Anda di halaman 1dari 19

ULUMUL HADIST

Metode Penerimaan Dan Penyampaian Hadist

Disusun Oleh:

Tria Heniasti

Natasya Ayu Fitri

Vina Viranti

Dosen Pengampu :

Dra. Robia’ah, M.Pd.I

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

JURUSAN TARBIYAH DAN KEGURUAN

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI BENGKALIS

TA : 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Allah swt atas Rahmat-Nya dan karunianya kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Sholawat serta salam tak lupa kita hadiahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi uswatun hasanah yang membawa umatnya
dari zaman kegelapan sampai saat ini.

Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
mata kuliah yaitu ustadzah Robiah yang telah memberikan kepercayaan kepada saya untuk
menjelaskan materi Ulumul Hadist yang berjudul “ Metode Penerimaan dan penyampaian
hadist”. Alhamdulillah saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat pada waktunya, saya
menyadari bahwa makalah yang saya tulis masih belum sempurna. Maka dari itu saya meminta
maaf kepada pembaca dan menerima tanggapan serta kritik mengenai tulisan ini.

Dan saya berterima kasih yang mendalam karena telah memberikan dukungan serta semangat
untuk menyelesaikan penulisan makalah Ulumul Qur’an, semoga pembaca dapat menambah
wawasan dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat setelah membaca makalah ini.

Bengkalis, 24 Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2

DAFTAR ISI..........................................................................Error: Reference source not found

BAB I..................................................................................... Error: Reference source not found

PENDAHULUAN.................................................................Error: Reference source not found

1. Latar Belakang.............................................................Error: Reference source not found

2. Rumusan Masalah…………………………………………..…………………………..…2

BAB II…………………………………………………………………………………………….3

PEMBAHASAN………………………………………………………………………………….3

1. Pengertian Periwayatan Hadis dengan Lafaz dan Makna…………………………...…….3

2. Periwayatan Hadis Pada Masa Nabi, Sahabat Dan Generasi Sesudahnya ………..…...…4

3. Pengertian Dan Syarat Penerimaan Hadis (Tahammul)……………………………………6


4. Syarat Dalam Penyampaian Hadis (ada’)……………………………………………………
8
5. Shighot dalam proses tahammul wal ada’ dan kualitas persambungannya……………….9
BAB III…………………………………………………………………………………….……15

PENUTUP………………………………………………………………………………………15

1. Kesimpulan…………………………………………………………………………………..15

Daftar Pustaka………………………………………………………………………………….16
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping al-Qur'an. Kitab-kitab Hadis
yang beredar di tenqah masyarakat dan dijadikan pegangan oleh ummat Islam
dalam .hubungannya dengan Hadis sebagai sumber ajaran Islam, adalah kitab-kitab yang disusun
oleh para Ulama setelah lama Nabi wafat. Sebelum dihimpunkan dalam kitab-kitab Hadis secara
resmi, Hadis Nabi pada umumnya diajarkan dan diriwayatkan secara lisan dan hafalan. Hal ini
memang sesuai dengan keadaan masyarakat Arab yang terkenal kuat hafalannya. . Namun
demikian tidak berarti pada saat itu kegiatan pencatatan Hadis tidak ada sama sekali. Di antara
ulama yang membuat catatan Hadis baru dimaksudkan untuk kepentingan pribadi para
pencatatnya, dengan kata lain bersifat massal atau memasyarakat.

Pada masa yang cukup panjang itu, sejak Nabi wafat sampai dengan masa pembukuan
Hadis, memang telah terjadi pemalsuan-pemalsuan Hadis yang dilakukan oleh beberapa
golongan dengan berbagai tujuan. Atas kenyataan itu, maka ulama Hadis dalam usahanya
menghimpun Hadis Nabi, selain melakukan perlawatan untuk menghubungi para periwayat yang
tersebar di berbagai daerah yang jauh, juga harus mengadakan penelitian dan penyeleksian
terhadap semua Hadis yang mereka himpun. Sehingga kitab-kitab Hadis yang mereka hasilkan
bermacam jenisnya, baik dari segi kuantitas dan kualitas yang dimuatnya maupun cara
penyusunannya.

Bertolak dari kualitas Hadis, di antara ulama Hadis dalam melakukan penelitian berita
yang berkenaan dengan agama berpegang pada penelitian terhadap pembawa berita. Apabila
pembawa berita, orang-orang yang dapat dipercaya, maka berita yang dibawanya dinyatakan
berkualitas shahih. Sebaliknya bila pembawa berita bukan orang-orang yang dipercaya, maka
berita tersebut tidak dapat dijadikan hujjah agama. Hal ini bisa saja terjadi disebabkan beberapa
hal, seperti terjadinya perbedaan penerapan beberapa kaidah, adanya periwayatan Hadis secara
makna dan adanya matan Hadis yang berisi masalah keduniawian. Di samping itu, seperti telah
diketahui bahwa Hadis Nabi yang disampaikan oleh sahabat kepada periwayat lain lebih banyak
berlangsung secara lisan atau hafalan. Hadis yang dimungkinkan diriwayatkan secara lafadz oleh
sahabat sebagai saksi pertama hanyalah Hadis yang dalam bentuk sabda. Sedang Hadist yang
tidak dalam bentuk sabda, hanya dimungkinkan diriwayatkan secara makna.

Rumusan Masalah

A. Apa Pengertian penerimaan hadist ?

B. Apa saja syarat penerimaan Hadist?

C. apa saja syarat penyampaian Hadist ?

D. Bagaimana metode penerimaan dan penyampaian hadist ?


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Periwayatan Hadis dengan Lafaz dan Makna

Kata al-Riwayat adalah masdar dari kata kerja rawa yang berarti (penukilan), al-istisqa
(pemberian minum sampai puas), al-dzikr (penyebutan), Dalam bahasa Indonesia kata riwayat
yang berasal dari bahasa Arab itu mempunyai arti antara lain: cerita, sejarah, dan tambo. Al-
Riwayat menurut istilah ilmu Hadis berarti kegiatan penerimaan dan penyampaian Hadis, serta
penyandaran Hadis itu kepada rangkaian para perawinya dengan bentuk-bentuk tertentu.

Ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan Hadis, yaitu:

1. Kegiatan menerima Hadis

2. Kegiatan. menyampaikan Hadis kepada orang lain

3. Ketika Hadis itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya disebutkan. Dengan kata lain,
seseorang tidak dapat dikatakan telah melakukan periwayatan, apabila ia menerima Hadis tetapi
tidak menyampaikan Hadis itu kepada orang lain atau ia menyampaikannya kepada orang lain
tetapi tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya.

Dilihat dari sudut redaksional Hadis, pada umumnya periwayatan Hadis dilakukan dengan
dua cara, yaitu periwayatan Hadis dengan lafaz dan periwayatan Hadis dengan makna.

I. Periwayatan Hadis dengan lafaz

Periwayatan Hadis dengan lafaz, artinya bahwa Hadis diriwayatkan oleh perawinya sesuai
dengan lafaz (redaksi) yang diterima dari orang yang menyampaikan Hadis tersebut kepadanya,
tanpa ada perubahan sedikitpun. Para ulama sepakat bahwa periwayatan dengan cara ini adalah
paling baik dan paling tinggi lainnya, sebab lebih menjamin kemurniannya dan keutuhan makna
hadis.

Hadis Nabi yang periwayatannya dimungkinkan dengan lafaz, pada periode sahabat
sebagai saksi pertama, hanyalah Hadis dalam bentuk qauliyah, sedangkan Hadis-Hadis fi'liyah
dan taqririyah hanya dimungkinkan dapat diriwayatkan dengan makna, artinya redaksinya dibuat
oleh sahabat yang meriwayatkannya. Hadis yang dalam bentuk qauliyah pun tidak seluc ruhnya
dapat diriwayatkan dengan lafaz. Kesulitan periwayatan secara lafaz bukan hanya disebabkan
karena tidak mungkin seluruh sabda itu dihafal secara harfiah, melainkan juga karena
kemampuan hafalan dan kecerdasan sahabat Nabi tidak sama.

2. Periwayaran Hadis dengan Makna

Periwayatan Hadis dengan makna adalah suatu cara dimana hadist diriwayatkan dengan
menggunakan redaksi periwayatan sendiri atau berbeda dari redaksi yang diterima dari perawi,
namun kandungan dan maksud atau makna dari hadist tersebut tetap sama. Periwayatan hadist
dengan makna menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan ulama. Ada ulama yang tidak
membolehkan sama sekali berdasarkan kepada hadist nabi sendiri, dan ada pula yang
membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu, dan ada lagi yang membolehkannya hanya untuk
periode tertentu saja.

B. Periwayatan Hadis Pada Masa Nabi, Sahabat Dan Generasi Sesudahnya

Hadis-Hadis Nabi yang ditulis dalam kitab-kitab Hadis saat ini berasal dari kesaksian
sahabat Nabi terhadap perkataan, perbuatan, taqrir dan atau hal ihwal Nabi. Apa yang disaksikan
sahabat tadi disampaikan kepada orang lain. sebagai periwayat Hadis Sahabat atau tabi'in yang
menerima Riwayat, menyampaikan lagi kepada tabi'in atau tabi'in lainnya. Begitu seterusnya
sehingga akhirnya sampai kepada periwayat yang melakukan kegiatan penghimpunan Hadis.
Seperti telah disebutkan bahwa pada zman Nabi, Hadis yang disampaikan oleh sahabat kepada
para periwayat lain lebih banyak berlangsung secara lisan atau hafalan. Hadis Nabi yang
dimungkinkan diriwayatkan secara lafaz (riwayat bi al-lafz) oleh sahabat sebagai saksi pertama
hanyalah Hadis yang dalam bentuk sabda atau qauliyah. Sedang Hadis yang tidak dalam bentuk
sabda hanya dimungkinkan dapat diriwayatkan secara makna (riwayat bi al-makna).

Tidak seluruh Hadis Nabi yang dalam bentuk sabda dapat diriwayatkan secara lafaz,
kecuali hanya sabda-sabda tertentu. Kesulitan itu bukan hanya disebabkan karena tidak mungkin
seluruh Hadis itu dihafal secara harfiah, melainkan juga karena kemampuan hafalan dan tingkat
kecerdasan sababat tidak sama.
Walaupun tidak mungkin seluruh sabda Nabi dapat dihafal, tetapi tidak berarti bahwa tidak
ada sabda Nabi yang tidak berhasil dihafal dan kemudian diriwayatkan secara harfiah oleh para
sahabat. Di antara sahabat Nabi yang telah dikenal dengan sungguh-sungguh menghafal Hadis
Nabi secara lafaz seperti Abdullah ibn Umar ibn Khattab. Hal ini memberi petunjuk adanya
sabda Nabi yang diriwayatkan secara lafaz. Ada beberapa faktor yang memberi peluang sehingga
sahabat dapat menghafal dan meriwayatkan sabda Nabi secara harfiah. Di antaranya ialah:

a. Nabi dikenal fasih berbicara dan berusaha menyesuaikan sabdanya dengan bahasa
(dialek), kemampuan intelektual dan latar belakang budaya pendengarnya.
b. Untuk sabda-sabda tertentu, Nabi menyampaikannya dengan diulanq sampai dua
atau tiga kali.
c. Tidak sedikit sabda Nabi yang disampaikan dalam bentuk jawami' al-kalim (
ungkapan pendek tapi sarat makna).

d. Adanya di antara sabda Nabi yang disampaikan dalam bentuk do'a, dzikir dan
bacaan

tertentu dalam ibadah.

e. Orang-orang Arab sejak dahulu sampai sekarang dikenal sangat kuat hafalannya.

Adapun Hadis Nabi yang tidak berupa sabda, periwayatan yang dilakukan oleh sahabat
sebagai saksi mata berlangsung secara makna. Karena Hadis yang bukan dalam bentuk qauliyah,
ketika dinyatakan oleh sababat, rumusan. kalimatnya berasal dari sababat sendiri.

Para sahabat Nabi umumnya membolehkan periwayatan Hadis dengan makna Di


antaranya ialab Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibnu Abbas, Abdullah ibn Mas'ud, Anas ibn Malik,
Abu Darda, Abu Hurairah dan Aisyah. Sedang sebagian kecil dari 'sahabat cukup ketat
berpegang pada periwayatan dengan lafaz, di antaranya ialah Umar ibn Khattab, Abdullah ibn
Umar ibn Khattab dan Zaid ibn Arqam. 1

C. Pengertian Dan Syarat Penerimaan Hadis (Tahammul)


Para ulama ahli hadist memberikan istilah penerimaan hadist dengan istilah “Tahammul”
yaitu menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seseorang guru dengan cara dan
1
Ahmad Zuhri, Ulumul Hadis, (Medan: CV. Manhaji, 2014), Hal 38.
metode tertentu. Sedangkan penyampaian hadits dengan istilah “ada” yaitu menyampaikan dan
meriwayatkan hadits kepada orang lain.

Periwayatan hadits adalah proses penerimaan (tahammul) hadits oleh seorang rawi dari
gurunya, dan setelah dipahami, dihafal, dihayati, diamalkan (dhath) ditulis atau di-tadwin (tahrir)
dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada’) dengan menyebutkan sumber
pemberitaan riwayah tersebut. 2

Mahmud al-Tahhan menjelaskan didalam Tafsir Mustalah al-Hadith menurut pendapat


yang shahih, tidak ada persyaratan Islam dan baligh dalam penerimaan hadis, namun dalam
penyampaian diisyaratkan Islam dan baligh. dari hal ini, maka periwayatan oleh orang muslim
baligh tentang hadis yang diterimanya ketika ia belum masuk Islam akan diterima, hanya saja
dalam kasus ini tamyiz tetap dipersyaratkan bagi yang belum baligh.
Sebagian ulama ada yang mensyaratkan baligh dalam penerimaan hadis, namun
persyaratan ini tidaklah tepat, karena pada masa sahabat telah terjadi penerimaan riwayat dari
para sahabat yang masih junior, seperti Hasan, Ibnu Abbas dan lainnya tanpa membedakan
apakah riwayat yang mereka terima tersebut diterima oleh para junior ketika ia sudah baligh
maupun sebelumnya.3
Jumhur ulama ahli hadis berpendapat, bahwa penerimaan periwayatan suatu hadis oleh
anak yang belum sampai umur dianggap sah bila periwayatan hadis tersebut disampaikan kepada
orang lain pada waktu sudah mukallaf. Hal ini didasarkan kepada keadaan para sahabat, tabi’in,
dan ahli ilmu setelahnya yang menerima periwayatan hadis seperti Hasan, Abdullah bin Zubeir,
Ibnu Abbas, Nu’man bin Basyir, Salib bin Yazid, dan lain-lain dengan tanpa mempermasalahkan
apakah mereka telah baligh atau belum. Namun mereka berbeda pendapat mengenai batas
minimal usia anak yang diperbolehkan bertahammul, sebab permasalahan ini tidak terlepas dari
ketamyizan anak tersebut.
Al-Qadhi ‘Iyad menetapkan, bahwa batas minimal usia anak diperbolehkan bertahammul
paling tidak sudah berusia lima tahun, karena pada usia ini anak sudah mampu menghafal apa
yang didengar dan mengingat-ingat yang dihafal, pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat
Bukhari dan Sahabat Mahmud bin Al-Ruba’i:
2
Suparta Munzier, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016), Hal 195.

3
Kusroni, “Mengenal Tuntas Seluk Beluk Periwayatan Hadis”, Jurnal Studi Hadis Vol. 2 No. 2 2016. Hal 273.
‫مجها مجة وسلم عليه هللا صل النبي من عقلت‬

‫سنين خمس ابن وانا دلوو من وجهي في‬

“Saya ingat Nabi SAW meludahkan air yang diambilnya dari timba ke mukaku, sedang pada
saat itu saya berusia lima tahun.”
Abu Abdullah Al-Zuba’i mengatakan, bahwa sebaiknya anak diperbolehkan menulis hadis
pada saat usia mereka telah mencapai umur sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah
dianggap sempurna, dalam arti bahwa mereka telah mempunyai kemampuan untuk menghafal
dan mengingat hafalannya dan mulai menginjak dewasa. Yahya bin Ma’in menetapkan usia lima
belas tahun, berdasarkan Hadis Ibn majah:
‫ يوم‬:‫حدثنا علي بن حممد حدثنا عبد اهلل بن منريمعاوية وأبو أسامة قالو حدثنا عبيد اهلل بن عمر عن قال عرضت على رسول اهلل صلى اهلل عليه و سلم‬

‫أحد و أنا بن أربع عشرة سنة فلم جيزين و عرضت عليه يوم اخلندق و أنا ابن مخسة عشرة سنة فأجازين قال نافع فحدثت به عمر بن عبد العزيز يف‬

‫خالفته فقال هذا فصل ما بني الصغري و الكبري‬.

“Saya dihadapkan kepada Rasulullah SAW pada waktu perang uhud, di saaat itu saya baru
berusia empat belas tahun, beliau tidak meperkenankan aku. Kemudian aku di hadapkan kepada
Nabi SAW pada waktu perang Khandaq, di saat yang berumur lima belas tahun dan beliau
memperkenankan aku.”
(H.R Ibnu Majah)
Sementara ulama Syam memandang usia yang ideal bagi seseorang untuk meriwayatkan
hadis setelah berusia 30 tahun, dan ulama Kufah berpendapat minimal berusia 20 tahun.
Kebanyakan ulama ahli hadis tidak menetapkan batasan usia tertentu bagi anak yang
diperbolehkan bertahammul, akan tetapi lebih menitikberatkan pada ketamyizan mereka. Namun
mereka juga berbeda pendapat tentang ketamyizan tersebut. Ada yang mengatakan bahwa anak
sudah dikategorikan tamyiz apabila anak tersebut sudah mampu membedakan antara al-baqarah
dan al-himar, seperti diungkapkan oleh Al-Hafidz bin Musa bin Harun Al-Hammal. Menurut
Imam Ahmad, bahwa ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal yang didengar dan
mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan, bahwa yang dijadikan ukuran ketamyizan
seseorang itu bukan berdasarkan usia mereka, akan tetapi dilihat dari “apakah anak itu
memahami pembicaraan maupun menjawab pertanyaan dengan benar atau tidak.”
Tejadinya perbedaan pendapat ulama mengenai ketamyizan seseorang tidak terlepas dari
kondisi yang mempengaruhi kepadanya dan bukan berdasarkan usianya, sebab bisa saja
seseorang pada usianya tertentu, karena situasi dan kondisi yang mempengaruhi, dia sudah
mumayiz, sementara seseorang pada usia yang sama, dia belum mumayiz. Oleh karenanya,
ketamyizan seseorang bukan diukur dari usia, tetapi didasarkan pada tingkat kemampuan
menangkap dan memahami pembicaraan dan mampu menjawab pertanyaan dengan benar serta
adanya kemampuan menghafal dan mengingat-ingat hafalannya.
Mengenai penerimaan hadis bagi orang kafir dan orang fasik, jumhur ulama hadis
mengaggap sah, asalkan hadis tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah
masuk Islam dan bertobat. Alasan yang mereka kemukakan adalah banyaknya kejadian yang
mereka saksikan dan banyaknya sahabat yang mendengar sabda Nabi SAW sebelum mereka
masuk Islam. Di antara sahabat yang mendengar sabda sabda Rasul SAW pada waktu belum
masuk Islam adalah sahabat Zubair. Dia pernah mendengar Rasul SAW membaca surat Al-Thur
pada waktu sembahyang maghrib, ketika dia tiba di Madinah untuk menyelesaikan perang Badar,
dalam keadaan masih kafir Akhirnya dia masuk Islam. Bila penerima hadis oleh orang kafir yang
kemudian disampaikannya setelah memeluk Islam dapat diterima, maka sudah tentu dianggap
sah penerimaan hadis oleh orang yang fasik yang diriwayatkan setelah dia bertobat.4
D. Syarat Dalam Penyampaian Hadis (ada’)
Mayoritas ulama hadis, ulama ushul, dan ulama fikih sepakat bahwa syarat-syarat
penyampaian hadis (ada’ al-hadis) sebagai berikut:
1. Muslim (beragama Islam)
Orang kafir tidak diterima dalam menyampaikan hadis sekalipun diterima dalam
tahammul. Dalam menerima hadis bagi orang kafir sah saja karena hanya menerima tidak
ada kekhawatiran kecurangan dan pendustaan, berbeda dengan penyampaian.
2. Baligh (dewasa)
Pengertian dewasa maksudnya dewasa dalam berpikir bukan dalam usia umurnya.
Dewasa di sini diperkirakan berusia belasan tahun yang disebut remaja dalam
perkembangan anak. Usia remaja adala usia kritis dalam berpikir dan lebih konsisten
dalam memelihara hadis. Berbeda usia anak kecil yang ditakutkan bohong, karena tidak
ada hukuman bagi anak kecil yang menyimpang. Kecuali jika sosial dan keluarganya

4
Thahan Mahmud, Ilmu Hadits Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010), Hal 212.
terbina baik dengan pembiasaan kejujuran. Setelah anak dewasa baru ada penerapan
hukum perintah dan larangan.
3. Aqil (berakal)
Syarat berakal sangat penting dalam penyampaian hadis, karena hanya orang berakal
yang
mampu membawa amanah hadis dengan baik. Periwayatan seorang yang tak berakal,
kurang akal, dan orang gila tidak dapat diterima.
4. ‘Adalah (adil)
Adil adalah suatu sifat pribadi taqwa, menghindari perbuatan dosa dan menjaga
kehormatan dirinya. Sebagai indikatornya seorang yang adil dapat dilihat dari
kejujurannya menjauhi dosa-dosa besar dan kecil, seperti mencuri minuman dan lain-lain.
Tidak melakukan perbuatan mubah yang merendahkan kehormatan dirinya, seperti makan
di jalanan, kencing berdiri dan bercanda yang berlebihan.
5. Dhabit (kuat daya ingat)
Arti dhabith adalah kemampuan seseorang dalam memahami dan mengingat apa yang ia
dengar. Seorang perawi mampu mengingat atau hapal apa yang ia dengar dari seorang
guru pada saat menyampaikan hadis. Atau jika dhabit dalam tulisan, tulisannya
terpelihara dari kesalahan, pergantian, dan kekurangan.5
E. Shighot dalam proses tahammul wal ada’ dan kualitas persambungannya
Muhammad Abu Zahw mengklasifikasikan cara-cara para sahabat dalam menerima
hadis dari Rasulullah, kepada tiga cara, yakni: al-musyafahah (menerima hadis dengan
mendengar langsung dari Rasulullah saw), al-musyahadah (menerima hadis dengan
menyaksikan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw dan taqrirnya), dan as-sima’
(menerima hadis dengan melalui para sahabat yang menerima hadis dari Rasulullah Saw.
secara al-musyafahah ataupun al-musyahadah).
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mengklasifikasikan cara-cara sahabat dalam menerima
hadis dari Nabi saw. kepada empat cara, yaitu:
a. Mendatangi majlis-majlis ta’lim yang diadakan Rasulullah Saw.

5
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis,( Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001), Hal 157.
b. Ketika Rasulullah Saw menghadapi peristiwa tertentu, maka beliau menyampaikan dan
menjelaskan hukumnya kepada para sahabat dan memerintahkan mereka untuk
menyampaikan kepada yang tidak hadir.
c. Jika terjadi suatu peristiwa pada diri sahabat, lalu mereka tanyakan hukumnya kepada
Rasulullah Saw. maka beliau memberikan fatwa atau penjelasan hukum tentang peristiwa
tersebut.
d. Para sahabat sendiri menyaksikan Rasulullah Saw. melakukan suatu perbuatan dan
seringkali yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah.
Cara-cara penerimaan hadis yang dikemukakan oleh ‘Ajjaj al-khatib di atas pada
prinsipnya tidak berbeda dengan pengklasifikasian yang dilakukan Abu Zahw, karena
pengklasifikasian yang dikemukakan ‘Ajjaj al-Khatib tampaknya sudah masuk dalam
pengklasifikasian Abu Zahw. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa proses penerimaan
hadis yang dilakukan para sahabat dari Rasulullah Saw adalah dengan mendengarkan lafaz-
lafaz hadis yang diucapkan Rasul, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan
menyaksikan perbuatan dan taqrirnya.
Dalam perkembangan berikutnya. Proses pendokumentasian hadis semakin banyak
dilakukan dengan tulisan. Hal ini terlihat dari delapan metode mempelajari hadis yang
dikenal dengan di kalangan Ulama Hadis, yaitu tujuh diantaranya, yaitu metode kedua
sampai kedelapan, adalah sangat tergantung kepada materi tertulis, bahkan sisanya yang satu
lagi pun, yaitu yang pertama, juga sering berkaitan dengan materi tertulis.
Proses penerimaan hadis itu disebut Tahammul wal ada’. Tahammul (penerimaan)
adalah jalur-jalur pengambilan dan penerimaannya dari para guru (syekh). Jalan-jalan untuk
menerima hadis itu ada delapan macam
1. Al-Sima’
Yakni suatu cara peneriman hadis dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan
gurunya dengan cara didektekan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Sehingga
yang menghadirinya mendengar apa yang disampaikannya tersebut. Menurut jumhur ahli
hadis bahwa cara ini merupakan cara penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya.
Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa al-asma’ yang dibarengi dengan al-kitabah
mempunyai nilai lebih tinggi dan paling kuat. Karena terjamin kebenarannya dan terhindar
dari kesalahan dibanding dengan cara-cara lainnya, di samping para sahabat juga menerima
hadis dari Nabi Muhammad SAW dengan cara seperti ini.
2. Al-Qira’ah ‘Ala Al-Syaikh atau ‘Aradh Al-Qira’ah
Sang murid membacakan hadits dan syekhnya mendengarkan, baik yang membaca itu
sang murid maupun orang lain, tetapi syekh mendengar; baik pembacaan itu berasal dari
hafalan ataupun dari catatan baik syekh itu menyimak orang yang membaca dari hafalannya
ataupun menyodorkan catatannya kepada yang membaca, atau yang dilakukan orang tsiqah
selainnya. Lafadz-lafadz penyampaian:
- Yang lebih berhati-hati qara’tu ‘ala fulanin “aku membacakannya kepada si fulan”
atau quri’a ‘alaihi wa ana asma’u fa aqarra bihi “dibacakan kepadanya sementara
aku mendengarkan, dan dia setuju.”
- Yang boleh dengan ungkapan as-sima’ yang terbalas dengan lafadz qira’ah,
seperti haddatsana qira’atan ‘alaihi “telah menuturkan kepada kami secara bacaan
di depannya.
- Yang umum digunakan oleh ahli hadis: yaitu lafadz akhbarana “telah
memberitahu kepada kami”, tanpa ada tambahan lain.
3. Al-Ijazah
Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau
kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan
kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: “saya mengijazahkan
kepadamu untuk meriwayatkan dariku”
Para ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan ijazah ini sebagai cara untuk
meriwayatkan hadis. Ibnu Hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadis dengan
menggunakan ijazah ini dianggap bid’ah dan tidak diperbolehkan dan bahkan ada sebagian
ulama yang menambahkan bahwa ijazah ini benar-benar diingkari. Sedangkan ulama yang
memperbolehkan cara ijazah ini menetapkan syarat hendaknya sang guru benar-benar
mengerti tentang apa yang diijazahkan dan naskah muridnya menyamai dengan yang lain,
sehingga seolah-olah naskah tersebut adalah aslinya serta hendaknya guru yang memberi
ijazah itu benar-benar ahli ilmu.
‫اجرتكم رواية‬
‫كتاب البيوع من صحيح البخارى عنى‬
misalnya, guru tadi telah mengizinkan murid-muridnya meriwayatkan Hadis Bukhari
secara keseluruhan atau sebahagiannya.
4. Al-Munawalah
Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab kepada
muridnya untuk diriwayatkan. Al-Munawalah terbagi dua:
Pertama, al-munawalah dibarengi dengan ijazah, misalnya setelah sang guru
menyerahkan kitabnya yang telah dia riwayatkan atau naskahnya yang telah dicocokkan atau
beberapa hadis yang telah ditulis, lalu dia katakan pada muridnya, “ini riwayat saya, maka
riwayatkanlah diriku.” kemudian menyerahkannya dan sang murid menerima sambil sang
guru berkata, “saya telah ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku.”. Termasuk
al-munawalah dalam bentuk ini ialah sang murid membacakan naskah yang diperoleh dari
gurunya, kemudian sang guru mengakui dan mengijazahkan kepada muridnya untuk
diriwayatkan darinya. Cara seperti ini, menurut Al-Qadhi ‘Iyad termasuk periwayatan yang
dianggap sah oleh para ulama ahli hadis. Hadis yang berdasar atas munawalah bersama
ijazah biasanya menggunakan redaksi “seseorang telah memberitahukan kepadaku/kami”
Kedua, al-munawalah tanpa dibarengi tanpa ijazah, seperti perkataan guru kepada
muridnya “ini hadis saya” atau “ini adalah hasil pendengaranku atau dari periwayatanku”
dan tidak mengatakan “riwayatkanlah dariku atau saya ijazahkan kepadamu.” Menurut
kebanyakan ulama al-munawalah dalam bentuk ini tidak diperbolehkan. Hadis yang
diriwayatkan berdasarkan munawalah tanpa dibarengi ijazah ini biasanya menggunakan
redaksi “seseorang telah memberikan kepadaku/kami”.
Contoh: ‫هذا من حديثي‬
5. Al-Mukatabah
Yakni seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan
sebagian hadisnya guna diberikan kepada murid yang ada di hadapannya atau yang tidak
hadir dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.
Al-Mukatabah ada dua macam, yakni:
Pertama, al-mukatabah yang dibarengi dengan ijazah, yaitu sewaktu sang guru
menuliskan beberapa hadis untuk diberikan kepada muridnya disertai dengan kata-kata “ini
adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah” atau “saya ijazah (izin)-kan kepadamu
untuk kamu riwayatkan kepada orang lain”. Kedudukan al-mukatabah dalam bentuk ini
sama halnya dengan al-munawalah yang dibarengi dengan ijazah, yakni dapat diterima.
Kedua, al-mukatabah yang tidak dibarengi dengan ijazah, yakni guru menuliskan
hadis untuk diberikan kepada muridnya dengan tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan
atau mengijazahkan. Al-mukatabah dalam bentuk ini diperselisihkan oleh para ulama. Ayub,
Mansur, Al-Lais, dan tidak sedikit dari ulama Syafi’iyah dan ulama usul menganggap sah
periwayatan dengan cara ini. sedangkan Al-Mawardi mengganggap tidak sah.

6. Al-I’lam
Yakni pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa kitab atau hadis yang
diriwayatkannya dia terima dari seseorang (guru) tanpa memberikan izin kepada muridnya
untuk meriwayatkannya atau menyuruhnya. Sebagian ulama ahli ushul dan pendapat ini
dipilih oleh Ibnu Al-Shalah menetapkan tidak sah meriwayatkan hadis dengan cara ini.
karena dimungkinkan bahwa sang guru sudah mengetahui ada sedikit atau banyak cacatnya.
Sedangkan kebanyakan ulama ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul memperbolehkannya.
Comtohnya: “seseorang telah memberitahukan padaku:”telah berkata kepada kami ...’’
7. Al-Wasiyah
Yakni seorang guru, ketika akan meninggal atau berpergian, meninggalkan pesan
kepada orang lain untuk meriwayatkan hadis atau kitabnya, setelah sang guru meninggal
atau berpergian.
8. Al-Wijadah
Murid mendapati hadits-hadits tulisan syekhnya, dan ia mengetahui hal itu, sementara
ia tidak pernah mendapati hadits-hadits tersebut melalui as-sima’ maupun ijazah. Lafadz-
lafadz penyampaian: orang yang menemukannya mengatakan wajadtu bi khaththin fulanin
“aku mendapati tulisan si fulan” atau qara’tu bi khaththin fulanin khadza “aku membaca
tulisan si fulan seperti ini” kemudian ia menyusun sanad dan matannya.
Dari delapan model dan cara transmisi hadis yang telah dijelaskan di atas, yang
dijadikan kesepakatan sebagai model transmisi yang kuat adalah: Al-Sama, Al-Qira’ah dan
Al Mukatabah. Tiga metode ini dianggap efektif dan valid. Selebihnya terdapat perbedaan
dalam menanggapi model periwayatan ini karena mereka sangat berhati – hati dalam
meriwayatkan hadis.
Periwayatan hadits dengan makna dapat ditujukan sebagai penyampaian hadits dengan
menggunakan rumusan kalimat sendiri yang dapat memelihara substansi pesan dan tujuan
semula. Dapat pula dirumuskan sebagai periwayatan hadits yang menggunakan lafaz–lafaz
yang berbeda dengan teks asli tetapi kandungan isinya tetap terjamin sesuai dengan maksud
awal hadits.
Melalui cara-cara di atas, masing-masing sanad hadis secara berkesinambungan, mulai
dari lapisan Sahabat, Tabi’in, Tabi’it al-Tabi’in dan seterusnya sampai terhimpunnya hadis-
hadis Nabi saw. di dalam kitab-kitab hadis seperti yang kita jumpai sekarang, telah
memelihara dan menjaga keberadaan dan kemurnian hadis Nabi saw., yang merupakan
sumber kedua dari ajaran Islam. Kegiatan pendokumentasian hadis yang dilakukan oleh
masing-masing sanad tersebut di atas baik melalui hafalan maupun melalui tulisan, telah
pula didokumentasikan oleh para ulama dan para peneliti serta kritikus hadis.
Ulama hadis menilai sangat penting kedudukan sanad dalam riwayat hadis
Muhammad bin Sirin, menyatakan bahwa sesungguhnya pengetahuan hadis adalah agama,
maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agama itu.
Abdullah bin Mubarak, menyatakan bahwa sanad hadis merupakan bagian dari agama.
Sekiranya sanad hadis tidak ada, niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang
dikehendaki.
Imam an-Nawawi, menanggapi pendapat Abdullah bin Mubarak, dengan menjelaskan
bahwa bila sanad suatu hadis berkualitas, maka hadis tersebut dapat diterima. Sedangkan,
bila hadis itu tidak shahih, maka hadis itu harus ditinggalkan.6

6
Muhammad Rozali, Pengantar Kuliah Ilmu Hadis, (Medan: CV Manhaji, 2019), Hal 93.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Tahammul menurut bahasa berarti menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan
dengan menerima. Menurut istilah Tahmmul adalah mengambil atau mendapatkan hadis
dari syaikh (guru) dengan cara-cara tertentu. Mahmud al-Tahhan dalam Tafsir Mustalah al-
Hadith menjelaskan: menurut pendapat yang shahih, tidak ada persyaratan Islam dan baligh
dalam penerimaan hadis, namun dalam penyampaian diisyaratkan Islam dan baligh.
Berangkat dari hal ini, maka periwayatan oleh orang muslim baligh tentang hadis yang
diterimanya ketika ia belum masuk Islam akan diterima, hanya saja dalam kasus ini tamyiz
tetap dipersyaratkan bagi yang belum baligh. Sedangkan, syarat penyampaian hadis yaitu:
muslim, baligh, berakal, dan adil.
Bentuk-bentuk/metode dalam tahammul dan ada’ al hadis ada delapan,
yaitu: a. As-Sima’
b. Al-Qira’ah/Al-’Aradh
c. Al-Ijazah
d. Al-Munawalah
h. Al-Kitabah
i. Al-I’lam
j. Al-Washiyah
k. Al-Wijadah
DAFTAR PUSTAKA

Kusroni, “Mengenal Tuntas Seluk Beluk Periwayatan Hadis”, Jurnal Studi Hadis Vol. 2 No. 2 2016.
Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2010).

Muhammad Rozali, Pengantar Kuliah Ilmu Hadis, (Medan: CV Manhaji, 2019).


Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016), Hal 195.

Yuslem Nawir, Ulumul Hadis,( Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001).

Zuhri Ahmad, Ulumul Hadis, (Medan: CV. Manhaji, 2014).

Anda mungkin juga menyukai