Berdasarkan fakta-fakta di atas, sejauh ini upaya penyederhanaan yang sudah dilakukan sama
sekali belum mencerminkan harapan Pak Jokowi yang sesungguhnya dan jajaran di bawah
terkesan tidak menunjukkan niat dan itikad untuk menyederhanakan birokrasi secara serius
dikarenakan struktur organisasi yang lama tidak mengalami perubahan signifikan dan dapat
dikatakan hanya “berganti baju”. Mengacu pada contoh kasus di atas, Kementerian ESDM
tentunya tidak sepenuhnya berada pada pihak yang dapat disalahkan. Kementerian ESDM hanya
mencoba mengikuti arahan dari KemenPAN RB sebagai penanggung jawab dalam percepatan
penyederhaaan reformasi birokrasi.
Rekomendasi Kebijakan
Untuk mengakselerasi penyederhanaan birokrasi sesuai arahan Presiden maka pemerintah harus
segera merevisi UU No.5 tahun 2014 tentang ASN, dengan menghilangkan jabatan pelaksana,
pengawas, dan administrator diganti menjadi jabatan fungsional yang menghargai keahlian dan
kompetensi. Selanjutnya KemenPAN RB yang diberikan mandat untuk melakukan percepatan
reformasi birokrasi menyusun strategi dan grand design yang konkret untuk percepatan
penyederhanaan birokrasi. KemenPAN RB harus melakukan analisis menyeluruh terhadap
struktur organisasi eksisting. Selanjutnya melakukan identifikasi terhadap kebutuhan jabatan
fungsional baik pada tingkat pemerintahan pusat maupun tingkat pemerintahan daerah, dan
kemudian segera membentuk fungsional-fungsional yang baru agar dapat mengerjakan semua
tugas pokok dan fungsi dan bisa diklaim menjadi kinerja dalam bentuk angka kredit sehingga
dengan demikian roda organisasi dalam pemerintahan akan berjalan dengan efektif baik secara
administratif maupun secara teknis.
Kewenangan pejabat struktural eselon III dan IV yang sudah ditransformasi menjadi pejabat
fungsional harus dihapuskan. Koordinator dan sub koordinator tugasnya hanya
mengkordinasikan dan mendistribusikan pekerjaan dari eselon II ke pejabat fungsional lainnya.
Kultur kerja Koordinator dan Subkoordinator dan fungsional lain menganut asas kemitraan
sehingga ruangannya harus setara untuk memudahkan koordinasi. Koordinator dan sub
koordinator juga harus bekerja secara profesional dalam jabatan fungsionalnya masing-masing.
Pembentukan Koordinator dan Subkoordinator harus dilakukan sefleksibel mungkin dengan SK
penugasannya cukup ditandatangani eselon II. Dengan deeselonisasi maka struktur dibawahnya
yang saat ini dibentuk dalam jabatan fungsional dapat dibentuk tim-tim yang sesuai dengan
kebutuhan (adhocracy) yang dapat dibentuk dan dibubarkan sesuai dengan kebutuhan organisasi.
Jika dimungkinkan bahkan kedepannya seharusnya sekelas jabatan struktural eselon II langsung
membawahi jabatan-jabatan fungsional sehingga penyederhanaan birokrasi dapat benar-benar
tercapai.
Untuk menunjang kinerja yang maksimal maka direktorat teknis hanya mengerjakan hal-hal
yang terkait tugas keteknisannya, sedangkan hal-hal yang bersifat administrasi seperti urusan
penganggaran seharusnya dijalankan oleh Sesditjen selaku kuasa pengguna anggaran. Hal ini
juga untuk mempermudah pengawasan terhadap penggunaan anggaran tersebut oleh instansi
yang berwenang. Untuk menjalankan tugas- tugas administrasi dapat dilakukan perekrutan
tenaga kerja kontrak (PPPK) sebagaimana diatur dalam UU No.5/2014 tentang ASN. Selain
penyederhanaan birokrasi dengan penghapusan eselon III dan IV perlu dilakukan identifikasi
struktur organisasi yang ada saat ini agar lebih ramping sehingga efisien dalam menjalankan
tugasnya terutama untuk kegiatan yang dapat dilakukan bersama dan berdampingan.
Perampingan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik organisasi pemerintahan.
Sebagai contoh Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara dan Direktorat
Pembinaan Pengusahaan Mineral dan Batubara pada Kementerian ESDM yang tugas dan
fungsinya adalah melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan pemegang Izin
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dapat dijadikan 1 (satu) Direktorat saja, sehingga
Direktur dapat membentuk Koordinator berdasarkan pembagian penanggung jawab perusahaan,
bukan berdasarkan aspek pembinaan dan pengawasan seperti yang terjadi saat ini. Pembinaan
dan pengawasan dilakukan satu pintu satu atap. Hal ini diharapkan akan memberikan pelayanan
yang lebih cepat pada stakeholders.
Sebagai upaya mewujudkan aparatur sipil negara (ASN) yang merupakan penggerak utama dari
reformasi birokrasi, memerlukan penetapan ASN sebagai sebuah profesi yang mengelola dan
mengembangkan dirinya serta mempertanggungjawabkan kinerjanya dalam prinsip merit
manajemen berdasarkan keahlian dan kompetensinya. Pengembangan kompetensi dan keahlian
menjadi sesuatu yang sangat penting. ASN yang merupakan sebuah profesi tidak dipandang
sebagai human resources (resources yang apabila sudah habis tinggal dibuang), tetapi harus
dipandang sebagai human capital (capital harus dikembangkan karena merupakan asset
organisasi). Pimpinan juga harus beradaptasi dengan sistem dan paradigma yang baru. Jika
pimpinan menginstruksikan untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian dan
kompetensinya itu artinya pimpinan tidak menghargai kompetesi dan keahlian masing-masing
ASN. Kalau dipaksakan maka ASN tidak akan bekerja secara profesional sehingga kinerja tidak
optimal, implikasinya tujuan organisasi sudah pasti tidak tercapai dan amburadul serta pelayanan
publik menjadi buruk. Semoga penyederhanaan birokrasi yang diimpi-impikan Pak Jokowi
segera terlaksana untuk pelayanan publik yang lebih baik.
*
Penulis
Juanda Volo Sinaga & Nova Magdalena Ginting
(Analis Kebijakan - Agen Perubahan Kementerian ESDM)
Arsip Bagian Organisasi dan Kepegawaian Sekretairat Daerah Kabupaten
Wonosobo tahun 2018.
Azhari, A. Kholik, (1994), Birokrasi dan Tuntutan Demokratisasi, Makalah
Seminar. AIPI XI.
Dahniar, Ati, (2016), Dinamika Birokrasi dan Pelayanan Publik, (Pengayaan
Materi Administrasi Perkantoran Modern dalam Diklat Perkantoran
dan PIM IV).
Dahniar, Ati, Good Governance: Membangun Birokrasi Pemerintah yang Bersih
dan Akuntabel, http://bdkjakarta.kemenag.go.id, 2016, 9 Februari 2018
pukul 11.02.
Dendy Sugono, (2008), Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.
Dwiyanto, Agus,(2006),Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta:
UGM Press.
Nurbarani, Myrna, (2009), Reformasi Birokrasi Pemerintah Kota Surakarta,
Semarang: Program Studi Magister Ilmu Politik Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro.
Sigit Setiawan, (2014), Tinjauan Reformasi Birokrasi, Evolusi Model Birokrasi
dalam Perspektif Ekonomi dan Perkembangan Reformasi Birokrasi di
Indonesia, Peneliti Madya pada Pusat Kebijakan Regional dan
Bilateral-BKF.
Sinambela, Lijan Poltak dkk, (2006), Reformasi Pelayanan Publik, Jakarta: Bumi
Aksara.
Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai good governance
dan melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan
pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan dan
sumber daya manusia aparatur.
Agar masyarakat kita benar-benar mengalami kehidupan yang sejahtera seluas-luasnya. Birokrasi
mestinya menjadi mesin paling penting dalam pemerintahan dalam melaksanakan kebijakan
Negara maka sangat diperlukan adanya birokrasi yang semaksimal mungkin dapat
menyelenggarakan kegiatan pemerintahan guna mencapai tujuannya.
Pertama, mempercepat proses pelaksanaan kerja. Kedua, meningkatkan produktifitas barang dan
jasa. Ketiga, ketepatan ukuran / kualitas produk terjamin dalam gerak pelaku pelayanan dengan
fasilitas ruangan yang cukup.