Anda di halaman 1dari 6

PENYEDERHANAAN BIROKRASI: SUDAH SESUAI HARAPAN PAK JOKOWI ATAU

HANYA SEKEDAR GANTI BAJU?


16 Maret 2021
Mungkin masih santer di telinga kita ketika Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dengan
penuh semangat dan emosional menyampaikan pidatonya pada saat pelantikan dirinya sebagai
Presiden RI periode 2019-2024. Ada 5 (lima) agenda besar yang Jokowi janjikan untuk dibenahi
dan diselesaikan dalam 5 (lima) tahun mendatang masa kepemimpinannya. Salah satu amanat
dan tugas besar Joko Widodo yang disampaikan melalui pidatonya tersebut adalah
penyederhanaan birokrasi yang akan dilakukan secara besar-besaran. Jokowi berkata: “Investasi
untuk penciptaan lapangan kerja harus diprioritaskan. Prosedur yang panjang harus dipotong.
Birokrasi yang panjang harus kita pangkas. Eselonisasi harus disederhanakan. Eselon I, eselon II,
eselon III, eselon IV, apa enggak kebanyakan? Saya akan minta untuk disederhanakan menjadi 2
level saja, diganti dengan jabatan fungsional yang menghargai keahlian, menghargai kompetensi.
Saya juga minta kepada para menteri, para pejabat, para birokrat, agar serius menjamin
tercapainya tujuan program pembangunan. Bagi yang tidak serius, saya tidak akan memberi
ampun. Saya pastikan, sekali lagi saya pastikan, pasti saya copot”. Pertanyaan besarnya adalah
sudah sejauh mana instruksi bapak Presiden ini dikerjakan oleh jajaran di bawahnya?

Babak Baru Reformasi Birokrasi


Pembenahan birokrasi pemerintah Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2010 setelah
diterbitkannya Perpres nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-
2025. Selanjutnya tahun 2014 diterbitkanlah UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara (ASN) dimana para ahli mengatakan bahwa UU tersebut menjadi tonggak sejarah
reformasi birokrasi Indonesia mengingat UU ASN mengusung prinsip-prinsip New Public
Management (NPM) yang dynamic governance (berbasis pengembangan Human Capital) dan
mulai meninggalkan prinsip-prinsip lama model Webberian dari rule-based bureaucracy yang
diusung UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian. UU ASN tersebut sebenarnya sudah tidak mengenal terminology
“Eselonisasi” lagi akan tetapi sudah berbasis kelas jabatan. Penggolongan jabatan bagi PNS
diubah menjadi jabatan administrasi, jabatan fungsional, dan jabatan pimpinan tinggi. Sementara
itu di luar PNS terdapat Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK). UU ASN
memberikan paradigma yang baru bahwa jabatan Eselon III dan Eselon IV yang selama ini
dikenal dan dijuluki pejabat dengan kewenangan tertentu sudah berubah menjadi pelayan publik
serta petugas administrasi pemerintahan dan pembangunan. UU ASN tersebut mengubah pola
perancangan struktur kelembagaan instansi pemerintah pada level eselon III dan IV dari yang
semula cascading departementasi atau unit kerja top down (atas ke bawah), selanjutnya menjadi
pelembagaan rentang kendali (span of control) secara bottom up (aspirasi dari bawah). Sehingga
organisasi dapat mewujudkan struktur yang tepat sesuai kebutuhan pelayanan public, sekaligus
mengubah kultur paternalistik menjadi kultur kemitraan dalam kegiatan layanan administrasi
publik (Dauh Artawan). Jika dilihat dari asas kemitraan, ruangan sebaiknya bersatu dan setara,
sehingga para Pelaksana, Pengawas, dan Administrator dapat saling berinteraksi dan
berkoordinasi dengan mudah dalam menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat secara
cepat dan tepat.
Teori Organisasi dan Pengaruh Struktur Organisasi Terhadap Kinerja Birokrasi
Penyederhanaan birokrasi menjadi penting karena struktur organisasi mencerminkan bagaimana
strategi dalam pencapaian goal organisasi. Berbagai pemikiran perubahan struktur yang
diperkenalkan oleh para ahli seperti adhocracy merupakan kritikan terhadap struktur birokrasi
Weber. Konsep Weberian bercirikan organisasi yang ideal sampai ke level bawah, adanya
formalisasi aturan dan prosedur dan menganut hirearki yang panjang, sedangkan teory adhoracy
menekankan struktur organisasi yang fleksibel yang mudah beradaptasi dan minim struktur
formal. Besarnya struktur birokrasi dapat memperlambat kegiatan dan memengaruhi kinerja
birokrasi. Postur struktur birokrasi adalah “cost”. Semakin besar dan panjang struktur birokrasi,
maka akan berdampak pada peningkatan beban “cost” bagi pemerintah dan stakeholders terkait.
Selain itu birokrasi yang panjang akan membentuk titik-titik kekuasaan yang semakin banyak
dan ini sangat tidak baik karena titik kekuasaan berpotensi menimbulkan conflict of interest
yang mengarah pada tindakan fraud/koruptif. Peran birokrasi sangat berpengaruh dalam
kecepatan pelayanan publik dan percepatan pembangunan bangsa baik pembangunan secara fisik
seperti infrastruktur maupun pembangunan sumber daya manusianya. Beberapa negara asia yang
telah maju seperti China, Korea Selatan, Jepang dan Singapura, dapat dilihat bahwa kemajuan
negara tersebut sangat ditentukan oleh upaya dan keberhasilannya mengubah nilai budaya
birokrasi dan pemilihan struktur birokrasi yang tepat. Untuk melakukan sebuah perubahan dan
keluar dari zona nyaman tentunya bukan sesuatu yang mudah, perlu usaha yang serius dan
massive serta dukungan dari berbagai pihak. Deeselonisasi dan pengalihan jabatan eselon III dan
IV ke dalam jabatan fungsional adalah sebuah upaya untuk menciptakan birokrasi yang lebih
dinamis dan profesional. Perlu adanya inovasi bagi organisasi pemerintah dalam menghadapi
permasalahan publik yang semakin kompleks dengan pelayanan yang cepat, tepat, efektif dan
kaya manfaat.

Perkembangan dan Upaya Penyederhanaan Birokrasi Saat Ini


Terhadap amanat presiden terpilih tersebut dan sesuai arahan Kemenpan RB yang merupakan
penanggung jawab percepatan penyederhanaan birokrasi, beberapa instansi baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah telah melakukan upaya-upaya penyederhanaan birokrasi.
Sebagai contoh misalnya Kementerian ESDM sudah merespon dengan menerbitkan beberapa
instrumen kebijakan. Saat ini Kementerian ESDM sudah menetapkan kebijakan dalam bentuk
Keputusan Menteri ESDM Nomor 228.K/70/DJB/2020 tentang Penunjukkan Koordinator dan
Sub Koordinator untuk melaksanakan Tugas dan Fungsi Organisasi di Lingkungan Direktorat
Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM dimana Pejabat struktural eselon III dan IV
yang sudah ditransformasikan menjadi pejabat fungsional ahli Madya dan ahli Muda diangkat
secara otomatis menjadi koordinator dan sub koordinator. Berdasarkan Kepmen ESDM
228.K/70/DJB/2020 tersebut peran koordinator dan sub koordinator diberikan wewenang untuk
menjalankan tugasnya seperti biasa mulai urusan peganggaran sampai dengan urusan teknis pada
subdirektorat masing-masing. Sehingga ada guyonan yang mengatakan “fungsional rasa
struktural”. Meskipun sebenarnya Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara yang merupakan
salah satu unit kerja di Kementerian ESDM sudah selangkah lebih maju dibandingkan dengan
unit kerja lainnya. Dalam rangka mendukung program prioritas di lingkungan Direktorat Ditjen
Minerba telah diterbitkan Keputusan Dirjen Nomor 220.K/70/DJB/2020 tentang pembentukan
kelompok kerja fungsional dimana ketua pokjanya merangkap sebagai koordinator-
subkoordinator. Sama juga halnya dengan upaya merevisi Permen Organisasi dan Tata Laksana
yang sampai tulisan ini dibuat masih dalam tahap pembahasan juga tidak mengalami perubahan
pengaturan yang signifikan karena masih mengambil tugas dan fungsi yang sama dengan Permen
ESDM No. 13/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral. Secara umum masih mempertahankan struktur organisasi eksisting dan secara otomatis
mengganti subdirektorat-bagian-bidang menjadi kelompok-kelompok jabatan fungsional dan
bagian umum. Selain itu, surat Edaran Kepala BKN No.3/SE/II/2021 tentang Penyusunan
Sasaran Kerja Pejabat Fungsional yang Ditugaskan Sebagai Koordinator dan Subkoordinator
seolah-olah tidak meresponse baik terlaksananya penyederhanaan birokrasi tersebut.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, sejauh ini upaya penyederhanaan yang sudah dilakukan sama
sekali belum mencerminkan harapan Pak Jokowi yang sesungguhnya dan jajaran di bawah
terkesan tidak menunjukkan niat dan itikad untuk menyederhanakan birokrasi secara serius
dikarenakan struktur organisasi yang lama tidak mengalami perubahan signifikan dan dapat
dikatakan hanya “berganti baju”. Mengacu pada contoh kasus di atas, Kementerian ESDM
tentunya tidak sepenuhnya berada pada pihak yang dapat disalahkan. Kementerian ESDM hanya
mencoba mengikuti arahan dari KemenPAN RB sebagai penanggung jawab dalam percepatan
penyederhaaan reformasi birokrasi.

Tantangan Penyederhanaan Birokrasi


Arahan Presiden ini seharusnya tidak sulit untuk dieksekusi karena gagasan ini sudah bukan hal
yang baru lagi. Tantangannya adalah seberapa besar niat dan upaya untuk mengeksekusi gagasan
besar ini agar menjadi sebuah kenyataan di lapangan. Kuncinya adalah kemauan kuat untuk
berubah dan keluar dari zona nyaman dalam rangka memberikan pelayanan terbaik, cepat dan
tepat sasaran bagi seluruh stakeholders. Kemenpan RB yang diberikan tanggung jawab untuk
percepatan penyederhanaan birokrasi belum menterjemahkan secara tepat arahan presiden
tersebut dalam grand desain penyederhanaan birokrasi. Resistensi yang kuat untuk menjaga
eksistensi dari pihak-pihak yang terdampak dan kekawatiran yang berlebihan apakah organisasi
pemerintah bisa berjalan baik dengan penyederhanaan yang mengedepankan kompetensi dan
keahlian menjadi hambatan utama arahan ini tidak segera dilaksanakan. Banyak pejabat eselon
III dan IV yang takut kehilangan jabatan, keengganan untuk melakukan perubahan besar dan
tidak mau berpikir komprehensif untuk menata kembali sistem birokrasi kita agar lebih efektif
menjadi hambatan lain. Selain itu ketersediaan jenis jabatan fungsional yang ada saat ini menjadi
penyebab lain lambatnya penyederhanaan birokrasi terbentuk.

Rekomendasi Kebijakan
Untuk mengakselerasi penyederhanaan birokrasi sesuai arahan Presiden maka pemerintah harus
segera merevisi UU No.5 tahun 2014 tentang ASN, dengan menghilangkan jabatan pelaksana,
pengawas, dan administrator diganti menjadi jabatan fungsional yang menghargai keahlian dan
kompetensi. Selanjutnya KemenPAN RB yang diberikan mandat untuk melakukan percepatan
reformasi birokrasi menyusun strategi dan grand design yang konkret untuk percepatan
penyederhanaan birokrasi. KemenPAN RB harus melakukan analisis menyeluruh terhadap
struktur organisasi eksisting. Selanjutnya melakukan identifikasi terhadap kebutuhan jabatan
fungsional baik pada tingkat pemerintahan pusat maupun tingkat pemerintahan daerah, dan
kemudian segera membentuk fungsional-fungsional yang baru agar dapat mengerjakan semua
tugas pokok dan fungsi dan bisa diklaim menjadi kinerja dalam bentuk angka kredit sehingga
dengan demikian roda organisasi dalam pemerintahan akan berjalan dengan efektif baik secara
administratif maupun secara teknis.
Kewenangan pejabat struktural eselon III dan IV yang sudah ditransformasi menjadi pejabat
fungsional harus dihapuskan. Koordinator dan sub koordinator tugasnya hanya
mengkordinasikan dan mendistribusikan pekerjaan dari eselon II ke pejabat fungsional lainnya.
Kultur kerja Koordinator dan Subkoordinator dan fungsional lain menganut asas kemitraan
sehingga ruangannya harus setara untuk memudahkan koordinasi. Koordinator dan sub
koordinator juga harus bekerja secara profesional dalam jabatan fungsionalnya masing-masing.
Pembentukan Koordinator dan Subkoordinator harus dilakukan sefleksibel mungkin dengan SK
penugasannya cukup ditandatangani eselon II. Dengan deeselonisasi maka struktur dibawahnya
yang saat ini dibentuk dalam jabatan fungsional dapat dibentuk tim-tim yang sesuai dengan
kebutuhan (adhocracy) yang dapat dibentuk dan dibubarkan sesuai dengan kebutuhan organisasi.
Jika dimungkinkan bahkan kedepannya seharusnya sekelas jabatan struktural eselon II langsung
membawahi jabatan-jabatan fungsional sehingga penyederhanaan birokrasi dapat benar-benar
tercapai.

Untuk menunjang kinerja yang maksimal maka direktorat teknis hanya mengerjakan hal-hal
yang terkait tugas keteknisannya, sedangkan hal-hal yang bersifat administrasi seperti urusan
penganggaran seharusnya dijalankan oleh Sesditjen selaku kuasa pengguna anggaran. Hal ini
juga untuk mempermudah pengawasan terhadap penggunaan anggaran tersebut oleh instansi
yang berwenang. Untuk menjalankan tugas- tugas administrasi dapat dilakukan perekrutan
tenaga kerja kontrak (PPPK) sebagaimana diatur dalam UU No.5/2014 tentang ASN. Selain
penyederhanaan birokrasi dengan penghapusan eselon III dan IV perlu dilakukan identifikasi
struktur organisasi yang ada saat ini agar lebih ramping sehingga efisien dalam menjalankan
tugasnya terutama untuk kegiatan yang dapat dilakukan bersama dan berdampingan.
Perampingan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik organisasi pemerintahan.
Sebagai contoh Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara dan Direktorat
Pembinaan Pengusahaan Mineral dan Batubara pada Kementerian ESDM yang tugas dan
fungsinya adalah melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan pemegang Izin
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dapat dijadikan 1 (satu) Direktorat saja, sehingga
Direktur dapat membentuk Koordinator berdasarkan pembagian penanggung jawab perusahaan,
bukan berdasarkan aspek pembinaan dan pengawasan seperti yang terjadi saat ini. Pembinaan
dan pengawasan dilakukan satu pintu satu atap. Hal ini diharapkan akan memberikan pelayanan
yang lebih cepat pada stakeholders.

Sebagai upaya mewujudkan aparatur sipil negara (ASN) yang merupakan penggerak utama dari
reformasi birokrasi, memerlukan penetapan ASN sebagai sebuah profesi yang mengelola dan
mengembangkan dirinya serta mempertanggungjawabkan kinerjanya dalam prinsip merit
manajemen berdasarkan keahlian dan kompetensinya. Pengembangan kompetensi dan keahlian
menjadi sesuatu yang sangat penting. ASN yang merupakan sebuah profesi tidak dipandang
sebagai human resources (resources yang apabila sudah habis tinggal dibuang), tetapi harus
dipandang sebagai human capital (capital harus dikembangkan karena merupakan asset
organisasi). Pimpinan juga harus beradaptasi dengan sistem dan paradigma yang baru. Jika
pimpinan menginstruksikan untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian dan
kompetensinya itu artinya pimpinan tidak menghargai kompetesi dan keahlian masing-masing
ASN. Kalau dipaksakan maka ASN tidak akan bekerja secara profesional sehingga kinerja tidak
optimal, implikasinya tujuan organisasi sudah pasti tidak tercapai dan amburadul serta pelayanan
publik menjadi buruk. Semoga penyederhanaan birokrasi yang diimpi-impikan Pak Jokowi
segera terlaksana untuk pelayanan publik yang lebih baik.

*
Penulis
Juanda Volo Sinaga & Nova Magdalena Ginting
(Analis Kebijakan - Agen Perubahan Kementerian ESDM)
Arsip Bagian Organisasi dan Kepegawaian Sekretairat Daerah Kabupaten
Wonosobo tahun 2018.
Azhari, A. Kholik, (1994), Birokrasi dan Tuntutan Demokratisasi, Makalah
Seminar. AIPI XI.
Dahniar, Ati, (2016), Dinamika Birokrasi dan Pelayanan Publik, (Pengayaan
Materi Administrasi Perkantoran Modern dalam Diklat Perkantoran
dan PIM IV).
Dahniar, Ati, Good Governance: Membangun Birokrasi Pemerintah yang Bersih
dan Akuntabel, http://bdkjakarta.kemenag.go.id, 2016, 9 Februari 2018
pukul 11.02.
Dendy Sugono, (2008), Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.
Dwiyanto, Agus,(2006),Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta:
UGM Press.
Nurbarani, Myrna, (2009), Reformasi Birokrasi Pemerintah Kota Surakarta,
Semarang: Program Studi Magister Ilmu Politik Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro.
Sigit Setiawan, (2014), Tinjauan Reformasi Birokrasi, Evolusi Model Birokrasi
dalam Perspektif Ekonomi dan Perkembangan Reformasi Birokrasi di
Indonesia, Peneliti Madya pada Pusat Kebijakan Regional dan
Bilateral-BKF.
Sinambela, Lijan Poltak dkk, (2006), Reformasi Pelayanan Publik, Jakarta: Bumi
Aksara.

Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai good governance
dan melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan
pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan dan
sumber daya manusia aparatur.
Agar masyarakat kita benar-benar mengalami kehidupan yang sejahtera seluas-luasnya. Birokrasi
mestinya menjadi mesin paling penting dalam pemerintahan dalam melaksanakan kebijakan
Negara maka sangat diperlukan adanya birokrasi yang semaksimal mungkin dapat
menyelenggarakan kegiatan pemerintahan guna mencapai tujuannya.
Pertama, mempercepat proses pelaksanaan kerja. Kedua, meningkatkan produktifitas barang dan
jasa. Ketiga, ketepatan ukuran / kualitas produk terjamin dalam gerak pelaku pelayanan dengan
fasilitas ruangan yang cukup.

Anda mungkin juga menyukai