Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF DAN TELAAH


YURISPRUDENSI

Mata Kuliah : Strategi Pembelajaran IPS


Dosen pengampu: Musyarofah, S.Pd.I, M.Pd.

Disusun Oleh :
1. Firda Shohibatul Aslamiah (NIM. 202101090012)
2. Mohammad Ichsan Bawafi (NIM. 202101090024)
3. Tri Wahyu Saputra (NIM. 202101090027)
4. Yuliatin (NIM. 202101090034)

PROGRAM STUDI TADRIS IPS

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH ACHMAD SIDDIQ JEMBER

2022

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah atas puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan limpahan rahmat dan hidayahnya. Sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini tepat pada waktunya.
Dan tidak lupa kami ucapkan terimahkasih atas bantuan dari pihak yang
turut membantu khususnya kepada Ibu Musyarofah,S.Pd.I, M.Pd. selaku pengampu
mata kuliah “Strategi Pembelajaran IPS” atas bimbingan dan dorongan ilmu yang
telah diberikan kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan mengenai karya ilmiah. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik dan saran demi
parbaikan makalah yang akan kami buat di masa mendatang.

Jember, 03 Juni 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

Cover ......................................................................................................................1

Kata Pengantar.......................................................................................................2

Daftar isi..................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4

A. Latar Belakang Masalah ..............................................................................4


B. Rumusan Masalah........................................................................................5
C. Tujuan Masalah............................................................................................6

Bab II PEMBAHASAN.........................................................................................7

A. Pembelajaran Afektif ..................................................................................7


B. Hakekat Pendidikan Nilai dan Sikap Pembelajaran Afektif......................10
C. Proses Pembentukan Sikap Pembelajaran Afektif.....................................11
D. Strategi Pembelajaran Sikap Afektif..........................................................13
E. Kesulitan Dalam Pembelajran Afektif.......................................................18
F. Pengertian Model Telaah Yurispedensi.....................................................19
G. Langkah Langkah Model Telaah Yurispedensi.........................................21

Bab III Penutup....................................................................................................23

A. Kesimpulan................................................................................................23
B. Saran ..........................................................................................................24

Daftar Pustaka .....................................................................................................25

3
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu proses yang berfungsi
membimbing siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan tugas
perkembangannya. Tugas perkembangan tersebut mencakup kebutuhan hidup baik
individu maupun sosial dan juga sebagai makhluk ciptaan Tuhan. oleh karena itu,
proses pembelajaran menjadikan manusia selalu berubah sesuai dengan tugas
perkembangannya. Proses belajar mengajar dalam pendidikan merupakan segi yang
penting dalam meningkatkan kualitas dan kemajuan pendidikan, oleh karena itu
pengadaan pembaharuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa diawali dari proses
pembelajaran yang di dalamnya terdapat beberapa komponen yang dapat
mempengaruhi hasil belajar siswa antara lain: guru, siswa, sarana prasarana, keadaan
kelas, keadaan lingkungan sekolah, dan pembelajaran yang afektif.
Belajar merupakan upaya sadar yang dilakukan individu untuk memperoleh
berbagai macam kemampuan, ketrampilan, dan sikap melalui serangkaian proses
belajar.pembelajaran di sekolah merupakan kegiatan yang melibatkan interaksi antara
guru dan siswa. Interaksi ini memerlukan berbagai cara agar tujuan pembelajaran
dapat tercapai dengan optimum. Tujuan pembelajaran yang optimum hendaknya tetap
memperhatikan tiga ranah kemampuan siswa yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.
Namun dalam prakteknya, proses pembelajaran di sekolah lebih cenderung
menekankan pada pencapaian perubahan aspek kognitif dan psikomotorik. Sistem
pembelajaran yang secara khusus mengembangkan kemampuan afektif kurang
mendapat perhatian, kemampuan afektif hanya dijadikan sebagai efek pengiring
dalam kegiatan pembelajaran yang utama yaitu pembelajaran kognitif atau
pembelajaran psikomotor.
Strategi pembelajaran afektif adalah pembelajaran yang berkaitan dengan
sikap,yang lebih menekankan pada nilai,bagaimana seseorang dapat bertindak dapat
memilah apa yang dipandang benar dan apa yang dipandang salah.ada empat
karakteristik pembelajaran afektif: 1.minat, 2.sikap, 3konsep diri dan 4.nilai.strategi
pembelajaran afektif adalah strstegi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai

4
pendidikan kognitif saja.Melainkan bertujuan untuk mencapai dimensi yang
lainnya.diantaranya sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang
sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam.).
Model pembelajaran telaah yurisprudensi merupakan sebuah model
pembelajaran yang mewajibkan kepda setiap siswanya untuk peka terhadap kasus
kasus yang sedang terjadi dalam sebuah berita. Model ini biasanya digunakan pada
pembelajaran berbasis ilmu sosial. dikarenakan model ini dapat memberikan cara-cara
menganalisis serta langkahlangkah dalam mendiskusikan isu-isu sosial secara
tersistematis. Selain itu, model pembelajaran ini juga membantu siswa untuk
berpartisipasi dalam mendefenisikan ulang nilai-nilai sosial yang terkandung dalam
suatu teks beriringan dengan konteks.
Model pembelajaran telaah yurisprudensi inkuiri bertujuan melatih siswa
untuk peka terhadap permasalahan sosial, mengambil posisi (sikap) terhadap
permasalahan tersebut, serta mempertahankan sikap tersebut dengan argumentasi
yang relevan dan valid. Tentu saja hal ini relevan dengan desain yang dibutuhkan dari
pembelajaran sastra, terutama kegiatan apresiasi puisi. Selain itu, model ini memiliki
keunggulan yang dapat mengajarkan siswa untuk lebih peka terhadap isu yang
berkembang di lingkungan sosialnya, model ini juga dapat membantu siswa untuk
menerima atau menghargai sikap orang lain terhadap suatu masalah yang mungkin
bertentangan dengan sikap yang ada pada dirinya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan diatas, dirumuskan beberapa
rumusan masalah antara lain :
1. Apakah pengertian strategi pembelajaran afektif?
2. Bagaimana hakekat pendidikan nilai dan sikap pembelajaran afektif?
3. Bagaimana proses pembentukan sikap pembelajran Afektif?
4. Bagaimana strategi pembelajran afektif?
5. Apa saja kesulitan dalam pembelajaran Afektif?
6. Apakah Pengertian model Telaah Yurisprudensi?
7. Bagaimana Langkah-langkah model Telaah Yurisprudensi

5
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian dari strategi pembelajaran afektif
2. Untuk mengetahui hakekat dari pendidikan nilai dan sikap pembelajaran afektif
3. Untuk mengetahui proses pembentukan siakap dalam pembelajaran afektif
4. Untuk mengetahui strategi pembelajaran afektif
5. Mengetahui kesulitan apa saja dalam pembelajaran afektif
6. Untuk mengetahui pengertian model telaah yurispedensi
7. Mengetahui langkah langkah modle telaah yurispedensi

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembelajaran Afektif
Pembelajaran afektif terdiri dari dua kata, yakni pembelajaran, dan afektif.
kedua kata tersebut tidak dapat berdiri sendiri melainkan mempunyai hubungan yang
erat antara satu dengan yang lainnya. Sehingga keduanya mempunyai pengertian yang
integral yaitu pengertian pembelajaran afektif atau pembelajaran yang bersifat afektif.
Kata “pembelajaran” merupakan terjemahan dari kata“instruction” 1. Istilah ini
banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif holistik, yang menempatkan siswa
sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh
perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah siswa mempelajari
segala sesuatu lewat berbagai media, seperti bahan-bahan cetak, progam televisi,
gambar, audio dan lain sebagainya. Sehingga semua itu mendorong terjadinya
perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar mengajar, dari guru sebagai
sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar. Sebagaimana
ungkapan Gagne yang dikutip oleh Wina Sanjaya2 dalam bukunya Strategi
Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan, bahwa pembelajaran adalah
“Instruction is a set of event that effect learners in such a way that learning is
facilitated”, yang artinya “Pembelajaran adalah satu rangkaian peristiwa yang
mempengaruhi pelajar sedemikian rupa sehingga pelajaran dimudahkan.” Sehingga
menurut Gagne, mengajar atau teaching merupakan bagian dari pembelajaran
(instruction), di mana peran guru sebagai ditekankan kepada bagaimana merancang
atau mengaransemen berbagai sumber dan fasilitas yang tersedia untuk digunakan
atau dimanfaatkan siswa dalam mempelajari sesuatu.
Dalam istilah “pembelajaran” lebih dipengaruhi oleh perkembangan hasil-
hasil teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan belajar. Dalam hal ini,
siswa diposisikan sebagai subyek belajar yang memegang peranan utama, sehingga

11
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana,
2007), hlm. 102
22
Ibid.hlmn.102

7
dalam setting proses belajar mengajar siswa dituntut beraktifitas secara penuh bahkan
secara individual mempelajari bahan pelajaran3.
Hal itulah yang membedakan antara pembelajaran dan pengajaran. Kalau
dalam istilah pengajaran atau teaching menempatkan guru sebagai “pemeran utama”
memberikan informasi, maka dalam istilah pembelajaran atau instruction, guru lebih
banyak berperan sebagai fasilitator, memenej berbagai sumber dan fasilitas untuk
dipelajari siswa.Selanjutnya, menurut Endang Poerwanti dan Nur Widodo, yang
mengutip pendapatnya Wuryadi menjelaskan bahwa pembelajaran adalah proses
perubahan status siswa dari tidak tahu menjadi tahu yang meliputi pengetahuan, sikap,
dan tingkah laku4.
Sementera itu menurut Oemar Hamalik, pembelajaran adalah suatu kombinasi
yang tersusun dari unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan
prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran 5. Dengan
demikian, dapat diambil pengertian bahwa pembelajaran adalah proses perubahan
status siswa (pengetahuan, sikap dan perilaku) dengan melibatkan unsur-unsur
manusiawi, material, fasilitas, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Sedangakan ranah “afektif” adalah bagian kedua dari
taksonomi tujuan pendidikan yang dirumuskan oleh Benjamin S. Bloom dkk. Ranah
afektif merupakan bagian dari pengalaman belajar, berisi obyek-obyek yang berkaitan
dengan emosi, perasaan atau tingkat penerimaan dan penolakan6.
Istilah ranah afektif dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “ranah” yang
berarti bagian (satuan) perilaku manusia, dan “afektif”berarti berkenaan dengan
perasaan. Jadi ranah afektif merupakan bagian dari tingkah laku manusia yang
berhubungan dengan perasaan7. Dalam buku Taxonomy Of Educational Objective,
David R. Kratwohl et.al menggunakan istilah “domain” yang artinya bidang/daerah
kekuasaan, beliau mengatakan afektif sebagai berikut;“Affective; Objectives which
emphasize a feeling tone, an emotion or a degree of acceptance or rejection, affective

33
Ibid.hlmn.103
44
Endang Poerwanti dan Nur Widodo, Perkembangan Peserta Didik, (Malang: Univesrsitas
Muhammadiyah Malang Pers, 2002), hlm. 4
55
Oemar Hamalik, Kurikulum & Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 70.
66
David R. Krathwohl et. al, Taxonomy Of Educational Objective, The Classicafication Of Educational
Goal, Handbook II; Affective Domain, (London: Longman Group LTD, 1973), cet.9, hlm. 7.
77
Djalinus Syah dkk, Kamus Pelajar (Kata Serapan, B-I), (Jakarta: Rineka Cipta, 1993).

8
objectives vary from simple attention to selected phenomena qualities of character
and conscience. We found a large number of such objectives in the literature
expressed as interests, attitudes, appreciations, values and emotional sets or biases”
8
. “Afektif adalah tujuan-tujuan yang lebih mengutamakan pada perasaan, emosi atau
tingkat penerimaan atau penolakan. Tujuan afektif mengubah dari yang sederhana
menuju fenomena yang komplek (lebih rumit) serta menanamkan fenomena itu sesuai
dengan karakter dan kata hatinya. Kita menemukan sejumlah besar tujuan yang
tampak melalui sikap, minat, apresiasi, nilai dan emosi atau prasangka”.
Menurut Muhammad ‘Ali, kawasan atau ranah afektif adalah kegiatan
instruksional yang berisi interest (minat), sikap, nilai-nilai perkembangan emosi,
apresiasi, dan penyesuaian perasaan sosial 9. Sedangkan menurut Kartini Kartono
dalam kamus psikologi, afektif berasal dari kata affek yang merupakan nama khas
yang mencakup emosi, suasana hati dan perasaan yang kuat, keadaan perasaan dengan
menyertai kesadaran10. Dalam hal ini ranah afektif dimaksudkan untuk
membangkitkan emosi siswa agar ikut berperan aktif dalam pembelajaran. Istilah
“afektif” sendiri sebenarnya mempunyai makna yang sangat luas. Walaupun banyak
tokoh, termasuk para pakar pendidikan yang menyadari pentingnya aspek ini (afektif)
dalam proses pendidikan, akan tetapi belum ada definisi yang dapat disepakati
bersama tentang afektif ini. Dalam kaitannya dengan pendidikan agama, aspek afektif
sering kali disamakan dengan akhlak. Akan tetapi antara afektif dengan akhlak adalah
berbeda, walaupun benar bahwa dalam usaha penanaman akhlak tidak terlepas dari
aspek afektif. Dalam kajian ilmu pendidikan, sebutan untuk karakteristik ini beragam.
Meskipun demikian, sebutan afektif merupakan yang paling luas sejak diterbitkannya
taksonomi tujuan pendidikan oleh Benjamin S. Bloom dan kawan-kawan11.
Sementara itu dalam dunia pendidikan kita afektif diterjemahkan dengan
istilah sikap. Bahkan dalam kurikulum 2004 juga disebutkan dengan istilah
“kecerdasan emosional” 12. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta
didik dalam berbagi tingkah laku; seperti: perhatiannya terhadap mata pelajaran

88
David R. Krathwohl, Taxonomy Of Educational Objective, hlm. 7.
99
Muhammad ‘Ali, Pengembangan Kurikulum Di Sekolah, (Bandung: Sinar Baru, 1989), cet. 2, hlm. 71
1010
Kartini Kartono dan Doligulo, Kamus Psikologi, (Bandung; Pionir Jaya, 1987), hlm. 11.
1111
Benjamin S. Bloom, dkk, Taxonomy Of Objective: Cognitive Domain, (New York: David Mc. Kay,
1956 ), hlm.16.
1212
Departemen Pendidikana Nasional, Pelayanaan Professional Kurikulum 2004:

9
pendidikan agama Islam, kedisiplinannya dalam mengikuti pelajaran agama Islam di
sekolah, motifasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran agama
Islam yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru pendidikan
agama Islam, dan sebagainya13. Ciri-ciri yang lain yaitu adanya perasaan dalam
bentuk ekspresi yang wajar dalam belajar 14. Dalam ranah afektif perasaam siswa
diarahkan untuk menghayati obyek secara langsung, apakah obyek tersebut
bernilai/berharga atau tidak.
Dalam ranah afektif bukan sikap dan nilai saja yang diutamakan, tetapi
meliputi hal yang lebih rumit artinya siswa diharapkan memperhatikan sebuah
fenomena. Selanjutnya ia memberikan sebuah respon tertentu untuk diorganisasikan
dalam dirinya di dalam memberikan penilaian sebuah fenomena dan dalam menonton
tingkah laku moralnya. Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa
pembelajaran afektif adalah pembelajaran yang mengarah pada emosi, suasana hati,
dan perasaan yang nampak melalui minat, sikap, nilai, apresiasi, dan penyesuaian.

B. Hakekat Pendidikan Nilai dan Sikap Pembelajaran Afektif


Telah dijelaskan bahwa sikap (Afektif ) erat kaitannya dengan nilai yang
dimiliki seseorang. Sikap merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki. Oleh karenanya,
pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai. Indah dan tidak indah, layak
dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya. Pandangan seseorang tentang
semua itu tidak tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari
prilaku yang bersangkutan. Oleh karena itulah nilai pada dasarnya standar prilaku,
ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik, indah
dan tidak indah, layak dan tidak layak, dan lain sebagainya, sehingga standar itu yang
akan mewarnai prilaku seseorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya
proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa
dapat berprilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Douglas Graham ( Gulo, 2002 )
melihat empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai
tertentu, yaitu :

1313
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm.54.
1414
W.s. Winkel, Psikologi Pengajaran, (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hlm. 41

10
1. Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma-norma hokum. Selanjutnya
dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu : (1) kepatuhan
pada nilai atau norma itu sendiri, (2) kepatuhan pada proses tanpa memperdulikan
normanya sendiri, (3) kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya
dari peraturan itu.
2. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan
pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
3. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
4. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Dari keempat factor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individu tentu saja
yang kita harapkan adalah kepatuhan yang bersifat normativist, sebab kepatuhan
semacam itu adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai, tanpa
memperdulikan apakah prilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
Selanjutnya dalam sumber yang sama dijelaskan, dari empat factor ini terdapat lima
tipe kepatuhan, yaitu :
1. Otoritarian
2. Conformist. Kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu : (1) conformist
directed, (2) conformist hedonist, (3) conformist integral.
3. Compulsive deviant.
4. Hedonik psikopatik.
5. Supramoralist.
Dalam masyarakat yang cepat berubah seperti dewasa ini, pendidikan nilai
bagi anak merupkan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan pada era globalisasi
dewasa ini, anak akan dihadapkan pada banyak pilihan tentang nilai yang mungkin
dianggapnya baik. Pertukaran dan pengikisan nilai-nilai suatu masyarakat dewasa ini
akan mungkin terjadi secara terbuka. Nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu
kelompok masyarakat bukan tak mungkin akan menjadi lunrut digantikan oleh nilai-
nilai baru yang belum tentu cocok dengan budaya masyarakat.Gulo (2005)
menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut:
a. Nilai tidak bisa diajarka tetapi diketahui dari penampilannya.
b. Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif
dan psikomotorik.

11
c. Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah,
berkembang, sehingga bisa dibina.
d. Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap
tertentu.

C. Proses Pembentukan Sikap Pembelajaran Afektif


1. Pola Pembiasaan
Pada suatu hari Watson melihat ada anak yang senang dengan tikus berbulu
putih. Kemana pun anak itu pergi ia selalu membawa tikus putih yang sangat
disenanginya. Watson ingin mengubah sikap senang anak terhadap tikus putih
menjadi benci atau tidak senang. Maka ketika anak hendak memegang tikus itu,
Watson member kejutan dengan suara keras, hingga anak itu terkejut.Terus menerus
hal itu dilakukan. Ketika anak mendekati dan hendak membawa tikus itu,
dimunculkan suara keras, anak semakin terkejut dan lama-kelamaan anak benar-benar
menjadi takut dengan tikus putih itu. Jangankan ia mau memegang atau
membawanya, melihatnya saja ia menangis dan ketakutan. Mengapa anak berubah
sikapnya dari sikap positif terhadap tikus menjadi sikap negatif? Hal ini disebabkan
kebiasaan (conditioning). Cara belajar sikap demikian menjadi dasar penanaman sikap
tertentu terhadap suatu objek.dalam proses pembelajara disekolah,baik secara disadari
maupun tidak,guu dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses
pembiasaan. Misalnya,siswa yang setiap kali menerima perlakuan yang tidak
mengenakkan dari guru,misalnya perilaku mengejek atau perilaku yang menyinggung
perasaan anak, maka lama kelamaan akan timbul rasa benci dari anak tersebut,dan
perlahan-lahan anak akan mengalihkan sikap negative itu bukan hanya kepada
gurunya itu sendiri,akan tetapi juga kepada mata pelajaran yang diasuhnya.kemudian,
untuk mengembalikannya pada sikap positive bukanlah pekerjaan mudah.
Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh skinner
melalui teorinya operant conditioning. Proses pembentukan sikap melalui pembiasaan
yang dilakukan Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap yang dilakukan
skinner.pembentukkan sikap yang dilakukan skinner menekankan pada proses
peneguhan respon pada anak. Setiap kali anak menunjukkan prestasi yang baik

12
diberikan penguatan ( reinforcement ) dengan cara memberikan hadiah atau perilaku
yang menyenangkan. Lama kelamaan anak berusaha meningkatkan sikap positifnya.
2. Modeling
Pembelajaran sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modeling,
yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh.salah satu
karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk
melakukan peniruan. Hal yang ditiru itu adalah prilaku-prilaku yang diperagakan atau
didemonstrasikan oleh orang yang menjadi idolanya. Prinsip peniruan ini yang
dimaksud dengan modeling. Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang
lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya.Model Strategi
Pembelajaran Sikap.
Setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkn siswa pada
situasi yang mengandung konflik atau situasi yang problematic. Melalui situasi ini
diharapkan siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai yang dianggapnya
baik. Dibawah ini disajikan beberapa model strategi pembelajaran pembentukan
sikap.
a. Model Konsiderasi
Model konsiderasi dikembangkan oleh Mc. Paul, seorang humanis. Paul
menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif
yang rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan
kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan
kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah
agar menjadi siswa menjadi manusia yag memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Kebutuhan yang fundamental pada manusia adalah bergaul secara harmonis dengan
orang lain, saling member dan menerima dengan penuh cinta dan kasih saying.
Dengan demikian, pembelajaran sikap pada dasarnya adalah membantu anak agar
dapat mengembangkan kemampuan untuk bisa hidup bersama secara harmonis,
peduli, dan merasakan apa yang dirasakan orang lain.
b. Model Pengembangan Kognitif
Model pengembangan kognitif dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg.
Model ini banyak diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean Piaget yang

13
berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi
kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu.

c. Teknik Mengklarifikasi Nilai


Teknik mengklarifikasi nilai (value clarification technique) atau sering
disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa
dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi
suatu persoalan melalui proses menganlisa nilai yang sudah ada dan tentram dalam
diri siswa.
Kelemahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah
proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menenamkan
nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memperhatikan nilai yang sudah tertanam
dalam diri siswa. Akibatnya, sering terjadi benturan atau konflik dalam diri siswa
karena ketidakcocokan antara nilai lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru yang
ditanamkan oleh guru. Siswa sering mengalami kesulitan dalam menyelaraskan nilai
lama dan nilai baru.
Salah satu karakteristik VCT sebagai model dalam strategi pembelajaran sikap adalah
proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada
sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan nulai-nilai baru
yang hendak ditanamkan.

D. Strategi Pembelajaran Sikap Afektif


Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan
untuk mencapai pendidikan kognitif saja, akan tetai juga bertujuan untuk mencapai
dimensi lainya. Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume
yang sulit di ukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam,
afeksi juga dapat muncul dalam kejadian behavioral yang diakibatkan dari proses
pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
1. Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap.
Sikap (afektif) erat kaitanya dengan nilai yang dimiliki oleh seseorang, sikap
merupakan refleksi dari nilai yang dimiliki, oleh karenanya pendidikan sikap pada

14
dasarnya adalah pendidikan nilai. Nilai, adalah suatu konsep yang berada dalam
pikiran manusia yang sifat-sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang
empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk,
layak dan tidak layak, pandangan seseorang tentang semua itu, nilai pada dasarnya
adalah setandar perilaku seseorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya
proses penanaman perilaku kepada peserta didik yang diharapkan kepada siswa dapat
berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggap baik dan tidak bertentangan
dengan norma-norma yang berlaku.
a. Normativist : Kepatuhan yang terdapat pada norma-norma hukum.
b. Integralist : Kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dan pertimbangan-
pertimbangan yang rasional.
c. Fenomalist : Kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
d. Hedonist : Kepatuhan berdasarkan diri sendri.
Sikap adalah kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu
objek berdasarkan nilai yang di anggap baik atau tidak baik. Dengan demikian,
berlajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu
objek penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna atau berharga (sikap
positif) dan tidak berguna atau berharga (sikap negatif).
2. Proses pembentukan sikap
Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara di sadari maupun tidak,
guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan,
misalnya sikap siswa yang setiap kali menerima perilaku yang tidak menyenangkan
dari guru, satu contoh mengejek atau menyinggung perasaan anak. Maka lama
kelamaan akan timbul perasaan benci dari anak yang pada akhirnya dia juga akan
membenci pada guru dan mata pelajarannya.Pembelajaran sikap dapat juga dilakukan
melalui proses modeling yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau
proses pencontoaan. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang
adalah keinginan untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang di tiru itu adalah
perilaku-perilaku yang di peragakan atau di demontrasikan oleh orang yang menjadi
idman. Modering adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi
idolanya atau orang yang di hormatinya. Pemodelan biasanya di nilai dari perasaan
kagum.

15
3. Model strategi pembelajaran sikap
Setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada
situasi yang mengandung konflik atau situasi problematic, melalui situasi ini
diharapkan siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai yang di anggapnya
baik.

a. Model Konsiderasi
Model konsiderasi di kembangkan oleh Mc Paul, seorang humanis, paul
menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif
yang rasional. Menurutnya pembentukan atau pembelajaran moral siswa adalah
pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini
menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk keperibadian,
tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki keperibadian terhadap
orang lain.
b. Model Pengembangan Kognitif
Model ini banyak diilhami oleh pemikiran John dewey dan Jean Piage yang
berpendapat bahwa perkembangan manusia menjadi sebagai proses darirestrukturisasi
kognitif yang berlangsung serta berangsur-angsur menurut aturan tertentu.
c. Tehnik Mengklarifikasikan Nilai
Tehnik volume clarification technic Que atau VCT dapat di tarik sebagai
tehnik pengajaran untuk membentuk siswa dalam menerima dan menentukan suatu
nilai yang di anggapnya baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses
menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. VCT menekankan
bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai menurut anggapanya baik, yang
pada akhirnya nilai-nilai tersebut akan mewarnai perilaku dalam kehidupan sehari-
hari di masyarakat.
Kesulitan Dalam Pembelajaran Afektif, Kesulitan dalam pembelajaran afektif
ini dikarnakan Sulit melakukan control karma banyak faktor yang dapat
mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap
baik melalui proses pembiasaan maupun modeling bukan hanya di temukan oleh
faktor guru, akan tetapi faktor lain terutama faktor lingkungan. Keberhasilan
pembentukan sikap tidak bisa di evaluasi dengan segera. Berbeda dengan aspek

16
kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses
pembelajaran berakhir, keberhasilan dari pembentukan sikap dapat dilihat pada
rentang waktu yang cukup pnjang. Hal ini disebabkan sikap berhubungan dengan
internalisasi nilai yang memerlukan proses lama. Pengaruh kemajuan teknologi,
berdampak pada pembentukan karakter anak, tidak bisa dipungkiri program-program
TV yang menayangkan acara produksi luar negri yang memiliki latar belakang
budaya yang berbeda, maka dari itu perlahan tapi pasti budaya asing yang belum
cocok dengan budaya lokal menerobos dalam setiap ruang kehidupan.
d. Afektif Sebuah Strategi Pembelajaran Terapan
Pembelajaran Afektif banyak yang beranggapan bukan untuk diajarkan,
seperti pelajaran biologi, fisika ataupun matematika. Pembelajaran afektif merupakan
pembelajaran bagaimana sikap itu terbentuk setelah siswa atau manusia itu
memperoleh pembelajaran. Oleh karena itu yang pas untuk afektif bukanlah
pengajaran, melainkan pendidikan. Strategi pembelajaran yang akan kita bahas ini
diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang bukan hanya dimensi kognitif
tetapi juga menyangkut dimensi lainnya yakni sikap dan keterampilan, melalui proses
pembelajaran yang menekankan kepada aktifitas siswa sebagai subjek belajar. Afektif
berhubungan sekali dengan nilai (value), yang sulit diukur karena menyangkut
kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu, memang Afektif
dapat muncul dalam kejadian berhavioral, akan tetapi penilaiannya untuk sampai pada
kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan membutuhkan ketelitian dan
observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan, apalagi
menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru
disekolah. Kita tidak serta merta menilai sikap anak itu baik. Sebagai contoh melihat
kebiasaan berbahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses
pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh
kebiasaan dalam keluarga dan lingkungan sekitar.
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya
tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan
pandangan seseorang tentang baik dan buruk, layak dan tidak layak indah dan tidak
indah dan sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba, kita
hanya mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena

17
itu, nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria
seseorang mengenai baik dan buruk, layak dan tidak tidak layak dan sebagainya.
Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya merupakan proses penanaman niali
kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berprilaku sesuai
dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-
norma yang berlaku. Ada empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang
terhadap niali tertentu yang dikemukakan oleh Douglas Graham (Gulo, 2002) yaitu :
1) Normativist
Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum, kepatuhan pada nilai atau norma
itu sendiri ; kepatuhan pada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri ;
kepatuhan pada haslinya atau tujuan yang diharapkan dari peraturan itu.
2) Integralist
Yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-
pertimbangan yang rasional
3) Fenomenalist
Yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
4) Hedonist
Yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri. Faktor Normativist adalah
faktor yang kita harapkan menjadi dasar kepatuhan setiap individual, karena
kepatuhan semacam inilah adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai
tanpa memperdulikan apakah perilaku itu menguntungkan untuk dirinya atau
tidak. diterapkan sebagai filter terhadap perilaku yang negatif. Nilai pada
seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah. Setiap orang akan
menganggap sesuatu itu baik.

E. Kesulitan Dalam Pembelajran Afektif


Aspek pembentukan kemampuan intelektual untuk membentuk kecerdasan
peserta didik dan pembentukan keterampilan untuk mengembangkan kompotensi agar
peserta didik memiliki kemampuan motorik, maka pembentukan sikap peserta didik
merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya, hal ini disebabkan proses
pembentukan dan pembelajaran akhlak yang memiliki beberapa kesulitan. pertama
selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cendrung

18
diarahkan untuk pembentukan intelektual. Dengan demikian keberhasilan proses
pendidikan dan proses pembelajaran di sekolah ditentukan oleh kriteria kemampuan
intelektual kemampuan kognitif. Akibatnya upaya yang dilakukan setiap guru
diarahkan kepada bagaimana agar anak menguasai sejumlah pengetahuan sesuai
dengan standart isi kurikulum berlaku, oleh karena itu kemampuan intelektual identik
dengan penguasai materi pelajaran.
Kedua sulitya melakukan control karena banyak faktor yang dapat
mempengaruhi perkembangan sikap seseorang, pengembangan kemampuan sikap
baik melalui proses pembiasaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh
faktor guru akan tetapi juga faktor lainnya misalnya ketika anak di ajarkan tentang
keharusan bersikap jujur dan disiplin maka sikap tersebut sulit diinternalisasi
manakala lingkungan luar sekoalh anak banyak melihat prilaku ketidak jujuran dan
ketidak disiplinan walaupun guru di sekolah begitu keras menekankan pentingnya
sikap tertib berlalu lindas mak sikap tersebut akan sulit diadopsi oleh anak manakala
ia melihat banyak pelanggaran rambu lintas yang ada di jalan.
ketiga pengaruh kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi yang
menyuguhkan aneka pilihan program acara berdampak pada pembentukan krakter
anak, misalnya penayangan program acara produksi luar yang memiliki latar budaya
yang berbeda,kebutuhan pendidikan yang berbeda, dan ditonton oleh anak sangat
sangat berpengaruh dalam pembentukan siap dan mentalnya. Keempat keberhasilan
pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera karena penilian afektif
berkaitan dengan perasaan, sikap,minat, dan apresiasi, berbeda dengan pembentuak
aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran
berakhir maka keberhasialn pembentukan sikap dapat dilihat pada rentang waktu yang
cukup panjang. Sebagai contoh kita tidak dapat menyimpulkan bahwa seseorang telah
memiliki sikap jujur hanya dengan melihat suatu kejadian tertentu, selain sikap jujur
perlu diuraikan indikator yang mungkin masih banyak , juga yang menilai secara jujur
perlu dilakukan secara terus menerus hingga mengkristal dalam segala tindakan dan
perbuatan.

F. Pengertian Model Telaah Yurispedensi

19
Model pembelajaran biasanya disusun berdasarkan berbagai prinsip atau teori
pengetahuan. Para ahli menyusun model pembelajaran berdasarkan prinsip-prinsip
pendidikan, teori-teori psikologis, sosiologis, psikiatri, analisis sistem, atau teori-teori
lain (Joyce dan Weil, 1980).Trianto, (2011: 21), Secara kaffah model dimaknakan
sebagai suatu objekatau konsep yang digunakan untuk merepresentasikan sesuatu hal.
Sesuatuyang nyata dan di konversi untuk sebuah bentuk yang lebih
komprehensif.Atau model diartikan juga sebagai rencana, representasi, atau deskripsi
yangmenjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep, yang seringkali
berupapenyederhanaan atau idealisasi.
Pembelajaran adalah kegiatan yang ditujukan untuk membelajarkansiswa.
Dalam pengertian lain pembelajaran adalah usaha-usaha yang terencana dalam
memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam diri siswa.
Pembelajaran menurut Degeng adalah upaya untuk membelajarkan pebelajar. Dari
beberapa pengertian pembelajaran tersebut,dapat disimpulkan bahwa inti dari
pembelajaran itu adalah segala upaya yangdilakukan oleh guru (pendidik) agar terjadi
proses belajar pada diri siswa.Secara implisit, di dalam pembelajaran, ada kegiatan
memilih, menetapkan dan mengembangkan metode untuk mencapai hasil
pembelajaran yangdiinginkan. Pembelajaran lebih menekankan pada cara-cara untuk
mencapai tujuan dan berkaitan dengan bagaimana cara mengorganisasikan
materipelajaran, menyampaikan materi pelajaran, dan mengelola pembelajaran.
Trianto, (2011: 22), Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu
pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakanpembelajaran dikelas atau
pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukanperangkat-perangkat pembelajaran
termasuk didalamnya buku-buku, film komputer, kurikulum dan lain-lain. Joyce
menyatakan bahwa setiap model pembelajaran mengarahkan kita ke dalam mendesain
pembelajaran untukmembantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan
pembelajarantercapai.
Soekamto, mengemukakan maksud dari model pembelajaran adalah kerangka
konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan
pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai
pedoman bagi para perancang pembelajarandan para pengajar dalam merencanakan
aktivitas belajar mengajar.Kesimpulannya model pembelajaran diartikan sebagai

20
prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai
tujuan belajar.Dapat juga diartikan suatu pendekatan yang digunakan dalam
kegiatanpembelajaran.
Model pembelajaran Telaah Yurisprudensi (Juris Prudenstial Inquiry) yang di
pelopori oleh Donal Oliver dan James P. Shaver ini didasarkan atas pemahaman
masyarkat dimana setiap orang berbeda pandangan dan perioritas satu sama lain, dan
nilai-nilai sosialnya saling berkonfrontasi satu sama lain.Memecahkan masalah
kompleks dan kontroversial di dalam konteks aturan sosial yang produktif
membutuhkan warga negara yang mampu berbicara satusama lain dan bernegosiasi
tentang keberadaan tersebut.Model Telaah Yurisprudensi (Juris Prudenstial Inquiry)
adalah model pembelajaran untuk membantu siswa agar mampu berfikir secara
sistematis tentang asal-usul di masyarakat khususnya dilingkungan pendidikan.
Manfaat model pembelajaran telaah yurisprudensi inquiri adalah untuk melatih agar
siswa peka terhadap permasalahan-permasalahan sosial, sehingga bisa mengambil
sikap terhadap permasalahan yang dihadapi, serta mempertahankan sikap tersebut
dengan argumentasi yang relevan dan valid.Model pembelajaran telaah yurisprudensi
juga bermanfaat untuk melatih siswa agar dapat menerima dan menghargai sikap
terhadap orang lain walaupun bertentangan dengan dirinya dan mengakui kebenaran
sikap yang diambil orang lain terhadap suatu isu sosial tertentu.
Model pembelajaran telaah yurisprudensi (Jurisprudential inquiry)
meningkatkan pemikiran siswa atau peserta didik, yaitu timbulah suatu pemikiran-
pemikiran baru atau pendapat dari tiap-tiap siswa di dalam suatu pembelajaran yang
di namakan dengan berfikir kritis (Model Pembelajaran, hlm.31).Model pembelajaran
telaah yurisprudensi (Juris Prudenstial Inquiry) ini berdasarkan dengan adanya
pemahaman masyarakata bahwa masing-masing individu karakternya tidak sama
sehingga nilai-nilai sosialnya saling berkonfrontasi satu sama lain. Model
pembelajaran ini sangat penting untuk mengatur sikap anak yang baik dalam
menghadapi masalah yang selalu muncul. Argumentasi-argumentasi yang logis
relevan dan solid model ini melatih siswa untuk menghargai orang lain walaupun
bertentangan pendapat atau siswa harus mau mengakui kelebihan orang lain.

G. Langkah Langkah Model Telaah Yurispedensi

21
Model pembelajaran telaah yurisprudensi (Juris Prudential Inquiry)mempunyai
langkah-langkah sebagai berikut :
a. Guru Memperkenalkan kepada peserta didik materi-materi kasus dan mengkajinya
(orientasi terhadap kasus).
b. Peserta didik mensintesis fakta, mengaitkan dengan isu-isu umum dan
mengidentifikasikan nilai-nilai yang terlibat dalam kasus tersebut
(mengidentifikasi isu).
c. Peserta didik diminta mengambil sikap atau pendapat terhadap isu tersebut dan
menyatakan sikapnya (pengambilan posisi atau sikap).
d. Menggali sikap (posisi atau pendapat) peserta didik lebih mendalam.Upayakan
peserta didik untuk mengajukan argumen logis dan rasionaluntuk mendukung
sikap yang telah diambilnya.
e. Memperjelas ulang dan memperkuat terhadap sikap yang telah diambil.
f. Guru menguji atau mendiskusikan apakah argumen yang digunakanuntuk
mendukung sikap tersebut relevan dan valid.

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembelajaran afektif terdiri dari dua kata, yakni pembelajaran, dan afektif.
kedua kata tersebut tidak dapat berdiri sendiri melainkan mempunyai hubungan yang
erat antara satu dengan yang lainnya. Sehingga keduanya mempunyai pengertian yang
integral yaitu pengertian pembelajaran afektif atau pembelajaran yang bersifat
afektif.dalam istilah “pembelajaran” lebih dipengaruhi oleh perkembangan hasil-hasil
teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan belajar. Dalam hal ini, siswa
diposisikan sebagai subyek belajar yang memegang peranan utama, sehingga dalam
setting proses belajar mengajar siswa dituntut beraktifitas secara penuh bahkan secara
individual mempelajari bahan pelajaran.hal itulah yang membedakan antara
pembelajaran dan pengajaran. Kalau dalam istilah pengajaran atau teaching
menempatkan guru sebagai “pemeran utama” memberikan informasi, maka dalam
istilah pembelajaran atau instruction, guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator,
memenej berbagai sumber dan fasilitas untuk dipelajari siswa.
Model pembelajaran Telaah Yurisprudensi (Juris Prudenstial Inquiry) yang di
pelopori oleh Donal Oliver dan James P. Shaver ini didasarkan atas pemahaman
masyarkat dimana setiap orang berbeda pandangan dan perioritas satu sama lain, dan
nilai-nilai sosialnya saling berkonfrontasi satu sama lain.Memecahkan masalah
kompleks dan kontroversial di dalam konteks aturan sosial yang produktif
membutuhkan warga negara yang mampu berbicara satusama lain dan bernegosiasi
tentang keberadaan tersebut.Model Telaah Yurisprudensi (Juris Prudenstial Inquiry)
adalah model pembelajaran untuk membantu siswa agar mampu berfikir secara
sistematis tentang asal-usul di masyarakat khususnya dilingkungan pendidikan.
Manfaat model pembelajaran telaah yurisprudensi inquiri adalah untuk melatih agar
siswa peka terhadap permasalahan-permasalahan sosial, sehingga bisa mengambil
sikap terhadap permasalahan yang dihadapi, serta mempertahankan sikap tersebut
dengan argumentasi yang relevan dan valid.Model pembelajaran telaah yurisprudensi
juga bermanfaat untuk melatih siswa agar dapat menerima dan menghargai sikap

23
terhadap orang lain walaupun bertentangan dengan dirinya dan mengakui kebenaran
sikap yang diambil orang lain terhadap suatu isu sosial tertentu.
Model pembelajaran telaah yurisprudensi (Jurisprudential inquiry)
meningkatkan pemikiran siswa atau peserta didik, yaitu timbulah suatu pemikiran-
pemikiran baru atau pendapat dari tiap-tiap siswa di dalam suatu pembelajaran yang
di namakan dengan berfikir kritis (Model Pembelajaran, hlm.31).Model pembelajaran
telaah yurisprudensi (Juris Prudenstial Inquiry) ini berdasarkan dengan adanya
pemahaman masyarakata bahwa masing-masing individu karakternya tidak sama
sehingga nilai-nilai sosialnya saling berkonfrontasi satu sama lain. Model
pembelajaran ini sangat penting untuk mengatur sikap anak yang baik dalam
menghadapi masalah yang selalu muncul. Argumentasi-argumentasi yang logis
relevan dan solid model ini melatih siswa untuk menghargai orang lain walaupun
bertentangan pendapat atau siswa harus mau mengakui kelebihan orang lain.

B. SARAN
Demikianlah makalah ini kami susun, semoga makalah ini bermanfaat bagi para
pembaca. Dalam penulisan ini kami sadari masih banyak kekurangan, saran dan kritik
yang membangun sangat kami harapkan untuk menyempurnakan makalah kami ini.

24
DAFTAR PUSTAKA

Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2009), hlm.54.
Benjamin S. Bloom, dkk, Taxonomy Of Objective: Cognitive Domain, (New York:
David Mc. Kay, 1956 ), hlm.16.
David R. Krathwohl et. al, Taxonomy Of Educational Objective, The Classicafication
Of Educational Goal, Handbook II; Affective Domain, (London: Longman
Group LTD, 1973), cet.9, hlm. 7.

David R. Krathwohl, Taxonomy Of Educational Objective, hlm. 7.

Departemen Pendidikana Nasional, Pelayanaan Professional Kurikulum 2004:

Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta : Dirjen Dikdas.

Djalinus Syah dkk, Kamus Pelajar (Kata Serapan, B-I), (Jakarta: Rineka Cipta, 1993).

Jaedun, A. . tth. Penilaian ranah Afektif. Yogyakarta: Fakultas Teknik

Endang Poerwanti dan Nur Widodo, Perkembangan Peserta Didik,


(Malang:Univesrsitas Muhammadiyah Malang Pers, 2002), hlm. 4.

Oemar Hamalik, Kurikulum & Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 70.

Penilaian Kelas, (Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2003), hlm. 7

Kartini Kartono dan Doligulo, Kamus Psikologi, (Bandung; Pionir Jaya, 1987), hlm.
11

Muhammad ‘Ali, Pengembangan Kurikulum Di Sekolah, (Bandung: Sinar Baru,


1989), cet. 2, hlm. 71.

Oemar Hamalik. 2002 Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru.

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,


(Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 102

W.s. Winkel, Psikologi Pengajaran, (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hlm. 41

25
26

Anda mungkin juga menyukai