Anda di halaman 1dari 19

Pakar hukum pidana Abdul Fickar

menjelaskan bahwa kekeliruan berupa salah


ketik tersebut tak dapat dibawa ke ranah
hukum pidana salah satunya karena terganjal
undang-undang.
Kekeliruan dalam naskah Undang-undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja berupa salah ketik alias typo dinilai
tak dapat dibawa ke ranah hukum pidana. Hal ini disampaikan
oleh pakar hukum pidana Abdul Fickar.
Menurut Abdul, kekeliruan tersebut tak dapat dibawa ke ranah
hukum pidana salah satunya karena terganjal undang-undang.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) Pasal 245 mengatur soal
impunitas tersebut.
Selain itu, pasal 51 KUHP juga menjadi salah satu aturan
yang mengganjal. "Tetapi jika ditemukan bukti anggota DPR
terima suap dalam rangka mengganti pasal, bisa dituntut
pidana korupsi," dilansir CNN Indonesia pada Senin (9/11).
Sebagai informasi, pasal 245 ayat (1) mengatur anggota DPR
tak bisa dipanggil untuk pemeriksaan oleh aparat penegak
hukum terkait kasus pidana tanpa seizin Presiden yang
mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan
(MKD). Kemudian di ayat (2), aturan pada ayat (1) tak
berlaku jika anggota DPR tertangkap tangan melakukan
pidana, menjadi tersangka kejahatan terhadap kemanusiaan
dan keamanan negara, serta menjadi tersangka pidana khusus.
Sementara itu, kesalahan dalam UU Cipta Kerja bersifat
administratif politis. "Apakah pidana? Dalam konteks ini
hanya bersifat administratif politis, kecuali bisa dibuktikan
yang sengaja mengubah, mendapatkan atau memperoleh
sesuatu yang bersifat ekonomis sebagai suap atau gratifikasi,"
jelas Abdul.
Hal senada juga disampaikan oleh pakar hukum pidana
Chairul Huda. Menurut Chairul, kesalahan administratif
dalam UU Cipta Kerja tak bisa diseret ke ranah hukum
pidana. "Enggak bisa dipidana, itu kesalahan administratif.
Enggak bisa (pidana)," ungkapnya.
Lebih lanjut, Chairul menjelaskan bahwa kesalahan
administratif itu berimplikasi kepada cacat prosedur
pembentukan perundangan-undangan. Hal tersebut hanya bisa
di bawa ke mahkamah konstitusi (MK).
"Implikasinya UU itu cacat prosedur dan bisa dibatalkan di
MK, karena ternyata banyak kesalahan dan prosesnya tidak
sesuai dengan prosedur, bagaimana sudah ditetapkan oleh
DPR, tapi belum ada naskah," pungkas Chairul. "Itu kan
melanggar prosedur pembuatan UU dan membuat UU ini bisa
dibatalkan."
UU Cipta Kerja: Kesalahan 'fatal' pasal-pasal
Omnibus Law akibat 'proses legislasi ugal-
ugalan', apakah UU layak dibatalkan?
Dua pakar hukum tata negara menyebut kejanggalan dalam
setidaknya tiga pasal UU Cipta Kerja adalah "fatal" dan
membuat pasal-pasal tersebut "tidak bisa diterapkan", namun
pemerintah berkukuh kesalahan itu hanya bersifat teknis-
administratif dan tidak mempengaruhi implementasi undang-
undang.
Kejanggalan pasal-pasal ini bisa menguatkan argumentasi
pihak yang mengajukan uji formil ke Mahkamah Konstitusi
untuk membatalkan undang-undang tersebut, kata dua pakar
itu.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menambahkan
kejanggalan demi kejanggalan dalam UU Cipta Kerja - meski
telah ditandatangani Presiden Joko Widodo - menggambarkan
"proses legislasi yang ugal-ugalan".
"Ugal-ugalan karena ingin cepat sampai, segala cara
dihalalkan supaya undang-undang ini cepat ada. Buahnya
adalah ini, karena memang dalam proses legislasi dalam
sepanjang sejarah indonesia, ini yang paling buruk," kata ujar
Bivitri kepada wartawan BBC News Indonesia, Ayomi
Amindoni
Undang-undang yang telah diberi nomor menjadi UU Nomor
11 Tahun 2020 itu memuat 1.187 halaman, lebih banyak dari
naskah yang diserahkan DPR pada 14 Oktober lalu sebanyak
812 halaman.
Akan tetapi, undang-undang yang dijuluki Omnibus Law
tersebut diwarnai dengan salah ketik di sejumlah pasal.
Bahkan, ada beberapa pasal salah rujukan.
Namun demikian, Kantor Staf Presiden menegaskan bahwa
kekeliruan tersebut hanya bersifat teknis-administratif saja,
dan tidak akan memengaruhi interpretasi maupun
implementasi terhadap keberadaan payung hukum tersebut.
Tak lama setelah ditandatangani Presiden Joko Widodo,
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) telah
mendaftarkan pengajuan uji materi sejumlah pasal terkait
klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja ke Mahkamah
Konstitusi.

Pasal apa saja yang digugat KSPI dalam uji materi?


Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Kahar S
Cahyono, menjelaskan pasal-pasal yang digugat dalam uji
materi adalah "pasal-pasal yang merugikan kaum buruh",
antara lain menyangkut upah murah, karyawan kontrak,
outsourcing dan nilai pesangon.
Kahar menyoroti dalam UU Cipta Kerja terdapat pasal sisipan
pasal 88C ayat (1) yang menyebut gubernur wajib
menetapkan upah minimum provinsi dan pasal 88C ayat (2)
yang menyebut gubernur dapat menetapkan upah minimum
kabupaten/kota dengan syarat tertentu.
Menurutnya, frasa "dapat" dalam pasal itu sangat merugikan
buruh karena membuat penetapan upah minimum
kabupaten/kota (UMK) menjadi bukan kewajiban.
"Kata-kata "dapat" ini kan opsional, bisa ditetapkan dan bisa
tidak. Kalau kemudian yang wajib ditetapkan adalah UMP
(upah minimum provinsi) maka akan ada dampak bagi kaum
buruh," jelas Kahar.
Dia mencontohkan, UMP di Jawa Barat pada 2019 adalah
Rp1,8 juta, sementara UMK di Bekasi besarannya Rp4,8 juta.
Jika yang ditetapkan hanya UMP, maka nilai UMK Bekasi -
yang notabene adalah bagian dari Jawa Barat - akan turun
setara dengan UMP.
Kahar menambahkan, pemberlakukan UU Cipta Kerja, akan
mengembalikan Indonesia pada rezim upah murah.
Apalagi ditambah dengan dihilangkan upah minimum
berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota
(UMSK dan UMSP), karena UU No 11 Tahun 2020
menghapus Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003.
Selain itu, KSPI juga menggugat pasal yang mengatur tentang
outsourcing.
UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 64 dan 65 UU No 13
Tahun 2003.
Selain itu, UU tersebut juga menghapus batasan lima jenis
pekerjaan yang terdapat di dalam Pasal 66 yang
memperbolehkan penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya
untuk cleaning service, catering, security, driver, dan jasa
penunjang sektor migas.
Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang
boleh menggunakan tenaga outsourcing, maka semua jenis
pekerjaan di dalam pekerjaan utama atau pekerjaan pokok
dalam sebuah perusahaan bisa menggunakan karyawan
outsourcing.
"Artinya ke depan semua jenis pekerjaan bisa menggunakan
outsourcing," kata dia.
Dengan kondisi itu, seorang buruh tidak lagi memiliki
kejelasan terhadap upah, jaminan kesehatan, jaminan pensiun,
dan kepastian pekerjaannya.
KSPI juga mengajukan uji materi terkait pasal yang mengatur
batas waktu kontrak.
UU No 11 Tahun 2020 menghilangkan periode batas waktu
kontrak yang terdapat di dalam Pasal 59 UU No 13 Tahun
2003.
Akibatnya, pengusaha bisa mengontrak berulang-ulang dan
terus-menerus tanpa batas batas waktu.
Dengan demikian, karyawan kontrak bisa diberlakukan
seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi karyawan tetap.
Hal ini berarti, tidak ada job security atau kepastian bekerja.
Padahal dalam UU No 13 Tahun 2003, batas waktu karyawan
kontrak batas waktu dibatasi maksimal 5 tahun dan maksimal
3 periode kontrak.
"Itu hal yang substansial kami permasalahkan. Ada hal-hal
lain, misalnya terkait waktu kerja yang kami anggap fleksibel,
kemudian soal pengurangan pesangon, PHK yang lebih
mudah, tenaga kerja yang unskilled bebas masuk ke
Indonesia," jelas Kahar.
Selain gugatan uji materi, Kahar mengatakan pihaknya juga
akan mengajukan gugatan uji formil terkait dengan proses
pembuatan undang-undang tersebut.
"Karena indikasi banyak pelanggaran dalam proses
pembuatannya, termasuk ada dugaan perubahan-perubahan
yang dilakukan pasca disahkannya undang-undang Cipta
Kerja ini tanggal 5 Oktober lalu," ujar Kahar.

Kejanggalan Pasal yang 'luar biasa fatal'


Sejak disahkan hampir sebulan lalu, UU Cipta Kerja
mengalami enam kali revisi dan sejumlah perubahan, baik
dalam hal jumlah halaman maupun pencabutan pasal.
Bahkan, ketika sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo,
undang-undang itu diwarnai salah ketik dan kesalahan
redaksional.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Feri Amsari, mengungkap ada beberapa
hal yang "luar biasa fatal" dalam UU Cipta Kerja yang
menunjukkan "proses pembuatannya menunjukkan
kesemrawutan".
Dia mencontohkan relasi pasal 5 dan pasal 6 dalam UU Cipta
Kerja. Pasal 6 dalam undang-undang itu merujuk pada pasal 5
ayat 1 huruf a. Namun pada pasal sebelumnya itu tidak
terdapat ayat atau huruf.
"Tentu saja orang yang membaca ketentuan undang-undang
ini akan mengalami kebingungan luar biasa untuk memahami
hal tersebut," kata Feri.
Pasal 6 dalam undang-undang itu merujuk pada pasal 5 ayat 1
huruf a. Namun pada pasal sebelumnya itu tidak terdapat ayat
atau huruf.
Salinan UU Cipta Kerja yang didapat BBC News Indonesia,
menunjukkan kesalahan redaksional pasal yang janggal
tersebut:
Pasal 5
Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang
terkait.
Pasal 6
Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a
meliputi:
a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha;
c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
d. penyederhanaan persyaratan investasi.

Kesalahan fatal lain, kata Feri, terdapat dalam pasal 1 soal


ketentuan umum yang memberikan makna isi materi muatan
pasal-pasal di bawahnya.
Di pasal 1, pengertian minyak dan gas bumi adalah minyak
bumi dan gas bumi.
"Itu pengertian yang menurut saya sangat konyol,"
"Dan kita juga bisa baca pengertian-pengertian lain yang
kemudian maknanya disederhanakan padahal itu membuat
pemaknakan isi materi muatan undang-undang ini menjadi
kabur dan sulit dipahami," jelasnya kemudian.
Penerapan pasal 1 yang menjadi ketentuan umum, kata Feri,
akan banyak sekali masalah yang akan timbul karena
pemaknaan pasal itu bisa sangat berbeda-beda.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan pasal
lain yang janggal adalah pasal 175 yang mengubah pasal 53
UU Administrasi Negara. Sama seperti pasal 6, pasal 175
adalah salah rujukan.
"Dalam pembuatan UU kesalahan seperti ini fatal, karena
kedua pasal yang ditemukan sejauh ini, jadi tidak bisa
dilaksanakan karena rujukannya salah pasti akan ada
kebingungan dalam pelaksanaannya," kata Bivitri.
Dengan kondisi ini, kata Bivitri undang-undang itu "layak
dibatalkan".
"Bahkan ada atau tidak ada kesalahan ini, dengan segala
kesalahan yang ada, sudah layak dibatalkan. Dia sudah tidak
punya legitimasi sebenarnya. Tapi layak dibatalkan dalam
hukum itu artinya harus dimintakan pembatalannya kepada
Mahkamah Konstitusi," jelas Bivitri.
Menurutnya, dampak lain ditemukannya kesalahan ini adalah
argumentasi orang-orang yang mengajukan uji formil ke
Mahkamah Konstitusi menjadi semakin kuat.
"Bahwa undang-undang ini memang harus dibatalkan
seundang-undangnya nanti oleh Mahkamah Konstitusi," kata
Bivitri.
Sementara Feri Amsari, yang juga pakar hukum dari
Universitas Andalas menyebut undang-undang yang tidak
jelas akan menimbulkan pertentangan dalam penerapannya.
"Pertentangan dalam penerapan itu akan menimbulkan
kekacauan proses penyelenggaraaan negara," tegasnya.
'Kekeliruan Teknis Administratif'
Namun demikian, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden, Donny
Gahral Adian menegaskan bahwa kesalahan dalam pasal-pasa
tersebut "kekeliruan teknis administratif".
"Tidak akan berdampak pada implementasi dari undang-
undang tersebut. Jadi ini akan tetap jalan, karena
kekeliruannya hanya teknis-administratif saja," jelas Donny.
Dia menambahkan, "kekeliruan teknis" ini menjadi catatan
pemerintah supaya di kemudian hari tidak terulang lagi.
Ini untuk kesekian kalinya pemerintah berdalih kesalahan
dalam proses legislasi UU Cipta Kerja sebagai kesalahan
"teknis" dan "normatif".
Sebelumnya, pemerintah berdalih perubahan halaman dari
812 halaman menjadi 1.187 halaman karena perubahan format
kertas.
Namun pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menganggap
dalih-dalih itu menandakan pemerintah dan DPR
mengerdilkan makna proses legislasi.
"Sebenarnya itu yang saya sayangkan, mereka menganggap
proses legislasi ini seperti proses teknokratik saja. Seperti
bikin makalah, kalau salah direvisi. Tidak bisa," tegasnya.
"Jadi, proses yang sebenarnya "sakral" jangan dikerdilkan dan
menganggap kesalahan sebagai sesuatu karena human
error(kesalahan manusia). Kalau prosesnya salah maka
sebenarnya undang-undang itu tidak punya legitimasi dan
tidak punya legalitas," ujarnya kemudian.
Omnibus Law UU Cipta Kerja yang Diteken
Jokowi Ternyata Salah Ketik, Tanggapan
Istana
Omnibus Law UU Cipta Kerja kembali menyita perhatian
publik meskipun baru saja ditanda tangani Presiden Joko
Widodo (Jokowi) pada 2 November 2020 kemarin.
Pasalnya terdapat kekeliruan berupa salah ketik atau typo di
draft yang sudah ditandatangani Jokowi dan diundangkan
menjadi UU Nomor 11 tahun 2020.
Setelah mendapatkan berbagai respon dari masyarakat di
media sosial, pihak Istana Kepresidenan akhirnya buka suara.
Sebagai informasi, UU Cipta Kerja ini mempunyai halaman
final sejumlah 1.187 lembar. UU Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja juga dapat diunggah di situs resmi
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Sekretariat
Negara (JDIH Setneg).
Menteri Sekretaris Negara, Pratikno mengatakan pihaknya
telah melakukan review dan menemukan sejumlah kekeliruan
yang bersifat teknis. kekeliruan ini juga menurut Pratikno
sudah disampaikan ke Sekretariat Jenderal DPR RI.
"Setelah menerima berkas RUU Cipta Kerja dari DPR,
Kementerian Sekretariat Negara telah melakukan review dan
menemukan sejumlah kekeliruan yang bersifat teknis.
Kemensetneg juga telah menyampaikan kepada Sekretariat
Jenderal  DPR untuk disepakati perbaikannya," jelas Pratikno
pada Selasa (03/11/20).
Pratikno menambahkan, kekeliruan yang bersifat teknis
administratif jika tidak berpengaruh pada implementasi UU
Cipta Kerja.
"Hari ini kita menemukan kekeliruan teknis penulisan dalam
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun
kekeliruan tersebut bersifat teknis administratif sehingga tidak
berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja,".
Pihak Kemensetneg pun, menurut Pratikno, menjadikan
kekeliruan teknis tersebut sebagai bahan masukan untuk
menyempurnakan kendali kualitas RUU yang akan
diundangkan.
"Kekeliruan teknis ini menjadi catatan dan masukan bagi kami
untuk terus menyempurnakan kendali kualitas terhadap RUU
yang hendak diundangkan agar kesalahan teknis seperti ini
tidak terulang lagi," pungkas Pratikno.

Permasalahan Sekitar UU Omnibus Law Cipta


Kerja
Jakarta - Hari Senin tanggal 2 November 2020, Presiden
Jokowi telah menandatangani UU No 11 Tahun 2020. Dengan
demikian RUU Tentang Cipta Kerja yang menyulut banyak
kontroversi telah final menjadi undang-undang yang berlaku
setelah diumumkan oleh Menkumham dalam Lembaran
Negara RI pada hari yang sama.
Ada sejumlah masalah yang kini dihadapi Pemerintah -- dan
seharusnya juga DPR -- dengan disahkannya UU Cipta Kerja
ini. Pertama adalah penolakan keras dari berbagai kalangan,
terutama kalangan pekerja yang menilai UU ini sebuah
kemunduran yang merugikan kepentingan mereka. Demo
besar-besaran yang digerakkan Serikat Pekerja dan didukung
elemen lain dalam masyarakat dalam menolak UU Cipta
Kerja menambah keadaan yang sudah runyam akibat Pandemi
Covid 19 menjadi semakin mengkhawatirkan.
Sejumlah akademisi dan aktivis sosial juga mengkritik UU
yang proses pembuatannya mereka anggap kurang transparan.
Pembahasannya terkesan tergesa-gesa sehinga menabrak
undang-undang lain. UU ini juga dinilai terlalu banyak
mendelegasikan pengaturan lanjutan baik kepada Peraturan
Pemerintah maupun kepada Peraturan Presiden.
Pendelegasian pengaturan yang begitu banyak, menimbulkan
kekhawatiran para akademisi akan makin membesarnya
kekuasaan Presiden yang potensial menabrak asas-asas
demokrasi. Potensi seperti itu dianggap bertentangan dengan
cita-cita Reformasi 22 tahun yang lalu.

Uji Formil dan Materil ke MK

Sejak sebelum ditandatangani Presiden Jokowi tanggal 2


November silam, sudah ada pihak-pihak yang mendaftarkan
permohonan pengujian UU Cipta Kerja ini ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Presiden Jokowi sendiri dalam statemen
kepada masyarakat tanggal 9 Otober yang lalu, telah
mempersilahkan elemen-elemem masyarakat yang tidak puas,
dan bahkan menolak UU Cipta Kerja ini untuk mengujinya di
MK.
Keinginan mereka yang ingin menguji UU Cipta Kerja ke
MK, baik uji formil maupun materil, memang pantas
didukung agar perdebatan mengenai masalah ini menjadi
lebih bernuansa akademis. MK nantinya secara obyektif dapat
memeriksa dan memutuskan apakah secara formil proses
pembentukan UU Cipta Kerja ini menabrak prosedur
pembentukan undang-undang -- termasuk melakukan
amanden terhadap undang-undang--atau tidak. MK akan
menggunakan norma-norma dalam UU No 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 15
Tahun 2019 untuk menilainya.
Sebagaimana kita maklum, Omnibus Law adalah proses
pembentukan undang-undang yang isinya mencakup berbagai
pengaturan yang saling berkaitan, langsung maupun tidak
langsung. Dalam proses pembentukannya, ombibus law
sangat mungkin akan merubah undang-undang yang ada
disamping tujuan utamanya membuat pengaturan baru
terhadap sesuatu masalah.
Persoalannya kemudian adalah apakah proses pengubahan
atau amandemen terhadap undang-undang lain itu sejalan atau
tidak dengan norma dan prosedur perubahan sebagaimana
diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan?.
Debat tentang kesesuaian prosedur seperti saya kemukakan di
atas akan sangat panjang dengan melibatkan dari berbagai
sudut pandang yang berbeda. Jika menggunakan landasan
pemikiran yang kaku, maka dengan mudah dapat dikatakan
prosedur perubahan terhadap undang-undang melalui
pembentukan omnibus law adalah tidak sejalan dengan UU
No 12 Tahun 2011. Tentu akan ada pandangan yang
sebaliknya.
Kita ingin menyimak seperti apa argumentasi Pemerintah dan
DPR di MK nanti dalam menjawab persoalan prosedur ini.
Pemerintah dan DPR memang harus hati-hati dan
argumentatif mempertahankan prosedur yang mereka tempuh
dalam proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja
dengan menggunakan cara omnibus ini.
Saya katakan harus hati-hati dan benar-benar argumentatif
karena jika prosedur pembentukan bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2011
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 15
Tahun 2019, maka MK bisa membatalkan UU Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini secara keseluruhan, tapa
mempersoalkan lagi apakah materi yang diatur oleh undang-
undang ini bertentangan atau tidak dengan norma-norma
UUD 1945.
Selain uji formil terkait prosedur pembentukan Undang-
Undang Cipta Kerja yang menerapkan pola Omnibus Law, uji
materil tentu akan terkait dengan pengujian substansi norma
yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja terhadap
norma konstitusi di dalam UUD 1945.
Mengingat cakupan masalah dalam Undang-Undang Cipta
Kerja ini begitu luas, maka setiap Pemohon akan fokus
terhadap pasal-pasal yang menyangkut kepentingan mereka.
Kita tentu ingin menyimak apa argumen para Pemohon dan
apa pula argumen yang disampaikan Pemerintah dan DPR
dalam menanggapi permohonan uji formil dan materil
tersebut.
Persoalan Salah Ketik
Persoalan yang juga mendapat banyak sorotan dalam UU No
11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini adalah banyaknya
kesalahan pengetikan. Ini semua terjadi karena proses
pembentukan undang-undang ini dilakukan tergesa-gesa
sehingga dianggap mengabaikan asas kecermatan.
Namun seperti kata pepatah, nasi telah menjadi bubur. UU
yang banyak kesalahan ketiknya itu sudah ditandatangani
Presiden dan sudah diundangkan dalam lembaran negara.
Naskah itu sah sebagai sebuah undang-undang yang berlaku
dan mengikat semua pihak.
Bagaimanakah cara memperbaiki salah ketik seperti itu?
Haruskah Presiden mengajukan UU Perubahan atas UU No 11
Tahun 2020? Ataukah mengajukan Perpu untuk
memperbaikinya?
Saya berpendapat kalau kesalahan itu hanya salah ketik saja
tanpa membawa pengaruh kepada norma yang diatur dalam
undang-undang itu, maka Presiden (bisa diwakili Menko
Polhukam, Menkumham atau Mensesneg) dan Pimpinan DPR
dapat mengadakan rapat memperbaiki salah ketik seperti itu.
Naskah yang telah diperbaiki itu nantinya diumumkan
kembali dalam Lembaran Negara untuk dijadikan sebagai
rujukan resmi. Presiden tidak perlu menandatangani ulang
naskah undang-undang yang sudah diperbaiki salah ketiknya
itu.
Selama ini adanya salah ketik dalam naskah RUU yang telah
disetujui bersama antara Presiden dan DPR dan dikirim ke
Sekretariat Negara telah beberapa kali terjadi. Mensesneg
yang segera mengetahui hal tersebut karena harus membaca
naskah RUU secara teliti sebelum diajukan ke Presiden untuk
ditandatangani, biasanya melakukan pembicaraan informal
dengan DPR untuk melakukan perbaikan teknis. Setelah
diperbaiki baru diajukan lagi ke Presiden dengan memo dan
catatan dari Mensesneg.
Kesalahan ketik kali ini memang beda. Kesalahan itu baru
diketahui setelah Presiden menandatanganinya dan naskahnya
telah diundangkan dalam lembaran negara.

Bentuk Tim Penampung Aspirasi


Mengingat banyaknya komplain terhadap UU No 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja ini, maka ada baiknya jika
Pemerintah membentuk tim untuk mengkaji dan sekaligus
menampung aspirasi masyarakat yang tidak puas atas undang-
undang ini.
Langkah ini penting untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa
Pemerintah tanggap terhadap aspirasi dan sadar bahwa UU No
11 Tahun 2020 itu perlu disempurnakan. Terjadinya demo
besar-besaran di berbagai kota tidaklah dapat dipandang sepi.
Aspirasi para pekerja, akademisi, aktivis sosial dan
mahadiswa sangat perlu mendapat tanggapan Pemerintah
sebagai pelaksanaan demokrasi. Pemerintah harus punya
keberanian berdialog dengan elemen masyarakat yang tidak
puas dengan UU Cipta Kerja ini. Dengan dialog itu,
Pemerintah akan menyadari bahwa UU Cipta Kerja ini
mengandung banyak kekurangan yg perlu diperbaiki dan
disempurnakan.
Tim Penampung Aspirasi ini juga dapat menerima sebanyak
mungkin masukan elemen-elemen masyarakat dalam
menyusun begitu banyak Peraturan Pemerintah yang
diperlukan untuk menjalankan Undang-Undang Cipta Kerja
ini.
Dialog untuk menerima masukan ini sekaligus berfungsi
untuk menjelaskan hal-hal yang memang perlu dijelaskan
kepada rakyat. Seringkali elemen-elemen masyarakat
komplain, protes dan menolak sesuatu tanpa pemahaman yang
memadai tentang apa yang mereka tentang.
Di zaman ketika teknologi informasi berkembang demikian
canggih, semakin banyak orang yang malas membaca dan
menelaah sesuatu dengan mendalam. Pemahaman dibentuk
oleh tulisan-tulisan singkat dan audio-visual yang terkadang
memelesetkan sesuatu, sehingga jauh dari apa yang
sesungguhnya harus dipahami.
Tugas Pemerintah adalah menjelaskan segala sesuatu yang
terkait dengan UU Cipta Kerja ini dengan bahasa yang mudah
dipahami semua kalangan. Tugas itu memang melelahkan,
tetapi Pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali
melakukannya.

*Yusril Ihza Mahendra, pakar hukum tata negara dan


mantan Menteri Sekretaris Negara*

Anda mungkin juga menyukai