Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Secara umum kota Jayapura menjadi ibukota Provinsi Papua dimana
juga menjadi pusat pemerintahan, keamanan, sosial, ekonomi, bisnis dan
perindustrian yang memiliki berbagai sarana prasarana penunjang kehidupan
yang sangat beragam dan bisa dikatakan cukup lengkap dari kabupaten lain
yang ada di wilayah Papua. Di zaman yang era modern ini, berbagai macam
pembangunan sarana dan prasarana begitu pesat dilakukan untuk kemajuan
kota Jayapura. Hal ini dapat dilihat di berbagai daerah yang ada di kota
Jayapura begitu banyaknya proyek konstruksi yang dilaksanakan baik dari
pihak pemerintahan dan juga swasta. Secara spesipik proyek konstruksi itu
sendiri adalah sebuah pekerjaan yang berat dan juga membutuhkan stamina
yang prima, proses pembangunan proyek konstruksi pada umumnya
merupakan kegiatan yang banyak mengandung unsur bahaya, hal tersebut
yang menyebabkan industri konstruksi mempunyai catatan yang buruk dalam
hal keselamatan dan kesehatan kerja (K3), sehingga sangat penting dalam
memperhatikan keselamatan dan kesehatan setiap pekerja. Dalam hal ini
pekerja merupakan salah satu sumber daya yang tidak mudah dikelolah,
sehingga keselamatan kerja merupakan suatu permasalahan yang banyak
menyita perhatian berbagai organisasi saat ini karena mencakup permasalahan
segi perikemanusiaan, biaya dan manfaat ekonomi, aspek hukum,
pertanggungjawaban serta citra dari organisasi itu sendiri.

Yang menyababkan terjadinya kecelakaan kerja dalam proyek


konstruksi, salah satunya adalah karakter dari proyek itu sendiri. Proyek
konstruksi mempunyai konotasi yang kurang baik jika ditinjau dari aspek
kebersihan dan kerapihannya, lebih tepatnya dapat disebut semraut karena
padat alat, pekerja, dan material. Faktor lain penyebab timbulnya kecelakaan
kerja adalah faktor pekerja konstruksi yang cenderung kurang mengindahkan
ketentuan standar keselamatan kerja, pemilihan metoda kerja yang kurang
tepat, perubahan tempat kerja dengan karakter yang berbeda sehingga harus
selalu menyusuaikan diri, perselisihan antara pekerja dengan tim proyek,
peralatan yang digunakan dan masih banyak lagi faktor-faktor lainnya.
Karena itu kecelakaan kerja bisa dikatakan dengan sebuah kecelakaan atau
kejadian yang tidak dapat diduga, sedangkan setiap kecelakaan kerja itu
sebenarnya dapat diramalkan atau diduga, jika perbuatan dan kondisi tidak
memenuhi persyaratan. Oleh sebab itu kewajiban berbuat secara selamat dan
mengatur peralatan serta perlengkapan harus sesuai dengan standar Undang-
Undang. Dengan tujuan setiap tenaga kerja diwajibkan oleh Undang-Undang
untuk memelihara keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara maksimal.
Pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) pada setiap proyek
konstruksi merupakan bentuk upaya untuk menciptakan lingkungan kerja
yang lebih aman, sehat, sejahtera sehingga pastinya bebas dari kecelakaan
kerja dan penyakit akibat kerja, serta bebas dari pencemaran lingkungan
menuju peningkatan produktivitas seperti yang tertera pada UU No.1 Tahun
1970. Semua ini tentunya akan berjalan dengan baik jika pihak yang terkait
dalam proyek konstruksi ini dapat saling berkomunikasi dan berkerjasama
untuk pencegahan kecelakaan kerja. Untuk itu pelaksanaan keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) pada proyek konstruksi, sangat diperlukannya
pengetahuan, pemahaman dan juga penerapan oleh pihak-pihak terkait.

Sehingga pada penelitian ini, peneliti mencoba melakukan studi kasus


tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3) pada proyek konstruksi yang
ada di kota Jayapura. Oleh itu metode yang digunakan oleh peneliti yaitu
dengan mengumpulkan data secara langsung dari lapangan dengan cara
mendistribusikan kuesioner kepada pekerja proyek konstruksi. Kemudian
hasil yang didapat atau diperoleh dari kuesioner tersebut akan diolah dan
dianalisis dengan mengunakan bantuan program SPSS, dan didapatkan
kesimpulan mengenai keganjalan apa saja yang sering terjadi dalam
melaksanakan program keselamatan dan kesehatan kerja (K3) pada proyek
konstruksi di kota Jayapura. Oleh sebab itu dilakukannya penelitian oleh
peneliti untuk dijadikan tugas akhir dengan judul, “ANALISIS
PENERAPAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)
PADA PROYEK KONSTRUKSI DI KOTA JAYAPURA”.

I.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang ingin
diangkat oleh peneliti dalam Tugas Akhir ini adalah :

1. Bagaimana proses dalam penerapan keselamatan dan kesehatan kerja


(K3) pada proyek konstruksi yang ada kota di Jayapura ?
2. Penyebab apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) pada proyek konstruksi yang
ada di kota Jayapura ?
3. Faktor kecelakaan kerja apa yang paling dominan pada proyek
konstruksi yang ada di kota Jayapura ?

I.3 Batasan Masalah


Berdasarkan uraikan diatas, maka untuk menghindari penyimpangan
pembahasan, maka dibuatlah pembatasan masalah, sebagai berikut :

1. Tidak menganalisis kerugian biaya, akibat kecelakaan pekerja dalam


melaksanakan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) pada
proyek konstruksi di kota Jayapura.
2. Lebih terfokus pada pelaksanaan program kerja dan kendala dalam
menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
3.

I.4 Tujuan Penelitian


Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut :
1. Mendapat informasi tentang prosedur program keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) pada proyek konstruksi yang ada di kota
Jayapura.
2. Mengetahui faktor dan kendala apa saja yang terjadi dalam
pelaksanaan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di kota
Jayapura.
3. Menentukan faktor kecelakaan kerja yang paling dominan pada proyek
konstruksi yang ada di kota Jayapura.

I.5 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti mengenai


pelaksanaan program kerja tentang keselamatan dan kesehatan kerja
(K3) serta kendala apa saja dalam pelaksanaan keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) di lapangan secara langsung pada proyek
konstruksi di kota Jayapura.
2. Sebagai masukan untuk penyedia jasa konstruksi dalam pengambilan
kebijakan untuk memaksimalkan atau menciptakan lingkungan kerja
yang lebih baik guna menihilkan angka kecelakaan kerja.
3.

I.6 Sistematika Penulisan


Beberapa hal yang akan dibahas dalam penelitian tugas akhir ini beserta
sistematika penulisannya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang, rumusan masalah,
batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika
penulisan.
2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini meliputi pengambilan teori, rumus, sumber bacaan dari buku,
jurnal ilmiah, dan juga sumber internet yang berkaitan dengan tugas
akhir ini.
3. BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini akan membahas tentang langkah-langkah kerja yang akan
dilakukan dan cara memperoleh data yang relavan dalam penelitian
ini. Adapun data yang dibutuhkan sebagai berikut : a. Data primer
b. Data sekunder
4. BAB IV ANALISA DATA
Bab ini berisi tentang data yang diperoleh atau dikumpulkan, lalu
dibahas dan di analisa, sehingga didapatkan kesimpulan.
5. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini berisi kesimpulan yang logis berdasarkan analisa data,
temuan dan bukti yang tersedia sebelumnya menjadi dasar untuk
menyusun suatu saran.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Proyek Konstruksi


Proyek konstruksi dapat diartikan sebagai proyek yang melibatkan
banyak pihak dan terjadi banyak proses yang kompleks sehingga setiap
proyek unik adanya (Santoso, 2004). Sedangkan pengertian proyek konstruksi
menurut Ervianto (2005) adalah satu rangkaian kegiatan yang hanya satu kali
dilaksanakan dan umumnya berjangka pendek. Dalam rangkaian kegiatan
tersebut, ada suatu proses yang mengelola sumber daya proyek menjadi suatu
hasil kegiatan yang berupa bangunan.

Pada umumnya, proyek konstruksi dapat diartikan sebagai proses


pelaksanaan pembangunan fisik, yang dilaksanakan oleh kontraktor. Padahal
proyek konstruksi sebenarnya sudah dimulai sejak timbulnya gagasan/ide dari
pemilik proyek untuk membangun, yang kemudian proses selanjutnya akan
melibatkan dan dipengaruhi oleh berbagai unsur seperti konsultan, kontraktor,
termasuk pemiliknya sendiri.

Proses pembangunan proyek kontruksi gedung pada umumnya


merupakan kegiatan yang banyak mengandung unsur bahaya, maka tidak
dapat dipungkiri bahwa pekerjaan konstruksi ini merupakan penyumbang
angka kecelakaan yang cukup tinggi. Banyaknya kasus kecelakaan kerja serta
penyakit akibat kerja yang sangat merugikan banyak pihak terutama tenaga
kerja yang bersangkutan bahkan dapat menelan korban jiwa.

2.2 Manajemen Proyek


Manajemen proyek adalah aplikasi pengetahuan (knowledges),
keterampilan (skills), alat (tools) dan teknik (techniques) dalam aktivitas
proyek untuk memenuhi kebutuhan proyek (PMBOK, 2004). Menurut
Wulfram I. Ervianto (2004), Manajemen Proyek adalah semua perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian dan koordinasi suatu proyek dari awal (gagasan)
sampai selesainya proyek untuk menjamin bahwa proyek dilaksanakan tepat
waktu, tepat biaya, dan tepat mutu. Sumber daya dalam proyek konstruksi
dapat dikelompokkan menjadi manpower, material, machines, money,
method. Dengan kata lain, dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen
proyek adalah penerapan ilmu pengetahuan, keahlian dan keterampilan, cara
teknis yang terbaik dan dengan sumber daya yang terbatas, untuk mencapai
sasaran dan tujuan yang telah ditentukan agar mendapatkan hasil yang
optimal dalam hal kinerja biaya, mutu dan waktu, serta keselamatan kerja
(Husen, 2011).

2.3 Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)


2.4 Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Menurut Suma’mur (2005), keselamatan kerja adalah rangkaian usaha
untuk menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para karyawan
yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan. Keselamatan kerja merupakan
sarana untuk pencegahan kecelakaan, cacat, dan kematian sebagai akibat
kecelakaan kerja.

Adapun menurut wayne (2008) keselamatan adalah perlindungan


karyawan dari cedera yang disebabkan oeh kecelakaan yang berkaitan dengan
pekerjaan. Keselamatan kerja adalah upaya mengurangi tingkat kecelakaan
yang tidak diharapkan saat melakukan pekerjaan pada lingkungan
perusahaan. Keselamatan kerja bersasaran disegala tempat kerja, baik di darat
di dalam tanah di permukaan air maupun di udara. Keselamatan kerja
merupakan tugas dari semua orang yang bekerja.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang


Keselamatan Kerja menyebutkan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapat
perlindungan atas keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk
kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional.
Orang lainnya yang berada di tempat kerja perlu terjamin pula
keselamatannya. Tempat kerja dalam hal ini adalah tiap ruangan atau
lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja
bekerja, atau sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan
dimana terdapat sumber-sumber bahaya. Termasuk pula didalamnya semua
ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian
atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut.
Yang diatur dalam undang-undang ini adalah keselamatan kerja dalam
segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam
air, maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum
Republik Indonesia. Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat
keselamatan kerja dalam perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran,
perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan,
penyimpanan bahan, barang, produk teknis, aparat produksi yang
mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.

Syarat-syarat tersebut memuat prinsip-prinsip teknis ilmiah menjadi


suatu kumpulan ketentuan yang disusun secara teratur, jelas, praktis yang
mencakup bidang konstruksi, perlengkapan alat-alat perlindungan, pengujian
dan pengesahan, produk teknis dan aparat produksi guna menjamin
keselamatan barang-barang itu sendiri dan keselamatan tenaga kerja yang
melakukannya, serta keselamatan umum.

Peraturan perundangan ini mengatur kewajiban dan hak tenaga kerja,


yaitu memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai
pengawas dan ahli keselamatan kerja, memakai alat-alat perlindungan diri
yang diwajibkan, serta memenuhi dan menaati semua syarat-syarat K3 yang
diwajibkan.

Dengan majunya industrialisasi, mekanisme, elektrifikasi, modernisasi,


maka terjadi peningkatan intensitas kerja para pekerja. Hal tersebut
memerlukan pengerahan tenaga secara intensif pula dari para pekerja.
Kelelahan, kurang perhatian terhadap hal-hal lain, serta kehilangan
keseimbangan merupakan akibat dan menjadi sebab terjadinya kecelakaan.

Selanjutnya dengan peraturan yang maju akan dicapai keamanan yang


baik dan realistis, yang merupakan faktor yang sangat penting untuk
memberikan kenyamanan bekerja bagi para pekerja, hingga pada akhirnya
nanti akan mampu meningkatkan mutu pekerjaan, peningkatan produksi dan
produktivitas kerja.
2.5 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Per.01/Men/1980
menyebutkan, kenyataan menunjukkan banyak terjadi kecelakaan, akibat
belum ditanganinya pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara
mantap dan menyeluruh pada pekerjaan konstruksi bangunan, sehingga perlu
diadakan upaya untuk membina norma perlindungan kerjanya.dengan
semakin meningkatnya pembangunan dengan penggunaan teknologi modern,
harus diimbangi pula dengan upaya keselamatan tenaga kerja atau orang lain
yang berada di tempat kerja. Sebagai pelaksana Undangundang No. 1 tahun
1970 tentang keselamatan kerja, dipandang perlu untuk menetapkan
ketentuan- ketentuan yang mengatur mengenai keselamatan dan kesehatan
kerja pada pekerjaan Konstruksi Bangunan.

Pada setiap pekerjaan konstruksi bangunan harus diusahakan


pencegahan atau dikurangi terjadinya kecelakaan atau sakit akibat kerja
terhadap tenaga kerjanya. Sewaktu pekerjaan dimulai harus segera disusun
suatu unit keselamatan dan kesehatan kerja, hal tersebut harus diberitahukan
kepada setiap tenaga kerja. Unit keselamatan kerja tersebut meliputi usaha-
usaha pencegahan terhadap; kecelakaan, kebakaran, peledakan, penyakit
akibat kerja, pertolongan pertama pada kecelakaan dan usaha-usaha
penyelamatan.

Peraturan ini menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai


keselamatan dan kesehatan kerja pada pekerjaan konstruksi bangunan, yaitu
tentang tempat kerja dan alat-alat kerja, perancah (scaffolding), tangga dan
tangga rumah, alat-alat angkat, kabel baja, tambang, rantai, peralatan bantu,
mesin-mesin, peralatan konstruksi bangunan, konstruksi di bawah tanah,
penggalian, pekerjaan memancang, pekerjaan beton, pembongkaran, dan
pekerjaaan lainnya, serta penggunaan perlengkapan penyelamatan dan
perlingdungan diri.

2.6 Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)


Program K3 merupakan suatu rencana kerja dan pelaksanaan prosedur
yang memfasilitasi pelaksanaan keselamatan kerja dan proses pengendalian
risiko dan paparan bahaya termasuk kesalahan manusia dalam tindakan tidak
aman, meliputi:
1. Membuat program untuk mendeteksi, mengkoreksi, mengontrol kondisi
berbahaya, lingkungan beracun, dan bahaya-bahaya kesehatan.
2. Membuat prosedur keamanan.
3. Menindaklanjuti program kesehatan untuk pembelian dan pemasangan
peralatan baru dan untuk pembelian dan penyimpanan bahan berbahaya.
4. Pemeliharaan sistem pencatatan kecelakaan agar tetap waspada.
5. Pelatihan K3 untuk semua level manajemen.
6. Rapat bulanan P2K3
7. Tetap menginformasikan perkembangan yang terjadi di bidang K3
seperti alat pelindung diri, standar keselamatan yang baru.
8. Pembagian pernyataan kebijakan organisasi.
Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja bersifat spesifik artinya
program keselamatan dan kesehatan kerja tidak bisa dibuat, ditiru, atau
dikembangkan semaunya. Suatu program keselamatan dan kesehatan kerja
dibuat berdasarkan kondisi dan kebutuhan nyata di tempat kerja sesuai
dengan potensi bahaya sifat kegiatan, kultur, kemampuan financial, dan
lainnya. Program keselamatan dan kesehatan kerja harus dirancang spesifik
untuk masing-masing perusahaan sehingga tidak bisa sekedar meniru atau
mengikuti arahan dan pedoman dari pihak lain (Ramli, 2010).
Efektifitas program keselamatan dan kesehatan kerja sangat tergantung
kepada komitmen dan keterlibatan semua pekerja. Keterlibatan pekerja akan
meningkatkan produktivitas. Beberapa kegiatan yang harus melibatkan
pekerja antara lain (Nasution, 2005):
1. Kegiatan pemeriksaan bahan berbahaya dan beracun dan menyusulkan
rekomendasi bagi perbaikan.
2. Mengembangkan atau memperbaiki aturan keselamatan umum.
3. Melakukan pelatihan terhadap tenaga kerja baru.
4. Membantu proses analisis penyebab kecelakaan kerja.
Unsur-unsur program keselamatan dan kesehatan kerja yang terpenting
adalah pernyataan dan kebijakan perusahaan, organisasi dan personil,
menjaga kondisi kerja untuk memenuhi syarat-syarat keselamatan, membuat
laporan dan analisis penyebab kecelakaan dan menyediakan fasilitas
pertolongan pertama pada kecelakaan (Nasution, 2005).
Menurut Heinrich prinsip dasar dari program keselamatan dan
kesehatan kerja yang perlu diterapkan dalam upaya pencegahan kecelakaan,
yaitu:
1. Melakukan usaha inspeksi keselamatan kerja untuk mengidentifikasikan
kondisi-kondisi yang tidak aman.
2. Mengadakan usaha pendidikan dan pelatihan para pekerja untuk
meningkatkan pengetahuan pekerja akan tugasnya sehari-hari dan cara
kerja yang aman.
3. Membuat peraturan-peraturan keselamatan kerja yang harus ditaati oleh
semua pekerja.
4. Pembinaan displin dan ketaatan terhadap semua peraturan di bidang
keselamatan kerja.

2.6. Tujuan dan Sasaran Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Tujuan dari program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) secara
umum yaitu untuk mempercepat proses gerakan nasional K3 dalam upaya
memberdayakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) guna mencapai
kecelakaan nihil. Sedangkan sasaran dari program Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3) yaitu antara lain:
1. Meningkatkan pengertian, kesadaran, pemahaman, serta penghayatan
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) semua unsur pimpinan dan
pekerja pada sutau perusahaan.
2. Meningkatkan fungsi manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) atau Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
3. Mendorong terbentuknya manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) pada setiap perusahaan.
4. Mendorong pembinaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada
sektor informal dan masyrakat umum.
2.6.2 Peralatan Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada
Proyek Konstruksi
Dalam bidang konstruksi, ada beberapa peralatan yang digunakan untuk
melindungi seseorang dari kecelakaan ataupun bahaya yang kemungkinan
bisa terjadi dalam proses konstruksi. Peralatan ini wajib digunakan oleh
seseorang yang bekerja dalam suatu lingkungan konstruksi. Namun, tidak
banyak yang menyadari betapa pentingnya peralatan-peralatan ini untuk
digunakan. Kesehatan dan keselamatan kerja adalah dua hal yang sangat
penting. Oleh karenanya, semua pelaksana proyek berkewajiban
menyediakan semua keperluan peralatan/ perlengkapan perlindungan diri
atau Personal Protective Equipment (PPE) untuk semua karyawan yang
bekerja, yaitu (Ervianto, 2005):
a. Pakaian Kerja
Tujuan pemakaian pakaian kerja ialah melindungi badan manusia
terhadap pengaruh-pengaruh yang kurang sehat atau yang bisa melukai
badan. Mengingat karakter lokasi proyek konstruksi yang pada
umumnya mencerminkan kondisi yang keras maka selayaknya pakaian
kerja yang digunakan juga tidak sama dengan pakaian yang digunakan
oleh karyawan yang bekerja dikantor. Perusahaan pada umumnya
menyediakan sebanyak tiga pasang dalam setiap tahunnya.

b. Sepatu Kerja
Sepatu kerja (Safety Shoes) merupakan perlindungan terhadap kaki.
Setiap pekerja konstruksi perlu memakai sepatu dengan sol yang tebal
supaya bisa bebas berjalan dimana-mana tanpa terluka oleh benda-
benda tajam atau kemasukan oleh kotoran dari bagian bawah. Bagian
muka sepatu harus cukup keras (atau dilapisi dengan pelat besi) supaya
kaki tidak terluka kalau tertimpa benda dari atas. Umumnya, sepatu
kerja disediakan dua pasang dalam satu tahun.

c. Kacamata Kerja
Kaca mata pengaman digunakan untuk melindungi mata
dari debu kayu, batu atau serpih besi yang berterbangan di tiup
angin. Mengingat partikel-partikel debu berukuran sangat kecil
yang terkadang tidak terlihat oleh mata. Oleh karenanya, mata
perlu diberikan perlindungan. Tidak semua jenis pekerjaan
membutuhkan kaca mata kerja. Namun, pekerjaan yang mutlak
membutuhkan perlindungan mata adalah mengelas.
d. Penutup Telinga
Alat ini digunakan untuk melindungi telinga dari
bunyibunyi yang dikeluarkan oleh mesin yang memiliki volume
suara yang cukup keras dan bising. Namun demikian, bukan berarti
seorang pekerja tidak dapat bekerja bila tidak menggunakan alat
ini. Kemungkinan akan terjadi gangguan pada telinga tidak
dirasakan saat itu, melainkan pada waktu yang akan datang.

e. Sarung Tangan
Sarung tangan sangat diperlukan untuk beberapa jenis
kegiatan. Tujuan utama penggunaan sarung tangan adalah
melindungi tangan dari benda-benda keras dan tajam selama
menjalankan kegiatannya. Namun, tidak semua jenis pekerjaan
memerlukan sarung tangan. Salah satu kegiatan yang memerlukan
adalah mengangkat besi tulangan, kayu. Pekerjaan yang sifatnya
berulang seperti mendorong gerobag cor secara terus-menerus
dapat mengakibatkan lecet pada tangan yang bersentuhan dengan
besi pada gerobag.
f. Helm
Helm (helmet) sangat penting digunakan sebagai pelindung
kepala, dan sudah merupakan keharusan bagi setiap pekerja
konstruksi untuk menggunakannya dengan benar sesuai peraturan
pemakai yang dikeluarkan dari pabrik pembuatnya. Keharusan
mengenakan helm lebih dipentingkan bagi keselamatan si pekerja
sendiri mengingat kita semua tidak pernah tahu kapan dan dimana
bahaya akan terjadi. Helm ini digunakan untuk melindungi kepala
dari bahaya yang berasal dari atas, misalnya saja ada barang, baik
peralatan maupun material konstruksi yang jatuh dari atas
kemudian kotoran (debu) yang berterbangan di udara dan panas
matahari. Namun, sering kita lihat bahwa kedisiplinan para kerja
untuk menggunakannya masih rendah yang tentunya dapat
membahayakan diri sendiri. Kecelakaan saat bekerja dapat
merugikan pekerja itu sendiri maupun kontraktor yang lebih
disebabkan oleh kemungkinan terhambat dan terlambatnya
pekerjaan.

g. Masker
Pelindung bagi pernapasan sangat diperlukan untuk pekerja
konstruksi mengingat kondisi lokasi proyek itu sendiri. Berbagai
material konstruksi berukuran besar sampai sangat kecil yang
merupakan sisa dari suatu kegiatan, misalnya serbuk kayu sisa dari
kegiatan memotong, mengamplas, menyerut kayu. Tentu saja
seorang pekerja yang secara terus-menerus menghisapnya dapat
mengalami gangguan pada pernafasan, yang akibatnya tidak
langsung dirasakan saat itu. Berbagai jenis macam masker tersedia
di pasaran, pemilihannya disesuaikan dengan kebutuhan.

h. Jas Hujan
Perlindungan terhadap cuaca terutama hujan bagi pekerja
pada saat bekerja adalah dengan menggunakan jas hujan. Pada
tahap konstruksi, terutama di awal pekerjaan umumnya masih
berupa lahan terbuka dan tidak terlindungi dari pengaruh cuaca,
misalnya pada pelaksanaan pekerjaan pondasi. Pelaksanaan
kegiatan di proyek selalu bersinggungan langsung dengan panas
matahari ataupun hujan karena dilaksnakan di ruang terbuka.
Tujuan utama pemakaian jas hujan tidak lain untuk kesehatan para
pekerja.

i. Sabuk Pengaman
Sudah selayaknya bagi pekerja yang melaksanakan
kegiatannya pada ketinggian tertentu atau pada posisi yang
membahayakan wajib mengenakan tali pengaman atau safety belt.
Fungsi utama tali pengaman ini adalah menjaga seorang pekerja
dari kecelakaan kerja pada saat bekerja, misalnya saja kegiatan
erection baja pada bangunan tinggi, atau kegiatan lain yang harus
dikerjakan di lokasi.

j. Tangga
Tangga merupakan alat untuk memanjat yang umum
digunakan. Pada mulanya tangga hanya terdiri dari dua buah balok
bambu kemudian diberikan batang melintang pada jarak tertentu.
Namun, saat ini pengembangan bentuk tangga sangat bervariasi
dengan tingkat keamanan yang semakin tinggi. Pemilihan dan
penempatan alat ini untuk mencapai ketinggian tertentu dalam
posisi aman harus menjadi pertimbangan utama.

k. P3K
Apabila terjadi kecelakaan kerja baik yang bersifat ringan
ataupun berat pada pekerjaan konstruksi, sudah seharusnya
dilakukan pertolongan pertama di proyek. Untuk itu, pelaksana
konstruksi wajib menyediakan obat-obatan yang digunakan untuk
pertolongan pertama. Adapun jenis dan jumlah obat-obatan
disesuaikan dengan aturan yang berlaku.

2.3 eeeeeeeeeeeeeeeee
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan penerapan keselamatan dan
kesehatan kerja menggunakan metode kuantitatif dan deskriptif kualitatif.
1. Metode kuantitatif dipakai untuk mengetahui banyaknya jumlah
responden yang terdapat dalam susunan kriteria. Pengolahan data
melalui metode ini terdapat dalam 2 tahap yaitu:
a. Pemindahan data
Data yang sudah diberi kode maka dipindahkan ke dalam bentuk
tabel.
b. Penyajian data
Penyajian data yang dipakai dalam bentuk angka berupa tabel.

Untuk setiap kriteria dihitung persentasenya dengan cara


menjumlahkan poin elemen yang menyatakan 5 = Sangat Setuju (SS), 4 =
Setuju (S), 3 = Raguragu (R), 2 = Tidak Setuju (TS), 1 = Sangat Tidak
Setuju (STS) Sehingga didapatlah persentase masing-masing untuk 5
kriteria tersebut yang dituangkan dalam bentuk tabel.

2. Metode deskriptif kualitatif untuk mengetahui pelaksanaan penerapan


keselamatan dan kesehatan kerja (K3) serta faktor penyebab ketidak
sempurnaan dalam penerapannya. Pengertian dari deskriptif adalah
penggambaran terhadap suatu permasalahan, sedangkan kualitatif ialah
cara penyajian terhadap suatu permasalahan. Maka dari itu metode
deskriptif kualitatif dalam penulisan tugas akhir ini ialah
menggambarkan kegiatan dan pengelolaan SMK3 pada proyek ini
secara sederhana dan menyeluruh.

Tingkat penilaian penerapan SMK3 ditetapkan sebagai berikut:

1. Untuk tingkat pencapaian penerapan 0-59% termasuk tingkat


penilaian penerapan kurang.
2. Untuk tingkat pencapaian penerapan 60-84% termasuk tingkat
penilaian penerapan baik.
3. Untuk tingkat pencapaian penerapan 85-100% termasuk tingkat
penilaian penerapan memuaskan.

Selain penilaian terhadap tingkat pencapaian penerapan SMK3, juga


dilakukan penilaian terhadap perusahaan berdasarkan kriteria yang
menurut sifatnya dibagi atas 3 (tiga) kategori, yaitu:
1. Kategori Kritikal

Temuan yang mengakibatkan fatality/kematian.

2. Kategori Mayor

a. Tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan

b. Tidak melaksanakan salah satu prinsip SMK3

c. Terdapat temuan minor untuk satu kriteria audit di beberapa


lokasi.

3. Kategori Minor

Ketidakkonsistenan dalam pemenuhan persyaratan peraturan


perundangundangan, standar, pedoman, dan acuan lainnya.

2.3.2 Statistical Program for Social Science (SPSS)


Penelitian ini menggunakan program aplikasi computer SPSS untuk
mengolah dan menganalisis uji validitas dan reabilitas kuisioner.

2.3.2.1 Uji Instrumen Penelitian

a. Uji Validitas
Uji validitas diartikan sebagai pengujian untuk mengetahui sejauh
mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi
ukurnya. Validitas suatu instrumen akan menggambarkan tingkat
kemampuan alat ukur yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang
menjadi sasaran pokok pengukuran. Dengan demikian permasalahan
instrumen (kuisioner) akan menunjukan pada mampu tidaknya instrumen
(kuisioner) tersebut mengukur objek yang diukur. Apabila instrumen
tersebut mampu mengukur apa yang diukur maka disebut valid, sebaliknya
apabila tidak mampu mengukur apa yang diukur maka dinyatakan tidak
valid.

Penelitian ini menggunakan uji validitas isi dan validitas tampang.


Validitas isi menunjukkan bahwa aitem-aitem yang dimaksudkan untuk
mengukur sebuah konsep, memberikan kesan mampu mengungkap konsep
yang hendak di ukur (Sekaran, 2006). Validitas tampang merupakan
Validitas tampang adalah validitas yang paling rendah signifikannya
karena hanya didasarkan pada penilaian format penampilan tes dan
kesesuaian konteks aitem dengan tujuan ukur tes. Apabila penampilan tes
telah meyakinkan dan memberikan kesan mampu mengungkap apa yang
hendak diukur maka dapat dikatakan bahwa validitas muka telah terpenuhi
(Azwar, 2003).

Alasan peneliti menggunakan validitas isi karena pengukuran dan


penilaian skala didasarkan pada kisi-kisi pencapaian skala yang telah
ditentukan. Uji validitas diuji oleh ahli sehingga disebut dengan expert
judgement. Peneliti memilih dua orang ahli sebagai validator instrumen
dalam penelitian ini yaitu dosen pembimbing. Pemilihan kedua ahli
tersebut didasari oleh keahlian yang dimiliki oleh ahli pada bidangnya
masing-masing. Kedua dosen pembimbing sebagai ahli atau validator
penelitian ini adalah ahli konstruk, ahli isi atau materi, dan ahli bahasa.
Validitas tampang (face validty) dilakukan dengan meminta pendapat
dosen lain untuk dilakukan uji keterbacaan dan melihat pemahaman subjek
terhadap kalimat yang digunakan dalam menyusun item-item pada alat
ukur tersebut.

Rumus Validitas:

R htiung > R tabel = VALID

R hitung < R tabel = TIDAK VALID

b. Uji Reliabilitas
Tujuan dari uji reabilitas adalah untuk mengetahui konsistensi dan
stabilitas angket. Dengan demikian, alat ukur tersebut akan memberikan
hasil yang sama meskipun digunakan berkali-kali baik peneliti yang sama
maupun peneliti yang berbeda. Rumus Reliabilitas:

Alpha > R tabel = KONSISTEN


Alpha < R tabel = TIDAK KONSISTEN
R Tabel didapatkan dengan mengetahui N = Jumlah Narasumber
kemudian di distribusikan pada tabel distribusi nilai R tabel siginifikan
5%.

2.3.2.2 Analisis Faktor


Menurut Malhotra (2006: 288) menyatakan analisis faktor adalah
sekelompok prosedur atau metode yang dipakai untuk mengurangi atau
meringkas data. Dalam analisis faktor tidak dibedakan antara variabel
dependen dan variabel independen. Seluruh variabel atau faktor yang akan
diteliti mempunyai hubungan yang saling tergantung. Dengan demikian
analisis faktor merupakan suatu bentuk teknik saling bergantung
(independent tecnigue) yaitu teknik statistic multivariate di mana variabel-
variabel yang diuji mempunyai hubungan yang saling tergantung dengan
tujuan utamanya adalah menentukan satu atau beberapa variabel yang
diyakini sebagai sumber yang dilandasi seperangkat variabel nyata.

Menurut Maholtra (2006: 291-301) langkah-langkah analisis faktor


sebagai berikut:

1) Memformulasikan/Merumuskan Masalah
Masalah dirumuskan dengan pendekatan kerangka pemikiran
analisis yang didasarkan oleh teori-teori atau publikasi-publikasi ilmiah
sehingga variable-variabel yang diteliti dapat ditentukan.

2) Korelasi Matrik dan Uji Independensi


Pada tahap ini setelah data terkumpul diolah dengan computer, akan
diperoleh koefisien korelasi antar variabel sehingga membentuk matrik
korelasi dengan variabel lain yang dikeluarkan dari analisis. Di samping
itu pada tahap ini sekaligus dapat diketahui variabel yang memiliki multi
kolonieritas, dengan koefisisen korelasi lebih tinggi dari 0,8, sehingga bila
hal ini terjadi maka variabel tersebut dijadikan satu atau dipilih salah satu
untuk dianalisis lebih lanjut.

3) Menetapkan Metode Analisis Faktor


Dalam hal ini penentuan analisis faktor dilakukan dengan teknik
principal component analysis. Pada langkah ini kan diketahui sejumlah
faktor yang mewakili seperangkat variabel yang dianalisa Berdasarkan
nilai Eigen Value serta prosentase varian total. Meskipun semua variebel
dikelompokkan secara apriori ke dalam beberapa faktor namun demikian
untuk tujuan analisis dan interpretasi lebih lanjut maka pengelompokan
kembali dilakukan berdasarkan analisa principal component analysis.
Dengan demikian faktor yang layak mewakili sekelompok variabel
minimal harus memiliki nilai Eigen Value dama dengan satu (1,00).

Bila matrik faktor mula-mula masih sulit untuk diinterpretasikan


maka akan dilakukan rotasi faktor, untuk memperjelas dan mempertegas
masing maisng faktor dalam setiap faktor sehingga lebih mudah untuk
diinterprestasikan.

Dengan memperhatikan nilai Eigen Value, prosentase varian dan


faktor loading serta matrik faktor, kita dapat menentukan pengelompokan
variabel tersebut sebagai suatu faktor.

a) Menyeleksi/Menentukan variabel Surragate.

b) Surragate variabel merupakan variabel yang dikenal


sebagai variabel yang layak mewakili setiap faktor cara
menentukan tertinggi.
Untuk menguji model yang digunakana tepat atau tidak, digunakan
penguji model analisis dengan melihat besarnya prosentase korelasi
residual >5% atau >10%. Semakin tinggi nilai prosentase tersebut akan
semakin tidak layak kemampuan model dalam menjelaskan data yang ada.

4) Menentukan Jumlah Faktor


Jumlah fakror yang harus diekstrasi dapat ditentukan secara priori
atau berdasarkan nilai eigen value, plot scree, presentase varians,
keandalan bagi dua atau uji signifikansi.

5) Merotasi Faktor
Suatu output penting dari analisis faktor adalah matriks faktor yang
disebut juga matriks pola faktor. Matriks faktor berisi koefisien yang
digunakan untuk menyatakan variable-variable standarisasi dalam faktor
tersebut. Suatu koefisien muatan faktor mewakili korelasi antar faktor
dengan variable-variable. Rotasi faktor diperlukan untuk menformulasikan
matriks faktor menjadi sebuah faktor yang lebih sederhana.

6) Menafsirkan Faktor
Menafsirkan faktor dilakukan dengan mengidentifikasi variable
variable yang mempunyai muatan yang besar pada faktor yang sama.
Faktor ini dapat ditafsirkan menurut variable variable yang memberi
muatan yang tinggi pada faktor tersebut.

7) Menghitng skor Faktor Skor


Skor faktor dapat dihitung untuk setiap responden. Alternatif lainya
variable variable pengganti, bias dipilih untuk masing-masing faktor
sebuah variable dengan muatan tertinggi atau dengan muatan mendekati
muatan tertinggi.

7) Memilih variable variable pengganti

Pemilihan variable pengganti meliputi pemilihan beberapa variable


asal untuk digunakan dalam analisis selanjutnya. Dengan menguji matriks
faktor kita dapat memilih setiap faktor variable muatan tertinggi atas faktor
tersebut.

8) Menentukan model fit


Langkah terakhir dalam analisis faktor adalah penentuan sebuah
keseuaian model. Asumsi dasar yang mendasari analisis faktor adalah
bahwa korelasi pengamatan antar variable dapat disebabkan oleh faktor
faktor biasa. Perbedaan antara korelasi pengamatan dengan korelasi hasil
reproduksi dapat diuji untuk menentukan kesesuaian model.

Anda mungkin juga menyukai