keadaan Kering (Ekor)
26% Jumlah Sapi BetinaTidak
Berproduksi Lagi (Ekor)
Jumlah Sapi Perah Jantan (Ekor)

Gambar 15. Persentase Jumlah Sapi Perah menurut Produktivitasnya.


Sumber : Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah 1993-2017, Badan Pusat
Statistik (diolah, 2018)

Perkembangan Jumlah sapi laktasi pada perusahaan peternakan sapi perah

di Indonesia memiliki angka yang berfluktuasi dengan pertumbuhan sebesar

11,57% per tahun. Peningkatan jumlah sapi laktasi terbesar terjadi pada tahun

2011, dengan peningkatan jumlah sapi laktasi sebanyak 5.794 ekor atau

meningkat sebesar 137% dari tahun 2010. Selain itu, peningkatan jumlah sapi

laktasi secara signifikan juga terjadi pada tahun 2012 dan 2017. Pada tahun 2012,

83
peningkatan jumlah sapi laktasi terjadi sebesar 84% atau sebanyak 8.493 ekor dari

tahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2017, peningkatan jumlah sapi laktasi

terjadi sebesar 90% atau sebanyak 17.831 ekor dari tahun sebelumnya. Disamping

itu, penurunan jumlah sapi laktasi terbesar terjadi pada tahun 2008 dengan

penurunan jumlah sapi laktasi sebanyak 5.830 ekor atau sebesar 47,67% dari

tahun 2007. Adapun grafik perkembangan jumlah sapi laktasi dapat dilihat pada

Gambar 16.

40.000
Jumlah Sapi Laktasi

35.000
30.000
25.000
(EKor)

20.000
15.000
10.000
5.000
0
1993

2004

2015
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003

2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014

2016
2017
Gambar 16. Jumlah Sapi Laktasi Perusahaan Peternakan Sapi Perah per Tahun
(Ekor/Tahun)
Sumber : Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah 1993-2017, Badan Pusat
Statistik (diolah, 2018)

5.1.3. Jumlah Pakan Ternak

Pakan ternak yang dimaksud dalam usaha peternakan sapi perah pada

umumnya terdiri dari pakan hijauan dan pakan konsentrat. Jumlah penggunaan

pakan, baik pakan hijauan dan pakan konsentrat memiliki angka yang bervariasi

tiap tahunnya. Pakan hijauan berperan sebagai sumber pakan utama dalam usaha

ternak sapi perah, sedangkan pakan konsentrat merupakan pakan tambahan yang

sangat dibutuhkan sebagai pelengkap gizi ternak sapi perah. Adapun rata-rata

jumlah pemakaian pakan hijauan yaitu sebesar 125.606.968 Kg/Tahun.

84
Sedangkan, rata-rata jumlah pemakaian pakan konsentrat sebesar 22.832.760

Kg/Tahun. Jumlah pemakaian pakan ternak yang digunakan pada perusahaan

peternakan sapi perah di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 17.

700.000.000
Jumlah Pakan Ternak (Kg)

600.000.000
500.000.000
400.000.000
300.000.000
200.000.000
100.000.000
0
1998

2005

2011
1993
1994
1995
1996
1997

1999
2000
2001
2002
2003
2004

2006
2007
2008
2009
2010

2012
2013
2014
2015
2016
2017
Jumlah Pakan Hijauan (Kg) Jumlah Pakan Konsentrat (Kg)

Gambar 17. Jumlah Pemakaian Pakan Perusahaan Peternakan Sapi Perah di


Indonesia (Kg/Tahun)
Sumber : Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah 1993-2017, Badan Pusat
Statistik (diolah, 2018)

5.1.4. Jumlah Tenaga Kerja

Rata-rata jumlah tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan peternakan

sapi perah di Indonesia berdasarkan periode 1993-2017 yaitu sebanyak 2.519

Orang/Tahun. Sedangkan, perkembangan jumlah tenaga kerja pada perusahaan

peternakan sapi perah di Indonesia memiliki tren berfluktuasi cenderung menurun

dengan pertumbuhan sebesar -1,66% per Tahun. Penurunan jumlah tenaga kerja

terbesar terjadi pada tahun 2008, yaitu menurun sebanyak 1.836 orang atau

sebesar 57,9% dari tahun 2007. Sedangkan, peningkatan jumlah tenaga kerja

terbesar terjadi pada tahun 2012, dengan peningkatan sebanyak 951 orang atau

sebanyak 58% dari tahun 2011. Kemudian pada tahun 2017, jumlah tenaga kerja

yang bekerja dalam bidang usaha peternakan sapi perah berjumlah sebanyak 1.318

85
orang. Adapun grafik perkembangan jumlah tenaga kerja dapat dilihat pada

Gambar 18.

4.500
Jumlah Tenaga Kerja

4.000
3.500
3.000
(Orang)

2.500
2.000
1.500
1.000
500
0
1996

2000

2011
1993
1994
1995

1997
1998
1999

2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010

2012
2013
2014
2015
2016
2017
Gambar 18. Jumlah Tenaga Kerja Perusahaan Peternakan Sapi Perah di Indonesia
(Orang/Tahun)
Sumber : Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah 1993-2017, Badan Pusat
Statistik (diolah, 2018)

5.1.5. Jumlah Pemakaian Air

Perkembangan rata-rata jumlah pemakaian air dalam usaha ternak sapi

perah pada tahun 1993-2017 cenderung berfluktuasi dengan rata-rata jumlah

pemakaian air sebesar 507.106 M3/Tahun. Adapun grafik jumlah pemakaian air

perusahaan peternakan sapi perah di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 19.

3.000.000
Jumlah Pemakaian Air

2.500.000
2.000.000
(M3)

1.500.000
1.000.000
500.000
0
1993

2004

2014
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003

2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

2015
2016
2017

Gambar 19. Jumlah Pemakaian Air Perusahaan Peternakan Sapi Perah di


Indonesia (M3/Tahun)
Sumber : Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah 1993-2017, Badan Pusat
Statistik (diolah, 2018)

86
5.1.6. Jumlah Penawaran Susu Segar

Berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 1993-2017, perkembangan

jumlah penawaran susu segar memiliki tren yang berfluktuasi cenderung

meningkat. Rata-rata jumlah penawaran susu segar pada perusahaan peternakan

sapi perah di Indonesia memiliki nilai sebanyak 41.749.739 Liter/Tahun.

Sedangkan pertumbuhan jumlah penawaran susu segar memiliki nilai sebesar

9,85% per Tahun. Gambar 20 berikut merupakan grafik perkembangan jumlah

penawaran dan permintaan susu segar per perusahaan peternakan sapi perah.

140.000.000
Jumlah Penawaran Susu

120.000.000
100.000.000
Segar (Liter)

80.000.000
60.000.000
40.000.000
20.000.000
0
1998

2003

2008

2013
1993
1994
1995
1996
1997

1999
2000
2001
2002

2004
2005
2006
2007

2009
2010
2011
2012

2014
2015
2016
2017

Gambar 20. Jumlah Penawaran Susu Segar Perusahaan Peternakan Sapi Perah
di Indonesia (Liter/Tahun)
Sumber : Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah 1993-2017, Badan Pusat
Statistik (diolah, 2018)

Berdasarkan grafik pada Gambar 20, peningkatan jumlah penawaran susu

segar terbesar terjadi pada tahun 2011. Dengan peningkatan jumlah penawaran

susu sebanyak 18.149.143 liter atau meningkat sebesar 119% dari tahun 2010.

Sedangkan, penurunan jumlah penawaran terbesar terjadi pada tahun 2008.

Dengan penurunan jumlah penawaran susu segar sebanyak 25.082.195 liter dari

tahun 2007, atau dengan persentase penurunan jumlah produksi sebesar 56,84%.

87
5.1.7. Jumlah Permintaan Susu Segar

Data jumlah permintaan susu segar dalam penelitian ini diasumsikan

sama dengan jumlah penawaran susu segar. Asumsi ini diambil karena adanya

keterbatasan ketersediaan data permintaan susu segar. Sehingga dalam model

persamaan diasumsikan bahwa model penawaran dan permintaan berada pada

pasar yang seimbang. Artinya, jumlah penawaran susu segar diasumsikan sama

dengan jumlah permintaan susu segar. Selain adanya keterbatasan data, asumsi

tersebut diambil berdasarkan tinjauan teori yang dikemukakan oleh Sugiarto dkk

(2002;55) bahwa penawaran dan permintaan dengan sendirinya akan mencapai

keseimbangan harga dan jumlah yang diperjualbelikan.

5.1.8. Harga Susu Segar dalam Negeri

Menurut Peraturan Menteri Pertanian No.26 Tahun 2017 tentang

penyediaan dan peredaran susu, harga susu segar dalam negeri ditetapkan oleh

Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) sebagai perwakilan peternak sapi

perah dan IPS. Komponen harga susu segar dalam negeri yang dijadikan sebagai

dasar penentuan harga ditingkat peternak terdiri dari biaya SSDN (total biaya

produksi, handling cost, dan profit peternak), klasifikasi mutu SSDN dan tingkat

cemaran mikroba.

Menurut data Badan Pusat Statistik dalam statistik perusahaan

peternakan sapi perah tahun 1993-2017, menyatakan bahwa harga rata-rata susu

segar ditingkat peternak memiliki tren cenderung meningkat dengan harga pada

tahun 2017 yaitu sebesar Rp.5.500. Harga susu segar ditingkat peternak atau

88
produsen dapat dilihat pada Lampiran 10. Adapun grafik perkembangan harga

susu segar dapat dilihat pada Gambar 21.

10.000,00
Harga Susu Segar

8.000,00
(Rupiah/Liter)

6.000,00

4.000,00

2.000,00

0,00
1994

2004

2014
1993

1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003

2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

2015
2016
2017
Gambar 21. Perkembangan Harga Susu Segar di Tingkat Produsen (Rp/Liter)
Sumber : Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah 1993-2017, Badan Pusat
Statistik (diolah, 2018)

Haryono dkk (2012;144) menjelaskan bahwa harga susu menjadi faktor

penentu dalam suatu unit produksi. Susu segar yang dihasilkan peternak sebagian

besar diserap oleh industri pengolahan susu (IPS) sehingga peternak memiliki

posisi yang lemah dalam penetapan harga susu. Harga susu segar pada tingkat

peternak yang masih rendah menyebabkan para peternak tidak tertarik untuk

meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi susu.

5.1.9. Harga Teh

Harga teh merupakan harga komoditas lain yang diduga memiliki

hubungan substitusi dengan komoditas susu sebagai komoditas yang sering diolah

menjadi minuman dan sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sebagai

minuman selain susu segar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik,

perkembangan harga teh dalam negeri ditingkat konsumen memiliki tren

cenderung meningkat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 12% per tahun.

Adapun pada tahun 2017, harga teh ditingkat konsumen yaitu sebesar Rp. 75.000

89
per kilogram. Grafik perkembangan harga teh di tingkat konsumen dapat dilihat

pada Gambar 22 berikut.

80.000
70.000
Harga Teh di Tingkat
Konsumen (Rp/Kg)

60.000
50.000
40.000
30.000
20.000
10.000
0
1999

2006

2013
1993
1994
1995
1996
1997
1998

2000
2001
2002
2003
2004
2005

2007
2008
2009
2010
2011
2012

2014
2015
2016
2017
Gambar 22. Perkembangan Harga Teh di Tingkat Konsumen (Rp/Kg)
Sumber : Statistik Harga Konsumen Kelompok Makanan 1993-2017, Badan Pusat
Statistik (diolah, 2018)

5.1.10. Harga Kopi

Komoditas kopi merupakan komoditas yang sering dikonsumsi sebagai

minuman oleh masyarakat Indonesia selain komoditas susu segar dan komoditas

teh. Oleh karena itu, variabel harga kopi menjadi salah satu variabel harga barang

lain yang diduga berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan komoditas

susu segar.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, perkembangan harga kopi bubuk

ditingkat konsumen memiliki tren cenderung meningkat dengan nilai rata-rata

pertumbuhan sebesar 11,2% per tahun. Pada tahun 2017, harga kopi bubuk

ditingkat konsumen bernilai sebesar Rp. 38.330 per kilogram. Adapun grafik

perkembangan harga kopi bubuk dapat dilihat pada Gambar 23 berikut.

90
45.000

Tingkat Konsumen (Rp/Kg)


Harga Kopi Bubuk di 40.000
35.000
30.000
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
0 1997

2000

2003

2006

2009
1993
1994
1995
1996

1998
1999

2001
2002

2004
2005

2007
2008

2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
Gambar 23. Perkembangan Harga Kopi Bubuk di Tingkat Konsumen (Rp/Kg)
Sumber : Statistik Harga Konsumen Kelompok Makanan 1993-2017, Badan Pusat
Statistik (diolah, 2018)

5.1.11. Total biaya produksi

Total biaya produksi atau nilai pengeluaran dalam usaha peternakan sapi

perah merupakan jumlah total biaya-biaya yang dikeluarkan dalam mengelola

usaha peternakan sapi perah per satu tahun. Badan Pusat Statistik dalam statistik

perusahaan peternakan sapi perah tahun 1993-2017 menjelaskan bahwa nilai

pengeluaran (total biaya produksi) perusahaan sapi perah dikeluarkan untuk

keperluan biaya pakan, biaya tenaga kerja, biaya bahan bakar, biaya listrik dan air,

biaya obat-obatan serta biaya yang dipergunakan untuk hal lainnya.

Berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 1993-2017, dapat diketahui

rata-rata total biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan peternakan sapi perah,

yaitu sebesar Rp. 103.593.017.240 per tahun. Biaya yang dikeluarkan untuk pakan

ternak mendominasi nilai pengeluaran perusahaan peternakan sapi perah sebesar

59% atau sebesar Rp. 60.903.102.720. Kemudian, biaya yang dikeluarkan untuk

tenaga kerja memiliki persentase sebesar 16% dari total biaya yang dikeluarkan

perusahaan atau sebesar Rp.16.530.359.480. Biaya yang dikeluarkan untuk

91
keperluan lainnya memiliki persentase sebesar 10% atau sebesar Rp.

10.067.431.080. Sedangkan biaya untuk keperluan obat-obatan hanya 9% dari

total biaya yang dikeluarkan, yaitu sebesar Rp. 9.641.746.320. Biaya untuk bahan

bakar sebesar Rp. 3.655.844.160 serta biaya untuk listrik dan air sebesar Rp.

2.794.533.480 dengan persentase masing-masing sebesar 3% dari total biaya yang

dikeluarkan. Adapun secara lebih rinci diagram persentase biaya pengeluaran

perusahaan peternakan sapi perah dapat dilihat pada Gambar 24.

10% 16% Biaya Tenaga Kerja (Rupiah)


3%
9% Biaya Bahan Bakar (Rupiah)
3%
Biaya Listrik dan Air (Rupiah)
Biaya Pakan (Rupiah)
Obat-obatan (Rupiah)
59% Lainnya (Rupiah)

Gambar 24. Persentase Total biaya produksi Perusahaan Sapi Perah


Sumber : Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah 1993-2017, Badan Pusat
Statistik (diolah, 2018)

Perkembangan total biaya produksi yang dikeluarkan oleh perusahaan

peternakan sapi perah memiliki tren berfluktuasi cenderung meningkat.

Pertumbuhan total biaya produksi memiliki nilai sebesar 21 % per tahun.

Peningkatan jumlah total biaya produksi tertinggi terjadi pada tahun 2012.

Peningkatan pada tahun 2012 terjadi sebesar 179% atau sebanyak Rp 175.212.480

dari tahun 2011. Sedangkan penurunan terbesar terjadi pada tahun 2008, yaitu

dengan penurunan sebesar 45% atau sebanyak Rp. 49.301.210.000 dari tahun

2007. Adapun grafik perkembangan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan

peternakan sapi perah dapat dilihat pada Gambar 25.

92
450
400
350
(Milyar Rupiah)
Biaya Produksi

300
250
200
150
100
50
0
1993

1998

2007

2012
1994
1995
1996
1997

1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006

2008
2009
2010
2011

2013
2014
2015
2016
2017
Gambar 25. Nilai Total biaya produksi Perusahaan Sapi Perah di Indonesia
(Milyar Rupiah/Tahun)
Sumber : Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah 1993-2017, Badan Pusat
Statistik (diolah, 2018)

5.1.12. Jumlah Pendapatan Per Kapita

Perkembangan jumlah pendapatan per kapita di Indonesia memiliki angka

yang terus meningkat setiap tahunnya. Perkembangan jumlah pendapatan

perkapita terus meningkat dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 16,83% per

tahun. Pada tahun 2017, jumlah pendapatan per kapita mencapai Rp. 38.375.500

per tahun. Adapun grafik perkembangan pendapatan per kapita di Indonesia dapat

dilihat pada Gambar 26.

50
Jumlah Pendapatan per

40
(Juta Rupiah)

30
Kapita

20
10
0
1993

2000

2007
1994
1995
1996
1997
1998
1999

2001
2002
2003
2004
2005
2006

2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017

Gambar 26. Perkembangan Pendapatan per Kapita (Juta Rupiah)


Sumber : Statistik Indonesia 1993-2017, Badan Pusat Statistik (diolah, 2018)

93
5.2. Uji Validasi

Uji validasi dalam penelitian dilakukan menggunakan nilai U-Theil dan

nilai hasil uji autokorelasi. Nilai U-Theil pada masing-masing model digunakan

untuk menentukan apakah model persamaan yang sudah dibangun dapat

dikatakan valid. Sedangkan uji autokorelasi dilakukan dengan tujuan untuk

menguji apakah dalam model regresi linear ada korelasi antara kesalahan

pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode

sebelumnya.

Berdasarkan uji validasi model dengan menggunakan nilai U-Theil

diperoleh hasil bahwa setiap persamaan yang dibangun dalam model dapat

dikatakan valid, yaitu setiap nilai U-Theil mendekati 0. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa model yang dibangun valid dan tidak memerlukan adanya

revisi model. Sintaks dan hasil uji validasi model dapat dilihat pada Lampiran 23,

24, 25, 26 dan 27. Adapun Hasil nilai uji U Theil dapat dilihat pada Tabel 8

berikut.

Tabel 8. Hasil Uji Validasi dengan Niai U-Theil.

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions


Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

TB 25 6.062E18 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.0171 0.0085


QP 25 6.727E13 0.93 0.00 0.00 1.00 0.04 0.96 0.1723 0.0868
QS 25 6.938E13 0.92 0.01 0.01 0.99 0.01 0.98 0.1775 0.0886
QD 25 4.183E13 0.95 0.00 0.00 1.00 0.02 0.98 0.1378 0.0692
HS 25 180018 0.97 0.02 0.00 0.98 0.00 0.98 0.1317 0.0655
Sumber : Lampiran 27

Selain uji validasi, uji yang digunakan untuk mendeteksi autokorelasi

dalam penelitian dilakukan dengan metode uji Durbin-Watson. Hasil keputusan

94
uji berdasarkan nilai kritis diperoleh bahwa, model totak total biaya produksi

(TB), model penawaran susu segar (QS) dan harga susu segar (HS) tidak memiliki

masalah autokorelasi. Sedangkan model persamaan produksi susu segar (QP) dan

permintaan susu segar (QD) tidak dapat diambil keputusan apakah terdapat

masalah autokorelasi atau tidak. Adapun hasil uji autokorelasi dalam masing-

masing model dapat dilihat dalam Tabel 9.

Tabel 9. Hasil Uji Autokorelasi Durbin Watson

Nilai Uji
Model
Autokorelasi Pengambilan Keputusan Hasil
Persamaan
durbin watson
Total biaya dU<d<4-dU Tidak Terdapat
2,392
produksi (TB) (1,886<2,392<2,114) Autokorelasi
Produksi Susu dL < d < dU Tidak Ada
1,744
Segar (QP) (0,953 < 1,744 < 1,886) Keputusan
Penawaran Susu dU<d<4-dU Tidak Terdapat
1,958
Segar (QS) (1,886<1,958<2,114) Autokorelasi
Permintaan Susu dL < d < dU Tidak Ada
1,461
Segar (QD) (0,953< 1,461 < 1,886) Keputusan
Harga Susu dU<d<4-dU Tidak Terdapat
2,111
Segar (HS) (1,550<2,111<2,450) Autokorelasi
Sumber : Lampiran 18, 19, 20 dan 21.

Model persamaan produksi susu segar (QP) dan permintaan susu segar

(QD) memiliki nilai durbin watson yang berada di daerah keragu-raguan dengan

kriteria dL < d < dU. Sehingga tidak dapat diambil keputusan apakah model

tersebut mengalami masalah autokorelasi atau tidak. Akan tetapi, menurut

Sunyoto (2010;110) apabila nilai durbin watson berada diantara -2 dan 2, maka

dapat disimpulkan bahwa model persamaan tidak mengalami masalah

autokorelasi. Sehingga berdasarkan teori tersebut maka model produksi (QP) dan

model permintaan susu segar (QD) dapat dinyatakan tidak memiliki masalah

95
autokorelasi. Berdasarkan hasil uji validasi model diatas, dapat dibangun skema

sistem penawaran dan permintaan susu segar pada Gambar 27.

TK

Keterangan : = Variabel Endogen = Variabel Eksogen


Gambar 27. Keterkaitan Hubungan antar Variabel dalam Model.

Model yang dibangun dalam Gambar 27, merupakan skema hubungan

keterkaitan antar variabel dalam model pada kondisi pasar yang seimbang.

Artinya, jumlah penawaran akan sama dengan jumlah permintaan. Asumsi ini

digunakan karena adanya keterbatasan data jumlah permintaan susu segar,

sehingga dalam penelitian ini jumlah permintaan susu segar diasumsikan sama

dengan jumlah penawaran susu segar. Asumsi pasar seimbang atau keseimbangan

pasar juga mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Sugiarto, dkk (2002;55)

yang menjelaskan bahwa permintaan dan penawaran dengan sendirinya akan

mencapai keseimbangan harga dan jumlah komoditas yang diperjualbelikan.

Dalam skema pasar seimbang variabel harga menjadi variabel penghubung antara

variabel jumlah penawaran dan jumlah permintaan. Dalam Gambar 27, dapat

96
diketahui bahwa variabel harga salah satunya dipengaruhi oleh perubahan jumlah

permintaan. Sedangkan perubahan variabel harga dapat mempengaruhi variabel

penawaran susu segar.

Berdasarkan skema pada Gambar 27, model total biaya produksi

dipengaruhi oleh biaya pakan, biaya listrik dan air, biaya obat-obatan serta biaya

bahan bakar yang berpengaruh signifikan pada taraf nyata sebesar 0,05.

Sedangkan dalam model produksi susu segar di Indonesia dipengaruhi oleh

jumlah sapi laktasi dan jumlah pakan konsentrat pada taraf nyata sebesar 0,05.

Sedangkan jumlah pakan hijauan serta tenaga kerja tidak berpengaruh signifikan

terhadap jumlah produksi susu segar.

Model penawaran susu segar dipengaruhi oleh jumlah produksi susu

segar, harga teh dan harga kopi bubuk yang berpengaruh secara signifikan

terhadap jumlah penawaran pada taraf nyata 0,05. Variabel harga susu

segar berpengaruh signifikan pada taraf nyata 0,15. Sedangkan total biaya

produksi tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah penawaran susu segar.

Model permintaan susu segar dipengaruhi oleh variabel harga teh, harga

kopi, jumlah produksi susu segar dan jumlah pendapatan perkapita pada taraf

nyata sebesar 0,05. Sedangkan variabel jumlah harga susu segar tidak

berpengaruh signifikan terhadap jumlah permintaan susu segar. Kemudian dalam

model harga susu segar dipengaruhi oleh total biaya dan jumlah permintaan pada

taraf nyata sebesar 0,05.

97
5.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Total Biaya Produksi

Model persamaan total biaya produksi susu segar di Indonesia diduga

dipengaruhi oleh komponen-komponen variabel yang menyusun total biaya

produksi. Menurut Widjajanto dalam Hasanah (2015;25) komponen biaya dalam

usaha ternak sapi perah terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap

merupakan biaya yang harus dikeluarkan dengan jumlah yang tetap pada periode

waktu tertentu tanpa melihat jumlah produksi yang dihasilkan. Sedangkan biaya

variabel adalah biaya yang dikeluarkan dengan jumlah yang berubah sesuai

dengan jumlah produksi yang dihasilkan. Selanjutnya, Hasanah (2015;74)

menjelaskan bahwa biaya tetap terdiri dari biaya penyusutan ternak, kandang dan

peralatan. Sedangkan biaya variabel terdiri dari biaya yang dikeluarkan untuk

pembelian barang dan jasa dalam usaha ternak sapi perah. Menurut BPS dalam

Survei Ongkos Usaha Ternak (2017;6) komponen variabel dalam total biaya

produksi ternak sapi perah diantaranya adalah variabel biaya pakan, biaya tenaga

kerja, biaya listrik dan air, biaya obat-obatan dan biaya bahan bakar.

Berdasarkan uji autokorelasi dengan nilai durbin watson diperoleh nilai

uji durbin watson pada model persamaan total biaya produksi sebesar 2,392.

Dengan jumlah pengamatan sebanyak 25 kali dan jumlah variabel eksogen

sebanyak 5 variabel pada taraf nyata sebesar 0,05, maka diperoleh nilai d L=

0,953 dan dU = 1,886. Sehingga kriteria yang paling tepat dengan nilai uji durbin

watson adalah dU<d<4-dU dengan nilai 1,886<2,392<2,114. Maka dapat diambil

keputusan tidak terdapat masalah autokorelasi didalam model.

98
Model persamaan total biaya produksi susu segar memiliki nilai koefisien

determinasi (R2) sebesar 0,99. Berdasarkan nilai koefisien determinasi tersebut

dapat diartikan bahwa sebesar 99% keragaman nilai total biaya produksi susu

segar dapat dijelaskan oleh keragaman variabel biaya pakan, biaya tenaga kerja,

biaya listrik dan air, biaya obat-oabtan dan biaya bahan bakar.

Hasil uji statistik F memiliki nilai probabilitas sebesar <0,0001 yang

menujukkan bahwa nilai probabilitas lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai

taraf nyata ( ) sebesar 0,05. Berdasarkan nilai uji tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa variabel-variabel penjelas secara serentak berpengaruh nyata

terhadap model persamaan total biaya produksi susu segar. Berdasarkan nilai uji

statistik t diperoleh hasil bahwa biaya pakan, biaya listrik dan air, biaya obat-

obatan dan biaya bahan bakar berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata

sebesar 0,05. Sedangkan variabel biaya tenaga kerja tidak berpengaruh secara

signifikan terhadap nilai total biaya produksi. Adapun hasil hasil uji statistik t

dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil Uji statistik t Model Total Biaya Produksi Susu Segar

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable


Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 3.83E9 1.9721E9 1.94 0.0671 Intercept


BP 1 0.975953 0.101973 9.57 <.0001 Biaya Pakan
BTK 1 0.558895 0.425283 1.31 0.2044 Biaya Tenaga
Kerja
BLA 1 5.226691 0.800654 6.53 <.0001 Biaya Listrik
dan Air
BO 1 1.112180 0.104897 10.60 <.0001 Biaya Obat-
obatan
BB 1 1.574524 0.258978 6.08 <.0001 Biaya Bahan
Bakar

Sumber : Lampiran 18

99
Berdasarkan hasil analisis dengan perangkat lunak SAS, hasil penelitian

sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa kenaikan nilai biaya-biaya

yang digunakan dalam mengelola usaha ternak sapi perah akan berpengaruh satu

arah (positif) terhadap kenaikan nilai total biaya produksi. Uraian hasil analisis

faktor-faktor yang mempengaruhi model persamaan produksi susu segar secara

parsial dapat dijabarkan sebagai berikut.

5.3.1. Biaya Pakan

Biaya pakan merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pengeluaran

pakan ternak dalam mengelola usaha peternakan sapi perah. Berdasarkan hasil uji

t, diperoleh nilai probabilitas sebesar <0,0001. Nilai tersebut menunjukkan bahwa

nilai probabilitas lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai taraf nyata ( ) sebesar

0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel biaya pakan sangat berpengaruh

signifikan terhadap jumlah total total biaya produksi yang dikeluarkan pada

tingkat sebesar 0,05. Nilai koefisien estimasi variabel biaya pakan memiliki

nilai positif dengan angka sebesar 0,97. Tanda positif menunjukkan adanya

hubungan searah antara biaya pakan dengan nilai total total biaya produksi.

Artinya apabila terjadi kenaikan satu rupiah biaya pakan maka total biaya

produksi susu segar yang dikeluarkan akan meningkat sebesar 0,97 rupiah dengan

faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel

biaya pakan memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap nilai total biaya

produksi. Menurut Ako (2013;53) biaya pakan memiliki pengaruh yang signifikan

karena pakan merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam

100
pemeliharaan ternak sapi perah dan memiliki persentase biaya pakan mencapai

60-70% dari total biaya. Sehingga, apabila terjadi kenaikan nilai rupiah dari biaya

pakan, maka akan sangat berpengaruh terhadap nilai biaya produksi yang

dikeluarkan.

5.3.2. Biaya Tenaga Kerja

Biaya tenaga kerja merupakan biaya yang dikeluarkan untuk upah

pekerja yang bekerja dalam mengelola usaha peternakan sapi perah. Berdasarkan

hasil uji t, diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,20. Nilai tersebut menunjukkan

bahwa nilai probabilitas lebih besar jika dibandingkan dengan nilai taraf nyata ( )

sebesar 0,15. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel biaya tenaga kerja tidak

berpengaruh signifikan terhadap jumlah total biaya produksi yang dikeluarkan

pada tingkat. Nilai koefisien estimasi variabel biaya tenaga kerja memiliki nilai

positif dengan angka sebesar 0,55. Tanda positif menunjukkan adanya hubungan

searah antara biaya tenaga kerja dengan nilai total biaya produksi. Artinya apabila

terjadi kenaikan satu rupiah biaya tenaga kerja maka total biaya produksi susu

segar yang dikeluarkan akan meningkat sebesar 0,55 rupiah dengan faktor lain

dianggap tetap (ceteris paribus).

5.3.3. Biaya Listrik dan Air

Biaya listrik dan air merupakan salah satu komponen variabel yang

diduga mempengaruhi pengeluaran nilai biaya produksi. Berdasarkan hasil uji t,

diperoleh nilai probabilitas sebesar <0,0001. Nilai tersebut menunjukkan bahwa

nilai probabilitas lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai taraf nyata ( ) sebesar

0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel biaya listrik dan air sangat

101
berpengaruh signifikan terhadap jumlah total biaya produksi yang dikeluarkan

pada tingkat sebesar 0,05. Nilai koefisien estimasi variabel biaya listrik dan air

memiliki nilai positif dengan angka sebesar 5,22. Tanda positif menunjukkan

adanya hubungan searah antara biaya listrik dan air dengan nilai total biaya

produksi. Artinya apabila terjadi kenaikan satu rupiah biaya listrik dan air maka

total biaya produksi susu segar yang dikeluarkan akan meningkat sebesar 5,22

rupiah dengan faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus).

5.3.4. Biaya Obat-obatan dan Vaksin

Biaya obat-obatan dan vaksin merupakan biaya yang dikeluarkan untuk

mencegah dan mengatasi penyakit pada ternak sapi perah. Berdasarkan hasil uji t,

diperoleh nilai probabilitas sebesar <0,0001. Nilai tersebut menunjukkan bahwa

nilai probabilitas lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai taraf nyata ( ) sebesar

0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel biaya obat-obatan dan vaksin

sangat berpengaruh signifikan terhadap jumlah total biaya produksi yang

dikeluarkan pada tingkat sebesar 0,05. Nilai koefisien estimasi variabel biaya

obat-obatan dan vaksin memiliki nilai positif dengan angka sebesar 1,11. Tanda

positif menunjukkan adanya hubungan searah antara biaya obat-obatan dan vaksin

dengan nilai total biaya produksi. Artinya apabila terjadi kenaikan satu rupiah

biaya obat-obatan dan vaksin maka akan berpengaruh terhadap meningkatnya

total biaya produksi susu segar yang dikeluarkan sebesar 0,97 rupiah dengan

faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus).

102
5.3.5. Biaya Bahan Bakar

Biaya bahan bakar merupakan biaya yang dikeluarkan untuk membeli

bahan bakar yang digunakan dalam menjalankan usaha ternak sapi perah.

Berdasarkan hasil uji t, diperoleh nilai probabilitas sebesar <0,0001. Nilai tersebut

menunjukkan bahwa nilai probabilitas lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai

taraf nyata ( ) sebesar 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel biaya

bahan bakar sangat berpengaruh signifikan terhadap jumlah total biaya produksi

yang dikeluarkan pada tingkat sebesar 0,05. Nilai koefisien estimasi variabel

biaya bahan bakar memiliki nilai positif dengan angka sebesar 1,57. Tanda positif

menunjukkan adanya hubungan searah antara biaya bahan bakar dengan nilai total

biaya produksi. Artinya apabila terjadi kenaikan satu rupiah biaya bahan bakar

maka total biaya produksi susu segar yang dikeluarkan akan meningkat sebesar

1,57 rupiah dengan faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus).

5.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Segar

Model persamaan produksi susu segar di Indonesia diestimasi dengan

variabel-variabel eksogen yang diduga mempengaruhi jumlah produksi susu segar

diantaranya yaitu variabel jumlah sapi laktasi, jumlah pakan hijauan, jumlah

pakan konsentrat, jumlah pemberian air serta jumlah tenaga kerja. Pemilihan

variabel didasarkan pada teori dan didukung dengan beberapa penelitian

terdahulu. Adapun hasil uji model persamaan produksi susu segar dapat dilihat

pada Lampiran 19.

103
Berdasarkan uji autokorelasi dengan nilai durbin watson diperoleh nilai

uji durbin watson pada model persamaan produksi sebesar 1,744. Dengan jumlah

pengamatan sebanyak 25 kali dan jumlah variabel eksogen sebanyak 5 variabel

pada taraf nyata sebesar 0,05, maka diperoleh nilai dL= 0,953 dan dU = 1,886.

Sehingga nilai uji durbin watson yang sesuai berada pada dL < d < dU dengan nilai

0,953<1,744<1,886. Berdasarkan kriteria keputusan tersebut, maka tidak dapat

diambil kesimpulan apakah terdapat masalah autokorelasi atau tidak pada model

persamaan produksi. Akan tetapi menurut Sunyoto, (2010;110) apabila nilai d W

berada diantara -2 dan 2, maka dapat disimpulkan bahwa model persamaan tidak

mengalami masalah autokorelasi.

Model persamaan produksi susu segar memiliki nilai koefisien

determinasi (R2) sebesar 0,863. Berdasarkan nilai koefisien determinasi tersebut

dapat diartikan bahwa sebesar 82% keragaman produksi susu segar dapat

dijelaskan oleh keragaman variabel jumlah sapi perah laktasi, jumlah pakan

hijauan, jumlah pakan tambahan, jumlah pemakaian air dan jumlah tenaga kerja.

Hasil uji statistik F memiliki nilai probabilitas sebesar <0,0001 yang

menujukkan bahwa nilai probabilitas lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai

taraf nyata ( ) sebesar 0,05. Berdasarkan nilai uji tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa variabel-variabel penjelas secara serentak berpengaruh nyata

terhadap model persamaan produksi susu segar.

Berdasarkan nilai uji statistik t diperoleh hasil bahwa jumlah sapi laktasi,

dan jumlah pakan konsentrat berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata

sebesar 0,05. Kemudian variabel jumlah tenaga kerja dan pakan hijauan

104
berpengaruh signifikan pada taraf nyata sebesar 0,25. Sedangkan variabel jumlah

pemakaian air tidak berpengaruh secara signifikan. Adapun hasil hasil uji statistik

t dalam pengolahan data dengan perangkat lunak SAS 9.1 dapat dilihat pada Tabel

11.

Tabel 11. Hasil Uji statistik t Model Jumlah Produksi Susu Segar

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable


Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 16624231 9671670 1.72 0.1019 Intercept


SL 1 2013.709 567.9169 3.55 0.0022 Jumlah Sapi
Laktasi
PH 1 0.033757 0.026696 1.26 0.2213 Jumlah Pakan
Hijauan
PK 1 0.306111 0.135832 2.25 0.0362 Jumlah Pakan
Konsentrat
A 1 4.276724 4.412099 0.97 0.3446 Jumlah
Pemakaian Air
TK 1 -4747.05 3088.200 -1.54 0.1407 Jumlah Tenaga
Kerja
Sumber : Lampiran 19

Uraian hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi model persamaan

produksi susu segar secara parsial dapat dijabarkan sebagai berikut.

5.4.1. Jumlah Sapi Laktasi

Sapi laktasi merupakan sapi perah betina yang sedang berproduksi

menghasilkan susu. Berdasarkan hasil uji t, diperoleh nilai probabilitas sebesar

0,0022. Nilai tersebut menunjukkan bahwa nilai probabilitas lebih kecil jika

dibandingkan dengan nilai taraf nyata ( ) sebesar 0,05. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa variabel banyaknya jumlah sapi perah laktasi berpengaruh

signifikan terhadap jumlah produksi susu segar yang dihasilkan pada tingkat

sebesar 0,05. Nilai koefisien estimasi variabel jumlah sapi laktasi memiliki nilai

positif dengan angka sebesar 2.013,70. Tanda positif menunjukkan adanya

105
hubungan searah antara jumlah sapi laktasi dan jumlah produksi. Artinya apabila

terjadi penambahan satu ekor jumlah sapi laktasi, maka jumlah produksi susu

segar yang dihasilkan akan meningkat sebesar 2.013,70 liter per tahun dengan

faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus).

Hasil penelitian sejalan dengan Gultom (2014), dalam penelitiannya

menjelaskan bahwa jumlah sapi laktasi yang dimiliki peternak menentukan

jumlah produksi susu suatu usaha peternakan sapi perah. Dalam hasil penelitian

menyatakan bahwa penambahan jumlah sapi laktasi akan meningkatkan produksi

sapi perah. Selain itu Hasanah (2015) juga menjelaskan bahwa variabel jumlah

sapi laktasi berpengaruh signifikan terhadap jumlah produksi susu. Sejalan dengan

Gultom (2014) dan Hasanah (2015), Famelika (2018) dalam penelitiannya

menjelaskan bahwa faktor input produksi yang berpengaruh nyata terhadap

produksi usahaternak sapi perah adalah jumlah sapi laktasi.

Jumlah sapi laktasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jumlah

produksi susu segar, sehingga ketika terjadi peningkatan jumlah sapi perah akan

sangat berpengaruh terhadap bertambahnya jumlah produksi susu segar. Hal

tersebut sesuai dengan Siregar (2003;50) yang menyatakan bahwa penambahan

populasi sapi perah betina merupakan salah satu alternatif dalam meningkatkan

produksi susu nasional.

5.4.2. Jumlah Pakan Hijauan

Menurut Ako (2013;55) pakan ternak merupakan salah satu faktor yang

cukup penting dalam pemeliharaan ternak sapi perah. Pakan memiliki fungsi yang

sangat vital untuk menunjang pertumbuhan, produksi, reproduksi, dan kesehatan

106
ternak. Pakan hijauan merupakan pakan yang berperan sebagai pakan atau asupan

utama bagi ternak sapi perah.

Berdasarkan hasil uji t, diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,221. Jika

dibandingkan dengan taraf nyata sebesar 0,15. Maka dapat disimpulkan bahwa

variabel pakan hijauan tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah produksi susu

segar. Nilai koefisien estimasi jumlah pakan hijauan memilki nilai positif sebesar

0,033. Artinya apabila terjadi penambahan pakan hijauan sebanyak 1 kg, maka

jumlah produksi akan meningkat sebanyak 0,033 liter dengan asumsi faktor lain

dianggap tetap (ceteris paribus).

Hasil penelitian sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa

variabel pakan hijauan memiliki hubungan positif terhadap jumlah produksi susu

segar. Hasil penelitian juga sejalan dengan teori yang dijelaskan oleh Ako

(2013;53) yang menyatakan bahwa pakan utama atau pakan hijauan merupakan

salah satu faktor yang menentukan keberhasilan peternakan sapi perah. Ternak

perah yang tidak mendapat pakan hijauan yang cukup dari kuantitas dan kualitas,

maka tidak akan menghasilkan atau memproduksi susu segar secara optimal.

Sebaliknya, apabila ternak perah mendapatkan pakan hijauan yang cukup, maka

produksi susu segar yang dihasilkan ternak perah akan optimal. Akan tetapi,

penambahan jumlah pakan hijauan tidak berpengaruh signifikan terhadap

peningkatan jumlah produksi susu segar. Hal ini dapat terjadi karena, pemenuhan

kebutuhan gizi ternak sapi perah belum terpenuhi oleh penambahan jumlah pakan

hijauan. Oleh karena itu, dibutuhkan pakan konsentrat sebagai pakan tambahan

107
yang mengandung banyak gizi bagi ternak sapi perah untuk meproduksi lebih

banyak susu segar.

5.4.3. Jumlah Pakan Konsentrat

Ako (2013;66) menjelaskan bahwa pakan konsentrat merupakan pakan

tambahan yang berfungsi sebagai pakan tambahan terhadap pakan utama pada

sapi perah. Pakan konsentrat merupakan bahan pakan tambahan bagi sapi perah

yang umumnya memiliki kualitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan pakan

hijauan.

Berdasarkan hasil uji t, diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,036. Jika

dibandingkan dengan taraf nyata sebesar 0,05, nilai probabilitas uji t lebih kecil

dibandingkan dengan taraf nyata sebesar 0,05. Hal ini bermakna bahwa variabel

banyaknya jumlah pakan konsentrat berpengaruh signifikan terhadap jumlah

produksi yang dihasilkan pada tingkat sebesar 0,05. Nilai koefisien estimasi

variabel jumlah pakan konsentrat memiliki tanda positif sebesar 0,30. Tanda

positif menujukkan hubungan yang searah antara jumlah pemberian pakan

tambahan terhadap jumlah produksi susu segar. Artinya, apabila terjadi

penambahan pemberian jumlah pakan tambahan sebesar 1 kg, maka jumlah

produksi akan meningkat sebesar 0,3 liter dengan asumsi faktor lain dianggap

tetap (ceteris paribus).

Kusnadi dan Juarini (2007;24-25) menyatakan bahwa untuk

mengoptimalkan produksi susu dalam usaha ternak sapi perah dapat dilakukan

dengan dua cara, salah satunya yaitu dengan suplementasi pakan konsentrat dan

frekuensi pemberiannya. Siregar (2003;50) menyatakan bahwa peluang untuk

108
meningkatkan produksi susu nasional juga terbuka dengan cara perbaikan pakan

baik dari segi kuantitas dan kualitas. Dalam Siregar (2001;80) juga dijelaskan

bahwa berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di daerah Sumedang

(Jawa Barat) dengan suplementasi pakan konsentrat yang lebih tinggi kandungan

protein dan energinya sebanyak 2,0–2,5 kg/ekor/hari dengan frekuensi pemberian

pakan 3 kali sehari, dapat meningkatkan kemampuan berproduksi susu sekitar

22,05–23,62%. Dengan demikian perbaikan penambahan 2,5 kg pakan konsentrat

yang disertai dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali dalam sehari berdampak

besar terhadap peningkatan kemampuan berproduksi susu sapi-sapi perah.

Supriadi, dkk (2017;56) dalam penelitiannya yang dilakukan di daerah

Yogyakarta menguji pengaruh pemberian pakan berbagai kualitas dengan tiga

kadar protein kasar. Kandungan protein kasar perlakuan pakan A sekitar 15%,

perlakuan B sekitar 13%, perlakuan C, 12%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut

didapatkan hasil bahwa bahwa rata-rata angka produksi sapi yang diberikan

perlakuan pemberian pakan konsentrat dengan berbagai jenis kualitas memiliki

jumlah produksi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah produksi susu

pada sapi laktasi sebelum dilakukan pemberian pakan konsentrat berbagai jenis

kualitas. Dalam hasil penelitian dinyatakan bahwa pemberian pakan konsentrat

berbagai jenis kualitas terhadap sapi yang sedang dalam masa laktasi mampu

meningkatkan jumlah produksi sebanyak 18% dari produksi air susu sebelumnya.

5.4.4. Pemakaian Air

Jumlah pemakaian air merupakan salah satu faktor yang diduga

berpengaruh terhadap kelangsungan hidup sapi perah. Ako (2013;50) menjelaskan

109
bahwa air minum memiliki berpengaruh terhadap kualitas air susu yang dihasilkan

oleh ternak sapi perah. Ternak yang sedang dalam masa laktasi sangat

membutuhkan air karena didalam air susu komponen yang paling dominan adalah

kandungan air, yaitu mengandung hingga 85-87% kandungan air.

Berdasarkan hasil uji t, diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,344. Jika

dibandingkan dengan taraf nyata sebesar 0,15, nilai probabilitas uji t lebih besar

dibandingkan dengan taraf nyata sebesar 0,15. Hal ini bermakna bahwa variabel

banyaknya jumlah pemakaian air tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah

produksi yang dihasilkan. Nilai koefisien estimasi variabel jumlah pemakaian air,

memiliki pengaruh positif dengan nilai sebesar 4,27. Artinya apabila terjadi

penambahan jumlah pemakaian air sebesar 1 M3, maka jumlah produksi susu akan

meningkat sebesar 4,27 liter dengan faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus).

Hasil penelitian sejalan dengan teori yang dijelaskan oleh Ako (2013;50)

yang menjabarkan bahwa kebutuhan ternak akan air merupakan salah satu faktor

yang menyebabkan peningkatan jumlah produksi susu segar ternak sapi perah.

Akan tetapi, berdasarkan hasil analisis dengan perangkat lunak SAS, variabel

pemberian air tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap jumlah produksi

susu segar yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Achmad

(2011;96) yang menyatakan bahwa faktor input air tidak dapat dikategorikan

sebagai input produksi yang mempengaruhi produksi susu secara total.

5.4.5. Jumlah Tenaga Kerja

Variabel jumlah tenaga kerja memiliki nilai probabilitas sebesar 0,14

berdasarkan hasil uji statistik t. Jika dibandingkan dengan taraf nyata sebesar

110
0,15 maka nilai probabilitas uji t lebih kecil dibandingkan dengan taraf nyata

sebesar 0,15. Sehingga, jumlah tenaga kerja berpengaruh signifikan terhadap

jumlah produksi pada taraf nyata sebesar 0,15. Dengan demikian, hasil

penelitian sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa penambahan jumlah

tenaga kerja akan berpengaruh terhadap jumlah produksi susu yang dihasilkan.

Nilai koefisien estimasi variabel jumlah tenaga kerja memiliki tanda

negatif dengan nilai sebesar -4.747. Artinya apabila jumlah tenaga kerja

bertambah 1 orang per tahun, maka produksi akan berkurang sebanyak 4.747 liter

per tahun dengan asumsi bahwa faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus).

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor penting yang berkaitan dengan

tatalaksana dan pemeliharaan ternak perah. Rahardi dan Hartono (2003) dalam

Murti (2013;199) menjelaskan bahwa usaha peternakan sapi perah harus

mempertimbangkan perencanaan tenaga kerja yang terdiri dari jumlah tenaga

kerja, sumber tenaga kerja dan sistem upah tenaga kerja. Umumnya jumlah tenaga

kerja sebaiknya disesuaikan dengan skala dan jenis usaha. Sedangkan, sumber

tenaga kerja, dapat diusahakan berasal dari keluarga sendiri ataupun tenaga kerja

dari luar.

Sudono (1999) dalam Karuniawati (2012;18) menjelaskan bahwa dalam

usahaternak sapi perah dikatakan efektif jika satu hari kerja pria dapat menangani

tujuh sapi dewasa. Apabila dilakukan penambahan jumlah tenaga kerja untuk

budidaya sapi perah, maka jumlah produksi susu akan menurun karena melebihi

standar penggunaan tenaga kerja. Untuk itu, jumlah penggunaan tenaga kerja

111
perlu disesuaikan dengan skala usaha dan jumlah sapi perah yang dimiliki pada

tiap perusahaan peternakan.

5.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran Susu Segar

Model persamaan penawaran susu segar diestimasi dengan menggunakan

variabel yang diduga mempengaruhi yaitu jumlah produksi dan harga susu segar.

Pemilihan variabel-variabel tersebut didasarkan oleh teori yang dikemukakan oleh

Rahardja dan Manurung (2010;28-29) yang menyatakan bahwa variabel

penawaran diantaranya dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri, harga barang

lain, biaya input atau total biaya produksi dan jumlah produksi barang yang

nantinya akan ditawarkan. Harga barang lain atau komoditas lain yang dimaksud

dalam penelitian ini yaitu harga teh dan harga kopi bubuk. Adapun hasil uji model

persamaan produksi susu segar dapat dilihat pada Lampiran 20.

Berdasarkan hasil uji autokorelasi dengan nilai durbin watson, diperoleh

nilai d sebesar 1,958 dengan jumlah observasi sebanyak 25 kali dan jumlah

variabel eksogen sebanyak 5 variabel, maka diketahui nilai d L = 0,953 dan nilai

dU= 1,886. Sehingga kriteria yang paling tepat dengan nilai uji durbin watson

adalah dU<d<4-dU dengan nilai 1,886<1,958<2,114. Maka dapat diambil

keputusan tidak terdapat masalah autokorelasi didalam model.

Berdasarkan hasil estimasi model penawaran susu segar, diperoleh nilai

R2 sebesar 0,95. Nilai tersebut memiliki arti bahwa keragaman variabel

penawaran susu segar dapat dijelaskan oleh keragaman variabel jumlah produksi

susu segar, nilai total biaya produksi dan harga susu segar sebesar 95%.

112
Berdasarkan hasil nilai uji statistik F, diperoleh nilai probabilitas sebesar

<0,0001. Apabila dibandingkan dengan nilai taraf nyata sebesar 0,05 maka dapat

disimpulkan bahwa variabel-variabel eksogen berpengaruh signifikan terhadap

variabel endogen secara serentak.

Berdasarkan uji statistik t diperoleh hasil bahwa jumlah produksi susu

segar, harga teh berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah penawaran pada

taraf nyata 0,05. Sedangkan variabel harga kopi bubuk, harga susu

segar dan total biaya produksi berpengaruh signifikan pada taraf nyata sebesar

0,25. Adapun hasil uji estimasi parameter dari model penawaran susu segar

dengan perangkat lunak SAS 9.1.dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Hasil Uji Statistik t Model Jumlah Penawaran Susu Segar.

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable


Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 -3.965E7 31488886 -1.26 0.2232 Intercept


HS 1 18410.21 11989.96 1.54 0.1412 Harga Susu Segar
HT 1 -784.284 277.4193 -2.83 0.0108 Harga Teh
HK 1 886.4216 443.3821 2.00 0.0601 Harga Kopi
QP 1 1.883196 0.780100 2.41 0.0260 Jumlah Produksi
Susu Segar
TB 1 -0.00038 0.000316 -1.19 0.2490 Total Biaya
Produksi
Sumber : Lampiran 20

Berikut merupakan penjabaran secara lebih rinci mengenai faktor-faktor

yang mempengaruhi jumlah penawaran susu segar secara parsial.

5.5.1. Harga Susu Segar

Variabel harga susu segar memiliki nilai probabilitas uji statistik t

sebesar 0,14 dengan tanda positif. Nilai tersebut menujukkan bahwa nilai

probabilitas lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai taraf nyata ( ) sebesar

113
0,25. Sehingga harga susu segar dapat dinyatakan berpengaruh secara signifikan

terhadap jumlah penawaran harga susu segar.

Nilai koefisien estimasi variabel harga susu segar memiliki tanda positif

dengan nilai 18.410. Artinya, bahwa apabila terjadi kenaikan harga sebesar 1

Rupiah, maka jumlah penawaran susu segar akan bertambah sebanyak 18.410 liter

per tahun dengan faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus). Hal ini sejalan

dengan teori yang dikemukakan oleh Rahardja dan Manurung (2010;29) yang

menyatakan bahwa harga suatu barang memiliki hubungan positif terhadap

jumlah penawaran. Artinya apabila terjadi kenaikan harga sebesar 1 satuan, maka

produsen akan meningkatkan jumlah penawaran sebanyak 1 satuan.

Haryono dkk, (2012;144) menjelaskan bahwa harga susu menjadi faktor

penentu dalam suatu unit produksi. Susu segar yang dihasilkan peternak sebagian

besar diserap oleh industri pengolahan susu (IPS), dan harga ditentukan

berdasarkan antara IPS dan Koperasi sebagai perwakilan peternak. Sehingga

peternak memiliki posisi yang lemah dalam penetapan harga susu. Menurut

Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia dalam Nurdin (2018;1), salah satu

permasalahan utama dalam peningkatan produksi susu nasional adalah belum

adanya acuan harga susu segar di tingkat peternak. Dengan harga susu yang

rendah ditingkat peternak, menyebabkan peternak lokal hanya menjadikan usaha

budidaya sapi perah sebagai usaha sampingan dan bukan sebagai pekerjaan utama.

Saat ini peternak menjual susu segar dengan harga sekitar Rp. 3,800 sampai

dengan Rp. 5,300 per liter. Sedangkan, menurut perhitungan Asosiasi Peternak

Sapi Perah Indonesia (APSPI) dalam Sidik (2018;1), harga susu yang layak

114
ditingkat peternak berkisar diangka Rp. 7,500 sampai Rp. 7,800 per liter. Dengan

harga tersebut maka diyakini peternak dapat konsisten memproduksi susu

berkualitas dengan jumlah yang memenuhi kebutuhan industri susu.

Mengacu pada penjelasan diatas, maka diperlukan perhatian khusus

berupa regulasi yang dikeluarkan pemerintah dalam menjamin harga pasar,

sehingga peternak mampu memiliki keuntungan yang cukup untuk terus

menjalankan dan mengembangkan bisnis usaha peternakan sapi perah di

Indonesia.

5.5.2. Harga Teh

Menurut Badan Pusat Statistik 2017 dalam Statistik Konsumsi Pangan

(2017;99), teh merupakan bahan dasar yang sering dikonsumsi menjadi minuman

oleh masyarakat Indonesia dengan rata-rata konsumsi per kapita tahun 2017

sebesar 2,97 Ons/Kapita. Oleh karena itu, harga teh ditingkat konsumen diduga

dapat menjadi salah satu barang subtitusi maupun komplementer dari produk susu

segar. Sehingga dalam hal ini perubahan nilai harga variabel teh diduga

mempengaruhi variabel jumlah penawaran susu segar.

Berdasarkan hasil uji statistik t, variabel harga teh memiliki nilai

probabilitas uji statistik t sebesar 0,010 dengan tanda negatif. Nilai tersebut

menujukkan bahwa nilai probabilitas lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai

taraf nyata ( ) sebesar 0,05. Sehingga harga teh dapat dinyatakan berpengaruh

secara signifikan terhadap jumlah penawaran harga susu segar.

Nilai koefisien estimasi variabel harga susu segar memiliki tanda negatif

dengan nilai 784,28. Artinya, bahwa apabila terjadi kenaikan harga teh sebesar 1

115
Rupiah, maka jumlah penawaran susu segar akan berkurang sebanyak 784,28 liter

per tahun dengan faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus).

Rahardja dan Manurung (2010;29) menyatakan bahwa apabila harga

suatu barang substusi meningkat, maka penawaran suatu barang juga akan

meningkat (bersifat searah). Sebaliknya apabila harga barang komplementer

meningkat, maka penawaran suatu barang akan menurun (bersifat tidak searah).

Berdasarkan teori tersebut, maka komoditas teh merupakan barang komplementer

bagi komoditas susu segar. Kesimpulan yang sama juga ditunjukkan oleh hasil

perhitungan elastisitas silang antara harga teh terhadap penawaran susu segar.

Berdasarkan hasil perhitungan, maka nilai elastisitas silang menghasilkan nilai

sebesar – 0,73. Menurut Syamsuddin dan Karya (2018;81), tanda negatif pada

nilai elastisitas silang menunjukkan bahwa kedua komoditas memiliki hubungan

komplementer. Adapun secara lebih rinci perhitungan nilai elastisitas silang dapat

dilihat pada Lampiran 28.

5.5.3. Harga Kopi Bubuk

Menurut Badan Pusat Statistik 2017 dalam Statistik Konsumsi Pangan

(2017;99), komoditas kopi bubuk merupakan bahan dasar yang paling sering

dikonsumsi menjadi minuman oleh masyarakat Indonesia dengan rata-rata

konsumsi per kapita tahun 2017 sebesar 7,99 Ons/Kapita. Oleh karena itu, harga

kopi bubuk juga diduga dapat menjadi barang subtitusi maupun komplementer

dari produk susu segar. Sehingga, variabel harga kopi bubuk juga diduga

mempengaruhi jumlah penawaran dari susu segar.

116
Berdasarkan hasil uji statistik t, variabel harga kopi bubuk memiliki nilai

probabilitas uji statistik t sebesar 0,06 dengan tanda positif. Nilai tersebut

menujukkan bahwa nilai probabilitas lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai

taraf nyata ( ) sebesar 0,25. Sehingga harga kopi bubuk dapat dinyatakan

berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah penawaran harga susu segar.

Nilai koefisien estimasi variabel kopi bubuk memiliki tanda positif

dengan nilai 886,42. Artinya, bahwa apabila terjadi kenaikan harga kopi bubuk

sebesar 1 Rupiah, maka jumlah penawaran susu segar akan bertambah sebanyak

886 liter per tahun dengan faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus).

Rahardja dan Manurung (2010;29) menyatakan bahwa apabila harga

suatu barang substusi meningkat, maka penawaran suatu barang juga akan

meningkat (bersifat searah). Sebaliknya apabila harga barang komplementer

meningkat, maka penawaran suatu barang akan menurun (bersifat tidak searah).

Berdasarkan teori tersebut, maka komoditas kopi bubuk merupakan barang

subtitusi bagi komoditas susu segar. Hasil penelitian juga sejalan dengan nilai

elastisitas silang antara harga kopi bubuk dengan jumlah permintaan susu segar.

Berdasarkan hasil perhitungan nilai elastisitas yang dihasilkan bernilai sebesar

0,51. Menurut Syamsuddin dan Karya (2018;81), tanda positif pada nilai

elastisitas silang menunjukkan bahwa kedua komoditas memiliki hubungan

substitusi.

5.5.4. Jumlah Produksi Susu Segar

Variabel produksi susu segar memiliki nilai probabilitas uji statistik t

sebesar 0,026. Nilai tersebut menujukkan bahwa nilai probabilitas lebih kecil jika

117
dibandingkan dengan nilai taraf nyata ( ) sebesar 0,05. Sehingga dapat diambil

kesimpulan bahwa banyaknya jumlah produksi susu segar berpengaruh signifikan

terhadap banyaknya jumlah susu yang akan ditawarkan.

Nilai koefisien estimasi variabel jumlah produksi memiliki pengaruh

positif dengan nilai sebesar 1,88. Tanda positif bermakna bahwa jumlah produksi

memiliki hubungan searah dengan jumlah penawaran. Artinya, apabila terjadi

peningkatan jumlah produksi sebesar 1 liter, maka jumlah penawaran susu segar

akan meningkat sebesar 1,88 liter.

Berdasarkan hasil nilai uji tersebut, dapat diketahui bahwa hasil dalam

penelitian ini sejalan dengan teori Rahardja dan Manurung (2010;28) yang

menjelaskan bahwa apabila harga meningkat, maka produsen cenderung akan

menambah jumlah penawaran melalui penambahan jumlah barang yang

dihasilkan. Sehingga secara tidak langsung, apabila jumlah produksi susu segar

meningkat maka jumlah penawaran susu segar juga akan meningkat akibat dari

adanya peningkatan produksi susu segar.

5.5.5. Total Biaya Produksi

Total biaya produksi merupakan jumlah biaya-biaya yang dikeluarkan

oleh perusahaan peternakan dalam mengelola usahanya. Berdasarkan hasil uji

statistik t, diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,24. Apabila dibandingkan dengan

taraf nyata ( ) sebesar 0,15 maka nilai probabilitas uji statistik t lebih besar.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel total biaya produksi tidak

berpengaruh secara nyata terhadap jumlah penawaran susu segar. Nilai koefisien

parameter estimasi total biaya produksi memiliki pengaruh negatif terhadap

118
jumlah penawaran susu segar dengan nilai 0,00038. Artinya, apabila terjadi

kenaikan nilai total biaya produksi sebesar 1 Rupiah, maka jumlah penawaran

susu segar akan menurun sebesar 0,00038 liter dengan asumsi faktor lain

dianggap tetap (ceteris paribus). Hasil penelitian sejalan dengan teori yang

dikemukakan oleh Rahardja dan Manurung (2010;29) yang menjelaskan bahwa

total biaya produksi memiliki hubungan negatif terhadap jumlah penawaran.

Artinya apabila total biaya produksi meningkat atau bertambah, maka produsen

cenderung akan mengurangi jumlah produksi yang akan menyebabkan

menurunnya jumlah penawaran yang ditawarkan oleh produsen.

5.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Susu Segar

Model persamaan permintaan susu segar diestimasi dengan variabel-

variabel yang diduga mempengaruhi atas dasar teori Rahardja dan Manurung

(2010;20) yang menyatakan bahwa permintaan akan suatu barang dipengaruhi

oleh harga barang itu sendiri, harga barang lain dan pendapatan per kapita.

Adapun hasil uji model persamaan produksi susu segar dapat dilihat pada

Lampiran 21.

Berdasarkan hasil uji autokorelasi dengan nilai durbin watson diperoleh

nilai d sebesar 1,461. dengan jumlah observasi sebesar 25 dan variabel eksogen

yang digunakan sebanyak 5, maka dapat diketahui nilai dL = 0,953 dan nilai dU =

1,886. Sehingga kriteria yang paling tepat dengan nilai uji durbin watson adalah

dL<d<dU dengan nilai 0,953<1,461<1,886. Sehingga dalam model persamaan

permintaan susu segar tidak dapat diputuskan apakah terjadi masalah autokorelasi

119
atau tidak. Akan tetapi menurut Sunyoto, (2010;110) apabila nilai d W berada

diantara -2 dan 2, maka dapat disimpulkan bahwa model persamaan tidak

mengalami masalah autokorelasi.

Berdasarkan hasil estimasi model permintaan susu segar, diperoleh nilai

R2 sebesar 0,97. Nilai tersebut memiliki arti bahwa keragaman variabel

permintaan susu segar dapat dijelaskan oleh keragaman variabel eksogen sebesar

97%. Sedangkan hasil uji statistik F dengan nilai probabilitas menunjukkan

bahwa variabel-variabel eksogen berpengaruh signifikan terhadap variabel

endogen secara serentak dengan nilai probabilitas lebih kecil dibandingkan

dengan nilai nyata 0,05. Berdasarkan uji statistik t diperoleh hasil bahwa harga

teh, harga kopi, jumlah produksi susu segar dan jumlah pendapatan perkapita

berpengaruh signifikan terhadap jumlah permintaan susu segar pada taraf nyata

sebesar 0,05. Sedangkan variabel jumlah harga susu segar berpengaruh signifikan

terhadap jumlah permintaan susu segar pada taraf nyata sebesar 0,25. Adapun

hasil pendugaan parameter dari model permintaan susu segar dapat dilihat pada

Tabel 13.

Tabel 13. Hasil Uji Statistik t Model Permintaan Susu Segar

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable


Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 2457141 3031220 0.81 0.4276 Intercept


HS 1 2041.087 1430.301 1.43 0.1698 Harga Susu Segar
HT 1 -1212.60 262.8975 -4.61 0.0002 Harga Teh
HK 1 1125.307 348.7785 3.23 0.0044 Harga Kopi
QP 1 0.881097 0.052983 16.63 <.0001 Jumlah Produksi
Susu Segar
IN 1 1.067846 0.333465 3.20 0.0047 Jumlah Pendapatan
per Kapita

Sumber : Lampiran 21

120
Berikut merupakan uraian hasil analisis faktor-faktor yang

mempengaruhi jumlah permintaan secara lebih rinci.

5.6.1. Harga Susu Segar

Berdasarkan hasil uji t variabel harga susu segar terhadap jumlah

permintaan diperoleh nilai probabilitas sebesar <0,169. Jika dibandingkan dengan

taraf nyata sebesar 0,15 maka dapat diartikan bahwa harga susu segar tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah permintaan.

Nilai koefisien estimasi variabel harga susu segar bertanda positif

terhadap jumlah permintaan susu segar dengan nilai parameter estimasi sebesar

2.041. Artinya, apabila harga meningkat sebesar 1 rupiah, maka permintaan susu

segar akan bertambah sebanyak 2.041 liter per tahun dengan asumsi faktor lain

dianggap tetap (ceteris paribus). Hal ini tidak sesuai dengan teori permintaan

yang menyatakan bahwa harga suatu barang memiliki hubungan tidak searah

terhadap jumlah permintaan. Artinya, secara teori dinyatakan bahwa apabila harga

meningkat, maka jumlah permintaan akan menurun.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Zuhriyah (2010;133),

yaitu harga susu segar memiliki tanda positif terhadap jumlah permintaan susu,

yang artinya bahwa apabila terjadi kenaikan harga susu segar satu Rupiah, maka

jumlah permintaan susu segar akan ikut meningkat sebanyak 1 satuan. Hal

tersebut dapat terjadi karena posisi susu segar sebagai bahan baku industri masih

belum sepenuhnya dapat digantikan oleh bahan baku susu impor. Permintaan susu

segar sebagai bahan baku industri susu masih belum maksimal terpenuhi oleh

jumlah produksi susu segar. Pemenuhan bahan baku industri selain susu segar,

121
seperti susu bubuk dan susu skim masih harus diimpor dari negara lain untuk

memenuhi kekurangan bahan baku akibat masih rendahnya produksi susu

nasional. Sehingga, meskipun terjadi kenaikan harga susu segar, permintaan susu

segar tetap akan mengalami peningkatan.

5.6.2. Harga Teh

Berdasarkan hasil uji statistik t, variabel harga teh memiliki nilai

probabilitas uji statistik t sebesar 0,0002 dengan tanda negatif. Nilai tersebut

menujukkan bahwa nilai probabilitas lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai

taraf nyata ( ) sebesar 0,05. Sehingga harga teh dapat dinyatakan berpengaruh

secara signifikan terhadap jumlah penawaran harga susu segar.

Nilai koefisien estimasi variabel harga susu segar memiliki tanda negatif

dengan nilai 1.212,60. Artinya, bahwa apabila terjadi kenaikan harga teh sebesar 1

Rupiah, maka jumlah permintaan susu segar akan berkurang sebanyak 1.212 liter

per tahun dengan asumsi faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus).

Berdasarkan kondisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa variabel

harga teh merupakan barang komplementer terhadap susu segar. Kesimpulan ini

sesuai dengan hasil perhitungan nilai elastisitas silang antara harga teh terhadap

jumlah permintaan susu segar. Berdasarkan hasil perhitungan nilai elastisitas,

diperoleh nilai sebesar -1,13. Menurut Syamsuddin dan Karya (2018;81), tanda

negatif pada nilai elastisitas silang menunjukkan bahwa kedua komoditas

memiliki hubungan komplementer. Dengan demikian, hubungan antara harga teh

dan jumlah permintaan susu segar dapat disimpulkan sesuai dengan teori Gaspersz

(2008;34) yang menyatakan bahwa apabila harga barang komplementer

122
meningkat, maka permintaan suatu barang akan berkurang. Adapun secara lebih

rinci perhitungan nilai elastisitas silang dapat dilihat pada Lampiran 28.

5.6.3. Harga Kopi

Berdasarkan hasil uji statistik t, variabel harga kopi bubuk memiliki nilai

probabilitas uji statistik t sebesar 0,0044 dengan tanda positif. Nilai tersebut

menujukkan bahwa nilai probabilitas lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai

taraf nyata ( ) sebesar 0,05. Sehingga harga kopi bubuk dapat dinyatakan

berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah permintaan susu segar.

Nilai koefisien estimasi variabel kopi bubuk memiliki tanda positif

dengan nilai 1.125. Artinya, bahwa apabila terjadi kenaikan harga kopi bubuk

sebesar 1 Rupiah, maka jumlah penawaran susu segar akan bertambah sebanyak

1.125 liter per tahun dengan asumsi faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus).

Berdasarkan kondisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa variabel

harga kopi merupakan barang subtitusi dari komoditas susu segar. Kesimpulan ini

sesuai dengan hasil perhitungan nilai elastisitas silang antara harga kopi terhadap

jumlah permintaan susu segar. Berdasarkan hasil perhitungan nilai elastisitas,

diperoleh nilai sebesar 0,65. Menurut Syamsuddin Karya (2018;81), tanda positif

pada nilai elastisitas silang menunjukkan bahwa kedua komoditas memiliki

hubungan subtitusi. Sehingga hubungan antara harga kopi dan jumlah permintaan

susu segar dapat dikatakan sesuai dengan teori Gaspersz (2008;34) yang

menyatakan bahwa apabila harga barang subtitusi meningkat, maka permintaan

suatu barang akan bertambah. Adapun secara lebih rinci perhitungan nilai

elastisitas silang dapat dilihat pada Lampiran 28.

123
5.6.4. Jumlah Produksi Susu Segar

Jumlah permintaan memiliki keterkaitan tidak langsung dengan jumlah

produksi yang dihasilkan oleh produsen. Apabila jumlah permintaan tinggi, maka

produsen cenderung akan memenuhi permintaan tersebut dengan menghasilkan

atau memproduksi produk yang diinginkan.

Berdasarkan hasil uji statistik t variabel jumlah produksi susu segar

terhadap jumlah permintaan susu segar diperoleh nilai probabilitas uji t sebesar

<0,0001. Jika dibandingkan dengan nilai probabilitas taraf nyata sebesar 0,05,

maka hasil menunjukkan bahwa nilai probabilitas uji t lebih kecil dibandingkan

nilai probabilitas taraf nyata 0,05. Artinya, variabel jumlah produksi susu segar

berpengaruh signifikan terhadap jumlah permintaan susu segar.

Nilai parameter uji menunjukkan bahwa variabel produksi susu segar

memiliki tanda positif dengan nilai 0,88. Tanda positif menujukkan sifat

hubungan antara jumlah produksi susu segar dan jumlah permintaan susu segar

yang memiliki hubungan searah. Artinya, apabila terjadi peningkatan produksi

sebesar 1 liter, maka jumlah permintaan akan ikut meningkat seiring dengan

peningkatan jumlah produksi sebanyak 0,88 liter. Hal ini dapat terjadi karena,

pemenuhan jumlah permintaan susu segar di Indonesia masih didominasi oleh

susu impor sebesar 70%. Sedangkan jumlah produksi susu segar dalam negeri

hanya mampu memuhi 30% dari total permintaan susu. Sehingga apabila terjadi

peningkatan jumlah produksi susu segar, maka pemenuhan jumlah permintaan

susu segar dari sisi produksi dalam negeri akan meningkat dan menggantikan

124
produk susu impor dengan asumsi bahwa pemenuhan kebutuhan susu segar masih

didominasi oleh pasokan impor.

5.6.5. Jumlah Pendapatan Per Kapita.

Berdasarkan hasil uji t variabel jumlah pendapatan perkapita terhadap

jumlah permintaan susu segar, diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,0047. Jika

dibandingkan dengan probabilitas dengan taraf nyata sebesar 0,05, maka dapat

diperoleh kesimpulan bahwa jumlah pendapatan per kapita berpengaruh signifikan

terhadap jumlah permintaan.

Nilai parameter uji menunjukkan bahwa variabel produksi susu segar

memiliki tanda positif dengan nilai 1,067. Artinya, apabila pendapatan perkapita

meningkat sebanyak 1 Rupiah, maka jumlah permintaan susu segar akan

meningkat sebanyak 1,06 liter per tahun dengan asumsi faktor lain dianggap tetap

(ceteris pasribus).

Hasil penelitian sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa jumlah

pendapatan perkapita diduga berpengaruh positif terhadap jumlah permintaan.

Menurut Rahardja dan Manurung (2010;21) pendapatan perkapita merupakan

cerminan dari daya beli masyarakat. Makin tinggi tingkat pendapatan masyarakat,

maka daya beli masyarakat juga akan semakin meningkat.

Berdasarkan hasil penelitian Zuhriyah (2008;134), pendapatapan per

kapita berpengaruh nyata terhadap jumlah permintaan susu segar. Fenomena ini

terjadi karena kemampuan daya beli masyarakat yang meningkat akan mendorong

masyarakat untuk meningkatkan konsumsi kebutuhan sekunder dan tersier serta

lebih memperhatikan gizi.

125
5.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Susu Segar

Model persamaan harga susu segar diperoleh dari teori terkait

pembentukan harga, yang menyatakan bahwa harga pasar pada umumnya

dibentuk oleh penawaran dan permintaan melalui keseimbangan pasar. Selain

jumlah penawaran dan permintaan, harga juga ditentukan oleh total biaya

produksi. Maka, model persamaan harga diestimasi dengan variabel-variabel

eksogen yakni variabel total biaya yang dikeluarkan dalam mengelola perusahaan

peternakan, jumlah permintaan susu segar. Adapun hasil uji model persamaan

produksi susu segar dapat dilihat pada Lampiran 22. Berdasarkan hasil uji

autokorelasi dengan uji durbin watson diperoleh nilai d sebesar 2,111. dengan

jumlah observasi sebanyak 25 dan jumlah variabel sebanyak 2, maka dapat

diketahui nilai dL = 1,206. dan nilai dU = 1,550. Sehingga kriteria yang paling

tepat dengan nilai uji durbin watson adalah d U<d<4-dU dengan nilai

1,550<2,111<2,450. Maka dapat diambil keputusan bahwa tidak terdapat masalah

autokorelasi didalam model.

Berdasarkan hasil estimasi model harga susu segar, diperoleh nilai R2

sebesar 0,97. Nilai tersebut memiliki arti bahwa keragaman variabel harga susu

segar dapat dijelaskan oleh keragaman variabel total biaya produksi, jumlah

permintaan susu segar dan jumlah pendapatan perkapita sebesar 97 %.

Hasil uji statistik F dengan nilai probabilitas < 0,0001 menunjukkan

bahwa nilai probabilitas F lebih kecil jika dibandingkan dengan taraf nyata

sebesar 0,05. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa variabel-variabel eksogen

berpengaruh signifikan terhadap variabel endogen secara serentak.

126
Berdasarkan uji statistik t diperoleh hasil bahwa total biaya produksi, dan

jumlah permintaan berpengaruh signifikan terhadap jumlah harga susu segar pada

taraf nyata 0,05. Sedangkan hasil pendugaan parameter dari model

harga susu segar dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Hasil Uji Statistik t Model Harga Susu Segar.

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable


Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 2741.325 151.0998 18.14 <.0001 Intercept


TB 1 2.84E-8 1.166E-9 24.36 <.0001 Total Total biaya
produksi
QD 1 -0.00007 5.692E-6 -12.59 <.0001 Jumlah Permintaan

Sumber : Lampiran 22

Berikut merupakan uraian hasil uji statistik t pada model persamaan

harga susu segar dapat dijelaskan secara lebih rinci.

5.7.1. Total biaya produksi

Variabel total biaya produksi dalam penelitian memiliki nilai probabilitas

uji t sebesar <0,0001. Apabila nilai tersebut dibandingkan dengan nilai taraf nyata

sebesar 0,05, maka dapat diartikan bahwa total biaya produksi berpengaruh

secara signifikan terhadap harga susu segar.

Nilai koefisien parameter variabel total biaya produksi memiliki hasil

dengan tanda positif dengan nilai sebesar 0,0000284. Artinya, apabila terjadi

peningkatan jumlah total biaya produksi sebesar 1 Rupiah, maka harga susu segar

akan meningkat sebesar 0,000028 Rupiah.

Hal ini sejalan dengan teori yang dijelaskan oleh Amir (2005;170) bahwa

faktor biaya merupakan bagian penting dalam penetapan harga. Selain itu, ditinjau

dari Permentan No. 25 Tahun 2017 tentang peredaran dan penyediaan susu,

127
dinyatakan bahwa penentuan harga susu segar dalam negeri selain melihat dari

segi kualitas susu yang dihasilkan oleh peternak, juga harus mempertimbangkan

total biaya produksi dan keuntungan yang diperoleh oleh peternak.

5.7.2. Jumlah Permintaan Susu Segar

Variabel jumlah permintaan susu segar dalam penelitian memiliki nilai

probabilitas uji t sebesar <0,0001. Apabila nilai tersebut dibandingkan dengan

nilai taraf nyata sebesar 0,05 maka dapat diartikan bahwa jumlah permintaan

susu segar berpengaruh secara signifikan terhadap harga susu segar.

Nilai koefisien estimasi variabel jumlah permintaan susu segar memiliki

pengaruh negatif dengan nilai sebesar -0,00007. Artinya, apabila terjadi

peningkatan jumlah permintaan susu segar sebanyak 1 liter, maka harga susu

segar akan menurun sebesar 0,00007 Rupiah. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal

yang menduga bahwa antara variabel jumlah permintaan susu segar dengan harga

susu segar memiliki hubungan tidak searah. Artinya apabila permintaan

meningkat maka diduga harga juga akan menurun. Hasil penelitian dapat

dikatakan sesuai dengan teori dalam hukum permintaan yang menyatakan bahwa

pada umumnya jumlah permintaan susu segar akan meningkat apabila harga yang

ditawarkan oleh produsen menurun.

128
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Rincian kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini dapat dilihat

sebagai berikut :

1. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap total biaya produksi usaha ternak

sapi perah yaitu, biaya pakan, biaya listrik dan air, biaya obat-obatan serta

biaya bahan bakar. Sedangkan, Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

jumlah produksi susu segar dalam negeri adalah jumlah sapi laktasi, jumlah

pakan konsentrat dan jumlah tenaga kerja. Semua faktor tersebut memiliki

pengaruh positif, yaitu meningkatkan jumlah produksi susu segar, kecuali

faktor jumlah tenaga kerja.

2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penawaran susu segar dalam negeri

adalah jumlah produksi susu segar, harga susu segar, harga kopi sebagai

komoditas substitusi dan harga teh sebagai komoditas komplementer. Semua

faktor tersebut memiliki pengaruh positif terhadap meningkatnya jumlah

penawaran susu segar, kecuali faktor harga teh sebagai komoditas

komplementer.

3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap jumlah permintaan susu segar

dalam negeri adalah jumlah pendapatan per kapita, jumlah produksi susu

segar, harga teh sebagai komoditas komplementer dan harga kopi sebagai

komoditas substitusi. Semua faktor tersebut memiliki pengaruh positif yang

129
dapat meningkatkan jumlah permintaan susu segar, kecuali faktor harga teh

sebagai komoditas komplementer.

4. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap harga susu segar adalah faktor total

biaya produksi dan jumlah permintaan susu segar.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, saran yang diberikan penulis diantaranya

sebagai berikut :

1. Peningkatan jumlah produksi susu segar dalam negeri perlu dilakukan untuk

memenuhi jumlah permintaan susu segar yang diperkirakan bertambah

seiring dengan adanya peningkatan pendapatan perkapita di Indonesia.

2. Upaya peningkatan produksi susu segar dalam negeri dapat dilakukan

dengan penambahan input produksi sapi laktasi minimal sebanyak 1.204.144

ekor. Selain itu, upaya peningkatan jumlah produksi susu segar juga dapat

dilakukan dengan memperhatikan pemberian jumlah pakan, baik pakan

hijauan maupun pakan konsentrat sebagai asupan ternak sapi perah serta

memperhatikan jumlah tenaga kerja yang sesuai dengan skala usaha.

3. Diperlukan kebijakan terkait harga susu segar ditingkat peternak demi

menjamin adanya kepastian harga dan pasar. Hal ini dilakukan dengan tujuan

untuk meningkatkan daya tawar peternak sapi perah dan membuat bisnis sapi

perah lebih menjanjikan dan memberikan keuntungan untuk terus dijalankan.

4. Peluang usaha agribisnis peternakan sapi perah masih terbuka lebar,

mengingat bahwa pemenuhan kebutuhan susu masih belum sepenuhnya

130
dipasok oleh susu segar dalam negeri. Untuk itu diperlukan kebijakan

pemerintah untuk mengembangkan usaha peternakan sapi perah salah satunya

melalui kebijakan penyaluran bantuan modal.

131
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Fahmi Abidin. 2011. Analisis Pendapatan Usahatani dan Faktor-faktor


yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi Perah Peternak Desa
Cibeureum Kabupaten Bogor [Skripsi]. Departemen Agribisnis Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Ako, Ambo. 2013. Ilmu Ternak Perah Daerah Tropis. IPB Press, Bogor.

Amaliah, Syarifah. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Saing


dan Impor Susu Indonesia Periode 1976-2005 [Skripsi]. Departemen
Ekonomi Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Amir, Taufik. 2005. Dinamika Pemasaran. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Asmara, Alla, Yeti Lis Purnamadewi dan Deni Lubis. 2015. Keragaan Produksi
Susu dan Efisiensi Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat di Indonesia
[Jurnal]. Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 13 No.1, Maret 2016,
Institut Pertanian Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2018. PDB Triwulanan Atas Dasar Harga Konstan 2010
Menurut Lapangan Usaha ; 1.
https://www.bps.go.id/dynamictable/2015/05/06/827/-seri-2010-pdb-
triwulanan-atas-dasar-harga-konstan-2010-menurut-lapangan-usaha-
miliar-rupiah-2014-2018.html. Diakses pada 09 Juni 2018 pukul 21.38
WIB.

Badan Pusat Statistik. 2017. Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Peternakan
2017. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1993. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1994. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1995. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1996. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1997. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

132
Badan Pusat Statistik. 1998. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1999. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2000. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2001. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2002. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2004. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

133
Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2016. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2017. Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah. Badan
Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1993. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1994. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1995. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1996. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1997. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1998. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1999. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2000. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2001. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2002. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2004. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

134
Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2016. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2017. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1992-1999. Statistik Harga Konsumen Perdesaan


Kelompok Makanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1995-2001. Statistik Harga Konsumen Perdesaan


Kelompok Makanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1995-2001. Statistik Harga Konsumen Perdesaan


Kelompok Makanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2001-2007. Statistik Harga Konsumen Perdesaan


Kelompok Makanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Harga Konsumen Perdesaan Kelompok


Makanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Harga Konsumen Perdesaan Kelompok


Makanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Harga Konsumen Perdesaan Kelompok


Makanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Harga Konsumen Perdesaan Kelompok


Makanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Harga Konsumen Perdesaan Kelompok


Makanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

135
Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Harga Konsumen Perdesaan Kelompok
Makanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Harga Konsumen Perdesaan Kelompok


Makanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2016. Statistik Harga Konsumen Perdesaan Kelompok


Makanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2017. Statistik Harga Konsumen Perdesaan Kelompok


Makanan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Basis Data Konsumsi Pangan Kementerian Pertanian RI. 2017. Konsumsi per
Kapita dalam Rumah Tangga per Tahun, Kelompok Telur dan Susu ; 1.
https://aplikasi2.pertanian.go.id/konsumsi/tampil_susenas_kom2_th.php
Diakses pada 02 Februari 2019 Pukul 10.50 WIB.

Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian. 2018. Perkembangan Neraca


Bahan Makanan Kelompok Susu, Komoditas Susu Sapi ; 1.
https://aplikasi2.pertanian.go.id/konsumsi/tampil_nbm2.php. Diakses
pada 27 Juni 2018 pukul 16:43 WIB.

Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian. 2018. Perkembangan Neraca


Bahan Makanan Kelompok Susu, Komoditas Susu Impor ; 1.
https://aplikasi2.pertanian.go.id/konsumsi/tampil_nbm2.php Diakses
pada 27 Juni 2018 pukul 16:47 WIB.

Bakri, Chaidir dan Cahyo Saparinto. 2015. Sukses Bisnis dan Beternak Sapi Perah
Menuju Negara Swasembada dan Pengekspor Susu. Lily Publisher,
Yogyakarta.

Baye, Michael R dan Jeffrey T Prince. 2016. Ekonomi Manajerial dan Strategi
Bisnis. Terjemahan oleh Fabriela Sirait. Salemba Empat, Jakarta.

Daryanto, Arief. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Press,
Bogor.

Dhaifullah, Aulia. 2017. Analisis Permintaan dan Penawaran Susu Sapi di


Indonesia [Skripsi]. Program Studi Agribisnis, Fakultas Sains dan
Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2015. Rencana Strategis


Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Jakarta.

136
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Berbagai Edisi. Statistik
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian Pertanian RI, Jakarta.

Famelika, Kenny. 2018. Analisis Pendapatan dan Faktor-Faktor yang


Mempengaruhi Produksi Usaha Ternak Sapi Perah di Kabupaten Bogor
[Skripsi]. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor.

Gaspersz, Vincent. 2008. Ekonomi Manajerial. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Gujarati, Damodar N dan Dawn C Porter. 2013. Dasar-dasar Ekonometrika, Buku


2 Edisi 5. Terjemahan oleh Euginia Mardanugraha, Sita Wardhani dan
Carlos Mangunsong. Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Gultom, Gabriella Stephani. 2014. Kinerja Usahaternak Sapi Perah Pada Kedua
Kelompok Ternak Di Kelurahan Kebon Pedes, Kota Bogor [Skripsi].
Departemen Agribisnis Fakultas Bisnis dan Manajemen Institut Pertanian

Hasanah, Ani Nasihatul. 2015. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu


Sapi Perah dan Analisis Pendapatan Peternak Studi Kasus Peternakan
Kampung 99 Pepohonan [Skripsi]. Program Studi Agribisnis, Fakultas
Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Hakim, Abdul. 2014. Pengantar Ekonometrika. Penerbit EKONESIA,


Yogyakarta.

Haryono, dkk. 2012. Kebijakan Pencapaian Swasembada dan Swasembada


Berkelanjutan Lima Komoditas Utama Pertanian melalui Pendekatan
Sistem Dinamik. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Kementerian Pertanian, Jakarta.

Heriyatno. 2009. Analisis Pendapatan dan Faktor yang Mempengaruhi Produksi


Susu Sapi Perah di Tingkat Peternak (Kasus Anggota Koperasi Serba
Usaha “Karya Nugraha” Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan
Jawa Barat [Skripsi]. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Karuniawati, Rina. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi


Perah (Kasus Peternak Anggota Kelompok Ternak Mekar Jaya Desa
Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa
Barat) [Skripsi]. Departemen Agribisnis Fakultas Bisnis dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

137
Pratiwi, Fenny. 2018. Analisis Permintaan Susu Cair di Provinsi DKI Jakarta
[Skripsi]. Program Studi Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pusat Data dan Sistem Informasi (PUSDATIN) Kementerian Pertanian, 2017.


Outlook Komoditas Pertanian Subsektor Peternakan Komoditas Susu.
Pusat Data dan Sistem Informasi (PUSDATIN) Kementerian Pertanian,
Jakarta.

Pusat Data dan Sistem Informasi (PUSDATIN) Kementerian Pertanian, 2017.


Statistik Konsumsi Pangan 2017. Pusat Data dan Sistem Informasi
(PUSDATIN) Kementerian Pertanian, Jakarta.

Kementerian Pertanian RI. 2018. Kemitraan Tetap Lanjut Meski ada Permentan
Persusuan yang Baru ;1
http://www.pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=3322.
Diakses pada 14 Februari 2019 pukul 6:45 WIB.

Kusnadi, Uka dan E Juarini. 2007. Optimalisasi Pendapatan Usaha Pemeliharaan


Sapi Perah dalam Upaya Peningkatan Produksi Susu Nasional [jurnal].
Wartazoa Volume 17 No 1 Th 2007. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Nurdin, Nazar. 2018. Pemerintah Diminta Tetapkan Acuan Harga Eceran Susu
Sapi dari Peternak ; 1.
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/08/21/144927526/pemerintah-
diminta-tetapkan-acuan-harga-eceran-susu-sapi-dari-peternak. Diakses
pada 31 Januari 2019 pukul 20:40 WIB.

Nurtini, Sudi dan Mujtahidah, Anggriani U Muzayannah. 2014. Profil Peternakan


Sapi Perah Rakyat di Indonesia. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Matondang, Rasali H, C Talib dan T Herawati. 2012. Prospek Pengembangan


Sapi Perah di Luar Pulau Jawa Mendukung Swasembada Susu di
Indonesia [Jurnal]. WARTAZOA Vol. 22 No. 4 Th. 2012. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Murti, Tridjoko Wisnu. 2014. Ilmu Manajemen & Industri Ternak Perah. Penerbit
Pustaka Reka Cipta, Bandung.

Pindyck, Robert S dan Daniel L Rubinfeld. 2007. Mikroekonomi Jilid 1, Edisi


Keenam. Terjemahan oleh Nina Kurnia Dewi. PT. Indeks, Jakarta.

138
Rahardja, Pratama dan Mandala Manurung. 2010. Teori Ekonomi Mikro, Suatu
Pengantar, Edisi keempat. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Jakarta.

Sa’id, Gumbira dan Harizt Intan. 2001. Manajemen Agribisnis. Ghalia Indonesia,
Jakarta.

Setiawan dan Dwi Endah Kusrini. 2010. Ekonometrika. Penerbit Andi,


Yogyakarta.

Setyowati, Tupi, Nuryadi Wijiharjono dan Abdul R Agung. 2013. Ekonomi Mikro
Edisi 2. Penerbit Mitra Wacana Media, Jakarta.

Sidik, Syahrizal. 2018. Belum Memadai, Harga Susu yang Layak diTingkat
Peternak Rp.7,500 – Rp. 7,800 per Liter;1.
http://www.tribunnews.com/bisnis/2018/07/30/belum-memadai-harga-
susu-yang-layak-di-tingkat-peternak-rp-7500-rp-7800-per-liter. Diakses
pada 31 Januari 2019 pukul 20:48 WIB.

Sitepu, Rasidin K dan Bonar M Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika. IPB
Press, Bogor.

Siregar, Sori B. 2003. Peluang dan Tantangan Peningkatan Produksi Susu


Nasional [Jurnal]. WARTAZOA Vol. 13 No.2 Th. 2003. Balai Penelitian
Ternak, Bogor.

Soeparno. 2015. Properti dan Teknologi Produk Susu. Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.

Sudaryanto, Bambang dan Agus Hermawan. 2014. Reformasi Kebijakan Menuju


Transformasi Pembangunan Pertanian. IAARD Press, Jakarta.
http://www.litbang.pertanian.go.id/buku/reformasi-kebijakan-menuju/
Diakses pada 04 Januari Pukul 0:26 WIB.

Sugiarto, dkk. 2002. Ekonomi Mikro, Sebuah Kajian Komprehensif. PT Gramedia


Pustaka Utama, Jakarta.

Sukirno, Sadono. 2011. Mikro Ekonomi, Teori Pengantar. PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.

Suliyanto. 2011. Ekonometrika Terapan, Teori & Aplikasi. Penerbit Andi,


Yogyakarta.

139
Sunyoto, Danang. 2010. Uji Khi Kuadrat dan Regresi untuk Penelitian. Graha
Ilmu, Yogyakarta.

Supianto. 2018. Kementan Target 2025 Kebutuhan Susu Nasional Terpenuhi;1.


http://www.jurnas.com/artikel/31201/Kementan-Target-2025-
Kebutuhan-Susu-Nasional-Terpenuhi/. Diakses pada 13 Februari 2019
Pukul 8:14 WIB.

Supriadi,dkk. 2017. Pengaruh Pemberian Ransum Berbagai Kualitas Pada


Produksi Air Susu Peranakan Sapi Perah Friesian Holstein Di Kabupaten
Sleman Yogyakarta [Jurnal]. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian, Vol. 20, No.1, Maret 2017: 47-58. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian, Yogyakarta.

Syamsuddin, Syamri dan Detri Karya. 2018. Mikroekonomi untuk Manajemen.


Rajawali Press, Depok.

Tasman, Aulia dan Havidz Aima. 2016. Ekonomi Manajerial dengan Pendekatan
Matematis Edisi Revisi. Rajawali Pers, Jakarta.

Zuhriyah, Amanatuz. 2010. Analisis Permintaan dan Penawaran Susu Segar di


Jawa Timur [Jurnal]. EMBRYO Vol.7 Desember 2010 No.2 ISSN 0216-
0188. Jurusan Agribisnis, Fakultas Ilmu Pertanian Universitas
Trunojoyo, Jawa Timur.

140
LAMPIRAN

141
Lampiran 1. Produk Domestik Bruto Sektor Pertanian Tahun 2014 - 2017
(Atas Dasar Harga Konstan 2010)

[Seri 2010] PDB Seri 2010 (Milyar Rupiah)


PDB Lapangan
Harga Konstan 2010
Usaha (Seri 2010)
2014 2015 2016 2017
A. Pertanian,
Kehutanan, dan 1.129.052,70 1.171.445,80 1.210.749,80 1.256.894,30
Perikanan
1. Pertanian,
Peternakan,
880.389,50 906.805,50 936.334,70 968.338,20
Perburuan dan
Jasa Pertanian
a. Tanaman Pangan 268.426,90 280.018,80 287.212,10 293.149,10
Kontribusi
Tanaman Pangan 30,49 30,88 30,67 30,27
(%)
b. Tanaman
124.300,90 127.110 130.832,30 134.820,80
Hortikultura
Kontribusi
Tanaman 14,12 14,02 13,97 13,92
Hortikultura (%)
c. Tanaman
338.502,20 345.164,90 357.137,70 373.054
Perkebunan
Kontribusi
Tanaman 38,45 38,06 38,14 38,53
Perkebunan (%)
d. Peternakan 132.221,10 136.936,40 142.999,50 148.473,10
Kontribusi
15,02 15,10 15,27 15,33
Peternakan (%)
e. Jasa Pertanian
16.938,40 17.575,40 18.153,10 18.841,20
dan Perburuan
Kontribusi Jasa
Pertanian dan 1,92 1,94 1,94 1,95
Perburuan (%)
2. Kehutanan dan
59.573,50 60.623,50 59.891,90 61.277,20
Penebangan Kayu
3. Perikanan 189.089,70 204.016,80 214.523,20 227.278,90
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2018

142
Lampiran 2. Perkembangan Jumlah Konsumsi Susu di Indonesia

Produksi Susu Domestik (000 ton) Susu Impor (000 ton) Konsumsi
Bahan
Tahun Bahan Bahan Pangan Susu
Pakan Tercecer Total Pakan Tercecer Total Indonesia
Makanan Makanan
(000 ton)
1993 39 10 339 388 0 0 447 447 835
1994 43 11 373 427 0 0 534 534 961
1995 43 11 379 433 0 0 975 975 1.408
1996 44 25 372 441 0 0 740 740 1.181
1997 42 24 358 424 0 0 693 693 1.117
1998 38 21 316 375 0 0 522 522 897
1999 44 25 367 436 0 0 680 680 1.116
2000 50 28 418 496 0 0 904 904 1.400
2001 51 29 425 505 0 0 783 783 1.288
2002 49 28 416 493 0 0 1.079 1,079 1.572
2003 55 32 467 553 0 0 965 965 1.518
2004 55 31 464 550 0 0 1.587 1.587 2.137
2005 54 31 452 537 0 0 1.590 1.590 2.127
2006 62 35 520 617 0 0 1.918 1.918 2.535
2007 57 32 479 568 0 0 2.195 2.195 2.763
2008 65 37 545 647 0 0 1.627 1.627 2.274
2009 83 47 697 827 0 0 1.987 1.987 2.814
2010 91 52 767 910 0 0 2.406 2.406 3.316
2011 97 56 822 975 0 0 2.677 2.677 3.652
2012 96 65 809 970 0 0 2.818 2.818 3.788
2013 79 45 663 787 0 0 2.531 2.531 3.318
2014 80 46 675 801 0 0 2.888 2.888 3.689
2015 84 48 704 836 0 0 2.948 2.948 3.784
2016 91 52 769 912 0 0 3.372 3.372 4.284
2017*) 92 52 776 920 0 0 2.189 2.189 3.109
Sumber : Neraca Bahan Makanan, Badan Ketahanan Pangan-Kementerian Pertanian (diolah,2018)

143
Lampiran 3. Perkembangan Ketersediaan Susu di Indonesia

Persentase Ketersediaan
Produksi Susu Total Pemakaian
Produksi Susu
Tahun Susu Sapi Impor Susu Indonesia
Susu Sapi Impor
(000 ton) (000 ton) (000 ton)
(%) (%)
1993 388 447 835 46,47 53,53
1994 427 534 961 44,43 55,57
1995 433 975 1.408 30,75 69,25
1996 441 740 1.181 37,34 62,66
1997 424 693 1.117 37,96 62,04
1998 375 522 897 41,81 58,19
1999 436 680 1.116 39,07 60,93
2000 496 904 1.400 35,43 64,57
2001 505 783 1.288 39,21 60,79
2002 493 1,079 1.572 31,36 68,64
2003 553 965 1.518 36,46 63,54
2004 550 1.587 2.137 25,74 74,26
2005 536 1.590 2.127 25,20 74,75
2006 617 1.918 2.535 24,34 75,66
2007 568 2.195 2.763 20,56 79,44
2008 647 1.627 2.274 28,45 71,55
2009 827 1.987 2.814 29,39 70,61
2010 910 2.406 3.316 27,44 72,56
2011 975 2.677 3.652 26,70 73,30
2012 960 2.818 3.788 25,34 74,39
2013 787 2.531 3.318 23,72 76,28
2014 801 2.888 3.689 21,71 78,29
2015 835 2.948 3.784 22,07 77,91
2016 913 3.372 4.284 21,31 78,71
2017*) 920 2.189 3.109 29,59 70,41
Sumber : Neraca Bahan Makanan, Badan Ketahanan Pangan – Kementerian Pertanian
(diolah, 2018)

144
Lampiran 4. Data yang digunakan dalam Penelitian

QP SL PH PK A TK
Tahun
(Liter) (Ekor) (Kg) (Kg) (M3) (Orang)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1993 36.850.985 10.888 132.841.377 14.856.009 1.586.013 3.889
1994 39.447.436 11.733 151.850.505 16.129.467 2.094.592 4.234
1995 41.352.640 12.405 106.792.461 24.407.000 2.476.122 4.214
1996 39.020.420 10.047 203.161.750 48.576.760 639.424 3.641
1997 35.905.630 11.305 160.954.860 15.790.710 272.903 3.534
1998 34.242.530 10.414 96.612.330 12.065.970 450.473 3.140
1999 31.815.680 9.471 106.468.740 8.271.920 356.228 2.780
2000 34.290.800 10.158 354.496.550 11.532.510 314.348 2.785
2001 35.171.800 10.073 86.186.490 10.330.780 268.335 2.936
2002 37.013.330 10.964 112.822.470 14.006.280 263.729 2.897
2003 31.639.380 9.449 80.889.700 14.257.340 110.109 2.485
2004 34.102.130 10.266 79.664.830 14.294.160 253.108 2.389
2005 33.041.830 10.079 94.936.920 10.940.470 210.485 2.213
2006 39.680.250 11.323 100.086.030 14.587.430 132.778 2.861
2007 45.036.630 12.231 109.088.270 16.195.370 166.511 3.171
2008 19.439.210 6.401 48.795.330 10.868.000 71.731 1.335
2009 19.210.490 6.368 47.887.510 10.738.870 70.991 1.753
2010 16.240.950 4.229 35.637.450 6.933.360 50.616 1.429
2011 34.550.090 10.023 54.881.000 28.749.000 58.889 1.627
2012 30.540.000 18.516 89.226.190 22.785.960 248.018 2.578
2013 58.817.000 13.710 70.761.000 23.299.000 194.167 1.569
2014 64.110.000 11.701 60.233.000 30.335.000 193.614 1.558
2015 70.758.000 11.640 73.960.855* 68.807.986* 635.777* 1.316
2016 68.440.000 19.779 91.564.708* 78.347.252* 621.274* 1.324
2017 126.584.000 37.610 590.373.869* 43.712.400* 937.414* 1.318
*Nilai Prediksi (Sumber : Lampiran 8 dan 9)
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah, 2018)

Keterangan :
QP = Jumlah Produksi Susu Segar
SL = Jumlah Sapi Perah Laktasi
PH = Jumlah Pakan Hijauan
PK = Jumlah Pakan Konsentrat
A = Jumlah Penggunaan Air
TK = Jumlah Tenaga Kerja

145
Lampiran 5. Lanjutan Data yang digunakan dalam Penelitian

QS HS HT HK TB
(Liter) (Rp/Liter) (Rp/Kg) (Rp/Kg) (Rp)
(8) (9) (10) (11) (12)
36.109.249* 655,86* 6.154 4.349 19.267.594.000
38.653.438* 736,17* 6.380 4.969 22.569.440.000
40.520.294* 729,93* 7.056 6.304 23.542.000.000
38.235.017* 812,17* 7.587 6.666 24.262.974.000
35.182.922* 926,56* 8.039 6.762 26.084.990.000
33.553.297* 1.199,48* 14.693 13.735 29.849.630.000
31.175.294* 1.448,20* 20.349 17.967 31.781.360.000
33.600.595* 1.628,04* 27.946 24.167 58.331.690.000
34.463.862* 1.700,66* 31.448 23.595 46.024.160.000
36.268.326* 1.782,31* 33.187 26.783 52.843.290.000
31.002.543* 1.884,82* 33.489 20.413 54.330.740.000
33.415.723* 1.974,88* 31.189 20.199 56.597.630.000
32.376.764* 2.234,35* 32.806 21.976 62.994.683.000
38.881.566* 2.254,39* 35.480 23.084 101.425.350.000
44.130.133* 2.793,99* 38.491 25.145 109.460.480.000
19.047.938* 3.094,36* 53.725 30.710 60.159.270.000
18.823.821* 3.099,11* 57.950 32.870 65.781.440.000
15.163.335 2.907,32* 60.813 34.500 43.878.870.000
33.312.478 3.409,67* 63.100 36.560 97.796.080.000
37.210.130 7.940,96* 66.063 38.360 273.008.560.000
58.539.467 4.381,61* 67.338 39.210 197.279.770.000
63.644.941 4.579,89* 60.825 36.530 213.413.520.000
69.333.783* 4.740,96* 64.200 36.550 247.347.800.000
67.062.440* 4.852,97* 66.050 37.310 269.575.650.000
124.036.118* 5.508,53* 75.000 38.330 402.218.460.000
* Nilai Prediksi (Sumber : Lampiran 10 dan 11)
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah, 2018)

Keterangan :
QS = Jumlah Penawaran Susu Segar
HS = Harga Susu Segar
HT = Harga Teh
HK = Harga Kopi
TB = Total Biaya Usaha Peternakan Sapi Perah

146
Lampiran 6. Lanjutan Data yang digunakan dalam Penelitian

BP BTK BLA BO
(Rp) (Rp) (Rp) (Rp)
(13) (14) (15) (16)
11.155.960.000 4.856.413.000 440.617.000 585.258.000
13.079.170.000 5.912.950.000 416.530.000 603.640.000
13.778.010.000 6.136.730.000 350.200.000 743.320.000
14.387.810.000 5.976.590.000 405.645.000 700.650.000
15.948.880.000 6.134.940.000 426.140.000 786.980.000
18.546.110.000 6.330.060.000 513.670.000 971.720.000
19.086.430.000 7.296.780.000 562.570.000 1.176.140.000
36.685.780.000 10.668.280.000 517.730.000 5.927.390.000
25.039.560.000 11.012.790.000 630.170.000 5.099.730.000
30.853.170.000 10.474.030.000 824.790.000 6.062.280.000
28.956.370.000 10.472.600.000 796.220.000 9.009.890.000
32.315.750.000 11.903.640.000 1.436.550.000 5.778.750.000
44.172.218.000 11.353.904.000 944.905.000 2.036.190.000
53.886.990.000 16.516.810.000 1.071.770.000 22.426.430.000
63.345.700.000 19.365.360.000 1.174.090.000 17.326.460.000
35.686.440.000 10.772.120.000 1.121.270.000 6.711.560.000
35.387.680.000 15.910.190.000 1.108.630.000 6.661.540.000
25.233.550.000 10.703.390.000 980.450.000 1.566.430.000
67.441.220.000 17.339.000.000 2.455.610.000 3.121.040.000
104.389.290.000 44.580.600.000 5.173.660.000 95.811.920.000
117.204.150.000 20.045.000.000 5.314.120.000 4.827.910.000
141.094.310.000 30.041.690.000 7.558.030.000 5.645.540.000
149.055.220.000 30.409.590.000 10.325.560.000 8.770.340.000
171.305.910.000 37.423.660.000 10.090.010.000 8.730.030.000
254.541.890.000 51.621.870.000 15.224.400.000 19.962.520.000
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah, 2018)

Keterangan :
BP = Biaya Pakan
BTK = Biaya Tenaga Kerja
BLA = Biaya Listrik dan Air
BO = Biaya Obat-obatan

147
Lampiran 7. Lanjutan Data yang digunakan dalam Penelitian

BB QD IN
(Rp) (Liter) (Rupiah)
(17) (18) (19)
734.133.000 36.109.249* 1.334.821,30
791.850.000 38.653.438* 1.699.791,90
791.230.000 40.520.294* 2.018.262,70
700.039.000 38.235.017* 2.351.280,70
577.320.000 35.182.922* 2.758.437,70
656.330.000 33.553.297* 4.222.062,10
671.840.000 31.175.294* 4.649.342,20
1.039.850.000 33.600.595* 5.573.817,30
958.670.000 34.463.862* 7.232.837,80
1.090.190.000 36.268.326* 7.616.354,30
1.109.120.000 31.002.543* 8.196.210,10
1.312.320.000 33.415.723* 9.303.705,90
1.622.012.000 32.376.764* 11.179.516,40
2.683.220.000 38.881.566* 13.162.200,00
3.027.500.000 44.130.133* 15.416.800,00
1.932.590.000 19.047.938* 19.141.700,00
1.926.180.000 18.823.821* 20.935.900,00
1.556.290.000 15.163.335* 23.974.400,00
2.495.380.000 33.312.478* 24.658.700,00
6.022.470.000 37.210.130* 26.527.000,00
20.438.650.000 58.539.467* 28.890.800,00
10.116.290.000 63.644.941* 31.376.000,00
7.473.980.000 69.333.783* 32.995.100,00
6.865.270.000 67.062.440* 36.377.700,00
14.803.380.000 124.036.118* 38.375.500,00
*Nilai Prediksi (Sumber : Lampiran 12)
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah, 2018)

Keterangan :
BB = Biaya Bahan Bakar
QD= Jumlah Permintaan
IN = Jumlah Pendapatan per Kapita

148
Lampiran 8. Perhitungan Angka Prediksi Jumlah Pakan Ternak yang
digunakan untuk Tahun 2015-2017.

Data jumlah pakan ternak tahun 2015-2017 tidak tersedia, sehingga

diperlukan adanya kompilasi data jumlah pakan ternak tahun 2015-2017. Data

jumlah pakan ternak tahun 2015-2017 adalah angka prediksi menggunakan data 3

tahun terakhir yang tersedia, yaitu berdasarkan tahun 2012-2014. Untuk

mengetahui jumlah penggunaan pakan ternak tahun 2015-2017 perlu diketahui

nilai prediksi harga pakan pada tahun 2015-2017 dengan perhitungan matematis

sebagai berikut :

Dimana :

Harga Pakan (000 Rupiah/Ton)


= Rata-rata Nilai/Biaya Pakan 2012-2014 (000 Rupiah)
= Rata-rata Pemakaian Pakan Ternak 2012-2014 (Ton)

Hasil perhitungan rata-rata harga dan pemakaian pakan ternak tahun 2012-

2014 dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Rata-rata pemakaian dan prediksi harga pakan ternak tahun 2012-2014

Hijauan Pakan
Pakan Lain
Pakan Ternak Konsentrat
Rata-rata Pemakaian Pakan
73.406,73 25.473,32 41.951,16
Ternak 2012-2014 (Ton)
Rata-rata Nilai/Biaya Pakan
Ternak 2012-2014 (000 21.460.680 45.226.873 54.208.363
Rupiah)
Prediksi Harga Pakan
292 1.775 1.292
(000 Rupiah/Ton)
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah, 2018)

149
Apabila nilai prediksi harga pakan pada tahun 2015-2017 diketahui,

maka perhitungan nilai prediksi jumlah penggunaan pakan ternak tahun 2015-

2017 diperoleh dengan perhitungan matematis sebagai berikut :

Dimana :

Nilai Biaya Pakan Tahun 2015, 2016 dan 2017 (000 Rupiah)
= Jumlah Pemakaian Pakan Ternak 2015, 2016 dan 2017 (Ton)
Prediksi Harga Pakan (000 Rupiah /Ton)

Dimana diketahui pula nilai biaya pakan tahun 2015-2017 dapat dilihat pada

Tabel 16.

Tabel 16. Nilai Biaya Pakan Ternak Tahun 2015-2017 (000 Rupiah)

Biaya Pakan Biaya Pakan Biaya Pakan


Tahun
Hijauan Konsentrat Lain Biaya Pakan
2015 21.622.680 122.165.860 5.266.680 149.055.220
2016 26.769.220 139.102.450 5.434.240 171.305.910
2017 172.597.590 77.609.640 4.334.660 254.541.890
Sumber : Statistik Perusahaan Peternakan Sapi Perah Tahun 2015,2016 dan 2017
BPS (diolah, 2018)

Hasil perhitungan nilai prediksi jumlah pemakaian pakan ternak 2015-

2017 dapat dilihat dalam Tabel 17.

Tabel 17. Prediksi Jumlah Pemakaian Pakan Ternak Tahun 2015-2017

Jumlah Hijauan Pakan Jumlah Konsentrat Jumlah Pakan


Tahun
Ternak (Ton) (Ton) Lain (Ton)
2015* 73,960.85 68,807.99 4,075.82
2016* 91,564.71 78,347.25 4,205.49
2017* 590,373.87 43,712.40 3,354.54
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah, 2018)

150
Lampiran 9. Perhitungan Nilai Prediksi Jumlah Air yang digunakan Tahun
2015-2017.

Data jumlah pemakaian air tahun 2015-2017 tidak tersedia, sehingga

diperlukan adanya kompilasi data jumlah pemakaian air tahun 2015-2017. Tabel

18 merupakan data penggunaan listrik dan air perusahaan peternakan sapi perah

berbagai tahun sejak tahun 1993-2014.

Tabel 18. Penggunaan dan Nilai Listrik dan Air Perusahaan Peternakan.

Listrik dari PLN Air Jumlah


Tahun Pemakaian Nilai (000 Pemakaian Nilai (000 Rp)
(KWh) Rupiah) (M3) (000 Rp)
1993 1,751,985 329,483 1,586,013 111,134 440,617
1994 1,988,833 331,370 2,094,592 85,160 416,530
1995 1,683,334 297,310 2,476,122 52,890 350,200
1996 1,751,987 355,518 639,424 50,127 405,645
1997 2,107,799 348,330 272,903 77,810 426,140
1998 2,462,819 401,050 450,473 112,620 513,670
1999 2,521,457 469,490 356,228 93,080 562,570
2000 1,989,707 430,090 314,348 87,640 517,730
2001 2,252,046 531,330 268,335 98,840 630,170
2002 3,037,970 721,970 263,729 102,820 824,790
2003 2,757,681 724,130 110,109 72,090 796,220
2004 3,708,943 1,363,620 253,108 72,930 1,436,550
2005 1,993,046 862,150 210,485 82,755 944,905
2006 1,852,912 982,220 132,778 89,550 1,071,770
2007 2,010,168 1,067,530 166,511 106,560 1,174,090
2008 1,737,082 1,065,270 71,731 56,000 1,121,270
2009 1,708,802 1,052,970 70,991 55,660 1,108,630
2010 1,551,614 927,180 50,616 53,270 980,450
2011 3,871,317 2,375,580 58,889 80,030 2,455,610
2012 6,192,170 4,820,040 248,018 353,620 5,173,660
2013 4,850,701 5,161,230 194,167 152,890 5,314,120
2014 6,655,298 7,398,700 193,614 159,330 7,558,030
2015 10,325,560
2016 10,090,010
2017 15,224,400
Sumber : Badan Pusat Statistik (2018, diolah)

151
Data jumlah pemakaian dan nilai penggunaan air tahun 2015-2017 adalah

nilai prediksi menggunakan data yang tersedia, yaitu berdasarkan tahun 1993-

2014 (Tabel 18). Untuk mengetahui jumlah penggunaan air tahun 2015-2017,

langkah pertama perlu diketahui rata-rata nilai atau biaya listrik dan air tahun

1993-2014 dan persentase nilai biaya listrik dan air. Hasil perhitungan rata-rata

nilai atau biaya listrik dan air tahun 1993-2014 dan persentase nilai biaya listrik

dan air dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Hasil Perhitungan rata-rata nilai atau biaya listrik dan air tahun
1993-2014 dan persentase nilai biaya listrik dan air

Biaya Listrik
Biaya Air Jumlah
Keterangan dari PLN
(000 Rupiah) (000 Rupiah)
(000 Rupiah)
Rata-rata biaya listrik dan air tahun
berdasarkan tahun 1993-2014 1.455.298 100.309 1.555.608
Persentase Nilai Biaya berdasarkan tahun
1993-2014 (%) 93,55 6,45 100

Apabila telah diketahui persentase nilai biaya pada Lampiran 6b, maka

langkah kedua yaitu menghitung nilai biaya listrik dan air tahun 2015-2017.

Angka prediksi untuk biaya pemakaian air dan listrik tahun 2015-2017 diketahui

dengan perhitungan matematis sebagai berikut :

Dimana :
= Nilai Listrik Tahun 2015, 2016 dan 2017 (000 Rupiah)
= Nilai Air Tahun ke 2015, 2016 dan 2017 (000 Rupiah)
= Persentase Nilai Pemakaian Listrik 1993-2014 (%)
= Persentase Nilai Pemakaian Air 1993-2014 (%)
= Jumlah Nilai Pemakaian Listrik dan Air Tahun ke 2015, 2016 dan 2017
(000 Rupiah)

152
Hasil perhitungan biaya listrik dan air untuk tahun 2015-2017 dapat

dilihat dalam Tabel 20.

Tabel 20. Hasil Perhitungan Biaya Listrik dan Air Tahun 2015-2017

Nilai Pemakaian Listrik Nilai Pemakaian Air Jumlah


Tahun
(000 Rupiah) (000 Rp) (000 Rp)

2015 9.659.743 665.817 10.325.560


2016 9.439.382 650.628 10.090.010
2017 14.242.694 981.706 15.224.400
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah, 2018)

Langkah selanjutnya adalah mengetahui nilai pemakaian listrik dan air

pada tahun 2015-2017. Untuk itu, perlu diketahui nilai prediksi harga air dan

listrik tahun 2015-2017. Perhitungan nilai prediksi harga air dan listrik tahun

2015-2017 diperoleh dengan menggunakan data 3 tahun terakhir, yaitu tahun

2012-2014 yang tersedia dalam Lampiran 6a. Sehingga perhitungan matematis

untuk menghitung nilai prediksi harga air dan listrik dapat lihat sebagai berikut :

Dimana :

= Nilai Prediksi Harga Listrik (000 Rupiah/KWh)


= Rata-rata Nilai Listrik 2012-2014 (000 Rupiah)
= Rata-rata Jumlah Pemakaian Listrik 2012-2014 (KWh)
= Nilai Prediksi Harga Air (000 Rupiah/M3)
= Rata-rata Nilai Air 2012-2014 (000 Rupiah)
= Rata-rata Jumlah Pemakaian Air 2012-2014 (M3)

153
Berikut merupakan hasil perhitungan nilai prediksi harga listrik dan air

berdasarkan tahun 2012-2014. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa

harga prediksi listrik sebesar Rp. 982/kWh dan harga prediksi air sebesar Rp.

1.047/M3. Secara lebih rinci hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Perhitungan Nilai Prediksi Harga Air dan Listrik Tahun 2015-2017

Listrik dari PLN Air


Jumlah
Keterangan Nilai Nilai
Pemakaian Pemakaian (000 Rp)
(000 (000
(KWh) (M3)
Rupiah) Rp)
Rata-rata Pemakaian dan
Nilai Biaya Air dan Listrik
Tahun 2012-2014 5.899.390 5.793.323 211.933 221.947 6.015.270
Nilai Prediksi Harga Listrik
dan Air Tahun 2015-2017 0,982 1,047
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah, 2018)

Apabila telah diketahui nilai prediksi harga air dan listrik untuk tahun

2015-2017, maka nilai prediksi jumlah pemakaian air dan listrik tahun 2015-2017

dapat diketahui dengan perhitungan matematis sebagai berikut :

Dimana :

= Jumlah Pemakaian Listrik Tahun ke 2015, 2016 dan 2017 (KWh)


= Jumlah Pemakaian Air Tahun ke 2015, 2016 dan 2017 (M3)
= Nilai Listrik Tahun ke 2015, 2016 dan 2017 (000 Rupiah)
= Nilai Air Tahun ke 2015, 2016 dan 2017 (000 Rupiah)
= Angka Prediksi Harga Listrik untuk tahun 2015, 2016 dan 2017 (Rupiah)
= Angka Prediksi Harga Air untuk tahun 2015, 2016 dan 2017 (Rupiah)

154
Berikut merupakan hasil perhitungan prediksi jumlah penggunaan listrik

dan air berdasarkan tahun 2015-2017. Secara lebih rinci hasil perhitungan dapat

dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Hasil Perhitungan Prediksi Jumlah Penggunaan Listrik dan Air
Tahun 2015-2017.

Tahun Pemakaian Listrik (KWh) Pemakaian Air (M3)


2015 9.836.597 635.777
2016 9.612.201 621.274
2017 14.503.454 937.414
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah, 2018)

155
Lampiran 10. Perhitungan Jumlah Kuantitas Pengggunaan Produksi

Jumlah kuantitas penggunaan produksi susu segar tahun 1993-2009 dan

tahun 2015-2017 merupakan nilai prediksi berdasarkan tahun 2010-2014 karena

keterbatasan data yang tersedia. Tabel 23 berikut menyajikan data yang tersedia.

Tabel 23. Jumlah Kuantitas Penggunaan Produksi Perusahaan Sapi Perah (Liter)

Dikonsumsi Disusukan ke
Tahun Dijual Tercecer Jumlah Produksi
Sendiri Anak Sapi
1993 36.850.985
1994 39.447.436
1995 41.352.640
1996 39.020.420
1997 35.905.630
1998 34.242.530
1999 31.815.680
2000 34.290.800
2001 35.171.800
2002 37.013.330
2003 31.639.380
2004 34.102.130
2005 33.041.830
2006 39.680.250
2007 45.036.630
2008 19.439.210
2009 19.210.490
2010 15.163.335 152.589 891.111 33.912 16.240.947
2011 33.312.478 132.578 1.029.196 75.835 34.550.087
2012 37.210.130 459.920 741.110 10.700 38.421.860
2013 58.539.467 37.700 232.065 7.820 58.817.052
2014 63.644.941 43.263 327.037 95.123 64.110.364
2015 70.758.000
2016 68.440.000
2017 126.584.000
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2018

Perhitungan nilai prediksi kuantitas penggunaan susu segar diperoleh

dengan perhitungan matematis menggunakan data penggunaan jumlah kuantitas

156
produksi yang tersedia, yaitu tahun 2010-2014. Untuk menghitung nilai prediksi

jumlah penggunaan kuantitas produksi, maka perlu diketahui terlebih dahulu

persentase masing-masing penggunaan terhadap jumlah produksi susu segar

dengan menghitung nilai rata-rata penggunaan dan jumlah produksi susu segar

data tahun 2010-2014. Jumlah penawaran susu segar diasumsikan merupakan

jumlah susu segar yang dijual oleh usaha peternakan sapi perah.

Tabel 24 berikut merupakan hasil perhitungan persentase kuantitas

penggunaan produksi susu segar berdasarkan tahun 2010-2014.

Tabel 24. Hasil Perhitungan Persentase Kuantitas Penggunaan Produksi Susu


Segar Tahun 2010-2014

Dikonsumsi Disusukan ke Jumlah


Tahun Dijual Tercecer
Sendiri Anak Sapi Produksi
2010 15.163.335 152.589 891.111 33.912 16.240.947
2011 33.312.478 132.578 1.029.196 75.835 34.550.087
2012 37.210.130 459.920 741.110 10.700 38.421.860
2013 58.539.467 37.700 232.065 7.820 58.817.052
2014 63.644.941 43.263 327.037 95.123 64.110.364
Rata-rata
Kuantitas
Penggunaan 41.574.070 165.210 644.104 44.678 42.428.062
Produksi Tahun
2010-2014
Pesentase
Kuantitas
Penggunaan
Berdasarkan
97,99 0,39 1,52 0,11 100,00
Tahun 2010-
2014 (%)
Sumber : Badan Pusat Statistik (2018, diolah)

Adapun perhitungan nilai prediksi kuantitas penggunaan susu segar

diperoleh dengan perhitungan matematis sebagai berikut :

157
Dimana :

= Jumlah Susu Segar yang dijual Tahun ke-t (Liter)


= Jumlah Produksi Tahun ke-t (Liter)
= Persentase Penggunaan Susu Segar yang Dijual (%)
= Jumlah Susu Segar yang dikonsumsi sendiri Tahun ke-t (Liter)
= Persentase Penggunaan Susu Segar yang dikonsumsi sendiri (%)
= Jumlah Susu Segar yang disusukan ke anak sapi Tahun ke-t (Liter)
= Persentase Penggunaan Susu Segar yang disusukan ke anak sapi (%)
= Jumlah Susu Segar yang tercecer Tahun ke-t (Liter)
= Persentase Penggunaan Susu Segar yang tercecer (%)

158
Hasil perhitungan prediksi jumlah atau kuantitas penggunaan produksi

susu segar pada perusahaan peternakan sapi perah dapat dilihat pada Tabel 25.

Tabel 25. Kuantitas Penggunaan Produksi Perusahaan Sapi Perah (Liter)

Disusukan
Dikonsumsi
Tahun Dijual ke Anak Tercecer Jumlah
Sendiri
Sapi
1993 36.109.249 143.494 559.438 38.805 36.850.985
1994 38.653.438 153.604 598.855 41.539 39.447.436
1995 40.520.294 161.022 627.778 43.546 41.352.640
1996 38.235.017 151.941 592.372 41.090 39.020.420
1997 35.182.922 139.812 545.086 37.810 35.905.630
1998 33.553.297 133.336 519.839 36.058 34.242.530
1999 31.175.294 123.887 482.996 33.503 31.815.680
2000 33.600.595 133.524 520.571 36.109 34.290.800
2001 34.463.862 136.955 533.946 37.037 35.171.800
2002 36.268.326 144.126 561.902 38.976 37.013.330
2003 31.002.543 123.200 480.320 33.317 31.639.380
2004 33.415.723 132.790 517.707 35.911 34.102.130
2005 32.376.764 128.661 501.611 34.794 33.041.830
2006 38.881.566 154.510 602.389 41.784 39.680.250
2007 44.130.133 175.367 683.705 47.425 45.036.630
2008 19.047.938 75.694 295.108 20.470 19.439.210
2009 18.823.821 74.803 291.636 20.229 19.210.490
2010 15.163.335 152.589 891.111 33.912 16.240.947
2011 33.312.478 132.578 1.029.196 75.835 34.550.087
2012 37.210.130 459.920 741.110 10.700 38.421.860
2013 58.539.467 37.700 232.065 7.820 58.817.052
2014 63.644.941 43.263 327.037 95.123 64.110.364
2015 69.333.783 275.524 1.074.183 74.510 70.758.000
2016 67.062.440 266.497 1.038.993 72.069 68.440.000
2017 124.036.118 492.904 1.921.682 133.297 126.584.000
Sumber : Badan Pusat Statistik (2018, diolah)

159
Lampiran 11. Perhitungan Prediksi Harga Susu Segar Tingkat Produsen

Akibat terbatasnya dokumentasi data harga susu segar dilapangan,

maka data harga susu segar ditingkat peternak atau produsen dalam penelitian

diperoleh dari hasil pembagian nilai produksi dengan jumlah produksi susu

segar. Adapun nilai harga prediksi susu segar ditingkat produsen dapat dilihat

pada Tabel 26.

Tabel 26. Harga Susu Segar per Liter tingkat Produsen Perusahaan Sapi Perah

Jumlah Produksi Nilai (Juta Harga Susu Segar per Liter


Tahun
Susu Segar (Liter) Rupiah) (Rupiah)
1993 36.850.985 24.169,08 656
1994 39.447.436 29.040,08 736
1995 41.352.640 30.184,42 730
1996 39.020.420 31.691,09 812
1997 35.905.630 33.268,56 927
1998 34.242.530 41.073,31 1.199
1999 31.815.680 46.075,49 1.448
2000 34.290.800 55.826,83 1.628
2001 35.171.800 59.815,11 1.701
2002 37.013.330 65.969,26 1.782
2003 31.639.380 59.634,51 1.885
2004 34.102.130 67.347,55 1.975
2005 33.041.830 73.827,14 2.234
2006 39.680.250 89.454,68 2.254
2007 45.036.630 125.831,68 2.794
2008 19.439.210 60.151,99 3.094
2009 19.210.490 59.535,43 3.099
2010 16.240.950 47.217,62 2.907
2011 34.550.090 117.804,25 3.410
2012 30.540.000 242.517,01 7.941
2013 58.817.000 257.712,90 4.382
2014 64.110.000 293.616,69 4.580
2015 70.758.000 335.460,94 4.741
2016 68.440.000 332.137,43 4.853
2017 126.584.000 697.291,23 5.509
Sumber : Badan Pusat Statistik (2018, diolah)

160
Lampiran 12. Perhitungan Nilai Jumlah Permintaan Susu Segar

Akibat keterbatasan data jumlah permintaan susu segar, maka data

jumlah permintaan susu segar dalam penelitian diasumsikan sama dengan jumlah

penawaran susu segar. Asumsi tersebut mengacu pada teori yang dikemukakan

oleh Sugiarto dkk (2002;55) bahwa permintaan dan penawaran dengan sendirinya

akan mencapai keseimbangan harga dan jumlah. Data jumlah permintaan susu

segar dirangkum pada Tabel 27.

Tabel 27. Jumlah Permintaan Susu Segar


Tahun Jumlah Permintaan
1993 36.109.249
1994 38.653.438
1995 40.520.294
1996 38.235.017
1997 35.182.922
1998 33.553.297
1999 31.175.294
2000 33.600.595
2001 34.463.862
2002 36.268.326
2003 31.002.543
2004 33.415.723
2005 32.376.764
2006 38.881.566
2007 44.130.133
2008 19.047.938
2009 18.823.821
2010 15.163.335
2011 33.312.478
2012 37.210.130
2013 58.539.467
2014 63.644.941
2015 69.333.783
2016 67.062.440
2017 124.036.118
Sumber : Badan Pusat Statistik (2018, diolah)

161
Lampiran 13. Populasi Sapi Perah di Indonesia Periode 1993-2017

Luar
Jawa Pertumbuhan Pertumbuhan Indonesia Pertumbuhan
Tahun Jawa
(Ekor) (%) (%) (Ekor) (%)
(Ekor)
1993 318.719 6,04 10.801 -7,41 329.520 5,54
1994 319.513 0,25 14.508 34,32 334.021 1,37
1995 331.531 3,76 9.803 -32,43 341.334 2,19
1996 337.874 1,91 10.115 3,18 347.989 1,95
1997 323.916 -4,13 10.455 3,36 334.371 -3,91
1998 314.159 -3,01 7.833 -25,08 321.992 -3,70
1999 324.282 3,22 7.749 -1,07 332.031 3,12
2000 346.623 6,89 7.630 -1,54 354.253 6,69
2001 339.311 -2,11 7.687 0,75 346.998 -2,05
2002 350.289 3,24 8.097 5,33 358.386 3,28
2003 365.291 4,28 8.462 4,51 373.753 4,29
2004 355.084 -2,79 8.978 6,10 364.062 -2,59
2005 352.488 -0,73 8.863 -1,28 361.351 -0,74
2006 359.596 2,02 9.412 6,19 369.008 2,12
2007 368.529 2,48 5.538 -41,16 374.067 1,37
2008 451.017 22,38 6.560 18,45 457.577 22,32
2009 468.187 3,81 6.514 -0,69 474.701 3,74
2010 481.104 2,76 7.354 12,75 488.458 2,90
2011 592.520 23,16 4.693 -36,11 597.213 22,27
2012 606.046 2,28 5.894 25,58 611.940 2,47
2013 437.579 -27,80 6.687 13,46 444.266 -27,40
2014 497.616 13,72 4.900 -26,72 502.516 13,11
2015 513.514 3,19 5.134 4,78 518.648 3,21
2016 528.453 2,91 5.480 6,73 533.933 2,95
2017 538.852 1,97 5.939 8,38 544.791 2,03
Rata-
408.884 2,79 7.803 -0,78 416.687 2,54
rata
Sumber : Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian RI, 2017

162
Lampiran 14. Perkembangan Produksi Susu Segar dalam Negeri Periode
1993-2017

Jawa Pertumbuhan Luar Jawa Pertumbuhan Indonesia Pertumbuhan


Tahun (%) (%)
(Ton) (Ton) (%) (Ton)
1993 374.840 5,98 13.490 3,93 388.330 5,91
1994 420.530 12,19 12.680 -6,00 433.210 11,56
1995 426.323 1,38 6.200 -51,10 432.523 -0,16
1996 433.634 1,72 7.120 14,38 440.754 1,90
1997 369.791 -14,72 7.529 5,75 377.320 -14,39
1998 430.614 16,45 5.554 -26,24 436.168 15,60
1999 490.009 13,79 5.384 -3,06 495.393 13,58
2000 473.960 -3,28 5.638 4,27 479.598 -3,19
2001 487.194 2,79 5.987 6,19 493.181 2,83
2002 538.133 10,46 6.181 3,24 544.314 10,37
2003 543.662 1,03 15.309 147,68 558.971 2,69
2004 526.360 -3,18 6.283 -58,96 532.643 -4,71
2005 604.513 14,85 9.600 52,80 614.113 15,37
2006 558.917 -7,54 12.035 25,36 570.952 -7,03
2007 451.017 -19,31 8.716 -27,58 459.733 -19,48
2008 468.187 3,81 6.252 -28,27 474.439 3,20
2009 481.104 2,76 7.497 19,92 488.601 2,99
2010 901.763 87,44 7.770 3,64 909.533 86,15
2011 967.234 7,26 7.460 -3,99 974.694 7,16
2012 952.724 -1,50 7.007 -6,07 959.731 -1,54
2013 779.795 -18,15 7.077 0,99 786.872 -18,01
2014 794.807 1,93 5.945 -15,99 800.752 1,76
2015 828.646 4,26 6.479 8,98 835.125 4,29
2016 905.985 9,33 6.750 4,18 912.735 9,29
2017 912.898 0,76 7.195 6,60 920.093 0,81
Rata-rata 605.212 5,22 7.900 3,23 613.112 5,08
Sumber : Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian RI, 2017

163
Lampiran 15. Perkembangan Tingkat Konsumsi Susu di Indonesia

Susu Susu Susu Kental Susu Cair Susu Bubuk


Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan
Tahun Segar/Murni Bubuk Manis (397 Pabrik Bayi (400
(%) (%) (%) (%) (%)
(Liter/Kapita) (Kg/Kapita) Gram/Kapita) (250ml/Kapita) Gram/Kapita)
2002 0.209 0.417 2.294 0.417 0.73
2003 0.156 -25.36 0.365 -12.47 2.451 6.84 0.469 12.47 0.678 -7.12
2004 0.156 0.00 0.417 14.25 2.503 2.12 0.365 -22.17 0.678 0.00
2005 0.104 -33.33 0.417 0.00 2.764 10.43 0.469 28.49 0.886 30.68
2006 0.156 50.00 0.469 12.47 2.764 0.00 0.574 22.39 0.886 0.00
2007 0.209 33.97 0.886 88.91 3.546 28.29 0.886 54.36 1.199 35.33
2008 0.209 0.00 0.782 -11.74 3.181 -10.29 0.991 11.85 1.304 8.76
2009 0.104 -50.24 0.73 -6.65 3.024 -4.94 0.834 -15.84 1.199 -8.05
2010 0.104 0.00 0.782 7.12 3.337 10.35 0.939 12.59 1.199 0.00
2011 0.156 50.00 0.73 -6.65 3.285 -1.56 1.147 22.15 1.356 13.09
2012 0.156 0.00 0.365 -50.00 2.711 -17.47 1.46 27.29 1.408 3.83
2013 0.104 -33.33 0.73 100.00 3.024 11.55 1.46 0.00 1.408 0.00
2014 0.156 50.00 0.782 7.12 3.076 1.72 1.616 10.68 1.46 3.69
2015 0.150 -3.85 0.939 20.08 3.598 16.97 2.399 48.45 0.678 -53.56
2016 0.150 0.00 0.939 0.00 4.119 14.48 2.972 23.88 0.678 0.00
2017 0.313 108.67 0.886 -5.64 4.641 12.67 3.546 19.31 0.678 0.00
Sumber : SUSENAS BPS dalam Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI (2018)

164
Lampiran 16. Perhitungan Jumlah Penambahan Populasi Sapi Laktasi

Perhitungan jumlah penambahan populasi sapi laktasi dihitung melalui

rumus produksi yang bersumber dari Kementrian Pertanian. Adapun rumus

perhitungan dapat dilihat sebagai berikut.

Dimana :
= Produksi Susu
= Parameter produktivitas susu (liter/ekor/tahun)
= Populasi Sapi Perah
= % betina produktif atau sapi laktasi

Jumlah populasi sapi perah dapat diperoleh dari rumus berikut.

Berdasarkan hasil survei struktur ongkos usaha peternakan (2017;75),

parameter produktivitas susu diketahui sebesar 12,47 liter/ekor/hari atau 12,82

kg/ekor/hari dengan masa laktasi selama 265 hari serta persentase betina produktif

yaitu sebesar 53,51%. Sehingga, apabila diasumsikan untuk memenuhi jumlah

produksi susu yang masih dipasok oleh susu impor sebanyak 2.189.000.000 kg,

maka perhitungan jumlah populasi sapi laktasi yang perlu ditambahkan sebagai

berikut.

165
Lampiran 17. Sintaks Uji Model Total Biaya Produksi, Produksi, Penawaran
dan Permintaan Susu Segar dengan SAS

options nodate nonumber;


data simultan;
SET DATA;

Label
QP = 'Jumlah Produksi Susu Segar'
QS = 'Jumlah Penawaran'
QD = 'Jumlah Permintaan'
HS = 'Harga Susu Segar'
HT = 'Harga Teh'
HK = 'Harga Kopi'
SL = 'Jumlah Sapi Laktasi'
PH = 'Jumlah Pakan Hijauan'
PK = 'Jumlah Pakan Konsentrat'
A = 'Jumlah Pemakaian Air'
TK = 'Jumlah Tenaga Kerja'
TB = 'Total Total biaya produksi'
BP = 'Biaya Pakan'
BTK = 'Biaya Tenaga Kerja'
BLA = 'Biaya Listrik dan Air'
BO = 'Biaya Obat-obatan'
BB = 'Biaya Bahan Bakar'
IN = 'Jumlah Pendapatan per Kapita'
;

run;

proc syslin 2sls data=simultan outest=hasil;


endogenous QP QS QD HS TB;
instruments SL PH PK A TK BP BTK BLA BO BB HT HK IN;
MODEL TB = BP BTK BLA BO BB/DW;
MODEL QP = SL PH PK A TK/DW;
MODEL QS = HS HT HK QP TB/DW;
MODEL QD = HS HT HK QP IN/DW;
MODEL HS = TB QD/DW;

run;

166
Lampiran 18. Hasil Uji Model Total Biaya Produksi Susu Segar

The SAS System

The SYSLIN Procedure


Two-Stage Least Squares Estimation

Model TB
Dependent Variable TB
Label Total Total biaya produksi

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F

Model 5 2.509E23 5.019E22 6291.91 <.0001


Error 19 1.516E20 7.976E18
Corrected Total 24 2.511E23

Root MSE 2824267553 R-Square 0.99940


Dependent Mean 1.03593E11 Adj R-Sq 0.99924
Coeff Var 2.72631

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable


Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 3.83E9 1.9721E9 1.94 0.0671 Intercept


BP 1 0.975953 0.101973 9.57 <.0001 Biaya Pakan
BTK 1 0.558895 0.425283 1.31 0.2044 Biaya Tenaga
Kerja
BLA 1 5.226691 0.800654 6.53 <.0001 Biaya Listrik
dan Air
BO 1 1.112180 0.104897 10.60 <.0001 Biaya Obat-
obatan
BB 1 1.574524 0.258978 6.08 <.0001 Biaya Bahan
Bakar

Durbin-Watson 2.392589
Number of Observations 25
First-Order Autocorrelation -0.26528

167
Lampiran 19. Hasil Uji Model Produksi Susu Segar

The SAS System

The SYSLIN Procedure


Two-Stage Least Squares Estimation

Model QP
Dependent Variable QP
Label Jumlah Produksi Susu Segar

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F

Model 5 1.029E16 2.057E15 23.24 <.0001


Error 19 1.682E15 8.852E13
Corrected Total 24 1.197E16

Root MSE 9408373.61 R-Square 0.85947


Dependent Mean 42292048.4 Adj R-Sq 0.82249
Coeff Var 22.24620

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable


Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 16624231 9671670 1.72 0.1019 Intercept


SL 1 2013.709 567.9169 3.55 0.0022 Jumlah Sapi
Laktasi
PH 1 0.033757 0.026696 1.26 0.2213 Jumlah Pakan
Hijauan
PK 1 0.306111 0.135832 2.25 0.0362 Jumlah Pakan
Konsentrat
A 1 4.276724 4.412099 0.97 0.3446 Jumlah
Pemakaian Air
TK 1 -4747.05 3088.200 -1.54 0.1407 Jumlah Tenaga
Kerja

Durbin-Watson 1.744002
Number of Observations 25
First-Order Autocorrelation 0.12476

168
Lampiran 20. Hasil Uji Model Penawaran Susu Segar

The SAS System

The SYSLIN Procedure


Two-Stage Least Squares Estimation

Model QS
Dependent Variable QS
Label Jumlah Penawaran

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F

Model 5 1.031E16 2.062E15 102.42 <.0001


Error 19 3.826E14 2.014E13
Corrected Total 24 1.149E16

Root MSE 4487376.12 R-Square 0.96422


Dependent Mean 41749739.0 Adj R-Sq 0.95481
Coeff Var 10.74827

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable


Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 -3.965E7 31488886 -1.26 0.2232 Intercept


HS 1 18410.21 11989.96 1.54 0.1412 Harga Susu Segar
HT 1 -784.284 277.4193 -2.83 0.0108 Harga Teh
HK 1 886.4216 443.3821 2.00 0.0601 Harga Kopi
QP 1 1.883196 0.780100 2.41 0.0260 Jumlah Produksi
Susu Segar
TB 1 -0.00038 0.000316 -1.19 0.2490 Total Biaya
Produksi

Durbin-Watson 1.958022
Number of Observations 25
First-Order Autocorrelation 0.012766

169
Lampiran 21. Hasil Uji Model Permintaan Susu Segar

The SAS System

The SYSLIN Procedure


Two-Stage Least Squares Estimation

Model QD
Dependent Variable QD
Label Jumlah Permintaan

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F

Model 5 1.041E16 2.081E15 173.55 <.0001


Error 19 2.278E14 1.199E13
Corrected Total 24 1.149E16

Root MSE 3462945.53 R-Square 0.97857


Dependent Mean 41749739.0 Adj R-Sq 0.97293
Coeff Var 8.29453

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable


Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 2457141 3031220 0.81 0.4276 Intercept


HS 1 2041.087 1430.301 1.43 0.1698 Harga Susu Segar
HT 1 -1212.60 262.8975 -4.61 0.0002 Harga Teh
HK 1 1125.307 348.7785 3.23 0.0044 Harga Kopi
QP 1 0.881097 0.052983 16.63 <.0001 Jumlah Produksi
Susu Segar
IN 1 1.067846 0.333465 3.20 0.0047 Jumlah Pendapatan
per Kapita

Durbin-Watson 1.461938
Number of Observations 25
First-Order Autocorrelation 0.197189

170
Lampiran 22. Hasil Uji Model Harga Susu Segar
The SAS System

The SYSLIN Procedure


Two-Stage Least Squares Estimation

Model HS
Dependent Variable HS
Label Harga Susu Segar

Analysis of Variance

Sum of Mean
Source DF Squares Square F Value Pr > F

Model 2 67878853 33939426 491.08 <.0001


Error 22 1520449 69111.31
Corrected Total 24 78425885

Root MSE 262.89031 R-Square 0.97809


Dependent Mean 2691.08760 Adj R-Sq 0.97610
Coeff Var 9.76892

Parameter Estimates

Parameter Standard Variable


Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 2741.325 151.0998 18.14 <.0001 Intercept


TB 1 2.84E-8 1.166E-9 24.36 <.0001 Total Total biaya
produksi
QD 1 -0.00007 5.692E-6 -12.59 <.0001 Jumlah Permintaan

Durbin-Watson 2.111659
Number of Observations 25
First-Order Autocorrelation -0.07444

171
Lampiran 23. Sintaks Uji Validasi Model

options nodate nonumber;


data simultan;
SET DATA;

Label
QP = 'Jumlah Produksi Susu Segar'
QS = 'Jumlah Penawaran'
QD = 'Jumlah Permintaan'
HS = 'Harga Susu Segar'
HT = 'Harga Teh'
HK = 'Harga Kopi'
SL = 'Jumlah Sapi Laktasi'
PH = 'Jumlah Pakan Hijauan'
PK = 'Jumlah Pakan Konsentrat'
A = 'Jumlah Pemakaian Air'
TK = 'Jumlah Tenaga Kerja'
TB = 'Total Total biaya produksi'
BP = 'Biaya Pakan'
BTK = 'Biaya Tenaga Kerja'
BLA = 'Biaya Listrik dan Air'
BO = 'Biaya Obat-obatan'
BB = 'Biaya Bahan Bakar'
N = 'Jumlah Penduduk'
IN = 'Jumlah Pendapatan per Kapita'
;

run;

proc simnlin data=simultan dynamic simulate stat outpredict theil


out=validasi;
endogenous TB QP QS QD HS;
instruments BP BTK BLA BO BB SL PH PK A TK HT HK IN;

parm
a0 3.83E9
a1 0.975953
a2 0.558895
a3 5.226691
a4 1.112180
a5 1.574524

b0 16624231
b1 2013.709
b2 0.033757
b3 0.306111
b4 4.276724
b5 -4747.05

172
Lampiran 24. Lanjutan Sintaks Uji Validasi Model

c0 -3.965E7
c1 18410.21
c2 -784.284
c3 886.4216
c4 1.883196
c5 -0.00038

d0 2457141
d1 2041.087
d2 -1212.60
d3 1125.307
d4 0.881097
d5 1.067846

e0 2741.325
e1 2.84E-8
e2 -0.00007
;

TB = a0 + a1*BP + a2*BTK + a3*BLA + a4*BO + a5*BB;


QP = b0 + b1*SL + b2*PH + b3*PK + b4*A + b5*TK;
QS = c0 + c1*HS + c2*HT + c3*HK + c4*QP + c5*TB;
QD = d0 + d1*HS + d2*HT + d3*HK + d4*QP + d5*IN;
HS = e0 + e1*TB + e2*QD;

run;

173
Lampiran 25. Hasil Uji Validasi Model

The SAS System

The SIMNLIN Procedure

Model Summary

Model Variables 5
Endogenous 5
Parameters 27
Equations 5
Number of Statements 5

Model Variables TB QP QS QD HS
Parameters(Value) a0(3830000000) a1(0.975953) a2(0.558895) a3(5.226691)
a4(1.11218) a5(1.574524)
b0(16624231) b1(2013.709) b2(0.033757) b3(0.306111)
b4(4.276724) b5(-4747.05)
c0(-39650000) c1(18410.21) c2(-784.284) c3(886.4216)
c4(1.883196)c5(-0.00038)
d0(2457141) d1(2041.087) d2(-1212.6) d3(1125.307)
d4(0.881097) d5(1.067846)
e0(2741.325) e1(2.84E-8) e2(-0.00007)
Equations TB QP QS QD HS

The SAS System

The SIMNLIN Procedure


Simultaneous Simulation

Data Set Options

DATA= SIMULTAN
OUT= VALIDASI

Solution Summary

Variables Solved 5
Solution Method NEWTON
CONVERGE= 1E-8
Maximum CC 4.54E-16
Maximum Iterations 1
Total Iterations 25
Average Iterations 1

Observations Processed

Read 25
Solved 25

Variables Solved For TB QP QS QD HS

174
Lampiran 26. Lanjutan Hasil Uji Validasi

The SIMNLIN Procedure


Simultaneous Simulation

Descriptive Statistics

Actual Predicted
Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev Label

TB 25 25 1.036E11 1.023E11 1.036E11 1.023E11 Total Total biaya produksi


QP 25 25 42292048 22330520 42292025 20702063 Jumlah Produksi
Susu Segar
QS 25 25 41749739 21877680 42410321 20907377 Jumlah Penawaran
QD 25 25 41749739 21877680 41874497 20856146 Jumlah Permintaan
HS 25 25 2691.1 1807.7 2752.2 1780.3 Harga Susu Segar

Statistics of fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS RMS %


Variable N Error Error Error % Error Error Error R-Square Label

TB 25 18611.9 0.8756 1.7897E9 2.4260 2.4621E9 3.4261 0.9994 Total Total biaya produksi
QP 25 -23.2191 4.6411 6003445 16.3265 8202030 23.3408 0.8595 Jumlah Produksi
Susu Segar
QS 25 660582 5.7755 5719004 15.3701 8329588 22.1609 0.8490 Jumlah Penawaran
QD 25 124758 2.4309 4735549 11.5939 6467644 15.1015 0.9090 Jumlah Permintaan
HS 25 61.0648 2.4120 318.6 13.8442 424.3 18.5711 0.9426 Harga Susu Segar

175
Lampiran 27. Lanjutan Hasil Uji Validasi

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions


Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

TB 25 6.062E18 1.00 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.0171 0.0085


QP 25 6.727E13 0.93 0.00 0.00 1.00 0.04 0.96 0.1723 0.0868
QS 25 6.938E13 0.92 0.01 0.01 0.99 0.01 0.98 0.1775 0.0886
QD 25 4.183E13 0.95 0.00 0.00 1.00 0.02 0.98 0.1378 0.0692
HS 25 180018 0.97 0.02 0.00 0.98 0.00 0.98 0.1317 0.0655

Theil Relative Change Forecast Error Statistics

Relative Change MSE Decomposition Proportions


Corr Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef
Variable N MSE (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U

TB 24 0.000900 1.00 0.03 0.01 0.97 0.00 0.97 0.0571 0.0285


QP 24 0.0531 0.81 0.01 0.15 0.83 0.01 0.98 0.6167 0.2964
QS 24 0.0540 0.83 0.05 0.29 0.67 0.08 0.87 0.6576 0.2958
QD 24 0.0271 0.89 0.01 0.08 0.91 0.00 0.99 0.4660 0.2286
HS 24 0.0367 0.77 0.00 0.09 0.91 0.00 1.00 0.6171 0.3130

176
Lampiran 28. Perhitungan Nilai Elastisitas Silang dalam Model Penawaran
dan Permintaan

1. Elastisitas Harga Teh (EHT1)

Elasitisitas harga teh dalam model penawaran dapat dihitung sebagai berikut.

2. Elastisitas Harga Kopi (EHK1)

Elastisitas harga kopi dalam model penawaran dapat dihitung sebagai berikut.

3. Elastisitas Harga Teh (EHT2)

Elastisitas harga teh dalam model permintaan dapat dihitung sebagai berikut.

4. Elastisitas Harga Kopi (EHK2)

Elastisitas harga kopi dalam model permintaan dapat dihitung sebagai

berikut.

177

Anda mungkin juga menyukai