Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH

“FIQH SOSIAL DAN FIQH KEBENCANAAN”

Diajukan dalam memenuhi Tugas Mata Kuliah Kemuhammadiyahan 4

DOSEN PENGAMPU : R. NURHAYATI, S.Pd.I., M.Pd.I

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4:

NUR FITRA DEWI (210109004)

SYAHARANI (210109009)

PRODI TADRIS MATEMATIKA


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM MUHAMMADIAYAH SINJAI
TAHUN AKADEMIK 2022/2023

KATA PENGANTAR

i
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wata’ala yang telah memberikan
kita, rahmat, hidayah serta kesehatan sehingga apa yang kita kerjakan, apa yang
kita usahakan dapat berjalan dengan baik tanpa kendala yang memberatkan bagi
kita semua.

Sebagai umat manusia yang merupakan ciptaan Allah sekaligus ummat


yang beragama islam penting untuk diketahui bagaimana cara untuk mendekatkan
diri kepada rabb-nya oleh karena itu pendidikan islam sangat diperlukan karena
pendidikan islamlah yang menjadi jembatan untuk mengetahui dan memahami
secara mendalam ajaran agama sendiri.

Pada makalah ini in syaa Allah akan kami bahas terkait dengan
Pemrograman Dasar dengan judul “Fiqh Sosial dan Fiqh Kebencanaan”. Dengan
selesainya makalah ini berarti kami telah menyelesaikan salah satu tugas kami
pada mata kuliah “Kemuhammadiyahan 4”. Kami sangat berterimah kasih kepada
pihak yang membantu kelancaran pembuatan makalah ini, serta kami sangat
mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah kami karena kami sadar bahwa
dalam makalah ini masih banyak kekurangan yang perlu untuk dibenahi.

Sinjai, 19 Februari 2023

Penulis

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II KAJIAN TEORI.......................................................................................3
A. Fiqh Sosial....................................................................................................3
1. Hakikat dan Makna Sosial.....................................................................3
2. Pandangan Muhammadiyah Tentang Interaksi Sosial...........................4
3. Pandangan Muhammadiyah Tentang Media Sosial...............................5
4. Fiqh Dalam Bermedia Sosial.................................................................7
B. Fiqh Kebencanaan........................................................................................9
1. Istilah Kebencanaan Dalam Al-Qur’an dan Hadis.................................9
2. Klasifikasi Bencana..............................................................................15
3. Cara Memandang dan Menyikapi Bencana.........................................17
4. Pemenuhan Hak Korban Bencana........................................................21
5. Masalah Ibadah Pada Saat Bencana.....................................................30

BAB III METODE PENULISAN.......................................................................35


A. Metode Penulisan.......................................................................................35
B. Sumber Data...............................................................................................35

BAB IV PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN...............................................36


A. Pembahasan ...............................................................................................36
B. Kesimpulan................................................................................................42

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................45

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Berbicara tentang Fiqh memang tidak bisa lepas dari pembahasan hukum
syariah, seperti pengertian, ilmu, akal dan ilmu agama Islam. Fiqh adalah salah
satu cabang ilmu hukum Islam yang khusus membahas hukum-hukum palsu yang
mengatur berbagai aspek kehidupan seseorang, baik itu kehidupan pribadi,
masyarakat, maupun hubungan seseorang dengan Tuhan. (Abd. Razak, Lc, 2016)

Kata fiqh secara etimologis berasal dari kata faqiha-yafqahu wa fiqhan,


yaitu: Pengetahuan dan pemahaman tentang sesuatu. Sementara itu, para fuqaha
menawarkan beberapa definisi dalam ungkapan atau terminologi tertentu, di
antaranya fikih adalah kajian tentang syariah yang benar, aturan melalui pencarian
kontradiksi. (Khallaf, 2022)

Fiqh gramatikal mengacu pada aturan syariah yang berkaitan dengan


perilaku dan ekspresi mereka yang merasa sulit untuk menetapkan aturan yang
ketat. Mereka berasal dari sumber-sumber wacana yang rinci seperti Al-Qur'an
dan As-Sunnah serta cabang-cabangnya, khususnya Ijma. dan ijtihad. Ilmu ini
berurusan dengan hukum-hukum Syariah dan karena itu tidak dapat disebut ilmu
fikih terlepas dari cabang itu. (Dr. H. Ahmad Sanusi & Dr. Sohari, M.H., 2017)

Secara etimologis, fikih diartikan sebagai pemahaman yang mendalam


dan memerlukan pengerahan potensi mental. Sementara itu, fikih diartikan secara
terminologis sebagai bagian dari hukum Islam, yaitu pengetahuan hukum Islam
yang matang dan kokoh (wajib) tentang perbuatan manusia, yang diturunkan dari
dalil-dalil yang terperinci. (Khallaf, 2022)

Ilmu fikih yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits Nabi mampu
bertahan sejak kelahirannya di zaman para sahabat (setelah Nabi terlihat wafat)
dan terus berkembang seiring dengan semakin kita mengenal kehidupan umat
Islam. Kajian keilmuan fikih menyangkut semua tata cara wajib yang terkait
dengan hukum Syara dan menganalisis detail terkait hukum Islam dan tindakan
mulatto.

1
Kegunaan ilmu ini terletak pada mengetahui kaidah-kaidah (umum) kulli
dan teori-teori terkait sehingga dapat diterapkan pada dalil-dalil (detail) sehingga
hukum syariah dapat diintegrasikan. Ilmu fikih ini merupakan pedoman berharga
bagi siapa saja yang bertanggung jawab untuk menentukan hukum perkataan dan
perbuatannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ilmu Fiqh memiliki bidang bahasan yang sangat luas karena seperti yang
telah disebutkan sebelumnya, Ilmu Fiqh berurusan dengan hubungan pribadi,
hubungan dengan orang lain (masyarakat) dan hubungan mereka dengan Tuhan.
Fiqh juga berurusan dengan kehidupan setelah kematian dan masalah agama dan
negara, berfungsi sebagai pedoman dan peta kehidupan manusia di dunia dan
akhirat.

Mengingat cakupan fikih sangat luas, maka pengenalan fikih sosial dan
fikih bencana akan dibahas kemudian dalam pembahasan ini. Dimana masalah
sosial dan bencana sudah tidak asing lagi bagi kita semua, karena tentunya hampir
setiap hari kita melihat dan merasakannya ketika menghadapi masalah sosial dan
bencana.

2
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Fiqh Sosial
1. Hakikat dan Makna Sosial
Kata "sosial" berasal dari kata Latin "socil", yang berarti sekutu.
Ungkapan ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan seseorang dalam
masyarakat sebagai contoh kualitas yang membangkitkan rasa kasih
sayang terhadap orang lain. '' (Alfan, 2017)
Menurut KBBI, kata “sosial” tergolong sebagai kata sifat yang
artinya mengacu pada segala sesuatu yang berkaitan erat dengan
kelompok sosial atau ciri-ciri sosial, yang memperhatikan kepentingan
bersama. (Imron Rosyadi, 2022)
Menurut Kcith Jacobs, media sosial berarti segala sesuatu yang
terjadi di tengah masyarakat. Tidak hanya itu yang terjadi, tetapi juga
sosial yang dibangun di masyarakat. Paul Ernst juga mengungkapkan
pendapatnya tentang masalah sosial. Menurutnya, sosial adalah suatu
kelompok yang terdiri dari lebih dari satu orang yang berkumpul untuk
melakukan berbagai kegiatan. (Widuri, 2015)
Pada saat yang sama, Ruth Ayelet berpendapat bahwa ekspresi
sosial mengacu pada perbedaan yang tidak dapat dihancurkan. tetapi
mempersatukan setiap individu dalam suatu masyarakat tertentu.
(Widyastuti & Rizqiani, 2020)
Dari sudut pandang Max Weber, kata "sosial" menunjukkan
serangkaian tindakan seseorang berdasarkan penilaian atau preferensi
pribadinya. (Manzhur, 2023)
Selain itu, Karl Max juga menjelaskan tentang pengertian sosial.
Menurutnya, istilah “sosial” menunjukkan semua orang yang berusaha
memenuhi kebutuhannya melalui proses sosial masyarakat. (Nurhayati,
Siti, Mahsyar, 2019)

3
Engin Fahri Essen juga berpendapat bahwa sosial merupakan inti
dari hubungan antar individu, meskipun masih ada konflik seputar
hubungan antar individu tersebut. (Afandi, 2023)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa sosial sebenarnya adalah
seperangkat norma, moral, nilai dan aturan, yang sumbernya berasal dari
budaya masyarakat dan menjadi acuan dalam interaksi antara orang-orang
di lingkungan sosial.
2. Pandangan Muhammadiyah Tentang Interaksi Sosial
3. Dalam KBBI, interaksi sosial diartikan sebagai “hubungan sosial antara
individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok
dengan kelompok”. (Nadlifah, 2018)
Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia sebagai makhluk
sosial yang hidup berkelompok dan tidak dapat hidup sendiri tanpa peran
dan bantuan manusia lain. Kita tidak dapat melakukan segalanya,
mendapatkan semua yang kita butuhkan dan memproduksinya sendiri.
Peran individu lain adalah memiliki keterampilan berbeda yang
mampu menghasilkan kebutuhan yang kita butuhkan untuk hidup. Orang
saling membutuhkan dan terhubung dengan cara yang berbeda yang
mencakup semua aspek kehidupan manusia.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa interaksi merupakan
kunci kelangsungan hidup manusia. melalui interaksi. Anda bisa saling
mengenal, saling membantu, saling menguntungkan dan masih banyak
lagi. (Siregar, 2017)
Pemikiran Islam Indonesia banyak dianut oleh para pemikir yang
mengungkapkan pandangannya tentang penerapan agama dalam ranah
sosial. Semua pemikiran ini mengarah pada aktivasi agama (Islam) dalam
hidup berdampingan manusia, yang tidak hanya ditujukan kepada Tuhan
tetapi juga kepada manusia. Dalam bahasa akademik, agama menjadikan
seseorang saleh dan saleh secara sosial. (Pulungan, 2017)
Di Muhammadiyah, gerakan sosial terlibat dalam berbagai
urusan transaksional tingkat rendah. Selama penelitian, Alfian dan

4
Nakamura menemukan bahwa KH. Ahmad Dahlan menawarkan
penjelasan pragmatis yang disebutnya ambigu. Dengan kata lain, amalan
lahiriah adalah yang pertama dan hasil dari kekuatan ruh keagamaan.
Dimana agama mengandung ajaran yang dapat menjadi dasar
pembentukan nilai dan perilaku sosial. (Sodiqin, 2019)
4. Pandangan Muhammadiyah Tentang Media Sosial
Berbicara tentang jejaring sosial tentu tidak asing lagi bagi kita.
Kehidupan manusia saat ini tidak lepas dari jejaring sosial. Tapi tentu saja
terlalu banyak itu buruk. Bukan hanya merusak mata, kita juga rugi
karena membuang waktu untuk hal-hal yang tidak berguna. Sayangnya,
penggunaan jejaring sosial saat ini sangat dipalsukan dan disalahgunakan
untuk menyebarkan fitnah, dan itu tidak berhasil. Berbagai pihak yang
tidak bertanggung jawab menggunakan kejelekan rakyat sebagai modal
bibit untuk mengalahkan saingannya dan mendapatkan kekuasaan dan
keuntungan pribadi atau kolektif. (Khallaf, 2022)
Pesatnya pertumbuhan pengguna media sosial hadir dengan
tantangan tersendiri. Oleh karena itu, organisasi kemasyarakatan,
termasuk Muhammadiyah, harus disiapkan.
Dalam kurun waktu 2018-2020, jumlah pengguna media sosial
khususnya Twitter meningkat lebih dari 50 persen. (Prof. Dr. Dadang
Kahmad, 2018).
Generasi milenial mewakili mayoritas pengguna tersebut hingga
354 persen, disusul Generasi Z sebanyak 30,3 persen. Berbicara tentang
masa depan peradaban berarti berbicara tentang Gen Z. (Alfan, 2017)
Kecerdasan buatan (AI) adalah alat yang secara otomatis
mempelajari perilaku pengguna jejaring sosial. Pada saat yang sama,
model yang dihasilkan oleh algoritme mempermudah penyebaran
informasi yang salah daripada mencari dan menyebarkan kebenaran.
Pilihan sendiri membuat seseorang percaya pada informasi yang salah
atau tidak. Yang lebih penting, bukan logika kita.(Nurhadi, 2017)

5
Beberapa pilihan ideologis yang diungkapkan di jejaring sosial
cenderung membeku dan menimbulkan ketegangan dengan pengguna lain
yang memiliki pilihan dan pandangan berbeda. Ketegangan ini tidak
hanya hadir dalam jejaring sosial, tetapi juga memanifestasikan dirinya
dalam bentuk nyata di dunia nyata. Dulu ada polarisasi di Indonesia, tapi
tidak sekeras sekarang, brutal dan begitu kentara. Sekarang semuanya
terlihat karena semuanya terlihat di jejaring sosial. Jadi apa yang bisa kita
harapkan untuk masa depan jika ini terus berlanjut?
Menghadapi tantangan tersebut, aktivitas media sosial
Muhammadiyah dinilai elegan, non-reaktif dan cocok untuk menjawab
berbagai persoalan sosial dan kebangsaan. Muhammadiyah tahu kapan
berbicara sebagai organisasi dan kapan berbicara secara individu sebagai
pemimpin. (Surwandono & Kaukab, 2021)
Muhammadiyah harus terus memperkuat metaorganisasi di
samping kinerja media sosial resmi Persyarikatan yang baik. Selain itu,
dari 277 juta penduduk Indonesia, terdapat 133 pengguna perangkat (370
juta atau satu orang memiliki lebih dari satu perangkat). Ada 204,7 juta
pengguna internet dan 191,4 juta pengguna digital aktif. (Alma & Fauzi,
2022).
Muhammadiyah karena keanggotaannya dan infrastruktur
turunannya seperti data yang menyatu, berpeluang membangun kekuatan
yang luar biasa untuk membangun meta-organisasi yang sangat kuat yang
tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. (Husna, 2023)
5. Fiqh Dalam Bermedia Sosial
Media sosial merupakan kegiatan yang diikuti oleh hampir
semua orang, baik tua maupun muda. Meskipun jenis komunikasi ini
bukan kebutuhan dasar, namun membuat orang hampir "terpelajar".
Akibat kurangnya persiapan terhadap perubahan sistem global, banyak
hal buruk terjadi di dunia nyata akibat kekacauan yang tercipta di dunia
maya. Dalam beberapa kasus, gangguan tersebut dikriminalisasi. (Fuadi,
2017)

6
Isu-isu tersebut menuntut hukum Islam lebih kontekstual dan
responsif terhadap kebutuhan zaman. Terkadang hal ini ditandai dengan
penghargaan terhadap keadilan dan hak asasi manusia. Tentu saja, kedua
prinsip nilai ini harus menjadi acuan dalam menafsirkan kembali hukum
Islam di dunia modern. Dalam perkembangan selanjutnya, kajian ilmu
fikih mengalami perubahan formula bahan hukum yang semula hanya
merupakan kumpulan hukum hitam putih menjadi kumpulan nilai dan
asas serta dogma-dogma agama. (Baqir, 2011)
Kelahiran Fiqh dalam konteks saat ini adalah karena pandangan
dunia berdasarkan keadaan cara berpikir orang dan pengaruh
perkembangan teknologi. Penggunaan teknologi secara umum telah
mempengaruhi pandangan dunia masyarakat saat ini. Media sosial
(medsos) merupakan bagian dari evolusi teknologi tersebut. Dari diskusi
tersebut, muncul istilah fiqh di media sosial. (Alma & Fauzi, 2022)
Dalam hal ini, fikih media sosial sebagai sumber tuntunan
perilaku masyarakat dapat dilihat sebagai salah satu upaya agama untuk
menjawab persoalan tersebut. Fiqh ini mencakup nilai, prinsip, dan aturan
untuk menggunakan media sosial di dunia baru kita. Pertama, mungkin
kita bisa mulai dengan bagaimana etika dan politik bekerja dalam
menerima dan menyebarkan informasi.
Keyakinan yang terkait dengan media sosial atau hal-hal yang
harus diperhatikan oleh semua pengguna media sosial adalah misalnya.
(Kamaluddin, 2020)
1. Amal berdasarkan niat
2. Niat baik saja tidak cukup
3. Menolak segala kejahatan di grup media sosial
4. Jangan menyalahkan siapa pun karena menggunakan media sosial
5. Tidak semuanya harus diiklankan di media sosial
6. Jangan membuat akun palsu
7. Jangan sering melihat atau membuka akun orang lain
8. Saat seseorang mengirim pesan, itu harus faktual

7
Selain itu, ada juga instruksi bagus di jejaring sosial, misalnya.
(Ula, 2017)
1. Jangan melihat pesan yang tidak sesuai dengan ajaran.
2. Jangan mengabaikan tanggung jawab Anda dan berhenti
melakukan hal-hal penting.
3. Manfaatkan fitur dan konten untuk mendapatkan hasil yang
lebih bermanfaat.
4. Bagikan atau posting informasi dan pernyataan yang benar dan
bermanfaat, serta hindari fitnah yang dapat memancing permusuhan.
5. Anda harus menggunakan bahasa yang sopan di jejaring sosial
agar diterima dan dipahami dengan baik.
Karena jejaring sosial sangat mudah diakses pada usia berapa
pun, hal di atas dapat melindungi pengguna mana pun. Jika perlu, jejaring
sosial dapat terus menjalankan fungsinya yang bermanfaat, sambil
menekan hal-hal yang dilarang.
B. Fiqh Kebencanaan
1. Istilah Kebencanaan Dalam Al-Qur’an dan Hadis
Al-Qur'an adalah kitab suci yang sempurna yang menghalalkan
(muṣaddiq) semua ajaran kenabian. Izin di sini memiliki dua makna:
pertama, membenarkan dan memperkuat ajaran para pendahulu Nabi,
yang benar dan sesuai dengan tuntunan Allah, kedua, membenarkan
dalam arti bahwa orang telah melakukan penyimpangan yang benar atau
benar di hadapan Rasulullah. Oleh karena itu, apa yang dijelaskan Al-
Qur'an adalah kebenaran yang hakiki. Al-Qur'an sebagai ayat Qauliyyah
(diucapkan, diucapkan) bersama dengan ayat Kauniyyah (menciptakan,
alam semesta) menegaskan kebenaran dari apa yang diturunkan Allah
kepada manusia. Tuhan menjelaskan (M. T. dan T. P. P. Muhammadiyah,
2015)
‫َس ُنِر يِهۡم َء اَٰي ِتَنا ِفي ٱٓأۡلَفاِق َو ِفٓي َأنُفِس ِهۡم َح َّتٰى َيَتَبَّيَن َلُهۡم َأَّنُه ٱۡل َح ُّۗق َأَو َلۡم َيۡك ِف ِبَر ِّبَك َأَّن ۥُه‬
٥٣ ‫َع َلٰى ُك ِّل َش ۡي ٖء َش ِهيٌد َأٓاَل‬

8
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri,
hingga jelas bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah haqq. Tiadakah
cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
[Q.S. Fuṣṣilat (41): 53].
Dalam Al-Qur'an dan Hadits, kata "bencana" muncul dalam
beberapa ungkapan yang berbeda, meskipun dengan penekanan dalam
konteks yang berbeda, seperti: musyībah, bala', fitnah, 'ażāb, halāk,
tadmīr, tamzīq,' iqab dan nazilah'. Dalam Al-Qur'an dan Hadits berikut
disajikan beberapa ungkapan terkait bencana. (Isngadi, 2021)
a. Musibah
Kata muṣībah (Bahasa Indonesia: bencana) berasal dari a-ṣā-
ba dan berarti "sesuatu yang terjadi pada kita". Kata muṣībah dalam
Al-Qur'an biasanya mengacu pada sesuatu yang netral, bukan negatif
atau positif, meskipun ada beberapa ayat yang mengasosiasikannya
dengan sesuatu yang negatif. Namun dalam bahasa Indonesia, kata
bencana selalu diartikan negatif. Kata “bencana” dalam bahasa
Indonesia selalu mengacu pada setiap peristiwa yang menyakitkan,
menyengsarakan dan memiliki nilai negatif yang menimpa manusia.
Dalam konteks ini, bencana adalah peristiwa yang menimpa manusia,
baik alam maupun sosial. (M. T. dan T. P. P. Muhammadiyah, 2015)
Menurut Al-Qur'an segala sesuatu yang menimpa manusia
disebut "bencana", baik itu baik maupun buruk bagi manusia. Allah
menjelaskan hal ini dalam firman-Nya: (Pujileksono, 2023)
‫َم ٓا َأَص اَب ِم ن ُّمِص يَبٖة ِفي ٱَأۡلۡر ِض َو اَل ِفٓي َأنُفِس ُك ۡم ِإاَّل ِفي ِكَٰت ٖب ِّم ن َقۡب ِل َأن‬
‫ ِّلَك ۡي اَل َتۡأ َس ۡو ْا َع َلٰى َم ا َف اَتُك ۡم َو اَل َتۡف َر ُح وْا ِبَم ٓا‬٢٢ ‫ر‬ٞ‫َّنۡب َر َأَهۚٓا ِإَّن َٰذ ِلَك َع َلى ٱِهَّلل َيِس ي‬
٢٣ ‫َء اَتٰى ُك ۗۡم َو ٱُهَّلل اَل ُيِح ُّب ُك َّل ُم ۡخ َتاٖل َفُخ وٍر‬
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak
pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul
Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang

9
demikian itu adalah mudah bagi Allah. (23) (Kami jelaskan yang
demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap
apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang
yang sombong lagi membanggakan diri [Q.S. al-Ḥadīd (57): 22-23].
Istilah musibah yang dapat mencakup kebaikan dan
keburukan juga disebutkan dalam hadis Dari Shuhaib, ia berkata.
Rasulullah Saw. bersabda: Sungguh menakjubkan perkara kaum
mukmin. Sesungguhnya semua perkaranya adalah kebaikan, dan itu
tidak akan terjadi kecuali bagi orang yang beriman. Jika ia
dianugerahi nikmat, ia bersyukur dan itu baik baginya. Jika ia tertimpa
musibah, ia bersabar maka itu juga baik baginya [HR. Muslim]. (Dr.
H. Ahmad Sanusi & Dr. Sohari, M.H., 2017)
Dalam firman-Nya yang kedua, Allah berfirman bahwa jika
“bencana” itu berupa kebaikan, maka itu dari Tuhan, dan jika
“bencana” itu berupa keburukan, yang kemudian disebut bencana,
maka itu adalah haknya. perbuatan manusia itu sendiri. Allah
menegaskan: (Pujileksono, 2023)
‫ۡل َٰن‬
‫َّم ٓا َأَص اَبَك ِم ۡن َح َس َنٖة َفِم َن ٱِۖهَّلل َو َم ٓا َأَص اَبَك ِم ن َس ِّيَئٖة َفِم ن َّنۡف ِس َۚك َو َأۡر َس َك ِللَّن اِس‬
٧٩ ‫َر ُسوۚاٗل َو َكَفٰى ِبٱِهَّلل َش ِهيٗد ا‬
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan
apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu
sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia.
Dan cukuplah Allah menjadi saksi [Q.S. al-Nisā (4): 79].
Berdasarkan penjelasan di atas, Al-Qur'an pun secara jelas
dan lengkap menyatakan bahwa tidak semua bencana adalah bencana.
Bencana yang disebut bencana dan memiliki arti negatif adalah
bencana yang merugikan manusia dan merupakan akibat dari
perbuatan manusia itu sendiri, bukan dari Tuhan, meskipun bencana
tersebut terjadi di alam.
b. Bala’

10
Bagi masyarakat, istilah balā' selalu mengandung arti buruk,
berupa keburukan, sering disebut bencana dalam arti negatif. Oleh
karena itu, bala' selalu dihindari atau bahkan disingkirkan dari
kehidupan karena dianggap membahagiakan dan menyedihkan bagi
manusia. Merujuk pada Al-Qur'an, kata balā' sebenarnya lebih
memiliki arti ujian yang membangun keimanan, yang bisa berupa
peristiwa sedih atau bahagia. (Syifa, 2023)
Bala diberikan tidak hanya kepada orang yang tidak taat
(tidak benar) tetapi juga kepada orang yang benar. Karena balā berarti
"kembali" kepada kebenaran, itu menjadi ukuran sikap seseorang
terhadapnya. Ketika orang berhasil berdamai dengan Balaa, mereka
menjadi hamba Tuhan yang terkasih. Sebaliknya, jika dia tidak bisa
menanggapi bala' dengan baik, maka dia termasuk orang yang
membutuhkan ujian lebih banyak. (Muis, 2018)
Dalam ajaran tauhid, nyawa manusia merupakan anugerah
besar dari Tuhan. Rahmat selalu baik di sisi Allah karena Allah Yang
Terbaik adalah Rabb (rahmah). Namun karena Tuhan “berbicara”
dalam kesadaran manusia, dimana manusia telah menilai sesuatu itu
baik dan buruk, maka Tuhan menyebut penghargaan itu dengan
konsep bala, yaitu baik (ḥasanāt) dan buruk (sayyi’āt). Q.S. al-A'raf
(7):168 dan al-Anbiya' (21):35 Allah menegaskan bahwa setiap
pemberian yang diberikan kepada manusia adalah bala' (cobaan
hidup), sehingga manusia mengetahui hakekat kebenaran hanya dari
Allah. (Syifa, 2023)
Oleh karena itu, bala' yang buruk adalah bala' yang sering
disebut bencana. Dengan kata lain, bencana adalah bala', yaitu berupa
keburukan yang menimpa manusia.
c. Fitnah
Kembali ke makna asal kata “fitnah”, peristiwa yang
diidentikkan dengan kata “fitnah” merujuk pada peristiwa sosial,
bukan peristiwa alam. Panjaus diartikan sebagai peristiwa akibat

11
hubungan antara manusia dengan manusia lainnya sehingga
menimbulkan akibat negatif berupa kematian, ketakutan, kesesatan
dan kekacauan.
Dalam kaitannya dengan makna kata “fitnah” dalam al-
Qur’an, kata tersebut seringkali bermakna negatif berupa peristiwa-
peristiwa yang menyedihkan dan menyedihkan serta merupakan
peristiwa sosial, baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Jika
diperhatikan makna “fitnah”, maka akan disadari bahwa peristiwa
yang diindikasikan oleh kata “fitnah” dalam Al-Qur'an dan Hadits
terkadang merupakan suatu bentuk bencana bagi manusia.
d. Ażāb
Istilah azab pada dasarnya berasal dari kata a-za-ba, yang
dalam konteks berarti “sangat serbaguna”. Istilah penghakiman berarti
siksaan ketika kita mengaitkannya dengan serangkaian peristiwa
manusia. Hukuman memiliki efek besar atau kecil sebagai akibat dari
berbagai tindakan orang yang melanggar perintah Allah SWT.
(Anwar, 2020)
Allah memperingatkan umat manusia untuk kembali ke jalan
yang benar berupa kehancuran, bencana alam yang sangat dahsyat
seperti: Gempa bumi, gunung meletus, tsunami, tanah longsor, banjir
dan peristiwa sosial seperti: Perang dan ancaman sosial terhadap
rakyat.
Orang yang tidak memperdulikan resiko bencana alam adalah
“hukuman” atau bencana bagi orang yang tidak menaati perintah
Allah SWT.
e. Fasad
Fasad pada dasarnya berasal dari fa-sa-da. Arti dalam Lisan
al'Arab adalah antonim dari Shalih. Shalah ini berarti baik, baik dan
damai. Jadi fasad berarti jelek. Jahat dan perselisihan (tidak baik, tidak
baik dan damai) adalah kebalikan dari baik, baik dan damai. (Alma et
al., 2022)

12
Istilah fasad dalam Al-Qur'an mengarah pada makna
bencana. Fasad ini mengacu pada semua perbuatan manusia yang
tidak baik seperti kesombongan, ketidaktaatan terhadap perintah
Allah, perilaku sewenang-wenang terhadap orang lain yang selalu
menimbulkan perselisihan dan pertumpahan darah. (Pujileksono,
2023)
f. Halak
Menurut bahasa Halak artinya mati, tenggelam dan
tenggelam. Arti Halak menurut bahasa sama dengan arti Halak dalam
Al-Qur'an yaitu harus musnah dan musnah. (Sodiqin, 2019)
Istilah Al-Qur'an halak memiliki arti yang berbeda dengan
fasad yaitu sesuatu yang tidak mengarah kepada manusia, lebih
tepatnya merujuk pada perbuatan Allah SWT sesuai dengan perbuatan
Allah yang membinasakan, membunuh atau memusnahkan individu
maupun manusia. ketimbang komunitas. Oleh karena itu Halak adalah
segala perbuatan Allah yang membunuh, membinasakan dan
membinasakan ciptaan-Nya, baik individu maupun masyarakat. (Dr.
Moh. Bahrudin, 2019)
g. Tadmir
Istilah Tadmir dalam Al-Qur'an pada dasarnya berasal dari
kata dammara, yang berarti "menghancurkan". Oleh karena itu istilah
"Tadmir" berarti kehancuran. Tadmir merupakan atribut dalam
peristiwa yang tidak baik (buruk) bagi manusia, yaitu atribut
“beristirahat sebanyak mungkin”. Sifat Tadmir terdiri dari kerusakan
yang disebabkan oleh bencana alam dan ulah manusia. Kerusakan ini
merupakan bencana bagi manusia, yang diakibatkan oleh kelalaian
manusia tanpa memperdulikan akibat perbuatannya. Allah SWT
menyatakan bahwa kesalahan penilaian manusia adalah salah satu
akibat dari tidak dapat memprediksi tanda-tanda kekuasaan Allah
SWT. (Dr. H. Ahmad Sanusi & Dr. Sohari, M.H., 2017)
h. Tamziq

13
Kata tamziq adalah dasar dari kata benda Al-Qur'an maz-
zaga, yang berarti penghancuran. Kata ini identik dengan Tadmir.
Kata tamziq adalah tanda bagi peristiwa yang tidak baik dan
disebabkan oleh perbuatan manusia. (Dr. H. Ahmad Sanusi & Dr.
Sohari, M.H., 2017)

i. Iqab
Iqab adalah istilah Alquran yang artinya sama dengan
kejahatan yang dilakukan oleh manusia, dan berasal dari kata a-qaba,
yang berarti "mengkompensasi" atau "menghukum".
Iqab adalah peristiwa yang terjadi ketika manusia
mengingkari Allah dan Rasul-Nya. Ini berupa bencana yang
membahayakan manusia, yang memiliki arti yang sama dengan kata
azab. (Dr. Moh. Bahrudin, 2019)
j. Nazilah
Nazilah adalah dasar dari kata na-za-la dalam bentuk regular
atau intransitif (tidak membutuhkan objek), arti aslinya adalah turun,
tetapi ungkapan nazala dalam bentuk muta'addi atau transitif
(memerlukan objek) menjadi an- za -la, artinya "turun". Al-Qur'an
menjelaskan dalam hal-hal tertentu bahwa kata Anzala adalah wahyu
yang diturunkan dengan maksud sebagai rahmat, tetapi sebaliknya,
ungkapan Anzala dijelaskan dalam Al-Qur'an, sehingga mengurangi
siksaan. kepada orang-orang yang mengingkari Al-Qur'an. (Sodiqin,
2019)
2. Klasifikasi Bencana
3. Bencana biasanya disebabkan oleh peristiwa alam (natural disaster) dan
ulah manusia (man-made disaster). Peristiwa bencana yang terjadi dalam
teks Al-Qur'an dan Hadits dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: (M.
T. dan T. P. P. Muhammadiyah, 2015)
a. Bencana Alam. Di antara bentuk-bentuknya antara lain:

14
1) Gempa bumi adalah getaran atau getaran yang terjadi di
permukaan bumi dan disebabkan oleh tumbukan lempeng
tektonik, patahan aktif, aktivitas gunung berapi atau pecahan
batuan.
2) Erupsi vulkanik, ini adalah bagian dari aktivitas vulkanik yang
dikenal sebagai "letusan". Bahaya letusan gunung berapi dapat
berupa awan panas, material yang terlontar (bohlam), hujan
lebat, lahar, gas beracun, tsunami dan aliran lahar.
3) Tsunami, istilah ini berasal dari bahasa Jepang dan berarti
gelombang laut ("tsu" berarti laut, "nami" berarti ombak).
Tsunami adalah rangkaian gelombang laut raksasa yang
disebabkan oleh pergerakan dasar laut yang disebabkan oleh
gempa bumi.
4) Longsor adalah jenis gerakan massa tanah atau batuan, atau
kombinasinya, menuruni atau menjauhi lereng karena
terganggunya stabilitas tanah atau batuan pembentuk lereng.
5) Banjir adalah suatu peristiwa atau keadaan dimana suatu
daerah atau lahan menjadi tergenang air akibat bertambahnya
volume air. Banjir bandang adalah banjir yang tiba-tiba dengan
semburan air yang besar yang disebabkan oleh stagnasi aliran
sungai di dasar sungai.
6) Kekeringan berarti ketersediaan air jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan
ekonomi dan lingkungan. Di bidang pertanian, kekeringan
mengacu pada kekeringan yang terjadi pada lahan pertanian
tempat ditanami tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, dan
lain-lain).
Perlu dicatat dan ditekankan bahwa peristiwa alam tidak serta
merta dapat digambarkan sebagai bencana. Suatu peristiwa bisa
disebut bencana ketika orang "salah menilai" risiko dari peristiwa
tersebut dan menyebabkan kerugian bagi diri mereka sendiri atau

15
komunitas mereka. Oleh karena itu, tanah longsor, gunung meletus,
banjir, gempa bumi, dan lain-lain pada hakekatnya bukanlah bencana.
Karena peristiwa ini merupakan fenomena rutin dan siklus alam.
Suatu peristiwa bisa disebut bencana hanya jika kita tidak
mempertimbangkan risikonya melalui persiapan yang tepat. Dalam hal
ini, kerusakan, penyakit, atau bahkan kematian dapat terjadi
kemudian.
b. Bencana Non-alam. Di antara bentuk-bentuknya antara lain:
1) Kegagalan teknologi, semua peristiwa katastropik yang
diakibatkan oleh desain, operasi, kelalaian dan kesalahan
manusia yang disengaja dalam penggunaan teknologi dan/atau
industri.
2) Sebuah epidemi, yaitu wabah penyakit menular di suatu
komunitas di mana jumlah orang sakit pada waktu tertentu dan
di daerah tertentu meningkat secara signifikan di atas tingkat
normal dan dapat menyebabkan kehancuran.
3) Konflik sosial atau keresahan atau huru-hara sosial adalah
gerakan massa yang merusak tatanan dan ketertiban sosial
yang ada dan disulut oleh kecemburuan sosial, budaya, dan
ekonomi. Biasanya dikemas sebagai Konflik Antar Suku,
Agama, Ras (SARA).
4) Terorisme yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang
dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan untuk menciptakan suasana teror atau rasa takut
yang meluas di antara orang banyak, atau menimbulkan
kematian yang banyak dengan cara merebut kemerdekaan,
yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda,
kerusakan atau kehancuran penting tujuan strategis atau
lingkungan atau lembaga publik internasional.
4. Cara Memandang dan Menyikapi Bencana
a. Cara Memandang Bencana

16
Musibah, apapun bentuknya, sebenarnya adalah bentuk kasih
sayang Allah kepada manusia. Berbagai peristiwa yang menimpa
manusia pada hakekatnya merupakan cobaan dan kesengsaraan atas
keyakinan dan perilaku manusia. Sistem kepercayaan yang diajarkan
dalam Islam didasarkan pada keyakinan bahwa Allah adalah zat yang
maha pengasih (cinta dan kasih sayang). Dan sebaliknya, orang yang
beriman dan bertakwa selalu mengaku bahwa apa yang Tuhan berikan
kepada mereka adalah "baik".
Dalam hidup, orang selalu menghadapi sesuatu yang
menghadapkan mereka. Sesuatu yang terjadi disebut muṣībah.
Konsekuensi dari ajaran tauhid, kejadian yang menimpa manusia,
tidak menimbulkan masalah, karena kehidupan manusia pasti akan
diuji dengan berbagai masalah. Muṣībah hanyalah ujian dan ujian bagi
manusia, baik berupa ḥasanāt (sesuatu yang baik) maupun sayyi'āt
(sesuatu yang tidak baik). Masalahnya, bagaimanapun, adalah
bagaimana orang itu sendiri menghadapi cobaan dan kesengsaraan
(masalah). Dengan kata lain, masalah orang terletak pada cara mereka
menghadapi masalah, bukan pada masalah itu sendiri. (Muis, 2018)
Peristiwa yang merupakan bencana adalah perintah dan
keputusan Tuhan (takdir). Takdir di sini diartikan dengan ketetapan
Tuhan dan ketetapan yang terjadi sebelum kita. Hanya Allah yang
mengetahui perintah dan perintah-Nya, manusia hanya bisa
mengetahui kapan perintah dan perintah itu akan dipenuhi. Kapan
perintah dan perintah itu akan dilaksanakan, manusia juga tidak tahu,
hanya Allah yang lebih tahu. Oleh karena itu, manusia hendaknya
memohon kepada Allah dan berusaha menjawabnya dengan sabar
agar dapat mengubah keadaan yang dihadapinya menjadi lebih baik.
(P. P. Muhammadiyah, 2018)
Musibah bukanlah bentuk kezaliman atau kemurkaan Tuhan,
melainkan bentuk kecintaan (rahma) atau kebaikan-Nya yang

17
dengannya Dia mengoreksi hamba-Nya agar kembali ke jalan yang
benar.
Bencana dalam bentuk apa pun belum tentu merupakan
"kejatuhan". Tapi kita harus melihatnya dari perspektif yang lebih
luas. Musibah di sini dijadikan pelajaran untuk introspeksi terhadap
cobaan dan cobaan yang mereka hadapi. Musibah ini adalah bukti
kasih sayang Tuhan, sehingga ke depan setiap kali kita melakukan
sesuatu untuk menghindari hal-hal yang berbahaya, kita harus selalu
memikirkan akibatnya. Dari bencana inilah muncul kearifan dan level
masing-masing individu dalam pengambilan keputusan dan interaksi
dengan orang lain.
b. Cara menyikapi Bencana
Menanggapi bencana membutuhkan kesadaran yang
komprehensif dari mereka yang terlibat dalam bencana, baik itu
individu, keluarga, masyarakat atau pemerintah. Pihak-pihak tersebut
harus memiliki sikap positif ketika terjadi bencana.
Pemerintah adalah pihak yang paling berwibawa yang
memiliki “kekuatan” untuk menggerakkan seluruh aspek
pemerintahannya. Pada tingkat kewenangan dan tanggung jawab
penanggulangan bencana, pemerintah memikul tanggung jawab
terbesar. (Isngadi, 2021)
Di sini orang tersebut menjadi pihak yang memiliki tanggung
jawab dan tugas untuk ikut serta dalam penanggulangan bencana.
Bencana tidak hanya berdampak pada beberapa komunitas, tetapi juga
orang-orang di sekitarnya dan bahkan dapat menyebar ke tempat yang
sangat jauh. Oleh karena itu, penanggulangan bencana merupakan
tanggung jawab bersama melalui kontrol pemerintah. (Isngadi, 2021)
Dalam konteks bencana, kata li ta'arafi berarti "saling
mengenal", bukan hanya merujuk pada identitas, tetapi juga memiliki
arti li ta'awanu berarti "menjalin hubungan yang positif". (Budiman,
2017)

18
Pada firman-Nya Allah dalam Q.S. al-Ma'un (107): 1-7
menjelaskan jika “jiwa” manusia bervariasi yaitu manusia memiliki
tanggung jawab untuk mencukupi hak untuk orang lemah. Bagi orang
yang tidak mau membantu dan mencukupi hak orang-orang yang
lemah maka Allah memberikan predikat yang disebut “pendusta
agama". (Abdullah et al., 2022)
Karena hal ini diperlukan (mandatory), maka bantuan kepada
korban bencana harus memenuhi syarat minimal. Sama halnya dengan
menunaikan zakat, yang telah menetapkan standar (syarat) yang harus
dipenuhi. Oleh karena itu, bantuan untuk korban bencana tidak hanya
diberikan secara tepat atau ad hoc, tetapi juga harus menanggapi
kerangka klaim yang telah ditentukan.
Oleh karena itu, tidak setiap korban bencana perlu merasa
sendiri. Para korban harus tetap memiliki kemauan untuk bangkit
mencapai kehidupan yang lebih baik di masa depan. Korban perlu
mengetahui bahwa masih banyak orang yang peduli dan merasa
bersaudara dengan mereka. Juga di masa depan dan sekarang kita
harus saling menjaga. Dan percayalah bahwa setiap orang memiliki
sikap peduli terhadap sesama dan kita tidak boleh putus asa karena
bukan itu yang Tuhan inginkan.
Jika terjadi bencana, kita harus tetap tenang, tidak menyerah,
percaya bahwa kerabat dan orang yang kita cintai akan membantu,
dan bersyukur serta bersabar atas apa yang terjadi pada kita. Dalam
hal ini, seseorang harus bersabar ketika menerima ujian buruk
(sayyi'at). Dan ketika dia menerima cek (hasanit) dia harus tetap
bersyukur kepada Allah SWT. (Farkhan et al., 2020)
Orang-orang yang berpikir sebelum bencana lebih
diuntungkan oleh kebaikan daripada sikap sabar kita pascabencana.
Bersabarlah dalam mengantisipasi dan bersiap menghadapi bencana.
Dalam hal ini sabar adalah sikap aktif, bukan pasif, yaitu sabar

19
menerima segala cobaan yang diberikan Allah dan berjuang untuk
keadaan yang lebih baik.
5. Pemenuhan Hak Korban Bencana
Ketika bahaya terjadi dan mengakibatkan korban bencana,
diharapkan kesempatan bagi para korban untuk segera mengakhiri semua
ketergantungannya pada kondisi darurat yang dihadapinya akan optimal
bagi mereka untuk dapat. Syarat pertama dan terpenting yang harus
dipenuhi adalah penghormatan terhadap hak-hak mereka sesuai dengan
standar martabat manusia (hak asasi manusia), bahkan ketika mereka
terpaksa hidup dalam situasi yang membutuhkan. (Isngadi & Khakim,
2021)
Dalam situasi bencana, dogma bahwa memberikan bantuan
kepada korban bencana merupakan tanggung jawab kelompok masyarakat
yang memiliki kelebihan sumber daya (uang, waktu, ide, manajemen, dll)
tidak hanya bersumber dari kebutuhan korban bencana. Bantuan kepada
korban bencana harus memenuhi kebutuhan organisasi kemanusiaan dan
relawan/pekerja kemanusiaan, persyaratan kelayakan, akuntabilitas dan
penerapan aturan etika. Sehingga bantuan kemanusiaan tidak
“dibayarkan” karena kasihan, tetapi sebagai komitmen kepada mereka
yang memiliki kelebihan sumber daya, kepada mereka yang kekurangan
sumber daya akibat bencana. Bantuan tersebut bertujuan untuk
mempertahankan kehormatan dan martabat para korban bencana.
(Farkhan et al., 2020)
Pasca peristiwa bencana, korban bencana membutuhkan jaminan
untuk segera pulih dari ketergantungan pada bantuan. Diharapkan mereka
segera mandiri dan mampu membangun kembali sistem kesejahteraan dan
memulihkan fasilitas esensial yang lumpuh, termasuk infrastruktur dan
layanan publik yang mereka perlukan untuk berfungsi kembali.
Pemulihan ini, yang dikenal sebagai rehabilitasi dan rekonstruksi, harus
memastikan bahwa mereka menjadi lebih baik daripada sebelum sistem
mereka runtuh akibat bencana, memastikan tersedianya bantuan yang

20
memadai, memadai dan terkini. Di sini berlaku dogma ajaran Islam
bahwa pertolongan harus menjadi ruh pemberdayaan dakwah
“menghidupkan” (māyuhyīkum) sebagaimana [Q.S. al-Anfal (8):24].
(Abd. Razak, Lc, 2016)
Banyak ayat dalam Al-Qur'an yang merujuk pada kegiatan yang
merupakan bentuk pengabdian kepada orang yang mengalami gangguan
kesehatan. Ini termasuk, namun tidak terbatas pada, memberikan
perlindungan, menjaga masa depan, menghindari ketidakadilan,
bimbingan, pemberian santunan, mencegah penyalahgunaan dan
mengelola harta anak yatim (korban) dengan sebaik-baiknya. Contohnya
adalah surat al-Mā'ūn yang menjadi inspirasi gerakan amal di
Muhammadiyah. Berbagai hak korban bencana yang harus dihormati oleh
orang-orang yang berkompeten dijelaskan di bawah ini. (Khallaf, 2022)
a. Hak Mengelola Risiko Bencana
Risiko bencana dipahami sebagai potensi kerusakan yang
diakibatkan oleh suatu bencana di suatu wilayah dalam jangka waktu
tertentu, yang dapat berupa kematian, luka-luka, sakit, bahaya jiwa,
kehilangan rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan.
kepemilikan. terganggunya fungsi masyarakat. Pada saat yang sama,
konsep manajemen risiko bencana adalah proses sistematis yang
menggunakan peraturan administratif, kelembagaan, keterampilan,
dan kapasitas operasional untuk menerapkan strategi, praktik, dan
ketahanan yang lebih baik untuk mengurangi dampak negatif dari
bahaya dan potensi ancaman bencana. (Jinan, 2017)
Tujuan dari manajemen risiko bencana itu sendiri adalah
untuk menghindari, mengurangi atau mengendalikan efek berbahaya
dari bahaya melalui tindakan pencegahan, mitigasi dan
kesiapsiagaan.
Masyarakat di daerah rawan bencana harus memenuhi hak
untuk mengelola risiko tersebut agar tidak menjadi korban bencana
atau lebih buruk lagi jika menjadi korban bencana. Hak ini

21
diwujudkan dalam kapasitas dan proses kerja sama para pihak dalam
manajemen risiko dalam bentuk komunikasi dan saran serta
pemantauan dan evaluasi.
b. Hak Mengelola Kerentanan
Salah satu penyebab masyarakat menjadi korban bencana
yang diuraikan di atas adalah tidak terpenuhinya hak atas
pengelolaan risiko. Kerentanan didefinisikan oleh UNISDR sebagai
karakteristik dan kondisi komunitas, sistem, atau fasilitas yang
membuatnya rentan terhadap efek merusak dari bahaya. (Nurhayati,
Siti, Mahsyar, 2019)
Dalam praktiknya, ketika situasi berbahaya (gempa bumi,
letusan gunung berapi, tsunami, dll.) dihadapi oleh orang-orang yang
rentan, orang menjadi korban. Memberdayakan masyarakat untuk
mengatasi kerentanan ini dapat mengurangi risiko menjadi korban
bencana atau lebih buruk lagi.
c. Hak Mendapat Bantuan Darurat
Ketika bencana terjadi, di mana ada pemicu bencana berupa
gempa bumi, erupsi gunung berapi, tsunami, kebakaran, banjir, tanah
longsor dan sebagainya bertemu dengan masyarakat yang tidak
mampu mengatasi dengan kapasitasnya sendiri, hal tersebut akan
menjadikan masyarakat turun di bawah garis ketergantungan mutlak.
Pada kondisi seperti di atas, maka pemenuhan hak masyarakat
terdampak beserta pihak–pihak yang terlibat dalam penanganan
darurat harus dilakukan. Dalam pemenuhan hak, baik yang memberi
pertolongan maupun yang ditolong, memiliki posisi sejajar. Tujuan
pemenuhan hak adalah untuk bersama-sama memulihkan korban
bencana melewati garis ketergantungan mutlak tersebut.
Pada kegiatan tanggap darurat tujuannya adalah untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan

22
kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
Pemenuhan hak korban bencana memerlukan standar, untuk
menjamin berlakunya prinsip keadilan dalam memberikan
pertolongan, sehingga tetap dilakukan dengan bertanggung jawab,
terukur dan tetap menerapkan prinsip–prinsip pemberdayaan.
Tuntutan pemenuhan hak korban bencana pada kondisi darurat ini
berdasarkan pada firman Allah: (Nadlifah, 2018)
‫۞ِإَّن ٱَهَّلل َي ۡأ ُم ُر ِبٱۡل َع ۡد ِل َو ٱِإۡل ۡح َٰس ِن َو ِإيَت ٓإِي ِذ ي ٱۡل ُق ۡر َبٰى َو َيۡن َهٰى َع ِن ٱۡل َفۡح َش ٓاِء‬
٩٠ ‫َو ٱۡل ُم نَك ِر َو ٱۡل َبۡغ ِۚي َيِع ُظُك ۡم َلَع َّلُك ۡم َتَذَّك ُروَن‬
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia (Allah) memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran [Q.S.
al-Naḥl (16): 90].
Selain beberapa hak yang telah disebutkan di atas, terdapat
beberapa hak bagi korban bencana menurut Piagam Kemanusiaan,
antara lain: (Isngadi & Khakim, 2021)
1) Hak atas hidup yang bermartabat tercermin dalam ketentuan-
ketentuan Hukum Internasional dan secara khusus dalam
berbagai ketentuan Hak Asasi Manusia (HAM) mengenai hak
atas hidup, standar hidup yang layak dan bebas dari penyiksaan
atau kekejaman dan perlakuan atau hukuman yang tidak
manusiawi atau merendahkan. Hak atas hidup membutuhkan
adanya tugas untuk mempertahankan hidup jika terancam.
Secara tersirat adalah tugas untuk tidak menahan dan
mengganggu bantuan bagi penyelamatan hidup. Martabat
memerlukan lebih dari sekedar kesejahteraan fisik, tapi juga
menuntut perilaku hormat terhadap keutuhan individu, termasuk
nilai dan kepercayaan dari para individu dan komunitas
terdampak dan hormat terhadap hak asasi mereka, termasuk

23
kebebasan, kebebasan untuk menjalankan keyakinan pribadi dan
ketaatan beragama.
2) Hak untuk mendapatkan bantuan kemanusiaan adalah elemen
penting dari hak atas hidup yang bermartabat. Hak ini meliputi
hak atas standar hidup yang layak, termasuk kelayakan
makanan, air, pakaian, hunian, dan hal-hal terkait kesehatan,
yang dijamin dalam hukum internasional. Segala bantuan harus
disediakan menurut prinsip ketidakberpihakan, bahwa bantuan
hanya disediakan karena adanya kebutuhan dan proporsional
menurut kebutuhan. Hal ini mencerminkan prinsip yang lebih
luas yaitu non-diskriminasi, artinya tak seorang pun dapat
didiskriminasikan atas dasar statusnya, termasuk usia, gender,
ras, etnis, bahasa, agama, ketidakmampuan secara fisik, status
kesehatan, politik atau pandangan yang berbeda,
kewarganegaraan atau asal-usul sosial.
3) Hak atas perlindungan dan keamanan berakar dari ketentuan-
ketentuan dalam hukum internasional, seperti berbagai resolusi
Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan di dalam tanggung jawab
negara berdaulat untuk melindungi semua orang yang berada di
bawah kewenangan hukumnya. Keselamatan dan keamanan
semua orang dalam situasi bencana atau konflik menjadi
perhatian khusus kemanusiaan, termasuk perlindungan bagi
pengungsi dan pengungsi internal. Sebagaimana dikenali dalam
hukum, sekelompok orang lebih rentan terhadap
penyalahgunaan dan diskriminasi yang merugikan oleh karena
status mereka seperti usia, gender, atau ras, dan mungkin
membutuhkan tindakan khusus perlindungan dan bantuan.
d. Hak Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Setiap korban bencana setelah proses tanggap darurat, wajib
dipastikan untuk mendapatkan haknya berupa rehabilitasi dan
rekonstruksi. Prinsipnya adalah mensegerakan keberfungsian sistem

24
yang berjalan di masyarakat dengan tepat dan lebih baik daripada
sebelum terjadi bencana, sebagai bagian dari upaya menghindari
dampak yang lebih buruk dari kejadian bencana atau disebut juga
bagian dari pengurangan risiko bencana. Proses pemenuhan hak
rehabilitasi dan rekonstruksi ini juga harus memastikan pelibatan
perempuan, pemuda dan anak-anak mulai dari proses
perencanaannya, pelaksanaanya dan juga evaluasinya. Sehingga
tujuan semua sudut pandang ketangguhan bisa terwakili. Secara
global, proses rehabilitasi dan rekonstruksi dipandang menjadi satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dari proses kesiapsiagaan dan
tanggap darurat yang efektif. (Rohmansyah, S. Th.I., 2019)
Pembahasan tentang hak rehabilitasi dan hak rekonstruksi
bagi korban bencana, tidak lepas dari pembicaraan tentang Hak
Asasi Manusia yang juga sejalan dengan yang terkandung dalam
Piagam Madinah pada zaman Rasulullah meliputi: (Isngadi, 2021)
1) Persamaan Hak,
2) Kebebasan beragama,
3) Hak Ekonomi,
4) Hak Hidup.
Hak korban bencana pada tahapan rehabilitasi diatur
berdasarkan Pasal 58 UU PB, antara lain: Perbaikan lingkungan
daerah bencana; Perbaikan prasarana dan sarana umum; Pemberian
bantuan perbaikan rumah masyarakat; Pemulihan sosial psikologis;
Pelayanan kesehatan; Rekonsiliasi dan resolusi konflik; Pemulihan
sosial ekonomi budaya; Pemulihan keamanan dan ketertiban;
Pemulihan fungsi pemerintahan; dan Pemulihan fungsi pelayanan
publik. (Isngadi, 2021)
Selain hak-hak yang disebutkan di atas harus ditambahkan
beberapa hak antara lain: pemulihan hak keberagamaan masyarakat
dan hak terkait dengan perempuan, khususnya terhadap pandangan
yang bias gender. Di dalam memberikan landasannya, Islam telah

25
menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan adalah mahluk yang
setara sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran: (Widyastuti &
Rizqiani, 2020)
‫َٰٓيَأُّيَه ا ٱلَّن اُس ِإَّن ا َخ َلۡق َٰن ُك م ِّم ن َذ َك ٖر َو ُأنَثٰى َو َجَع ۡل َٰن ُك ۡم ُش ُع وٗب ا َو َقَبٓاِئ َل ِلَتَع اَر ُفٓو ْۚا ِإَّن‬
١٣ ‫ر‬ٞ‫َأۡك َر َم ُك ۡم ِع نَد ٱِهَّلل َأۡت َقٰى ُك ۚۡم ِإَّن ٱَهَّلل َع ِليٌم َخ ِبي‬
Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu
dari jenis laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal
secara baik. Sungguh yang termulia di sisi Allah diantaramu adalah
yang paling takwa kepada-Nya [Q.S. al-Ḥujurāt (49): 13].
Landasan tersebut perlu menjadi pedoman bagi masyarakat
yang akan membantu para korban bencana, sebab pada saat terjadi
bencana maupun pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi, kaum
perempuan termasuk kelompok yang paling rentan terhadap berbagai
dampak negatif yang ditimbulkannya. Sebagai contoh, adanya
kekurangan fasilitas kesehatan di tempat-tempat pengungsian yang
dapat menimbulkan masalah-masalah bagi kesehatan reproduksi
perempuan, atau bagi para ibu yang sedang hamil dan menyusui
yang terpaksa hidup dengan makanan dan sanitasi yang tidak
memadahi. Hal ini dapat membahayakan kesehatan sang ibu dan
anak.
Berbagai kebutuhan yang dibutuhkan perempuan seperti
ruang untuk menyusui, ketersediaan pembalut, pakaian dalam,
pakaian untuk beribadah, pil kontrasepsi, dan sebagainya sulit
diperoleh. Bila hal ini terjadi maka proses rehabilitasi dan
rekonstruksi harus mensegerakan pemenuhannya, seperti
memprioritaskan rehabilitasi layanan kesehatan di tingkat komunitas
dengan mengaktifkan kembali posyandu, bidan desa dan puskesmas
yang memiliki standar layanan tertentu walau masih dalam kondisi
darurat.
e. Hak Melaksanakan Sistem Penanggulangan Bencana

26
Penanggulangan bencana adalah urusan semua pihak,
termasuk mereka yang menjadi korban bencana atau berpotensi
menjadi korban bencana. Memastikan kesempatan ikut dalam
menjalankan sistem penang-gulangan bencana adalah bagian dari
pemenuhan hak. Pemilik hak yang dimaksud adalah setiap pelaku
dalam penanggulangan bencana, termasuk korban maupun mereka
yang berpotensi menjadi korban.
Pada pelaksanaannya, sistem bencana memperhatikan lima
elemen, yaitu legislasi, pendanaan, kelembaga-an, program (rencana
aksi), mekanisme (prosedur tetap). Legislasi sebagai dasar dalam
menjalankan sistem tersebut, adanya kelembagaan yang telah
ditetapkan pemerintah maupun swasta dan organisasi tertentu.
Adanya mekanisme atau pedoman program dan ketetapan (protap)
sebagai acuan dalam pelaksanaan sistem penanggulangan bencana,
adanya program aksi dan tidak telepas pula dengan sistem
pendanaannya. (Setiawan, 2019)
Sistem penanggulangan bencana bisa berjalan dengan baik
jika memastikan prinsip-prinsip Islam pada tata kelola sebuah
organisasi maupun tata kelola pemerintahan berjalan dengan baik,
termasuk adanya jaminan tidak adanya penyalahgunaan fungsi,
kewenangan atau terjadinya korupsi.
Pada sebuah kasus penerapan pendanaan tanggap darurat
misalnya, bila terjadi korupsi maka dipastikan akan ada pengurangan
hak bagi korban yang seharusnya didapatkan. Oleh karena itu,
keterlibatan setiap pihak untuk menjalankan sistem menjadi mutlak
ada untuk mencegah penyalahgunaan. Selain itu, penyelewengan
atas segala sesuatu yang diperuntukkan bagi pemenuhan hak korban
bencana yang berasal dari bantuan pihak lain baik berupa materi dan
non materi, merupakan tindakan amoral yang dapat menyebabkan
pelakunya terancam pidana mati sebagaimana disebutkan dalam

27
pasal 2 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2013 tentang Pemberantasan
Tindak Korupsi pasal 2 ayat 2. (Isngadi & Khakim, 2021)
f. Hak Tangguh
Masyarakat korban bencana maupun pihak–pihak yang
berpotensi menjadi korban bencana semestinya mendapatkan hak
untuk menjadi tangguh sebagai ujung dari pemenuhan masing–
masing hak yang disampaikan di atas. Tingkat ketangguhan
masyarakat tidaklah terpisah dari lingkungannya. Ketangguhan
dipengaruhi oleh kapasitas di luar masyarakat, baik layanan yang
terkait penanggulangan bencana maupun layanan sosial dan
administrasi yang lain. Layanan tersebut seperti layanan kesehatan
sehari-hari, akses terhadap pendidikan, pendataan penduduk dan
kepemilikan aset, serta layanan dasar lainnya, sehingga hak akan
ketangguhan sebuah komunitas juga sangat tergantung pada kondisi
lingkungan yang mendukung.
Bagi organisasi seperti Muhammadiyah, konsentrasi
dakwah pada bidang kesehatan, pendidikan, pemberantasan
kemiskinan, penguatan sistem sosial dan jamaah, advokasi sosial,
perjuangan kesetaraan hak-hak perempuan dan anak serta berbagai
usaha lainnya dalam konteks ini adalah upaya untuk menghasilkan
sebuah lingkungan yang mendukung pemenuhan hak untuk tangguh.
Bila semua usaha tersebut dilakukan dengan maksimal untuk
mendukung upaya pengurangan risiko bencana, baik melalui sekolah
siaga bencana, rumah sakit siaga bencana, jamaah tangguh bencana
maupun berbagai upaya lainnya yang bisa dikembangkan, tentu
upaya menuju sebuah ketangguhan bangsa akan teraktualisasi
dengan baik. (Handayani Puspita, 2017)
Ketangguhan masyarakat dalam kacamata dakwah Islam
bisa berarti memastikan proses gerakan dakwah yang memiliki
tujuan jangka panjang maupun jangka pendek memiliki jaminan
keberhasilan. Ketangguhan masyarakat menghadapi bencana berarti

28
juga ketangguhan masyarakat untuk mempertahankan hasil dari
proses dakwah dan pembangunan peradaban yang telah terjadi
bertahun-tahun bahkan berabad–abad. Bencana boleh saja terjadi,
kondisi darurat boleh saja tidak terhindarkan, namun bila
ketangguhan masyarakat dalam menghadapinya sudah menjadi
bagian melekat dari sistem dakwah masyarakat maka kerugian fisik
maupun kerugian sosial, dan juga aqidah, bisa terhindarkan atau
terkurangi.
6. Masalah Ibadah Pada Saat Bencana
Pada saat situasi bencana, umat Islam sering menjumpai
permasalahan-permasalahan yang terkait dengan fikih, atau lebih khusus
lagi dengan ibadah mahdah. Sering muncul kebingungan di tengah korban
bencana, bagaimana pelaksanaan ibadah dalam situasi darurat? Apakah
ada pedoman hukum Islam mengenai ibadah dalam situasi demikian (fī
hālati al-nawāzil)? Apakah ibadah harus tetap dilaksanakan sebagaimana
mestinya dengan segala risiko dan kesulitan di baliknya, ataukah ada
keringanan (taysīr) dan pengecualian (al-istiṡnā)? Jika ada, seperti apa
konsep dan aplikasinya dalam syariat Islam? Selain itu, sering pula
muncul keraguan terkait dengan dalil, apakah keringanan dan
pengecualian dalam pelaksanaan ibadah memiliki dasar atau landasan
syari? (Dr. H. Ahmad Sanusi & Dr. Sohari, M.H., 2017)
Di bawah ini telah diidentifikasi permasalahan yang paling
sering muncul pada situasi bencana dan kemudian dijelaskan hukum fikih
terkait dengannya. Penjelasan terkait hukum fikih dibuat dengan format
praktis agar mudah dipahami oleh semua kalangan, namun demikian tetap
mencantumkan dalil dari al-Quran dan Hadis. (M. T. dan T. P. P.
Muhammadiyah, 2015)
a. Cara Bersuci dalam Situasi Darurat: Tayamum
Pada saat bencana, masyarakat seringkali berhadapan dengan
situasi sulit mendapatkan air, krisis air bersih atau jatuh sakit yang
menyebabkan mereka tidak bisa menggunakan air. Pada situasi-situasi

29
seperti itu sebagian masyarakat cenderung memilih untuk
meninggalkan salat. Hal tersebut terjadi karena minimnya
pengetahuan yang mereka miliki mengenai fikih. Padahal dalam Islam
sesungguhnya ada larangan yang sangat keras bagi perbuatan
meninggalkan salat.
Dalam kondisi di mana tidak memungkinkan untuk berwudhu
dan mandi besar karena berbagai alasan, Allah Swt. Sesungguhnya
telah menentukan tayamum sebagai penggantinya. Tayamum
dilakukan untuk bersuci dari hadas kecil maupun hadas besar. Perintah
untuk tayamum didasarkan pada firman Allah: (Alma et al., 2022)
‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُن وْا اَل َتۡق َر ُب وْا ٱلَّص َلٰو َة َو َأنُتۡم ُس َٰك َر ٰى َح َّتٰى َتۡع َلُم وْا َم ا َتُقوُل وَن َو اَل‬
‫د‬ٞ ‫ُج ُنًبا ِإاَّل َعاِبِري َس ِبيٍل َح َّتٰى َتۡغ َتِس ُلوْۚا َو ِإن ُك نُتم َّم ۡر َض ٰٓى َأۡو َع َلٰى َس َفٍر َأۡو َج ٓاَء َأَح‬
‫ِّم نُك م ِّم َن ٱۡل َغٓاِئِط َأۡو َٰل َم ۡس ُتُم ٱلِّنَس ٓاَء َفَلۡم َتِج ُدوْا َم ٓاٗء َفَتَيَّمُم وْا َص ِع يٗد ا َطِّيٗب ا َفٱۡم َس ُحوْا‬
٤٣ ‫ِبُو ُجوِهُك ۡم َو َأۡي ِد يُك ۗۡم ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن َع ُفًّو ا َغ ُفوًرا‬
Jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah
yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun [Q.S. al-Nisā (4): 43].
Adapun cara tayamum yang diajarkan Rasulullah Saw.
kepada sahabat adalah sebagai berikut: (Muis, 2018)
1) Menepukkan kedua telapak tangan ke tempat debu suci atau
bagian permukaan dari sesuatu yang dianggap bersih
2) Menghembus kedua telapak tangan itu
3) Mengusapkannya ke muka
4) Mengusapkannya pada kedua tangan sampai pergelangan tangan.
b. Salat dengan Pakaian yang Terkena Najis atau Kotor
Dalam al-Quran umat Islam diperintahkan agar setiap kali
hendak melaksanakan salat terlebih dahulu menggunakan pakaian
yang bersih dan indah (Q.S. al-A’raf (7):31). Dalam hadis Nabi

30
kemudian dijelaskan pula bahwa pakaian yang najis tidak sah dipakai
salat. (Abdullah et al., 2022)
Beberapa hal yang dapat dikategorikan sebagai najis dalam
fikih adalah: (P. P. Muhammadiyah, 2018)
1) Kotoran dan muntah manusia
2) Air mażi dan wadi
3) Kotoran hewan, khususnya yang haram untuk dimakan
4) Bangkai hewan
5) Anjing dan babi
Jika pakaian seseorang terkena salah satu dari yang
disebutkan di atas, maka pakaiannya tidak sah digunakan untuk salat.
Ia harus menanggalkannya dan menggantinya dengan yang lain.
Namun dalam kondisi terjadi bencana, di mana tidak memungkinkan
untuk berganti pakaian yang bersih, hal tersebut dapat dimaklumi dan
salat seseorang menjadi sah. Kewajiban salat tetap harus ditunaikan
sekalipun salah satu syarat sahnya tidak terpenuhi. Inilah yang disebut
sebagai kondisi darurat yang menyebabkan terjadinya pengecualian.
(Abidin, 2018)
c. Melaksanakan Salat dengan Aurat tidak Tertutup Sempurna
Sering ditemukan pula dalam situasi bencana masyarakat
yang lebih memilih untuk meninggalkan salat karena beralasan
kondisi auratnya yang tidak tertutup sempurna. Padahal terkadang
situasi seperti itu bisa berlangsung beberapa hari, sehingga
menyebabkan salat ditinggalkan berulang-ulang.
Dalam kacamata fikih, kondisi bencana juga sebenarnya
dapat digolongkan ke dalam situasi darurat yang disebutkan dalam
kaedah di atas (poin B). Dengan demikian, hukum salat tetap wajib
dilaksanakan walaupun aurat tidak bisa tertutup secara sempurna.
Dalam hal ini Allah Swt. berfirman: (Farkhan et al., 2020)
‫َفٱَّتُقوْا ٱَهَّلل َم ا ٱۡس َتَطۡع ُتۡم َو ٱۡس َم ُعوْا َو َأِط يُعوْا َو َأنِفُقوْا َخ ۡي ٗر ا َأِّلنُفِس ُك ۗۡم َو َم ن ُي وَق ُش َّح‬
‫َٰٓل‬
١٦ ‫َنۡف ِس ِهۦ َفُأْو ِئَك ُهُم ٱۡل ُم ۡف ِلُحوَن‬

31
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu [Q.S. al-Taghābun (64): 16]
Maksud kaedah di atas adalah hukum-hukum yang
menimbulkan kesulitan dilaksanakan atau yang berada di luar
kapasitas manusia untuk mengamalkannya, maka diberi keringanan
oleh syariah untuk dijalankan sesuai kemampuannya. (Farkhan et al.,
2020)
d. Teknis Salat dalam Suasana Bencana
Dalam situasi di mana masyarakat sedang mengalami
bencana atau dalam kondisi siaga bencana, maka pelaksanaan salat
dapat menggunakan rukhsah (keringanan). Salat dapat dilakukan
dengan dijamak. Pelaksanaan salat jamak, dapat dilakukan dengan
cara takdim atau takhir. (Khallaf, 2022)
Dalil dari pelaksanaan salat jamak dalam situasi bencana
adalah: Dari Ibnu ‘Abbas (diriwayatkan bahwa), ia berkata:
Rasulullah saw salat zuhur dan ashar di Madinah secara jamak, bukan
karena takut dan juga bukan dalam perjalanan. Abu Zubair berkata:
saya bertanya kepada Sa’id; mengapa beliau berbuat demikian?
Kemudian ia berkata; Saya bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana
engkau bertanya kepadaku. Kemudian Ibnu ‘Abbas berkata: Beliau
menghendaki agar tidak menyulitkan seorangpun dari umatnya [HR.
Muslim]. (Dr. H. Ahmad Sanusi & Dr. Sohari, M.H., 2017)
Dalam hadis di atas Rasulullah diceritakan menjamak salat
tidak dalam situasi bencana (ketakutan), melainkan dalam kondisi
normal. Maknanya, dalam situasi bencana maka salat jamak dapat
dilakukan.
Dalam situasi bencana, bagi siapa saja yang mengalami
kesulitan untuk berdiri dalam melaksanakan salat karena cedera yang
menimpanya atau karena alasan lain, maka ia bisa mengerjakannya
dengan duduk. Jika tidak mampu duduk, ia bisa melakukannya sambil
berbaring.

32
e. Salat Pada Situasi Evakuasi
Orang yang berada dalam situasi evakuasi di mana mereka
tidak sempat salat, maka kewajiban salat tidak gugur bagi mereka.
Karena salat adalah kewajiban yang tidak dapat digugurkan kecuali
karena alasan: hilang akal sehat (menjadi gila), haid atau nifas bagi
perempuan.
Dalam kondisi salat tidak dapat dilakukan pada waktunya
karena alasan emergency, maka salat dapat dilakukan pada waktu
yang memungkinkan (aman dan tidak berbahaya). Pada dasarnya tidak
ada dalil yang kuat untuk mengqada salat, terutama bagi mereka yang
sengaja meninggalkan salat. Akan tetapi jika ada seseorang yang tidak
melaksanakan salat pada waktunya karena ada halangan syar’i seperti
tertidur atau karena lupa, maka yang bersangkutan melakukan salat
ketika ia terbangun atau ketika ingat. (Syifa, 2023)

BAB III

METODE PENULISAN

A. Metode Penulisan
Penyusunan tulisan ini menggunakan jenis metode penelitian studi
kepustakan yang memakai cara kajian literature, yaitu penulis melakukan
pengumpulan beberapa data pustaka dengan cara membaca, mencatat serta
mengeksekusi beberapa bahan yang diperlukan dalam penelitian. (Moleong,

33
2019) Guna untuk mengumpulkan data, penulis melaksanakan pencarian data
pustaka yang berasal dari artikel, buku, kitab, internet serta jurnal ilmiah
apakah itu dari jurnal nasional ataupun berasal dari jurnal internasional.
(Samsu, 2017)
B. Sumber Data
Sumber data adalah bagian utama dari sumber data. Sumber data
yang diperlukan dalam penelitian ini adalah kepustakaan yang berkaitan
dengan topik penelitian. Perlu dibedakan antara sumber data, yaitu sumber
data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah data dasar yang
menjadi bahan utama penelitian ini, yaitu bentuk data yang berhubungan
langsung. Dan sumber data sekunder berupa refensi dan data pendukung
secara tidak langsung bersinggungan dengan topik penelitian yang peneliti
lakukan. (Murdiyanto, 2020)

BAB IV

PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. Pembahasan
1. Fiqh Sosial
Dalam pengetian modern, istilah fikih telah mengalami
pergeseran makna, dari sekedar kumpulan hukum-hukum yang bersifat
furū’ (cabang) menjadi sebuah kumpulan nilai, kaidah dan prinsip dalam

34
beragama. Khusus di Indonesia, pengertian ini misalnya tampak dari
produk ijtihad yang dihasilkan Majelis Tarjih Muhammadiyah: ada fikih
anti-korupsi, fikih tata kelola organsisasi, fikih ulil amri, fikih air dan
yang paling baru, fikih anak. Pengertian fikih dalam nomenklatur tersebut
bukan sekedar kumpulan tentang halal-haram korupsi, organisasi, ulil
amri, air atau anak, tapi ia lebih dari itu: mencakup nilai, kaidah dan juga
prinsip beragama dalam melihat persoalan-persoalan tersebut. (Manzhur,
2023)
Dalam pembacaan Syamsul Anwar terhadap berbagai literatur
fikih dan usul fikih, ia sampai pada kesimpulan bahwa hukum Islam itu
terdiri atas norma-norma berjenjang (berlapis). Ada tiga lapis norma
dalam hukum Islam, yaitu (1) peraturan-peraturan hukum konkret (al-
aḥkām al-farʻiyyah), (2) asas-asas umum (al-uṣūl al-kulliyyah), dan (3)
nilai-nilai dasar (al-qiyām al-asāsiyyah). Nilai-nilai dasar hukum Islam
adalah nilai-nilai dasar agama islam itu sendiri, karena hukum Islam
berlandaskan nilai-nilai dasar Islam. Dari nilai-nilai dasar itu diturunkan
asas-asas umum hukum Islam. Kemudian dari asas umum itu diturunkan
peraturan hukum konkret. Peraturan hukum kongkret inilah yang kita
kenal hari ini sebagai produk fikih (dalam pengertian yang belum
diperluas), atau yang oleh orang awam sering diidentikkan dengan
peraturan hitam-putih agama. (Afandi, 2023)
Dengan kata lain kita dapat mengatakan bahwa suatu peraturan
hukum kongkret itu berlandaskan kepada atau dipayungi oleh asas umum
dan asas umum itu pada gilirannya berlandaskan kepada atau dipayungi
oleh nilai dasar. Nilai dasar agama dapat kita temukan dalam teks-teks
keagamaan baik secara harfiah maupun implisit. Sebagai contoh misalnya
nilai dasar persamaan (equality). Dari nilai dasar ini dapat diturunkan asas
umum hukum Islam dalam kehidupan politik bahwa laki-laki dan
perempuan mempunyai hak politik yang sama. Dari asas umum
“kesamaan hak politik lelaki dan perempuan” ini diturunkan peraturan

35
konkret (al-aḥkām al-farʻiyyah) bahwa boleh hukumnya perempuan
menjadi presiden. (Soyomukti, 2010)
Perluasan makna fikih membuka jalan bagi kita untuk
memberikan pemecahan bagi suatu masalah (ekonomi, sosial, budaya,
politik, dan lain-lain) melalui pendekatan agama secara lebih luwes dan
fleksibel, tidak kaku dan hitam-putih. Dengan mengaplikasikan apa yang
disebut Syamsul Anwar sebagai teori pertingkatan norma itu kita dapat
mengubah paradigma fikih yang selama ini selalu dikesankan hitam-
putih, menjadi lebih ‘berwarna’ dan variatif. Paradigma fikih baru itu pula
yang perlu kita terapkan dan kita jadikan asas dalam gaya berkehidupan
kita hari ini dalam media sosial. (Samsu, 2017)
Media sosial hari ini telah menjadi dunia baru bagi masyarakat
untuk berkomunikasi dan mencari informasi. Kemajuan teknologi telah
membawa kita pada fenomena baru dalam berinteraksi menggunakan
media-media sosial yang dapat menghubungkan satu orang dengan orang
lain di tempat yang berbeda. Tidak jarang sebuah informasi menyebar
begitu sangat cepat dalam hitungan tak sampai menit. Dunia baru
bernama media sosial telah merobek sekat-sekat budaya dan geografis
dengan amat bebas. Sayangnya, kebebasan ini acap kali tidak dibarengi
dengan akurasi, ketelitian, integritas dan keadilan dalam penyampaian
berita. Kita tentu sangat gerah setiap kali membuka media sosial disuguhi
fitnah-fitnah dari orang yang tidak bertanggung jawab. Belum lagi jika
ada berita hoax yang disebarkan untuk mencari keuntungan pribadi atau
kelompok tertentu.
Semua ini memang merupakan konsekuensi dari kebebasan yang
disuguhkan oleh media sosial. Tapi tentu sebagai orang beragama dan
orang Indonesia yang masih memegang erat adat ketimuran, kebebasan
semacam itu telah kebablasan dan dapat mengancam salah satu prinsip
Pancasila, yaitu persatuan bangsa. Di sinilah kemudian pendekatan agama
perlu dilakukan untuk melihat dan pada gilirannya memberikan pedoman
dalam berkehidupan di dunia baru media sosial. Suara agama dalam

36
penyelesaian masalah masih cukup efektif, karena ia diyakini masih
menjadi sumber pengarahan tingkah laku yang harus dipedomani. Fikih
media sosial dalam hal ini dapat diterjemahkan menjadi sumber
pengarahan tingkah laku masyarakat sebagai solusi keagamaan dalam
menghadapi masalah tersebut.
Fikih ini nantinya berisikan nilai, prinsip dan kaidah tentang
bagaimana seharusnya kita memanfaatkan dan menggunakan media sosial
sebagai dunia baru kita. Sebagai permulaan barangkali dapat kita awali
dari bagaimana etika dan prinsip dalam menerima sekaligus menyebarkan
suatu informasi. Misalnya saja kita dapat mengambil nilai dasar tabayun
yang secara eksplisit digambarkan dalam al-Qur’an pada surat Al-Hujurat
ayat 6. Dari nilai dasar itu dapat diturunkan asas umum dalam kehidupan
komunikasi media sosial berupa “transparansi dan klarifikasi berita.” Dari
asas umum ini pada gilirannya diturunkan menjadi peraturan kongkret
tentang larangan menyebarkan suatu berita sebelum diketahui validitas
sumbernya. (Alma & Fauzi, 2022)
Setelah nilai dasar tabayun, kita dapat menggali lebih banyak
lagi nilai dasar Islam yang dapat dijadikan acuan, seperti prinsip keadilan
sebagai dasar untuk membuat asas umum dalam menerima informasi
secara berimbang, prinsip ukhuwah (persaudaraan) sebagai dasar untuk
melandasi asas umum kesopanan dan kesantunan dalam berdiskusi, dan
lain sebagainya. (Ula, 2017)
Rumusan fikih media sosial itu tentu tidak boleh disusun secara
sembarangan. Tulisan ini hanya sekedar pemantik untuk mewacanakan
pentingnya pedoman dalam menjalani kehidupan baru di media sosial
yang rawan fitnah dan caci maki. Fitnah dan caci maki itu telah tebukti
terjadi hari ini. Jika suasana tak sehat itu terus dibiarkan, dikhawatirkan
akan berujung pada kemudaratan yang jauh lebih besar, tidak hanya bagi
satu dua orang, tapi bagi kita semua. Organsisasi Islam seperti
Muhammadiyah dan NU sebagai representasi penjaga dan pengawal
moral umat dapat menjadi pelopor untuk membuat fikih media sosial. Jika

37
telah terealiasasi, insya Allah fikih tersebut dapat menjadi kompas umat
untuk menjalani kehidupan baru: kehidupan media sosial.
2. Fiqh Kebencanaan
Dalam suasana rentan, panik, dan tidak berdaya karena suatu
bencana, masyarakat sering bertindak tidak masuk akal dan bahkan
melakukan kesirikan. Ada yang merespons dengan kepasrahan, ritual-
ritual mistik, hingga dengan pengobatan atau sesuatu yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. (Ilyas, 2011)
Masyarakat kadang memvonis semua bencana terjadi karena
manusia melanggar syariat. Bencana dipandang sebagai hukuman
kemarahan Tuhan, dan korban bencana dinilai sebagai pelaku maksiat.
Dengan cara berpikir demikian, pihak yang paling kasihan adalah korban
bencana karena harus mengandung derita ganda. Mereka sudah
kehilangan segalanya, mulai dari harta, nyawa sanak famili, bahkan
kebahagiaan hidup, sekaligus juga mereka menjadi sasaran kutukan pihak
lain.
Perubahan cara pandang masyarakat terhadap bencana perlu
dilakukan dengan tetap berpijak pada ajaran dan doktrin keagamaan. Oleh
karena itu, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyusun Fikih
Kebencanaan guna memahamkan tentang konsep bencana, memaknai
bencana, cara pandang pengelolaan bencana, pemenuhan hak korban
bencana, dan masalah ibadah dalam situasi bencana. Hasil Munas Tarjih
tentang Fikih Kebencanaan tersebut disahkan melalui SK No.
102/KEP/I.0/B/2015 tanggal 29 Syakban1436 H/16 Juni 2015 M. (P. P.
Muhammadiyah, 2018)
Fikih Kebencanaan tidak dalam pengertian fikih tentang hukum
kongkret (al-ahkam al-far’iyah) semata, namun juga mencakup
seperangkat ketentuan Islam tentang nilai-nilai dasar (al-qiyam al-
asasiyah) dan prinsip umum (al-ushul al-kulliyyah). Ijtihad kolektif
Majelis Tarjih selama ini dilakukan dalam kerangka menggali tiga
ketentuan tersebut. (Alfan, 2017)

38
Pemahaman yang tepat tentang bencana akan melahirkan sikap
arif dan bijak, berpijak pada hukum sains, menjalani proses pencegahan
dan mitigasi bencana. Bencana merupakan hal yang niscaya, tinggal
mengubah cara kita menyikapinya. Merespons bencana apapun, manusia
harus mampu bangkit, memelihara harapan, dan melanjutkan hidup.
Masyarakat yang tidak terkena bencana punya kewajiban membantu
pemenuhan hak korban bencana dan memulihkan keadaan secara
bermartabat.
Fikih Kebencanaan memahami bahwa bencana merupakan
wujud kasih sayang Allah kepada manusia. Bencana merupakan ujian dan
cobaan keimanan. Orang beriman akan memahami bahwa apapun yang
menimpa mereka adalah “kebaikan” dari Allah yang Rahman dan Rahim.
Bencana merupakan ketetapan dan ketentuan (takdir) dari Allah.
Ada bencana yang terjadi karena perubahan siklus alam yang
tidak ada kaitannya dengan manusia seperti gempa; dan ada bencana yang
terkait dengan perilaku manusia dalam menjalankan fungsi kekhalifahan,
semisal eksploitasi alam. Bencana bisa terjadi karena “dosa sosiologis”
manusia yang salah perhitungan terhadap alam, seperti membangun
pemukiman di lereng gunung sehingga terjadi longsor dan banjir.
Tim Perumus Fikih Kebencanaan menemukan beberapa istilah
dalam Al-Qur’an yang memiliki padanan serupa dengan bencana:
musibah, bala’, fitnah, ‘azab, fasad, halak, tadmir, tamziq, ‘iqab, dan
nazilah. Masing-masing kata tersebut memiliki penekanan makna dan
konteks berbeda. Pemahaman masing-masing istilah ini akan meluaskan
cara pandang dalam memaknai bencana secara positif. (Khallaf, 2022)
Fikih Kebencanaan memuat fikih ibadah dalam suasana darurat
bencana dahsyat, semisal sahnya salat dalam keadaan najis dan aurat
tidak tertutup, atau tentang batasan waktu jamak salat pada saat bencana
dipahami sebagai kesukaran (masyaqqah) dan kesempitan (haraj). Fikih
Kebencanaan memahami dua prinsip umum: kemudahan (taysir) dan
perubahan hukum sesuai dengan perubahan situasi (tagayyur al-ahkam bi

39
tagayyur al-azminah wa al-amkinah). Islam tidak membebani di luar
kemampuan manusia. Di luar itu, terdapat ketentuan maqashid syariah
dan fikih prioritas. (Anwar, 2020)
Islam memiliki konsep dasar kebencanaan yang banyak disebut
dalam Al-Qur’an terutama Surat An-Nisa ayat 79 dan Surat Al-Hadid ayat
22-23. (M. T. dan T. P. P. Muhammadiyah, 2015)
Pada dua ayat tersebut, bencana dipandang sebagai bentuk tanda
kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap manusia. Selain dasar
teologis itu, aspek fiqih kebencanaan tidak hanya berfungsi sebagai
hukum, melainkan mencakup tiga aspek utama, yaitu nilai dasar, prinsip
etis, dan teknis dalam menghadapi bencana. (Muis, 2018)
Tiga aspek tersebut merupakan aspek praktis menghadapi
bencana karena mengandung sikap dan tindakan atau ketika terjadi
bencana. Diantaranya sifat sabar, rasa syukur melalui rasa peduli terhadap
sesama, kesiapsiagaan dan upaya mitigasi bencana. Selain itu terdapat
prinsip kebencanaan yaitu prinsip keamanan, kemanusiaan serta prinsip
sosial dalam penanganan bencana. (Siregar, 2017)
Dalam menghadapi bencana, Muhammadiyah sudah menerbitkan
yang disebut fikih kebencanaan. Di sana memuat bagaimana cara kita
memandang bencana. Baik secara teologis maupun keilmuan dalam dan
juga cara menyikapinya baik secara aktif maupun antisipatif, juga teknis.
Pada waktu Munas Tarjih ke-29 di Yogyakarta lahirlah fikih
Kebencanaan. Oleh karena itu, pantaslah apabila Muhammadiyah dalam
menyikapi bencana melakukan pertolongan melalui MDMC. Karena itu
kita akan sangat prihatin dengan kondisi saat ini. (Dr. Moh. Bahrudin,
2019)
Muhammadiyah dalam fikih bencanaan membahas cara
memandang bencana. Diantaranya yakin bahwa semua yang ditakdirkan
Allah itu yang terbaik bagi manusia. Bahkan Allah menegaskan bahwa
apa yang tidak disenangi manusia, entah keburukan apapun, termasuk
bencana, ada kebaikan yang banyak.

40
B. Kesimpulan
Sosial sebenarnya adalah rangkaian dari norma, moral, nilai dan
aturan yang sumbernya berasal dari kebudayaan masyarakat dan dijadikan
sebagai acuan dalam berinteraksi antar scsama manusia di lingkungan
bermasyarakat.
Dalam Muhammadiyah, gerakan sosial terlibat dalam berbagai
urusan transaksi yang lebih rendah. Dalam pemeriksaan tersebut, Alfian dan
Nakamura menyimpulkan bahwa KH. Ahmad Dahlan mengajukan penjelasan
pragmatis yang disebut bermuka dua. Artinya, amalan lahiriah merupakan
bekas dan hasil dari kekuatan spirit keagamaan. Dimana agama mengandung
ajaran yang dapat menjadi dasar terbentuknya nilai-nilai sosial dan perilaku
sosial.
Di tengah tantangan ini, kinerja media sosial milik Muhammadiyah
yang dianggap telah elegan, tidak reaktif dan proporsional dalam menanggapi
berbagai isu kemasyarakatan dan isu-isu kebangsaan. Muhammadiyah tahu
kapan harus bersuara secara organisasi dan kapan cukup bersuara secara
personal pimpinan. Muhammadiyah harus terus menguatkan Meta-Organisasi
di samping mempertahankan kinerja baik media sosial resmi milik
Persyarikatan. Apalagi dari 277 juta populasi masyarakat Indonesia,
pengguna gadget mencapai angka 133 dan (370 juta atau satu orang memiliki
lebih dari satu gadget). Pengguna internet mencapai angka 204,7 juta dan
pengakses digital aktif mencapai angka 191,4 juta (Alma & Fauzi, 2022).
Muhammadiyah punya peluang dengan jumlah anggota dan infrastruktur
turunan, sebagai kesatuan data yang bisa menjadi kekuatan luar biasa untuk
membangun Meta-Organisasi yang sangat kuat dan tidak terbatas ruang dan
waktu.
Fikih media sosial sebagai sumber pedoman perilaku masyarakat
sebagai salah satu upaya agama dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Fikih ini akan memuat nilai, prinsip dan aturan tentang bagaimana
menggunakan media sosial sebagai dunia baru kita. Pertama-tama, mungkin

41
kita bisa mulai dari bagaimana etika dan prinsip bekerja dalam penerimaan
dan penyebaran informasi.
Dalam al-Quran dan Hadis kata bencana dapat ditemukan dalam
istilah yang bervariasi, meskipun dengan penekanan makna yang berbeda-
beda dengan konteks yang berbeda pula, seperti kata mushībah, balā’, fitnah,
‘ażāb, halāk, tadmīr, tamzīq, ‘iqāb dan nāzilah. Berikut ini disampaikan
beberapa istilah terkait bencana yang tertuang dalam al-Quran dan Hadis.
Bencana secara umum disebabkan oleh faktor kejadian alam (natural disaster)
maupun oleh ulah manusia (man-made disaster).
Bencana, apapun bentuknya, sesungguhnya merupakan bentuk kasih
sayang Allah kepada manusia. Berbagai peristiwa yang menimpa manusia
pada hakikatnya merupakan ujian dan cobaan atas keimanan dan perilaku
yang telah dilakukan oleh manusia. Dalam menyikapi sebuah bencana,
diperlukan kesadaran yang utuh akan bencana menurut orang-orang yang
berada dalam bencana tersebut, baik itu pribadi, keluarga, rakyat, dan
pemerintah. Pihak-pihak ini wajib mempunyai sikap positif jika tertimpah
bencana.
Pada kondisi bencana berlakulah prinsip bahwa pemberian
pertolongan pada korban bencana adalah sebuah kewajiban kelompok
masyarakat yang berkelebihan sumberdaya (harta, waktu, pikiran,
manajemen, dsb), bukan sekedar karena kebutuhan mereka yang menjadi
korban bencana. Memberikan bantuan untuk korban bencana harus memenuhi
syarat, standar kelayakan bantuan, akuntabilitas serta berlakunya kode etik
lembaga kemanusiaan maupun relawan/pekerja kemanusiaan. Sehingga
bantuan kemanusiaan “dibayarkan” bukan karena rasa kasihan, namun
sebagai kewajiban mereka yang memiliki sumber daya berlebih kepada
mereka yang mengalami kekurangan sumberdaya karena menjadi korban
bencana. Tujuan bantuan adalah membela kemuliaan dan meningkatkan
martabat korban bencana.

42
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Razak, Lc, M. (2016). Pengantar usul fiqh.pdf.

Abdullah, S., Shodikin, A., & Haerany, A. (2022). Analisis Tentang Model
Madzhab Fiqh Muhammadiyah. 07(02).

43
Abidin, M. Z. (2018). Gagasan Teori Batas Muammad Syahrûr dan
Signifikansinya Bagi Pengayaan Ilmu Ushul Fiqh. 96–110.

Afandi. (2023). Identitas Muhammadiyah Bukanlah Gerakan Fikih , Tapi


Gerakan Sosial.

Alfan, A. (2017). Fiqih.

Alma, N., & Fauzi, F. (2022). Menggagas fikih media sosial. 1–6.

Alma, N., Fauzi, F., Fakultas, D., Islam, A., & Ahmad, U. (2022). Fikih Informasi
Perspektif Muhammadiyah. 1–5.

Anwar, F. (2020). Fikih Kebencanaan Muhammadiyah “Mengembalikan Makna


Bencana.” 2015, 1–4.

Baqir, M. (2011). Fiqih Praktis II Menurut Al-Qur’an, Sunnah, dan Para


Pendapat Para Ulama.

Budiman, A. A. (2017). Kebencanaan: Perpektif Majelis Tarjih Muhammadiyah


(Vol. 15, Issue 2, pp. 20–35).

Dr. H. Ahmad Sanusi, M. A., & Dr. Sohari, M.H., M. M. (2017). Ushul Fiqh.

Dr. Moh. Bahrudin, M. A. (2019). Ilmu Ushul Fiqh.

Farkhan, Kamsi, & Asmuni. (2020). Studi Komparatif Fikih Bencana


Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. 5.

Fuadi. (2017). Memahami hakikat kehidupan sosial keagamaan sebagai solusi


alternatif menghindari konflik. 66–77.

Handayani Puspita. (2017). BUKU AJAR AIK al-Islam dan Kemuhammadiyahan.

Husna. (2023). Muhammadiyah Keluarkan Fikih Bermedia Sosial. February, 2–5.

Ilyas, Y. (2011). Fiqh Ulil Amri: Perspektif Muhammadiyah.

Imron Rosyadi. (2022). Tarjih Sebagai Metode Perspektif Ushul Fiqh.

Isngadi. (2021). Pandangan Fikih Kebencanaan Muhammadiyah Terhadap

44
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
(Studi Kasus Penanganan Covid-19).

Isngadi, & Khakim, M. (2021). Jurnal Komunikasi Hukum “Efektivitas Undang-


Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana dan Fikih
Kebencanaan Terhadap Perilaku Warga Muhammadiyah (Studi Kasus
Covid-19).” 7, 202–214.

Jinan, M. (2017). Dinamika Pembaruan Muhammadiyah: Tinjauan Pemikiran


Keagamaan. Jurnal Tajdida, 9(1), 1–16.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/2370/1. M.
JINAN.pdf?sequence=1

Kamaluddin, M. (2020). Media Sosial sebagai Budaya Baru Pembelajaran di SD


Muhammadiyah 9 Malang Jurnal Komunikasi Nusantara. 2(1), 17–27.

Khallaf, A. W. (2022). Ilmu Ushul Fiqh.

Manzhur, I. (2023). Fikih Informasi. 1–11.

Moleong, L. J. (2019). Metodologi Penelitian Kualitatif. 54–68.

Muhammadiyah, M. T. dan T. P. P. (2015). Fikih Kebencanaan.

Muhammadiyah, P. P. (2018). Berita Resmi Muhammadiyah.

Muis, A. J. (2018). Memahami Bencana dalam Perspektif Fikih Kebencanaan.


18–20.

Murdiyanto, E. (2020). Metode Penelitian Kualitatif.

Nadlifah. (2018). Muhammadiyah Dalam Bingkai Pendidikan Humanis. Jurnal


Pendidikan Dasar Islam, 8, 140–154.

Nurhadi. (2017). Formulasi Muhammadiyah Dalam Paradigma Islam


Berkemajuan.

Nurhayati, Siti, Mahsyar, H. (2019). Muhammadiyah : Konsep Wajah Islam


Indonesia. http://repository.stainparepare.ac.id/916/1/Muhammadiyah

45
Konsep Wajah Islam Indonesia 95.pdf

Prof. Dr. Dadang Kahmad, M. S. (2018). Perlu Ada Fiqh Media Sosial. 21–23.

Pujileksono, S. (2023). Fikih Kebencanaan Muhammadiyah (pp. 1–3).

Pulungan, E. N. (2017). Fikih Ishul Fikih.

Rohmansyah, S. Th.I., M. H. (2019). Kuliah Kemuhammadiyahan.

Samsu. (2017). Metode Penelitian Metode Penelitian. Metode Penelitian


Kualitatif, 17, 43. http://repository.unpas.ac.id/30547/5/BAB III.pdf

Setiawan, B. A. (2019). Manhaj Tarjih Dan Tajdid : Asas Pengembangan


Pemikiran dalam Muhammadiyah. 2(1), 35–42.

Siregar, M. H. (2017). Kajian Fikih.

Sodiqin, D. A. (2019). Fiqh ushul fiqh.

Soyomukti, N. (2010). Pengantar Sosiologi (A. Media (ed.); Vol. 2015).

Surwandono, & Kaukab, M. E. (2021). Relevansi Fiqh Informasi Muhammadiyah


Dalam Pengelolaan Hoax Dalam Era Disrupsi Informasi. 8(3), 283–290.

Syifa. (2023). Sikap Muhammadiyah Terkait Bencana (pp. 1–5).

Ula, S. K. (2017). FIKIH MEDIA SOSIAL SEBAGAI LANDASAN ETIKA


KOMUNIKASI ON-LINE. 110, 347–356.

Widuri, N. R. (2015). Strategi Komunikasi dan Promosi Perpustakaan Melalui


Media Sosial. Perpustakaan Universitas Airlangga (JPUA), Vol.5 No.2, 78.

Widyastuti, T., & Rizqiani, I. S. (2020). Pedoman Kemuhammadiyahan.


https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results

46

Anda mungkin juga menyukai