B
IDENTIFIKASI BAHAYA KEAMANAN PANGAN KIMIA DAN PENGGUNAAN BAHAN
TAMBAHAN PANGAN YANG BERLEBIHAN PADA PANGAN OLAHAN
ABON IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis)
Disusun oleh :
Kelas 2 | Kelompok 4
MAGANG BERSERTIFIKAT
PANGAN AMAN GOES TO CAMPUS
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
2022
DAFTAR ISI
1
I. PENDAHULUAN
Abon merupakan salah satu produk olahan pangan yang diminati masyarakat karena
memiliki cita rasa yang enak, praktis, sekaligus memiliki masa simpan yang panjang. Abon
dibuat dari bahan baku daging ikan, ayam, maupun sapi yang disuwir menjadi serabut-
serabut kecil yang ditambahkan bumbu-bumbu lalu digoreng dan dipress untuk meniriskan
minyak dari hasil penggorengan. Ikan Tongkol merupakan salah satu jenis ikan yang
digunakan sebagai bahan baku pembuatan abon. Ikan Tongkol tergolong dalam jenis ikan
pelagis besar yang hidup secara berkelompok.
Meskipun digemari, sayangnya produk Abon Ikan Tongkol tidak terlepas dari
kemungkinan bahaya kimia baik dari faktor ekstrinsik seperti cemaran logam berat dari
lingkungan ekosistem laut habitat ikan, produksi akrilamida selama proses pengolahan,
penambahan Bahan Tambahan Pangan yang melebihi batas maksimal dan kemasan
maupun faktor intrinsik yakni bahaya kimia yang terdapat di dalam komoditi Ikan Tongkol.
Suatu produk yang mendapatkan izin edar BPOM harus memenuhi standar mutu
salah satunya batas cemaran bahan kimia. Oleh karena itu penting bagi produsen untuk
mencermati kemungkinan cemaran kimia pada produknya dengan meninjau mulai dari
bahan baku, pengolahan, hingga pengemasan untuk memastikan produk yang dihasilkan
aman dari bahaya kimia dan memenuhi standar baku mutu. Di samping itu, produsen
memiliki tanggung jawab moral kepada konsumen dengan memastikan produk yang mereka
produksi aman dan bebas dari bahaya dikarenakan bahaya kimia bersifat bioakumulasi.
Oleh karena itu, laporan ini memuat identifikasi kemungkinan cemaran bahaya kimia
pada produk Abon Ikan Tongkol termasuk yang berasal dari Bahan Tambahan Pangan
berdasarkan Peraturan BPOM no. 11 tahun 2019, batas cemaran yang diatur dalam
Peraturan BPOM no. 8 tahun 2018, serta tindakan pencegahan dari pengolahan Abon Ikan
Tongkol.
II. TUJUAN
Laporan ini bertujuan untuk mengidentifikasi bahaya kimia yang berasal dari internal
bahan baku maupun cemaran eksternal dari lingkungan, proses pengolahan, dan bahan
tambahan yang digunakan pada produk abon ikan tongkol.
III. PERMASALAHAN
Pada laporan ini, produk yang diangkat yaitu abon ikan tuna.Dalam PerBPOM No. 34
Tahun 2019 tentang kategori pangan, abon ikan adalah produk perikanan dengan bahan
baku ikan segar yang mengalami perlakuan perebusan atau pengukusan, pencabikan,
penambahan bumbu, dan pemasakan/penggorengan. Permasalahan yang dihadapi oleh
industri abon ikan tuna saat ini yaitu ketersediaan bahan baku yang berkualitas, sarana
produksi yang kurang memadai, teknik pengolahan yang kurang tepat, lemahnya
jaminan mutu, kurangnya pengetahuan tentang standar keamanan pangan dan kurangnya
pemasaran. Salah satu untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan dengan
menganalisis potensi kontaminasi kimia yang akan terjadi untuk mencegah penurunan mutu.
Dalam menganalisis kontaminasi kimia yang terjadi perlu diketahui bahaya kimia yang
terkandung yang bersifat alami pada bahan tersebut serta bahaya kimia pada saat proses
pengolahan dan penggunaan BTP yang melebihi standar.
2
IV. ANALISIS PENYELESAIAN MASALAH
4. 1 Bahan baku
Abon ikan tongkol terbuat dari ikan tongkol yang diberi bahan tambahan seperti
bumbu-bumbu (bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, daun salam, laos, dan
garam), santan kelapa kemasan, gula dan garam, dan minyak goreng.
Secara terperinci standar mutu abon tertera pada SNI untuk abon No.0368-80, 0368-85,
dapat dilihat pada Lampiran 1
3
logam berat. Batas cemaran logam berat pada Ikan menurut Perka BPOM No.23 tahun
2017 tentang batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan olahan dapat dilihat
pada tabel berikut:
As Pb Hg Cd
Dari bahan baku sampai proses produksi pada abon ikan tuna berpotensi untuk
timbul bahaya kimia. Bahaya yang sering terjadi bisa berasal dari sifat alami dari ikan
tongkol. Kemudian cemaran lingkungan mulai dari pengambilan komoditas di laut sampai
lingkungan produksi. Bahaya kimia juga bisa terbentuk akibat proses pengolahan. Selain itu
penggunaan BTP yang melebihi standar dapat menimbulkan bahaya kimia pada produk
abon ikan tuna. Untuk itu kita perlu untuk mengetahui lebih lanjut potensi bahaya kimia
yang terdapat pada abon ikan tongkol.
V. PEMBAHASAN
5.1 Bahaya Kimia yang Bersifat Alami dari Pengolahan Abon Ikan Tongkol
Ikan tongkol merupakan salah satu dari kelompok scombroid seperti tuna, tongkol,
cakalang dan sejenisnya. Ikan laut yang berasal dari family scombroid yang bisa
mengandung histamin. Histamin merupakan komponen biogenik yaitu bahan aktif yang
diproduksi secara biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas. Histamin
ini salah satu senyawa biogenik amin yang dianggap sebagai penyebab utama keracunan
makanan yang berasal dari ikan terutama kelompok scombroid. . Histamin dapat terbentuk
pada temperatur tinggi (>20 C). Pendingan dan pembekuan yang cepat setelah ikan mati
merupakan tindakan yang sangat penting dalam upaya mencegah pembetukan
scombrotoxin (histamin). Histamin tidak akan terbentuk bila ikan disimpan dibawah suhu 5
derajat C. Pembekuan yang cukup lama (24 minggu) diduga akan menginaktifkan bakteri
pembentuk enzim dekarboksilae dan diduga dapat menurngi pembentukan histamin.
4
Adapun bahaya kimia tersebut adalah logam berat seperti timbal dan kadmium. Menurut
Hananingtyas (2017), rata-rata cemaran timbal pada ikan tongkol di Pantai Utara Jawa
adalah sebesar 0,276 mg/kg. Angka ini masih berada di bawah batas cemaran maksimum
Timbal pada produk Abon Ikan (kategori pangan 09.0) yakni 0,40 mg/kg untuk jenis ikan
tongkol. Rata-rata cemaran kadmium ikan tongkol di Pantai Utara Jawa sebesar 0,156
mg/kg dan masih di batas cemaran maksimal Kadmium yakni 0,30 mg/kg. Rata-rata
cemaran Merkuri ikan tongkol di Pantai Utara Jawa sebesar 0,141 mg/kg dan masih jauh di
bawah batas maksimal cemaran merkuri yaitu 0,40mg/ kg. Batas Maksimal cemaran logam
berat lainnya ialah Arsen (As) yaitu 0,25 mg/kg. (PBOM no. 8, 2018). Cemaran logam berat
timbal (Pb), Merkuri (Hg) dan kadmium (Cd) diindikasikan berasal dari pembuangan limbah
industri yang tidak ramah lingkungan yang mencemari lautan habitat ikan sehingga logam-
logam berat ini mengalami bioakumulasi di dalam tubuh ikan.
5
kemasan yang digunakan. Kondisi kemasan harus tertutup rapat agar abon tidak mudah
teroksidasi yang dapat mengakibatkan ketengikan.
5.4 BTP yang Digunakan Pada Komoditi untuk Memperpanjang Masa Simpan
Menurut Perka BPOM No. 11 Tahun 2019, Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah
bahan yang ditambahkan kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.
BTP yang umumnya terdapat dalam abon adalah penguat rasa, dan pengawet. Pembuatan
abon ikan tongkol dengan cara mencampurkan daging ikan tongkol, bumbu-bumbu, gula
merah, garam, dan santan melalui proses pemasakan yang lama, yakni perebusan atau
pengukusan, pencabikan, penambahan bumbu, dan pemasakan/ penggorengan. Dalam
proses pemasakan tersebut, kadar air dalam abon menurun dengan cukup drastis sehingga
dapat memperpanjang waktu simpan abon tanpa menambahkan bahan pengawet sintetis.
Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang umumnya terdapat pada abon ikan tongkol
adalah penguat rasa. Monosodium glutamat (MSG) merupakan garam natrium dari asam
glutamat yang merupakan salah satu asam amino non-esensial paling berlimpah yang
terbentuk secara alami. Food and Drug Administration (FDA) mengklasifikasikan MSG
sebagai Generally Recognized as Safe (GRAS/Secara Umum Diakui Aman) dan Uni Eropa
sebagai zat tambahan makanan. Glutamat dalam MSG memberi rasa umami yang sama
seperti glutamat dari makanan lain. Sebagai pemberi cita rasa dan dalam jumlah yang tepat,
MSG memiliki kemampuan untuk memperkuat senyawa aktif rasa lainnya,
menyeimbangkan, dan menyempurnakan rasa keseluruhan pada masakan tertentu. Namun
seperti perasa dasar lain kecuali sukrosa, MSG menambah kesedapan hanya dalam kadar
yang tepat. MSG yang berlebihan akan dengan cepat merusak rasa masakan. Menurut
Perka BPOM No. 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan, batas maksimum
MSG yang diizinkan dalam abon ikan tongkol adalah CPPB artinya dosis yang digunakan
adalah serendah mungkin untuk dapat memberikan efek citarasa yang diinginkan.
Pewarna
6
Merah bit Untuk bagian luar atau dekorasi
Sorbitol CPPB
Pektin CPPB
Dari tabel dapat dilihat bahwa hanya beberapa BTP yang memiliki batas maksimal
terukur. BTP yang batas maksimalnya CPPB mengindikasikan bahwa BTP tersebut
digunakan secukupnya sampai memberikan manfaat. Bahan Tambahan Pangan dari
golongan pewarna alami yakni Ekstrak cochineal dan Karmin CI. No. 75470 memiliki batas
maksimal yang sama yakni masing-masing 500 mg/kg. Berdasarkan EFSA Journal (2015)
menerima laporan bahwa penggunaan pewarna ekstrak cochineal dan karmin yang
digunakan lebih dari batas maksimal dapat menimbulkan reaksi alergi. Sedangkan
penggunaan beta-karoten yang berlebihan dapat menyebabkan karotenemia (Edigin, et al.,
2019). Pewarna sintetis seperti Tartazine dan Ponceau memiliki batas maksimal
penggunaan yang jauh lebih kecil yakni hanya sebesar 15 mg/kg. Penggunaan pewarna
sintetis melebihi batas maksimal dapat menimbulkan bahaya seperti urtikaria (ruam kulit),
rinitis (hidung meler), asma, purpura (kulit lebam) dan anafilaksis sistemik (shock), dan
hiperaktivitas pada anak dalam beberapa kasus (Karunia, 2013).
7
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Abon adalah ikan olahan yang dibuat dari daging ikan dan diproses secara
tradisional melalui perebusan, pemberian bumbu dan penggorengan. Metode
penggorengan yang biasanya digunakan adalah deep frying
2. Bahan kimia yang berasal dari internal bahan baku adalah Histamin yang merupakan
salah satu senyawa biogenik amin yang dianggap sebagai penyebab utama
keracunan makanan yang berasal dari ikan terutama kelompok scombroid
3. Bahan kimia yang berasal dari eksternal lingkungan yaitu cemaran logam berat
timbal (Pb), Merkuri (Hg) dan kadmium (Cd) yang diindikasikan berasal dari
pembuangan limbah industri yang tidak ramah lingkungan yang mencemari lautan
habitat ikan sehingga logam-logam berat ini mengalami bioakumulasi di dalam tubuh
ikan.
4. Bahan kimia yang berasal dari proses pengolahan yakni pertama pada proses
pencucian ikan tongkol bahaya kimia dapat timbul ketika proses pencucian tidak
dilakukan dengan baik. Kedua pada saat proses pemasakan (pemanasan) yang
memungkinkan produk secara kesehatan mengalami penurunan. Akibat pemanasan
yang terlalu lama dan tidak dikendalikan membuat produk yang dihasilkan
mengalami reaksi Maillard antara karbohidrat (glikogen) khususnya gula pereduksi
dengan gugus amina primer menghasilkan warna coklat pada bahan. Pembentukan
warna ini mengindikasikan adanya akrilamida yaitu senyawa yang diketahui bersifat
karsinogenik. Semakin gelap warna produk akibat pemasakan, makin banyak
kandungan akrilamida di dalamnya.
5. Bahan kimia yang berasal dari Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada pengolahan
abon ikan tongkol salah satunya adalah penggunaan MSG yang berlebihan yang
dapat menyebabkan kerusakan pada rasa masakan.
6.2 Saran
1. Perlu dilakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha secara pro-aktif
agar pelaku usaha dapat melkukan produksi sesuai dengan Cara Produksi Pangan
Olahan yang Baik (CPPOB) dan SNI (Standart Nasional Indonesia).
2. Perlu adanya edukasi kepada masyarakat dalam memilih bahan baku yang
berkualitas.
3. Sebagai seorang penulis tidak luput dari kesalahan meskipun targetnya adalah
kesempurnaan, Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikkan kedepannya.
8
REFERENSI
Brunton, N., R. Gormley, & B. Murray. 2005. Status Report on Acrylamide in Potato
Products. The National Food Centre, Ashtown, Dublin.
Edigin et al. 2019. Carotenemia: A Case Report. Curesu 11(7): 1-4.
EFSA Panel on Food Additives and Nutrient Sources added to Food. 2015. Scientific
Opinion on the re-evaluation of cochineal, carminic acid, carmines (E 120) as a food
additive. EFSA Journal 13(11): 1-64.
FDA (Food and Drug Administration). 2009. Acrylamide in Food. Federal Register. Vol. 74.
No. 164. www.thefederalregister.com. Diakses 25 Februari 2022.
Hananingtyas, I. 2017. Bahaya Kontaminasi Logam Berat Merkuri (Hg) dalam Ikan Laut dan
Upaya Pencegahan Kontaminasi pada Manusia. Al-ard Jurnal Teknik Lingkungan
2(2): 39-45.
Hananingtyas, I. 2017. Studi Pencemaran Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) dan
Kadmium (Cd) pada Ikan Tongkol (Euthynnus sp.) di Pantai Utara Jawa. Biotropic
1(2): 41-50.
Hidayat, R. Amirudin. 2012. Konsep Pengendalian Mutu dan HACCP (Hazard Analysis
Critical Control Point) Dalam Proses Pembuatan Abon Sapi Merk PS Mas. Laporan
Tugas Akhir Program Studi D-III Teknologi Hasil Pertanian Universitas Sebelas
Maret. Hal 1-14.
Hikmawati, Alivia dan Lilis Sulistyorini. 2006. Perubahan Kadar Merkuri (Hg) Pada Ikan
Tongkol (Euthynnus, sp) dengan Perlakuan Perendaman Larutan Jeruk Nipis dan
Pemasakan. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Vol. 3, No.1,
Karunia, FB. 2013. Kajian Penggunaan Zat Aditif pada Kudapan Bahan Pangan Lokal di
Pasar Semarang. FSCEJ 2(2): 72-78.
Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Bahan
Tambahan Pangan.
Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Batas
Maksimum Cemaran Kimia Dalam Pangan Olahan.
Renol, Finarti dkk. 2020. Mutu Kimia dan Organoleptik Abon Ikan Tongkol (Euthynnus
affinis) pada Berbagai Lama Penggorengan. Journal of Fisheries, Marine and
Aquatic Science. Vol.2, No.1
Situmorang, Eka Damayanti. 2019. Analisis Kandungan Merkuri dan Timbal pada Ikan
Segar serta Karakteristik Konsumen di TPI Bagan Deli Belawan Medan. Skripsi.
Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara.
Uyunun, U., Yuliana, E., & Nurilmala, M. 2020. Analisis Prospektif Usaha Abon Ikan (Kasus:
CV Aroma Food Kota Banda Aceh). PELAGICUS, 1(3), 123-134.
9
LAMPIRAN
Komponen Nilai
Protein 20%
Abu (maksimum) 9%
Jamur Negatif
10
Lampiran 2. Cara Perhitungan Batas Maksimum Dioksin
11