Anda di halaman 1dari 27

Pemikiran Kebangsaan Agus Salim Serta Kontribusinya Terhadap

Pembentukan Identitas Nasional Indonesia Abad-20


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia II

Dosen pengampu:
Agus Permana, M.Ag

Disusun oleh:
Sabiq Muhammad Fadhlan
1205010168

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Pemikiran Kebangsaan Agus Salim Serta
Kontribusinya Terhadap Pembentukan Identitas Nasional Indonesia Abad-20” dengan tepat
waktu. Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sejarah Sosial Intelektual Islam
di Indonesia II. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang “Pemikiran
Kebangsaan Agus Salim Serta Kontribusinya Terhadap Pembentukan Identitas Nasional
Indonesia Abad-20” bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Agus Permana, M.Ag selaku dosen
Mata Kuliah Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia II. Kami menyadari makalah ini
masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 04 Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................................... 2


DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... 3
BAB I ...................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 4
A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah .................................................................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................................................... 5
D. Kajian Pustaka .......................................................................................................................... 5
E. Metode Penelitian...................................................................................................................... 7
BAB II .................................................................................................................................................. 10
BIOGRAFI DAN KARYA ................................................................................................................. 10
A. Biografi Agus Salim ................................................................................................................ 10
B. Karya-Karya Agus Salim ....................................................................................................... 14
BAB III................................................................................................................................................. 17
PEMIKIRAN ....................................................................................................................................... 17
A. Perkembangan Pemikiran ...................................................................................................... 17
B. Pengaruh Pemikiran ............................................................................................................... 24
BAB III................................................................................................................................................. 26
PENUTUP ............................................................................................................................................ 26
A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 27
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia, dengan kekayaan keberagaman etnis, budaya, dan agama, menghadapi
tantangan signifikan dalam menciptakan fondasi identitas nasional yang kuat dan bersatu.
Sejak awal abad ke-20, perjalanan menuju pembentukan identitas nasional Indonesia telah
menjadi perenungan dan sumbangan dari berbagai pemikir nasionalis. Dalam panorama ini,
Agus Salim, seorang tokoh kunci, memainkan peran sentral dengan pemikirannya yang
kaya dan kontribusinya yang substansial.
Dalam menghadapi keragaman yang melibatkan ratusan etnis dan bahasa, serta latar
belakang agama yang berbeda-beda, tantangan pembentukan identitas nasional menjadi
semakin kompleks. Namun, di tengah dinamika ini, pemikir-pemikir nasionalis, seperti
Agus Salim, muncul sebagai penjaga api semangat persatuan, menyumbangkan gagasan
dan pandangan yang esensial untuk menyatukan keberagaman tersebut dalam bingkai
identitas nasional yang utuh.
Agus Salim, dengan kecendekiaan dan pemahaman mendalamnya, tidak hanya
mencerminkan semangat kebangsaan tetapi juga mempraktikkan nilai-nilai tersebut
melalui keterlibatannya dalam pergerakan nasional dan proses diplomasi. Dalam konteks
inilah, peran Agus Salim menjadi tidak terelakkan dalam membimbing perjalanan
Indonesia menuju identitas nasional yang terbentuk dengan kokoh di panggung dunia.
Agus Salim, seorang intelektual muslim dan diplomat yang brilian pada zamannya,
memancarkan cahaya kecerdasan dalam menghadapi dinamika kebangsaan Indonesia.
Dalam perjalanan hidupnya, Agus Salim terlibat dalam rentetan peristiwa bersejarah, dari
masa pergerakan nasional hingga awal kemerdekaan. Pemikirannya yang mendalam
mencerminkan bukan hanya pandangan pribadi, tetapi juga sebuah refleksi atas semangat
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang tengah mekar.
Dalam konteks pergerakan nasional, Agus Salim bukan hanya seorang saksi, melainkan
juga seorang pelaku yang terlibat aktif dalam merancang bentuk dan substansi negara baru.
Pemikirannya yang progresif tergambar dari semangatnya dalam membela keadilan dan
toleransi, menjadi pondasi kuat bagi pembentukan identitas nasional yang inklusif.
Pemikiran Agus Salim bukan sekadar pernyataan ideologis, melainkan juga tindakan
konkret yang mencerminkan semangat kebangsaan. Kontribusinya sebagai seorang
diplomat ulung menjadikannya sebagai tokoh kunci dalam mengukuhkan posisi Indonesia
di mata dunia. Pemikiran dan tindakan Agus Salim, selaras dengan nilai-nilai keadilan dan
toleransi, menjelma sebagai pilar penting yang mendasari eksistensi negara Indonesia.
Dengan demikian, pemikiran Agus Salim menjadi perbendaharaan berharga dalam
merinci aspek-aspek kebangsaan dan identitas nasional Indonesia pada abad ke-20.
Keberanian dan kecerdasannya dalam memadukan nilai-nilai agama, persatuan, dan
keadilan menciptakan fondasi yang kokoh bagi pembentukan identitas nasional yang
bersifat inklusif dan progresif.

B. Rumusan Masalah
a) Bagaimana biografi dan karya Agus Salim?
b) Bagaimana perkembangan pemikiran tokoh?

C. Tujuan Penelitian
a) Untuk memperdalam pengetahuan mengenai sosok Agus Salim.
b) Untuk memahami lebih lanjut mengenai hasil dan perkembangan pemikiran Agus
Salim.

D. Kajian Pustaka
Pemahaman mendalam tentang kebangsaan memainkan peran kunci dalam proses
pembentukan identitas nasional suatu bangsa. Untuk menjelajahi konsep ini, penting bagi
peneliti untuk merinci pandangan-pandangan tokoh yang berpengaruh dalam sejarah.
Dalam konteks Indonesia, karya klasik "Kebangsaan, Totalitarisme, dan Demokrasi" yang
ditulis oleh Bapak Proklamator, Soekarno, pada tahun 1959, memberikan wawasan yang
tak ternilai dalam memahami visi dan pandangan tentang kebangsaan.
Soekarno, sebagai tokoh sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, tidak hanya
memimpin secara politik tetapi juga mengemukakan gagasan-gagasan filosofisnya tentang
kebangsaan. Karya ini memberikan penggambaran tentang bagaimana Soekarno melihat
hubungan antara kebangsaan, totalitarisme, dan demokrasi, serta bagaimana pandangan ini
membentuk dasar pemikiran politiknya.

Selain itu, "Pemikiran Politik Indonesia" karya Herbert Feith (1962) adalah sebuah
referensi penting yang menyelidiki dinamika pemikiran politik di Indonesia pada periode
awal kemerdekaan. Feith, seorang sejarawan dan ilmuwan politik, membawa pembaca
untuk memahami perkembangan pemikiran politik dan kebangsaan di Indonesia dengan
konteks sejarah yang kaya.
Penting untuk merinci beberapa referensi kunci yang memberikan wawasan mendalam
terkait pemikiran Agus Salim. Salah satu sumber yang dapat diandalkan adalah "Agus
Salim: Pemikiran dan Perjuangannya" karya A. Effendi (1996), yang memberikan
gambaran rinci tentang perkembangan pemikiran Agus Salim dan sejauh mana
pengaruhnya terhadap dinamika politik dan kebangsaan Indonesia pada zamannya.
Sebagai pelengkap, "Agus Salim: Bapak Perdamaian dan Kebangsaan" karya Ahmad
Mawardi (2009) juga menjadi rujukan yang berharga. Buku ini memperdalam pemahaman
tentang peran Agus Salim sebagai tokoh perdamaian dan kebangsaan, menyoroti
pandangan-pandangannya yang kontributif terhadap proses pembentukan identitas nasional
Indonesia di tengah-tengah gejolak politik abad ke-20.
Menelaah karya-karya Agus Salim merupakan langkah esensial dalam memahami
kontribusinya terhadap pemikiran kebangsaan dan identitas nasional Indonesia.
Khususnya, dua karya penting, yaitu "Islam, Modernisme dan Gerakan Modernis Islam di
Indonesia" (1925) dan "Cita dan Citra Bangsa" (1946), memberikan wawasan mendalam
tentang pandangan Agus Salim terhadap Islam, modernisme, dan peran gerakan modernis
Islam dalam konteks Indonesia.
Dalam "Islam, Modernisme dan Gerakan Modernis Islam di Indonesia" (1925), Agus
Salim secara kritis mengeksplorasi hubungan antara Islam dan modernisme di Indonesia.
Karya ini tidak hanya mencerminkan keahlian intelektualnya dalam menguraikan
kompleksitas hubungan antara tradisi Islam dan tuntutan modernitas, tetapi juga
mengungkapkan wawasannya terhadap peran Islam dalam pembentukan identitas nasional.
"Cita dan Citra Bangsa" (1946) menjadi landasan yang penting dalam memahami visi
Agus Salim terhadap cita-cita dan citra bangsa Indonesia. Dalam karya ini, Agus Salim
tidak hanya membahas aspek politik, tetapi juga merinci nilai-nilai kultural dan spiritual
yang dianggapnya sebagai elemen esensial dalam membangun identitas nasional yang
kokoh.
Referensi tambahan dari "Pemikiran Politik Indonesia" karya Miriam Budiardjo (1975)
menyediakan konteks yang lebih luas, membantu membahas pemikiran Agus Salim dalam
kerangka politik Indonesia pada masanya. Budiardjo memberikan analisis mendalam
terkait pengaruh dan posisi Agus Salim dalam konteks perkembangan politik nasional,
memperkaya pemahaman kita terhadap kontribusi Agus Salim terhadap identitas nasional
Indonesia.
Melalui tinjauan kritis terhadap karya-karya ini, penelitian ini dapat mengungkapkan
dimensi yang lebih dalam dari pemikiran Agus Salim dan bagaimana konsep-konsep yang
dikembangkan dalam karyanya membentuk landasan bagi pembentukan identitas nasional
Indonesia pada abad ke-20.

E. Metode Penelitian
a) Heuristik
Heuristik atau pengumpulan sumber merupakan tahap awal dalam metodologi
penelitian sejarah yang melibatkan usaha sistematis untuk mencari dan mengumpulkan
berbagai sumber sejarah. Sumber sejarah, atau historical source, merujuk pada
sejumlah materi atau rekaman yang tersebar luas dan memiliki diferensiasi konten.
Materi-materi ini mencakup beragam jenis, mulai dari dokumen tertulis, arsip, catatan
harian, hingga artefak fisik, gambar, dan rekaman audio-visual yang mencerminkan
periode waktu tertentu.1
Proses pengumpulan data awal dilakukan melalui studi literatur yang
mendalam, penelusuran arsip sejarah yang relevan, dan analisis dokumen-dokumen
tertulis yang terkait dengan Agus Salim. Studi literatur akan melibatkan telaah
mendalam terhadap karya-karya tulis Agus Salim, seperti tulisan politik, esai, dan
risalah keagamaan yang mencerminkan pemikiran dan pandangannya terhadap
kebangsaan. Selain itu, penelitian akan memanfaatkan arsip sejarah untuk mengakses
dokumen-dokumen pribadi Agus Salim, surat-menyurat, dan catatan harian yang dapat
memberikan wawasan unik terkait perannya dalam perjuangan kebangsaan.
Dalam konteks penelitian ini, sumber sejarah dapat dikelompokkan menjadi dua
kategori utama, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer merujuk
pada bahan-bahan yang secara langsung terhubung dengan peristiwa sejarah, baik
melalui pengalaman pribadi pelaku yang terlibat dalam kejadian atau oleh saksi mata
yang menyaksikan peristiwa tersebut secara langsung. Selain itu, sumber primer juga
bisa berwujud alat mekanis yang hadir pada saat peristiwa berlangsung atau benda-
benda yang sezaman dengan peristiwa yang diungkapkan.
Di sisi lain, terdapat juga sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini.
Sumber sekunder merupakan interpretasi atau analisis yang dihasilkan oleh pihak lain,
seperti peneliti, sejarawan, atau akademisi. Dalam menyusun penelitian ini, penulis

1
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah (Bandung:Pustaka Setia, 2014
menyertakan sejumlah sumber sekunder yang relevan dan memiliki kontribusi
signifikan terhadap pemahaman lebih lanjut mengenai pemikiran kebangsaan Agus
Salim dan kontribusinya terhadap pembentukan identitas nasional Indonesia pada abad
ke-20. Berikut beberapa sumber primer dan sekunder yang penulis gunakan dalam
penelitian:

b) Kritik
Evaluasi kritis terhadap sumber-sumber primer dan sekunder merupakan langkah
penting dalam memastikan keakuratan dan keandalan informasi yang digunakan dalam
penelitian ini. Sumber-sumber primer, seperti dokumen pribadi Agus Salim, surat-
surat, dan catatan harian, akan dinilai berdasarkan ketepatan asal-usul, keotentikan, dan
keterbukaan akses ke informasi yang relevan. Kritis mengidentifikasi potensi bias atau
motif tertentu yang dapat mempengaruhi interpretasi.
Sementara itu, dalam menilai sumber-sumber sekunder, seperti buku dan artikel
terkait pemikiran kebangsaan, akan dilakukan evaluasi terhadap kredibilitas penulis,
metodologi penelitian yang digunakan, serta kerangka konseptual yang mendukung
argumen. Perbandingan dengan sumber-sumber lain dan analisis perbedaan sudut
pandang juga menjadi bagian penting dari evaluasi kritis ini.
c) Interpretasi
interpretasi merujuk pada usaha sejarawan untuk memberikan pemahaman dan
makna terhadap fakta-fakta historis yang terdapat dalam sumber-sumber sejarah. Ini
melibatkan analisis mendalam terhadap sumber-sumber sejarah untuk mengungkap
konteks, motif, dan implikasi dari suatu peristiwa atau pemikiran. Interpretasi
memungkinkan sejarawan untuk menyusun narasi atau konstruksi makna yang lebih
komprehensif tentang masa lalu.2
d) Historiografi
Historiografi, dalam konteks metodologi sejarah, tidak hanya memerinci fakta-
fakta historis, tetapi lebih lanjut menelaah proses dan perubahan cara sejarah dipahami
serta diungkapkan oleh para sejarawan. Sebagai suatu bidang studi, historiografi
menganalisis evolusi cara pandang, sudut pandang, serta pendekatan metodologis yang
diterapkan oleh sejarawan dalam merangkai narasi sejarah. Dengan demikian,

2
Djubiantono, T. Metodologi Sejarah. Kanisisus: 2005.
historiografi menggali lebih dalam aspek interpretatif dan konstruktif dari sejarah,
menyoroti bagaimana interpretasi sejarah dapat dipengaruhi oleh ideologi, perubahan
paradigma, dan konteks sosial-politik pada waktu tertentu.3

3
Boechari. Ilmu Sejarah: Pendekatan, Falsafah, dan Metode. PT Intermasa: 1984.
BAB II
BIOGRAFI DAN KARYA

A. Biografi Agus Salim


Agus Salim, yang lahir pada 8 Oktober 1884, menorehkan namanya sebagai tokoh
intelektual, diplomat ulung, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Perannya tidak hanya
membangkitkan semangat perjuangan, tetapi juga merajut benang-benang pemikiran
kebangsaan yang kental, membentuk identitas nasional Indonesia sepanjang abad ke-20.
Dengan kecerdasan intelektualnya, Agus Salim melibatkan diri dalam sejumlah peristiwa
krusial yang membentuk arah perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan.
Haji Agus Salim, yang lahir dengan nama kecil Mashudul Haq pada 8 Oktober 1884 di
Kota Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, adalah anak dari pasangan Soetan
Salim, gelar Soetan Mohamad Salim, dan Siti Zainab. Kehidupan awalnya terpaut erat
dengan adat Minangkabau yang sarat dengan nilai-nilai Islam, sebuah fondasi kuat yang
membentuk karakternya.
Dalam lingkungan keluarga yang dipenuhi oleh budaya Islam, Agus Salim memiliki
kedekatan dengan nilai-nilai keadilan dan kebenaran sejak kecil, yang tercermin dalam
nama kecilnya yang bermakna "pembela kebenaran." Ayahnya, Soetan Salim, menjabat
sebagai jaksa kepala di Pengadilan Tinggi Riau, memberikan gambaran kehidupan yang
berada di bawah pemerintahan Belanda yang otoriter.
Kondisi keluarganya yang demikian memengaruhi pemikiran Agus Salim, membuka
pikirannya terhadap kebutuhan akan pendidikan untuk kemajuan zaman. Dalam suasana
yang dipenuhi oleh ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang dialami oleh bangsanya di
bawah penjajahan Belanda, Agus Salim merasakan panggilan untuk berperan aktif dalam
merubah nasib bangsanya.
Melalui pendidikan, Agus Salim bercita-cita menjadi pribadi yang bermanfaat dan
mampu membantu rakyatnya yang terus menderita di bawah kebijakan penjajahan.
Pengalaman keluarganya, terutama melalui pengabdian ayahnya sebagai jaksa kepala,
memberikan pemahaman yang mendalam tentang ketidakadilan hukum yang diterapkan
Agus Salim, sejak masa pendidikan dasarnya di Europeesche Lagere School (ELS),
telah menunjukkan bakat dan dedikasinya terhadap ilmu pengetahuan. Keinginan untuk
mengembangkan diri membawanya melangkah lebih jauh, mengikuti pendidikan di
Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Kiprahnya di HBS mencapai puncak prestasi saat
berhasil meraih gelar lulusan terbaik se-Hindia Belanda.
Namun, meskipun pencapaian gemilang tersebut, langkah Agus Salim untuk
melanjutkan pendidikan ke Belanda sebagai seorang calon dokter terkendala oleh realitas
diskriminasi kolonial. Surat-surat dari perempuan pejuang emansipasi, RA Kartini,
merekam dengan jelas keinginan dan kekecewaan Agus Salim. Meskipun memiliki tekad
kuat untuk bersekolah di Belanda, upayanya terhalang oleh ketidaksetaraan sosial pada
masa itu.
Pada saat itu, beasiswa ke Belanda masih dihalangi oleh pandangan rasialis yang
menyatakan bahwa Agus Salim sebagai seorang pribumi tidak layak mendapatkannya.
Ketidakadilan ini tidak hanya menjadi penghalang bagi Agus Salim tetapi juga menandai
perasaannya yang mendalam terhadap sistem pendidikan kolonial Belanda yang
diskriminatif.
Kekecewaan ini menciptakan ketidakbahagiaan mendalam dalam hati Agus Salim, dan
rasa frustrasi ini menjadi semakin kuat ketika harapannya untuk mendapatkan beasiswa
terus pupus. Akibatnya, Agus Salim kemudian membentuk sikap antipati terhadap
pendidikan Belanda, yang mencuatkan rasa benci terhadap sistem yang menolak
potensinya hanya karena latar belakang etnisnya.4
Pilihan untuk tidak memberikan pendidikan Belanda kepada kedelapan anaknya adalah
sebuah tindakan nyata dari sikap yang teguh ini. Agus Salim memilih homeschooling
dengan gaya khasnya sebagai alternatif yang sesuai dengan nilai-nilai dan keyakinannya,
sehingga mewariskan semangat nasionalisme dan ketahanan budaya kepada generasi
penerusnya.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Agus Salim dihadapkan pada situasi di mana
pilihan karirnya sangat terbatas. Ibu Agus Salim menyarankan agar menerima tawaran dari
pihak Belanda untuk bekerja sebagai konsulat Belanda di Jeddah, Mekkah. Sebelumnya,
Agus Salim telah bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris di sebuah kongsi
pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Agus Salim memutuskan untuk pergi ke
Jeddah, Arab Saudi, untuk menjalani tugasnya di Konsulat Belanda.
Selama periode ini, Agus Salim tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai konsulat,
tetapi juga mengejar pembelajaran agama Islam secara mendalam. Ibu Agus Salim, yang
mungkin menyadari pentingnya pengembangan spiritual putranya, telah menyarankan agar
Agus Salim berguru pada Syekh Ahmad Khatib, yang kebetulan juga adalah pamannya.

4
Setyawan, D. Haji Agus Salim: The Grand Old Man. Indepth Publishing. Bandar Lampung. 2014. Hal. 1
Selama lima tahun, Agus Salim dengan tekun mengasah pengetahuannya tentang agama
Islam sambil memperdalam bahasa Arab, Turki, dan bahasa-bahasa lainnya.
Di lingkungan kantor konsulat, Agus Salim memiliki akses ke berbagai buku bacaan
dari dunia Barat dan Timur. Ini menjadi peluang emas bagi Agus Salim untuk memperluas
wawasan intelektualnya. Pemikirannya pun terbentuk dan dipengaruhi oleh berbagai
ideologi, termasuk gerakan reformis seperti Pan-Islamisme yang diperkenalkan oleh tokoh
seperti Syekh Jamaluddin Al-Afghani. Gerakan ini kemudian diwarisi oleh murid-
muridnya, termasuk Muhammad Abduh dan Rasyd Ridha.
Selama periode ini, Agus Salim tidak hanya mengasah kemampuannya dalam bahasa
dan diplomasi, tetapi juga mendalaminya dalam pemahaman agama dan ideologi-ideologi
politik. Pengalaman inilah yang membentuk dasar pemikiran kebangsaan dan keislaman
Agus Salim, yang kemudian menjadi landasan kuat dalam perjuangannya untuk
kemerdekaan Indonesia.
Agus Salim memasuki dunia jurnalistik pada tahun 1915 dengan bergabung di Harian
Neratja, di mana ia awalnya menjabat sebagai redaktur II sebelum kemudian diangkat
sebagai ketua redaksi. Keahliannya dalam menangani isu-isu zaman dan pandai menuliskan
opini yang tajam membuatnya mendapatkan pengakuan di dunia jurnalistik. Kiprahnya
terus berlanjut ketika ia memutuskan untuk memimpin harian Hindia Baroe di Jakarta,
namun, semangat nasionalisnya membuatnya keluar dari jabatannya karena surat kabar
tersebut memaksa untuk menyuarakan pandangan yang mendukung kebijakan pemerintah
Belanda.
Tidak berhenti di situ, pada tahun 1927, Agus Salim bersama Tjokroaminoto
mendirikan Surat Kabar Fadjar Asia. Inisiatif ini merupakan langkah untuk membentuk
narasi independen yang lebih sesuai dengan nilai-nilai nasionalis dan Islam. Kariernya di
bidang jurnalistik semakin cemerlang ketika ia menjadi redaktur Harian Moestika di
Yogyakarta, sebuah surat kabar harian Islam terkemuka pada zamannya.
Tidak hanya sebagai seorang jurnalis, Agus Salim juga melibatkan diri dalam pendirian
Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO), menunjukkan kepeduliannya
terhadap informasi dan penyebaran pemikiran yang sesuai dengan semangat perjuangan
nasional. Pada tahun 1952, ia menduduki posisi ketua di Dewan Kehormatan Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI), memperkuat kontribusinya dalam membentuk etika dan
standar tinggi dalam profesi jurnalistik di Indonesia.
Agus Salim, seorang tokoh politik Indonesia yang memiliki latar belakang pendidikan
Islam yang kuat, memperoleh banyak pengaruh dan pembelajaran politik dari
Tjokroaminoto, seorang reformis Islam berhaluan Pan-Islamisme asal Solo. Pada tahun
1915, Agus Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), sebuah organisasi sosial dan
politik yang bertujuan untuk melindungi hak-hak kaum pribumi dan memajukan
nasionalisme Indonesia. Di SI, ia dengan cepat naik menjadi pemimpin kedua setelah
Tjokroaminoto, dan perannya dalam organisasi ini menjadi kunci dalam perjuangan
politiknya.
Selama perjuangan kemerdekaan Indonesia, Agus Salim terlibat dalam berbagai
kapasitas penting. Salah satunya adalah ketika ia menjadi anggota Volksraad dari tahun
1921 hingga 1924. Volksraad merupakan lembaga perwakilan kolonial Belanda yang
memungkinkan sedikit partisipasi politik bagi penduduk pribumi Indonesia. Agus Salim
menggunakan posisinya di Volksraad untuk membawa aspirasi nasionalis Indonesia ke
panggung internasional.
Peran penting lainnya adalah saat Agus Salim menjadi anggota Panitia 9 Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas
mempersiapkan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam kapasitas ini, ia bersama dengan para
pemimpin nasionalis lainnya berperan dalam merumuskan dasar-dasar konstitusi Indonesia
yang akan menjadi landasan negara merdeka.
Selain aktif di ranah politik formal, Agus Salim juga mendidik generasi muda melalui
Jong Islamieten Bond, sebuah organisasi pemuda yang kemudian menjadi cikal bakal
berdirinya Partai Masyumi setelah kemerdekaan. Partai Masyumi menjadi salah satu partai
Islam terbesar di Indonesia dan banyak terlibat dalam gerakan-gerakan moral dan
perjuangan sosial.
Agus Salim, setelah Indonesia meraih kemerdekaannya, muncul sebagai figur dengan
jangkauan internasional yang sangat kuat. Dikenal sebagai salah satu arsitek diplomasi
Republik Indonesia, peran pentingnya dalam memperoleh dukungan internasional,
terutama dari negara-negara Timur Tengah, menjadi luar biasa. Bersama dengan tokoh lain
seperti Sjahrir, Agus Salim diakui karena keberhasilannya dalam membawa dukungan
negara-negara Muslim terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia.
Sejak tahun 1920-an, Agus Salim bersama Tjokroaminoto, Abdul Moeis, dan sejumlah
tokoh lain telah aktif membangun hubungan internasional yang positif dengan negara-
negara Muslim. Jauh sebelum menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, Agus Salim telah
menyelenggarakan perjalanan sebagai duta keliling Republik Indonesia. Dalam misi
tersebut, dia dan rombongan berhasil melintasi blokade Belanda yang ketat dengan cara
menyelundup.
Sebagai seorang diplomat ulung, Agus Salim fokus pada upaya membangun hubungan baik
dengan negara-negara Arab. Dengan dedikasinya, ia berhasil memperoleh kepercayaan dan
dukungan dari negara-negara Arab. Langkah diplomatisnya membuka jalan bagi
pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia oleh negara-negara Arab,
yang bersedia mengambil risiko atas keputusan tersebut.
Singkatnya, karier diplomatik Haji Agus Salim mencakup berbagai posisi kunci, antara
lain sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Sjahrir II dan Kabinet III pada tahun
1946 dan 1947. Ia juga memainkan peran penting dalam membuka hubungan diplomatik
Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947. Puncak dari karir
diplomatisnya adalah saat ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Amir
Sjarifuddin pada tahun 1947 dan Kabinet Hatta pada tahun 1948-1949. Keseluruhan
perjalanan karirnya mencerminkan kecakapan dan dedikasi yang luar biasa dalam
mewujudkan dukungan internasional bagi Indonesia pasca-kemerdekaan.5

B. Karya-Karya Agus Salim


Agus Salim, figur yang memegang peran krusial dalam sejarah Indonesia, menorehkan
keberagaman karya tulis yang merentang melalui berbagai bidang, termasuk politik, sosial,
dan agama. Melalui penulisan-penulisannya yang kaya, Agus Salim tidak hanya
mencerminkan pandangannya yang mendalam terhadap peristiwa zamannya, tetapi juga
memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan pemikiran dan identitas nasional
Indonesia. Dengan visinya yang inklusif, karya-karya Agus Salim menjadi jendela yang
membuka wawasan terhadap keragaman dan dinamika masyarakat Indonesia pada masa
lalu serta tetap relevan untuk dipelajari dalam konteks sejarah dan pemikiran nasional.
Berikut beberapa karya yang dihasilkan oleh Agus Salim sesuai dengan bidang-bidang
di bawah:
a) Bidang Politik
• Perdjuangan Politik Kaum Muslimin Indonesia tahun 1952
Perdjuangan Politik Kaum Muslimin Indonesia yang diterbitkan pada tahun 1952
merupakan salah satu karya monumental Agus Salim yang mendalam dan
menganalisis dengan cermat dinamika perjuangan politik yang dijalani oleh kaum
Muslimin di Indonesia. Buku ini tidak hanya menggambarkan sejarah gerakan

5
Setyawan, D. Haji Agus Salim: The Grand Old Man. Indepth Publishing. Bandar Lampung. 2014. Hal. 2-5.
politik tersebut, tetapi juga mencoba merinci faktor-faktor politik, sosial, dan agama
yang memengaruhi arus perjuangan kaum Muslimin pada saat itu.
Agus Salim dalam bukunya mencoba memberikan pemahaman yang mendalam
mengenai peran serta kontribusi politik yang diberikan oleh kelompok Muslim di
Indonesia. Dengan cermat, ia merinci tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh
kaum Muslimin dalam menggalang dukungan politik, memperjuangkan
kepentingan mereka, dan memainkan peran penting dalam pembentukan arah
politik nasional.
Melalui bukunya, Agus Salim memberikan analisis yang mendalam terkait
strategi politik, aliansi, dan peran partisipatif yang dimainkan oleh kaum Muslimin
dalam konteks dinamika politik Indonesia pada masa itu. Penelitiannya mencakup
peristiwa-peristiwa penting, pemimpin-pemimpin yang memimpin gerakan
tersebut, dan dampak politik yang dihasilkan oleh perjuangan kaum Muslimin
dalam menghadapi berbagai situasi politik.
b) Bidang Filsafat
• Negara Islam Indonesia tahun 1911
Negara Islam Indonesia karya Agus Salim yang terbit pada tahun 1911,
membentangkan pandangan yang mendalam mengenai visinya terhadap peran
Islam dalam konsep negara Indonesia. Dalam tulisan ini, Agus Salim tidak hanya
melihat Indonesia sebagai sebuah entitas geografis, tetapi sebagai panggung penting
bagi ajaran Islam yang harus menjadi pondasi bagi struktur negara. Pandangan ini
tercermin dalam gagasan bahwa identitas Indonesia seharusnya tidak dapat
dipisahkan dari nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam.
• Pemikiran Islam dan Nasionalisme Indonesia tahun 1930
Pada karyanya yang berjudul "Pemikiran Islam dan Nasionalisme Indonesia" yang
ditulis pada tahun 1930, Agus Salim mengupas secara mendalam hubungan
kompleks antara Islam dan nasionalisme di Indonesia. Dalam konteks ini, Agus
Salim tidak hanya menyajikan pandangan pribadi, tetapi juga berusaha memahami
dan menerjemahkan dinamika yang ada pada masa tersebut.

c) Bidang Pendidikan
• Meluruskan Sejarah Aceh tahun 1946
Meluruskan Sejarah Aceh merupakan salah satu karya tulis penting dari Agus Salim
yang memiliki fokus khusus pada sejarah Aceh dan perjuangannya melawan
penjajah. Dalam tulisan ini, Agus Salim secara mendalam mengulas dan
menganalisis berbagai aspek sejarah Aceh, menyajikan pandangan yang bersifat
korektif terhadap narasi-narasi sejarah yang mungkin telah mengalami
penyimpangan atau penafsiran yang tidak akurat.
Dalam eksplorasi sejarah Aceh, Agus Salim mungkin menyoroti peran Aceh
sebagai pusat kekuatan dan kebudayaan di wilayah tersebut, serta menelusuri
catatan perlawanan dan ketahanan Aceh terhadap penjajahan. Analisisnya
kemungkinan besar mencakup momen-momen krusial dalam sejarah Aceh, seperti
perang-perang melawan penjajah, tokoh-tokoh pahlawan Aceh, dan dinamika
sosial-politik yang memengaruhi perjalanan sejarah Aceh.
d) Bidang Keislaman
• Islam dan Kristen tahun 1930
Islam dan Kristen (1930) karya Agus Salim merupakan sebuah tulisan yang
mendalam mengenai hubungan antara Islam dan Kristen di konteks Indonesia pada
masa tersebut. Dalam karya ini, Agus Salim tidak hanya sekadar membahas aspek
teologis, tetapi juga menyoroti konsep toleransi sebagai fondasi bagi hubungan
antaragama.
Agus Salim menyajikan gagasannya tentang bagaimana masyarakat Muslim
dan Kristen dapat hidup berdampingan dengan damai dan harmoni di tengah
perbedaan keyakinan. Dia mengulas nilai-nilai bersama yang dapat menjadi
landasan bagi kerjasama dan penghormatan antarumat beragama. Dengan cermat,
Salim mungkin mengidentifikasi titik-titik persamaan antara ajaran Islam dan
Kristen yang dapat menjadi dasar bagi pemahaman bersama dan toleransi.
BAB III
PEMIKIRAN

A. Perkembangan Pemikiran
a) Konsep Kebangsaan
Sebagai seorang pemikir progresif dan liberal, Agus Salim menyuguhkan
pandangan yang mencolok dalam konteks nasionalisme, khususnya terkait kaitannya
dengan Islam. Dalam kontrast dengan pandangan Ir. Soekarno yang lebih bersifat
sekuler, Agus Salim menekankan bahwa nasionalisme Indonesia seharusnya tidak
terlepas dari nilai-nilai Islam yang mendalam.
Bagi Agus Salim, Islam bukan hanya agama, melainkan juga landasan etika dan
moral yang dapat memperkuat semangat persatuan nasional. Pemikirannya
mencerminkan keyakinannya bahwa identitas nasional Indonesia harus bersifat
inklusif, mengakomodasi perbedaan keyakinan tanpa mengabaikan nilai-nilai universal
yang terdapat dalam ajaran Islam.
Polemik antara Agus Salim dan Soekarno mengenai hubungan antara agama
dan negara mencerminkan perdebatan mendalam seputar arah politik dan ideologis
Indonesia pada periode awal abad ke-20 hingga akhir 1930-an. Secara substansial,
pertentangan ini mencerminkan perbedaan pandangan antara dua golongan utama di
Indonesia, yaitu nasionalis Islami dan nasionalis sekuler.
Polemik tersebut merefleksikan pertarungan ideologis yang tidak terelakkan
pada masa itu. Pada dasarnya, perdebatan ini mencakup pertanyaan fundamental
tentang peran agama dalam ranah politik, khususnya apakah agama harus disatukan
atau dipisahkan dari aspek politik negara. Pertarungan ini tidak hanya bersifat
konseptual, tetapi juga berkaitan erat dengan pilihan prinsip kenegaraan yang harus
dijadikan dasar bagi negara Indonesia yang sedang dalam proses pembentukan.
Perbedaan pandangan mencakup masalah yang sangat aktual dan mendasar,
termasuk seputar apakah negara harus bersifat sekuler atau dapat menerima pengaruh
agama dalam aspek kehidupan publik. Terutama, polemik ini mencuatkan isu
sekulerisasi politik dalam masyarakat yang mayoritas muslim. Dengan demikian,
perdebatan antara Agus Salim dan Soekarno bukan hanya sekadar perbedaan pribadi,
melainkan mencerminkan konflik ideologis yang mencakup seluruh spektrum
masyarakat Indonesia pada masa itu.
Memandang secara historis, pada dekade 1940-an Indonesia menjadi saksi
pertarungan sengit antara dua golongan ideologis utama, yaitu golongan nasionalis
sekuler dan golongan nasionalis Islam. Golongan nasionalis sekuler pada umumnya
meyakini perlunya pemisahan tegas antara urusan agama dan politik dalam konteks
kehidupan politik kenegaraan. Bagi mereka, agama hanyalah suatu ajaran yang bersifat
pribadi dan terkait dengan masalah akhirat, sementara politik kenegaraan berkaitan
dengan urusan duniawi.
Sebaliknya, golongan nasionalis Islam pada periode ini mengusung prinsip
bahwa agama, khususnya Islam, tidak dapat dipisahkan dari urusan kenegaraan.
Mereka memegang teguh komitmen pada pandangan bahwa negara dan masyarakat
seharusnya diatur berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Pandangan ini tidak terbatas hanya
pada dimensi ibadah atau hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan juga melibatkan
aspek sosial, politik, dan lingkungan.
Golongan nasionalis Islam percaya bahwa Islam bukan hanya sebagai panduan
moral dalam urusan pribadi, tetapi juga sebagai landasan yang mengatur tatanan
masyarakat, keadilan sosial, dan hubungan antarmanusia. Mereka menegaskan bahwa
prinsip-prinsip agama Islam tidak hanya relevan dalam ranah spiritual, tetapi juga
dalam membentuk tatanan sosial yang adil dan berkeadilan.
Pertarungan ideologis antara dua golongan yang menganut prinsip berbeda
tercermin jelas dalam kasus retaknya hubungan antara Sarekat Islam dan Partai
Nasionalis Indonesia (PNI). Puncaknya terlihat ketika Soekarno, melalui artikelnya
yang berjudul "Memudahkan Pengertian Islam," menyuarakan pandangan yang
mencerminkan kebutuhan akan pembaharuan pemikiran dalam Islam dan mendesak
untuk melakukan "reorientasi ajaran-ajaran Islam."
Menurut Soekarno, dasar pembaharuan ini menjadi landasan setiap perubahan
dalam sejarah, termasuk perubahan dalam kepercayaan, ideologi, atau agama, seperti
Islam. Pandangan ini mencetuskan ide bahwa sejarah keberagamaan dan kepercayaan
mengharuskan adanya upaya pembaharuan yang rasional, termasuk dalam penafsiran
terhadap Al-Quran dan Hadis. Dengan kata lain, Soekarno mengusulkan bahwa Islam
harus mampu beradaptasi dengan perubahan realitas dan konteks zaman, dan ini dapat
dicapai melalui pendekatan rasionalisasi terhadap ajaran-ajaran Islam.
Pandangan Soekarno ini memberikan gambaran bahwa terdapat perbedaan
prinsip mendasar antara Sarekat Islam, yang mungkin cenderung mempertahankan
tradisi dan ajaran klasik Islam, dengan PNI yang merangkul konsep pembaharuan dan
rasionalisasi dalam menafsirkan sumber-sumber hukum Islam. Retaknya hubungan
antara kedua kelompok ini mencerminkan dinamika kompleks dalam upaya
merumuskan peran Islam dalam konteks perubahan sosial dan politik yang berkembang
di Indonesia pada saat itu.
Dalam menyikapi munculnya pemikiran sekuler yang diusung oleh Soekarno,
Agus Salim, sebagai figur yang berada di pihak islamis, mengecamnya dengan kritik
tajam. Baginya, pandangan sekuler dianggap sebagai suatu bentuk kesesatan terhadap
nilai-nilai agama. Agus Salim percaya bahwa pemikiran sekuler dapat membawa
masyarakat jauh dari prinsip-prinsip moral dan kebenaran yang diakui oleh agama.
Menurut Agus Salim, nasionalisme yang bersifat sekuler cenderung melupakan
aspek-aspek lingkungan sosial yang bersumber dari ajaran agama. Pemikiran ini
mencerminkan keprihatinannya terhadap potensi terpinggirkannya nilai-nilai moral dan
etika dalam masyarakat yang terfokus pada aspek nasionalisme semata.
Lebih lanjut, Agus Salim meyakini bahwa semangat nasionalisme seharusnya
tidak terlepas dari niat kepada Allah SWT. Bagi Agus Salim, niat yang dilandasi oleh
nilai-nilai agama akan memberikan dimensi etis yang kuat pada nasionalisme,
mengarah pada pembentukan masyarakat yang tidak hanya merdeka secara politik
tetapi juga teguh dalam nilai-nilai spiritual dan moral.
Dalam perbandingannya dengan Soekarno, Agus Salim menunjukkan
pandangan yang berbeda mengenai nasionalisme. Berbeda dengan pemikiran Soekarno
yang menempatkan nasionalisme sebagai yang lebih utama dari segala hal, Agus Salim
mengajukan kritik konstruktif terhadap pandangan tersebut. Bagi Agus Salim, ide
Soekarno yang mengangkat tanah air di atas segalanya dapat mengakibatkan pelemahan
keyakinan Tauhid seseorang, yakni keimanan kepada Tuhan, serta berpotensi
mengurangi dedikasi dan ketaatan seseorang kepada Tuhan.
Sementara Agus Salim setuju dengan pentingnya ide persatuan dan cinta tanah
air, ia mewarningkan agar cinta tersebut tidak hanya menjadi semacam slogan kosong
yang kehilangan makna dalam kehidupan sehari-hari rakyat. Dalam pandangannya,
persatuan dan cinta tanah air haruslah nyata dalam tindakan dan perilaku, bukan hanya
retorika belaka.
Agus Salim memperingatkan terhadap risiko dari cinta tanah air yang
berlebihan. Menurutnya, kesetiaan berlebihan terhadap tanah air bisa membahayakan
rakyat itu sendiri dan bahkan bisa berdampak negatif terhadap hubungan dengan rakyat
di luar negeri. Pemikiran ini mencerminkan kebijaksanaan Agus Salim dalam
merespons dinamika kompleks antara nasionalisme dan nilai-nilai ketuhanan, serta
kehati-hatian terhadap ekstremisme yang dapat muncul dari interpretasi yang
berlebihan terhadap cinta tanah air.
Agus Salim mendukung ide bahwa cinta terhadap tanah air seharusnya lebih
bersifat rohaniah daripada bersifat materi atau kebendaan. Dalam perspektifnya,
mencintai Indonesia berarti menempatkan cinta dan pengabdian pada tujuan-tujuan
spiritual yang lebih tinggi daripada sekadar kepentingan duniawi. Baginya, cinta
terhadap tanah air harus mencerminkan aspirasi dan cita-cita yang melebihi batasan
material, yakni mengabdikan diri kepada nilai-nilai keadilan dan keutamaan, yang batas
dan ukurannya terletak dalam pengabdian kepada Allah. Dengan kata lain, cinta tanah
air sejatinya adalah cermin dari iman dan ketaatan kepada-Nya.
Namun, Soekarno memiliki pandangan yang berbeda terkait nasionalisme. Bagi
Soekarno, gagasan nasionalisme yang ia perjuangkan tidak dapat disamakan dengan
konsep yang berkembang di Barat. Baginya, nasionalisme bukan semata-mata tentang
kebanggaan terhadap keberadaan fisik suatu bangsa atau negara, melainkan tentang
pengakuan akan keunikan dan keistimewaan budaya, sejarah, dan karakter spiritual
Indonesia.
Soekarno menyatakan bahwa nasionalisme Indonesia bersumber dari nilai-nilai
lokal yang khas dan tidak dapat dipisahkan dari wawasan keagamaan. Baginya,
kebangsaan bukan hanya sekadar wujud politik dan ekonomi, melainkan juga
manifestasi dari spiritualitas dan kepercayaan kepada Tuhan. Pandangan ini
mencerminkan keberagaman dan pluralitas budaya Indonesia, serta menegaskan bahwa
kebangsaan bukanlah konsep yang bersifat monolitik, tetapi memahami dan
menghargai keberagaman dalam bingkai keutuhan sebagai sebuah bangsa.
Agus Salim, dengan keyakinannya yang mendalam terhadap Islam, melihat
Islam bukan hanya sebagai agama, tetapi sebagai sebuah ideologi kenegaraan yang
mencakup segala aspek kehidupan, baik dunia maupun akhirat. Baginya, ajaran Islam
memberikan pedoman menyeluruh untuk mengatur kehidupan individu dan
masyarakat, membentuk suatu kerangka nilai yang mencakup dimensi spiritual dan
material. Konsep ini menunjukkan bahwa Islam bagi Agus Salim bukan sekadar agama
ritual, melainkan juga landasan bagi tatanan masyarakat dan negara.
Dalam prinsip-prinsip Agus Salim, setiap aspek kehidupan, baik yang berkaitan
dengan urusan dunia maupun akhirat, diarahkan untuk diatur secara Islami. Hal ini
sejalan dengan prinsip Al-Quran yang menyerukan agar setiap orang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan mengatur seluruh aspek kehidupannya sesuai dengan prinsip-
prinsip Islam.
Namun, terkait dengan Nasionalisme, Agus Salim mengambil pendekatan yang
kompleks. Di satu sisi, ia menolak nasionalisme jika hal itu mengarah pada
pengurangan ketaatannya kepada Tuhan. Agus Salim berpendapat bahwa setiap bentuk
nasionalisme yang menggeser kepatuhan kepada Allah dapat menjadi bentuk
penyimpangan. Namun, di sisi lain, Agus Salim menerima nasionalisme yang
bersumber dari rasa cinta tanah air, tetapi dengan syarat bahwa niatnya harus didasari
oleh keimanan kepada Allah SWT. Dalam pandangannya, nasionalisme yang
dijalankan dengan niat yang tulus untuk mencapai keridhaan Allah dapat menjadi
sarana positif untuk memperjuangkan kesejahteraan bangsa.

b) Konsep Kenegaraan
Pemikiran Agus Salim tentang agama Islam, khususnya dalam konteks
kehidupan bernegara, dapat diidentifikasi sebagai progresif dan liberal, suatu
pendekatan yang dia kembangkan melalui studinya yang mendalam, terutama saat ia
secara langsung mempelajari Islam dari sumber-sumber asli berbahasa Arab dan
berinteraksi dengan para ulama di Masjidil Haram ketika ia bertugas sebagai
penerjemah di konsulat Belanda di Jeddah.
Agus Salim, yang sering diakui sebagai perintis pemikiran neomodernisme di
Indonesia, mewakili suara progresif dalam pemahaman Islam. Pendekatannya yang
progresif dan liberal menunjukkan upayanya untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan
perkembangan zaman tanpa mengurangi nilai-nilai pokok agama. Pemikirannya
mencerminkan pandangan inklusif yang tidak hanya menerima keberagaman dalam
masyarakat, tetapi juga mempromosikan kerjasama antarumat beragama.
Pola pemikiran progresif Agus Salim tercermin dalam cara uniknya untuk
memahamkan dan memperkenalkan Islam. Ia menekankan pada peningkatan
pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri, tanpa merendahkan agama-agama lain.
Dengan pendekatan ini, Agus Salim tidak hanya menjelaskan keunggulan agama Islam,
tetapi juga menghindari perbandingan yang bersifat merendahkan terhadap agama-
agama lain. Ini mencerminkan semangat dialog antaragama dan toleransi, mendukung
konsep inklusifitas dan kehidupan bersama.
Pemikiran H Agus Salim tentang Pan Islamisme tertuang dalam artikel tentang
Yahudi dan Palestina:
Memang seharusnyalah umat Islam Indonesia mempersatukan pula suaranya
berkenaan dengan hal itu dan menyebuahkan usaha dan daya-upaya, jika ada yang dapat
dilakukan, untuk membuktikan persatuan hatinya dan pengakuannya akan perhatiannya dengan
umat Islam tiap-tiap bangsa dalam seluruh dunia, seperti yang sudah terdengar suaranya di
dalam kongres Pan Islam di Mesir belum lama ini dan terdengar pula suara dari tiap-tiap negeri
Islam. Akan tetapi Indonesia belum lagi menghimpunkan suaranya menyekutu sikap dan gerak
alam dan umat Islam sedunia.6

Dalam tatanan politik Islam, Agus Salim diperkenalkan pada konsep Pan-
Islamisme, yaitu gagasan tentang persatuan negara-negara Islam. Pemikiran Agus
Salim terhadap konsep ini menonjolkan aspek non-politis lebih dari aspek politis. Bagi
Agus Salim, Pan-Islamisme tidak harus diwujudkan dalam bentuk khilafah semata,
melainkan dapat diterjemahkan secara emosional sebagai faktor pemersatu dunia Islam.
Pemikiran Agus Salim mengenai konsep Negara Islam dipengaruhi secara
signifikan oleh latar belakang pendidikannya, perjalanan karir, dan lingkungan sosial
yang membentuk pola pikirnya. Pengaruh tokoh-tokoh berpengaruh dalam hidupnya
serta dinamika ilmu pengetahuan turut membentuk pandangan Agus Salim terhadap
peran dan bentuk Negara Islam.
Pada tahun 1925, Agus Salim mendirikan organisasi Jong Islamieten Bond
(JIB) dengan tujuan utama untuk menghadapi arus pembaratan yang melanda kaum
muda terpelajar pada waktu itu. JIB berkembang menjadi organisasi politik yang sangat
berpengaruh dalam memberikan pemahaman Islam kepada kaum terpelajar yang
berpendidikan Barat. Selain itu, JIB menjadi wadah bagi tumbuhnya generasi
kepemimpinan Islam.
Sejak tahun 1921, Agus Salim telah memulai orientasi Pan-Islamisme dengan
memimpin Kongres Al-Islam yang pertama di Cirebon. Konsep Pan-Islamisme ini
mencakup usaha untuk menyatukan seluruh umat Islam di bawah satu ikatan di bawah
kepemimpinan seorang Khalifah. Dalam kongres tersebut, tiga organisasi Islam utama,
yaitu Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad, aktif berpartisipasi. Kongres Al-
Islam menjadi forum untuk membahas masalah agama dan menyatukan langkah-
langkah bersama dalam menghadapi dinamika politik dan sosial yang dihadapi umat
Islam pada saat itu.7

6
Panitia Peringatan, Seratus Tahun Haji Agus Salim (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) 341
7
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), h.152-153
Agus Salim, seorang intelektual dan tokoh pemikir Muslim Indonesia, secara
tegas menentang gagasan pan-Islamisme yang bertujuan untuk menguasai dunia Islam.
Baginya, pandangan ini dianggap sebagai fiktif dan tidak realistis. Alih-alih mengikuti
gagasan pan-Islamisme, Agus Salim lebih fokus pada upaya untuk mempererat
hubungan antara Muslim di berbagai negara Islam. Ia menganggap penting untuk
membangun solidaritas dan persatuan di antara umat Islam.
Agus Salim memberikan contoh kasus Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad
Abduh sebagai tokoh-tokoh yang pertama kali melakukan gerakan pembaharuan dalam
Islam. Mereka mengusung ide-ide reformis untuk mengembangkan pemahaman Islam
yang lebih kontekstual dan relevan dengan zaman mereka. Pemikiran-pemikiran ini
menjadi landasan bagi perkembangan pemikiran Islam moderat dan pembaharuan di
abad ke-19 dan ke-20.8
Namun, dalam sejarah, Sultan Abdul Hamid II dari Kesultanan Utsmaniyah
memanfaatkan gerakan pan-Islamisme untuk tujuan politiknya. Ia menggunakan klaim
sebagai Khalifah untuk memperkuat pengaruh dan kekuasaan Turki di dunia Islam.
Istambul, ibukota Turki, menjadi pusat kekuatan politik yang signifikan bagi dunia
Muslim pada masa itu.9
Pada tahun 1924, terjadi pergantian kekuasaan di Turki dengan kepemimpinan
Mustafa Kemal Atatürk. Pemerintahan baru ini menghapus sistem pemerintahan
berdasarkan Islam dan menghapus sistem kekhalifahan. Kebijakan ini menciptakan
kontroversi di kalangan umat Islam di seluruh dunia. Raja Saud dari Saudi Arabia
kemudian mengambil inisiatif untuk mengadakan Kongres Islam sedunia di Makkah
pada tahun 1926 untuk membahas masalah kekhalifahan.
Agus Salim, sebagai pelopor gerakan pan-Islamisme, juga memimpin cabang
dari Kongres tersebut, yaitu Muktamar Alam Islamy Far'ul Hindis Syarqiyah (MAIS)
dengan kantor berkedudukan di Surabaya. Pada tahun 1927, Kongres Al Islam Sedunia
yang kedua diadakan di Makkah, tetapi kongres ini dianggap gagal karena tidak
mencapai kesepakatan yang tegas tentang kelanjutan organisasi yang didirikan setahun
sebelumnya.

8
Hadji Agus Salim, Pesan-Pesan Islam Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell University Amerika
Serikat, (Bandung: Mizan, 2011), h.289-290
9
Hadji Agus Salim, Pesan-Pesan Islam Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell University Amerika
Serikat, (Bandung: Mizan, 2011), h.289-290
Dengan pendekatan yang diambil oleh Haji Agus Salim, terbentuklah organisasi
bernama Al Ansar Al-Haramain. Meskipun, menurut H. Aqib Suminto, tujuan
pendirian organisasi ini tidak terkait dengan konsep Khalifah atau Pan Islam, melainkan
memiliki fokus khusus untuk membela Makkah dan Madinah. Pandangan ini menjadi
jelas ketika Haji Agus Salim menyampaikan pemikirannya tentang Pan Islam, yang
diuraikan secara rinci dalam artikel majalah "Pedoman Masyarakat" edisi Rabu, 4
Januari 1939, berjudul "Khalifah dan 'Alam Islam".
Dalam artikel tersebut, Haji Agus Salim mengemukakan perspektifnya tentang
sistem kekhalifahan Islam. Menurutnya, gagasan tentang kekhalifahan sudah bersifat
usang, dan fakta historis menunjukkan bahwa keberadaan khalifah dalam dunia Islam
sebagian besar dipengaruhi oleh perbedaan faham (khilafiah). Pemikirannya menyoroti
bahwa kedudukan Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul penutup, sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur'an, tidak dapat digantikan.
Haji Agus Salim juga menyampaikan bahwa pada masa Rasulullah SAW,
beberapa kerajaan yang masuk Islam tidak secara otomatis tunduk pada kekuasaan
Rasul dalam urusan politik. Argumen lainnya yang dia sampaikan adalah pengangkatan
Abu Bakar sebagai khalifah, yang menurutnya lebih didasarkan pada kepentingan
praktis, yakni untuk menjaga persatuan bangsa Arab yang sebelumnya terpecah.10
Masalah Pan Islamisme ini kemudian tidak diperhatikan lagi oleh partai, seiring
dengan berkurangnya perhatian dari negeri-negeri Islam lain tentang masalah
tersebut.11

B. Pengaruh Pemikiran
Agus Salim, sebagai pemikir dan pejuang kemerdekaan yang karismatik, memberikan
sumbangan yang sangat berarti dalam membentuk identitas nasional Indonesia.
Pemikirannya yang inklusif menggambarkan visinya akan kebangsaan yang menyatukan
berbagai unsur keberagaman etnis, agama, dan budaya ke dalam suatu kesatuan yang
kokoh. Dalam hal ini, pemikiran inklusif Agus Salim bukan hanya sekadar wacana,
melainkan merupakan pilar sentral yang membentuk dasar identitas nasional.

10
Nur Iman, Pemikiran Haji Agus Salim Tentang Islam, (Semarang: Skripsi Universitas Negeri Semarang.2006),
h.111-114
11
Suradi SS. Grand Old Man Of The Republic Haft Agus Salim Dan Konflik Politik Sarekat Islam. (Yogyakarta:
Mata Padi Pressindo, 2014), h.70-72
Pandangannya mencakup nilai-nilai universal yang bersifat lintas waktu dan lintas
budaya, sejalan dengan semangat keadilan, persamaan, dan martabat kemanusiaan.
Pemikirannya yang melibatkan nilai-nilai lokal Indonesia memberikan fondasi kebangsaan
yang kuat, menghargai dan merayakan keanekaragaman warisan budaya Indonesia tanpa
mengabaikan kesatuan nasional.
Kontribusi Agus Salim dalam merangkul keberagaman etnis tercermin dalam
kesadarannya terhadap masyarakat Indonesia yang sangat heterogen. Melalui
pemikirannya, ia membuka jalan bagi perpaduan antara identitas lokal dan identitas
nasional, mengatasi potensi konflik yang mungkin timbul akibat perbedaan etnis. Dengan
demikian, pemikiran inklusifnya membawa dampak positif terhadap penyatuan Indonesia
sebagai bangsa yang beragam.12
Pemikiran Agus Salim memainkan peran penting yang menciptakan dampak nyata
yang dapat diukur dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satu kontribusinya
yang paling mencolok terletak dalam bidang diplomasi dan negosiasi internasional. Sejak
awal abad ke-20, Agus Salim terlibat dalam perjalanan diplomasi yang intens, mewakili
Indonesia dalam berbagai forum internasional dan membela hak kemerdekaan bangsanya.
Keterlibatannya dalam perundingan-perundingan penting, seperti Konferensi Meja Bundar
pada tahun 1949, menunjukkan kepiawaiannya dalam berdiplomasi dan membuktikan
dirinya sebagai salah satu arsitek kebijakan luar negeri Indonesia yang pertama.
Perannya yang signifikan tidak hanya terbatas pada tingkat diplomatik. Agus Salim
juga aktif dalam merumuskan dasar-dasar negara Indonesia yang merdeka. Keterlibatannya
dalam pembahasan dan penyusunan naskah Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan
peran intelektualnya dalam proses pembentukan negara. Pemikiran dan ide-idenya
tercermin dalam prinsip-prinsip dasar negara, yang mencerminkan semangat kebangsaan,
persatuan, dan keadilan.13

12
Ali Syarief, Agus Salim: Bapak Diplomasi Indonesia, Gema Insani Press, 1999.
13
Taufik Abdullah, "Agus Salim: Pemikir dan Pengamat Masa", Pustaka Sinar Harapan, 1986.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan rumusan masalah dan pembahasan yang telah dipaparkan
tentang Pemikiran H.Agus Salim tentang konsep kebangsaan dan kenegaraan dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
a) Konsep Negara Islam menurut H. Agus Salim adalah Pan Islamisme itu hanya bersifat
fiktif. Agus Salim menyebut bahwa Negara Islam tidak harus berbentuk khilafah tetapi
juga bias pendekatan emosional sebagai factor pemersatu dunia Islam.
b) Konsep Kebangsaan menurut H Agus Salim adalah nasionalisme yang berlandaskan ke
Tuhanan yang mana Nasionalisme itu harus di posisikan dalam konteks pengabdian
kepada Allah SWT. Agus salim berbeda pandangan dengan Soekarno yang mengatakan
bahwa Nasionalisme sebagai cinta tanah air semata. Agus salim tidak menolak
Nasionalisme sebagai bentuk cinta tanah air, tetapi Agus Salim melihat perjuangan
yang telah dilakukan bukan untuk fanatic cinta tanah air tetapi mencari ridho Allah
SWT. Nasionalisme adalah modal perjuangan bangsa, karena dengan nasionalisme
warga Negara dituntut untuk mengusir penjajah. Latar belekang pemikiran Haji Agus
Salim dalam mencetuskan semangat atau ide mengenai nasionalisme tersebut sangat
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya dan pengembaraannya ke-Makkah serta
keadaan bangsa yang pada saat itu sangat memprihatinkan, karena keadaan bangsa pada
saat itu ditindas dan dikeruk kekayaannya tanpa memperhatikan keadaan perekonomian
masyarakat pada saat itu.
DAFTAR PUSTAKA

Ali Syarief, Agus Salim: Bapak Diplomasi Indonesia, Gema Insani Press, 1999.
Boechari. Ilmu Sejarah: Pendekatan, Falsafah, dan Metode. PT Intermasa: 1984.
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980),
Djubiantono, T. Metodologi Sejarah. Kanisisus: 2005.
Hadji Agus Salim, Pesan-Pesan Islam Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell
University Amerika Serikat, (Bandung: Mizan, 2011).
Mukayat. Haji Agus Salim: Karya dan Pengabdiannya. Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan
Dokumentasi Sejarah Nasional. Jakarta.1985
Nur Iman, Pemikiran Haji Agus Salim Tentang Islam, (Semarang: Skripsi Universitas Negeri
Semarang. 2006.
Panitia Peringatan, Seratus Tahun Haji Agus Salim (Jakarta: Sinar Harapan, 1984)
Setyawan, D. Haji Agus Salim: The Grand Old Man. Indepth Publishing. Bandar Lampung.
2014. Hal. 1
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah (Bandung:Pustaka Setia, 2014
Suradi SS. Grand Old Man Of The Republic Haft Agus Salim Dan Konflik Politik Sarekat
Islam. (Yogyakarta: Mata Padi Pressindo, 2014).
Taufik Abdullah, "Agus Salim: Pemikir dan Pengamat Masa", Pustaka Sinar Harapan, 1986.

Anda mungkin juga menyukai