Anda di halaman 1dari 3

Tafsiran Ayat 13

Agaknya tidak memungkinkan jika sekumpulan orang mengahiri sebuah pesta, namun ada
satu orang ikut serta tanpa berpenampilan layaknya hendak ke sebuah pesta. Pemikiran yang
demikian tentulah benar, akan tetapi perlu dipahami bahwa perumpamaan tidak harus
mencerminkan kehidupan nyata. Oleh karena itulah perumpamaan ada bukan untuk
menceritakan bagaimana realita kehidupan, melainkan sebuah penjelasan yang lebih
sederhana untuk kehidupan.

Dilihat dari strukturnya dapat dikatakan bahwa Matius 22:11-13 ini adalah bagian kedua dari
perumpamaan perjamuan kawin setelah tamu-tamu yang dipilih langsung oleh raja tidak
dapat ke perjamuan kawin tersebut, sehingga raja mengundang semua orang yang ada
dijalan-jalan tersebut. Akan tetapi ketika raja melihat bahwa orang-orang yang diundang dari
jalan-jalan tersebut, ada yang tidak berpakaian pesta datang ke perjamuan kawin tersebut.
Akibat dari itulah maka raja merasa tersinggung dan tertipu akan hal itu, sehingga ia murka
dan menghukum orang-orang yang tidak berpakaian pesta tersebut. Murka raja itu lah yang
dibaas dalam ayat 13 ini.

Sekilas jika membaca ayat 13 ini, akan dipahami bahwa ini adalah sebuah narasi yang
menunjukkan sebuah konsekuensi yang harus di terima dari suatu perilaku yang tidak benar.
Seperti halnya ketika orang-orang yang telah di undang menolak untuk hadir, maka raja
memerintahkan agar setiap orang-orang yang ada di jalan-jalan di undang untuk menghadiri
pesta tersebut. Akan tetapi diantara tamu-tamu yang hadir dalam pesta itu, raja
memperhatikan bahwa ada yang datang dengan tidak berpakaian pesta (ayat 11).

Kehadiran tamu undangan ke pesta dengan tidak mengenakan pakaian pesta adalah bukti
bahwa ketidaksiapan dan ketidaklayakan untuk mengikuti acara pesta tersebut. Oleh karena
ketidaksiapan itulah yang membuat raja sebagai tuan rumah merasa kesal dan marah sehingga
mendatangankan hukuman dan penghakiman kepada orang-orang yang tidak berpakaian
pesta tersebut (ayat 13).

Konsekuensi dari ketidaksiapan tamu undangan tersebut adalah bukti penghakiman yang
akan dilakukan oleh raja sebagai tuan rumah pesta. Jika dilihat dari teks, terdapat dua model
penghakiman yang dilakukan oleh raja kepada tamu undangan yang tidak berpakaian pesta
yaitu kaki dan tangannya akan diikat kemudian dicampakkan kedalam kegelapan yang paling
gelap dan setelah itu akan merasakan ratapan dan kertakan gigi.
Konsekuensi pertama yaitu kaki dan tangannya akan diikat kemudian dicampakkan kedalam
kegelapan yang paling gelap. Jika perumpamaan ini dibaca secara alegoris, maka akan
dijumpai rujukan eksplisit mengikat kaki dan tangannya yang mengarah kepada situasi untuk
menahan atau melepaskan individu yang tidak mengenakan pakaian pesta. 1 Pengikatakan
kaki dan tangan ini adalah bukti bahwa raja memiliki kekuasan penuh terhadap semua tamu
undangannya.

Gambaran kaki dan tangan diikat ini adalah seperti penghakiman kepada orang-orang yang
melakukan sebuah kesalahan besar. Demikian jugalah kesalahan yang dilakukan orang-orang
yang tidak berpakaian pesta tersebut, sehingga mereka dikenakan hukuman berat dengan
diikat kaki dan tangannya diikat. Adapun gambaran penghakiman yang diberikan ini adalah
pemhakiman kepada si penipu yaitu orang-orang yang datang ke pesta tanpa menggunakan
pakaian pesta.2

Setelah kaki dan tangannya diikat, dalam teks dikatakan bahwa tamu yang tidak berpakaian
pesta akan dimasukkan kedalam kegelapan yang paling gelap (τὸ σκότος τὸ ἐξώτερον),
biasanya diterjemahkan sebagai “kegelapan bagian luar”3 yang mewakili pemahaman akan
neraka. Dalam istilah harafiah kegelapan dipahami sesuatu hal yang berada dibalik perayaan
yang terang dengan kata lain merujuk kepada kiamat.

Gregory Spaugh mengatakan bahwa pemilihan frasa dalam ayat ini mengarah kepada
konotasi apokaliptik yaitu kegelapan di luar cahaya pesta perjamuan kawin tersebut. 4 Oleh
karena itu lah kegelapan yang paling dalam pada ayat ini adalah di peruntukkan bagi mereka
yang berbuat dosa dan tersesat. Dicampakkan kedalam kegelapan yang paling gelap adalah
bukti bahwa penulis menggunakan majas hiperbola yang menunjukkan bahwa kegelapan
yang paling gelap yang dimaksud bukan hanya sekedar berada di ruangan gelap yang secara
fisik manusia tidak akan dapat melihat, melainkan lebih dari itu yaitu kegelapan dalam batin,
artinya merasa sepi dan kosong.

Setelah dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap, penghakiman dilanjut dengan
ratapan dan kertakan gigi yang dirasakan. Gambaran kertakan gigi ini mengungkapkan bahwa
ada emosi yang sangat kuat yang dirasakan bersamaan dengan penderitaan, kesakitan dan
kesusahan yang dialami.

1
Ruth Christa Mathieson, Matthew’s Parable Of The Royal Wedding Feast, (Atlanta: SBL Press, 1979), 79.
2
Robert H. Mounce, New International Biblical Commentary, (America: Hendrick Publishers, 1991), 206.
3
Mathieson, Matthew’s Parable, 165.
4
Mathieson, Matthew’s Parable, 166.
Ungkapan ὁ κλαυθμὸς καὶ ὁ βρυγμὸς τῶν ὀδόντων (ratapan dan mengertakkan gigi)
merupakan ciri khas injil Matius yang diduga berasal dari Q. 5 Sebanyak enam kali dijumpai
frasa yang sama yaitu ratapan dan mengertakkan gigi dalam injil Matius (8:12, 13:42+50,
22:13, 24:51, 25:30). Frasa yang demikian tidak akan ditemukan dalam injil manapun selain
Lukas 13:28. Kata “ratapan dna kertakan gigi” beberapa kali diucapkan dalam Perjanjian
Baru adalah bentuk penolakan multak.6 Pemilihan kedua frasa ini adalah gambaran
penderitaan yang sangat sakit sehingga seolah-olah baik ratapan dan gertakan gigi dapat
terjadi bersamaan. Ratapan sama halnya pada situasi saat seseorang berteriak karena
kepedihan hati yang melambangkan kesedihan dan frustasi akibat tidak diikutsertakan di
dalam pesta. Sementara kertakan gigi adalah gembaran emosi yang sangat besar dalam diri
seseorang, yang mana emosi tersebut tidak lagi diungkapkan dalam kata-kata melainkan
kertakan gigi.

Inilah penghakiman yang dilakukan oleh raja kepada orang-orang yang hadir ke pesta tanpa
memakai pakaian pesta. Pengahakiman ini adalah bukti konsekuensi yang akan diterima
apabila tidak melakukan hal yang benar. Adapun tindakan penghakiman ini hendak
mendedikasikan dan menekankan bahwa dibutuhkan keseriusan dalam merespon panggilan
Allah dengan hati yang penuh dengan pertobatan 7. Seperti halnya keseriusan tamu undangan
dalam merespon undangan pesta raja dengan memakai pakaian pesta bukti kesiapan untuk
mengikuti pesta tersebut.

5
Mathieson, Matthew’s Parable, 168.
6
R. T. France, The New International Commentary on the New Testament The Gospel of Matthew (Michigan:
Eerdmans, 2007), 826-827.
7
Donald A.Hagner, Word Biblical Commentary Volume 33B Matthew 14-28, (Dallas,Texas: Word Books
Publisher, 1995), 632.

Anda mungkin juga menyukai