Anda di halaman 1dari 3

Diskriminasi Berdasarkan Umur di Tempat

Kerja Mempersulit Pelamar

Karier mentok karena umur sungguh bukan sekadar mitos. Sampai hari ini, para pekerja senior—
karyawan berumur 40 tahun ke atas—dianggap keras kepala, arogan, terlalu berpengalaman, malas
mempelajari hal baru, dan susah beradaptasi. Bagi mereka, stereotipe tersebut adalah ejekan yang bisa
membuat rasa percaya diri merosot tajam, sekaligus hambatan besar mencari pekerjaan baru yang bisa
menambah wawasan.

Hal itu pernah menimpa Bob Crum, 63 tahun. Dua tahun silam, pria yang telah bekerja selama 40 tahun
di di Silicon Valley ini melamar pekerjaan di beberapa perusahaan IT setelah kontraknya di kantor lama
berakhir. Sayangnya, usaha tersebut hanya membuatnya sakit hati.

“Mereka—tim rekrutmen—bilang kalau perusahaan memutuskan merekrut orang muda yang baru
mulai berkarier karena pengalamanku sudah terlalu banyak. Itu kata-kata paling menyakitkan untuk
seseorang yang sebenarnya sanggup melakukan sebuah pekerjaan," ujar Crum sebagaimana ditulis
jurnalis Financial Times Hannah Kuchler dalam “Silicon Valley ageism: ‘They Were, like, wow, you use
Twitter?’” yang dipublikasikan Financial Times.

Kisah serupa juga dialami pula Dale Kleber, pria 62 tahun yang pernah berprofesi sebagai pengacara.
Dalam laporannya untuk Chicago Tribune, jurnalis Alexia Elejalde-Ruiz menuturkan bahwa sudah tiga
tahun Kleber menganggur. Kleber selalu gagal seleksi karena perusahaan tempat ia melamar selalu
mematok 3-7 tahun sebagai batas maksimum pengalaman kerja pelamar.

Kleber akhirnya naik pitam. Ia menuntut perusahaan kantor tempat ia melamar kerja dengan tuduhan
telah melakukan diskriminasi terhadap calon pekerja senior. Kasus tersebut lantas diproses di
pengadilan dan jaksa meminta perusahaan meninjau kembali kebijakan terkait perekrutan pekerja
senior.
“Orang yang sudah punya banyak pengalaman kerja tidak akan puas bila mendapat tugas yang kurang
kompleks. Ia juga bisa merasa tidak nyaman bila bekerja di bawah arahan orang yang lebih muda,”
demikian yang tertera dalam pernyataan dari Becton, Dickinson and Co., perusahaan tempat Kleber
melamar kerja. Pada saat bersamaan, Dickinson and Co., mengklaim memelihara budaya inklusivitas,
keragaman, dan anti-diskriminasi di tempat kerja.

"Aku tidak akan melamar kerja bila tidak menginginkan pekerjaan itu. Aku rasa mereka hanya cari cara
halus untuk mengganti kata ‘terlalu tua’," balas Kleber.

Kini ageisme (ageism)—istilah untuk menyebut perlakuan diskriminatif berdasarkan usia—kembali jadi
wacana besar di dunia kerja sejak perusahaan-perusahaan di AS dan Eropa ramai-ramai mengklaim
hendak membangun budaya inklusivitas dan keragaman di tempat kerja. Realisasi wacana itu masih jadi
tantangan besar karena sebagian pekerja masih bersikap diskriminatif terhadap umur.

Sejauh ini hanya ada satu aturan resmi dari pemerintah AS tentang larangan mendiskriminasi pekerja
senior. Aturan bernama Age Discrimination in Employment Act (ADEA) itu disahkan padaa 1967.
Kenyataannya, ADEA lebih sering dilanggar.

Lembaga advokasi hak lansia dan pekerja senior di AS AAARP menyatakan 64% warga AS yang berusia
45-60 tahun telah menyaksikan dan mengalami diskriminasi berdasarkan usia.

“Ageisme—terutama dalam perusahaan teknologi informasi—adalah masalah yang sangat besar,” kata
Laurie McCann, pengacara senior AARP.

Berjayanya teknologi perusahaan seperti Google dan Facebook membuat para pekerja senior makin
terpojokkan. Dalam “Why Ageism Never Gets Old” yang terbit di New Yorker, jurnalis Tad Friend
mengutip sejumlah kalimat arogan yang pernah terlontar dari para pendiri perusahaan rintisan (start-
up).

“Orang muda memang jauh lebih pintar,” ujar Mark Zuckerberg, pendiri Facebook.

“Orang di atas usia 40 ibarat orang yang kehabisan ide baru,” kata capitalist venture Vinod Khosla.

“Para pria yang sudah jadi ayah dan punya tanggungan cicilan rumah berada di posisi yang sangat tidak
menguntungkan,” kata Paul Graham, pendiri perusahaan Y Collaborator, yang menganggap usia dua
puluhan sebagai masa keemasan.

Dan Lyons, penulis buku Disrupted: My Misadventure in the Start-Up Bubble (2017), menilai para pekerja
industri perusahaan rintisan perlu mengenali nilai positif dari keragaman generasi dalam sebuah
perusahaan. Ia juga mengharapkan agar perusahaan menghilangkan kolom tahun lulus kuliah dari
formulir lamaran kerja untuk menghilangkan sikap diskriminatif.

Upaya memerangi diskriminasi berdasarkan usia juga terjadi di Asia. Tripartite Alliance for Fair and
Progressive Employment Practices (Tafep) dan Singapore Press Holdings sempat mengadakan diskusi
panel dengan peserta beberapa petinggi perusahaan guna membahas kondisi pekerja senior. Hasil
diskusi yang dilaporkan oleh Straits Times menyatakan bahwa selama ini para perekrut terjebak dalam
konsep “lazy recruitting” sehingga enggan merekrut pekerja senior.

“Mereka bahkan enggan memanggil para pelamar kerja berusia 40 tahun ke atas untuk wawancara,”
tulis Straits Times.

Kepala Bagian Solusi Pemasaran LinkedIn Asia Pacific Olivier Legrand berkata, “Kita sudah harus mampu
melihat seseorang dari keahlian dan pengalaman.”

Diskriminasi terhadap usia juga bukan praktik langka di Indonesia. Ethenia Novianty Windaningrum,
lulusan master dari Aarhus University, menyatakan bahwa praktik tersebut nampak pada iklan lowongan
pekerjaan yang mencantumkan batasan usia bagi calon pelamar.

"Menyesakkan rasanya saat mengetahui lamaran pekerjaan yang diajukan salah satu temanku ditolak
hanya karena usianya melebihi persyaratan. Banyak orang di Indonesia yang berpikir telah kehilangan
kesempatan untuk meningkatkan karier karena umur sehingga terpaksa ada di tempat kerja yang
sesungguhnya membosankan," tulis Ethenia dalam opininya di The Jakarta Post.

Perlakuan tidak menyenangkan itu sempat dialami Tenik Hartono, 49 tahun, pemimpin komunitas di
salah satu perusahaan rintisan. Ia baru bergabung di perusahaan tersebut selama beberapa bulan dan
langsung membawahi sebuah divisi baru. Anak-anak buahnya berusia kepala dua.

"Mereka tidak mau mendengar masukan dari saya dan tetap bekerja sesuai dengan pemahamannya
sendiri. Selain itu, para milenial ini kerap bersikap kurang sopan bila diajak berinteraksi," tuturnya
kepada Tirto (18/2). Bagi Tenik, perlakuan itu cukup membuat dirinya merasa tidak nyaman di kantor.

DISKUSIKAN secara berkelompok:


1. Berikan tanggapan Anda terkait kasus diatas?
2. Sebut dan jelaskan apa saja yang menyebabkan terjadi perilaku diskriminasi terhadap umur?
3. Jika Anda bertindak sebagai manajer, apakah faktor umur menjadi pertimbangan Anda dalam
menerima pegawai? Jelaskan!

Anda mungkin juga menyukai