Anda di halaman 1dari 4

Hujan Bintang

Oleh: Regina Fara

Kecil dan mungil, namun bersinar! Tak lain dan tak bukan adalah
bintang. Aku sangat menyukai bintang. Sedari kecil, ibu selalu menyanyikan
lagu “Bintang Kecil” kepada ku. Nyanyiannya begitu tulus dan lembut, seakan-
akan akulah bintang kecil itu. Oleh karena itu aku selalu menyukai bintang yang
berserakan di langit.
Tiap malam aku memandangi langit yang terang itu. Tentu saja langitnya
akan terang, bintang-bintang akan selalu menunjukkan sinarnya. Tapi tak jarang
pula langit malam itu gelap karena tertutup awan. Jika itu terjadi, aku merasa
sangat kecewa sampai-sampai tidak bisa tidur.
Aku juga bercita-cita menjadi astronot. Aku selalu kagum dengan potret-
potret luar angkasa yang ditangkap oleh para astronot. Walau aku tahu itu bukan
hal yang mudah, tapi aku tidak akan menyerah untuk menggapai mimpiku.
Terkadang , kedua orang tuaku sering mengajakku pergi ke puncak dan
berkemah di sana. Di daerahku udaranya sangat segar dan tidak ada polusinya.
Karenanya, kami dapat dengan mudah melihat bintang-bintang bertebaran di
langit.
Namun sepertinya sekarang kami tidak bisa ke puncak lagi. Karena ayah
yang harus pindah kerja, aku dan keluargaku juga terpaksa harus meninggalkan
kota tempat ku dilahirkan ini. Pada awalnya aku merasa sangat sedih mendengar
berita ini. Karena ini artinya aku tidak dapat ke puncak lagi. Aku juga terpaksa
haru berpisah dari teman temanku.
Perpisahan dengan kota kelahiranku terasa begitu berat. Aku mengenang
semua kenangan indah yang pernah aku bagikan bersama teman-temanku di sini.
Tapi, seperti yang ibuku selalu katakan, setiap perpisahan membuka pintu
menuju petualangan baru. Dan petualangan baru itu telah menunggu kami di
kota baru yang akan kami tinggali.
Kami segera memulai perjalanan menuju kota baru itu. Mobil kami
melaju di jalan raya, meninggalkan rumah dan kota yang selama ini menjadi
tempatku tumbuh dan berkembang. Aku memandangi langit yang cerah di siang
hari, dan meskipun aku tidak bisa melihat bintang-bintang di bawah terang
matahari, aku tahu bahwa mereka masih ada di sana di balik langit biru.

Ketika kami tiba di kota baru, semuanya terasa asing. Rumah baru kami
lebih besar dari yang sebelumnya, tapi tak ada yang bisa menggantikan perasaan
hangat yang pernah kurasakan di rumah lama. Aku merindukan malam-malam di
puncak bersama keluargaku, melihat bintang-bintang bersinar begitu terang di
langit.
Aku menghela napas dan melemparkan tubuhku ke kasur di kamar baru
ku. Semuanya msaih kosong. Dulu, kamarku penuh sekali dengan dekorasi-
dekorasi yang pastinya bertema bintang dan benda-benda luar angkasa. Ibu pun
masuk ke kamarku dan duduk di sampingku.
“gimana kamar barunya? Kamu suka?” tanya ibu dengan lembut.
Dengan ekspresi lesu aku menjawab, “bosen, bu. Kangen kamar yang
dulu.” keluh ku. Ibu pun mengelus kepalaku. Dan sambil tersenyum pun ia
mengatakan padaku bahwa sebentar lagi pasti aku akan terbiasa. Aku hanya bisa
mengangguk dan tidur di kamar kosong itu.
Keesokan harinya, aku sudah harus pergi ke sekolah baru. Sepanjang
malam sampai pagi aku terus gelisah karena memikirkan bagaimana
kehidupanku di sekolah baru nanti. Akankah aku menemukan teman baru
dengan kesukaan yang sama denganku? Atau aku malah akan diejek dan dijauhi
karena memiliki mimpi kekanak-kanakan? Aku hanya bisa berdoa semoga yang
kedua tidak akan terjadi padaku.
Akhirnya aku tiba di sekolah. Tempat ini benar-benar asing. Aku tidak
mengenal siapapun di sini. Mungkin karena aku baru, sejak aku berjalan ke
dalam sekolah, semua mata tertuju kepadaku. Apa karena aku menggunakan tas
dengan pernak-pernik bintang yang berlebihan? Ugh, aku jadi mulai cemas.
Sekolah baru ini luas sekali! Aku berkeliling ke sana dan kemari hanya
untuk mencari kelas ku. Namun tetap saja aku tidak menemukannya. Jangan
sampai aku terlambat masuk di hari pertamaku.
Karena cemas akan terlambat, aku pun berlari untuk mencari kelasku
walau aku tak tahu pasti letaknya di mana. Namun, kejadian memalukan malah
terjadi kepada ku. Karena berlarian ini, aku tidak sengaja menabrak seseorang
hingga kami berdua terjatuh. Aku malu sekali! Dia pasti akan menganggapku
aneh.
Tapi, dia malah mengulurkan tangannya kepadaku. “Kamu gak apa?”
tanya gadis itu. Aku meraih tangannya dan tak berhenti mengucapkan kata maaf
padanya. “udah gak masalah. Oh iya, kamu baru kah? Aku gak pernah liat kamu
sebelumnya.” tanyanya lagi.
“iya… ini hari pertamaku. Tapi aku gak tau di maba letak kelasku.”
kemudian aku pun menunjukkan secarik kertas kepadanya yang berisi namaku
dan kelas baru ku. Iya pun tersenyum. Walau aku tahu pasti dia sedang tertawa
di dalam hatinya.
“mau kamu lari sampai ujung pun gak bakal ketemu, Starla. Kelas kita
ada di lantai dua.”
“oh… aku gak tau…” aku berusaha memalingkan wajahku karena malu.
Namun dia sama sekali tidak mentertawakanku. Sebaliknya, dia menunjukkanku
dimana letak kelasku. Tak hanya itu, dia juga mengenaliku beberapa tempat
yang kami lewati di sekolah.
“nah, ini dia kelas kita. Oh iya, aku belum kenalan. Namaku Bintang.”
sambil tersenyum ia mengulurkan tangannya. Akupun segera menjabat
tangannya dengan semangat. “namamu Starla kan? Sama-sama bintang dong
kita, haha.”
“Bener juga ya.” aku tersenyum dan ikut tertawa karena leluconnya.
Akhirnya kami berdua masuk kelas dan kebetulan saja tempat duduk di samping
Bintang kosong. Awalnya aku ragu untuk duduk di sana, namun malah dia
sendiri yang memaksaku untuk dudul di sampingnya.
Pertemuanku dengan Bintang rasanya seperti takdir. Kami berdua
memiliki banyak kesamaan. Bahkan dia juga suka melihat bintang sama
sepertiku. Hari-hari di sekolah baru ini terasa sangat menyenangkan karena
Bintang. Aku sangat senang dapat bertemu dengannya.
Suatu hari, Bintang bergegas datang kepada ku di sekolah. Sepertinya dia
punya informasi yang sangat besar. “Ada apa? Kok tergesa-gesa gitu?” tanyaku
pada Bintang yang masih berusaha mengatur napasnya.
“Starla! Tanggal 12 sampai 13 Agustus nanti bakal ada hujan bintang!”
ucapnya dengan penuh semangat.
“hah?! Yang bener? Ah, tapi pasti cuma di beberapa daerah aja, kan?”
keluhku sambil menghela napas.
“Engga loh! Semua daerah di Indonesia bisa lihat. Ayo kita lihat
bareng!” mendengar informasi darinya, aku menjadi kegirangan. Kami setuju
untuk menginap di rumahnuya pada tanggal itu. Aku masih tidak percaya
dengan ini. Menonton bintang-bintang bersama teman itu salah satu mimpiku
yang belum terwujud sampai sekarang!
Hari yang dinantikan pun akhirnya tiba. Aku dengan senang dan
semangat datang ke rumah Bintang dan dia segera menyambutku. Sebelum
masuk ke kamarnya, ia menunjukkan dahulu isi rumahnya. Rumahnya besar dan
luas dan penuh dengan barang-barang unik juga.
Kami akhirnya pergi ke kamar Bintang yang berada di lantai dua. Ketika
masuk, aku terkejut bukan main. Kamarnya benar-benar indah. Dipenuhi dengan
pernak-pernik bertemakan bintaang. Namun ada satu hal lain yang membuatku
benar-benar terpukau, adanya teleskop yang mengarah ke langit di depan jendela
kamarnya.
“Kamarmu keren sekali! Kamu bahkan punya teleskop untuk melihat
bintang!” ucapku sambil berkeliling di kamarnya.
“hehe makasih banyak. Teleskop ini dulunya punya kakekku.” Balas
Bintang sambil mendekati teleskopnya.
“cara pakainya gimana sih, Bintang?” tanyaku dengan penur rasa
penasaran. Bintang pun menjelaskan tentang alat ini kepadaku secara rinci. Aku
pun mencoba untuk menggunakannya. Sungguh sesuatu yang luar biasa.
Bintang-bintang yang biasanya hanya bisa ku lihat dari kejahuan dan terlihat
kecil itu menjadi sangat jelas dengan menggunakan teleskop ini.
Waktu menunjukkan jam 8 malam. Aku dan Bintang sudah tidak sabar
ingin menonton langit malam itu. Kami pun mulai bercerita tentang kehidupan
kami. Aku pun bercerita tentang impian-impianku. Sekali beberapa saat, kami
mengecek langit dengan menggunakan teleskop untuk melihat apakah sudah ada
bintang jatuh atau belum.
Kemudian kami kembali bercerita. Kami pun mulai menghayalkan
bagaimana indahnya bintang-bintang jatuh itu. Tapi Bintang mengatakan bahwa
dia tidak begitu yakin dengan adanya bintang jatuh ini. Karena sedari tadi kami
belum melihta satupun walau sudah menggunakan teleskop. Ketidak yakinannya
itupun semakin diperkuat dengan adanya suara gemuruh dari luar.
Ibunda Bunga pun mengetuk pintu kamar. Ia mengatakan bawhwa
mungkin sebentar lagi akan hujan. Awalnya kami tidak percaya akan hal itu dan
bersikeras untuk tetap menonton langit. Namun, setelah beberapa kali melihat
menggunakan teloskop, langit yang tadinya cerah menjadi gelap. Aku tidak bisa
melihat satu bintang pun. Bahkan bulan yang terang tadi saja tiba-tiba hilang.
Sepertinya memang benar akan hujan.
Namun, Bintang sangat pantang menyerah. Dia tetap bersikeras untuk
mencari bagian langit yang jernih. Walau akhirnya hasilnya nihil juga. Dengan
penuh kekecewaan, kami menutup jendela dan mengurungkan niat untuk
menonton bintang jatuh. Malahan tetesan air hujan yang mulai berjatuhan.
Bintang pun menghela napas. “maaf ya, Starla. Padahal aku sudah
janji…”
“Bintang! Ini bukan salah mu! Gak apa kok.” bantahku.
Kemudian Bntang tiba-tiba saja mengatakan dia punya ide. Dia menutup
pintu dan jendela serta mematikan lampu kamarnya.
“ada apa nih, Bintang?” tanyaku penasaran.
“kita bakal nonton bintang! Yah walau gak asli sih…” balasnya.
Bintang mengeluarkan sesuatu dari laci mejanya. Sebuah proyektor. Ia
meletakkannya diatas meja dan memasang kabelnya. Dan seketika kamar
Bintang yang tadinya gelap gulita, berubah menjadi bersinar. Seakan-akan
kamarnya adalah galaksi yang dipenuhi oleh berbagai macam bintang dan
planet. Aku terpana melihat benda-benda luar angkasa itu bergerak di sekitar
kamar Bitang. Walaupun aku tahu ini hanyalah proyeksi, tapi aku merasa sangat
senang.
“maaf ya, Starla, setidaaknya kita bisa lihat bintang juga, kan?” tanyanya
dengan ragu.
Aku tersenyum lebar dan memeluk Bintang. “Aku senang banget!
Makasih, Bintang!”
Walau kami gagal melihat bintang jatuh, proyeksinya saja pun tidak apa-
apa. Yang penting adalah kami menontonnya bersama-sama!

tamat

Anda mungkin juga menyukai