Anda di halaman 1dari 44

MAKALAH

PATOLOGI SISTEM PERKEMIHAN

DOSEN PENGAMPU:

RINDU FEBRIYENI UTAMI, S.Ft, M.KM

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 2

1. AZZAHRA DWI SYAFIRA (2211401005)


2. JUNIARTY YUZA(2211401018)
3. NAISYAH ARFAH(2211401030)
4. NADIA ALI YUSRA(2211401031)
5. MAGHFIRAH PUTRIA IKHLAS(2211401025)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III FISIOTERAPI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS FORT DE KOCK BUKITTINGGI
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan karya tulis berupa makalah ini dengan baik dan
tanpa suatu kendala apapun.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen Mata Kuliah Patologi Sistem
Ibu Rindu Febriyeni Utami, S.Ft, M.KM, telah membimbing dan memberi arahan dalam
penyusunan makalah ini. Begitu pula kepada teman-teman seperjuangan yang telah memberi
masukan dan pandangan kepada kami selama menyelesaikan makalah ini.

Kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Karenanya, kami menerima kritik serta saran yang membangun dari pembaca agar
kami dapat menulis makalah secara lebih baik pada kesempatan berikutnya.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang......................................................................................................................
B. Rumusan masalah.................................................................................................................
C. Tujuan...................................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Infeksi saluran kemih............................................................................................................


B. Glomerulonefritis akut & kronis...........................................................................................
C. Syndrom nefrotik..................................................................................................................
D. Gagal ginjal...........................................................................................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...........................................................................................................................
B. Saran.....................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sistem perkemihan merupakan sistem pengeluaran zat-zat metabolisme tubuh yang tidak
berguna lagi bagi tubuh yang harus dikeluarkan (eliminasi) dari dalam tubuh Karna dapat
menjadi racun. Gangguan saluran kemih adalah gangguan dari kandung kemih atau uretra.
Ginjal, uretra, kandung kemih adalah organ-organ yang menyusun saluran kemih. Fungsi utama
dari saluran ini adalah untuk membuang air dan sisa metabolisme dan mengeluarkannya sebagai
urin.

Adapun penyakit yang terjadi di saluran kemih yaitu: Infeksi Saluran Kemih, Glomerulonefritis
akut & kronis, Sindrom nefrotik, dan Gagal ginjal. Mengingat pentingnya fungsi saluran kemih
tersebut maka dalam kesempatan kali ini penulis maupun kelompok ingin memaparkan
mengenai penyakit yang terdapat pada sistem saluran kemih.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan sistem perkemihan
2. Bagaimana perbedaan glomerulonefritis akut dan kronis
3. Apa yang dimaksud dengan sindrom nefrotik
4. Apa yang dimaksud dengan penyakit gagal ginjal
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian sistem perkemihan
2. Untuk memahami perbedaan glomerulonefritis akut dan kronis
3. Untuk mengetahui pengertian sindrom nefrotik
4. Untuk mengetahui pengertian penyakit gagal ginjal
BAB II

PEMBAHASAN

A. INFEKSI SALURAN KEMIH

1. Pengetian infeksi saluran kemih (ISK)

Infeksi saluran kemih adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk mengatakan adanya
infasi mikroorganisme pada saluran kemih(marlene.2016).Infeksi saluran kemih (ISK) adalah
suatu keadaan adanya infeksi bakteri pada saluran kemih(Depkes RI,2014).

Infeksi saluran kemih dapat mengenai laki-laki maupun perempuan dari semua umur.Akan
tetapi secara jenis kelamin ternyata wanita lebih sering terinfeksi dari pada pria dengan angka
populasi umur, kurang lebih 5-15 %.Infeksi saluran kemih pada bagian tertentu di saluran
perkemihan yang disebabkan oleh bakteri terutama Echerichia coli; risiko dan beratnya
meningkat dengan kondisi seperti refluks vesikouretral, obstruksi saluran perkemihan, statis
perkemihan, pemakaian instrumen uretral baru, septikemia.Infeksi traktus urianarius pada pria
merupakan akibat menyebarnya infeksi yang berasal dari uretra seperti juga wanita.Namun
demikian, panjang uretra dan jauhnya jarak antara uretra dari rektum pada pria dan adanya
bakterisidal dalam cairan prostatik melindungi pria dari infeksi traktus urinarius.Akibatnya, ISK
pada pria jaraang terjadi. Namun, ketika gangguan ini terjadi, kali ini menunjukan adanya
abnormalitas fungsi dan struktur dari traktus urianrius(Rudi.2012)

2. Penyebab infeksi saluran kemih (ISK)

Infeksi saluran kemih (ISK) terjadi ketika suatu organisme penginfeksi, biasanya suatu
bakteri gram negatif seperti E.coli, masuk ke saluran kencing.Radang area lokal terjadi, diikuti
dengan infeksi ketika organisme bereproduksi.Bakteri radang muncul di kulit area genital dan
memasuki saluran perkemihan melalui pembukaan uretra.Organisme dapat juga masuk selama
kontak seksual.Dalam hal ini infeksi terjadi sebagai infeksi yang diperoleh dari komunitas yang
tidak kompleks.Pasien dengan kateter perkemihan bisa juga mengalami infeksi karena adanya
kateter yang memberikan suatu jalan kecil bagi bakteri untuk masuk ke kandung kemih.Beberapa
peralatan saluran kencing, misal cystoscopy, juga memberikan suatu jalan kecil bagi bakteri
untuk masuk kandung kemih. Sebagian dari peralatan tidak disterilkan sepenuhnya antara pasien
satu dengan yang lainnya; peralatan diberi desinfektan dosis tinggi karena serat optik dan lensa
di dalam tidak akan tahan dengan temperatur tinggi yang diperlukan untuk mensterilkan. Infeksi
ini akan dipandang sebagai nosocomial(Mary.2014).

3. Tanda gejala infeksi saluran kemih (ISK)

Menurut mary 2014

a. Frekuensi terkait dengan iritasi otot kandung kemih


b. Urgensi terkait dengan iritasi otot kandung kemih
c. Susah buang air kecil karena iritasi lapisan mucosal
d. Rasa sesak/ penuh di dalam area suprapublik
e. Pungung bawah sakit

4. Patofisiologi infeksi saluran kemih (ISK)

Menurut rudi.2012 infeksi saluran kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik
dalam tractus urinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui kontak langsung dari temapta infekdi
terdekat,hematogen,limfogen. Ada dua jalur utama terjadi ISK:

a. Secara asending
 masuknya mikroorganisme dalam kandung kemih, antara lain faktor anatomi dimana
wanita memiliki uretra yang lebih pendek dari pada laki-laki sehingga insiden
terjadinya isk lebih tinggi, faktor tekanan urin saat miksi, kontaminasi fekal,
pemasangan alat ke dalam traktus urinarius (pemeriksaan sitoskopik, pemakaian
kateter), adanya dekubitus yang terinfeksi.
 Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal
b. Secara hematogen
Sering terjadi pada pasien yang sistem imunnya rendah sehingga mempermudah
penyebaran infeksi secara hematogen. Ada beberapa hal yang memengaruhi struktur dan
fungsi ginjal sehingga mempermudah penyebaran hematogen, yaitu adanya bendungan
total urin yang mengakibatkan distensi kandung kemih, bendungan intrarenal akibat
jaringan parut, dll.
5. Klasifikasi infeksi saluran kemih (ISK)

a. Infeksi Saluran Kemih Bawah menurut valentina L.2008


 Sistisis
Infeksi kadung kemihyang juga di kenal degan infeksi saluran kemih
bawah.Penyebabnya adalah bacteria kolifrom (umumnya E.coli dan
enterococus).Anak-anak dapat mengalami sistisis virus yang di sebabkan oleh
adenovirus, tetapi ini jarang terjadi pada orang dewasa. Pada pria sistisis biasanya di
sebabkan oleh invasi bakteri ke uretra yang menyebar keatas dan ke prostat.
 Uretritis
Infeksi uretra yang dapat terjadi pada pria maupun wanita. Penyababnya adalah
Inveksi virus, Infeksi bakteri, organisme yang menyebabkan penyakit/ infeksi
menular seksual (gonorea, Klamidia, dan lain-lain), keluarga besar basilus gram
negative (enterobacteriaceace, terutama E.coli) serta organisme gram positif yang
terlibat dalam infeksi saluran kemih, “hama pintar” telah mengembangkan cara untuk
mengatasi pertahanan intrinsic saluran kemih dengan cirri khasnya seperti
pili/fimbriae adesin dan hemosilin untuk mendapatkan akses mengolonisasi, selain itu
kondisi tertentu meningkatkan perkembangan infeksi saluran kemih bawah. Tada
gejalanya gejala beragam berdasarkan sifat kondisi apakah akut atau kronik.
 Sistisis/ Uretritis
Manifetasi klinis nyeri panggul dan tekan dengan lokalisasi suprapubis, disuria
(sering berkemih, urgensi berkemih dan rasa terbakar ketika berkemih), nuktoria yang
tidak biasa (terbangun di malam hari untuk berkemih), inkontinensia ringan, urine
keruh dan bau tajam, hematuria (darah dalam urine).
 Prostatitis
Kelompok kondisi inflamasi dan non inflamasi yang menyerang prostat. Tanda
gejala : nyeri panggul dan peritoneum; nyeri pada testis, area selakangan , penis, dan
skrotum yang menyebar ke punggung bawah ; keengganan berkemih dengan aliran
urine lemah saat berkemih; disfungsi seksual dengan ejakulasi yang terasa nyeri dan
nyeri pasca ejakulasi di rectum dan anus; gejala sistemik (menggigil, demem,
hipotensi). Saat prostatitis kronis maka terdapat tabda gejala perkemihan dan non
perkemihan: urine menetes, nyeri inguinal dan perineal, rasa seperti terbakar uretral,
dan tanda-tanda umum lainya (diaphoresis, keletihan dan kaki dingin)
b. Infeksi Saluran Kemih Atas menurut valentina L.2008
 Glumerulonefrmenitis
Inflamasi pada glumerulus, yang mempengaruhi kemampuan ginjal untuk menyaring
urine dan dapat terjadi diman asaja seperti glumerulus, tubulisdanjaringan intertisial
sekitarnya.Penyebab paling sering adalah infeksi streptococus yang biasanya di mulai
dengan nyeri tenggorokan, berkembang menjadi nefritis dalam 7 hingga 12
hari.Glumerulonefritis di sebebkan oleh infeksi streptokokus yang biasanya dapat di
senbuhkan dengan terapi.Tanda gejala glumerulonefritis.
 Sindrom nefrotik
Kerusakan glomerulus memicu kehilangan protein yang parah memicu
hipoalbumia .Penyebabnnya adalah Diabetes adalah penyebab yang sering muncul
menimbulkan sindrom nefrotik.penyakit autonium seperti lupus eritomatus
menyebabkan tubuh menyerang diri sendiri. Medikasi seperti OAINS,aminoglikosida,
antibiotok anfereteritis b , kemoterapi litium, perawatan kontras IV. Beberapa
penyekit yang merusak membrane glomerulus.
 Pielonefrotis
Dicirikan dengan bercak infeksi interstisial dengan inflamasi di tubulus san int
ertisium dengan pembentukan abses .Inflamsi merusak tubulus oleh sebab itu ginjal
menjadi tidak mampu memekatkan urine mengatur krseimbangan elektrolit dan
mengeluarkan produk sampah.Penebab yang palimg lazim adalah refluks
vesikoreteral.yang menyeababkan bacteria naik ke pelvis ginjal organism peyebab
nya dalah E.coli dan strapilococus aureus.
 Gagal ginjal
Sebagian besar nefron di ginjal sudah tidak berfungsi.Penyebabnya adalah cidera
renal akut dapat memicu gagal ginjal akut.
 Nefrolitasi
Pemadatan garam mineral di sekitar materi organic yang dapat terjadi pada duktus
pengumpulan sistem perkemihan untuk di simpan di suatu bagian ginjal : pelvis gin
jal atau batu ginjal. Sebagian besar batu ginjal terbwntuk dari kalsium , namun
 Pemeriksaan atau Tes Diagnostik

6. Penatalaksanaan infeksi saluran kemih (ISK)

Menurut marlene.2016

a. Pencegahan
 Hindari dehidrasi : ajurkan asupan harian (recommended daily allowance,RDA)
cairan pada dewasa aktif sekitar 30 ml/kg/hari.
 Hindari konstipasi (perbanyak asupan cairan,serat diet, dan olah raga rekreasional)
 Tangani retensi urien, inkontinensia urien atau obstruksi pada saluran keluar kandung
kemih.
 Pertimbangan perbaikan sistokel pada wanita pascamenopause penderita
pengosongan kandung kemih tanpa sempurna dan ISK kambuhan.Ajari wanita
mengenai higienis yang baik setelah ke toilet dan berkemih setelah senggama.
 Tangani infeksi sejak dini, terutama pada pasien dengan penurunan fungsi imun atau
pasien dengan retensi urien, atau disfungsi berkemih.
 Lepas kateter yang yang terpasang dan tangani pasien yang mengalami disfungsi
berkemih dengan program penatalaksanaan alternatif seperti pelatihan kandung
kemih, farmakoterapi untuk inkontinensia urien, kateterisasi intermiten dan/ atau
berkemih terjadwal.
b. Infeksi saluran kemih akut
 Penatalaksanaan empiris cukup memadai untuk infeksi yang pertama padawanita
muda yang tidak sehat ; mulai penatalaksanaan empiris sebelum diperoleh hasil kultur
dan sensitivitas untuk infeksi saluran kemih febris atau komplikata
 Antipiretika dan rawat inap dengan cairan intravena diperlukan bila pielonefritis
disertai dengan mual dan muntah yang bermakna atau urosepsis.
 Pilih antibiotika sesuai laporan kultur dan sensitivitas ( bila anda indikasi), frekuensi
pemberian , risiko vaginitis, biaya yang ditanggung pasien, dan risiko peningkatan
resistensi bakteri ( tabel 14-1).
 Tekankan kepatuhan pada pemberian antibiotik ; tangani infeksi non komplikata
selama 3 hari, infeksi komplikasi selama 7 hari, dan ISK febris selama 14 hari.
 Penanganan suplemen antibiotika dengan analgesik sistem Perkemihan (pyridium
tersedia sebagai obat yang dijual bebas) atau obat kombinasi, seperti Urised.
 Mulai penanganan profilaksis menggunakan krem antijamur pada wanita dengan
riwayat vaginitis saat mendapatkan terapi antibiotika, kecuali bila diberikan
nitrofurantoin.
 Dorong asupan cairan yang memadai; hindari iritan kandung kemih.
B. GLOMERULONEFRITIS AKUT & KRONIS
Glomerulonephritis kronis
1. Definisi glomerulonephritis kronis
Glomerolusnefritis kronis adalah suatu kondisi peradangan yang lama dari sel-sel
glomerolus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerolonefritis akut yg tidak membaik
atau timbul secara spontan. (Muttaqin, Arif & Sari,Kumala, 2011)
Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama dari sel - sel
glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak
membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik sering timbul
beberapa tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus sub klinis yang disertai
oleh hematuria (darah dalam urin) dan proteinuria (protein dalam urin) ringan,
yang sering menjadi penyebab adalah diabetes mellitus dan hipertensi kronik. Hasil
akhir dari peradangan adalah pembentukan jaringan parut dan menurunnya fungsi
glomerulus. Pada pengidap diabetes yang mengalami hipertensi 13 ringan, memiliki
prognosis fungsi ginjal jangka panjang yang kurang baik. ( Corwin, Elizabeth, J.
2000)
Glomerulonefritis kronis (GNK) adalah suatu kondisi peradangan yang lama dari
sel-sel glomerulus dengan diagnosis klinis berdasarkan ditemukannya hematuria dan
proteinuria yang menetap. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang
tidak membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronis sering timbul
beberapa tahun setelah cedera dan peradangan glomerulus subklinis yang disertai oleh
hematuria (darah dalam urine) dan proteinuria (protein dalam urine) ringan (Mutaqqin
dan Sari, 2012; Mansjoer, et al., 2000). Jalan penyakit GNK dapat berubah-ubah. Ada
pasien yang mengalami gangguan fungsi minimal dan merasa sehat. Perkembangan
penyakitnya juga perlahan. Walaupun perkembangan penyakit GNK perlahan atau cepat,
keduanya akan berakhir pada penyakit ginjal tahap akhir (Baradero, 2008).

2. Etiologi glomerulonephritis kronis


Penyebab yang sering adalah diabetes mellitus dan hipertensi kronik. Kedua
penyakit ini berkaitan dengan cedera glomerulus yang bermakna dan berulang. Hasil
akhir dari peradangan tersebut adalah pembentukan jaringan parut dan menurunnya
fungsi glomerulus. Kerusakan glomerulus sering diikuti oleh atropi tubulus. (Muttaqin,
Arif & Sari,Kumala, 2011)
Sebagian besar glomerulonefritis timbul didahului oleh infeksi ekstrarenal,
terutama di traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta
haemolyticus golongan A tipe 12, 4, 16, 25 dan 49. Antara infeksi bakteri dan timbulnya
GN terdapat masa laten selama 10 hari. GN juga dapat disebabkan oleh sifilis, keracunan
(timah hitam, tridion), amiloidosis, trombosis vena renalis, penyakit kolagen, purpura
anafilaktoid, dan lupus eritematosis.
Hubungan antara GN dan infeksi streptococcus ini ditemukan pertama kali oleh
Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan bahwa :
a. Timbulnya GN setelah terjadinya infeksi skarlatina.
b. Diisolasinya kuman sterptococcus beta hemolyticus golongan A.
c. Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum pasien.

Penyebab penyakit ini yaitu :

a. Lanjutan GNA,seringkali tanpa riwayat infeksi(Streptococcus beta hemoliticus


groupA.)
b. Keracunan (timah hitam, tridion).
c. Penyakit sipilis
d. Diabetes mellitus
e. Trombosis vena renalis
f. Hipertensi kronik
g. Penyakit kolagen
h. Penyebab lain yang tidak diketahui yang ditemui pada stadium lanjut.
3. Manifestasi Klinis glomerulonephritis kronis

Gejala glomerulonephritis kronis bervariasi. Banyak klien dengan penyakit yang


telah parah memperlihatkan kondisi tanpa gejala sama sekali untuk beberapa tahun.
Kondisi mereka secara incidental dijumpai ketika terjadi hipertensi atau peningkatan
kadar BUN dan kreatinin serum. Indikasi pertama penyakit dapat berupa perdarahan
hidung, stroke atau kejang yang terjadi secara mendadak. Mayoritas klien mengalami
gejala umum seperti kehilangan berat badan dan kekuatan badan, peningkatan iritabilitas,
dan peningkatan berkemih di malam hari (nokturia). Sakit kepala, pusing, dan gangguan
pencernaan yang umumnya terjadi.
Neuropati perifer disertai hilangnya reflex tendon dan perubahan neurosensory
muncul setelah penyakit terjadi. Pasien mengalami konfusi dan memperlihatkan rentang
perhatian yang menyempit. Temuan lain mencakup pericarditis disertai friksi pericardial
dan pulsus paradoksus (perbadaan tekanan darah lebih dari 10 mmHg selama inspirasi
dan ekspirasi). (Smeltzer & Bare. 2002)
Glomerulonefritis kronis ditandai dengan kerusakan glomerulus secara progresif
lambat akibat glomerulonefritis yang berlangsung lama. Gejala utama yang ditemukan
adalah:
a. Kadang-kadang tidak memberikan keluhan sama sekali sampai terjadi gagal ginjal.
b. Hematuri
c. Edema, penurunan kadar albumin
d. Hipertensi (Biasanya ada serangan ensefalopatihipertensi)
e. Peningkatan suhu badan
f. Sakit kepala, lemah, gelisah
g. Mual, tidak ada nafsu makan, berat badan menurun
h. Ureum dan kreatinin meningkat
i. Oliguri dan anuria
j. Suhu subfebrile
k. Kolestrol darah naik
l. Fungsi ginjal menurun
m. Ureum meningkat + kreatinin serum.
n. Anemia.
o. Gagal jantung kematian
p. Selalu merasa haus dan miksi pada malam hari (nokturia)

4. Komplikasi glomerulonephritis kronis


a. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan
uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang
lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum
kadang-kadang di perlukan.
b. Esefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat
gejala berupa gangguan pada penglihatan, pusing, muntah, dan kejang-kejang. Hal ini
disebabkan spasme pembuluh darah local dengan anoksia dan edema otak.
c. Gangguan sirkulasi berupa dispneu, orthopneu, terdapat ronchi basah, pembesaran
jantung dan meningkatnya TD yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah,
tetapi juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar
dan terjadi Gagal Jantung akibat HT yang menetap dan kelainan di miocardium.
Anemia karena adanya hipervolemia disamping adanya sintesis eritropoetik yang
menurun.

5. Patofisiologi glomerulonephritis kronis

Awalnnya mungkin seperti glomerulonefritis akut atau tampak sebagai tipe reaksi
antigen–antibody yang lebih ringan, kadang–kadang sangat ringan sehingga terabaikan.
Setelah kejadian berulangnya infeksi ini, ukuran ginjal sedikit berkurang sekitar
seperlima dari ukuran normal dan terdiri dari jaringan fibrosa yang luas. Korteks
mengecil menjadi lapisan yang tebalnya 1 sampai 2 mm atau kurang. Berkas jaringan
parut merusak sisa korteks, menyebabkan permukaan ginjal kasar dan irreguler. Sejumlah
glomeruli dan tubulusnya berubah menjadi jaringan parut, dan cabang–cabang arteri renal
menebal. Akhirnya terjadi kerusakan glomerulus yang parah, menghasilkan penyakit
ginjal tahap akhir (ESRG) (Smeltzer, 2001:hlm. 1440).

6. Pemeriksaan Diagnostik glomerulonephritis kronis

a. Urinalitis menunjukkan gravitasi mendekati 1.010,proteinuria dan endapan urinarius


(butr-butir yang disekresi oleh tubulus ginjal yang rusak). Kriteria pemeriksaan urin

 Warna
Secara abnormal warna urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus, bakteri,
lemak, fosfat atau uratsedimen. Warna urine kotor, kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin
 Volume urine
Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam bahkan tidak ada urine (anuria)
 Berat jenis
Kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan ginjal berat
 Osmolalitas

Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal tubular dan rasio
urin/serum sering 1:1

 Protein
Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan kerusakan glomerulus
bila SDM dan fragmen juga ada
 Klirens kreatinin
Agak menurun
 Natrium
Lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium

b. Ketika gagal ginjal terjadi dan filtrasi glomerulus menurun dibawah 50ml/menit(N :
100-120ml/menit,1,67-2,00 ml/detik,maka terjadi perubahan :

 Hiperkalemia akibat penurunan eskresi,masukan dari makanan dan


medikasi,asidosis dan katabolisme.
 Asidosis metabolic akibat sekresi asam oleh ginjal dan ketidakmampuan untuk
regenerasi bikarbonat.
 Anemia akibat penurunan eritropoesis (produk SDM)
 Hipoalbuminemia disertai edema akibat kehilangan protein melalui membrane
glomerulus yang rusak.
 Serum kalsium meningkat
 Hipermagnesrumia akibat penurunan eskresi dan ingesti antacid yang
mengandung magnesium.
 Kerusakan hantaman saraf akibat abnormalitas elektrolidt dan uremia
 Pemeriksaan sinar X pada dada menunjukkan pembesaran jantung dan edema
pulmoner
 EKG mungkin normal imun dapat juga menunjukkan adanya hipertensi disertai
hipertropi ventrikel kiri dan gangguan elektrolit,seperti hiperkalemia dan puncak
gelombang T.
 Ultrasonografi Ginjal (Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas)
 Endoskopi Ginjal, Nefroskopi (Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu,
hematuria dan pengangkatan tumor selektif)
 Arteriogram Ginjal (Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular, masa).
 Pemeriksaan laboratorium

1) LED (Laju Endap Darah) meningkat.

2) Kadar Hb menurun sebagai akibat hipervolemia (retensi garam dan air).

3) Ht : menurun karena adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 gr/dl

4) Pemeriksaan urin menunjukkan jumlah urin menurun, Berat jenis urine meningkat.

5) Hematuri makroskopis ditemukan pada 50% pasien, ditemukan :Albumin (+),


eritrosit (++), leukosit (+), silinder leukosit, eritrosit, dan hialin.
6) Albumin serum sedikit menurun, komplemen serum (Globulin beta- IC) sedikit
menurun.

7) Ureum dan kreatinin meningkat.

8) Titer antistreptolisin umumnya meningkat, kecuali kalau infeksi streptococcus


yang mendahului hanya mengenai kulit saja.

9) BUN/ kreatinin: meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir

10) Uji fungsi ginjal normal pada 50% pasien.

11) GDA: asidosis metabolik, pH kurang dari 7,2

7. Penatalaksanaan glomerulonephritis kronis

Penatalaksanaan dibagi menjadi 2, yaitu medik dan perawatan:

Medik

1. Pengobatan ditujukan pada gejala klinik dan gangguan elektrolit.

2. Pengobatan aktivitas sehari-hari sesuai batas kemampuan pasien.

3. Pengawasan hipertenasi antihipertensi.

4. Pemberian antibiotik untuk infeksi.

5. Dialisis berulang untuk memperpanjang harapan hidup pasien.

Keperawatan

1. Disesuaikan dengan keadaan pasien.

2. Pasien dianjurkan secara teratur untuk senantiasa kontrol pada ahlinya.

3. Program diet ketat tetapi cukup asupan gizinya.

4. Penjelasan kepada pasien tentang pambatasan aktivitas sesuai kemampuannya.


5. Anjuran kontrol ke dokter harus ditaati untuk mencegah berlanjut ke sindrom
nefrotik atau GGK.Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi
penyembuhan kelainan di glomerulus.

a. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu dahulu dianjurkan selama 6-8 minggu.

b. Pemberian penisilin pada fase akut.

c. Pemberian antibiotik ini tidak mempengaruhi beratnya glomerulonefritis,


melainkan mengurangi penyebaran infeksi streptococcus yang mungkin masih ada.
Pemberian penisilin dianjurkan hanya untuk 10 hari. Pemberian profilaksis yang lama
sesudah nefritisnya sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan, karena terdapat
imuntas yang menetap.

d. Pengaturan dalam pemberian cairan (perlu diperhatikan keseimbangan cairan dan


elektrolit). Pemberian diet rendah protein ( 1 gr/kg BB/hari) dan rendah garam (1 gr/hari).
Makanan lunak dinerikan pada pasien dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu
normal kembali. Bila ada anuria/muntah diberikan IVFD dengan larutan glukosa 10%.
Komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria maka jumlah cairan
yang diberikan harus dibatasi.

e. Pengobatan terhadap hipertensi.

f. Bila anuri berlangsung lama (5-7) hari, maka ureum harus dikeluarkan dari dalam
darah. Dapat dengan cara peritoneum dialisis, hemodialisis, transfusi tukar dan
sebagainya.

g. Diuretikum dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi akhir-akhir ini
pemberian furosemid (lasix) secara intravena (1 mg/kg BB/kali) dalam 5-10 menit tidak
berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus.

Glomerulonephritis akut

1. Definisi glomerulonephritis akut

Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak pada


kedua ginjal. Peradangan akut glomerulonefritis terjadi akibat pengendapan kompleks
antigen antibodi di kapiler-kapiler glomerulus. Kompleks biasanya terbentuk 7-10 hari
setelah infeksi faring atau kulit oleh streptokokus (glomerulonefritis pascastreptokokus)
tetapi dapat juga timbul setelah infeksi lain. (Ariff Muttaqin, 2011)

Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal


terhadap bakteri atau virus tertentu. Yang sering terjadi akibat infeksi kuman
streptococcus. (Kapita selekta, 2000)

Glomerulusnefritis akut merujuk pada kelompok penyakit ginjal, dimana terjadi


reaksi peradanagn di glumerulus. Glomerulosnefritis bukanlah merupakan infeksi pada
ginjal,tetapi gangguan akibat mekanisme tubuh terhadap system imun (Nursalam,2008)

2. Epidemiologi glomerulonephritis akut

Pada penelitian insidensi di Amerika, GNPSA ditemukan pada 10% anak dengan
faringitis dan 25% anak dengan impetigo. Salah satu studi menemukan bahwa faktor
predominan untuk GNPSA pada anak adalah faringitis. Penyakit ini paling sering
menyerang anak dalam rentang umur 2-12 tahun. Penelitian menunjukkan bahwa 5%
anak yang terkena berusia di bawah 2 tahun dan10% adalah orang dewasa dengan usia di
atas 40 tahun. Anak laki-laki memiliki resiko dua kali lebih besar untuk terkena GNPSA
dibanding anak perempuan. Tidak ada predileksi ras dan genetik.

Glomerulonefritis akut pasca streptokok yang klasik terutama menyerang anak


dan orang dewasa muda, dengan meningkatnya usia frekuensinya makin berkurang. Pria
lebih sering terkena daripada wanita.Lebih sering pada musim dingin dan puncaknya
pada musim semi. Paling sering pada anak-anak usia sekolah.

3. Etiologi / Penyebab glomerulonephritis akut

Faktor penyebab yang mendasari sindrom ini secara luas dapat dibagi menjadi
kelompok infeksi dan noninfeksi.

a. Infeksi :
1)Infeksi streptokokus terjadi sekitar 5-10 % pada orang dengan radang
tenggorokan dan 25 % pada mereka dengan infeksi kulit. Penyebab nonstreptokokus
meliputi bakteri, virus, dan parasit.

Bakteri :

streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans, Gonococcus, Leptospira,


Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus, Salmonella typhi dll

Virus :

hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis epidemika dl

Parasit :

malaria dan toksoplasma

b. Noninfeksi :

• Penyakit sitemik multisistem seperti, lupus eritematosus sitemik (SLE), vaskulitis


(Poliarteritis nodosa Purpura Henoch-schonlein) indrom goodpasture, granulomatosis
wagener.

4. Faktor Predisposisi glomerulonephritis akut

a. Infeksi pada kulit

b.Varicella

c.Epstein barr

d.Hepatitis B

e.Inveksi hiv

f.Gondongan

g.Infeksi pernapasan atas

5. Patofisiologi glomerulonephritis akut


Diduga mekanisme yang terjadi pada GNAPS adalah suatu proses kompleks imun
dimana antibodi dari tubuh akan bereaksi dengan antigen yang beredar dalam darah dan
komplemen untuk membentuk suatu kompleks imun. Kompleks imun yang beredar
dalam darah dalam jumlah yang banyak dan waktu yang singkat melekat pada kapiler-
kapiler glomerulus dan terjadi kerusakan mekanis melalui aktivasi sistem komplemen,
reaksi peradangan dan mikrokoagulasi (Geetha D, 2005).
Periode laten antara infeksi streptokokus dengan kelainan glomerulus
menunjukkan proses imunologis memegang peran penting dalam mekanisme penyakit.
Diduga respon yang berlebihan dari sistem imun pejamu pada stimulus antigen dengan
produksi antibodi yang berlebihan menyebabkan terbentuknya kompleks Ag-Ab yang
nantinya melintas pada membran basal glomerulus. Selanjutnya komplemen akan
terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear
(PMN) dan trombosit menuju tempat lesi (Noer MS, 2002).
Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endothel dan membran
basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul proliferasi
sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel. Semakin
meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus menyebabkan protein dan sel darah merah
dapat keluar ke dalam urine yang sedang dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria
dan hematuria (Sekarwana HN, 2001).
Hipotesis lain adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus akan
mengubah IgG endogen menjadi autoantigen. Terbentuknya autoantibodi terhadap IgG
yang telah berubah tersebut, mengakibatkan pembentukan komplek imun yang
bersirkulasi, kemudian mengendap dalam ginjal (Maker SP, 1992).
Pada kasus ringan, pemeriksaan dengan mikroskop cahaya menunjukkan kelainan
minimal. Biasanya terjadi proliferasi ringan sampai sedang dari sel mesangial dan
matriks. Pada kasus berat terjadi proliferasi sel mesangial, matriks dan sel endotel yang
difus disertai infiltrasi sel polimorfonuklear dan monosit, serta penyumbatan lumen
kapiler. Pada pemeriksaan mikroskop elektron, adanya cedera kompleks imun
diperlihatkan oleh endapan-endapan terpisah atau gumpalan karateristik pada
mesangium, subendotel, dan epimembranosa. Dengan miskroskop imunofluoresensi
terlihat pula pola nodular atau granular serupa, dan terlihat molekul antibodi seperti IgG,
IgM (atau IgA serta komponen-komponen komplomen seperti C3, C4 dan C2 (Noer MS,
2002).
6. Gejala Klinis glomerulonephritis akut

Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara


menahun (kronis), seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Lebih dari
50 % kasus GNAPS adalah asimtomatik. Kasus klasik atau tipikal diawali dengan infeksi
saluran napas atas dengan nyeri tenggorok dua minggu mendahului timbulnya sembab.
Glomeruli mengalami kerusakan akibat penimbunan antigen dari gumpalan bakteri
streptokokus yang mati dan antibodi yang menetralisirnya. Gumpalan ini membungkus
selaput glomeruli dan mempengaruhi fungsinya (Lumbanbatu SM, 2003).

Periode laten berkisar 10 atau 21 hari setelah infeksi tenggorok atau kulit.
Manifestasi klinis GNA sangat bervariasi, mulai dari yang ringan atau tanpa gejala
sampai yang berat. Gejala pertama yang paling sering ditemukan adalah edema atau
sembab palpebra. Hematuria berat sering menyebabkan orangtua membawa anaknya
berobat ke dokter. Penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edema) terjadi di
sekitar wajah dan kelopak mata (infeksi post streptokokal). Pada awalnya edema timbul
sebagai pembengkakan di wajah dan kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan di
tungkai dan bisa menjadi hebat (Lumbanbatu SM, 2003).

Edema (perifer atau periorbital), 85% ditemukan pada anakanak, edema bisa
ditemukan sedang sampai berat. Menurut penelitian yang dilakukan di RSCM Jakarta
mengenai gambaran klinis GNAPS pada anak didapatkan bahwa edema merupakan
manifestasi klinis yang sering ditemukan yaitu sekitar 87%, dan kadang-kadang disertai
edema paru (14%) atau gagal jantung kongestif (2%) (Pardede SO, 2005).

Gejala lain yaitu hematuria atau kencing yang mengandung darah baik secara
makroskopik maupun mikroskopik. Hematuria makroskopis yang tidak disertai rasa nyeri
merupakan gejala yang sering ditemukan. Gross hematuria terjadi pada 3050 % pasien
yang dirawat (Sekarwana HN, 2001). Hematuria mikroskopis umumnya didapatkan pada
semua pasien. Eritrosit pada urin terdapat pada 60-85% kasus, menunjukkan adanya
perdarahan glomerulus (Fairly KF, 1991).
Oligouri atau volume kencing yang sedikit ditemukan pada 69% kasus GNAPS di
RSCM tahun 2005. Oligouri atau anuria timbul akibat terjadinya penurunan filtrasi
glomerolus ginjal (Pardede SO, 2005). Hipertensi ditemukan pada hampir semua pasien
GNAPS, biasanya ringan atau sedang. Hipertensi pada GNAPS dapat mendadak tinggi
selama 3-5 hari. Setelah itu tekanan darah menurun perlahan-lahan dalam waktu 1-2
minggu (Lumbanbatu, 2003). Variasi lain yang tidak spesifik bisa dijumpai seperti
demam, malaise, nyeri, nafsu makan menurun, nyeri kepala, atau lesu (Noer MS, 2002).

7. Klasifikasi glomerulonephritis akut

a.Congenital (herediter)

1)Sindrom Alport

Suatu penyakit herediter yang ditandai oleh adanya glomerulonefritis


progresif familial yang seing disertai tuli syaraf dankelainan mata seperti
lentikonus anterior. Diperkirakan sindrom alport merupakan penyebab dari 3%
anak dengan gagal ginjal kronik dan 2,3% dari semua pasien yang mendapatkan
cangkok ginjal. Dalam suatu penelitian terhadap anak dengan hematuria yang
dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal, 11% diantaranya ternyata penderita sindrom
alport. Gejala klinis yang utama adalah hematuria, umumnya berupa hematuria
mikroskopik dengan eksasarbasi hematuria nyata timbul pada saat menderita
infeksi saluran nafas atas. Hilangnya pendengaran secara bilateral dari
sensorineural, dan biasanya tidak terdeteksi pada saat lahir, umumnya baru
tampak pada awal umur sepuluh tahunan.

2) Sindrom Nefrotik Kongenital

Sinroma nefrotik yang telah terlihat sejak atau bahkan sebelum lahir.
Gejala proteinuria massif, sembab dan hipoalbuminemia kadang kala baru
terdeteksi beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian. Proteinuria
terdapat pada hamper semua bayi pada saat lahir, juga sering dijumpai hematuria
mikroskopis. Beberapa kelainan laboratories sindrom nefrotik (hipoproteinemia,
hiperlipidemia) tampak sesuai dengan sembab dan tidak berbeda dengan sindrom
nefrotik jenis lainnya.
b. Glomerulonefritis Primer

1) Glomerulonefritis membranoproliferasif

Suatu glomerulonefritis kronik yang tidak diketahui etiologinya dengan


gejala yang tidak spesifik, bervariasi dari hematuria asimtomatik sampai
glomerulonefitis progresif. 20-30% pasien menunjukkan hematuria mikroskopik
dan proteinuria, 30 % berikutnya menunjukkan gejala glomerulonefritis akut
dengan hematuria nyata dan sembab, sedangkan sisanya 40-45% menunjukkan
gejala-gejala sindrom nefrotik. Tidak jarang ditemukan 25-45% mempunyai
riwayat infeksi saluran pernafasan bagian atas, sehingga penyakit tersebut dikira
glomerulonefritis akut pasca streptococcus atau nefropati IgA.

2) Glomerulonefritis membranosa

Glomerulonefritis membranosa sering terjadi pada keadaan tertentu atau


setelah pengobatan dengan obat tertentu. Glomerulopati membranosa paling
sering dijumpai pada hepatitis B dan lupus eritematosus sistemik. Glomerulopati
membranosa jarang dijumpai pada anak, didapatkan insiden 2-6% pada anak
dengan sindrom nefrotik. Umur rata-rata pasien pada berbagai penelitian berkisar
antara 10-12 tahun, meskipun pernah dilaporkan awitan pada anak dengan umur
kurang dari 1 tahun. Tidak ada perbedaan jenis kelamin. Proteinuria didapatkan
pada semua pasien dan sindrom nefrotik merupakan 80% sampai lebih 95% anak
pada saat awitan, sedangkan hematuria terdapat pada 50-60%, dan hipertensi
30%.

3) Nefropati IgA (penyakit berger)

Nefropati IgA biasanya dijumpai pada pasien dengan glomerulonefritis


akut, sindroma nefrotik, hipertensi dan gagal ginjal kronik. Nefropati IgA juga
sering dijumpai pada kasus dengan gangguan hepar, saluran cerna atau kelainan
sendi. Gejala nefropati IgA asimtomatis dan terdiagnosis karena kebetulan
ditemukan hematuria mikroskopik. Adanya episode hematuria makroskopik
biasanya didahului infeksi saluran nafas atas atau infeksi lain atau non infeksi
misalnya olahraga dan imunisasi.

c. Glomerulonefritis sekunder

Golerulonefritis sekunder yang banyak ditemukan dalam klinik yaitu


glomerulonefritis pasca streptococcus, dimana kuman penyebab tersering adalah
streptococcus beta hemolitikus grup A yang nefritogenik terutama menyerang anak pada
masa awal usia sekolah. Glomerulonefritis pasca streptococcus datang dengan keluhan
hematuria nyata, kadang-kadang disertai sembab mata atau sembab anasarka dan
hipertensi.

8. Pemeriksaan Diagnostik / penunjang glomerulonefritis akut

a. Urinalisis: hematuria , proteinuria, endapan sel darah merag, sel darah putih, epitel sel
renal, dan berbagai endapan dalam sedimen.

b.Radiologi : ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan menilai derajat komplikasi yang
terjadi.

c.Foto polos abdomen : untuk menilai bentuk dan besar ginjal (batu atau obstruksi).
Dehidrasi dapat memperburuk keadaan ginjal, oleh karena itu penderita diharapkan tidak
puasa.

d.USG : untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal.

e.IVP (Intra Vena Pielografi) : untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter. Pemeriksaan
ini beresiko penurunan faal ginjal pada keadaan tertentu. Misal : DM, usia lanjut, dan
nefropati asam urat.

f.Darah: peningkatan BUN dan kreatinin, albumin rendah, lipid meningkat, titer
antistreptolysin meningkat (dari reaksi organism streptokokus)

g.Renogram : untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan.

h.Pemeriksaan Pielografi Retrograd bila dicurigai obstruksi yang reversibel.


i.EKG : untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis,
aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia). 081999533811

j.Biopsi ginjal dengan jarum pada ginjal, sumbatan kapiler glomerulus dari proliferasi sel
endotetelial

9. Penatalaksanaan

Penanganan pasien adalah suportif dan simtomatik. Pengobatan ditujukan


terhadap penyakit yang mendasarinya dan komplikasi yang ditimbulkannya (Sekarwana
HN, 2001).

Perawatan dibutuhkan apabila dijumpai penurunan fungsi ginjal sedang sampai


berat ( klirens kreatinin < 60 ml/1 menit/1,73 m2), BUN > 50 mg, anak dengan tanda dan
gejala uremia, muntah, letargi, hipertensi ensefalopati, anuria atau oliguria (Hilmant D,
2007).

Tindakan umum pasien glomerolunefritis akut adalah istirahat di tempat tidur sampai
gejala edema dan kongesti vaskuler (dispneu, edema paru, kardiomegali, hipertensi)
menghilang, kirakira selama 3-4 minggu. Diit yang berupa pembatasan masukan garam
(0,5-1 gr/hari) dan cairan selama edema, oligouria atau gejala vaskuler dijumpai. Protein
dibatasi (0,5/KgBB/hari) bila kadar ureum diatas 50 gr/dL. Pengobatan dengan diuretika
untuk penanggulangan edema dan hipertensi ringan disamping diit rendah garam,
diberikan furosemide (1-2) mg/KgBB/hari oral dibagi atas 2 dosis sampai edema dan
tekanan darah turun (Lumbanbatu SM, 2003). Antihipertensif diberikan pada hipertensi
sedang dan berat. Hipertensi sedang (tekanan darah sistolik > 140 –150 mmHg dan
diastolik > 100 mmHg) diobati dengan pemberian hidralazin oral atau intramuskular
(IM), nifedipin oral atau sublingual. Pada hipertensi berat diberikan hidralazin 0,15-0,30
mg/kbBB intravena, dapat diulang setiap 2-4 jam atau reserpin 0,03-0,10 mg/kgBB (1-3
mg/m2) iv, atau natrium nitroprussid 1-8 m/kgBB/menit. Pada krisis hipertensi (sistolik
>180 mmHg atau diastolik > 120 mmHg) diberi diazoxid 2-5 mg/kgBB iv secara cepat
bersama furosemid 2 mg/kgBB iv. Pilihan lain, klonidin drip 0,002 mg/kgBB/kali,
diulang setiap 4-6 jam atau diberi nifedipin sublingual 0,25-0,5 mg/kgBb dan dapat
diulang setiap 6 jam bila diperlukan. Pada hipertensi ringan (tekanan darah sistolik 130
mmHg dan diastolik 90 mmHg) umumnya diobservasi tanpa diberi terapi (Noer MS,
2002).

Pemakaian antibiotik untuk eradikasi organisme dan mencegah penyebaran ke


individu lain. Diberikan antimikroba berupa injeksi benzathine penisilin 50.000 U/kg BB
IM atau eritromisin oral 40 mg/kgBB/hari selama 10 hari bila pasien alergi penisilin.
GNAPS dengan komplikasi berat seperti kongesti vaskuler (edema paru, kardiomegali)
perlu diberikan diuretika furosemide parenteral (1-2 mg/KgBB/kali). Pasien disarankan
kontrol tiap 4-6 minggu dalam 6 bulan pertama setelah awitan nefritis. Pengukuran fisik
dan lab yang meliputi tekanan darah, pemeriksaan eritrosit dan protein urin selama 1
tahun lebih bermanfaat untuk menilai perbaikan (Geetha D, 2005).

C. SYNDROM NEFROTIK

Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit glomerular yang ditandai dengan edema,
proteinuria masif >3,5 gram/hari, hipoalbunemia <3,5 gram/hari, hiperkolesterolemia dan
lipiduria. (Kodner, 2016)

Insiden sindrom nefrotik pada dewasa terjadi 3 per 100.000 populasi. Rata – raa 80%-
90% kasus sindrom nefrotik pada dewasa penyebabnya masih belum diketahui. Nefropati
membranosa merupakan penyebab paling sering pada ras kulit putih dan glomerulosklerosis
fokal segmental paling sering terjadi pada ras kulit hitam, dimana setiap gangguan tersebut rata –
rata 30% hingga 35% kasus pada dewasa. Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh
glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan ikat, obat
atau toksin dan akibat penyakit sitemik. (Charles, 2009)

Penyebab Sindrom Nefrotik sangat luas maka anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan urin termasuk pemeriksaan sedimen perlu dengan cermat. Pemeriksaan kadar
albumin dalam serum, kolesterol dan trigliserid juga membantu penilaian terhadap sindrom
nefrotik. Anamnesis penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi dan riwayat penyakit
sistemik lain perlu diperhatikan. Manajemen dari Sindrom nefrotik yaitu mengatasi
penyababnya, memberikan terapi berdasarkan gejalanya serta pada beberapa kasus diberikan
agen immunosuppressant. (Kharisma, 2017)

1. Definisi syndrome nefrotik


Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit glomerular yang ditandai dengan
edema, proteinuria masif >3,5 gram/hari, hipoalbunemia <3,5 gram/hari,
hiperkolesterolemia dan lipiduria. (Kodner, 2016)
Sindrom nefrotik memiliki berbagai efek metabolik yang berdampak pada
individu, beberapa episode sindrom nefrotik adalah self-limited dan sebagian diantaranya
respon dengan terapi spesifik, sementara sebagiannya lagi merupakan kondisi kronis.
(Kharisma, 2017)
2. Etiologi syndrome nefrotik
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder
akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan ikat, obat atau toksin dan akibat penyakit
sitemik. Penyebab sindrom nefritik pada dewasa dihubungkan dengan penyakit sistemik
seperti diabetes mellitus, amiloidosis atau lupus eritemtosis sistemik. Berikut merupakan
klasifikasi dan penyebab sindrom nefrotik.(PAPDI,2014)
Klasifikasi dan penyebab sindrom nefrotik:
1) Glomerulonefritis primer
a. GN lesi minimal
b. Glomerulosklerosis segmental
c. GN membranosa
d. GN membranoproliferatif
e. GN proliferatif lain
2) lomerulonefritis sekunder
a. Infeksi (HIV, hepatitis B dan C, Sifilis, malaria, skistosoma, tuberkulosis
dan lepra)
b. Keganasan (adenosarkoma paru, payudara, kolon, limfoma hodgkin,
mieloma multipel dan karsinoma ginjal)
c. Connective tissue disease ( SLE, artritis reumatoid, mixed connective
3. Patofisiologi syndrome nefrotik
 Proteinuria
Ada tiga jenis proteinuria yaitu glomerular, tubular dan overflow. Kehilangan
protein pada sindrom nefrotik termasuk dalam proteinuria glomerular. Proteinuria
pada penyakit glomerular disebabkan oleh meningkatnya filtrasi makromolekul
melewati dinding kapiler glomerulus. Hal ini sering diakibatkan oleh kelainan pada
podosit glomerular. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus mempunyai
mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang
pertama berdasarkan ukuran molekul dan yang kedua berdasarkan muatan listriknya.
(Charles, 2009) Pada sindrom nefrotik kedua mekanisme tersebut
terganggu.proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran
molekul protein yang keluar melalui urin. Protein selktif apabila protein yang keluar
terdiri dari molekul kecil mialnya albumin, sedangkan yang non-selektif apabila
protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. (Kodner, 2016)
 Hipoalbuminemia
Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130- 200
mg/kg) dan jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme.
Katabolisme secara dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme
pada tubulus proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada
pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya
protein dalam urin yang berlebihan dan peningkatan katabolisme albumin.
(Kharisma, 2017)
 Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom
nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema.
Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik
intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya
peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga
terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu
fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi
hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular
menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang
intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema. (Kharisma, 2017)
 Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum
meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan antara
lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein
menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun
karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang
mengambil lemak dari plasma. Beberapa peningkatan serum lipoprotein yang di
filtrasi di glomerulus akan mencetuskan terjadinya lipiduria sehingga adanya temuan
khas oval fat bodies dan fatty cast pada sedimen urin. (Kulsrestha, 2009)
4. Diagnosis syndrome nefrotik
Berdasarkan pemikiran bahwa penyebab Sindrom Nefrotik sangat luas maka
anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan urin termasuk pemeriksaan sedimen
perlu dengan cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum, kolesterol dan trigliserid
juga membantu penilaian terhadap sindrom nefrotik. (Floege, 2015)
1) Gambaran Klinis

Anamnesis pada pasien sindrom nefrotik dengan keluhan yang sering didapat yaitu
edema atau bengkak. Edema biasanya berawal pada area ekstremitas bawah seperti kedua
kaki dengan tekanan hidrostatik intravaskuler yang tinggi.

2) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakaukan pada sindrom nefrotik adalah sebagai
berikut :
a. Urinalisis dan biakan urin, dilakukan jika terdapat gejala klinis yang mengarah
pada infeksi saluran kemih (ISK).
b. Protein urin kuantitatif ; Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan urin 24 jam
atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari,pemeriksaan ini bertujuan
untuk mengetahui derajat dari proteinuria.
c. Pemeriksaan darah ; Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis
leukosit, trombosit, hematokrit, LED), Albumin dan kolesterol serum, Ureum,
kreatinin, dan klirens kreatinin. (UKK Nefrologi IDAI,
2014)
d. Pemeriksaan Radiologi ; dapat dilakukan USG ginjal untuk mengidentifikasi
trombosis vena renalis jika terdapat indikasi curiga adanya keluhan nyeri pinggang
(flank pain), hematuria atau gagal ginjal akut.
e. Pemeriksaan Histopatologi; pada pemeriksaan ini dapat dilakukan biopsi ginjal,
pemeriksaan ini direkomendasikan pada pasien sindrom nefrotik untuk
mengkonfirmasi subtipe penyakitnya atau untuk konfirmasi diagnosis. Meskipun
begitu, belum ada guidline yang pasti menjelaskan kapan biposi ginjal di indikasikan.
(Charles, 2009)
5. Manajemen syndrome nefrotik
Manajemen dari Sindrom nefrotik yaitu mengatasi penyababnya, memberikan
terapi berdasarkan gejalanya serta pada beberapa kasus diberikan agen
immunosuppressant jika terdapat masalah di ginjal.
a. Manajemen Non-Farmakologis
1) Nutrisi dan Cairan
Karena adanya mekanisme retensi natrium pada sindrom nefrotik, maka beberapa
literatur merekomendasikan diet natrium yang dibatasi agar kurang dari 3
gram/hari dan diet cairan < 1500 ml/hari. Diet rendah garam diberikan untuk
menurunkan derajat edema dan sebaiknya kurang dari 35% kalori berasal dari
lemak untuk mencegah obesitas selama terapi steroid dan mengurangi
hiperkolesterolemia.(Kodner, 2016) Pasien disarankan untuk istirahat, retriksi
asupan protein dengan diet protein 0,8 gram/kgBB/hari serta ekskresi protein
urin/24 jam dan jika fungsi ginjal menurun maka diet disesuaikan hingga 0,6
gram/kgBB/hari disertai ekskresi protein dalam urin/24 jam kemudian diet rendah
kolesterol <600 mg/hari dan berhenti merokok. (PPK PAPDI, 2015)
 Farmakologis
1) Direutik
Pasien dengan nefrosis resisten terhadap diuretik, bahkan jika filtrasi
glomerulus tingkat normal. Loop diuretik bekerja pada ginjal tubulus dan harus
terikat protein agar efektif. Protein serum yang berkuran pada sindrom nefrotik
akan membatasi efektivitas loop diuretik, dan pasien mungkin memerlukan lebih
tinggi dari dosis normal. Mekanisme lain untuk resistensi diuretik juga
dimungkinkan terjadi, diuretik loop oral dengan administrasi dua kali sehari
biasanya lebih disukai karena mekanisme aksinya memiliki durasi yang lebih
lama. Namun, pada sindrom nefrotik dan edema yang parah,penyerapan diuretik
gastrointestinal mungkin tidak pasti karena dinding usus edema, dan diuretik
intravena mungkin diperlukan. Diuresis harus relative bertahap dan dipandu oleh
penilaian berat badan harian, dengan target 1 hingga 2 kg per hari.
Furosemide (Lasix) pada 40 mg per oral dua kali setiap hari atau
bumetanide
1 mg dua kali sehari merupakan dosis awal yang masuk akal, dengan perkiraan
menggandakan dosis setiap satu hingga tiga hari jika ada peningkatan yang tidak
memadai pada edema atau bukti lain adanya kelebihan cairan. Batas atas
perkiraan untuk furosemide adalah 240 mg per dosis atau total 600 mg per hari,
tetapi tidak ada bukti atau alasan yang jelas untuk batas ini. Jika masih ada
kekurangan respon klinis, pasien dapat dirawat dengan mengubah ke diuretik loop
intravena, menambahkan diuretik tiazid oral, atau memberikan bolus intravena
20% albumin manusia sebelum bolus diuretik intravena. (Kahrisma, 2017)
2) ACE-Inhibitor
Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor menunjukkan dapat menurunkan
proteinuria dengan menurunkan tekanan darah, mengurangi tekanan
intraglomerular dan aksi langsung di podosit, dan mengurangi risiko progresifitas
dari gangguan ginjal pada pasien sindrom nefrotik sekunder.Dosis yang
direkomendasikan masih belum jelas, tapi pada umumnya digunakan enalapril
dengan dosis 2,5 – 20 mg/hari. (Charles, 2009)
3) Terapi Kortikosteroid
Yang digunakan sebagai immunosupressan pada sindrom nefrotik adalah
golongan glukokortikoid yaitu prednison, prednisolon dan metilprednisolon.
Penatalaksanaan sindrom nefrotik dengan kortikosteroid yaitu :
a. Sebelum pemberian kortikosteroid perlu dilakukan skrining untuk menentukan
ada tidaknya TBC
b. Pengobatan dengan prednison secara luas menggunakan standar dari ISKDC
yaitu :
 4 minggu pertama diberikan prednison 60 mg/hari (2 mg/kgBB) dibagi dalam
3-4 dosis sehari. Dosis ini diteruskan selama 4 minggu tanpa memperhatikan
adanya remisi atau tidak (maksimum 80 mg/hari)
 4 minggu kedua diberikan prednison diteruskan dengan dosis 40 mg/hari,
diberikan dengan cara intermiten, yaitu 3 hari berturut turt dalam 1 minggu
dengan dosis tunggal setelah makan pagi atau alternate (selang 1 hari dengan
dosis tunggal setelah makan pagi)
 Tappering off prednison pelan – pelan diturunkan setiap minggu nya menjadi
30 mg, 20 mg, 10 mg/hari diberikan secara intermiten atau alternate.
 Jika terjadi relapse maka pengobatan diulangi dengan cara yang sama. (UKK
Nefrologi IDAI, 2014)
4) Terapi Hiperlipidemia
Beberapa studi menyatakan bahwa terdapat peningkatan risiko atherogenesis atau
miokard infark pada pasien dengan sindrom nefrotik yang berkaitan dengan
peningkatan level lipid. Sehingga disarankan untuk pemberian hipolipidemic
agents pada pasien sindrom nefrotik. (Charles, 2009)
5) Terapi Antibiotik
Terapi ini digunakan jika pasien sindrom nefrotik mengalami infeksi, infeksi
tersebut harus di atasi dengan adekuat untuk mengurangi morbiditas. Jenis
antibiotik yang banyak dipakai yaitu golongan penisilin dan sefalosporin.(Floege,
2015)
6) Antikoagulan
Tidak ada rekomendasi dari studi terbaru mengenai antikoagulan sebagai
profilaktik untuk mencegah adanya tromboemboli pada pasien sindrom nefrotik
yang tanpa riwayat tromboemboli sebelumnya. Sedangkan terapi antikoagulan
dapat diberikan pada pasien sindrom nefrotik dengan Riwayat tromboemboli
sebelumnya sebagai profilaksis.(Charles, 2009)
6. Komplikasi syndrome nefrotik
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan sindrom nefrotik:
 Keseimbangan Nitrogen Negatif
Proteinuria masif akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi negatif,
yang secara klinis dapat diukur dengan kadar albumin plasma. Diet tinggi protein
tidak terbukti memperbaiki metabolisme albumin karena respon hemodinamik
terhadap asupan yang meningkat adalah meningkatnya tekanan glomerulus yang
menyebabkan kehilangan protein dalam urin yang semakin banyak. Diet rendah
protein akan mengurangi proteinuria namun juga menurunkan kecepatan sintesis
albumin dan dalam jangka panjang akan meningkatkan risiko memburuknya
keseimbangan nitrogen negatif.
 Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada sindrom nefrotik akibat
peningkatan koagulasi intravaskular. Kadar berbagai protein yang terlibat dalam
kaskade koagulasi terganggu pada sindrom nefrotik serta agregasi paltelet ikut
meningkat. Gangguan koaglasi yang terjadi disebabkan oleh peningkatan sisntesis
protein oleh hati dan kehilangan protein melalui urin.
 Hiperlipidemia dan lipiduria
Merupakan keadaan yang serig menyertai sindrom nefrotik. Respon
hiperlipidemik sebagian dicetuskan oleh menurunnya tekanan onkotik plasma, serta
derajat hiperlipidemia berbanding terbalik dan berhubungan erat dengan menurunnya
tekanan onkotik. Kondisi hiperlipidemia dapat reversibel seiring dengan resolusi dari
sindronefrotik yang terjadi baik secara spontan maupun diinduksi dengan obat.
 Gangguan metabolisme kalsium dan tulang
Vitamin D yang terikat protein maka akan diekskresikan melalui uring sehingga
terjadi penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25 (OH)2D plasma juga ikut
menurunan sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalamu gangguan.
 Infeksi
Infeksi merupakan penyebab tersering terjadinya kematian pada sindrom nefrotik
terutama oleh organisme berkapsul. Infeksi pada sindrom nefrotik terjadi akibat defek
imunitas humoral, seluler dan gangguan Sistema komplemen. (PAPDI, 2014)
7. Prognosis syndrome nefrotik
Prognosis pada sindrom nefrotik sangat bergantung dari penyebab dasarnya,
pemeriksaan histologi dan faktor risiko dari pasien. Meskpiun sebagia besar pasien
membaik dengan terapi suportif dan tidak memerlukan terapi spesifik,akan tetapi ada
beberapa yang memburuk secara agresif sehingga memerlukan terapi spesifik. (Kodner,
2016)
D. GAGAL GINJAL

Gagal ginjal adalah ketidakmampuan untuk mengekskresikan zat sisa (sampah)


tubuh, meningkatkan urine, dan menyimpan elektrolit. Keadaan ini dapat terjadi secara tiba-
tiba (GGA) sebagai respon terhadap berfungsi darah yang ade kuat, atau dapat terjadi secara
perlahan-lahan (GGK) sebagai akibat dari penyakit atau anomali ginjal yang berlangsung
lama.

Gagal ginjal kronis

1. Definisi gagal ginjal konis


Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan berbagai
macam penyebab, akibat dari perubahan fungsi nefron yang mengalami kerusakan secara
terus menerus dalam waktu yang lama hingga menjadi stadium akhir (Nur, 2012).
2. Etiologi gagal ginjal kronis

Dari data yang dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-
2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonelritis (25%), diabetes
melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Sudoyo & Aru, 2006)

1. Glomerulonelritis

Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan


sekunder. Glomerulonefritis primer apabila'penyakit dasarnya berasal dari ginjal
sendiri sedangkan glomerulonelritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES),
mieloma multiple atau amiloidosis.

2. Diabetes Mellitus

Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes


melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya.

3. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
> 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi.
4. Ginjalpolikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material
yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan
kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain
oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau
penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering
didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik
dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru
bermanilestasi pada usia di atas 30 tahun.

3. Patofisiologi gagal ginjal kronis

Menurut Bayhakki (2013), patogenesis gagal ginjal kronik melibatkan penurunan dan
kerusakan nefron yang diikuti kehilangan fungsi ginjal yang progresif. Total laju filtrasi
glomerulus (LFG) menurun dan klirens menurun, BUN dan kreatinin meningkat. Nefron
yang masih tersisa mengalami hipertrofi akibat usaha menyaring jumlah cairan yang lebih
banyak. Akibatnya, ginjal kehilangan kemampuan memekatkan urine. Tahapan untuk
melanjutkan ekskresi, sejumlah besar urine dikeluarkan, yang menyebabkan klien mengalami
kekurangan cairan. Tubulus secara bertahap kehilangan kemampuan menyerap elektrolit.
Biasanya, urine yang dibuang mengandung banyak sodium sehingga terjadi poliuri
(Veronika, 2017).

Pada gagal ginjal kronik, fungsi ginjal menurun secara drastis yang berasal dari
nefron. Insifisiensi dari ginjal tersebut sekitar 20% sampai 50% dalam hal GFR (Glomerular
Filtration Rate). Pada penurunan fungsi rata-rata 50% , biasanya muncul tanda dan gejala
azotemia sedang, poliuri, nokturia, hipertensi dan sesekali terjadi anemia. Selain itu, selama
terjadi kegagalan fungsi ginjal maka keseimbangan cairan dan elektrolit pun terganggu. Pada
hakikatnya tanda dan gejala gagal ginjal kronis hampir sama dengan gagal ginjal akut, namun
awitan waktunya saja yang membedakan. Perjalanan dari gagal ginjal kronis membawa
dampak yang sistemik terhadap seluruh sistem tubuh dan sering mengakibatkan komplikasi.

4. Komplikasi gagal ginjal kronis

Komplikasi yang dapat dtimbulkan dar penyakit gagal ginjal kronik adalah
(Baughman, 2000):

1. Penyakit tulang
Penurunan kadar kalsium (hipokalsemia) secara langsung akan mengakibatkan
dekasifilkasi matriks tulang, sehinggal tulang akan menjadi rapuh (osteoporosis) dan jika
berlangsung lama makan menyebabkan phatologis.
2. Penyakit Kardiovaskuler
Ginjal sebagai kontrol sirkulasi sistemik akan berdampak secara sistemik berupa
hipertensi, kelainan lipid, inteloransi glukosa, dan kelainan himodinamik (sering terjadi
hipertrofi ventrikel kiri).Selain berfungsi sebagai sirkulasi, ginjal juga berfungsi dalam
rangkaian hormonal (endokrin). Sekresi eritropoetin yang mengalami defisiensi di ginjal
akan mengakibatkan penurunan hemoglobin.
3. Disfungsi seksual
Dengan gangguan sirkulasi pada ginjal, maka libido sering mengalami penurunan dan
terjadi impotensi pada pria. Pada wanita, dapat terjadi hiperprolaktinemia.
5. Manifestasi klinis gagal ginjal kronis
 Tanda-tanda awal:
a. Kehilangan energi normal
b. Peningkatan keletihan pada saat melakukan aktivitas fisik
c. Pucat, gejala tidak jelas (mungkin tidak disadari)
d. Kenaikan tekanan darah (kadang-kadang
 Tanda dan gejala lainnya:
a. Penurunan berat badan
b. Edema fasialis
c. Perasaan tidak enak badan
d. Nyeri tulang atau persendian
e. Retardasi pertumbuhan
f. Kulit menjadi kering atau gatal
g. Kulit tampak memar
h. Gangguan sensorik atau motorik (kadang-kadang)
i. Amenore sering terjadi pada remaja puteri)
j. Sindrom uremik

Gagal ginjal akut

1. Defisnisi gagal ginjal akut

Gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) merupakan suatu masalah
kesehatan yang ada pada masyarakat dengan jumlah angka kejadian yang terus naik. Insiden
gangguan ginjal akut dibeberapa negara terdapat 200 khasus setiap satu juta penduduk dalam
satu tahun (Delima & Tjitra, 2017).

Penyakit gagal ginjal akut adalah penyakit yang diakibatkan oleh penurunan secara
progresif pada peran organ ginjal dalam rentan waktu beberapa bulan. Gagal ginjal akut
(GGA) sendiri ditandai dengan menurunnya Glomerular Filtration Rate (GFR) yang kurang
dari 60ml/min/1,73 meter persegi selama kurang dari 3 bulan (Kementerian Kesehatan,
2017).

Gagal ginjal akut yaitu suatu sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam 15 tahun
terakhir menunjukan peningkatan insiden (Rudy Hartyono, 2013).

Menurut Handono (2016) Penyakit Gagal ginjal akut adalah penurunan dari beberapa
fungsi yaitu fungsi ekskresi, fungsi pengaturan, fungsi hormonal dan ginjal secara progresif.
Penyakit gagal ginjal akut baik stadium awal maupun stadium akhir memerlukan perhatian
khusus karena memerlukan perawatan dan penanganan khusus untuk hemodialisis atau
tranplatasi ginjal (Arinta, Rihiantoro, & Hardono, 2013).

Menurut Hit el al (2016) dari hasil prevalensi Global Burden of Desease penyakit
gagal ginjal akut menempati urutan kedua puluh tujuh sebagai penyebab kematian di dunia
yang terjadi pada tahun 1990 dan urutan tersebut naik menjadi kedelapan belas pada tahun
2010. Sekitar 2.622.000 orang sedang menjalankan pengobatan penyakit ginjal akut,
2.029.000 orang melakukan pengobatan dialisis, dan sisanya 593.000 orang menjalani
trasplatasi ginjal. Hasil riset kementerian kesehatan pada tahun 2013, menunjukan bahwa
0,2% orang di Indonesia telah terdiagnosis GGA stadium V, dan 0,3% orang berada di Jawa
timur. Hasil riskesdas pada tahun 2013 terjadi peningkatan prevalensi berkaitan dengan
bertambahnya umur yang tajam pada kelompok rentan umur 35-44 tahun dibandingkan
kelompok rentan umur 25-34 tahun. Keseluruhan jumlah ini akan terus meningkat sebanding
dengan adanya peningkatan populasi penduduk, jumlah lanjut usia, dan jumlah pasien
hipertensi dan diabetes (Kamasita et al., 2018).

Penderita gagal ginjal pada dasarnya memiliki kemungkinan kematian. Pasien gagal
ginjal terminal atau End Stage Renal Deasase tidak akan bertahan lama tanpa menjalani
terapi pengganti ginjal (Hemodialisa) karena selain mencegah kematian, terapi hemodialisis
dapat menambah usia harapan hidup. Hemodialisa juga tidak akan menyembuhkan atau
mengobati pasien gagal ginjal, namun sebaliknya masalah komplikasi dan perubahan pada
bentuk dan fungsi sistem di tubuh juga akan bertambah (Juwita & Kartika, 2018).

Pada pasien yang menjalani hemodialisa secara umum akan mengalami kecemasan
untuk dapat bertahan hidup dengan menggunakan mesin dialisis. Hal tersebut akan
memunculkan pemikiran dalam diri pasien bahwa dirinya terancam dan mengurangi harapan
hidup lebih lama, pasien akan mengalami ketakutan bahwa umurnya tidak akan lama lagi dan
pemikiran ini akan menimbulkan konflik pada keluarga (Patimah, S, & Nuraeni, 2015).

Jika pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa berada di situasi yang
mengancam, maka respon koping kecemasan akan terbentuk. Ada dua macam mekanisme
koping yaitu mekanisme adaptif dan mekanisme maladaptif. Apabila pasien memiliki koping
yang adaptif maka kecemasan akan diturunkan dan energi yang ada akan diubah untuk
istirahat dan penyembuhan. Apabila pasien memiliki koping maladaptif maka pasien akan
cenderung menggunakan koping mekanisme maladaptif sehingga menimbukan ketegangan
yang semakin meningkat, kebutuhan energi, respon pikiran dan tubuh juga akan meningkat
(Fay & Istichomah, 2017).

Perasaan cemas pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa akan sangat sering
ditemukan dan akan menjadi masalah psikologis bagi pasien gagal ginjal akut itu sendiri.
Cemas adalah respon emosional terhadap berbagai macam stressor baik yang jelas ataupun
tidak teridentifikasikan secara tidak menyenangkan yang di tandai dengan perasaan khawatir,
takut serta perasaan yang terancam (Patimah et al., 2015).Penting untuk perawat
memperhatikan karakteristik pasien karena dapat mempengaruhi psikologis pasien ketika
mendengar ketetapan dan mendapatkan terapi HD. Hal tersebut juga dapat mempengaruhi
langkah yang pasien pilih dalam mengobati penyakitnya (Sopha & Wardhani, 2016).

2. Etiologi gagal ginjal akut


Etiologi AKI di bagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI yakni:
a. penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan
pada parenkim ginjal.
b. Penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal
c. Penyakit dengan obstruksi saluran kemih

Kondisi klinis yang dapat menyebabkan terjadinya GGA dapat dipengaruhi oleh
ginjal sendiri dan oleh faktor luar.

a. Penyakit dari ginjal


1) Glomerolusitis
2) Pyelonefritis
3) Ureteritis.
4) Nefrolitiasis
5) Polcystis kidney
6) Trauma langsung pada ginjal.
7) Keganasan pada ginjal.
8) Adanya sumbatan di dalam ginjal seperti batu, tumor, penyempitan/striktur.

b. Penyakit Umum di luar ginjal


1) Penyakit sistemik seperti diabetes melitus, hipertensi, kolestrol tinggi.
2) Dysplidemia
3) SLE
4) Penyakit infeksi seperti TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis,
5) Preklamsi,
6) Obat-obatan
7) Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar) (Muttaqin & Sari,
Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan, 2012)
3. Patofisiologi gagal ginjal akut

Umumnya gagal ginjal akut terjadi disebabkan oleh penurunan dan kerusakan nefron
yang mengakibatkan fungsi ginjal yang progresif menghilang. Total laju filtrasi glomerolus
(GFR) dan klirens mengalami penurunan sedangkan terjadi peningkatan pada Blood urea
nitrogen dan kreatin. Kemudian nefron yang masih ada menjadi hipertrofi karena fungsinya
untuk menyaring menjadi lebih banyak. Hal ini berakibat pada ginjal, dimana ginjal
kehilangan kemampuan dalam mengentalkan urine. Ditahap ekskresi urine dikeluarkan
dalam jumlah besar sehingga pasien mengalami kehilangan cairan. Tubulus pada akhirnya
akan kehilangan kemampuan dalam menerima elektrolit dan urine yang dibuang
mengandung banyak sodium yang mengakibatkan terjadinya poliuri (Bayhakki,2013) dalam
(Khanmohamadi, 2014).

4. Penatalaksaan gagal ginjal akut

Penyakit gagal ginjal merupakan penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Namun
terdapat beberapa cara untuk mengobati gagal ginjal yang secara khusus bertujuan untuk
mengurangi resiko munculnya penyakit lain yang berpotensi menambah masalah bagi pasien.
Beberapa pengobatanya yaitu :

a. Menjaga Tekanan Darah


Dengan menjaga tekanan darah maka dapat mengontrol kerusakan ginjal, karena
tekanan darah sendiri dapat mempercepat kerusakan tersebut. Obat penghambat ACE
merupakan obat yang mampu memberi perlindungan tambahan pada ginjal dan
mengurangi tekanan darah dalam tubuh dan aliran pembuluh darah.
b. Perubahan Gaya Hidup
Hal yang bisa dilakukan ialah dengan merubah gaya hidup seperti mengurangi
konsumsi garam, menurunkan berat badan diutamakan bagi penderita obesitas
c. Obat-obatan
Obat-obatan seperti anthipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat, suplemen
kalsium, furosemid (membantu berkemih), transfusi darah.
d. Intake cairan dan makanan
Yaitu dengan cara minum air yang cukup dan pengaturan diit rendah protein
memperlambat perkembangan gagal ginjal.
e. Hemodialisis

Yaitu terapi pengganti ginjal yang berfungsi mengeluarkan sisa-sisa metabolisme


atau racun dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea,
kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permiable sebagai pemisah
darah dan cairan dialisat pada ginjal. (Rudy Hartyono, 2013)

5. Manifestasi klinis gagal ginjal akut


a. Spesifik :

1) Oliguria

2) Anuria jarang dijumpai (kecualu pada gangguan obstruktif).


b. nonspesifig ( dapat terjadi ) :

1) nausea.

2) vomitus

3) keadaan mengantuk

4) edema

5) hipertensi

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Sistem perkemihan bekerja sebagai filter, membuang racun dan limbah dari tubuh
melalui urine. Ini melibatkan serangkaian tabung dan saluran untuk mengeluarkan limbah ini.
Tabung ini terhubung ke pembuluh darah dan sistem pencernaan. Sistem perkemihan membantu
seluruh tubuh bekerja dengan baik. Sistem ini meliputi ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra.
Masalah kemih yang paling umum adalah infeksi kandung kemih dan infeksi saluran kemih
(ISK).

Infeksi saluran kemih adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk mengatakan adanya
infasi mikroorganisme pada saluran kemih. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu keadaan
adanya infeksi bakteri pada saluran kemih. Infeksi saluran kemih dapat mengenai laki-laki
maupun perempuan dari semua umur.Akan tetapi secara jenis kelamin ternyata wanita lebih
sering terinfeksi dari pada pria dengan angka populasi umur, kurang lebih 5-15 %. Infeksi
saluran kemih pada bagian tertentu di saluran perkemihan yang disebabkan oleh bakteri terutama
Echerichia coli; risiko dan beratnya meningkat dengan kondisi seperti refluks vesikouretral,
obstruksi saluran perkemihan, statis perkemihan, pemakaian instrumen uretral baru, septikemia.
Infeksi traktus urianarius pada pria merupakan akibat menyebarnya infeksi yang berasal dari
uretra seperti juga wanita.Namun demikian, panjang uretra dan jauhnya jarak antara uretra dari
rektum pada pria dan adanya bakterisidal dalam cairan prostatik melindungi pria dari infeksi
traktus urinarius.Akibatnya, ISK pada pria jaraang terjadi. Namun, ketika gangguan ini terjadi,
kali ini menunjukan adanya abnormalitas fungsi dan struktur dari traktus urianrius.

Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama dari sel - sel glomerulus.
Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak membaik atau timbul
secara spontan. Glomerulonefritis kronik sering timbul beberapa tahun setelah cidera dan
peradangan glomerulus sub klinis yang disertai oleh hematuria (darah dalam urin) dan
proteinuria (protein dalam urin) ringan, yang sering menjadi penyebab adalah diabetes
mellitus dan hipertensi kronik.

Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak pada kedua


ginjal. Peradangan akut glomerulonefritis terjadi akibat pengendapan kompleks antigen antibodi
di kapiler-kapiler glomerulus. Kompleks biasanya terbentuk 7-10 hari setelah infeksi faring atau
kulit oleh streptokokus (glomerulonefritis pascastreptokokus) tetapi dapat juga timbul setelah
infeksi lain.

Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit glomerular yang ditandai dengan edema,
proteinuria masif >3,5 gram/hari, hipoalbunemia <3,5 gram/hari, hiperkolesterolemia dan
lipiduria.
Gagal ginjal adalah ketidakmampuan untuk mengekskresikan zat sisa (sampah) tubuh,
meningkatkan urine, dan menyimpan elektrolit. Keadaan ini dapat terjadi secara tiba-tiba (GGA)
sebagai respon terhadap berfungsi darah yang ade kuat, atau dapat terjadi secara perlahan-lahan
(GGK) sebagai akibat dari penyakit atau anomali ginjal yang berlangsung lama.

B. SARAN

Harapan penulis,semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Dengan membaca
dan mempelajari isi makalah ini,diharapkan pengetahuan pembaca tentang patologi dapat
bertambah,serta mengerti tentang akibat dan pengaruh yang di sebabkan oleh patologi system
perkemihan Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini belum sempurna dan masih banyak
terdapat kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan
demi perbaikan penulisan yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Aremia vanesha dkk, 2018. MAKALAH GLOMERULONEFRITIS KRONIS, Stikes suaka insan
Banjar masin

Gusti ayu Made Lindya Dewi, 2019. Sindrom Nefrotik, Universitas Udayana, Bali

Hermayanti KDY, 2018. Gambaran Asupan Kalsium dan Fosfor pada Penderita Gagal Ginjal
Kronik, Poltekkes Denpasar, Bali
Made udayati dkk, 2013. Konsep dasar asuhan keperawatan pada klien dengan
glomerulonefritis akut, stikes wira medika bali

Mario Denis, 2017. Asuhan Keperawatan Anak Dengan Gagal Ginjal, Universitas Muhamad
Husni Thamrin, Jakarta

Nadia,Nurfaiza,2019. upaya mengatasi kecemasan dalam Hemodialisa pada pasien gagal ginjal
akut, universitas Muhammadiyah Malang.

Pasek, Made-Suadnyani. GLOMERULONEFRITIS AKUT PADA ANAK PASCA INFEKSI


STREPTOKOKUS. Prosiding Seminar Nasional MIPA. 2013.

Valentina,2008. Infeksi saluran kemih,politeknik Kesehatan medan Sumatra utara

Anda mungkin juga menyukai