Anda di halaman 1dari 5

Rangkuman Kelompok 2 : Paradikma Perpretatif, Studi Kasus,

Etnologi Dan Fenomenologi


Sebagai kegiatan ilmiah yang sistematik, sistemik dan terencana, penelitian tidak

dapat dilakukan tanpa pijakan filosofis yang mendasarinya, mulai dari makna, hakikat,

tujuan, hingga metodenya. Pijakan atau landasan filosofis itu berupa paradigma. Paradigma

itu apa? Menurut Denzin dan Lincoln paradigma ialah « a basic set of beliefs that guide

action. Paradigms deal with first principles, or ultimates ». Sedangkan Given mengartikan

paradigma sebagai «a set of assumptions and perceptual orientations shared by members of a

research community». Sedangkan Guba mengartikan paradigma sebagai ‘a basic set of beliefs

that guide action’.

Banyak definisi tentang paradigma. Masing-masing dengan konsepnya sendiri-

sendiri. Tetapi dari semua itu dapat ditarik kesimpulan secara umum bahwa adalah suatu cara

pandang tentang sesuatu yang di dalamnya mengandung sejumlah asumsi, teori, model dan

solusi tertentu mengenai pokok persoalan, tujuan, dan sifat dasar bahan kajian.

Mengapa paradigma menjadi sangat penting? Karena di dalam paradigma terkandung

sejumlah pendekatan, dalam suatu pendekatan terkandung sejumlah metode, dalam suatu

metode terkandung sejumlah teknik, sedangkan dalam suatu teknik terkandung sejumlah cara

dan piranti.

Selaras dengan tinjauan aksiologik, dalam khasanah metodologi penelitian atau kajian

dikenal, menurut Newman dikenal ada tiga paradigma penelitian, yaitu: paradigma

positivistik , paradigma interpretif , dan paradigma refleksif . Lazimnya, paradigma

positivistik disepadankan dengan pendekatan kuantitatif , yang umumnya digunakan oleh

ilmu-ilmu alam , walau belakangan beberapa ilmu sosial juga menggunakan paradigma

positivistik.
Paradigma interpretif disepadankan dengan pendekatan kualitatif , yang umumnya

digunakan oleh ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Secara bergantian, menurut Patton

paradigma interpretif juga disebut paradigma fenomenologi atau naturalistik, walau diakui ini

sering membingungkan. Sedangkan paradigma refleksif disepadankan dengan pendekatan

kritik , yang lazim digunakan dalam kajian budaya, media, komunikasi, feminisme, wacana,

dan sastra, dan politik. Sajian pendek ini secara khusus akan membahas paradigma interpretif

yang menjadi payung utama penelitian kualitatif.

Paradigma interpretif lahir sebagai reaksi terhadap paradigma positivistik yang

dianggap kurang komprehensif untuk menjelaskan realitas. Menurut Creswell penelitian

kuantitatif dianggap terlalu menggantungkan pada pandangan peneliti sendiri ketimbang

subjek dan membendakan manusia. Subjek penelitian berada di luar konteks dan ditempatkan

dalam situasi eksperimental jauh dari pengalaman pribadinya. Itu sebabnya para ahli,

khususnya para filsuf pendidikan pada akhir 1960-an, mencari alternatif pendekatan lain yang

lebih humanis, yang menekankan pentingnya pandangan subjek, dan konteks di mana subjek

menyampaikan pandangan-pandangan mereka.

Paradigma interpretif memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik, tidak

terpisah-pisah satu dengan lainnya, kompleks, dinamis, penuh makna, dan hubungan antar

gejala bersifat timbal balik , bukan kausalitas. Paradigma interpretif juga memandang realitas

sosial itu sesuatu yang dinamis, berproses dan penuh makna subjektif. Realitas sosial tidak

lain adalah konstruksi sosial. Terkait posisi manusia, paradigma interpretif memandang

manusia sebagai makhluk yang berkesadaran dan bersifat intensional dalam bertindak .

Manusia adalah makhluk pencipta dunia, memberikan arti pada dunia, tidak dibatasi hukum

di luar diri, dan pencipta rangkaian makna.


Atas dasar pandangan tersebut, semua tindakan atau perilaku manusia bukan sesuatu

yang otomatis dan mekanis, atau tiba-tiba terjadi, melainkan suatu pilihan yang di dalamnya

terkandung suatu interpretasi dan pemaknaan.

•Studi Kasus

Studi kasus adalah sebuah pendekatan metode penelitian yang digunakan untuk

mengkaji sebuah fenomena unik individu, organisasi, social dan politik . Metode studi kasus

merupakan metode yang menjawab kelemahan pendekatan positivistic murni yang melihat

secara parsial sebuah objek yang diteliti. Dalam pendekatan studi kasus, peneliti

dimungkinkan untuk mempertahakan karakter holistic dan makna dalam peristiwa-peristiwa

kehidupan nyata.

Dari apa yang ditulis oleh Robert K. Yin, penulis melihat bahwa perdebatan yang

dikemukakan oleh K. Yin terhadap konteks penelitian survey, eksperimen terhadap studi

kasus, menjadikan studi kasus termasuk dalam pendekatan post-positivistic. K.Yin ingin

menjelaskan bahwa studi pengamatan terhadap riset perencanaan, organisasi, social dan

politik tidak cukup hanya diteliti menggunakan pendekatan survey dan eksperimen. Dengan

menggunakan studi kasus, «analisa» menjadi mata pisau dalam mengamati fenomena yang

terjadi. Studi kasus merupakan kritik dari postivistik yang melihat bahwa objektifitas dalam

penelitian postivistik masih banyak kelemahan. Maka diperulakan pendekatan intepretif yang

melihat dari sudut pandang yang lain.

Selain itu studi kasus juga mampu menjawab konteks hubungan dari sebuah peristiwa

melalui pendekatan analisa .


•Etnografi

Etnografi berangkat dari tradisi sosiocultural. Entografi baru dan etnografi klasik

adalah hal yang berbeda. Munculnya etnografi baru adalah merupakan kritik atas etnografi

klasik yang terpengaruhi oleh kolonialisme. Keengganan peneliti menjadi bagian dari objek

yang diteliti menjadi hal yang cukup mengganggu bagi para etnografer baru. Selain itu

etnografi baru juga masuk dalam bagian paradigm intepretif, dimana peneliti mempunyai hak

melakukan penafsiran terhadap fenomena yang diteliti. Seperti yang dijelaskan di atas bahwa

etnografi merupakan studi yang mengamati sebuah budaya atau kelompok yang mempunyai

perilaku, pola dan pikiran yang sama.

•Fenomenologi.

Fenomenologi adalah sebuah teori sekaligus sebuah metode. Sebagai sebuah

filsafat fenomenologi percaya bahwa dalam fenomena-lah pengetahuan itu berada

(Kuswarno, 2008). Selain itu fenomenologi adalah alat ukur untuk memperoleh

pengatahuan mengenai sifat-sifat alami kesadaran dan jenis –jenis khusus pengetahuan

orang pertama, melalui bentuk-bentuk intuisi.

Referensi
Osborn Richard, 2001, (terj), Filsafat untuk Pemula, Yogyakarta, Penerbit Kanisius

Wahyudin, Uud, Dr. (2016), Hubungan penelitian, Metodologi dan filsafat Ilmu,

Bandung,

Universitas Pandjadjaran, slide power point, tidak dipublikasikan.2016), Filsafat Ilmu,

Bandung, Universitas Pandjadjaran, slide power point, tidak dipublikasikan.

(2016), Filsafat, Bandung, Universitas Pandjadjaran, slide power point, tidak

dipublikasikan.

Suriasumantri, Jujun (1982), Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Penerbit

Sinar Harapan

Yin, Robert K, (2006), (Terj), Studi Kasus, Desain dan Metode, Jakarta, Rajawali Press.

Creswell, John W (2013), (terj) Penelitian Kualitatif dan Desain Riset, Yogyakarta,

Pustaka Pelajar.

Kuswarno, Engkus, Prof (2008), Fenomenologi, Bandung, Widya Padjadja , Etnografi

Komunikasi, Bandung, Widya Padjadjaran. Griffin, EM, (2003), A First look at

Communication Theory, USA, The McGraw-Hill

Denzin , Norman K dan Lincoln, Yvonna S, (2009), (terj), Handbook of Qualitative

Research, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai