DISUSUN OLEH:
Kelompok 3
SEMESTER : III
DOSEN PENGAMPU:
Ali Jusri Pohan, M.Pd.l
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta
alam.Rahmat dan keselamatan semoga senantiasa dilimpahkan Allah Kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya, serta para pengikutnya yang
setia hingga akhir zaman. Dan tak lupa penulis bersyukur atas tersusunnya
makalah ini.
Sebelumnya kami ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu
yang telah memberikan kami kesempatan untuk membahas Makalah yang
berjudul Pengetahuan dan Ukuran Kebenaran.
Tujuan kami menyusun makalah ini adalah tiada lain untuk memperkaya
ilmu pengetahuan kita semua dan untuk memenuhi tugas mata kuliah.
Kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca
dan pihak-pihak yang membutuhkan untuk dijadikan literatur. Apabila dalam
penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, kami mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
Wassalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh...
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan Makalah 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Artinya Kebenaran 3
B. Teori kebenaran 5
C. Sifat kebenaran ilmiah 12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 13
B. Saran 13
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengetahuan tumbuh dari rasa ingin tahu yang merupakan ciri khas
manusia, karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan
ilmu pengetahuan dengan sungguh-sungguh.m Hewan juga mempunyai
pengetahuan, namun pengetahuan tersebut hanya sebatas untuk tujuan
kelangsungan hidup saja. Manusia mengembangkan ilmu pengetahuan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hal ini pula yang mendorong manusia menjadi makhluk unik yang hidup
di muka bumi ini. Pengetahuan tumbuh dari rasa ingin tahu yang merupakan ciri
khas manusia karena hanya manusialah makhluk yang mengembangkan ilmu
pengetahuan dengan sungguh-sungguh. Hewan juga mempunyai pengetahuan,
namun pengetahuan tersebut hanya sebatas untuk tujuan kelangsungan hidup saja.
1
2
perhatian orang-orang, setidaknya mereka ingin tahu apakah hidup itu benar-benar
seperti pasir atau tidak?
Siapa yang menciptakan ribuan, bahkan jutaan butiran pasir putih dan
apa maknanya bagi manusia? Pada bagian pembahasan artikel ini penulis
mencoba menjelaskan ilmu dan ukuran kebenarannya, meliputi hakikat ilmu, cara
memperolehnya, ilmu itu diperoleh dari mana atau dari mana dan apakah ilmu itu
benar atau sebaliknya. Dan apa yang menjadi tolak ukur keaslian ilmu yang
diperoleh?
B. Rumusan Masalah
1. Apa Artinya Kebenaran?
2. Bagaimana Teori kebenaran?
3. Bagaimana Sifat kebenaran ilmiah?
A. Artinya Kebenaran
Akan ada tindakan kreatif yang muncul dari sesuatu yang inovatif, dari
kontribusi pengetahuan yang ada sebagai batu loncatan menuju transformasi
mendasar. Munculnya berbagai teori ilmiah (ilmiah) disebabkan karena manusia
dengan kecenderungan kreatifnya telah mencapai puncak perdebatan tentang apa
yang disebut sebagai kebenaran ilmiah.
1
Conny Semiawan, 1999. Pendekatan Keterampilan Proses. Jakarta: PT. Gramedia, h. 92
2
Lincoln and Guba. (1985). Qualitative Research. Singapore. Singapore: Mc. Graw Hill
Book Co, h. 14
3
4
adalah kebenaran etis yang mengacu pada seperangkat standar etika atau
profesional mengenai perilaku yang pantas, termasuk kode etik.
Peran proporsi atau logika sangat menonjol dalam T3. Namun, seperti
halnya kebenaran T2, kebenaran ini tidak lepas dari konsensus pihak-pihak yang
terlibat. Kalaupun 1 + 1 = 2 pada dasarnya merupakan hasil konsensus, mengapa
tidak 1 + 1 = 3? Namun karena konsensus tersebut masuk akal, maka konsensus
tersebut diterima secara umum. Kebenaran keempat (T4) merupakan kebenaran
eksperimental yang sering dianggap sebagai landasan penelitian para ilmuwan.
3
Surajiyo, Ilmu Filsafat : Suatu pengantar, Jakarta : PT. Bumi aksara, 2005, h. 58.
5
B. Teori kebenaran
Klausa menentukan makna yang terkandung dalam satu klausa atau lebih
Keberadaan kebenaran selalu dikaitkan dengan persepsi manusia (subjek
kognitif) terhadap objek.6 Dengan demikian, kebenaran bergantung pada sejauh
mana subjek memiliki pengetahuan terhadap objek tersebut. Sedangkan ilmu
pengetahuan berasal dari banyak sumber. Sumber-sumber ini kemudian juga
berfungsi sebagai ukuran kebenaran.
Suatu fakta atau suatu keadaan dikatakan benar apabila terdapat kesesuaian
antara makna yang dimaksudkan dari suatu pernyataan atau pendapat dan pokok
4
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Referensi, 2012), h. 96.
5
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberti, 2003), cet-3, h. . 135
6
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 85.
6
7
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13), h. 57.
8
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h.
112
9
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13), h. 54
10
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu; Positivisme, Post Positivisme dan Post
Modernisme, (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001, Edisi-2), h. 20.
11
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h.
114
7
Jadi melihat warna merah, manis, sakit, gembira, harapan, dll. ada banyak
ide. Oleh karena itu, idealisme epistemologis sebagaimana didefinisikan di atas
identik dengan subjektivitas. Kesimpulan dari teori korespondensi adalah adanya
dua realitas yang ada di hadapan manusia: pernyataan dan realitas. Menurut teori
ini, kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan
realitas benda itu sendiri. Misalnya saja Semarang yang merupakan ibu kota Jawa
Tengah. Pernyataan tersebut diyakini benar jika sebenarnya Semarang adalah ibu
kota Provinsi Jawa Tengah. Kebenarannya terletak pada pernyataan dan
kenyataan.
Pentingnya teori ini apalagi jika diterapkan pada dunia ilmu pengetahuan
dengan tujuan untuk sampai pada suatu kebenaran yang dapat diterima oleh semua
orang. Seorang ilmuwan akan selalu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
menemukan kebenaran yang melekat pada sesuatu, agar apa yang dilihatnya
benar-benar terjadi. Misalnya, gunung bisa dilalui dengan berjalan kaki. Karena
Untuk membuktikan kebenaran pernyataan tersebut perlu dilakukan penelitian
dengan ilmu-ilmu lain khususnya ilmu gunung (geologi), ternyata gunung
mempunyai kaki-kaki (lempengan tanah) yang dapat bergerak sehingga
menimbulkan guncangan daratan dan tsunami. Dengan cara ini, suatu pertanyaan
tidak hanya harus dianggap benar tetapi harus diragukan dan diselidiki terlebih
dahulu untuk mencapai kebenaran hakiki.
12
Ibid, h. 116
8
adalah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lain yang diketahui,
diterima, dan diakui kebenarannya.
14
Di sini derajat konsistensi menjadi ukuran derajat kebenarannya.
Misalnya semua manusia membutuhkan air, Ahmad adalah manusia, oleh karena
itu Ahmad membutuhkan air. Suatu proposisi cenderung benar apabila konsisten
(saling bergantung) dengan proposisi lain yang benar atau jika makna yang
terkandung dalam proposisi tersebut konsisten. dengan pengalaman kami.
Berbeda dengan teori korespondensi yang dianut oleh kaum realis dan
materialis, teori koherensi ini berkembang pada abad ke-19 di bawah pengaruh
Hegel dan diikuti oleh para pengikut aliran pemikiran idealisnya. Termasuk filsuf
Inggris F.M Bradley (1864-1924)16. Idealisme epistemologis berpendapat bahwa
objek pengetahuan, atau kualitas yang kita rasakan dengan indra kita, tidak terlihat
di luar persepsi objek tersebut.
13
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13), h. 55
14
Ibid, h. 56
15
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012),
h. 116
16
Ibid, h. 117.
9
Jika dikaji dan dibandingkan dengan teori terkait, teori koheren sebenarnya
kurang diterima secara luas dibandingkan teori pertama. Teori ini mempunyai
banyak kelemahan dan mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem
yang sangat koheren, tetapi kami tidak menganggap astrologi itu benar.
Kebenaran terbentuk tidak hanya oleh hubungan antar peristiwa atau fakta,
namun juga oleh hubungan antar pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu
pernyataan benar jika konsisten dengan pernyataan yang pertama kali kita terima
dan ketahui kebenarannya.18
Pragmatisme berasal dari kata Yunani pragmai yang berarti apa yang harus
dilakukan, dilakukan, bertindak, bertindak, nama filsafat yang dikembangkan oleh
William James di Amerika Serikat.19 Teori kebenaran pragmatis adalah sebuah
teori yang maknanya ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, pribadi,
atau sosial.
Benar atau tidaknya suatu postulat atau teori tergantung pada apakah
berguna atau tidak bagi manusia dalam kehidupan. Kebenaran suatu pernyataan
harus mempunyai penerapan dalam kehidupan praktis.
17
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis
dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 85.
18
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), h. 51.
19
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis
dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 86
10
Namun hal ini tidak berarti bahwa teori ini adalah teori yang terbaik.
Kriteria pragmatisme juga digunakan para ilmuwan untuk menentukan kebenaran
ilmiah dari sudut pandang temporal. Klaim ilmiah sejarah yang dianggap benar
saat ini mungkin tidak lagi benar pada suatu saat. Ketika dihadapkan pada
permasalahan seperti itu, para ilmuwan bersifat pragmatis, sepanjang pernyataan
tersebut fungsional dan bermanfaat, maka pernyataan tersebut dianggap benar.
20
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h.
115
11
4. Teori representasi
Teori ini bermula dari John Langshaw Austin (1911-1960) dan dianut oleh
filsuf lain seperti Frank Ramsey dan Peter Strawson. Para filosof ini ingin
mempertanyakan teori klasik yang menganggap “benar” dan “salah” merupakan
ungkapan yang sekadar menyatakan sesuatu (deskriptif).
21
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2000, cet. ke 13), h. 59
22
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), h. 55
23
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis
dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 87
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Saya sebagai penulis berharap bahwa dalam makalah yang saya buat ini
bisa bermanfaat bagi pembaca. Oleh karena itu, menyarankan agar pembaca
mencari referensi yang lain untuk lebih memahami materi ini dan yang lain untuk
lebih memahami materi ini dan jangan pernah puas dengan makalah yang saya
buat.
13
DAFTAR PUSTAKA
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012),
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi, (Jakarta: Referensi, 2012),
Surajiyo, Ilmu Filsafat : Suatu pengantar, Jakarta : PT. Bumi aksara, 2005
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan
Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberti, 2003), cet-3