Anda di halaman 1dari 19

FILSAFAT ILMU

“Berbagai jenis kebenaran, kedudukan percaya, dan atau iman, asumsi/postulat,


dalam mencari kebenaran/ ilmu”

Tugas Ini Dibuat untuk Melengkapi Tugas Kelompok


Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Oleh :
Kelompok 8
1. Kurnia Puspita Sari (19124022)
2. Mustika Firdausi (19124048)

Kelas B

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


Prof. Dr. Aliasar, M. Ed
Dr. Yanti Fitria, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
Rubrik Penilaian

Skor
No Aspek Penilaian
1 2 3 4 5
1. Kedalaman Pembahasan Materi
2. Bukti-Bukti Contoh Penerapan Konsep

Kecukupan Sumber Rujukan (Mendeley,


3. Jurnal Nasional 3 buah, Jurnal Internasional
1 buah, dan Buku 3 buah)

3. Penguasaan Materi
4. Penyajian PPT dan Presentasi

5. Kelengkapan Soal-soal Evaluasi Min.5 buah


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunianya sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Berbagai
jenis kebenaran, kedudukan percaya, dan atau iman, asumsi/postulat, dalam mencari
kebenaran/ ilmu”, pada mata kuliah Filsafat Ilmu. Shalawat dan salam kepada Nabi
Muhammad SAW, yang telah mengantarkan umat manusia kepada alam yang berilmu
pengetahuan seperti saat ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Aliasar, M.Ed dan Ibu Dr.
Yanti Fitria, M.Pd sebagai dosen pegampu mata kuliah Filsafat Ilmu, yang telah
mengarahkan penulis untuk bisa menyelesaikan makalah ini. Kemudian teman-teman yang
sudah memberikan masukan kepada pemakalah.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi
pembahasan maupun dari segi penulisan, untuk itu penulis mengharapkan saran serta
kritikan dari semua pihak yang bersifat membangun sehingga terciptanya kesempurnaan
dari makalah ini.

Padang, Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Berbagai Cara Mencari Kebanaran............................................................. 3
B. Kriteria Kebenaran .................................................................................... 5
C. Kedudukan Iman/Percaya dan Ilmu Tentang yang Ada ........................... 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 14
B. Saran ........................................................................................................... 15
DAFTAR RUJUKAN ....................................................................................... 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak
pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran
yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap
jawaban-jawaban tersebut juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan
metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran yang
bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur
dengan cara-cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah
menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin
menggiatkan manusia untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan
teori-teori yang sudah ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau
menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan
penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari setiap permasalahan
yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak kaku artinya ia tidak akan berhenti pada
satu titik, tapi akan terus berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam memenuhi
rasa keingintahuannya terhadap dunia. Untuk itulah setiap manusia harus dapat berfikir
filosofis dalam menghadapi segala realitas kehidupan ini yang menjadkan filsafat harus
dipelajari.
Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontology, epistemologi dan
aksiologi. Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu
pengetahuan, filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek
ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, realitas hanya dibatasi pada hal-hal
yang bersifat materi dan kuantitatif. Ini tidak terlepas dari pandangan yang materialistik-
sekularistik. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan. Sedangkan
aksiologis menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan
aspek pragmatis-materialistis.

1
Ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontology, epistemology dan
aksiologinya telah jauh berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain
dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin. Misalnya hukum-hukum, teori-teori
ataupun rumus-rumus filsafat juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka
muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan
masyarakat pengenal. Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran
moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi Bahasa, etika
ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan denga napa yang kita rasakan.
Kebenaran logis menjadi bahasan epistemology, logika dan psikologi. Ia merupakan
hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan
dengan yang ada sejauh berhadapan dengan akal budi karena yang ada mengungkapkan
diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran dan akal budi yang
menyatakannya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka di peroleh rumusan masalah
sebagai berikut ini:
1. Bagaimana cara untuk mencari kebenaran?
2. Apa saja kriteria dari kebenaran?
3. Bagaimana kedudukan iman/percaya dan ilmu tentang yang ada?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas adapun tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk:
1. Untuk mengetahui berbagai cara untuk mencari kebenaran.
2. Untuk mengetahui kriteria dari kebenaran.
3. Untuk mengetahui kedudukan iman/percaya dan ilmu tentang yang ada.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Berbagai Cara Mencari Kebenaran


Dalam sejarah manusia, usaha-usaha untuk mencari kebenaran telah
dilakukan dengan berbagai cara seperti:
1. Secara kebetulan
Ada cerita kebenarannya sukar dilacak mengenai kasus penemuan obat malaria
yang terjadi secara kebetulan. Ketika seorang Indian yang sakit dan minum air
dikolam dan akhirnya mendapatkan kesembuhan. Dan itu terjadi berulang kali
pada beberapa orang. Akhirnya diketahui bahwa disekitar kolam tersebut tumbuh
sejenis pohon yang kulitnya bisa dijadikan sebagai obat malaria yang kemudian
berjatuhan di kolam tersebut. Penemuan pohon yang kelak dikemudian hari
dikenal sebagai pohon kina tersebut terjadi secara kebetulan saja (Atabik , 2016).
2. Trial and Error
Cara lain untuk mendapatkan kebenaran ialah dengan menggunakan metode “trial
and error” yang artinya coba-coba. Metode ini bersifat untung-untungan. Salah
satu contoh ialah model percobaan “problem box” oleh Thorndike (Russel, 2007).
Percobaan tersebut adalah seperti berikut: seekor kucing yang kelaparan
dimasukkan ke dalam “problem box” suatu ruangan yang hanya dapat dibuka
apabila kucing berhasil menarik ujung tali dengan membuka pintu. Karena rasa
lapar dan melihat makanan di luar maka kucing berusaha keluar dari kotak tersebut
dengan berbagai cara. Akhirnya dengan tidak sengaja si kucing berhasil
menyentuh simpul tali yang membuat pintu jadi terbuka dan dia berhasil keluar.
Percobaan tersebut mendasarkan pada hal yang belum pasti yaitu kemampuan
kucing tersebut mendasarkan pada hal yang belum pasti yaitu kemampuan kucing
tersebut untuk membuka pintu kotak masalah.
3. Melalui otoritas
Kebenaran bisa didapat melalui otoritas seseorang yang memegang kekuasaan,
seperti seorang raja atau pejabat pemerintahan yang setiap keputusan dan
kebijaksanaannya dianggap benar oleh bawahannyha. Dalam filsafat Jawa dikenal

3
dengan istilah “Sabda pendita ratu” artinya ucapan raja atau pendekta selalu
benar dan tidak boleh dibantah lagi.
4. Berpikir Kritis/Berdasarkan Pengalaman
Menurut Muslih (2016) metode ini ialah berpikir kritis dan berdasarkan
pengalaman. Contoh dari metode ini ialah berpikir secara deduktif dan induktif.
Secara deduktif artinya berpikir dari yang umum ke khusus, sedang induktif dari
yang khusus ke yang umum. Metode deduktif sudah dipakai selama ratusan tahun
semenjak zamannya Aristoteles.
5. Melalui Penyelidikan Ilmiah
Menurut Zaprulkhan (2016) kebenaran baru bisa didapat dengan menggunakan
penyelidikan ilmiah, berpikir kritis dan induktif. Bacon merumuskan ilmu adalah
kekuasaan. Dalam rangka melaksanakan kekuasaan, manusia selanjutnya terlebih
dahulu harus memperoleh pengetahuan mengenai alam dengan cara
menghubungkan metode yang khas, sebab pengamatan dengan indera saja akan
menghasilkan hal yang tidak dapat dipercaya. Pengamanatan menurut Bacon
dicampuri dengan gambaran-gambaran palsu (idola). Gambaran-gambaran palsu
(idola) harus dihilangkan dan dengan cara mengumpulkan fakta-fakta secara teliti
maka didapat pengetahuan tentang alam yang dapat dipercaya. Sekalipun demikian
pengamatan harus dilakukan secara sistematis, artinya dilakukan dalam keadaan
yang dapat dikendalikan dan diuji secara eksperimental sehingga tersusunlah dalil-
dalil umum seperti pada tahun 1609 Galileo menemukan hukum-hukum tentang
planet, tahun 1618 Snellius menemukan pemecahan cahaya dan penemuan-
penemuan penting lainnya.

4
B. Kriteria Kebenaran
Menurut Wahana (2016) beberapa kriteria kebenaran diantaranya ialah:
1. Teori Koherensi (Konsisten)
Teori kebenaran koherensi atau konsistensi adalah teori kebenaran yang
didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut
benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang
berhubungan secara logis. Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas
hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain yaitu fakta dan realitas, tetapi
atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Teori ini berpendapat bahwa
kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan
lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar.
Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan (koheren) dengan proposisi-
proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten
dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Dengan demikian suatu putusan dianggap benar apabila mendapat
penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah
diketahui,diterima dan diakui benarnya. Karena sifatnya demikian, teori ini
mengenal tingkat-tingkat kebenaran. Disini derajat koherensi merupakan ukuran
bagi derajat kebenaran. Misalnya semua manusia membutuhkan air, Ahmad adalah
seorang manusia, Jadi, Ahmad membutuhkan air.
2. Teori Korespondensi (Pernyataan Sesuai Kenyataan)
Teori kebenaran korespondensi, Correspondence Theory of Truth yang
kadang disebut dengan accordance theory of truth adalah teori yang berpandangan
bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta
atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut.
Kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesuaian (correspondence) antara
arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju
oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan
benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan

5
fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan
menyatakan apa adanya.
Kesimpulan dari teori korespondensi adalah adanya dua realitas yang
berada dihadapan manusia, pernyataan dan kenyataan. Menurut teori ini,
kebenaran adalah kesesuaian antra pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan
sesuatu itu sendiri. Misal Semarang ibu kota Jawa Tengah. Pernyataan ini disebut
benar apabila pada kenyataannya Semarang memang ibukota propinsi Jawa
Tengah. Kebenarannya terletak pada pernyataan dan kenyataan.
3. Teori Pragmatis (Kegunaan di Lapangan)
Pramagtisme berasal dari bahasa Yunan pragmai artinya yang dikerjakan,
yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan
oleh William James di Amerika Serikat. Teori kebenaran pragmatis adalah teori
yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi
ilmiah, personal atau sosial (Suaedi, 2016). Benar tidaknya suatu dalil atau teori
tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk
kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis. Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika
serikat akhir abad ke-19, yang menekankan pentingnya akal budi (rasio) sebagai
sarana pemecahan masalah (problem solving) dalam kehidupan manusia baik
masalah yang bersifat teoritis maupun praktis. Tokoh pragmatisme awal adalah
Charles Sander Pierce (1834-1914) yang dikenal juga sebagai tokoh semiotic,
William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).
Misal teori pragmatisme dalam dunia pendidikan, di STAIN Kudus, prinsip
kepraktisan (practicality) dalam memperoleh pekerjaan telah mempengaruhi
jumlah mahasiswa baru pada masing-masing Jurusan. Tarbiyah menjadi fovorit,
karena menurut masyarakat lulus dari Jurusan Tarbiyah bisa menjadi guru dan
mendapatkan sertifikasi guru. Misal lain, mengenai pertanyaan wujud Tuhan yang
Esa. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah 163-164, Allah menjelaskan tentang
wujud-Nya yang Esa serta menjelaskan tentang penjelasan praktis terhadap
pertanyaan tersebut. Menimbang teori pragmatisme dengan teori-teori kebenaran

6
sebelumya, pragmatisme memang benar untuk menegaskan karakter praktis dari
kebenaran, pengetahuan, dan kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan berarti teori
ini merupakan teori yang terbaik dari keseluruhan teori. Kriteria pragmatisme juga
dipergunakan oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif
waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu
waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka
ilmuan bersifat pragmatise selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai
kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi
bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan
pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya.
4. Teori Performatif
Teori ini berasal dari John Langshaw Austin (1911-1960) dan dianut oleh
filsuf lain seperti Frank Ramsey, dan Peter Strawson. Filsuf-filsuf ini mau
menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya
menyatakan sesuatu (deskriptif). Proposisi yang benar berarti proposisi itu
menyatakan sesuatu yang memang dianggap benar. Demikian sebaliknya namun
justru inilah yang ingin ditolak oleh para filsuf ini. Teori performatif menjelaskan,
suatu pernyataan dianggap benar jika ia menciptakan realitas. Jadi pernyataan
yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas, tetapi justru
dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam
pernyataan itu. Teori ini disebut juga “tindak bahasa” mengaitkan kebenaran satu
tindakan yang dihubungkan dengan satu pernyataan. Misalnya, “Dengan ini saya
mengangkat anda sebagai manager perusahaan “Species S3”. Dengan pernyataan
itu tercipta sebuah realitas baru yaitu anda sebagai manager perusahaan “Species
S3”, tentunya setelah SKnya turun. Di sini ada perbuatan yang dilakukan
bersamaan dengan pengucapan kata-kata itu. Dengan pernyataan itu suatu
penampilan atau perbuatan (performance) dilakukan.
Teori ini dapat diimplementasikan secara positif, tetapi di pihak lain dapat
pula negatif. Secara positif, dengan pernyataan tertentu, orang berusaha
mewujudkan apa yang dinyatakannya. Misal, “Saya bersumpah akan menjadi

7
dosen yang baik”. Tetapi secara negative orang dapat pula terlena dengan
pernyataan atau ungkapannya seakan pernyataan tersebut sama dengan realitas
begitu saja. Misalnya, “Saya doakan setelah lulus S1 kamu menjadi orang yang
sukses”, ungkapan ini bagi sebagian orang adalah doa padahal bisa saja sebagai
basa-basi ucapan belaka. Atau, “saya bersumpah, saya berjanji menjadi karyawan
yang setia pada pimpinan”, seakan-akan dengan janji itu ia setia pada pimpinan.
Bisa jadi kita semua terjebak dengan pernyataan seperti itu seolah-olah dengan
dengan pernyataan-pernyatan itu tercipta realitas seperti yang dinyatakan. Padahal
apa yang dinyatakan, belum dengan sendirinya menjadi realitas.
5. Agama sebagai Teori Kebenaran
Pada hakekatnya, manusia hidup di dunia ini adalah sebagai makhluk yang suka
mencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah
agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan jawaban atas segala
persoalan asasi yan.g dipertanyakan manusia; baik tentang alam, manusia, maupun
tentang Tuhan. Dalam mendapatkan kebenaran menurut teori agama adalah wahyu
yang bersumber dari Tuhan (Akromullah, 2018). Manusia dalam mencari dan
menentukan kebenaran sesuatu dalam agama denngan cara mempertanyakan atau
mencari jawaban berbagai masalah kepada kitab Suci. Dengan demikian, sesuatu
hal dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai
penentuk kebenaran mutlak (Faradi, 2019)

C. Kedudukan Iman/ Percaya dan Ilmu Tentang yang Ada


Dalam memahami setiap yang ada, peran ilmu, dan iman/ percaya tidak dapat
dipisahkan. Contoh, apabila seorang anak masih dikandung ibunya mengalami
kematian bapak, setelah masuk masa dewasa ingin tahu siapa bapaknya. Dalam ini,
maka anak tentu paling tepat bertanya kepada ibunya siapa bapak anak itu? Si anak
yang ingin punya ilmu (informasi yang benar) tentang bapaknya, maka anak
tersebut harus terlebih dulu percaya kepada ibunya. Bila dasar percaya yang dalam
istilah lain disebut asumsi (postulat) tidak dimiliki oleh anak terhadap ibunya maka
usaha untuk mencari ilmu (kebenaran ) tentang siapa bapak anak, tidak dapat

8
dilanjutkan. Hal ini karena ilmu dan iman/ percaya dalam mencari ilmu/ kebenaran
tidapat dipisahkan. Bahasan atau penjelasan lebih rinci akan diuraikan sebagai berikut:
1. Iman, Percaya/Asumsi, dan Keyakin Tentang Yang Ada
a. Iman
Perkataan iman berasal dari bahasa Arab yaitu semacam istilah keagamaan,
dalam ajaran Islam, suatu keyakinan yang sungguh-sungguh, sangat mendasar, dan
mendalam, tentang sesuatu yang ada, atau akan ada. Keyakinan tersebut sifatnya
mutlak (absolut), sama dengan pasti ada, atau pasti akan ada/ terwujud. Contoh:
setiap yang hidup pasti akan mati, Tuhan/Allah pasti ada, Dia yang menciptakan
semua yang ada sesungguhnya Muhammad SAW adalah Rasulullah, hari kiamat
pasti akan ada atau terjadi.. Dalam Islam dasar kepercayaan itu dikenal dengan
rukun iman, yaitu enam perinsip kepercayaan yang pasti (the basic foundation of
belief), yang secara hakiki telah harus diketahui secara umum oleh umat Muslim.
Dengan terminologi iman yang diberi imbuhan yaitu awalan, akhiran dan
atau sisipan terwujudlah istilah seperti: aman, amanah, nyaman. Dalam bahasa Arab
perubahan kata- kata yang berawal dari kata dasar disebut “tasrif”. Melalui
keyakinan yang tinggi (iman) dan disertai dengan rasa aman itulah manusia
menambah pengetahuan (ilmu). Manusia tanpa iman yang tepat, sangat sulit
mewujudkan amal yang benar.
b. Percaya, Asumsi/Anggapan Dasar (Postulat)
Percaya dan iman merupakan suatu rumpun konsep yang terletak dalam
wadah yang sama, tetapi tingkatnya berbeda (Nur, 2011). Dalam ajaran Islam istilah
iman lebih tinggi tingkat keyakinannya (absolut) yaitu informasinya datang dari
Tuhan /Allah. Akan tetapi jika sumber informasinya dari manusia biasa seperti: ibu,
bapak, guru, teman, pemerintah digunakan istilah percaya. Contoh: seorang anak
ayahnya meninggal di saat ia masih kecil, lantas bertanya kepada ibunya siapa
bapak anak itu. Ibu menjawab kepada anaknya bahwa bapak kamu bernama si
Fulan, dari suku Jawa. Si anak itu percaya, kepada informasi dari ibu; dan rasanya
tidak pernah disebut anak beriman kepada ibunya, karena kebenaran yang
disampaikan ibu bersifat relatif. Demikian juga dengan informasi yang diterima

9
dari manusia lainnya seperti guru, atau pakar lainnya juga bersifat relatif. Contoh
lain: pusat kerajaan Seriwijaya terletak di kota yang bernama Palembang pada saat
ini. Informasi tersebut relatif kebenarannya.
Kepercayaan yang diletakkan atau didasarkan kepada kebenaran yang
diperoleh melalui manusia biasa seperi guru, pengarang buku (author), pemimpin
dan lainnya yang setaraf dinamakan asumsi (postulat = anggapan dasar).
Asumsi berguna untuk meletakkan kepercayaan dalam rangka usaha mencari
atau mendapatkan pengetahuan yang benar sebagai kelanjutan dari beberapa
kebenaran yang telah dimiliki oleh individu yang sedang mencari ilmu/kebenaran.
Perlu direnungkan oleh setiap pencari ilmu, apakah sumbernya langsung dari
Tuhan, atau dari manusia, sangat diperlukan unsur percaya/asumsi. Contoh Ilmu
Mistik seperti santet, yang sumbernya dari Jin atau iblis tidak akan dapat dicari
dikuasai oleh orang yang tak percaya atau tak punya asumsi yang benar tentang
santet itu. Ekonomi Kapitalis, tidak akan dapat dipelajari atau dicari, apalagi
diterapkan oleh orang yang tak percaya kepada asumsi (postulat) yang dikemukakan
oleh kaum kapitalis.
Dalam ajaran Islam ilmu yang salah itu disebut “Ilmu Sayiaat”, yaitu sumber
informasinya dating dari yang terlarang oleh Allah seperti iblis, jin, atau manusia
yang telah dimasuki iblis. Ilmu/kebenaran yang diperoleh manusia seperti itu akan
diuperkuda oleh “shaetaniahnya” yang akan berakhir dengan kezaliman dan
kehancuran.
Perlu dipahami lebih dalam, jika informnasi yang disampaikan manusia itu
bersumber dari Tuhan, maka sifat kebenarannya absolut, contoh setiap yang hidup
akan mengalami mati, setiap makhluk akan berubah. Dalam hal ini manusia hanya
sebagai penyampai informasi yang sumbernya dari Tuhan, maka informasi yang
demikian tergolong kepada kategori yang bersifat mutlak/absolut kebenarannya,
(pasti ada atau akan ada /terwujud ).

c. Keyakinan/Tingkat Kepercayaan

10
Alam raya (universe) yang diciptakan Tuhan senantiasa mengalami perubahan
Dengan menggunakan ilmu, arah dan kecenderungan (trend) dari perubahan itu
dapat diperkirakan oleh manusia sehingga manusia dapat mengambil hikmah dari
setiap kejadian. Tingkat kepercayaan manusia terhadap kebenaran terjadi disebut
keyakinan; Tingkatannya dapat dikemukakan sebagai berikut.
1) Mungkin Ada/Terwujud.
Contoh dari yang mungkin, besok kondisi cuaca mungkin hujan gerimis,
badai hujan lebat, panas terik, dan sebagainya, jika Tuhan menghendaki. Orang
yang mati, mungkin akan hidup kembali jika Tuhan menghendaki. Sebagian
besar kemungkinan akan terjadi, bila dikehendaki Tuhan.Contoh lain dari yang
mungkin ada; jika suatu tumbuhan X diberi pupuk Z, maka buahnya dengan Y,
akan mungkin berproduksi satu setengah kali lipat dari hasil semula. Inilah
yang disebut teori kemungkinan (probability theory) dalam istilah science. Pada
umumnya perkiraan suatu kemungkinan dalam Ilmu Ekonomi, Fisika,
Kependudukan, dan sebagainya didasari oleh teori kemungkinan. Kemungkinan
semacam ini berkisar nol (nihil) sampai dengan 100%.
2) Tidak Mungkin Terwujud/Terjadi (Mustahil)
Contoh dari situasi yang tidak mungkin terjadi adalah: tidak mungkin Tuhan
akan mati atau telah mati atau Tuhan/ Allah penakut, karena kondisi yang
seperti ini, bertentangan dengan informasi yang dijelaskan Tuhan dalam Kitab
Suci (Q S. 2 : 255, dan QS 57 : 1- 10 ). Contoh lain dari yang mustahil adalah
mustahil seorang manusia atau makhluk akan menjadi Khalik/Tuhan.
3) Pasti Ada /Terwujud
Segala kejadian muncul/terwujud di alam semesta ini, adalah atas kehendak
Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena Tuhan berkuasa atas segala yang ada, maka
apayang telah dijanjikan-NYA, pasti akan terwujud, sesuai dengan janjinya
(QS .3:194). Contoh konkrit dan yang abtrak dari yang pasti telah terjadi atau
akan terjadi kisah kehidupan nabi dan rasul zaman dulu, adanya malaikat dan
iblis, ada surga dan neraka hari kiamat, hari berhisab dan sebagainya.

11
4) Bermacam Tingkat Keyakinan Lainnya
Selain dari tingkat kemungkinan yang telah diuraikan sebelum ini, ada lagi
tingkat keyakinan berdasarkan alat penerima yang dipunyai oleh manusia,
yaitu serbagai berikut:
a) Ainul Yakin
Ainul yakin maksudnya adalah keyakinan yang timbul sebagai
hubungan atau koneksi alat indria manusia, dengan sesuatu yang ada.
Contoh melihat sesuatu yang ada melalui mata, merasakan sesuatu yang
manis atau pahit dengan lidah. Tetapi sadarlah bahwa alat indria manusia
tidak selalu benar, kadang kala ada pengaruh illusi dan halusinasi. Demikian
juga terdapat pengaruh lingkungan, contoh bagi orang Minangkabau yang
menetap di negeri asalnya, makanan yang mengandung banyak cabe tidak
begitu pedas lagi bagi mereka karena sudah terbiasa dengan kondisi yang
demikian, tetapi bagi orang lain sangat pedas sekali rasanya.
b) Ilmul Yakin
Ilmul Yakin yaitu keyakinan yang timbul sebagai akibat dari ilmu
pengetahuan yang dimiliki oleh individu manusia. Tentu saja tingkat kondisi
dari Ilmul Yakin, akan bervariasi sekali.Contoh mata hari akan berada di
garis khatulistiwa pada tanggal 21 Maret, dan 23 Sebtember. Contoh lain,
orang tidak akan merokok, atau minum alkohol, karena ia tahu akan
merusak kesehatannya.
c) Ha’kul Yakin
Istilah ha’kul berasal dari bahasa Arab, dengan kata dasar hak,
artinya sungguh-sungguh atau sesungguhnya, atau sinonim sebenar-
benarnya (the truth) terwujud. Setiap hak (sesungguhnya yang benar/ the
truth) datang dari Tuhan, dan janganlah merasa ragu, (QS.2:147). Contoh:
setiap makhluk, diciptakan dan diatur oleh Tuhan (Khalik ), setiap

12
kehidupan akan mengalami kematian, setiap benda akan mengalami
perubahan (change).
Dalam mencari ilmu/ kebenaran termasuk berfilsafat berangkatlah
dengan keyakian yang benar, jangan dengan keraguan. Penulis tidak
sependapat berfilsafat dimulai dengan keraguan, tetapi seharusnya
dengan keyakinan yang benar, usaha menjelajahi yang belum diketahui,
untuk mencari pengetahuan yang benar.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan
nyata. Masing-masing teori mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia. Teori
kebenaran mempunyai kelebihan dan kekurangan korespondensi sesuai dengan fakta dan
empiris kumpulan fakta-fakta koherensi bersifat rasional dan positivistic mengabaikan
hal-hal non fisik pragmatis fungsional-praktis tidak ada kebenaran mutlak performatif bila
pemegang otoritas benar, pengikutnya selamat tidak kreatif, inovatif dan kurang inisiatif
didukung teori yang kuat dan masyarakat ilmiah perlu waktu lama untuk menemukan
kebenaran.
Jadi berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai
dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan
dengan preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan dengan preposisi
tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (korespondence) maka preposisi
tersebut dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran/keadaan benar. Kemudian dalam
memahami setiap yang ada peran ilmu, dan iman/ percaya tidak dapat dipisahkan. Karena
masing-masing komponen saling berkaitan satu sama lain.

B. Saran

Materi berbagai jenis kebenaran, kedudukan percaya atau iman, asumsi/postulat


dalam mencari kebenaran/ ilmu sangat penting untuk diketahui oleh manusia apalagi oleh
pendidik. Oleh karena itu penulis menyarankan untuk mendalami serta memahami setiap
aspek tersebut. Kemudian pemakalah menyadari dalam penyajian materi terdapat banyak

14
kesalahan dan kekhilafan, pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna memperbaiki kesalahan yang ada agar makalah ini menjadi lebih baik
lagi.

DAFTAR RUJUKAN

Akromullah, H. (2018). Kebenaran Ilmiah Dalam Perspektif Filsafat Ilmu (Vol. 21, Issue
Majalah Ilmu Pengetahuan dan Pemikiran Keagamaan Tajdid, pp. 48–64).
Atabik, A. (2016). Teori Kebenaran Filsafat Ilmu. Fikrah, 1(2), 253–271.
Faradi, A. A. (2019). Teori-Teori Kebenaran Dalam Filsafat. In Kontemplasi: Jurnal Ilmu-
Ilmu Ushuluddin (Vol. 7, Issue 1). https://doi.org/10.21274/kontem.2019.7.1.97-114
Muslih, M. (2016). Filsafat Ilmu (Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahun). Yogyakarta: LESFI.
Nur, F. L. (2011). Pengantar Filsafat Ilmu. Medan: Perdana Mulya Sarana.
Russel, B. (2007). Criteria Of Science Philosophy Truth. The Philosophy of Social Science,
39(5), 455–471.
Suaedi. (2016). Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.
Wahana, P. (2016). Menguak Kebenaran Ilmu Pengetahuan Dan Aplikasinya Dalam
Kegiatan Perkuliahan. Jurnal Filsafat, 18(3), 273–294.
https://doi.org/10.22146/jf.3528
Zaprulkhan. (2016). Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Wali.

15

Anda mungkin juga menyukai