Anda di halaman 1dari 4

Nama : Afifah Sefriyan

Nim: 23033004
Mata Kuliah : Pendidikan kewarganegaraan

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak lima gugatan uji formil terhadap Undang-Undang Cipta
Kerja yang diajukan oleh sejumlah serikat pekerja .

Dengan ditolaknya gugatan tersebut, MK menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun


2023, yang disahkan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2022 tentang Cipta Kerja, “tetap memiliki kekuatan hukum mengikat”. Artinya, UU ini tetap
berlaku.
Kelima gugatan uji formil tersebut pada dasarnya mempermasalahkan proses pembuatan UU
6/2023 yang dinilai cacat formil, tidak sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Salah satunya, karena tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna.
Namun, MK menilai dalil-dalil permohonan itu “tidak beralasan menurut hukum”.

MK juga menyatakan dapat memahami alasan “kegentingan mendesak” yang menjadi dasar
pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja.
“Pokok permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” kata
Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memimpin sidang putusan uji
materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
di Gedung MK, Jakarta, Senin (02/10)
Sejak pertama kali disahkan pada 2020 lalu, UU Cipta Kerja ditolak oleh berbagai serikat
pekerja, akademisi, pegiat HAM, hingga mahasiswa.
Salah satu penggugat, Elly Rosita Silaban dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia
(KSBSI) mengatakan putusan ini “sangat mengecewakan”.
Ketika hakim membaca pertimbangan-pertimbangannya dalam sidang pembacaan putusan, Elly
mengaku “sudah bisa memprediksi” bahwa mereka akan kalah karena semua dalil-dalil gugatan
dinilai “tidak beralasan”.
“Pada akhirnya, kami dari serikat buruh menilai bahwa MK ini sama lah, juru bicaranya
pemerintah. Memang saat ini kami sudah kalah, kami akan melanjutkan ke gugatan materil. Itu
saja yang akan kami persiapkan,” kata Elly kepada BBC News Indonesia.
SUMBER GAMBAR,RIFKIANTO NUGROHO/DETIK.COM
Massa dari berbagai serikat pekerja berunjuk rasa di sekitar Gedung Mahkamah Konstitusi pada
Senin (02/10/2023) untuk menyuarakan penolakan mereka terhadap Undang-Undang Cipta
Kerja
Pembacaan gugatan ini juga diwarnai oleh aksi unjuk rasa sejumlah serikat pekerja di sekitar
Gedung MK, Jakarta Pusat. Polisi mengerahkan lebih dari 6.000 personil untuk mengamankan
aksi ini.
Mereka meneriakkan agar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 “dibatalkan”. UU ini dianggap
telah “menindas hak-hak pekerja”.
Pada konferensi pers pada Jumat (29/09), Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mengatakan
putusan MK ini akan menentukan nasib para pekerja ke depan.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh Said Iqbal
(tengah) menyimak jalannya sidang putusan uji materi UU Cipta Kerja di Gedung MK, Jakarta,
Senin (02/10)
“Tentu putusan ini akan berpengaruh sekali untuk jangka panjang 30 tahun bagi buruh
Indonesia, petani, lingkungan hidup, pegiat HAM, dan kelompok-kelompok lainnya,” kata
Presiden Partai Buruh, Said Iqbal.
Mengapa serikat-serikat pekerja menolak UU Cipta Kerja dan bagaimana putusan serta
pertimbangan MK?
Berikut hal-hal yang perlu Anda ketahui terkait gugatan ini.

SUMBER GAMBAR,RIFKIANTO NUGROHO/DETIK.COM


Bagaimana riwayat gugatan UU Cipta Kerja?
Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja disahkan pada 5 Oktober 2020. Saat itu, pengesahan
dari UU ini menuai penolakan luas dari masyarakat, mulai dari serikat buruh, aktivis HAM,
hingga mahasiswa.
Penolakan itu kemudian berlanjut pada gugatan uji formil ke MK. Pada 25 November 2021, MK
menyatakan UU Cipta Kerja sebagai “inkonstitusional bersyarat”.
MK memerintahkan pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka dua tahun
sejak putusan dibacakan. Selama tenggang waktu itu, UU Cipta Kerja dinyatakan “masih tetap
berlaku”.
Kemudian pada 30 Desember 2022, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dengan alasan
“kegentingan memaksa”.
Perppu itu lagi-lagi menuai penolakan dari berbagai kalangan.
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, pada saat itu mengatakan kepada
BBC News Indonesia bahwa sikap pemerintah “tidak sesuai dengan perintah MK yang
memerintahkan pemerintah serta DPR untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu dua
tahun sejak putusan dibacakan.”
Sementara itu, serikat buruh juga menilai substansi Perppu Cipta Kerja “masih merugikan posisi
pekerja”.
Perppu itu kemudian digugat kembali oleh sejumlah serikat buruh ke MK. Di tengah proses
gugatan yang belum selesai, DPR dan pemerintah justru mengesahkan Perppu tersebut
menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
Dalam sidang paripurna yang digelar pada 21 Maret 2023, tujuh fraksi di DPR menyetujui
pengesahan Perppu menjadi UU. Hanya dua fraksi yang menolak, yakni Fraksi Demokrat dan
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
UU 6/2023 inilah yang kemudian digugat kembali oleh sejumlah serikat buruh dan kalangan
masyarakat sipil.
Bagaimana dalil gugatan?
Ada lima gugatan terhadap UU Cipta Kerja yang putusannya akan dibacakan oleh MK pada
Senin (02/10) pukul 13.00 WIB.
Kelimanya terdaftar dengan nomor perkara 40/PUU-XXI/2023, nomor 41/PUU-XXI/2023, nomor
46/PUU-XXI/2023, nomor 50/PUU-XXI/2023, dan nomor 54/PUU-XXI/2023.
Dalam gugatan nomor 54 yang putusannya dibacakan pertama, pemohon yang terdiri dari 15
serikat pekerja menggungat pengesahan Perppu 2/2022 yang menjadi cikal bakal disahkannya
UU 6/2023.
Perppu itu disahkan oleh Presiden Joko Widodo dengan alasan “kegentingan yang memaksa”.
Namun menurut para pemohon, lahirnya Perppu tersebut melanggar prinsip tersebut.
Mereka juga menilai bahwa proses pembentukan UU 6/2023 “executive heavy dan otoriter”.
Dalam permohonan gugatannya, mereka meminta MK menyatakan UU 6/2023 tidak memenuhi
ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945
Mereka juga meminta MK memberlakukan kembali UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja dengan memperhatikan putusan MK sebelumnya, yang mana UU itu telah dinyatakan
“inkonstitusional bersyarat”.
Sementara itu, dalam gugatan nomor 41, Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardianto dari KSBSI
menilai bahwa UU 6/2023 “mengandung cacat formil atau cacat konstitusi”.
KSBSI juga menilai pengesahan Perppu menjadi UU tersebut “bertentangan dengan putusan MK
sebelumnya”, yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Menurut Elly, putusan MK itu semestinya ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan memperbaiki
UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dengan “melibatkan partisipasi dari pihak-pihak yang
berkepentingan”.
Namun hingga Perppu diterbitkan dan disahkan menjadi UU, KSBSI merasa tidak ada partisipasi
yang bermakna tersebut.
“Kami tidak pernah secara khusus diajak pemerintah untuk membicarakan ini, tapi dengan
mengundang serikat pekerja di daerah untuk sosialisasi pernah meskipun bermasalah,” kata
Elly.
Sampai saat ini, Elly mengatakan mayoritas substansi yang ditolak oleh para pekerja “masih
belum berubah”.

Apa pertimbangan MK?


Dalam pertimbangannya, hakim MK menilai Perppu Cipta Kerja karena situasi perang di Ukraina
“bisa dipahami sebagai kegentingan yang memaksa”. Ditambah lagi dengan situasi ekonomi
yang baru dihantam oleh pandemi Covid-19.
MK menilai dalil gugatan soal “kegentingan yang memaksa itu” tidak terpenuhi. Sebagai
konsekuensi dari kegentingan itu, penetapan Perppu dalam proses persetujuan di DPR tidak
relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna.

SUMBER GAMBAR,ANTARA FOTO


Pada 25 November 2021, MK menyatakan UU Cipta Kerja "inkonstitusional bersyarat"
Hakim berpendapat persetujuan DPR sejatinya merupakan representasi dari masyarakat.
Dari sembilan hakim yang memutus perkara ini, terdapat empat hakim yang memiliki pendapat
berbeda (dissenting opinion). Keempat hakim itu yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny
Nurbaningsih, dan Suhartoyo.
Pasca-putusan ini, MK masih akan membacakan putusan dari empat gugatan uji formil lainnya
terhadap UU Cipta Kerja.

Anda mungkin juga menyukai