Anda di halaman 1dari 11

Kulwap Peran Ayah Dalam Pendidikan – Ustadz

Harry Santosa
Tema: Peran Ayah dalam Pendidikan
Pembicara: Harry Santosa
Pengisi Kulwap: Agung

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bismillahirrahmanirrahim.

Peran Ayah dalam Pendidikan

Al Quran lebih banyak mencatat peran Ayah dalam mendidik anak-anaknya. Dialog dialog
indah antara Orangtua dan Anak di dalam Al Quran adalah dialog antara Ayah dan Anak.
Lihatlah betapa indah dialog Luqmanul Hakim dan anaknya, betapa indah dialog Ibrahim AS
dengan ananda Ismail AS.

“Yaa Bunayya (wahai ananda)” jika dilihat sepintas orang menyangka itu panggilan lembut
seorang bunda pada anaknya namun ternyata begitulah Al Quran merekam dialog para ayah
sejati memanggil lembut anak-anaknya.

Riset riset membuktikan peran keayahan (fatherhood) di sepanjang sejarah pada suku suku
yang ada di muka bumi dalam mendidik menunjukan peran yang dominan. Bahkan sejak
bermain, membacakan kisah, sampai kepada menuturkan narasi-narasi besar peran keluarga
dalam peradaban adalah tugas para ayah.

Bermain dengan ayah, disimpulkan sebagai bentuk membangun sikap dalam bersosial anak
anaknya.

Perintah bermain kepada anak, justru lebih ditekankan kepada ayah. “Barang siapa yang
memiliki anak, hendaknya ia bermain dengannya dan menjadi sepertinya. Barangsiapa yang
membuat anaknya bahagia maka pahalanya setara dengan membebaskan budak sahaya,
dan barang siapa membuat anaknya tertawa, maka pahalanya setara dengan orang yang
menangis karena takut kepada Allah.”

Jadi bukan tanpa alasan ketika banyak pakar pendidikan menyatakan bahwa tugas utama
seorang ayah bukanlah mencari nafkah, namun mendidik anak-anaknya. Maka diperlukan
kemampuan mencari nafkah yang smart, agar sang Ayah tidak meninggalkan peran
mendidiknya di dalam keluarga.

Jadi apa sesungguhnya peran Ayah?

1. A Man of Mission and Vision

Para ayah adalah pembuat misi keluarga, yaitu peran spesifik keluarga dalam peradaban.
Lihatlah di dalam Al Quran bagaimana Nabi Ibrahim AS adalah sang pembuat misi keluarga.
Misi keluarga beliau diabadikan dalam doa-doanya.

2. Pensuplai Ego

Seorang ayah diperlukan kehadirannya sebagai pensuplai Ego bagi anak anaknya. Supply ego
ini memberikan kemampuan “leadership” bagi anak anaknya, sementara ibu pemberi supply
Emphaty atau “followership”.
Ayah dengan hadir dalam keluarga akan memberi keteladanan melalui sikap sikap yang
berangkat dari fitrah keayahannya dengan menunjukkan ketegasan, pembelaan pada
keluarga, ketegaan yang penuh cinta dll adalah supply ego yang berkesan bagi anak.

3. Pembangun Struktur Berpikir Dan Rasionalitas

Ayah dengan rasionalitas berfikirnya, berkontribusi membangun struktur berfikir bahkan


inovasi di rumahnya atau di keluarganya. Kalau Ibu memberikan kemampuan emosional.

Alangkah baiknya jika keluarga memiliki family knowledge atau kearifannya sendiri yang
diwariskan turun temurun.

4. Pensuplai Maskulinitas

Para ayah diperlukan kehadirannya untuk memberikan suplai maskulinitas baik anak lelaki
maupun anak perempuan. Ayah dan Ibu harus hadir sepanjang usia anak sejak 0-15 tahun
(Aqil Baligh). Anak lelaki pada usia 7-10 tahun memerlukan lebih banyak kedekatan pada
ayahnya untuk menguatkan konsep fitrah kelelakiannya menjadi potensi peran seorang lelaki
sejati.

5. Ayah Sang Raja Tega

Pada usia 10 tahun ke atas, anak anak perlu diuji kemandirianya, keimanannya dgn beragam
program, nah para ayahlah sang raja tega yang mampu memberikan tugas tugas berat untuk
menguatkan potensi potensi anak menjadi peran peran peradabannya kelak. Dalam hal ini
ibu sebagai “sang pembasuh luka” yang memberi penawar bagi keletihan dan obat bagi luka
dalam menjalani ujian.

6. Ayah Penanggungjawab Pendidikan

Sesungguhnya ayahlah penanggungjawab pendidikan, yang merancang arah dan tujuan


pendidikan keluarganya sesuai misi keluarganya. Ibulah yang kelak mendetailkannya menjadi
proyek atau kegiatan harian.

Secara fitrah bahasa, wanita lebih cerdas bahasa dibanding para lelaki. Wanita bicara 50rb
sampai 70rb kata perhari, jadi ibu memang lebih banyak membersamai anak.

7. Ayah Konsultan Pendidikan

Melihat bahwa seorang lelaki “single tasking” dibanding wanita yang “multi tasking”, para
ayah tidak bisa terlalu banyak turun dalam hal detail, bahkan mereka perlu lebih banyak
berada di luar masalah agar bisa memberikan solusi yang jernih bagi para ibu yang dalam
kesehariannya sudah dipenuhi banyak masalah dalam mendidik.

Para ayah yang tidak mau atau sulit terlibat dalam proses mendidik anak anaknya, umumnya
adalah para ayah yang tidak selesai dengan dirinya atau tidak bahagia menjalani karirnya
walau sukses sekalipun, jadi mereka harus dibantu agar kembali fitrahnya dan banyak
didoakan.

Forum-forum keayahan harus banyak dibuat untuk membekali keyakinan dan kemampuan
para ayah dalam mendidik anak anaknya. Komunitas ini juga harus bergerak membangun
ekonomi bersama agar para ayah dapat mencari nafkah lebih smart.
Pertanyan ke-1:

Saya mau tanya. Kalau misalnya ketika kecil ayah ga menjalankan peran-peran di atas.
Ketika anak sudah besar terasa ada yang salah dengan anaknya. Bagaimana cara
memperbaikinya ya pak?

Jawaban:

Peran adalah tugas, jika peran tuntas (accomplished) maka maksud penciptaan (beribadah
dan menjadi khalifah) tercapai.

Jika peran atau tugas sebagai ayah tidak tuntas maka bukan hanya “terasa” ada yang salah,
namun ayah akan menuai banyak masalah dari anak anaknya pada usia di atas 14 tahun,
ketika melalaikan perannya ketika ananda di bawah 15 tahun.

Banyak ayah sibuk mengumpulkan harta dengan meninggalkan pendidikan anak anaknya
ketika kecil, kemudian hartanya habis untuk membereskan berbagai masalah yang
ditimbulkan anak anaknya ketika remaja.

Maka recovery-nya membutuhkan effort lebih besar, diantaranya adalah harus mengulang
prosesnya, namun lebih intensif dan memerlukan bantuan komunitas atau jamaah.

Pertanyaan ke-2:

Bapak saya boleh bertanya memperjelas poin pertama? Man of Vision and Mision. Meskipun
pembuat misi keluarga, tetapi sebenarnya itu tetap keluar/dihasilkan dari musyawarah
dengan istrinya kan yah, Pak? Saya pernah mengikuti program pranikah dan diberi tahu jika
nanti, saat telah menikah keduanya akan berdiskusi merging/ atau intinya mengadaptasikan
kedua plan yang dipegang suami istri saat masih sendiri. Tidak fixed sumber hrus dari suami
tanpa melihat istrinya kan yah?

Jawaban:

Tentu kelak akan merancang misinya bersama istrinya bahkan anak anaknya. Namun
responsible membuat misi dan visi keluarga tetap pada Ayah. Jadi di dalam keluarga perlu
dipahamai derajat tanggungjawab dalam RACI matriks.

RACI adalah responsible, akuntabel, consulted dan inform.

Responsible Misi dan VIsi Ayah

Akuntable bersama dan Ibu pelaksana


Consulted Ibu (membreakdown)
Inform bersama

Pertanyaan ke-3:

Menyambung pertanyaan di atas, Pak..

Bagaimana cara berdialog terhadap anak ketika dirasa sang anak sudah tidak percaya lagi
peran ayahnya sendiri (karena mungkin si anak merasa tidak tercukupi atau merasa ketidak
hadiran peran dari sosok ayah)..

Jawaban:

Dialog yang baik terjadi ketika ada “relasi yang kuat” sehingga terbangun trust. Jika tidak
ada kepercayaan sang anak maka dialognya harus dimulai dengan niat memperbaiki relasi
dahulu, kemudian menggali kebutuhan anak dengan empati yang dalam, ketika membangun
narasi masa depan bersama yang kuat.

Pertanyaan ke-4:

Bagaimana cara membenahi pola asuh dan pola pikir suami terhadap anak, suami terlalu
memanjakan anak sedangkan istri dalam memberikan sesuatu atau keinginan anak itu harus
ada prestasi dulu.

Jawaban:

Pola asuh dan pola pikir dalam mendidik berangkat dari pemahaman yang kokoh tentang
pentingnya fitrah peran ayah & ibu, fitrah diri (misi pribadi), fitrah keluarga (misi keluarga)
dan fitrah anak anaknya.

Perbedaan pola mendidik maupu pola pengasuhan terjadi karena tidak adanya kesamaan
cara pandang tentang the purpose of creation (maksud penciptaan) dan the mission of life
(peran spesifik kehidupan).

Itulah mengapa kesamaan Aqidah menjadi penting dalam pernikahan, agar setidaknya punya
kesamaan cara pandang tentang maksud penciptaan dan misi pernikahan. Ini perlu
pembahasan khusus.
Kasus perceraian di Indonesia hari ini mencapai angka 36 kasus per jam, penyebabnya
adalah tiada kesamaan misi dalam pernikahan dan tiada proses mendidik dalam keluarga.

Pertanyaan ke-5:

Mengenai peran ayah yang sangat besar… bagaimana jika para ayah masih belum punya
kesadaran bahwa pendidikan anak juga tanggung jawabnya..

Kadang seperti urusan sekolah, ambil rapor dan acara-acara sekolah anak kadang ayah tidak
terlalu menganggap itu penting…

Dan sepertinya masih banyak ayah yang tahu, paham dan menjalankan peran ayah yang

disebutkan di atas

Jawaban:

Peran pendidikan para ayah tidak selalu terkait dengan persekolahan. Bagi banyak ayah,
urusan persekolahan adalah urusan detail yang memang menjadi tugas para Ibu. Tugas atau
peran mendidik ayah memang sebaiknya lebih di tataran misi dan kebijakan daripada di
tataran teknis.

Pertanyaannya adalah seringkali “menyekolahkan anak” terjadi karena keluarga keluarga


menganggap proses mendidik anak selesai ketika anak disekolahkan. Pemilihan sekolah
hanya karena pilihan-pilihan yang bersifat teknis daripada strategis yang relevan dengan misi
keluarga.

Anda pemilihan sekolah relevan dengan misi keluarga, maka urusan mengambil rapor dan
lain-lain akan menjadi bagian dari menjalankan misi keluarga.

Pertanyaan ke-6:

Mau urun tanya Pak Harry, mungkin ini sering ditanyakan.. bagaimana bila sifat-sifat yang
diekspektasi bisa diprovide oleh ayah namun karakter ayah tersebut jauh dari peran
tersebut? Misalkan ayahnya punya karakter tidak tegaan, tidak ingin berkonflik, selalu
mengalah, dan seterusnya, sedangkan ini berlawanan dengan peran pensuplai ego, raja
tega, dan seterusnya..

Apakah harga matinya memang ayahnya harus ‘berubah’? Atau ada kiat lain?

Jawaban:

Karakter personal ayah tidak perlu dibenturkan dengan karakter peran seorang ayah. Secara
peran, sang ayah perlu berusaha memenuhi peran peran keayahannya. Misalnya Ayah yang
karakter bawaannya pendiam, sebaiknya berusaha tidak pendiam ketika menjalankan peran
memberi narasi narasi bagi peran peradaban keluarganya kepada anak dan istrinya.

Ayah yang suka harmoni, tidak suka konflik, selalu mengalah, sebaiknya tidak menempatkan
karakter bawaannya tsb dalam hal hal terkait kepentingan keluarganya, misalnya diam saja
ketika istrinya dilecehkan dstnya.
Itulah mengapa fitrah bakat dan fitrah seksualitas di dalam pendidikan berbasis fitrah
dipisahkan menjadi dua entitas yang terpisah walau terkait. Fitrah bakat jika ditumbuhkan
akan menjadi peran peran dalam bidang sosial, misalnya sifat suka harmoni, tidak suka
konflik dan lain-lain seharusnya menjadi peran pendamai, peran sastrawan, peran guru dll
dalam bidang kehidupan. Sementara fitrah seksualitas jika ditumbuhkan dengan benar sesuai
tahapannya (ada di framework) kelak akan menjadi peran keayahan atau peran keibuan
sejati yang beradab pada keluarga dan keturunannya

Pertanyaan ke-7:

Bagaimana sebagai ayah menghadapi anak yang terlanjur sulit diatur? Si anak kalau makan
sesukanya, belum mau sholat, suka marah-marah, bangun tidur semaunya… Yah mungkin
memang pendidikannya gak bener. Tapi bagaimana caranya memperbaiki itu?

Jawaban:

Tergantung usianya. Secara umum, jika hal hal di atas terjadi maka prosesnya diulang walau
dengan intensitas yg lebih kuat. MIsalnya anak yang masih malas sholat di atas usia 7 tahun
maka jangan fokus pada masalahnya. Semakin kita menyuruh sholat, semakin memaksanya
maka akan semakin jauh larinya. Bisa saja kita dengan cara keras bahkan mengirim ke
pesantren dengan disiplin yang tinggi, namun bukan itu inti masalahnya. Intinya adalah
ananda tidak tumbuh fitrah keimanannya kepada Allah ketika usia di bawah 7 tahun. Fitrah
keimanan tumbuh baik dengan indikator ghiroh kecintaan yang besar kepada alHaq (Allah,
Rasulullah SAW dan Islam).

Umumnya kita hanya fokus pada yang tampak (syariah) namun lupa membangun apa yang
tak tampak (aqidah), padahal yang memberi dampak besar adalah yang tak tampak
(aqidah), itulah mengapa keimanan kita kepada yang ghaib agar muslim senantiasa tidak
berorientasi yang tampak.

Maka ulangi prosesnya, jika masih malas beribadah, maka ghairahkan cintanya kepada Allah
melalui keteladanan dan suasana keshalihan yang memberi kesan mendalam, Jika sudah di
atas 7 tahun maka dapat dilakukan sunnah Nabi SAW yaitu menginapkan (homestay) anak di
keluarga yang shalih, dilibatkan dalam lingkungan yangg shalih dan lain-lain. Syukur-syukur
jika mendapat pembimbing ruhani yang relevan bakatnya dengan ananda, maka akan
semakin baik perubahannya kelak

Jika anak sudah dewasa tetap sama, tetap sama, diulang prosesnya agar kembali kepada
fitrahnya. Tentu makin dewasa, makin banyak fitrah yg menyimpang pasti makin berat
effortnya. Kalau sudah besar sosok teladannya lebih banyak dari orang orang hebat di luar
rumah.

Kami merekomendasikan sejak anak usia 10 tahun sebaiknya mulai diberikan Murobby
(pendamping akhlak) dan Maestro (pendamping bakat).

Pertanyaan ke-8:

Yang ditakutkan dirumah sendiri si anak tidak menemukan sosok teladan yang baik, lalu
mencari penggantinya di luar yang kita tidak tahu seperti apa pergaulannya..

Jawaban:
Ini peran komunitas (jamaah) untuk mendidik secara bersama.

Istilah Afrika “It takes a village to raise a child” , kita butuh orang sekampung untuk
membesarkan anak
Ulama ulama dahulu di Indonesia sesungguhnya sudah meninggalkan tradisi pendidikan yang
luar biasa. Di Minang ada Surau dan Merantau. Anak usia 0-7 tahun full di rumah, usia 7-10
tahun sudah di Surau bersama Labay dan jamaah terutama anak lelaki, usia 11 ke atas
sudah merantau dalam komunitas yg lebih luas. Di Aceh ada Meunasah Meudagang dan lain-
lain.

Pertanyaan ke-9:

Terkait visi, apakah sampai ditataran general dan hakikat seperti ini saja ustadz, atau sebagai
orang tua kita juga berkewajiban men-drive anak-anak kita untuk mengisi role tertentu di
dunia ini, misalnya secara khusus kita memproyeksikan anak-anak kita menjadi ulama yang
dapat menjadi rujukan ilmu ummat atau pebisnis yang kaya raya yang mampu membiayai
project dakwah, dan seterusnya?

Jawaban:

Misi Pernikahan yang kemudian diturunkan menjadi misi pendidikan di keluarga adalah bukan
mengantarkan anak kita menjadi profesor atau ulama atau PNS namun mengantarkan anak
anak kita, generasi peradaban kepada peran peran peradaban terbaik sesuai dengan potensi
unik fitrahnya dengan adab mulia.

Orangtua tetap punya otoritas mengarahkan namun dalam koridor fitrah Ananda.

Pertanyaan ke-10:

Saya jadi teringat kisah parenting ala Ali bin Abu Thalib. Menurut Ali r.a. cara
memperlakukan anak berdasarkan usianya ada 3 kelompok, yaitu kelompok usia 0-7 tahun,
anak diperlakukan sebagai raja, kelompok usia 8-14 tahun anak diperlakukan sebagai
tawanan, dan kelompok usia 15-21 tahun anak diperlakukan sebagai sahabat.

Yang ingin saya tanyakan, apakah ilmu parenting yang diajarkan Ali bin Abu Thalib ini
relevan untuk diterapkan dalam kehidupan keluarga?

Jawaban:

Saya membagi tahapan perkembangan sebagai berikut:

– 0-2 tahun, karena ada menyusui


– 3-6 tahun, karena usia 7 tahun mulai orangtua diperintahkan menyuruh anaknya sholat
– 7-10 tahun, karena usia 10 tahun, kamar dipisah dan boleh dipukul (bukan pukulan
hukuman) jika tidak sholat
– 11-14 tahun, karena usia 15 tahun disepakati sebagai tahap anak sudah menjadi dewasa
penuh (aqilbaligh)
>14 tahun aqilbaligh, anak bukan anak-anak lagi sudah setara orangtuanya dalam memikul
beban syariah, nafkah, jihad dll. Orangtua sudah menjadi partner atau mitra.

Pambagian ini ternyata sesuai dengan tahapan Sayidina Ali RA.


Pertanyaan ke-11:

Kalau konsep passion dan atau bakat sendiri dalam Islam bagaimana ustadz? Apakah passion
dan fitrah mirip/sama sekali berbeda? Haruskah sebagai orangtua kita memfasilitasinya?

Jawab:
Pertanyaan ke-12:

Ustad, ijin bertanya, teknisnya peran ayah untuk yang sedang hamil sampai usia 0-2 tahun
itu seperti apa ya? Apa cukup memastikan rezeki halal saja? Kebetulan saya sedang hamil,
saya bilang ke beliau tiap malam coba cerita dengan dekbay dan bacain surah-surah pendek
biar si dekbay kenal suara bapaknya. Apa itu cukup ustad? Saya baru mulai belajar ilmu
parenting ustadz, apalagi saya mix marriage dan tinggal di negara orang, jadi saya sedikit
banyak agak takut ke depannya bagaimana, coba tawakkal saja sama gusti Allah.

Jawaban:

Kehadiran ayah dan ibu dalam pendidikan anak diperlukan sejak dalam kandungan sampai
usia 15 tahun (aqilbaligh). secara fitrah seksualitas, kelekatan (attachment) ayah ibu dan
anak sangat penting dibangun.

• usia 0-2 tahun lebih didekatkan pada ibunya karena ada menyususi dan mother tongue
• usia 3-6 tahun ananda harus dekat dengan ayah dan ibu, usia 3 tahun anak harus jelas
menyebut identitas gendernya
• usia 7-10 tahun anak lelaki didekatkan pada ayah, anak perempuan didekatkan pada ibu,
agar memperoleh potensi sesuai gendernya
• usia 11-14 tahun anak lelaki lebih didekatkan ke ibunya, dan anak perempuan lebih
didekatkan ke ayahnya.

Anda mungkin juga menyukai