Anda di halaman 1dari 3

Logika Al Ghazali

Tokoh yang biasa atau akrab kita ketahui dengan panggilan Al Ghazali merupakan tokoh
yang sangat berpengaruh dalam struktur logika. Al Ghazali pertama kali belajar logika pada
salah satu teolog asy’ariyyah terbesar pada masanya, yaitu Al Juwayni (w. 468 H.). Kemampuan
Al Ghazali pada bidang logika tidak diragukan, baik dari segi keilmuan atau penerapannya
dengan adanya beberapa karya tulisnya yang disusun di berbagai keperluan sesuai dengan
tantangan yang dihadapinya sebagai teolog. Sebagai teolog, Al Ghazali menggunakan logika
sebagai pemandu dalam berargumentasi, baik untuk menghancurkan argumentasi lawan atau
mempertahankan akidah yang dianggapnya benar.
Karena keragaman lawan yang dihadapi oleh Al Ghazali, maka sudah sepantasnya juga
Al Ghazali memakai berbagai logika yang disesuaikan dan dipergunakan oleh lawannya untuk
menghadapi argumentasi lawannya. Dalam buku “Teologi Al Ghazali”, pengarang menyebutkan
beberapa lawan yang telah dilalui oleh Al Ghazali, yakni golongan filsuf sehingga Al Ghazali
menggunakan logika dan filsafat Yunani yang digunakan oleh golongan filsuf sendiri, golongan
bid’ah di kalangan kaum teolog sehingga Al Ghazali menggunakan logika kaum itu sendiri
(Muktazilah), golongan Bathiniyyah yang berpegang pada doktrin “imam yang ma’shum” juga
dihadapi oleh Al Ghazali dengan cara logika yang diperas oleh ayat-ayat Al Qur’an ata bisa
disebut dengan logika Qur’ani.
Dalam menghadapi para teolog golongan filsuf Al Ghazali menggunakan logika yang
mereka gunakan pula, yakni logika Yunani yang disusun Aristoteles dalam To Organom dan
ditambah oleh para komentator dari kalangan Aristotelian dan Stoa. Adapun logika yang
digunakan oleh Al Ghazali ada tiga bentuk silogis dan disebutkan dalam mukaddimah kitabnya
al Iqtishad, ketiga bentuk silogisme tersebut adalah :
Pertama, “al sibr wa al taqsim” (mempertetangkan dan membagi), Al Ghazali memberi
batasan pada suatu perkara dengan dua kemungkinan, lalu satu kemungkinan dibatalkan dan
kemungkinan yang lain ditetapkan. Susun pikiran ini terdiri dari dua premis yang merupakan
pengetahuan dan menghasilkan satu kesimpulan yang diakibatkan oleh dua premis tersebut.
Logika ini biasa disebut dengan silogisme disjungtif, Al Ghazali menyamakan bentuk ini dengan
“al syarthiyy al munfashil” dalam logika Yunani dan menyebutnya dengan “namth al ta’anud”
(cara keberlawanan). Misalnya:

- Premis I : Alam semesta mungkin eternal, mungkin temporal.


- Premis II : Mustahil alam semesta eternal.
- Premis III : Jadi, alam semesta pasti temporal.

Kedua, “intaj al muqaddimat al nataij” (mengambil konklusi dari premis-premis yang


menghasilkan kesimpulan-kesimpulan) menunjukkan bahwa bila seseorang telah menerima dua
premis, pasti dia akan menarik kesimpulan dari dua premis tersebut. Metode ini sekarang disebut
dengan silogisme kondisional. Al Ghazali mengidentikkannya dengan “al syarthiyy al
muttashil” dalam logika Aristoteles dan menyebutnya dengan “namth al talazum” (cara
keniscayaan). Misalnya:
- Premis I : Sesuatu yang tidak bisa lepas dari sifat temporal adalah temporal.
- Premis II : Alam semesta tidak pernah dari sifat temporal.
- Kesimpulan : Alam semesta adalah temporal.

Ketiga, “al ilzamat” (keniscayaan), metode ini tidak bermaksud untuk menetapkan
pendirian sendiri, tetapi berusaha untuk menolak pendapat lawan yang mengacu kepada sesuatu
yang mustahil. Bentuk logika ini juga disebut dengan silogisme kondisional. Misalnya:
- Premis I : Jika benar pendapat lawan, bahwa peredaran kosmos ini tak kenal henti
(abadi), maka benarlah suatu pendapat bahwa sesuatu yang abadi telah berakhir.
- Premis II : Mustahil sesuatu yang abadi telah berakhir.
- Kesimpulan : Jadi, musthail peredaran kosmos bersifat abadi.

Suatu konklusi sangat bergantung pada dua premis yang mendasarinya, maka dari itu
premis yang ditetapkan agar suatu konklusi bisa diterima harus diberi dasar yang kuat agar bisa
diterima. Sehingga Al Ghazali mengemukakan enam macam dasar pengetahuan yang bisa
diterima, yaitu:
1. Al Hissiyyat (pengetahuan sensual), pengetahuan ini merupakan pengetahuan hasil
pengamatan baik lahir seperti wujud manusia, atau bathin seperti halnya perasaan
gembira.
2. Al Aql Al Mahdh (pengetahuan murni), seperti halnya akal murni semua orang akan
menerima bahwa adanya proporsisi kemungkinan alam semesta mungkin temporal dan
mungkin eternal, dan tidak adanya kemungkinan yang ketiga.
3. Al Tawatur (pengetahuan dari berita yang mutawatir), pengetahuan yang diterima secara
mutawatir, seperti halnya kebenaran Nabi Muhammad sebagai tokoh historis.
4. Pengetahuan yang diperoleh dari konklusi dua premis yang didasarkan atas pengetahuan-
pengetahuan (sensual, akal murni, atau berita yang mutawatir), seperti “alam semesta
adalah temporal”, maka menjadikan suatu susun pikiran
- Premis I : Setiap yang temporal pasti ada sebab.
- Premis II : Alam semesta adalah temporal.
- Konklusi : Jadi, alam semesta pasti ada sebabnya.
5. Al Sam’iyyat (pengetahuan hasil wahyu), pengetahuan ini diperoleh melalui penegasan
wahyu yang diterima Nabi Muhammad. Misalnya:
- Premis I : Setiap yang terjadi adalah kehendak Tuhan.
- Premis II : Perbuatan maksiat adalah sesuatu yang terjadi.
- Konklusi : Perbuatan maksiat adalah juga dengan kehendak Tuhan.
6. Premis yang diambil dari keyakinan lawan diskusi, sehingga lawan tidak bisa
mengingkarinya karena bisa berakibat menghancurkan keyakinan sendiri.

Anda mungkin juga menyukai