Anda di halaman 1dari 8

PAPER HUKUM DAN PERUNDANGAN KESEHATAN

“JURNAL TERKAIT KEBIJAKAN STUNTING DAN FAKTOR LINGKUNGAN


YANG MEMPENGARUHI”
KELOMPOK 1
DOSEN PENGAMPU : RIDWAN SALIMIN S.KM., MM

DISUSUN OLEH
1. ADHISTRYA PERBAWA NINGRUM (10322002)
2. AFIYAH FITRIANA ADIANTI (10322006)
3. ALLIBI SURYA RAMADHAN (10322009)
4. ANNA DZIKRI AKBARWATI D. (10322015)
5. ASHYFA RAMADHANI (10322017)
6. CARISTA ANGGRAINI PUSPITA P (10322020)
7. DEWI FORTUNA (10322025)
8. DI ARUM SUKA FATIKA SARI (10322026)
9. DINDA SATYA LARASATI (10322027)
10. LILY NUR INDAH SARI (10322042)
11. MAHAGUS GUMINTANG WICAKSONO (10322047)

PROGAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA

TAHUN AJARAN 2023/2024


A. PENGERTIAN
Stunting adalah suatu keadaan dimana anak dibawah usia lima tahun (balita)
memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang dari usianya; ini terjadi akibat
kurangnya asupan nutrisi yang kronis. Kondisi ini didefinisikan sebagai panjang atau
tinggi badan yang lebih dari dua standar deviasi di atas atau di bawah standar median
pertumbuhan anak WHO (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan,
2017; Kementerian Kesehatan RI, 2020). Stunting dimulai sejak dalam kandungan
dan berlanjut hingga dua tahun pertama kehidupan atau biasa disebut dengan 1000
hari pertama kehidupan (De Onis dan Branca, 2016). Dampak negatif stunting dapat
berlangsung seumur hidup bahkan berdampak pada generasi mendatang. Anak balita
yang mengalami stunting akan menderita kerugian atau kesulitan mencapai
perkembangan fisik dan kognitif yang optimal di masa depan, serta peningkatan risiko
terkena penyakit kronis saat dewasa (Torlesse et al., 2016; Vilcins, Sly, dan Jagals,
2018 ). Pada tahun 2020, sebanyak 22%, atau sekitar 149,2 juta anak di bawah usia 5
tahun, mengalami stunting secara global, dengan sebagian besar berada di kawasan
Afrika (30,7%), Asia (21,8%), dan Amerika Latin (11,3%). (Who, Unicef, dan Grup
Bank Dunia, 2021). Di Indonesia, proporsi anak stunting mengalami penurunan dari
37,2 persen pada tahun 2013 menjadi 30,8 persen pada tahun 2018, dan kemudian
menjadi 27,6 persen pada tahun 2019. Kondisi ini juga banyak terjadi di Sulawesi
Selatan, dengan angka berkisar antara 40,9 persen pada tahun 2013 hingga 35,6
persen pada tahun 2019. 2018 dan 30,6 persen pada tahun 2019 (Izwardy, 2020).
Sulawesi memiliki angka stunting yang tinggi di Indonesia. Meskipun negara-negara
Selatan telah mengalami penurunan, angka tersebut masih jauh dari rata-rata global
sebesar 22 persen.
Langkah utama yang harus dilakukan untuk mempercepat penurunan stunting
hingga ke tingkat keluarga adalah komitmen politik pengambil kebijakan untuk
melaksanakan program berskala besar. Agenda pengurangan stunting akan lebih
mudah dilaksanakan jika sejalan dengan tujuan global, jika dikoordinasikan di tingkat
nasional, provinsi, dan regional, dan jika setiap keluarga berpartisipasi secara aktif
(Organisasi Kesehatan Dunia, 2014). Partisipasi pemerintah dalam penurunan stunting
pada anak ditunjukkan dengan menetapkan target sebesar 14 persen yang harus
dicapai pada akhir periode RPJMN 2020-2024 (Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Bappenas, 2019). Jika melihat tren penurunan angka stunting
dari tahun 2013 hingga 2019 hanya berkisar 10%; Namun, untuk mencapai target
yang ditetapkan pada akhir tahun 2024, diperlukan tren penurunan yang lebih besar.
Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih komprehensif, termasuk penelitian
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting di berbagai daerah dan
kondisi masyarakat. Stunting pada anak dapat disebabkan oleh berbagai macam
faktor, antara lain kurangnya asupan gizi (De Onis et al., 2013). Ia melanjutkan, anak
stunting disebabkan oleh berbagai permasalahan, antara lain kondisi sosial dan
ekonomi, gizi ibu selama hamil, penyakit berulang pada bayi, sanitasi lingkungan, dan
penggunaan air.

B. KEBIJAKAN STUNTING
Berbagai kebijakan dan regulasi telah dikeluar kan pemerintah dalam rangka
penanggulangan stunting. Adapun kebijakan/regulasi tersebut, di antaranya yaitu :
1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025,
2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019,
3. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015,
4. Undang-Undang (UU) No. 36/2009 tentang Kesehatan,
5. Peraturan Pemerintah (PP) No.33/2012 tentang Air Susu Ibu Eksklusif,
6. Peraturan Presiden (Perpres) No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi,
7. Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 450/Menkes/SK/ IV/2004
tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Secara Eksklusif Pada Bayi di
Indonesia,
8. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.15/2013 tentang Tata Cara
Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu.
9. Permenkes No.3/2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
10. Permenkes No.23/2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi.
11. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional
PercepatanGiziDalamRangkaSeribuHariPertama Kehidupan (Gerakan 1.000
HPK), 2013. 12. Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK).
Penurunan angka stunting di Indonesia menjadi agenda nasional pembangunan
kesehatan periode 2015-2019 yang tercantum dalam pokok Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Tahun 2015-2019 (Depkes 2016) dan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025. Pemerintah di dalam RPJPN
mengagendakan Program Pem- bangunan Nasional Akses Universal Air Minum dan
Sanitasi Tahun 2019, dimana tahun 2019 Indonesia dicanangkan dapat menyediakan
layanan air minum dan sanitasi yang layak bagi 100% rakyat Indonesia. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2015-2019, mencanangkan penurunan
prevalensi stunting hingga 28% dari keadaan awal tahun 2013 sebesar 32,9%.
Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011- 2015 yang disusun oleh Bappenas
tahun 2011 memuat tentang program dan kegiatan, indikator, target tahunan, dan
alokasi anggaran indikatif dari berbagai sektor yang akan terlibat dalam implementasi
rencana aksi pangan dan gizi di tingkat nasional. Rencana aksi tersebut disusun
sebagai panduan dan arahan dalam pelaksanaan pembangunan bidang pangan dan gizi
di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten dan kota baik bagi institusi pemerintah
maupun masyarakat dan pihak lain yang terkait dalam perbaikan pangan dan gizi.
Adapun sektor yang terlibat dalam implementasi rencana aksi ini, yaitu Kementerian
Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Pendidikan Nasional, Kementerian PPN/Bappenas, dan Badan POM (Bappenas
2011).
Peraturan Pemerintah (PP) No.33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu
Eksklusif dibuat sebagai peraturan pelaksana ketentuan pasal 129 ayat (2) Undang-
Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pengaturan pemberian ASI ekslusif
dibuat untuk menjamin pemenuhan hak bayi untuk memperoleh ASI ekslusif sampai
dengan bayi berumur 6 bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangannya. UNICEF dan WHO merekomen dasikan pemberian ASI ekslusif
sampai bayi berumur 6 bulan. ASI dianjurkan untuk diberikan pada bulan- bulan
pertama kehidupan bayi karena ASI mengandung banyak gizi yang diperlukan bayi
pada umur tersebut (RI 2014) dan penting untuk membentuk imunitas bayi.
Pemberian ASI eksklusif diketahui berpengaruh terhadap kejadian gizi buruk, dimana
rendahnya Pemberian ASI eksklusif menjadi salah satu pemicu stunting pada anak.
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 33
tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif, maka ditetapkan Peraturan
Menteri Kesehatan No. 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas
Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu. Peraturan ini dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan kepada ibu agar tetap leluasa memberikan ASI eksklusif
dengan menyediakan sarana untuk menyusui di tempat kerja maupun sarana umum,
memberikan kesempatan bagi ibu yang bekerja di dalam ruangan dan/atau di luar
ruangan untuk menyusui dan/atau memerah ASI pada waktu kerja di tempat kerja
salah satunya dengan penyediaan ruang ASI yang sesuai standar.
Peraturan Presiden (Perpres) No. 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi dibuat sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan
pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi masyarakat. Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi merupakan upaya bersama antara pemerintah dan
masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan
secara terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat yang
diprioritaskan pada seribu hari pertama kehidupan. Perbaikan gizi masyarakat
diharapkan berdampak pada penurunan prevalensi stunting.
Permenkes No.3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(STBM), dimaksudkan untuk memperkuat upaya perilaku hidup bersih dan sehat,
mencegah penyebaran penyakit berbasis lingkungan, meningkatkan kemampuan
masyarakat, serta meningkatkan akses air minum dan sanitasi dasar melalui
penyelenggaraan STBM. STBM merupakan suatu pendekatan untuk mengubah
perilaku higienis dan saniter melalui pemberdayaan masyarakat.

C. FAKTOR PENYEBAB
Faktor Risiko Lingkungan Terkait Stunting Air, sanitasi, dan kebersihan (WASH)
merupakan faktor lingkungan yang menjadi fokus peneliti terkait stunting balita,
selain intervensi gizi. Oleh karena itu, penelitian pelingkupan menyelidiki aspek ini.
WHO menggunakan konsep WASH untuk mencegah diare, namun juga dapat
digunakan untuk mencegah penyakit lain seperti enteropati dan malnutrisi (WHO,
2014).
1. Sumber air dan aksesibilitas
Sumber dan akses air diukur dalam enam penelitian (Ahmad et al.,
2019; Garca Cruz et al., 2017; Hafid et al., 2017; Hasan dan Kadarusman,
2019; Irianti et al., 2019; Kang et al., 2018b). Dua artikel lainnya tidak
menyelidiki sumber dan akses air bersih (Headey dan Hirvonen, 2016; Nasrul,
2018). Namun jenis sumber air yang diteliti berbeda, yaitu sumber air bersih
dan sumber air minum. Akses Air bersih umumnya digunakan tidak hanya
untuk minum dan memasak, tetapi juga untuk mandi dan aktivitas lainnya.
Sementara akses terhadap air minum hanya sebatas konsumsi keluarga.
Pertanyaan ya/tidak dan pertanyaan yang dilindungi/tidak dilindungi
digunakan untuk menilai akses terhadap sumber air bersih.
Air minum terlindung adalah air yang dialirkan ke tingkat rumah
tangga melalui pipa-pipa dari sumber-sumber seperti air keran (keran), keran
umum, hidran umum, terminal air, penampungan air hujan (PAH), atau mata
air dan sumur terlindung, sumur bor, atau pompa yang setidaknya berada pada
jarak yang jauh. 10 meter dari instalasi pengolahan limbah, fasilitas
penyimpanan limbah, dan tempat pembuangan sampah (Hasan dan
Kadarusman, 2019).
Air minum dan sumber air bersih mempunyai keterkaitan yang tidak
dapat dipisahkan.Hanya satu penelitian yang tidak menemukan korelasi antara
sumber air bersih dan prevalensi stunting. Namun, tidak ada temuan penelitian
yang menilai kualitas air atau pengaruh musim terhadap ketersediaan dan
keamanan air dalam artikel yang ditinjau. Namun beberapa artikel menyelidiki
bagaimana air minum diolah, khususnya penelitian di Bhutan dan Gorontalo,
dimana variabel yang diteliti adalah apakah air minum direbus terlebih dahulu
atau tidak.
2. Sanitasi
Terdapat lima artikel yang membahas hubungan sanitasi dengan
prevalensi balita stunting. Variabel yang diukur terkait sanitasi adalah
kepemilikan toilet, SPAL, dan fasilitas sanitasi, dengan hasil yang beragam.
Tidak ada satu artikel pun yang menjelaskan bagaimana akses, fasilitas, dan
SPAL sanitasi dievaluasi. Hanya dinyatakan bahwa variabel ini merupakan
variabel dikotomi yang jawabannya ya/tidak dan memenuhi/tidak memenuhi
syarat. Selain itu, tidak jelas apakah akses dan fasilitas sanitasi tersebut
dimiliki secara khusus atau digunakan bersama.
3. Higine
Kebersihan balita diketahui menjadi aspek penting dalam menjaga
kesehatannya. Terdapat empat artikel yang menilai berbagai aspek praktik
kebersihan, seperti cuci tangan pakai sabun dan air mengalir. Hanya satu
artikel yang menjelaskan waktu cuci tangan yang dinilai, meliputi mencuci
tangan sebelum menyiapkan makanan, sebelum menyusui, dan setelah buang
air besar. Dalam artikel ini, mencuci tangan secara konsisten dikaitkan dengan
kejadian stunting, dengan AOR lebih dari satu. Perilaku buang air besar diukur
secara terpisah dari mencuci tangan dalam penelitian yang dilakukan di
Banggai dan Sigi (Hafid et al., 2017).
4. Faktor Risiko Lingkungan Lainnya
Faktor risiko lingkungan yang terkait dengan pengolahan limbah juga
ditemukan. Dua artikel membahas pengelolaan sampah. Namun hanya satu
penelitian yang memberikan hasil signifikan secara statistik, yaitu penelitian
hasil pengolahan data IFLS (Irianti et al., 2019). Selain itu, variabel terkait
paparan asap rokok ditemukan pada salah satu artikel dengan hasil yang tidak
signifikan. Aspek lingkungan lain yang dinilai adalah faktor perumahan, yang
meliputi jenis dinding rumah dan jenis lantai rumah. Berdasarkan penelitian di
Mozambik, jenis dinding rumah kayu, atap jerami, dan lantai tanah
berhubungan signifikan dengan kejadian stunting. Namun di Bhutan, jenis
lantai tidak berhubungan dengan kejadian stunting.
Menurut dua artikel penelitian, faktor lingkungan lainnya adalah
penggunaan bahan bakar untuk memasak. Penggunaan batu bara dan bahan
bakar minyak tanah sangat terkait dengan prevalensi stunting. Lebih lanjut,
sebuah penelitian menemukan bahwa keberadaan hewan ternak, khususnya
kepemilikan unggas, di rumah secara statistik berhubungan signifikan dengan
kejadian stunting pada balita.

D. DAMPAK
Di Indonesia, satu dari tiga anak mengalami stunting. Stunting dapat
berdampak pada perkembangan motorik dan verbal, serta meningkatkan risiko
penyakit degeneratif, kesakitan, dan kematian. Selain itu, stunting mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan sel neuron sehingga mempengaruhi perkembangan
kognitif anak. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak
stunting terhadap kemampuan kognitif pada anak. Tinjauan literatur dari jurnal atau
website nasional atau internasional digunakan sebagai metode. Dalam sepuluh tahun
terakhir, telusuri database Sinta, Google Scholar, dan Pubmed untuk sumber
perpustakaan di artikel ini.
Probosiwi, Hiryati, dan Ismail (2017) menemukan bahwa anak yang
mengalami stunting mempunyai peluang 11,89 kali lebih besar mengalami stunting
perkembangan motorik dan berada di bawah median angka pertumbuhan anak.
Penelitian ini mendukung temuan Pantaleon dan Hadi (2015) yang menemukan
bahwa balita stunting usia 12-60 bulan memiliki perkembangan motorik kasar yang
lebih rendah dibandingkan anak lainnya. Lambatnya tumbuh kembang pada anak
stunting disebabkan oleh gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak, karena otak
tidak memberikan impuls positif untuk motorik kasar maupun halus. Menurut
Aryastami dan Tarigan (2017), gizi memegang peranan penting terhadap stunting
karena menjamin perkembangan dan pertumbuhan sel otak anak terjadi secara normal
dan baik. Gizi yang cukup berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, terutama
pada masa tahun emas.
Menurut Manggala dkk (2018), anak stunting mengalami keterlambatan
pematangan sel saraf pengatur gerak motorik sehingga mengganggu perkembangan
motorik kasar dan halus anak. Akibatnya, anak akan mempunyai pengalaman negatif
sebagai dorongan hati. Selain itu, anak stunting juga mengalami keterlambatan dalam
pematangan sel saraf sehingga menyebabkan tertundanya respons sosialnya.
Penelitian serupa menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada anak di bawah
usia lima tahun erat kaitannya dengan tumbuh kembang anak (Syahrani & Mitra,
2019). Penelitian ini didukung oleh Rahmadi (2016) yang menemukan bahwa anak
dengan bentuk tubuh pendek lebih cenderung mengalami masalah perilaku, mudah
emosi, dan masalah pergaulan dengan teman dibandingkan anak dengan tinggi badan
normal. Kecemasan yang tinggi, kurangnya kebahagiaan, dan kurangnya rasa percaya
diri merupakan gejala dari masalah emosional. Mengambil barang orang lain,
berbohong, sering berkelahi, tidak patuh, dan mudah tersinggung merupakan wujud
dari permasalahan perilaku pada anak stunting.
Sementara itu, anak yang sering mengeluh karena di-bully oleh temannya,
memiliki sedikit teman, dan sering menyendiri merupakan tanda-tanda adanya
masalah terkait teman sebaya. (2016) (Rahmadi dkk.). Dua tahun pertama setelah
lahir merupakan masa kritis bagi perkembangan otak anak. Jika kebutuhan nutrisi
anak tidak terpenuhi, dendrit apikal di otak bisa memendek selama periode ini. Akibat
menurunnya fungsi otak pada anak stunting, hal ini dapat mengakibatkan
permasalahan pada kemampuan gerak, kurangnya perhatian, daya ingat, dan
keterampilan kognitif (de Onis & Branca, 2016). Hizni dkk. (2010) menemukan
bahwa prevalensi anak stunting meningkat pada tahun kedua dan ketiga setelah
kelahiran.
Status gizi yang cukup mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pematangan dan perkembangan neuron otak anak. Permasalahan perkembangan
fungsi otot pada anak stunting akan mengakibatkan rendahnya kemampuan kognitif
dan terganggunya kemampuan motorik anak. Sutiari, Ni, dan Wulandari, Dewa, dan
Ayu (2011). Hal ini sesuai dengan teori Hasdiana (2014) yang menyatakan bahwa
anak yang mendapat asupan gizi cukup tampak lebih aktif, sedangkan anak yang
mendapat asupan gizi kurang menyebabkan gangguan perkembangan karena
mempengaruhi kecerdasan dan kemampuan otak.
E. SOLUSI
Berikut merupakan beberapa solusi untuk menyebab stunting
1. Meningkatkan kebersihan
Infeksi berulang pada anak disebabkan oleh sistem imun tubuh yang tidak
berfungsi dengan baik. Ketika sistem kekebalan tubuh anak melemah,
kemungkinan besar ia akan mengalami berbagai masalah kesehatan, termasuk
stunting. Karena stunting merupakan salah satu penyakit yang menyerang
anak-anak, maka penting untuk menjaga daya tahan tubuh anak agar tetap kuat
agar tidak tertular.
2. Cuci tangan pakai sabun (CTPS).
Kegiatan ini dilaksanakan dengan dua program yaitu kompetensi tari cuci
tangan (DCT) dan edukasi cuci tangan pakai sabun. Kegiatan ini ditujukan
untuk 32 siswa sekolah dasar. Awalnya kami menawarkan konseling dan
simulasi CTPS. Metode praktis ini memberikan siswa pengalaman langsung
dengan CTPS, memungkinkan mereka melakukannya dengan atau tanpa
bantuan. Penyuluhan ini diawali dengan metode yang menggunakan bahasa
ramah anak dengan membahas apa itu CTPS, pengertian CTPS, penyakit yang
ditimbulkannya, kapan harus mencuci tangan, dan langkah-langkah mencuci
tangan yang baik dan benar, serta menunjukkan secara langsung. latihan.
Gunakan lagu untuk membantu anak-anak mengingat langkah-langkahnya.
Kegiatan ini diselingi dengan permainan untuk menjaga perhatian dan fokus
siswa. Selanjutnya metode kompetisi menjadi alat untuk mengetahui apakah
metode penyuluhan dan simulasi yang diberikan sudah dipahami dengan baik.
3. Pemeriksaan kualitas air
Kegiatan ini dilengkapi dengan pelatihan dan simulasi penyulingan air bersih.
Kegiatan yang dilakukan sekali ditujukan untuk masyarakat. Kegiatan ini
dibagi menjadi tiga tahap:
a) Mengamati sumber air di desa; dan .
b) Sosialisasi teknik penjernihan air dan teknologi tepat guna lainnya.
c) Pemeriksaan kualitas air desa
d) Memperoleh air bersih dan jernih setelah proses pemurnian
4. Pengelolaan Limbah Padat dan Cair
Kegiatan dilakukan dengan metode penyuluhan sekaligus menyediakan dua
unit tempat sampah, satu untuk sampah organik dan satu lagi untuk sampah
anorganik. Tujuan dilaksanakannya kegiatan ini adalah untuk mengedukasi
masyarakat tentang samaph dan pengelolaan limbah cair yang benar.
Selanjutnya, masyarakat umum dapat memilih antara sampah organik dan
anorganik.

Anda mungkin juga menyukai