Anda di halaman 1dari 17

PENGETAHUAN DAN UKURAN KEBENARAN

Makalah Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Filsafat Umum

DISUSUN OLEH:
Kelompok 3

1. Muhammad Royhan (22010017)


2. Puja (22010007)
3. Siti Rukiah (22010023 )

SEMESTER : III

DOSEN PENGAMPU:
Ali Jusri Pohan, M.Pd.l

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
MANDAILING NATAL
T.A. 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta
alam.Rahmat dan keselamatan semoga senantiasa dilimpahkan Allah Kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta para pengikutnya yang
setia hingga akhir zaman. Dan tak lupa penulis bersyukur atas tersusunnya
makalah ini.
Sebelumnya kami ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu
yang telah memberikan kami kesempatan untuk membahas Makalah yang
berjudul Pengetahuan dan Ukuran Kebenaran.
Tujuan kami menyusun makalah ini adalah tiada lain untuk memperkaya
ilmu pengetahuan kita semua dan untuk memenuhi tugas mata kuliah.
Kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca
dan pihak-pihak yang membutuhkan untuk dijadikan literatur. Apabila dalam
penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, kami mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh...

Panyabungan, 07 September 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan Makalah 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Artinya Kebenaran 3
B. Teori kebenaran 5
C. Sifat kebenaran ilmiah 12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 13
B. Saran 13
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengetahuan tumbuh dari rasa ingin tahu yang merupakan ciri khas
manusia, karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan
ilmu pengetahuan dengan sungguh-sungguh.m Hewan juga mempunyai
pengetahuan, namun pengetahuan tersebut hanya sebatas untuk tujuan
kelangsungan hidup saja. Manusia mengembangkan ilmu pengetahuan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.

Ia memikirkan hal-hal baru, karena ia tidak hanya hidup untuk bertahan


hidup, tetapi yang lebih penting, masyarakat mengembangkan budaya dan
memberi makna pada kehidupan. Orang-orang "memanusiakan diri mereka
sendiri dalam hidup". Hal inilah yang mendorong manusia untuk berusaha
memperluas ilmunya dan berusaha menemukan hakikat kebenaran dalam ilmu
yang diperolehnya.

Hal ini pula yang mendorong manusia menjadi makhluk unik yang hidup
di muka bumi ini. Pengetahuan tumbuh dari rasa ingin tahu yang merupakan ciri
khas manusia karena hanya manusialah makhluk yang mengembangkan ilmu
pengetahuan dengan sungguh-sungguh. Hewan juga mempunyai pengetahuan,
namun pengetahuan tersebut hanya sebatas untuk tujuan kelangsungan hidup saja.

Manusia mengembangkan ilmu pengetahuannya untuk mengatasi


kebutuhan kelangsungan hidup tersebut dan berbagai permasalahan seputar
kehidupan. Orang selalu penasaran dengan cita-cita hidup. Yang harus dicapai
adalah ilmu yang sejati, kebenaran hidup. Manusia adalah makhluk rasional yang
selalu ingin mencari kebenaran.

Melalui akal, manusia dapat mengembangkan kemampuan-kemampuan


spesifik manusia, antara lain kreativitas, perasaan, dan karsa. Ketika orang melihat
sebuah pantai, seperti Pantai Tanjung A'an di Pulau Lombok, mereka akan
terkagum-kagum dengan pasir putihnya. Keindahan alam yang indah ini menyita

1
2

perhatian orang-orang, setidaknya mereka ingin tahu apakah hidup itu benar-benar
seperti pasir atau tidak?

Siapa yang menciptakan ribuan, bahkan jutaan butiran pasir putih dan
apa maknanya bagi manusia? Pada bagian pembahasan artikel ini penulis
mencoba menjelaskan ilmu dan ukuran kebenarannya, meliputi hakikat ilmu, cara
memperolehnya, ilmu itu diperoleh dari mana atau dari mana dan apakah ilmu itu
benar atau sebaliknya. Dan apa yang menjadi tolak ukur keaslian ilmu yang
diperoleh?

B. Rumusan Masalah
1. Apa Artinya Kebenaran?
2. Bagaimana Teori kebenaran?
3. Bagaimana Sifat kebenaran ilmiah?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengetahui Artinya Kebenaran
2. Untuk mengetahui Teori kebenaran
3. Untuk mengetahui Sifat kebenaran ilmiah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Artinya Kebenaran

Manusia sebagai subjek mengetahui hakikat suatu benda yang


berkembang karena kreatifitas manusia mencapai puncaknya pada waktu tertentu.
Menurut Semiawan dkk, berpendapat bahwa setiap evolusi ilmu pengetahuan
selalu diawali dengan latihan intelektual yang dilakukan oleh sekelompok
ilmuwan tertentu yang mengembangkan suatu gagasan baru, yang kemudian
berkembang menjadi suatu konsep baru, kemudian menjadi konsep baru atau
model pengetahuan baru yang menghasilkan gagasan baru. belum ada. ada
sebelumnya atau tidak ada sebelumnya. Kami tidak mengharapkan itu.1

Akan ada tindakan kreatif yang muncul dari sesuatu yang inovatif, dari
kontribusi pengetahuan yang ada sebagai batu loncatan menuju transformasi
mendasar. Munculnya berbagai teori ilmiah (ilmiah) disebabkan karena manusia
dengan kecenderungan kreatifnya telah mencapai puncak perdebatan tentang apa
yang disebut sebagai kebenaran ilmiah.

Menurut Lincoln dan Kuba (1985) sebagaimana dikemukakan Julienne


Ford dalam Paradigms and Fairy Tales (1975) menunjukkan bahwa istilah
kebenaran atau kebenaran (T) dapat mempunyai arti yang berbeda-beda yang
dilambangkan dengan T1, T2, T3, T4 (Supriadi, 1998). Kebenaran pertama (T1)
adalah kebenaran metafisik.2

Faktanya, kebenaran ini tidak dapat diverifikasi (baik dengan pembenaran


atau distorsi/kritik) berdasarkan standar eksternal seperti kesesuaian dengan alam,
logika deduktif atau standar perilaku profesional. Kebenaran metafisik merupakan
kebenaran yang paling mendasar dan puncak dari segala kebenaran (fundamental
and ultimate truth), oleh karena itu harus diterima apa adanya (taken for grant).
Misalnya kebenaran iman dan doktrin agama yang mutlak Kebenaran kedua (T2)

1
Conny Semiawan, 1999. Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: PT. Gramedia, h. 92
2
Lincoln and Guba. (1985). Qualitative Research. Singapore. Singapore: Mc. Graw Hill
Book Co, h. 14

3
4

adalah kebenaran etis yang mengacu pada seperangkat standar etika atau
profesional mengenai perilaku yang pantas, termasuk kode etik.

Seseorang dikatakan benar secara moral jika ia berperilaku sesuai dengan


standar perilaku tersebut. Asal usul T2 dapat berasal dari T1 atau dari norma
sosiokultural kelompok sosial atau komunitas profesional tertentu.

Beberapa dari kebenaran ini bersifat absolut (memenuhi standar moral


universal) dan yang lainnya bersifat relatif. Kebenaran ketiga (T3) adalah
kebenaran logis. Sesuatu dikatakan benar jika konsisten secara logis atau
matematis dengan apa yang telah diakui kebenarannya (dalam pengertian T3)
atau konsisten dengan apa yang benar menurut keyakinan metafisik (T1).
Aksioma metafisik bahwa sudut segitiga sama sisi berukuran 60 derajat, atau
1+1=2, adalah contoh kebenaran logis.3

Peran proporsi atau logika sangat menonjol dalam T3. Namun, seperti
halnya kebenaran T2, kebenaran ini tidak lepas dari konsensus pihak-pihak yang
terlibat. Kalaupun 1 + 1 = 2 pada dasarnya merupakan hasil konsensus, mengapa
tidak 1 + 1 = 3? Namun karena konsensus tersebut masuk akal, maka konsensus
tersebut diterima secara umum. Kebenaran keempat (T4) merupakan kebenaran
eksperimental yang sering dianggap sebagai landasan penelitian para ilmuwan.

Hal-hal yang sesuai (hipotesis keyakinan, postulat, hipotesis, proposisi)


dianggap benar apabila sesuai dengan kenyataan kodrati, dalam arti dapat
diverifikasi, dibenarkan, atau dikritisi. Dalam konteks ini, teori korespondensi
antara teori dan fakta, antara pengetahuan apriori dan pengetahuan a posteriori
(sebagaimana Immanuel Kant menyebutnya), menjadi persoalan utama. Dari
keempat jenis kebenaran menurut Ford di atas, dalam penelitian ilmiah filosofis,
penelitian berfokus pada kebenaran empiris (T4) yang disebut juga kebenaran
ilmiah, tentunya tidak mengabaikan kebenaran pertama dan kedua, kedua dan
ketiga. Kebenaran ilmiah menyangkut subjek (orang, yang mengetahui, pengamat)
dan objek (fakta, fakta, dan hal yang diketahui).

3
Surajiyo, Ilmu Filsafat : Suatu pengantar, Jakarta : PT. Bumi aksara, 2005, h. 58.
5

B. Teori kebenaran

Purwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, 4 jelaskan bahwa


kebenarannya adalah 1). Keadaan (benda, dan lain-lain) adalah nyata (sesuai
dengan peristiwa atau situasi nyata. Misalnya saya masih meragukan keaslian
berita ini, kita harus berani membela kebenaran dan keadilan. 2). Sesuatu itu
benar (benar-benar ada, benar-benar ada, dan sebagainya). Misalnya kebenaran
yang diajarkan agama. 3). Kejujuran, keutuhan hati, misalnya, tidak ada seorang
pun yang akan mengakui kebaikan dan kebenaran hati Anda. Pada saat yang
sama, menurut Abbas Hamami5, kata “kebenaran” dapat digunakan sebagai kata
benda konkrit atau abstrak. Jika subjek ingin berkata jujur, berarti proposisinya
benar.

Klausa menentukan makna yang terkandung dalam satu klausa atau lebih
Keberadaan kebenaran selalu dikaitkan dengan persepsi manusia (subjek
kognitif) terhadap objek.6 Dengan demikian, kebenaran bergantung pada sejauh
mana subjek memiliki pengetahuan terhadap objek tersebut. Sedangkan ilmu
pengetahuan berasal dari banyak sumber. Sumber-sumber ini kemudian juga
berfungsi sebagai ukuran kebenaran.

Berikut teori-teori tentang kebenarannya.

1. Teori korespondensi (teori kebenaran korespondensi)

Teori Kebenaran Korespondensi, Teori Korespondensi Teori kebenaran,


kadang-kadang disebut teori kebenaran, adalah teori yang menyatakan bahwa
pernyataan itu benar jika sesuai dengan fakta atau pernyataan yang ada di alam
atau dengan objek yang menjadi tujuan pernyataan tersebut.

Suatu fakta atau suatu keadaan dikatakan benar apabila terdapat kesesuaian
antara makna yang dimaksudkan dari suatu pernyataan atau pendapat dan pokok

4
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Referensi, 2012), h. 96.
5
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberti, 2003), cet-3, h. . 135
6
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 85.
6

permasalahan yang dibicarakan dalam pernyataan atau pendapat itu. 7 Kebenaran


atau suatu keadaan diyakini benar. kesesuaian antara makna yang dimaksudkan
dari suatu opini dan fakta.

Suatu proposisi dikatakan benar apabila terdapat suatu fakta yang


bersesuaian dengannya dan menyatakan apa adanya.8 Teori korespondensi ini
sering dianut oleh kaum realis. Pionir teori ini antara lain Plato, Aristoteles,
Moore dan Ramsey. Teori ini dikembangkan oleh Bertrand Russell (1972-1970) 9.
Teori ini sering dikaitkan dengan teori pengetahuan empiris.

Teori kebenaran korespondensi merupakan teori kebenaran tertua, sehingga


dapat digolongkan sebagai teori kebenaran tradisional karena Sejak awal,
Aristoteles (sebelum abad modern) menghendaki agar kebenaran pengetahuan
konsisten dengan realitas atau realitas yang ia ketahui. 10 Permasalahan yang
muncul adalah apakah realitas itu obyektif atau subyektif?

Ada dua pandangan mengenai persoalan ini, realisme epistemik dan


idealisme epistemik. Realisme epistemologis meyakini adanya realitas yang
mandiri (mandiri), tidak bergantung pada pemikiran; dan kita tidak dapat
mengubahnya jika kita mengalaminya atau memahaminya.

Inilah sebabnya mengapa realisme epistemologis terkadang disebut


objektivisme. Sedangkan idealisme epistemologis berpendapat bahwa setiap
tindakan berakhir pada suatu gagasan, yang merupakan peristiwa subjektif 11.
Kedua bentuk pandangan realitas di atas sangatlah berbeda. Idealisme
epistemologis menekankan bahwa kebenaran adalah apa yang ada dalam dunia
gagasan.

7
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13), h. 57.
8
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h.
112
9
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13), h. 54
10
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu; Positivisme, Post Positivisme dan Post
Modernisme, (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001, Edisi-2), h. 20.
11
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h.
114
7

Jadi melihat warna merah, manis, sakit, gembira, harapan, dll. ada banyak
ide. Oleh karena itu, idealisme epistemologis sebagaimana didefinisikan di atas
identik dengan subjektivitas. Kesimpulan dari teori korespondensi adalah adanya
dua realitas yang ada di hadapan manusia: pernyataan dan realitas. Menurut teori
ini, kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan
realitas benda itu sendiri. Misalnya saja Semarang yang merupakan ibu kota Jawa
Tengah. Pernyataan tersebut diyakini benar jika sebenarnya Semarang adalah ibu
kota Provinsi Jawa Tengah. Kebenarannya terletak pada pernyataan dan
kenyataan.

Pentingnya teori ini apalagi jika diterapkan pada dunia ilmu pengetahuan
dengan tujuan untuk sampai pada suatu kebenaran yang dapat diterima oleh semua
orang. Seorang ilmuwan akan selalu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
menemukan kebenaran yang melekat pada sesuatu, agar apa yang dilihatnya
benar-benar terjadi. Misalnya, gunung bisa dilalui dengan berjalan kaki. Karena
Untuk membuktikan kebenaran pernyataan tersebut perlu dilakukan penelitian
dengan ilmu-ilmu lain khususnya ilmu gunung (geologi), ternyata gunung
mempunyai kaki-kaki (lempengan tanah) yang dapat bergerak sehingga
menimbulkan guncangan daratan dan tsunami. Dengan cara ini, suatu pertanyaan
tidak hanya harus dianggap benar tetapi harus diragukan dan diselidiki terlebih
dahulu untuk mencapai kebenaran hakiki.

2. Teori koherensi (teori kebenaran koherensi)

Teori kebenaran koherensi atau konsistensi adalah teori kebenaran yang


didasarkan pada kriteria koherensi atau konsistensi. Suatu pernyataan dikatakan
benar jika pernyataan tersebut merupakan bagian dari jaringan lengkap
pernyataan-pernyataan yang terhubung secara logis.

Menurut teori ini, kebenaran tidak didasarkan pada hubungan antara


keputusan dan sesuatu yang lain, khususnya fakta dan kenyataan, namun pada
hubungan antara keputusan itu sendiri12. Teori ini berpendapat bahwa kebenaran

12
Ibid, h. 116
8

adalah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lain yang diketahui,
diterima, dan diakui kebenarannya.

Suatu proposisi dikatakan benar apabila proposisi tersebut dihubungkan


(konsisten) dengan proposisi lain yang benar atau jika pernyataan tersebut
koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya dianggap
benar.13 Dengan demikian, suatu keputusan dianggap benar jika mendapat
kesaksian (pembenaran) oleh keputusan. hal-hal yang sebelumnya diketahui,
diterima, dan diakui sebagai kebenaran. Intinya, teori ini mengasumsikan tingkat
kebenarannya.

14
Di sini derajat konsistensi menjadi ukuran derajat kebenarannya.
Misalnya semua manusia membutuhkan air, Ahmad adalah manusia, oleh karena
itu Ahmad membutuhkan air. Suatu proposisi cenderung benar apabila konsisten
(saling bergantung) dengan proposisi lain yang benar atau jika makna yang
terkandung dalam proposisi tersebut konsisten. dengan pengalaman kami.

Bakhtiar yang dikutip oleh Aholiab Watholi memberikan standar kepastian


kebenaran yang setidaknya memiliki empat makna, dimana keyakinan tidak dapat
dipertanyakan kebenarannya, oleh karena itu disebut dengan pengetahuan. Yang
pertama adalah pemahaman psikologis. Kedua, pemahaman logis. Ketiga,
samakan kepastian dengan keyakinan yang tidak dapat diperbaiki. Keempat,
konsep kepastian digunakan dalam perdebatan umum, yang dipahami sebagai
kepastian berdasarkan alasan yang tidak perlu dipertanyakan lagi.15

Berbeda dengan teori korespondensi yang dianut oleh kaum realis dan
materialis, teori koherensi ini berkembang pada abad ke-19 di bawah pengaruh
Hegel dan diikuti oleh para pengikut aliran pemikiran idealisnya. Termasuk filsuf
Inggris F.M Bradley (1864-1924)16. Idealisme epistemologis berpendapat bahwa
objek pengetahuan, atau kualitas yang kita rasakan dengan indra kita, tidak terlihat
di luar persepsi objek tersebut.
13
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13), h. 55
14
Ibid, h. 56
15
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012),
h. 116
16
Ibid, h. 117.
9

Inilah sebabnya mengapa teori ini sering disebut subjektivisme. Para


pendukung teori ini, atau kaum idealis, berpendapat bahwa kebenaran bergantung
pada orang yang menentukan kebenaran pengetahuannya sendiri tanpa
mempertimbangkan keadaan sebenarnya dari fakta tersebut. Manusia adalah
ukuran segala sesuatu, itulah penjelasan kebenaran yang dibentuk oleh kaum
idealis.17

Jika dikaji dan dibandingkan dengan teori terkait, teori koheren sebenarnya
kurang diterima secara luas dibandingkan teori pertama. Teori ini mempunyai
banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem
yang sangat koheren, tetapi kami tidak menganggap astrologi itu benar.
Kebenaran terbentuk tidak hanya oleh hubungan antar peristiwa atau fakta,
namun juga oleh hubungan antar pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu
pernyataan benar jika konsisten dengan pernyataan yang pertama kali kita terima
dan ketahui kebenarannya.18

3. Teori Pragmatis (Teori kebenaran Pragmatis.)

Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragmai yang berarti apa yang harus
dilakukan, dilakukan, bertindak, bertindak, nama filsafat yang dikembangkan oleh
William James di Amerika Serikat.19 Teori kebenaran pragmatis adalah sebuah
teori yang maknanya ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, pribadi,
atau sosial.

Benar atau tidaknya suatu postulat atau teori tergantung pada apakah
berguna atau tidak bagi manusia dalam kehidupan. Kebenaran suatu pernyataan
harus mempunyai penerapan dalam kehidupan praktis.

Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika Serikat pada


akhir abad ke-19, yang menekankan pentingnya akal (proporsi) sebagai alat

17
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis
dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 85.
18
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), h. 51.
19
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis
dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 86
10

penyelesaian permasalahan dalam kehidupan manusia, baik secara teoritis maupun


praktis.

Tokoh pragmatis yang pertama adalah Charles Sander Pierce (1834-1914),


dikenal juga sebagai tokoh semiotika, William James (1842-1910) dan John
Dewey (1859-1952). Amsal (2012) berpendapat bahwa menurut teori pragmatis,
keaslian suatu pernyataan diukur dengan kriteria berguna atau tidaknya
pernyataan tersebut dalam kehidupan praktis masyarakat.

Dalam pengertian ini, suatu pernyataan dikatakan benar jika pernyataan


atau akibat dari pernyataan itu benar. kegunaan praktisnya bagi kehidupan
manusia.20 Suatu teori, hipotesa, atau gagasan dikatakan benar jika membawa
hasil positif, jika diterapkan dalam praktek, jika mempunyai nilai praktis.
Misalnya teori pragmatisme dalam dunia pendidikan, di STAIN Bravo, Prinsip
kepraktisan dalam melamar pekerjaan mempengaruhi jumlah mahasiswa baru
masing-masing jurusan. Tarbiyah menjadi salah satu calon favorit karena menurut
masyarakat, lulusan jurusan Tarbiyah bisa menjadi guru dan mendapat sertifikat
mengajar.

Contoh lainnya adalah mengenai pertanyaan tentang keberadaan Tuhan.


Dalam Al-Qur'an, Surah al-Baqarah 163-164, Allah menjelaskan Keesaan-Nya
dan memberikan penjelasan praktis terhadap pertanyaan ini. Mengingat teori
pragmatisme dengan teori kebenaran sebelumnya, maka pragmatisme tepat
menekankan pada kepraktisan kebenaran, pengetahuan dan kemampuan kognitif
manusia.

Namun hal ini tidak berarti bahwa teori ini adalah teori yang terbaik.
Kriteria pragmatisme juga digunakan para ilmuwan untuk menentukan kebenaran
ilmiah dari sudut pandang temporal. Klaim ilmiah sejarah yang dianggap benar
saat ini mungkin tidak lagi benar pada suatu saat. Ketika dihadapkan pada
permasalahan seperti itu, para ilmuwan bersifat pragmatis, sepanjang pernyataan
tersebut fungsional dan bermanfaat, maka pernyataan tersebut dianggap benar.

20
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h.
115
11

Apabila pernyataan tersebut tidak lagi bersifat demikian, karena


perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri menciptakan pernyataan baru, maka
pernyataan tersebut dihilangkan, dan seterusnya.

4. Teori representasi

Teori ini bermula dari John Langshaw Austin (1911-1960) dan dianut oleh
filsuf lain seperti Frank Ramsey dan Peter Strawson. Para filosof ini ingin
mempertanyakan teori klasik yang menganggap “benar” dan “salah” merupakan
ungkapan yang sekadar menyatakan sesuatu (deskriptif).

Proposisi yang benar berarti menyatakan sesuatu yang dianggap benar.


Dan sebaliknya. Namun justru inilah yang ingin dibantah oleh para filsuf ini 21.
Teori representasi menjelaskan bahwa suatu pernyataan dianggap benar jika
menciptakan kenyataan. Oleh karena itu, pernyataan yang benar bukanlah
pernyataan yang mewakili realitas, tetapi dengan pernyataan itulah terciptalah
realitas sebagaimana diungkapkan dalam pernyataan tersebut.

Teori yang disebut juga dengan “speech act” ini menghubungkan


kebenaran suatu tindakan dengan pernyataan.22 Misalnya: “Saya menunjuk Anda
sebagai direktur perusahaan “Species S3.

” Dengan pernyataan tersebut terciptalah sebuah realitas baru, yaitu Anda


adalah pengelola perusahaan “Spesies S3”, tentunya setelah SK tersebut
dikeluarkan. Ini adalah tindakan yang dilakukan bersamaan dengan pengucapan
kata. Dengan pernyataan ini, suatu kejadian atau tindakan dilakukan. Teori ini
bisa dipandang positif namun disisi lain bisa juga negatif.

Sisi positifnya, dengan beberapa pernyataan, orang berusaha bersungguh-


sungguh dengan apa yang mereka katakan. 23 Misalnya: “Saya bersumpah untuk
menjadi pembicara yang baik.” Namun sisi negatifnya, masyarakat bisa terbuai

21
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13), h. 59
22
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), h. 55
23
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis
dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 87
12

dengan pernyataan atau ungkapan yang seolah-olah identik dengan kenyataan.


Misalnya: “Saya berdoa setelah lulus S1

C. Sifat kebenaran ilmiah

Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya kebenaran


tidak dapat muncul tanpa mengikuti prosedur yang baku. Prosedur baku yang
harus diikuti adalah langkah-langkah memperoleh pengetahuan ilmiah yang
terutama disajikan dalam bentuk teoritis. Kebenaran ilmiah itu masuk akal, semua
orang rasional yang tahu cara menggunakan pikirannya dengan baik akan
memahami kebenaran ilmiah ini.

Atas dasar ini, kebenaran ilmiah dianggap sebagai kebenaran universal.


Kebenaran dalam ilmu pengetahuan adalah kebenaran obyektif, artinya kebenaran
suatu teori atau model harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa realitas dalam
keadaan obyektifnya dan merupakan kebenaran yang sepenuhnya tidak
bergantung pada keinginan subjek.

Kebenaran ilmiah juga bersifat empiris, artinya kebenaran ilmiah


bagaimanapun caranya harus dibuktikan berdasarkan realitas yang ada. Faktanya,
sebagian besar pengetahuan dan kebenaran ilmiah terikat pada realitas empiris
dunia ini. Ada hal yang cukup penting untuk diperhatikan ketika berbicara tentang
kebenaran, yaitu kebenaran dalam sains harus selalu merupakan hasil konsensus
atau konvensi antar ilmuwan di bidangnya. Oleh karena itu, kebenaran ilmiah juga
bersifat universal, asalkan dapat dipertahankan.
13

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut Lincoln dan Kuba (1985: 14) sebagaimana dikemukakan Julienne


Ford dalam Paradigms and Fairy Tales (1975) menunjukkan bahwa istilah
kebenaran atau kebenaran (T) dapat mempunyai arti yang berbeda-beda yang
dilambangkan dengan T1, T2, T3, T4 (Supriadi, 1998). Kebenaran pertama (T1)
adalah kebenaran metafisik. Kebenaran kedua (T2) adalah kebenaran etis, yang
mengacu pada seperangkat standar etika atau profesional yang berkaitan dengan
perilaku yang pantas, termasuk kode etik. Kebenaran ketiga (T3) adalah
kebenaran logis. Kebenaran Keempat (T4) merupakan kebenaran empiris yang
seringkali dianggap mendasar dalam karya para ilmuwan ketika melakukan
penelitiannya. Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya
kebenaran tidak dapat muncul tanpa mengikuti prosedur yang baku. Kebenaran
ilmiah itu masuk akal, semua orang rasional yang tahu cara menggunakan
pikirannya dengan baik akan memahami kebenaran ilmiah ini. Kebenaran dalam
ilmu pengetahuan adalah kebenaran obyektif, artinya kebenaran suatu teori atau
model harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa realitas dalam keadaan
obyektifnya dan merupakan kebenaran yang sepenuhnya tidak bergantung pada
keinginan subjek.

B. Saran
Saya sebagai penulis berharap bahwa dalam makalah yang saya buat ini
bisa bermanfaat bagi pembaca. Oleh karena itu, menyarankan agar pembaca
mencari referensi yang lain untuk lebih memahami materi ini dan yang lain untuk
lebih memahami materi ini dan jangan pernah puas dengan makalah yang saya
buat.

13
DAFTAR PUSTAKA

Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta:


Rajawali Pers, 2014),

Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012),

A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,


Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011),

Conny Semiawan, 1999. Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: PT.


Gramedia,

Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Referensi, 2012),

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13)

Lincoln and Guba. (1985). Qualitative Research. Singapore. Singapore: Mc.


Graw Hill Book Co

Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu; Positivisme, Post Positivisme dan Post


Modernisme, (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001, Edisi-2),

Surajiyo, Ilmu Filsafat : Suatu pengantar, Jakarta : PT. Bumi aksara, 2005

Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan
Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberti, 2003), cet-3

Anda mungkin juga menyukai