Anda di halaman 1dari 12

PROBLEM BASED LEARNING (PBL) 2.

B
IDENTIFIKASI BAHAYA KEAMANAN PANGAN KIMIA DAN PENGGUNAAN BAHAN
TAMBAHAN PANGAN YANG BERLEBIHAN PADA PANGAN OLAHAN
ABON IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis)

Disusun oleh :
Kelas 2 | Kelompok 4

Ika Auliya Mardlotillah Universitas Airlangga


Dyah Cornelia Rahmawati Universitas Brawijaya
Eva Qurrota A’yun Universitas Brawijaya
Wildanna Rohma S Universitas Negeri Malang
Dinar Fadlunnisa Universitas Padjadjaran
Dina Arwanti Karunia Universitas Sumatera Utara
Marizsa Salsabiila Universitas Gadjah Mada

MAGANG BERSERTIFIKAT
PANGAN AMAN GOES TO CAMPUS
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................................... 1


I. PENDAHULUAN ................................................................................................................ 2
II. TUJUAN ........................................................................................................................... 2
III. PERMASALAHAN ........................................................................................................... 2
IV. ANALISIS PENYELESAIAN MASALAH .......................................................................... 3
4. 1 Bahan baku ................................................................................................................ 3
4.2 Proses Produksi .......................................................................................................... 3
4.3 Standar Mutu Abon ..................................................................................................... 3
4.4 Batas Cemaran Kimia................................................................................................. 3
4.5 Potensi Bahaya Kimia ................................................................................................. 4
V. PEMBAHASAN ................................................................................................................ 4
5.1 Bahaya Kimia yang Bersifat Alami dari Pengolahan Abon Ikan Tongkol ...................... 4
5.2 Jenis Bahaya Kimia yang Merupakan Cemaran dari Lingkungan ................................ 4
5.3. Jenis Bahaya Kimia yang Terbentuk Akibat Pengolahan………………………………..5
5.4 BTP yang Digunakan Pada Komoditi untuk Memperpanjang Masa Simpan ................ 6
5.5 Bahaya Akibat Penggunaan BTP yang Melebihi Standar ............................................ 6
5.6 Kemasan yang Digunakan Sesuai untuk Abon Ikan .................................................... 7
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................ 8
6.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 8
6.2 Saran .......................................................................................................................... 8
LAMPIRAN ......................................................................................................................... 10

1
I. PENDAHULUAN

Abon merupakan salah satu produk olahan pangan yang diminati masyarakat karena
memiliki cita rasa yang enak, praktis, sekaligus memiliki masa simpan yang panjang. Abon
dibuat dari bahan baku daging ikan, ayam, maupun sapi yang disuwir menjadi serabut-
serabut kecil yang ditambahkan bumbu-bumbu lalu digoreng dan dipress untuk meniriskan
minyak dari hasil penggorengan. Ikan Tongkol merupakan salah satu jenis ikan yang
digunakan sebagai bahan baku pembuatan abon. Ikan Tongkol tergolong dalam jenis ikan
pelagis besar yang hidup secara berkelompok.
Meskipun digemari, sayangnya produk Abon Ikan Tongkol tidak terlepas dari
kemungkinan bahaya kimia baik dari faktor ekstrinsik seperti cemaran logam berat dari
lingkungan ekosistem laut habitat ikan, produksi akrilamida selama proses pengolahan,
penambahan Bahan Tambahan Pangan yang melebihi batas maksimal dan kemasan
maupun faktor intrinsik yakni bahaya kimia yang terdapat di dalam komoditi Ikan Tongkol.
Suatu produk yang mendapatkan izin edar BPOM harus memenuhi standar mutu
salah satunya batas cemaran bahan kimia. Oleh karena itu penting bagi produsen untuk
mencermati kemungkinan cemaran kimia pada produknya dengan meninjau mulai dari
bahan baku, pengolahan, hingga pengemasan untuk memastikan produk yang dihasilkan
aman dari bahaya kimia dan memenuhi standar baku mutu. Di samping itu, produsen
memiliki tanggung jawab moral kepada konsumen dengan memastikan produk yang mereka
produksi aman dan bebas dari bahaya dikarenakan bahaya kimia bersifat bioakumulasi.
Oleh karena itu, laporan ini memuat identifikasi kemungkinan cemaran bahaya kimia
pada produk Abon Ikan Tongkol termasuk yang berasal dari Bahan Tambahan Pangan
berdasarkan Peraturan BPOM no. 11 tahun 2019, batas cemaran yang diatur dalam
Peraturan BPOM no. 8 tahun 2018, serta tindakan pencegahan dari pengolahan Abon Ikan
Tongkol.

II. TUJUAN
Laporan ini bertujuan untuk mengidentifikasi bahaya kimia yang berasal dari internal
bahan baku maupun cemaran eksternal dari lingkungan, proses pengolahan, dan bahan
tambahan yang digunakan pada produk abon ikan tongkol.

III. PERMASALAHAN
Pada laporan ini, produk yang diangkat yaitu abon ikan tuna.Dalam PerBPOM No. 34
Tahun 2019 tentang kategori pangan, abon ikan adalah produk perikanan dengan bahan
baku ikan segar yang mengalami perlakuan perebusan atau pengukusan, pencabikan,
penambahan bumbu, dan pemasakan/penggorengan. Permasalahan yang dihadapi oleh
industri abon ikan tuna saat ini yaitu ketersediaan bahan baku yang berkualitas, sarana
produksi yang kurang memadai, teknik pengolahan yang kurang tepat, lemahnya
jaminan mutu, kurangnya pengetahuan tentang standar keamanan pangan dan kurangnya
pemasaran. Salah satu untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan dengan
menganalisis potensi kontaminasi kimia yang akan terjadi untuk mencegah penurunan mutu.
Dalam menganalisis kontaminasi kimia yang terjadi perlu diketahui bahaya kimia yang
terkandung yang bersifat alami pada bahan tersebut serta bahaya kimia pada saat proses
pengolahan dan penggunaan BTP yang melebihi standar.

2
IV. ANALISIS PENYELESAIAN MASALAH

4. 1 Bahan baku
Abon ikan tongkol terbuat dari ikan tongkol yang diberi bahan tambahan seperti
bumbu-bumbu (bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, daun salam, laos, dan
garam), santan kelapa kemasan, gula dan garam, dan minyak goreng.

4.2 Proses Produksi


Menurut SNI 01-3707-1995, abon adalah suatu jenis makanan kering yang dibuat
dari daging/ ikan yang direbus dan disayat-sayat, kemudian diberi bumbu, digoreng, dan di
press. Pada prinsipnya, abon merupakan suatu proses pengawetan daging/ ikan yang
mengkombinasikan perebusan dan penggorengan dengan menambahkan bumbu-bumbu.
proses pemasakan abon yang lama bertujuan untuk pengurangan kadar air dalam daging
sehingga akan lebih awet.
Prosedur pembuatan abon ikan tongkol diawali dengan pemisahan daging dari duri
dan bagian kepalanya, kemudian dicuci, ditiriskan, dan direbus pada suhu 70-75⁰ C selama
15 menit. Selanjutnya daging dicabik-cabik dan ditumis dengan bumbu yang telah disiapkan.
Ditambahkan gula merah dan santan kemasan, kemudian digoreng selama 5 menit pada
suhu 115-130⁰ C hingga berwarna coklat kekuning-kuningan. Proses selanjutnya adalah
penirisan dan pengepresan abon yang bertujuan untuk mengurangi kadar minyak.
Kemudian abon diangin-anginkan dan dipisahkan agar tidak menggumpal. Selanjutnya abon
dikemas dengan alat Hand Film Sealer.

4.3 Standar Mutu Abon


Beberapa nilai yang harus dipenuhi dalam abon adalah:
- Kadar air: berpengaruh terhadap daya simpan dan keawetan abon.
- Kadar abu: menurunkan derajat penerimaan dari konsumen.
- Kadar lemak: berasal dari minyak goreng dalam proses penggorengan.
- Kadar Protein: indikator berapa jumlah daging/ ikan dalam abon

Secara terperinci standar mutu abon tertera pada SNI untuk abon No.0368-80, 0368-85,
dapat dilihat pada Lampiran 1

4.4 Batas Cemaran Kimia


Dalam Perka BPOM No.8 Tahun 2018 tentang batas maksimum cemaran kimia
dalam pangan olahan menjelaskan bahwa cemaran kimia adalah cemaran dalam makanan
yang berasal dari unsur atau senyawa kimia yang dapat merugikan dan membahayakan
kesehatan manusia. Sedangkan batas maksimum adalah konsentrasi maksimum Cemaran
Kimia yang diizinkan dapat diterima dalam pangan olahan. Batas cemaran kimia Dioksin
yang terdapat pada ikan olahan sebesar 3,5 pg/g berat basah. Untuk perhitungan batas
maksimum cemaran kimia Dioksin dapat dilihat pada Lampiran 2. Pengujian cemaran kimia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal 5 UU No.8 tahun 2018 dapat dilakukan di
laboratorium yang terakreditasi di Indonesia dengan menggunakan metode analisis yang
tervalidasi atau terverifikasi.
Ikan tongkol bisa mengandung logam berat karena berdasarkan tempat
hidupnya,ikan tongkol merupakan jenis pelagik besar yaitu ikan yang hidup di perairan lepas
dasar atau lapisan antara dasar dan permukaan yang bisa kemungkinan mengandung

3
logam berat. Batas cemaran logam berat pada Ikan menurut Perka BPOM No.23 tahun
2017 tentang batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan olahan dapat dilihat
pada tabel berikut:

Kategori Pangan Batas Maksimum (mg/kg)

As Pb Hg Cd

Ikan dan Produk 0,25 0,20 0,06 0,10


Perikanan
Termasuk (kecuali untuk (kecuali untuk (kecuali untuk
Moluska, ikan predator ikan predator ikan predator
Krustase, dan olahan seperti olahan seperti olahan seperti
Ekinodermata cucut, tuna, cucut, tuna, cucut, tuna,
serta Amfibi dan marlin 0,40) marlin 0,40) marlin 0,30)
Reptil

4.5 Potensi Bahaya Kimia

Dari bahan baku sampai proses produksi pada abon ikan tuna berpotensi untuk
timbul bahaya kimia. Bahaya yang sering terjadi bisa berasal dari sifat alami dari ikan
tongkol. Kemudian cemaran lingkungan mulai dari pengambilan komoditas di laut sampai
lingkungan produksi. Bahaya kimia juga bisa terbentuk akibat proses pengolahan. Selain itu
penggunaan BTP yang melebihi standar dapat menimbulkan bahaya kimia pada produk
abon ikan tuna. Untuk itu kita perlu untuk mengetahui lebih lanjut potensi bahaya kimia
yang terdapat pada abon ikan tongkol.

V. PEMBAHASAN
5.1 Bahaya Kimia yang Bersifat Alami dari Pengolahan Abon Ikan Tongkol
Ikan tongkol merupakan salah satu dari kelompok scombroid seperti tuna, tongkol,
cakalang dan sejenisnya. Ikan laut yang berasal dari family scombroid yang bisa
mengandung histamin. Histamin merupakan komponen biogenik yaitu bahan aktif yang
diproduksi secara biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas. Histamin
ini salah satu senyawa biogenik amin yang dianggap sebagai penyebab utama keracunan
makanan yang berasal dari ikan terutama kelompok scombroid. . Histamin dapat terbentuk
pada temperatur tinggi (>20 C). Pendingan dan pembekuan yang cepat setelah ikan mati
merupakan tindakan yang sangat penting dalam upaya mencegah pembetukan
scombrotoxin (histamin). Histamin tidak akan terbentuk bila ikan disimpan dibawah suhu 5
derajat C. Pembekuan yang cukup lama (24 minggu) diduga akan menginaktifkan bakteri
pembentuk enzim dekarboksilae dan diduga dapat menurngi pembentukan histamin.

5.2 Jenis Bahaya Kimia yang Merupakan Cemaran dari Lingkungan


Bahaya kimia yang merupakan cemaran dari lingkungan pada produk abon ikan
tongkol berasal dari bahan baku ikan tongkol yang merupakan jenis ikan pelagis besar.

4
Adapun bahaya kimia tersebut adalah logam berat seperti timbal dan kadmium. Menurut
Hananingtyas (2017), rata-rata cemaran timbal pada ikan tongkol di Pantai Utara Jawa
adalah sebesar 0,276 mg/kg. Angka ini masih berada di bawah batas cemaran maksimum
Timbal pada produk Abon Ikan (kategori pangan 09.0) yakni 0,40 mg/kg untuk jenis ikan
tongkol. Rata-rata cemaran kadmium ikan tongkol di Pantai Utara Jawa sebesar 0,156
mg/kg dan masih di batas cemaran maksimal Kadmium yakni 0,30 mg/kg. Rata-rata
cemaran Merkuri ikan tongkol di Pantai Utara Jawa sebesar 0,141 mg/kg dan masih jauh di
bawah batas maksimal cemaran merkuri yaitu 0,40mg/ kg. Batas Maksimal cemaran logam
berat lainnya ialah Arsen (As) yaitu 0,25 mg/kg. (PBOM no. 8, 2018). Cemaran logam berat
timbal (Pb), Merkuri (Hg) dan kadmium (Cd) diindikasikan berasal dari pembuangan limbah
industri yang tidak ramah lingkungan yang mencemari lautan habitat ikan sehingga logam-
logam berat ini mengalami bioakumulasi di dalam tubuh ikan.

5.3 Jenis Bahaya Kimia yang Terbentuk Akibat Pengolahan


Dalam proses pengolahan abon ikan mengalami perlakuan perebusan atau
pengukusan, pencabikan, penambahan bumbu, dan pemasakan/penggorengan. Sebelum
dilakukan proses tersebut, bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan abon
ikan tuna harus aman untuk dikonsumsi dan pemilihan bahan yang berkualitas. Pada proses
pencucian ikan tongkol bahaya kimia dapat timbul ketika proses pencucian tidak dilakukan
dengan baik. Pencucian yang baik menggunakan air yang mengalir bersuhu 26 ⁰C selama
+/- 20 detik/ikan sampai dilihat bersih tidak ada kotoran dan lendir yang menempel pada
kulit ikan. Proses pencucian ikan tongkol dapat mengurangi timbulnya bahaya kimia dari
cemaran logam berat yang masih terdapat pada ikan sehingga mendapatkan ikan yang
bersih.
Adapun cara pengolahannya selanjutnya ikan dikukus untuk mengurangi dan
membunuh bakteri pembusuk. Selanjutnya daging yang sudah masak diambil dan
dilunakkan, lalu dicampur bumbu dan gula pada wajan pemanasan. Pada saat pemasakan
inilah memungkinkan produk secara kesehatan mengalami penurunan. Ketika makanan
digoreng pada minyak goreng panas pada suhu yang tinggi, banyak reaksi kompleks yang
terjadi di dalam minyak dan pada saat itu minyak akan mengalami kerusakan. Kerusakan
minyak yang berlanjut dan melebihi angka yang ditetapkan akan menyebabkan menurunnya
efisiensi penggorengan dan kualitas produk akhir. Akibat pemanasan yang terlalu lama dan
tidak dikendalikan membuat produk yang dihasilkan mengalami reaksi Maillard antara
karbohidrat (glikogen) khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer menghasilkan
warna coklat pada bahan. Pembentukan warna ini mengindikasikan adanya akrilamida yaitu
senyawa yang diketahui bersifat karsinogenik. Mekanisme utama pembentukan akrilamida
dalam makanan melalui reaksi Maillard, yaitu reaksi antara gula reduksi hasil degradasi pati
(karbohidrat) (seperti glukosa dan fruktosa) dengan asam amino bebas (seperti alanin,
asparagin, glutamin, dan metionin) yang terdapat secara alami dalam bahan pangan dengan
pemanasan menggunakan suhu tinggi (di atas 120 °C).Semakin gelap warna produk akibat
pemasakan, makin banyak kandungan akrilamida di dalamnya.
Batas ambang akrilamida menurut FDA (2009) melaporkan bahwa diperkirakan
asupan akrilamida bagi konsumen AS rata-rata 0,4 µg/KgBB/hari. Untuk konsumen
Internasional rata-rata berkisar 0,2-1,4 µg/KgBB/hari. Berdasarkan perkiraan dari berbagai
negara, diidentifikasi rata-rata asupan akrilamida dari 1-4 µg/KgBB/hari (Brunton et al.
2005). World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada populasi umum, rata-
rata asupan akrilamida melalui makanan berada pada rentang 0,3–0,8 μg/kgBB/hari. Pada
proses pengemasan abon ikan juga dapat terkontaminasi bahaya kimia yang terdapat pada

5
kemasan yang digunakan. Kondisi kemasan harus tertutup rapat agar abon tidak mudah
teroksidasi yang dapat mengakibatkan ketengikan.

5.4 BTP yang Digunakan Pada Komoditi untuk Memperpanjang Masa Simpan

Menurut Perka BPOM No. 11 Tahun 2019, Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah
bahan yang ditambahkan kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.
BTP yang umumnya terdapat dalam abon adalah penguat rasa, dan pengawet. Pembuatan
abon ikan tongkol dengan cara mencampurkan daging ikan tongkol, bumbu-bumbu, gula
merah, garam, dan santan melalui proses pemasakan yang lama, yakni perebusan atau
pengukusan, pencabikan, penambahan bumbu, dan pemasakan/ penggorengan. Dalam
proses pemasakan tersebut, kadar air dalam abon menurun dengan cukup drastis sehingga
dapat memperpanjang waktu simpan abon tanpa menambahkan bahan pengawet sintetis.

Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang umumnya terdapat pada abon ikan tongkol
adalah penguat rasa. Monosodium glutamat (MSG) merupakan garam natrium dari asam
glutamat yang merupakan salah satu asam amino non-esensial paling berlimpah yang
terbentuk secara alami. Food and Drug Administration (FDA) mengklasifikasikan MSG
sebagai Generally Recognized as Safe (GRAS/Secara Umum Diakui Aman) dan Uni Eropa
sebagai zat tambahan makanan. Glutamat dalam MSG memberi rasa umami yang sama
seperti glutamat dari makanan lain. Sebagai pemberi cita rasa dan dalam jumlah yang tepat,
MSG memiliki kemampuan untuk memperkuat senyawa aktif rasa lainnya,
menyeimbangkan, dan menyempurnakan rasa keseluruhan pada masakan tertentu. Namun
seperti perasa dasar lain kecuali sukrosa, MSG menambah kesedapan hanya dalam kadar
yang tepat. MSG yang berlebihan akan dengan cepat merusak rasa masakan. Menurut
Perka BPOM No. 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan, batas maksimum
MSG yang diizinkan dalam abon ikan tongkol adalah CPPB artinya dosis yang digunakan
adalah serendah mungkin untuk dapat memberikan efek citarasa yang diinginkan.

5.5 Bahaya Akibat Penggunaan BTP yang Melebihi Standar


Berdasarkan Peraturan BPOM no. 11 tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan,
adapun BTP yang diperbolehkan untuk digunakan pada produk abon Ikan beserta batas
maksimalnya dapat dilihat pada tabel.

Nama Bahan Tambahan Pangan Batas Maksimal (mg/kg)

Monosodium L-glutamat CPPB

Pewarna

Beta-karoten 1000 sebagai glazing, coating, dan dekorasi

Ekstrak cochineal 500

Karamel I Plain Untuk bagian luar atau dekorasi

Karmin CI. No. 75470 500

Klorofil CI. No. 75810 Untuk bagian luar atau dekorasi

6
Merah bit Untuk bagian luar atau dekorasi

Ponceau 4R CI. No. 16255 15

Tartrazine CI. No. 19140 15

Pengatur Keasaman & Penstabil

Natrium Hidrogen Karbonat CPPB

Sorbitol CPPB

Sorbitol sirup CPPB

Natrium Karboksimetil selulsa CPPB

Pektin CPPB

Dari tabel dapat dilihat bahwa hanya beberapa BTP yang memiliki batas maksimal
terukur. BTP yang batas maksimalnya CPPB mengindikasikan bahwa BTP tersebut
digunakan secukupnya sampai memberikan manfaat. Bahan Tambahan Pangan dari
golongan pewarna alami yakni Ekstrak cochineal dan Karmin CI. No. 75470 memiliki batas
maksimal yang sama yakni masing-masing 500 mg/kg. Berdasarkan EFSA Journal (2015)
menerima laporan bahwa penggunaan pewarna ekstrak cochineal dan karmin yang
digunakan lebih dari batas maksimal dapat menimbulkan reaksi alergi. Sedangkan
penggunaan beta-karoten yang berlebihan dapat menyebabkan karotenemia (Edigin, et al.,
2019). Pewarna sintetis seperti Tartazine dan Ponceau memiliki batas maksimal
penggunaan yang jauh lebih kecil yakni hanya sebesar 15 mg/kg. Penggunaan pewarna
sintetis melebihi batas maksimal dapat menimbulkan bahaya seperti urtikaria (ruam kulit),
rinitis (hidung meler), asma, purpura (kulit lebam) dan anafilaksis sistemik (shock), dan
hiperaktivitas pada anak dalam beberapa kasus (Karunia, 2013).

5.6 Kemasan yang Digunakan Sesuai untuk Abon Ikan


Kemasan yang digunakan pada Abon ikan biasanya yaitu plastik, aluminium foil,
kaleng dan botol kaca. Bahan kemasan harus tidak tembus air karena mengingat abon
merupakan produk kering. Apabila kemasan menggunakan kaleng yang tidak dilapisi
dengan benar terjadi reaksi yang bisa menyebabkan kaleng mengalami korosi dan
kebocoran, . Abon ikan yang dikemas botol kaca mampu menahan uap air . Kadar air dapat
terhalang baik oleh kemasan botol kaca. Hal ini dikarenakan botol kaca memiliki dinding
yang lebih tebal dengan pori pori yang lebih kecil. Menurut Bray (2001) titik lebur pasir silika
sangat tinggi mencapai 1700℃ lalu didinginkan sehingga membentuk kaca padat dengan
kerapatan yang tinggi.

7
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Abon adalah ikan olahan yang dibuat dari daging ikan dan diproses secara
tradisional melalui perebusan, pemberian bumbu dan penggorengan. Metode
penggorengan yang biasanya digunakan adalah deep frying
2. Bahan kimia yang berasal dari internal bahan baku adalah Histamin yang merupakan
salah satu senyawa biogenik amin yang dianggap sebagai penyebab utama
keracunan makanan yang berasal dari ikan terutama kelompok scombroid
3. Bahan kimia yang berasal dari eksternal lingkungan yaitu cemaran logam berat
timbal (Pb), Merkuri (Hg) dan kadmium (Cd) yang diindikasikan berasal dari
pembuangan limbah industri yang tidak ramah lingkungan yang mencemari lautan
habitat ikan sehingga logam-logam berat ini mengalami bioakumulasi di dalam tubuh
ikan.
4. Bahan kimia yang berasal dari proses pengolahan yakni pertama pada proses
pencucian ikan tongkol bahaya kimia dapat timbul ketika proses pencucian tidak
dilakukan dengan baik. Kedua pada saat proses pemasakan (pemanasan) yang
memungkinkan produk secara kesehatan mengalami penurunan. Akibat pemanasan
yang terlalu lama dan tidak dikendalikan membuat produk yang dihasilkan
mengalami reaksi Maillard antara karbohidrat (glikogen) khususnya gula pereduksi
dengan gugus amina primer menghasilkan warna coklat pada bahan. Pembentukan
warna ini mengindikasikan adanya akrilamida yaitu senyawa yang diketahui bersifat
karsinogenik. Semakin gelap warna produk akibat pemasakan, makin banyak
kandungan akrilamida di dalamnya.
5. Bahan kimia yang berasal dari Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada pengolahan
abon ikan tongkol salah satunya adalah penggunaan MSG yang berlebihan yang
dapat menyebabkan kerusakan pada rasa masakan.

6.2 Saran
1. Perlu dilakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha secara pro-aktif
agar pelaku usaha dapat melkukan produksi sesuai dengan Cara Produksi Pangan
Olahan yang Baik (CPPOB) dan SNI (Standart Nasional Indonesia).
2. Perlu adanya edukasi kepada masyarakat dalam memilih bahan baku yang
berkualitas.
3. Sebagai seorang penulis tidak luput dari kesalahan meskipun targetnya adalah
kesempurnaan, Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikkan kedepannya.

8
REFERENSI

Brunton, N., R. Gormley, & B. Murray. 2005. Status Report on Acrylamide in Potato
Products. The National Food Centre, Ashtown, Dublin.
Edigin et al. 2019. Carotenemia: A Case Report. Curesu 11(7): 1-4.
EFSA Panel on Food Additives and Nutrient Sources added to Food. 2015. Scientific
Opinion on the re-evaluation of cochineal, carminic acid, carmines (E 120) as a food
additive. EFSA Journal 13(11): 1-64.
FDA (Food and Drug Administration). 2009. Acrylamide in Food. Federal Register. Vol. 74.
No. 164. www.thefederalregister.com. Diakses 25 Februari 2022.
Hananingtyas, I. 2017. Bahaya Kontaminasi Logam Berat Merkuri (Hg) dalam Ikan Laut dan
Upaya Pencegahan Kontaminasi pada Manusia. Al-ard Jurnal Teknik Lingkungan
2(2): 39-45.
Hananingtyas, I. 2017. Studi Pencemaran Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) dan
Kadmium (Cd) pada Ikan Tongkol (Euthynnus sp.) di Pantai Utara Jawa. Biotropic
1(2): 41-50.
Hidayat, R. Amirudin. 2012. Konsep Pengendalian Mutu dan HACCP (Hazard Analysis
Critical Control Point) Dalam Proses Pembuatan Abon Sapi Merk PS Mas. Laporan
Tugas Akhir Program Studi D-III Teknologi Hasil Pertanian Universitas Sebelas
Maret. Hal 1-14.
Hikmawati, Alivia dan Lilis Sulistyorini. 2006. Perubahan Kadar Merkuri (Hg) Pada Ikan
Tongkol (Euthynnus, sp) dengan Perlakuan Perendaman Larutan Jeruk Nipis dan
Pemasakan. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Vol. 3, No.1,
Karunia, FB. 2013. Kajian Penggunaan Zat Aditif pada Kudapan Bahan Pangan Lokal di
Pasar Semarang. FSCEJ 2(2): 72-78.
Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Bahan
Tambahan Pangan.
Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Batas
Maksimum Cemaran Kimia Dalam Pangan Olahan.
Renol, Finarti dkk. 2020. Mutu Kimia dan Organoleptik Abon Ikan Tongkol (Euthynnus
affinis) pada Berbagai Lama Penggorengan. Journal of Fisheries, Marine and
Aquatic Science. Vol.2, No.1
Situmorang, Eka Damayanti. 2019. Analisis Kandungan Merkuri dan Timbal pada Ikan
Segar serta Karakteristik Konsumen di TPI Bagan Deli Belawan Medan. Skripsi.
Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara.
Uyunun, U., Yuliana, E., & Nurilmala, M. 2020. Analisis Prospektif Usaha Abon Ikan (Kasus:
CV Aroma Food Kota Banda Aceh). PELAGICUS, 1(3), 123-134.

9
LAMPIRAN

Lampiran 1. Standar Mutu Abon SNI No.0368-80, 0368-85,

Komponen Nilai

Lemak (maksimum) 30%

Gula (maksimum) 30%

Protein 20%

Air (maksimum) 10%

Abu (maksimum) 9%

Aroma, warna, rasa Khas

Logam berat (Cu, Pb, Mg, Zn, dan As) Negatif

Jumlah bakteri (maksimum) 3.000/g

Bakteri bentuk coli Negatif

Jamur Negatif

10
Lampiran 2. Cara Perhitungan Batas Maksimum Dioksin

11

Anda mungkin juga menyukai