Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK

DENGAN TUBERCULOSIS PARU


Mata Kuliah Keperawatan Anak I

OLEH
KELOMPOK 4 KELAS A2:
Artika Gratia F. Aring (18011104044) Angelina Heatubun (220111040034)
Sitinurhalisa (220111040026) Elsa Gloria Mangkey (220111040036)
Wahyuti Mokoagow (220111040028) Gabriella J. Sinaulan (220111040037)
Friskilia Tondongsenggo (220111040030) Gretica Majampoh (220111040048)
Christy J. C. Wuwung (220111040032)

DOSEN PENGAMPU:
Ns. Lenny Gannika, M.Kep.

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI MANADO
2023
A. Konsep Medis TB paru

1. Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis dan bermanifestasi di paru-paru.
Bakteri ini berbentuk basil dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga
sebagai basil tahan asam atau disebut dengan BTA dan bakteri tersebut
berkembang biak pada bagian tubuh yang terdapat banyak aliran darah dan
oksigen. Infeksi bakteri ini biasanya melewati pembuluh darah dan kelenjar
getah bening.
Tuberkulosis paru merupakan penyakit kronik yang mudah menular
melalui udara, seperti percikan dahak, air liur, batuk, dan bersin dari penderita
tuberkulosis paru BTA positif yang dimana sekali batuk terdapat sekitar 3000
percikan dahak yang mengandung bakteri Mycobacterium tuberculosis.

2. Etiologi
Penyebab penyakit Tuberkulosis paru adalah Mycobacterium
tuberculosis. Bakteri tersebut mempunyai sifat tahan terhadap pencucian
warna dengan asam dan alkohol, sehingga dinamakan basil tahan asam (BTA).
Bakteri tahan di udara yang lembab dan gelap, namun tidak tahan terhadap
sinar dan udara, mempunyai ukuran panjang 1-10 mikron dengan lebar 0,2 –
0,6 mikron. Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam
pemeriksaan dibawah mikroskop.

3. Patofisiologi
Individu yang terinfeksi melalui droplet nuclei dari pasien tuberkulosis
paru ketika pasien batuk, bersin, tertawa. droplet nuclei ini mengandung basil
tuberkulosis dan ukurannya kurang dari 5 mikron dan akan melayang-layang
di udara. Droplet nuclei ini mengandung basil TB. Saat Mikobakterium
tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan tumbuh
koloni bakteri yang berbentuk globular.
Biasanya hal tersebut melalui serangkaian reaksi imunologis,
kemudian bakteri penyebab tuberkulosis paru ini akan berusaha dihambat
melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru.
Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di sekitarnya menjadi

1
jaringan parut dan bakteri dari tuberkulosis paru akan menjadi dormant
(istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai
tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.
Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi.
Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri;
limpospesifik-tuberculosis melisis (menghancurkan) basil dan jaringan
normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam
alveoli, menyebabkan bronkopneumonia dan infeksi awal terjadi dalam 2-10
minggu setelah pemajanan.
Massa jaringan paru yang disebut granulomas merupakan gumpalan
basil yang masih hidup. Granulomas diubah menjadi massa jaringan jaringan
fibrosa, bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel ghon dan
menjadi nekrotik membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami
klasifikasi, membentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa
perkembangan penyakit aktif. Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu
dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respon yang inadekuat
dari respon sistem imun.
Penyakit ini dapat juga aktif dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri
dorman. Dalam kasus ini, tuberkel ghon memecah melepaskan bahan seperti
keju dalam bronki. Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara,
mengakibatkan penyebaran penyakit lebih jauh. Tuberkel yang menyerah
menyembuh membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih
membengkak, menyebabkan terjadinya bronkopneumonia lebih lanjut.

4. Klasifikasi
Diagnosis tuberkulosis adalah upaya untuk menegakkan atau menetapkan
seorang sebagai pasien tuberkulosis dengan keluhan dan gejala penyakit yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis Selanjutnya untuk penentuan
klasifikasi dan tipe penderita penting dilakukan untuk menetapkan paduan
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan
dimulai:
1. Klasifikasi berdasarkan anatomi dari penyakit
Dalam hal ini berdasarkan anatomi dari penyakitnya dibedakan
menjadi 2 yaitu:

2
a. Tuberkulosis paru
Adalah tuberkulosis yang terjadi pada parenkim atau jaringan
paru. Milier tuberkulosis dianggap sebagai tuberkulosis paru
karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitis
tuberkulosis di rongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau
efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang
mendukung tuberkulosis pada paru, dinyatakan sebagai
tuberkulosis ekstra paru.
b. Tuberkulosis ekstra paru
Adalah tuberkulosis yang terjadi pada organ selain paru,
misalnya pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing,
kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis tuberkulosis
ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan
klinis.
2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, tuberkulosis dibedakan
menjadi 3, yakni:
a. Pasien baru tuberkulosis
Adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan
tuberkulosis sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT
namun kurang dari 1 bulan.
b. Pasien yang pernah diobati tuberkulosis
Pasien sebelumnya pernah menelan OAT selama satu bulan
atau lebih:
a. Pasien kambuh : adalah pasien yang pernah dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini
didiagnosis tuberkulosis berdasarkan hasil pemeriksaan
b. Pasien yang diobati kembali setelah gagal : adalah
pasien tuberkulosis yang pernah diobati dan dinyatakan
gagal pada pengobatan terakhir
c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat :
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost
to follow up

3
d. Lain-lain : adalah pasien tuberkulosis yang pernah
diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak
diketahui.
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Dalam hal ini dikelompokkan berdasarkan hasil uji kepekaan contoh
uji dari TBC terdapat pada OAT.
4. Klasifikasi pasien tuberkulosis berdasarkan status HIV
Tuberkulosis juga dibedakan menurut status HIV yang ada pada diri
pasien. Hal ini dikarenakan pada orang dengan HIV memiliki
kekebalan tubuh yang rentan sehingga mudah terserang penyakit
terutama penyakit tuberkulosis.

5. Prognosis
Prognosis pada TB paru dapat mencapai kesembuhan yang maksimal dengan
komplikasi yang sedikit pada pasien dengan terapi OAT yang adekuat.
Kelompok pasien yang memiliki prognosis TB paru yang lebih buruk adalah
pasien yang berusia lanjut, pasien bayi dan anak-anak, pasien yang terlambat
diobati, pasien dengan gangguan imunitas tubuh, pasien dengan gangguan
pernafasan berat, serta pasien dengan multi-drug resistant TB (MDR-TB).

6. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2, yaitu gejala
respiratorik dan gejala sistemik:
a. Gejala respiratorik
1) Batuk
Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Sifat batuk
dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah
timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum).
2) Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin
tampak berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah
atau darah segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah
terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk

4
darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang
pecah.
3) Sesak nafas
Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,
dimana infiltrasinya sudah setengah bagian dari paru-paru.
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas
atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura,
pneumotoraks, anemia dan lain sebagainya.
4) Nyeri dada
Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleurik yang
ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura
terinfeksi.
b. Gejala Sistemik
1) Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza, tetapi
terkadang panas bahkan dapat mencapai 40-410C, keadaan ini
sangat dipengaruhi daya tahan tubuh penderita dan berat
ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk. Demam
merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada
sore dan malam hari serta hampir mirip demam influenza,
hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya
sedangkan masa bebas serangannya semakin pendek.
2) Gejala sistemik lain
Gejala sistemik lainnya, yaitu keringat malam, anoreksia,
penurunan berat badan serta malaise (Gejala malaise sering
ditemukan seperti, tidak ada nafsu makan, sakit kepala,
meriang, nyeri otot, dll). Timbulnya gejala biasanya gradual
dalam beberapa minggu dan bahkan bulan, akan tetapi
penampilan akut dengan batuk, panas, sesak nafas walaupun
jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.

7. Cara Penularan dan Pencegahan Tuberkulosis Paru


Cara penularan TB paru dapat berupa :

5
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik
dahak yang dikeluarkannya. Namun bukan berarti bahwa pasien TB
dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman
dalam dahaknya. Hal tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah
kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000 kuman/cc dahak
sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopik langsung.
b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif
adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah
26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks
positif adalah 17%.
c. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang
mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut.
d. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei/ percik renik) . Sekali
batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Seseorang
yang telah terinfeksi oleh kuman TB dapat menjadi sakit waktunya
berkisar antara 6-14 minggu.
Dalam Strategi Nasional Eliminasi TB paru yang tertuang pada Perpres
nomor 67 tahun 2021 tentang penanggulangan tuberkulosis ada sejumlah
strategi mengatasi TB paru di Indonesia. Mulai dari penguatan komitmen,
peningkatan akses layanan TBC, optimalisasi upaya promosi dan pencegahan
TBC, pengobatan TBC dan pengendalian infeksi, kemudian pemanfaatan hasil
riset dan teknologi. Pencegahan lainnya dapat berupa :
a. Meningkatkan akses keperawatan medis yang berkualitas, termasuk
diagnosis dini dan pengobatan yang tepat bagi individu yang terinfeksi
atau berisiko tinggi.
b. Melakukan program sosialisasi dan pendidikan publik yang efektif
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
kebersihan dan kesehatan pribadi dalam mencegah penularan penyakit
tuberkulosis, seperti penerapan PHBS, menganjurkan pencahayaan dan
ventilasi udara di setiap rumah harus memadai agar sirkulasi udara
baik dan cahaya matahari dapat masuk ke dalam ruangan, dan
mengajarkan untuk tidak membuang dahak sembarangan.

6
c. Melakukan program imunisasi BCG (Bacille Calmette-Guerin) pada
anak-anak untuk mencegah infeksi tuberkulosis.
d. Implementasi kebijakan publik yang berfokus pada pengentasan
kemiskinan, peningkatan kualitas hidup, dan kesejahteraan sosial untuk
mengurangi faktor risiko yang terkait dengan penularan penyakit
tuberkulosis.

8. Pemeriksaan Penunjang
Tuberkulosis termasuk penyakit yang sulit untuk terdeteksi. Dokter
biasanya menggunakan beberapa pemeriksaan penunjang, diantaranya:
a. Pemeriksaan radiologi, biasanya pemeriksaan yang dilakukan adalah
pemeriksaan rontgen dada. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah ada
gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB, baik lesi TB aktif
maupun lesi TB inaktif.
b. Tes darah, melalui tes darah dokter akan mengukur reaksi sistem
kekebalan tubuh terhadap bakteri Mycobacterium tuberculosis. Dari tes
ini akan diketahui apakah seseorang memiliki TB laten atau aktif.
c. Tes dahak, setelah melakukan rontgen dada dan dokter menemukan
indikasi TB, maka akan dilakukan tes dahak untuk mengetahui obat
yang cocok bagi pengidapnya. Tenaga medis akan memeriksa dahak
dengan cara mengambil sampelnya sebanyak 3x (SPS), yaitu
pemeriksaan dahak sewaktu kunjungan (Sewaktu), pemeriksaan dahak
besok paginya (Pagi), dan pemeriksaan saat mengantarkan dahak pagi
(Sewaktu).
d. Uji tuberkulin (Tes Mantoux), pada umumnya uji tuberkulin (yang
lebih dikenal dengan istilah tes mantoux) dilakukan pada anak-anak.
Tes ini menggunakan alat bernama TST (Tuberculin Skin Test) untuk
menyuntikkan zat tuberkulin di bawah kulit lengan dan hasil dari tes
tersebut dikatakan positif TB paru apabila dalam 48-72 jam muncul
benjolan kecil berwarna merah dengan diameter lebih dari 5 mm.
e. Pemeriksaan Mikroskopis, pada pemeriksaan ini bahan pemeriksaan
dibuat sediaan pada objek glass yang baru dan bersih. Sediaan yang
sudah kering difiksasi dan dilakukan pengecatan Ziehl Neelsen atau
kinjoun Gabbet. Setelah dicuci dan kering diperiksa dibawah

7
mikroskop 1000X dengan bantuan minyak imersi.Basil Tahan Asam
(BTA) akan tampak bentuk batang, lurus atau bengkok, sendiri-sendiri
atau bergerombol, berwarna merah diatas dasar biru, kemudian dibaca
menurut skala IUAT (International Unit Agent Tuberculosis).

9. Penatalaksanaan
Penyakit Tuberkulosis Paru adalah penyakit yang masih bisa
disembuhkan, meski beresiko fatal, asalkan melalui penanganan secara tepat.
Dokter akan menganjurkan pengidap TB paru untuk mengonsumsi obat
selama 6-12 bulan dan obat TB paru mengandung jenis anti tuberkulosis yaitu
antibiotik yang khusus digunakan untuk mematikan infeksi bakteri
Tuberkulosis Paru. Adapun pengobatan yang dikembangkan oleh WHO
(World Health Organization) dalam strategi penanggulangan tuberkulosis
yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment). Fokus
DOTS ialah penemuan dan penyembuhan penderita. Strategi ini akan
memutuskan penularan tuberkulosis. Salah satu komponen DOTS ialah
pengobatan dengan paduan obat anti tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung pengawasan menelan obat.
Penyakit TB paru saat ini diobati dengan menggunakan terapi
kombinasi yang terdiri atas 3 atau lebih obat. Selama terapi, penderita dengan
TB paru aktif umumnya diberikan isoniazid (INH), rifampisin (RIF),
pirazinamid (PZA) dan ethambutol (EMB) selama 2 minggu yang merupakan
fase intensif.
Kemudian terapi dilanjutkan dengan diberikan isoniazid dan rifampisin
selama 4 bulan lagi (fase lanjutan) untuk memusnahkan sisa bakteri yang telah
masuk kedalam kondisi dormant. Tujuan awal dari pemberian terapi
kombinasi tersebut adalah untuk meminimalkan perkembangan resistensi
terhadap streptomisin setelah obat tersebut diperkenalkan pertama kali. Saat
ini, standar terapi untuk infeksi TB paru sensitif obat sangat efektif dalam
pembersihan bakteri.
Obat anti-tuberkulosis (OAT) digolongkan menjadi 5 kelompok
berdasarkan bukti efikasi, potensi, kelas obat dan pengalaman penggunaanya.
Golongan-golongan obat tersebut sebagai berikut:

8
a. Golongan 1 (obat lini pertama): Isoniazid (H), Ethambutol (E),
Pyrazinamide (Z), Rifampicin (R), Streptomycin (S).
b. Golongan 2 (obat suntik atau suntik lini kedua): Kanamycin (Km),
Amikacin (Am), Capreomycin (Cm).
c. Golongan 3 (Golongan Fluoroquinolone): Ofloxacin (Ofx),
Levofloxacin (Lfx), Moxifloxacin.
d. Golongan 4 (Obat bakteriostatik lini kedua) : Etionamid (Eto),
Protionamid (Pto) Sikloserin (Cs), Tetrizidon (Trd), Para amino
salisilat (PAS).
e. Golongan 5 (obat yang tidak direkomendasikan oleh WHO dan belum
terbukti efikasinya): Clofazimin (Cfz), Linezolid (Lzd),
Amoksilin/Asam Klavulanat (Amx/Clz), Klaritromisin (Clr), dan
Imipenem (Ipm).

B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan pada pasien TB paru
a. Data Pasien
Penyakit TB paru dapat menyerang manusia mulai dari usia anak
sampai dewasa dengan perbandingan yang hampir sama antara
laki-laki dan perempuan. Penyakit ini biasanya banyak ditemukan pada
pasien yang tinggal didaerah dengan tingkat kepadatan tinggi sehingga
masuknya cahaya matahari kedalam rumah sangat minim. TB paru
pada anak dapat terjadi pada usia berapapun, namun usia paling umum
adalah antara 1-4 tahun. Anak-anak lebih sering mengalami TB diluar
paru-paru (extrapulmonary) di banding TB paru dengan perbandingan
3:1. TB diluar paru-paru adalah TB berat yang terutama ditemukan
pada usia<3 tahun. Angka kejadian (prevalensi) TB paru pada usia
5-12 tahun cukup rendah, kemudian meningkat setelah usia remaja
dimana TB paru menyerupai kasus pada pasien dewasa (sering disertai
lubang/kavitas pada paru-paru).
b. Riwayat Keluarga
Keluhan yang sering muncul antara lain:
1) Demam: subfebris, febris (40-41 oC) hilang timbul.

9
2) Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkus batuk ini
terjadi untuk membuang/mengeluarkan produksi radang yang
dimulai dari batuk kering sampai dengan batuk purulen
(menghasilkan sputum).
3) Sesak nafas: bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai
setengah paru-paru.
4) Keringat malam.
5) Nyeri dada: jarang ditemukan, nyeri akan timbul bila infiltrasi
radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
6) Malaise: ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan menurun,
berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot, keringat malam.
7) Sianosis, sesak nafas, kolaps: merupakan gejala atelektasis.
Bagian dada pasien tidak bergerak pada saat bernafas dan
jantung terdorong ke sisi yang sakit. Pada foto toraks, pada sisi
yang sakit nampak bayangan hitam dan diafragma menonjol
keatas.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
1) Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh.
2) Pernah berobat tetapi tidak sembuh.
3) Pernah berobat tetapi tidak teratur.
4) Riwayat kontak dengan penderita TB paru.
5) Daya tahan tubuh yang menurun.
6) Riwayat vaksinasi yang tidak teratur.
7) Riwayat putus OAT.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Pada keluarga pasien ditemukan ada yang menderita TB paru.
Biasanya ada keluarga yang menderita penyakit keturunan seperti
Hipertensi, Diabetes Melitus, jantung dan lainnya.
e. Riwayat Pengobatan Sebelumnya
1) Kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan dengan
sakitnya
2) Jenis, warna, dan dosis obat yang diminum.
3) Berapa lama pasien menjalani pengobatan sehubungan dengan
penyakitnya.

10
4) Kapan pasien mendapatkan pengobatan terakhir.
f. Riwayat Pendukung
1) Riwayat lingkungan.
2) Pola hidup: nutrisi, kebiasaan merokok, minum alkohol, pola
istirahat dan tidur, kebersihan diri.
3) Tingkat pengetahuan/pendidikan pasien dan keluarga tentang
penyakit, pencegahan, pengobatan dan perawatannya.
g. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Biasanya KU sedang atau buruk
TD : Normal ( kadang rendah karena kurang istirahat)
Nadi : Pada umumnya nadi pasien meningkat
Pernafasan : Biasanya nafas pasien meningkat (normal : 16-20x/i)
Suhu : Biasanya kenaikan suhu ringan pada malam hari.Suhu Mungkin
tinggi atau tidak teratur. Seiring kali tidak ada demam
1) Kepala
Inspeksi : Biasanya wajah tampak pucat, wajah tampak
meringis, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, hidung tidak
sianosis, mukosa bibir kering, biasanya adanya pergeseran
trakea.
2) Thorax
Inspeksi : Kadang terlihat retraksi interkosta dan tarikan
dinding dada, biasanya pasien kesulitan saat inspirasi.
Palpasi : Fremitus paru yang terinfeksi biasanya lemah.
Perkusi: Biasanya saat diperkusi terdapat suara pekak.
Auskultasi: Biasanya terdapat bronki
3) Abdomen
Inspeksi: biasanya tampak simetris.
Palpasi: biasanya tidak ada pembesaran hepar.
Perkusi: biasanya terdapat suara timpani.
Auskultasi: biasanya bising usus pasien tidak terdengar.
4) Ekstremitas atas
Biasanya CRT>3 detik, akral teraba dingin, tampak pucat, tidak
ada edema.
5) Ekstremitas bawah

11
Biasanya CRT>3 detik, akral teraba dingin, tampak pucat, tidak
ada edema.
h. Pemeriksaan Diagnostik
1) Kultur sputum: Mikobakterium TB positif pada tahap akhir
penyakit.
2) Tes Tuberkulin: Mantoux test reaksi positif (area indurasi 10-15
mm terjadi 48-72 jam).
3) Foto thorax: Infiltrasi lesi awal pada area paru atas; pada tahap
dini tampak gambaran bercak-bercak seperti awan dengan batas
tidak jelas; pada kavitas bayangan, berupa cincin; pada
klasifikasi tampak bayangan bercak-bercak padat dengan
densitas tinggi.
4) Bronchografi: untuk melihat kerusakan bronkus atatu
kerusakan paru karena TB paru.
5) Darah: peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).
6) Spirometri: penurunan fungsi paru dengan kapasitas vital
menurun.
i. Pola Kebiasaan Sehari-hari
1) Pola aktivitas dan istirahat
Subyektif : rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. Sesak
(nafas pendek), sulit tidur, demam, menggigil, berkeringat pada
malam hari.
Objektif: Takikardi, takipnea/dispnea saat kerja, irritable, sesak
(tahap, lanjut; infiltrasi radang sampai setengah paru), demam
subfebris (40-41 oC) hilang timbul.
2) Pola Nutrisi
Subjektif : anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat
badan.
Objektif : turgor kulit jelek, kulit kering/bersisik, kehilangan
lemak subkutan.
3) Respirasi
Subjektif : batuk produktif/non produktif sesak nafas, sakit
dada.

12
Objektif : mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum
hijau/purulen, mukoid kuning atau bercak darah,
pembengkakan kelenjar limfe, terdengar bunyi ronkhi basah,
kasar di daerah apeks paru, takipnea (penyakit luas atau fibrosis
parenkim paru dan pleura), sesak nafas, pengembangan
pernafasan tidak simetris (efusi pleura), perkusi pekak dan
penurunan fremitus (cairan pleural), deviasi trakeal
(penyebaran bronkogenik).
4) Rasa nyaman/nyeri
Subyektif : nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Objektif : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi,
gelisah, nyeri bisa timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura
sehingga timbul pleuritis.
5) Integritas Ego
Subyektif : faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan tak
berdaya/tak ada harapan.
Obyektif : menyangkal (selama tahap dini), ansietas, ketakutan,
mudah tersinggung.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan TB paru menurut
(Tim pokja SDKI DPP PPNI, 2017) dan (Saferi Andra, 2013)
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang
tertahan (D.0001)
b. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit (misal, infeksi)
(D.0130)
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi (D.0003)
d. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna
makanan (D.0019)
e. Nyeri akut berkaitan dengan agen pencedera fisiologis (Inflamasi)
(D.0077)

13
3. Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi keperawatan

Diagnosa Intervensi Implementasi Evaluasi

Bersihan jalan Manajemen jalan napas - Memonitor pola nafas S (Subjektif) :


napas tidak efektif (I.01011) - Memonitor bunyi napas Klien mengatakan
berkaitan dengan tambahan sudah tidak
sekret yang Definisi : - Memonitor sputum merasakan batuk
tertahan (D.0001) Mengidentifikasi dan - Mempertahankan kepatenan dan merasa lebih
mengelola kepatenan jalan jalan napas dengan head-tilt baik dari
napas dan chin-lift sebelumnya
Tindakan : - Mengatur posisi pasien dengan
Observasi semi-fowler atau fowler O (Objektif) :
● Monitor pola napas - Memberikan minuman hangat Tidak terdapat
(frekuensi, - Melakukan fisioterapi dada bunyi napas
kedalaman, usaha - Melakukan pengisapan lendir tambahan dan tidak
napas) kurang dari 15 menit detik ada sekret/sputum
● Monitor bunyi napas - Melakukan hiperoksigenasi
tambahan (mis. sebelum pengisapan A (Analisis) :
gurgling, mengi, endotrakeal Masalah
wheezing, ronkhi - Mengeluarkan sumbatan keperawatan
kering) benda padat dengan forsep teratasi
● Monitor sputum McGill
(jumlah, warna, - Memberikan oksigen P (Planning) :
aroma) - Menganjurkan asupan cairan Intervensi
Terapeutik - Menganjurkan teknik batuk dihentikan
● Pertahankan efektif
kepatenan jalan - Melakukan kolaborasi dengan
napas dengan memberikan bronkodilator,
head-tilt dan ekspektoran, mukolitik
chin-lift (Jaw-thrust
jika curiga trauma
servikal)
● Posisikan

14
semi-fowler atau
fowler
● Berikan minum
hangat
● Lakukan fisioterapi
dada,jika perlu
● Lakukan pengisapan
lendir kurang dari
15 detik
● Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum pengisapan
endotrakeal
● Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forsep McGill
● Berikan oksigen,jika
perlu
Edukasi
● Anjurkan asupan
cairan
2000ml/hari,jika
tidak kontraindikasi
● Anjurkan teknik
batuk efektif
Kolaborasi
● Kolaborasi
pemberian
bronkodilator,ekspe
ktoran, mukolitik,
jika perlu

15
Hipertermi Manajemen hipertermi ● Mengidentifikasi penyebab S (Subjektif) :
berkaitan dengan (I.15506) hipertermia (mis. dehidrasi, Klien mengatakan
proses penyakit terpapar lingkungan panas, sudah merasa lebih
(misal, infeksi) Definisi : penggunaan inkubator) baik dari
(D.0130) Mengidentifikasi dan ● Memonitor suhu tubuh sebelumnya
mengelola peningkatan ● Memonitor kadar elektrolit
suhu tubuh akibat disfungsi ● Memonitor haluaran urine O (Objektif) :
termoregulasi ● Memonitor komplikasi akibat Suhu tubuh
Tindakan : hipertermia menurun: 37,1
Observasi ● Menyediakan lingkungan yang derajat celcius
● Identifikasi dingin
penyebab ● Melonggarkan atau A (Analisis) :
hipertermia (mis. melepaskan pakaian Masalah
dehidrasi, terpapar ● Membasahi dan kipasi keperawatan
lingkungan panas, permukaan tubuh teratasi
penggunaan ● Memberikan cairan oral
inkubator) ● Mengganti linen setiap hari P (Planning) :
● Monitor suhu tubuh atau lebih sering jika Intervensi
● Monitor kadar mengalami hiperhidrosis dihentikan
elektrolit (keringat berlebih)
● Monitor haluaran ● Melakukan pendinginan
urine eksternal (mis. selimut
● Monitor komplikasi hipotermia atau kompres
akibat hipertermia. dingin pada dahi, leher, dada,
Terapeutik abdomen, aksila)
● Sediakan ● Menghindari pemberian
lingkungan yang antlplretik atau aspirin
dingin ● Memberikan oksigen
● Longgarkan atau ● Menganjurkan tirah baring
lepaskan pakaian ● Melakukan kolaborasi
● Basahi dan kipasi pemberian cairan dan
permukaan tubuh elektrolit intravena
● Berikan cairan oral

16
● Ganti linen setiap
hari atau lebih
sering jika
mengalami
hiperhidrosis
(keringat berlebih)
● Lakukan
pendinginan
eksternal (mis.
selimut hipotermia
atau kompres dingin
pada dahi, leher,
dada, abdomen,
aksila)
● Hindari pemberian
antlplretik atau
aspirin
● Berikan oksigen,jika
perlu
Edukasi
● Anjurkan tirah
baring
Kolaborasi
● Kolaborasi
pemberian cairan
dan elektrolit
intravena,jika perlu

Gangguan Pemantauan Respirasi ● Memonitor pola napas, S (Subjektif) :


pertukaran gas (I. 01014) monitor saturasi oksigen Klien mengatakan
berkaitan dengan ● Memonitor frekuensi, irama, sudah tidak
ketidakseimbangan Definisi : kedalaman, dan upaya napas merasakan sakit
ventilasi-perfusi Mengumpulkan dan ● Memonitor adanya sumbatan lagi dan merasa

17
(D.0003) menganalisis data untuk jalan napas lebih baik dari
memastikan kepatenan jalan ● Mengatur interval pemantauan sebelumnya
napas dan keefektifan respirasi sesuai kondisi pasien
pertukaran gas. ● Menjelaskan tujuan dan O (Objektif) :
Tindakan : prosedur pemantauan Klien terlihat lebih
Observasi ● Menginformasikan hasil sehat
● Monitor pola napas, pemantauan
monitor saturasi A (Analisis) :
oksigen Masalah
● Monitor frekuensi, keperawatan
irama, kedalaman, teratasi
dan upaya napas
● Monitor adanya P (Planning) :
sumbatan jalan napas Intervensi
Terapeutik dihentikan
● Atur interval
pemantauan
respirasi sesuai
kondisi pasien
Edukasi
● Jelaskan tujuan dan
prosedur
pemantauan
● Informasikan hasil
pemantauan, bila
perlu

Defisit nutrisi Manajemen nutrisi ● Mengidentifikasi status S (Subjektif) :


berkaitan dengan (I.03119) nutrisi Klien mengatakan
ketidakmampuan ● Mengidentifikasi alergi dan sudah tidak
mencerna makanan Definisi : intoleransi makanan merasakan sakit
(D.0019) Mengidentifikasi dan ● Mengidentifikasi makanan lagi dan merasa
mengelola asupan nutrisi yang disukai lebih baik dari

18
yang seimbang. ● Mengidentifikasi sebelumnya
Tindakan : kebutuhan kalori dan jenis
Observasi nutrien O (Objektif) :
● Identifikasi status ● Mengidentifikasi perlunya Klien terlihat lebih
nutrisi penggunaan selang sehat
● Identifikasi alergi nasogastrik
dan intoleransi ● Memonitor asupan A (Analisis) :
makanan makanan Masalah
● Identifikasi ● Memonitor berat badan keperawatan
makanan yang ● Memonitor hasil teratasi
disukai pemeriksaan laboratorium
● Identifikasi ● Melakukan oral hygiene P (Planning) :
kebutuhan kalori sebelum makan Intervensi
dan jenis nutrien ● Memfasilitasi dalam dihentikan
● Identifikasi perlunya menentukan pedoman diet
penggunaan selang ● Menyajikan makanan
nasogastrik secara menarik dan suhu
● Monitor asupan yang sesuai
makanan ● Memberikan makanan
● Monitor berat badan tinggi serat untuk
● Monitor hasil mencegah konstipasi
pemeriksaan ● Memberikan makanan
laboratorium tinggi kalori dan tinggi
Terapeutik protein
● Lakukan oral ● Memberikan suplemen
hygiene sebelum makanan
makan, jika perlu ● Menghentikan pemberian
● Fasilitasi makan melalui selang
menentukan nasogastrik jika asupan oral
pedoman diet (mis. dapat ditoleransi
piramida makanan) ● Menganjurkan posisi duduk
● Sajikan makanan ● Mengajarkan diet yang
secara menarik dan diprogramkan

19
suhu yang sesuai ● Melakukan kolaborasi
● Berikan makanan dalam pemberian medikasi
tinggi serat untuk sebelum makan
mencegah konstipasi ● Melakukan kolaborasi
● Berikan makanan dengan ahli gizi untuk
tinggi kalori dan menentukan jumlah kalori
tinggi protein dan jenis nutrien yang
● Berikan suplemen dibutuhkan
makanan, jika perlu
● Hentikan pemberian
makan melalui
selang nasogastrik
jika asupan oral
dapat ditoleransi
Edukasi
● Anjurkan posisi
duduk, jika mampu
● Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
● Kolaborasi
pemberian medikasi
sebelum makan
(mis. pereda nyeri,
antiemetik), jika
perlu
● Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan jenis
nutrien yang
dibutuhkan, jika
perlu

20
Nyeri akut Manajemen nyeri ● Mengidentifikasi lokasi, S (Subjektif) :
berkaitan dengan (I.08238) karakteristik, durasi, Klien mengatakan
agen pencedera frekuensi, kualitas, sudah tidak
fisiologis (misal, Definisi : intensitas nyeri. merasakan sakit
inflamasi) Mengidentifikasi dan ● Mengidentifikasi skala lagi dan merasa
(D.0077) mengelola pengalaman nyeri. lebih baik dari
sensorik atau emosional ● Identifikasi respons nyeri sebelumnya
yang berkaitan dengan non verbal
kerusakan jaringan atau ● Mengidentifikasi faktor O (Objektif) :
fungsional dengan onset yang memperberat dan Klien terlihat lebih
mendadak atau lambat dan memperingan nyeri. sehat
berintensitas ringan hingga ● Mengidentifikasi pengaruh
berat dan konstan. budaya terhadap respons A (Analisis) :
Tindakan : nyeri. Masalah
Observasi ● Mengidentifikasi pengaruh keperawatan
● Identifikasi lokasi, nyeri pada kualitas hidup. teratasi
karakteristik, durasi, ● Memonitor keberhasilan
frekuensi, kualitas, terapi komplementer yang P (Planning) :
intensitas nyeri. sudah diberikan. Intervensi
● Identifikasi skala ● Memonitor efek samping dihentikan
nyeri. penggunaan analgetik.
● Identifikasi respons ● Memberikan teknik non
nyeri non verbal farmakologis untuk
● Identifikasi faktor mengurangi nyeri (mis.
yang memperberat TENS, hipnosis, akupresur,
dan memperingan terapi musik, biofeedback,
nyeri. terapi pijat, aromaterapi,
● Identifikasi teknik imajinasi
pengaruh budaya terbimbing, kompres
terhadap respons hangat/dingin, terapi
nyeri. bermain).
● Identifikasi ● Mengontrol lingkungan
pengaruh nyeri pada yang memperberat rasa

21
kualitas hidup. nyeri (mis. suhu ruangan,
● Monitor pencahayaan, kebisingan).
keberhasilan terapi ● Memfasilitasi istirahat dan
komplementer yang tidur.
sudah diberikan. ● Mempertimbangkan jenis
● Monitor efek dan sumber nyeri dalam
samping pemilihan strategi
penggunaan meredakan nyeri.
analgetik. ● Menjelaskan penyebab,
Terapeutik periode, dan pemicu nyeri
● Berikan teknik non ● Menjelaskan strategi
farmakologis untuk meredakan nyeri
mengurangi nyeri ● Menganjurkan monitor
(mis. TENS, nyeri secara mandiri
hipnosis, akupresur, ● Menganjurkan
terapi musik, menggunakan analgetik
biofeedback, terapi secara tepat
pijat, aromaterapi, ● Mengajarkan teknik non
teknik imajinasi farmakologis untuk
terbimbing, kompres mengurangi rasa nyeri
hangat/dingin, terapi ● Melakukan kolaborasi
bermain). pemberian analgetik
● Kontrol lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri (mis. suhu
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan).
● Fasilitasi istirahat
dan tidur.
● Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan

22
strategi meredakan
nyeri.
Edukasi
● Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
● Jelaskan strategi
meredakan nyeri
● Anjurkan monitor
nyeri secara mandiri
● Anjurkan
menggunakan
analgetik secara
tepat
● Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa
nyeri
Kolaborasi
● Kolaborasi
pemberian
analgetik, jika perlu

23
C. WOC Tuberculosis Paru
Percikan dahak

Kuman TB (mycrobacterium
Tuberculosis)

Mencapai lubus paru

TB Paru

Kuman Tb sampai ke alveoli

Membentuk sarang TB
pneumonia kecil/sarang primer

Peradangan

Peningkatan Peningkatan
ekresi leptin Proses Merangsang pengeluaran produksi mukus
oleh sel adiposa peradangan bradikidin, prostaglandin,
dan histamine

Peningkatan Sekret pada


Mual muntah
suhu tubuh Respon nyeri saluran
pernapasan
Penurunan BB meningkat
Hipertermi Hypotalamus

Anoreksia Ketidakefektifan
Nyeri akut bersihan jalan
napas
Defisit Nutrisi

Sesak

Ketidakseimbangan
perfusi

Gangguan pertukaran
gas

24
D. Dampak Penyakit Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia (Dalam
Konteks Keluarga) Pada Sistem Respirasi

Saat anak terkena TB Paru tentunya akan muncul keluhan seperti batuk, baik itu
batuk kering hingga batuk dengan sputum, demam, berkeringat saat malam hari,
hingga sesak napas. Anak-anak tentunya masih sangat bergantung pada orang tua.
Apalagi saat anak sakit, perawatan dari orang tua akan sangat diperlukan. Namun,
oleh karena penyakit ini merupakan penyakit yang menular, maka pastinya akan
mempengaruhi anggota keluarga yang tinggal bersama dengan pasien yang telah
terinfeksi. Permasalahan yang berdampak besar terhadap penularan TBC ke anggota
keluarga lainnya adalah bagaimana cara penderita mengeluarkan dahak saat batuk.
Cara mengeluarkan dahak saat batuk yang tidak baik bagi kesehatan penderita TBC
dapat terjadi karena dua alasan, yaitu penderita tidak mengetahui cara mengeluarkan
dahak yang benar, dan pasien bersama keluarga tidak mengetahui bahaya dan potensi
akibat dari perilaku batuk tersebut, sehingga perilaku tersebut mempunyai resiko
besar untuk menularkan tuberkulosis di antara anggota keluarga (Annisa, &
Purbowati. 2015).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rini (2019), terbukti bahwa


pasien dengan gangguan respirasi, khususnya pada pasien dengan TB Paru,
mengalami hambatan dalam beraktivitas. Pada penelitian tersebut dikatakan bahwa
pasien akan mengalami penurunan kemampuan beraktivitas. Pasien dengan TB Paru
akan lebih mudah lelah dan merasa kehilangan energinya. Selain mengganggu
kebutuhan aktivitas pasien, interaksi pasien dengan lingkungan sekitar juga akan
terganggu. Penerimaan masyarakat terhadap pasien TB Paru masih kurang, hal
tersebut membuat pasien cenderung menghindar dari orang-orang terdekat. Pada
beberapa kasus, bahkan terdapat pasien yang merasa ketakutan dan terisolasi dari
lingkungan sekitar. Fenomena-fenomena tersebut sangat berdampak pada penurunan
kualitas hidup pasien (Ramdina, dkk, 2022).

25
DAFTAR PUSTAKA

Aini Nur, Ramadiani, & & Hatta Heliza Rahmania. (2017). Sistem Pakar Pendiagnosa
Penyakit Tuberkulosis. Jurnal Informatika Mulawarman, 12(1), 56–57.

Annisa, Y., & Purbowati, M. R. (2015). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap


Kemandirian Keluarga Dalam Merawat Pasien Tuberculosis Di Wilayah Kerja
Puskesmas Surakarta. Psycho Idea, 13(1).

Arifin Zaenal, & Hadi Irwan, et. al. (2021). Edukasi Etika Batuk Yang Benar Sebagai
Upaya Pencegahan Penyakit TB Paru Di Dusun Aik Nyet Lombok Barat. Jurnal
Abdimas Kesehatan Perintis , 2(2).

Darliana Devi. (2011). Manajemen Pasien Tuberculosis Paru. Idea Nursing Journal, 2(1),
27–30.

Mardiyanti, F. (2015). BAB II. Poltekkes Kemenkes Yogyakarta,


http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/3933/4/4.%20Chapter2.pdf.

Mutaqqin, Arif. (2019). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta : Salemba Medika.

Nasution Johani Dewita, & Elfira Eqlima, et. al. (2023). Pencegahan Penularan Tuberkulosis
Paru (I). CV. Eureka Media Aksara.

Ni Made Mertaniasi, dkk. (2013). Buku Ajar Tuberkulosis Diagnostik Mikrobiologi (I). Pusat
Penerbit Dan Pencetak Unair (AUP).

Pangestika Rismawati, & Fadli Rina Khairunnisa, et. al. (2019). Edukasi Pencegahan
Penularan Penyakit Tb Melalui Kontak Serumah. Jurnal Solma , 8(2), 230–236.

Ramdina, Sri dan Rini, Dewi Sartiya dan Tahir, Rusna (2022). ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN NY.D DENGAN TUBERKULOSIS PARU DALAM PEMENUHAN
KEBUTUHAN AKTIVITAS DI RUANG TERATAI RSUD KOTA KENDARI. Karya
Tulis Ilmiah tesis, Jurusan Keperawatan.

Rini, D. (2019). Pengaruh Home Based Exercise Training Terhadap Kualitas Hidup TB Paru.
Jurnal Keperawatan, 10, 1–9.

26
Saferi Andra. (2013). KMB 3 Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

Siregar Putra Apriadi, et. al. (2023). Konsep Epidemiologi Terjadinya Penyakit Tuberkulosis.
Journal Of Health And Medical Research , 3(3), 463–469.

Sugeha Bonita. (2016). Pengetahuan Tenaga Kesehatan Tentang Tuberkulosis Paru Dan
Diabetes Melitus di Puskesmas Kota Manado. Jurnal Kedokteran Komunitas Dan
Tropik, 4(4), 211–212.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Triyono. (2018). Faktor Lingkungan Dan Perilaku Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru (Studi pada pasien rawat jalan di Puskesmas Kemurang Wetan
Kecamatan Tanjung Kabupaten Brebes). Universitas Muhammadiyah Semarang.

Wijaya Indra. (2015). Tuberkulosis Paru pada Penderita Diabetes Melitus. Continuing
Medical Education, 42(6), 412–415.

Wikurendra Edza Aria. (2010). Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru Dan
Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan, 9(4).

Zaki Rahmani Muhammad. (2020). Karakteristik Pasien Tuberkulosis Paru Di Puskesmas


Bara-Barayya Makassar. Universitas Hasanuddin .

27

Anda mungkin juga menyukai