Anda di halaman 1dari 10

DZAHIR

Dzahir secara bahasa adalah lafadz yang bisa dipahami maknanya secara langsung tanpa ada
kesamaran. Atau dzahir adalah lafadz yang jelas maknanya tanpa memerlukan qorinah untuk
menafsirkannya, atau menjelaskan maksudnya, maknanya jelas dengan hanya mendengarkan
bunyi lafadnya
.[12] Sedangkan secara istilah dzahir adalah lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud
dengan sighot sendiri tanpa ada tambahan dari luar, akan tetapi makna itu bukanlah makna yang
dimaksud dalam konteks kalimat dan mengandung kemungkinan adanya takwil.[13] Al Amidy
memberikan definisi: Lafadz Zahir adalah apa yang menunjuk kepada makna yang dimaksud
berdasarkan apa yang digunakan oleh bahasa menurut asal dan kebiasaannya, serta ada
kemungkinan dipahami dari lafadz itu adanya maksud lain dengan kemungkinan yang
lemah.[14] Qodhi Abi Yala merumuskan definisi : Lafadz yang mengandung kemungkinan dua
makna , namun salah satu diantara keduanya lebih jelas.[15] Definisi yang tampaknya lebih
sempurna dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf : lafadz yang dengan sighatnya sendiri
menunjukkan apa yang dimaksud tanpa tergantung pemahamannya kepada lafadz lain, tetapi
bukan maksud itu yang dituju dalam ungkapan, serta ada kemungkinan untuk ditakwilkan.[16]
Contoh
dzahir
adalah
firman
Allah
SWT
,
[1]
275.), padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Ayat ini secara dzahir menunjukkan pembolehan jual beli dan pengharaman riba, karena bisa
dipahami tanpa perlu qorinah akan tetapi konteks ayat menunjukkan perbedaan antara jual beli
dan riba sebagai bantahan atas anggapan orang-orang munafik yang menyamakan antara jual beli
dan riba. Maksud dari ayat ini bisa dipahami pada latar belakang diturunkannya ( asbabun
nuzul). Kehalalan jual beli dan keharaman riba sudah diketahui sebelum diturunkannya ayat,
kehalalan jual beli adalah makna yang pokok adapun keharaman riba dikatakan oleh Ibnu Hajar
dalam Fathul Barr tentang ayat ini, adapun ayat pengharaman riba telah diturunkan jauh
mendahului sebagaimana yang ditunjukkan oleh firman Allah SWT dalam QS Ali Imron[18],
1[19]
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah
kamu
kepada
Allah
supaya
kamu
mendapat
keberuntungan.
Demikian juga diriwayatkan oleh Assuyuti dalam asbabunnuzulnya tentang ayat ini: Al Farabi
telah mengeluarkan dari Mujahid beliau mengatakan, mereka melakukan jual beli dengan tempo
apabila temponya tiba mereka menambahkan harganya dan memperpanjang temponya maka
turunlah ayat ini. Juga dikeluarkan dari Ato beliau mengatakan, adalah bani Tsaqif berhutang
pada Bani Nadir pada masa jahiliyah, apabila jatuh tempo mereka mengatakan, kami akan
memberi tambahan pada piutang kalian dan kalian menangguhkan tempo. Maka turunlah ayat
ini (QS Ali Imron 130).[20] Oleh karena itu menjadi jelaslah bahwa pengharaman riba telah
ada jauh sebelum ayat surah Al baqoroh ayat 275. Kesimpulannya QS Al Baqoroh ayat 275 ini
bukanlah mempunyai konteks makna penghalalan jual beli dan pengharaman riba. Akan tetapi
konteks ayat ini adalah untuk membantah anggapan orang-orang kafir yang menyamakan hukum
jual beli dan riba. Jadi nash ayat ini untuk menegaskan perbedaan kedua transaksi tersebut. [21]
Meskipun dzahir bisa dipahami tanpa qorinah namun tidak ada keterangan di dalam Al Quran
yang tidak dilindungi dengan qorinah hingga bisa disalah pahami. Contoh adalah firman Allah

SWT,

Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat
yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari
ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu
dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orangorang
yang
berakal.
Dari ayat di atas dipahami bahwasannya Allah itu esa dan tidak ada sekutu bagiNya. Dengan
cara mentarifkan lafadz dua ujung pertama Allah mengkhususkan penurunan Al Quran
kepada Nabi Muhammad. Kalau ada Tuhan selain Allah niscaya akan menurunkan Kitab seperti
Al
Quran
kepada
selain
Nabi
Muhammad.
Makna ini bukanlah yang dikehendaki secara asli, akan tetapi bisa dipahami dari nazm dengan
berlandaskan kaidah-kaidah pemahaman yang sahih. Dengan demikian makna ini bersifat dzahir
. dzahir disini bukan berarti mudah dipahami oleh orang awam akan tetapi mempunyai makna
sekunder.
[22]
Tentang status hukum lafadz dzahir ini meski ada perselisihan apakah lafadz dzahir memberi
makna yakin dan qoti, tapi para fuqoha dan ulama ushul sepakat akan kewajiban
melaksanakannya menurut lahirnya selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan lain dari
lafadz itu. Penetapan hudud uqubat syarie dan kifarat sah dilakukan dengan lafadz dzahir. [23]
Apabila hermeneutika diaplikasikan dalam lafadz dzahir maka akan banyak ajaran-ajaran pokok
Al Quran yang dimentahkan. Makna tauhid dipaparkan lebih banyak dalam lafadz dzahir
daripada nash. Hampir tidak ada ayat dalam Al Quran yang tidak menyinggung tauhid. Demikian
juga petunjuk-petunjuk Al Quran sangat banyak disebutkan dalam lafadz dzahir. [24] Akan
terjadi pengkaburan makna tauhid pendangkalan akidah, dan dekonstruksi syariat islam. Maknamakna yang qoti akan diragukan, hukum-hukum yang wajib diamalkan, halal dan haram akan
ditolak.
Contoh
firman
Allah
dalam
Qs.
al
baqoroh
275,

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Qs. al Baqoroh 275).
Dzahir ayat di atas adalah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Hukum ini jelas dan
qoti. Apabila hermeneutik diaplikasikan pada dzahir ayat ini maka riba bisa menjadi halal dan
jual beli menjadi haram. Contoh lain adalah firman Allah Qs.Al Hasyr,

007. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka
tinggalkanlah
Qs.
Al
Hasyr
ayat
7
Dzahir ayat diatas adalah memerintahkan untuk taat kepada Rasul SAW. Makna ayat ini jelas
dan qoti. Menjalankan hukumnya adalah wajib. Apabila hermeneutik diaplikasikan pada ayat ini
maka makna dzahir yang qoti menjadi relative dan terbuka kemungkinan berubah. taat kepada
Rasul
menjadi
tidak
wajib.
NASH
Definisi nash menurut al Sarkhasi adalah : lafadz yang mempunyai derajat kejelasan diatas

dzahir dengan qorinah yang menyertai lafadz dari mutakallim, ditunjukkan dengan sighot sendiri
atas makna yang dimaksud dalam konteks, mengandung kemungkinan takwil, menerima naskh
dan
takhsis.[25]
Dari definisi ini menjadi jelaslah bagi kita bahwa nash mempunyai dalalah yang jelas
sebagaimana dzahir. Pemahaman maknanya tidak bergantung pada petunjuk dari luar sighotnya.
Demikian juga makna nash tidak memerlukan penelitian akan tetapi bisa langsung dipahami
dengan sighotnya. Nash lebih jelas daripada dzahir. Sebab menjadi lebih jelasnya nash dari
dzahir adalah disebabkan qorinah yang terdapat dalam kalam. Seperti firman Allah SWT,

.
sesungguhnya
jual
beli
itu
sama
dengan
riba,
Qorinah ini menunjukkan bahwasannya yang dimaksud dengan konteks ayat

adalah menafikan persamaan antara jual beli dan riba dan menegaskan perbedaan
diantara keduanya sebagai bantahan terhadap orang kafir yang mempersamakan kedua jenis
transaksi tersebut. Ayat ini yaitu zd araces
ahir penghalalan jual beli
dan pengharaman riba dan nash terhadap perbedaan diantara keduanya. Qorinah kadang-kadang
juga datang setelah kalam sebagai mana yang ada dalam Al Quran,
[]
Qorinah
datang setelah perintah menikah untuk menunjukkan bahwa maksud
konteks kalam adalah keterangan jumlah yang diizinkan bagi seorang muslim. Maka ayat ini
secara dzahir adalah penghalalan pernikahan dan nash jumlah yang dibolehkan. Demikianlah
qorinah sebagai pembeda antara dzahir dan nash dan sebagai petunjuk bahwasannya nash itulah
yang
dimaksud
oleh
kalam.[27]
Hukum nash sama dengan hukum dzahir yaitu wajib melaksanakannya sesuai dengan makna
yang langsung dipahami dan konteks kalam dengan mengandung kemungkinan takwil takhsis
dan naskh. Namun apabila kemungkinan-kemungkinan ini tidak bersandar pada dalil maka
hukum
nash
adalah
qoti
atau
yakin.[28]
Meskipun berkedudukan sama dalam hukum yaitu kewajiban mengamalkannya berdasarkan
pemahaman makna secara langsung akan tetapi nash lebih terang maknanya daripada dzahir.
Nash itulah yang dituju menurut ungkapan asal, sedangkan dzahir bukanlah tujuan langsung dari
pihak yang mengungkapkannya. Oleh karena itu makna yang dituju secara langsung itu lebih
mudah untuk dipahami daripada makna yang lainnya yang tidak langsung.[29] Juga
kemungkinan nash mengandung takwil, takhsis dan naskh itu lebih kecil daripada dzahir. Atas
dasar itu apabila terdapat pertentangan makna antara nash dan dzahir dalam penunjukannya,
maka
didahulukan
yang
nash.[30]
Apabila hermeneutik diaplikasikan pada nash al Quran maka makna nash yang sudah jelas dan
qoti akan akan kabur dan tidak pasti. Hukum-hukum dalam nash al Quran yang wajib diamalkan
akan ditolak. Perkara-perkara metaphisik yang dijelaskan dalam nash akan diragukan. Contoh
firman
Allah
dalam
Qs.
al
Baqoroh
ayat
275,
[1]
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Qs. al Baqoroh ayat 275.
Ayat di atas adalah nash tentang perbedaan hukum jual beli dan riba. Jual beli hukumnya halal
sedangkan riba haram. Makna ini jelas dan qoti. Hukumnya juga wajib dilaksanakan.
Apabila hermeneutik diaplikasikan pada nash tersebut. maknanya menjadi kabur dan hukumnya
ditolak. Sehingga akan mengantarkan kepada kesimpulan tidak ada perbedaan antara jual beli

dan
riba.
MUFASSAR
((
Dengan ditempatkannya Al Mufassar pada urutan ketiga menunjukkan ia lebih jelas dari dua
lafadz sebelumnya. Ada beberapa definisi tentang mufassar, diantaranya :
Al Sarkhisi memberi definisi : Nama bagi sesuatu yang terbuka yang dikenal dengannya secara
terbuka dalam bentuk yang tidak ada kemungkinan mengandung makna lain. Abdul Wahab
Khalaf memberikan definisi : Suatu lafadz yang dengan sighotnya sendiri memberi petunjuk
kepada maknanya yang terinci begitu terincinya sehingga tidak dapat dipahami adanya makna
lain dari lafadz tersebut.[32] Al Uddah memberikan definisi : suatu lafadz yang dapat diketahui
maknanya dari lafadznya sendiri tanpa memerlukan qorinah yang menafsirkannya.[33] Dari
definisi-definisi yang dipaparkan menjadi jelaslah bagi kita bahwa hakikat lafadz mufassar itu:
a.Penunjukannya terhadap makna jelas sekali. c. Penunjukannya itu hanya dari lafadz sendiri
tanpa memerlukan qorinah dari luar. d. Karena terang dan jelas dan terinci maknanya maka tidak
mungkin
ditakwilkan.[34]
Contohnya
firman
Allah
tentang
had
zina
]
35]
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera (QS. Annur 2) , dan tentang had qodzaf

004. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh
kali
dera,
Masing-masing lafadz yaitu : (( dan
)) mufassar karena ia adalah bilangan tertentu.
Lafadz tersebut tidak mengandung pengurangan dan penambahan. Dan firman Allah SWT,

dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu
semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
Kalimat
.sishkat
aynada
nanikgnumek
nakifanem
Dengan demikian mufassar adalah lafadz atau kalam yang disertai dengan bayan taqriri atau
bayan tafsiri sehingga menjadi lebih jelas daripada nash dan maksudnya bisa dipahami dengan
sighot bukan dengan makna dari mutakallim. Bayan Taqriri adalah keterangan yang memutus
kemungkinan adanya takhsis apabila lafadznya aam dan kemungkinan adanya makna metaphor
dan takwil apabila lafadznya khos, sehingga lafadz menjadi kuat, pasti dan tegas seperti ayat,
.
Bayan Tafsiri adalah keterangan yang menghapus adanya kesamaran yang menyelimuti kalam
sehingga menjadikannya jelas, seperti firman Allah

nama malaikat
bersifat umum yang memungkinkan adanya takhsis karena ia adalah lafadz jama muarraf dengan
huruf laam hingga mengindikasikan aam akan tetapi mengandung kemungkinan takhsis adanya
sebagian malaikat yang tidak bersujud, tetapi dengan adanya lafadz nanikgnumek halgnalih
itu. Ini bayan taqriri. Ketika ada tambahan takialam arap nanikgnumek halgnalih
bersujud sendiri-sendiri. Inilah bayan tafsiri yang menafsirkan cara bersujudnya para malaikat
dan
memutus
kemungkinan
takwil.[36]

Hukum mufassar adalah wajib mengamalkannya. Berdasarkan keterangannya yang terperinci


dan dalalahnya yang qoti. Pada periode Rasululloh SAW mufassar mengandung kemungkinan
dinaskh apabila termasuk hukum yang boleh dinaskh. Adapun sesudah meninggalnya beliau
seluruh hukum di dalam Al Quran menjadi muhkam dengan terputusnya wahyu.[37]
Apabila metode hermeneutik diaplikasikan pada ayat mufassar, maka ayat-ayat mujmal tetap
dalam keadaan mujmalnya. Tidak ada makna pasti yang memerinci ayat-ayat mujmal agar bisa
diaplikasikan ke dalam taklif syarie. Bagaiman pengertian sholat secara terminology syariah,
pelaksanaan zakat dan haji. Masing-masing orang akan melaksanakan praktek ibadah atas dasar
pemahamannya.
Contoh
mufassar
adalah
firman
Allah,
11[8]
Dan
dirikanlah
shalat
dan
tunaikanlah
zakat.
Qs.
al
Baqoroh
110
Ayat di atas adalah perintah untuk menegakkan sholat dan menuanaikan zakat secara mujmal.
Kemudian Rasululloh SAW menjelaskan makna dan pelaksanaan sholat dan zakat baik secara
lisan maupun praktek. Maka lafadz ayat yang mujmal naik menjadi mufassar sehingga tidak
menerima takwil. Apabila metode hermeneutic diterapkan, maka lafadz mujmal akan tetap
samar. keterangan yang memufassarkannya akan diragukan dan direlatifkan. Tidak ada pedoman
yang disepakati dan jelas dalam melaksanakan taklif syari. Masing-masing orang akan
menafsirkan
sendiri
keterangan-keterangan
yang
mujmal.
AL
MUHKAM
( )
Muhkam adalah lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud,yang memang didatangkan
untuk makna itu. Lafadz ini jelas pengertiannya, tidak menerima lagi adanya takwil dan takhsis.
Bahkan terkadang disertai dengan ungkapan yang menunjukkan bahwa lafadz itu tidak menerima
adanya nasakh.[39] Seperti sabda Nabi SAW, Jihad itu terus menerus sampai hari kiamat. Dan
seperti firman Allah, dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
QS.
a-Nnur
:4
Al Muhkam lebih kuat dari pada Al Mufassar tapi tidak lebih terang. Dikatakan demikian karena
Al Muhkam tidak menerima nasakh sementara Al mufassar menerima. Ketidak menerimaan Al
Muhkam terhadap naskh tidak mempengaruhi kejelasan lafadznya. Sebab ketidak menerimaan
naskh bukan bersumber dari zat nash akan tetapi dari sebab yang lain. Oleh karena itu
Almuhkam
lebih
kuat
dari
lafadz-lafadz
yang
lain.
Ada dua perkara yang menjadi sebab Al Muhkam tidak menerima naskh baik pada periode
Rasululloh
SAW
maupun
sesudah
beliau
wafat,
yaitu
:
1. Nash muhkam yang mempunyai makna yang tidak mungkin berubah. Seperti hukumhukum pokok dalam agama antara lain iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikatNya, kitabkitabNya,rasul-RasulNya dan iman kepada hari akhir, iman kepada sifat-sifat Allah SWT.[40]
Nash-nash tentang pokok-pokok akhlak yang utama yang diakui oleh akal yang sehat seperti
kejujuran, menepati janji, amanah, bakti pada orang tua, sillaturrahmi dan nash-nash yang
bermakna berlawanan dari itu. Seperti dusta, khianat,zalim, durhaka pada orang tua dan
memutuskan sillaturrahim. Demikian juga apabila di dalam nash terdapat lafadz yang
menunjukkan
atas
keabadian
makna.[41]
seperti
ayat

Kalimat
menunjukkan secara jelas bahwasannya hukumini berlaku selamanya. Ayat-ayat
yang yang mempunyai makna demikian seluruhnya beersifat muhkam liainihi atau lidzatihi

karena
maknanya
tidak
mungkin
berubah.
2.
Nash yang mengandung kemungkinan naskh baik pada lafadz maupun pada
maknanya.Akan tetapi kemungkinan tersebut sirna karena meninggalnya Rasululloh SAW
sebelum ada keterangan tentang naskhnya. Nash yang demikian masuk pada muhkam lighoirihi.
Jadi seluruh bagian dari wadih dalalah yaitu dzahir,nash dan mufassar menjadi muhkam setelah
meninggalnya Rasululloh SAW . Muhkam dalam arti bebas dari naskh bukan dari takhsis
ataupun
takwil.[42]
Para ulama ushul sepakat bahwa al muhkam menduduki posisi tertinggi dalam kejelasan di
antara derajat-derajat kejelasan lafadz. al muhkam menunjukkan makna yang jelas dan tidak ada
kemungkinan takwil, takhsis dan naskh. Baik pada peride Rasululloh maupun sesudah beliau
wafat. Wajib mengamalkan hukum lafadz muhkam secara pasti (qoti) tanpa mengandung
kemungkinan-kemungkinan alternatif lain dan tidak mungkin dinaskh oleh lafadz lain.
keterangan-keterangan
tentang hal-hal
yang metaphisis
juga
harus
diyakini.
Apabila metode hermeneutik diterapkan dalam lafadz muhkam ini. Maka perkara-perkara yang
tetap dalam agama akan berubah. Baik itu tetap karena muhkam lidzatihi maupun karena
muhkam
lighoirihi.
Contohnya
adalah
firman
Allah
SWT
dalam
19[]
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah
1[]
Katakanlah:
"Dia-lah
Allah,
Yang
Maha
Esa,

1[]
Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang
kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup
dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala
urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah: "Mengapa kamu tidak
bertakwa
(kepada-Nya)?"
Ayat-ayat ini adalah semuanya muhkam lidzatihi. Dalalahnya jelas maknanya tidak mungkin
berubah. baik karena takwil, takhsis maupun naskh. Karena ia adalah perkara pokok agama.
Apabila hermeneutik diaplikasikan dalam lafadz ini maka perkara yang tetap akan berubah.
Pokok-pokok yang harus diyakini akan didangkalkan dengan teori relativisme penafsiran.
Kesimpulannya adalah tidak ada makna yang jelas, tetap dan qoti dalam hermeneutik. Baik
dzahir, nash, mufassar maupun muhkam belum final dan masih terbuka kemungkinan berubah
sesuai dengan realitas dan rasionalitas. Asumsi ini didasari oleh relativitas penafsiran. Semua
penafsiran adalah produk akal manusia sedangkan kebenaran akal manusia bersifat relative.
Yang
mutlak
adalah
wahyu
dan
agama.
Penafsiran yang didasari oleh ketundukan terhadap realitas nampak pada teori double movement
Fazlurrahman[46]. Dari situasi sekarang ke masa al-Quran diturunkan dan kembali ke masa kini.
Fazlur
Rahman
menerangkan
ide
double
movement
sebagai
berikut
:
Gerakan pertama menempuh dua langkah. Pertama, orang harus memahami arti atau makna dari
suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan al Quran
tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifiknya, suatu
kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyrakat, agama, adat istiadat, lembagalembaga, bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam
dan khususnya di sekitar Makkah. Dengan tidak mengkesampingkan peperangan-peperangan
Persia-Bizantium akan harus dilakukan. Jadi langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah

memahami makna al Quran sebagai suatu keseluruhan disamping dalam batasan-batasan ajaranajaran khusus yang merupakan respon terhadap situasi-situasi khusus. Langkah kedua adalah
menggenaralisir jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataanpernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat
spesifik dalam sinaran latar belakang sosio historis dan rationes legis yang sering dinyatakan.
Benar, langkah yang pertama memahami makna dari ayat spesifik itu sendiri mengimplikasikan
langkah yang kedua dan membawa kepadanya. Selama proses ini perhatian harus diberikan
kepada arah ajaran al Quran sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang
dipahami, setiap hukum yang dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren
dengan yang lainnya. Al quran sebagai suatu keseluruhan memang menanamkan suatu sikap
yang pasti terhadap hidup dan memiliki dan memiliki suatu pandangan hidup yang konkret; ia
juga mendakwakan bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksi dalam, tetapi koheren
secara
keseluruhan[47]
Fazlur Rahman menerangkan metode gerakan ganda tersebut sebagai berikut : sementara
gerakan yang pertama terjadi dari hal-hal yang spesifik dalam al Quran ke penggalian dan
sistemasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan jangka panjangnya, yang kedua
harus dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan
direalisasikan sekarang. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan dalam
konteks sosio historis yang konkret di masa sekarang. Ini sekali lagi memerlukan kajian yang
cermat atas situasi sekarang dan analisis berbagai unsur komponennya sehingga kita bisa menilai
situasi sekarang dan mengubah kondisi sejarah sekarang sejauh yang diperlukan, dan
menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai al Quran secara
baru pula. Sejauh linkup kita mampu mencapai kedua momen dari gerakan ganda ini dengan
berhasil, perintah-perintah al quran akan menjadi hidup dan efektif kembali. [48]
Dengan ide double movementnya ini Fazlurrahman telah menjadikan hukum-hukum Al Quran
tunduk dibawah situasi-situasi kondisional yang terus menerus berubah. Al quran tidak dijadikan
imam yang ditaati. Namun ajaran-ajarannya dikompromikan agar sesuai dengan selera hawa
nafsu. hukum-hukum syari yang qoti dalam makna dzahir, nash, mufassar bahkan muhkam
dinegasikan. Fazlurrahman telah menolak keharaman riba, pembolehan poligami, hudud dan
hukum-hukum Islam lainnya. Menurut Rahman, Al Quran ketika diturunkan dipengaruhi oleh
situasi historis saat itu. Sehingga ia merasa perlu mengklasifikasikan idea moral dan legal
spesifik. Karena kondisi sekarang berbeda ia mengatakan yang berlaku adalah idea moral dan
bukan legal spesifik. Dalam menolak poligami ia beralasan kondisi Arab ketika Al Quran
diturunkan tidak membatasi jumlah wanita untuk dinikahi. Maka Al Quran meresponnya dengan
membatasi empat istri. Inilah legal formal sedangkan idea moralnya adalah pembatasan satu istri.
Ketika Al Quran diaplikasikan saat ini maka yang berlaku adalah idea moralnya yaitu satu
istri.[49]
barang di dalam kuburan tidak digolongkan kepada pencuri, sehingga hukumannya cukup
dengan
tazir.[33]
F.
Musykil
Lafaz
musykil
ialah:

Suatu
lafaz
yang
samar
artinya,
disebabkan
oleh
lafaz
itu
sendiri.[34]
Sumber kesamaran dari lafaz itu adakalanya karena lafaz itu digunakan untuk arti yang banyak
sehingga tidak dapat dipahami artinya jika hanya dengan melihat lafaz tersebut.

Lafaz musytarak termasuk ke dalam bentuk ini. Mungkin pula ketidakjelasan lafaz itu karena ada
pertentangan antara apa yang dipahami dari suatu nash dengan apa yang dipahami dari nash
lain.[35] Dalam memahami lafaz jenis ini diperlukan petunjuk dari luar lafaz, sehingga dalam
penemuan petunjuk dari luar itu terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Contohnya lafaz
quru
dalam
Surat
Al-Baqarah
(2)
ayat
228:
Ms)=sJ9$#ur
/utIt
`gRr'/
spsWn=rO
&r%
4
Perempuan-perempuan yang bercerai dari suaminya hendaklah beriddah selama tiga quru.
Lafaz quru dalam ayat tersebut bermakna ganda, yaitu suci dan haid.[36] Karena lafaz
tersebut memiliki arti ganda, sehingga diperlukan adanya qarnah yang akan menjelaskannya.
Dan karena qarnah yang digunakan ulama berbeda, sehingga hukum yang dihasilkan pun akan
berbeda
pula.
Imam Syafii dan sebagian para mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lafadh alqar-u dalam ayat tersebut adalah suci. Qarinahnya adalah adanya tanda muannats (perempuan)
pada kata bilangan, yang menurut bahasa madudnya (yang dibilang) adalah mudzakkar, yaitu
(suci).[37]
Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah dan segolongan mujtahidin bahwa lafadh al-qar-u dalam
ayat
tersebut
adalah
haid.
Qarinahnya:
a.
Hikmah disyariatkannya iddah adalah untuk mengetahui bersihnya rahim dari kehamilan.
Dan untuk mengetahui masalah ini dengan cara memperhatikan haid.[38]
b.
QS.
At-Thalaq
(65)
ayat
4:
9$#ur z`t z`B syJ9$# `B /3!$|pS b) OF;s?$# `kEs
psWn=rO
9gr&
9$#ur
Os9
z`ts
4
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuanperempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah
tiga
bulan;
dan
begitu
(pula)
perempuan-perempuan
yang
tidak
haid.
Ayat tersebut di atas menghubungkan hitungan bulan dengan ketiadaan haid. Maka berarti
bahwa
yang
asal
adalah
hitungan
dengan
haid.[39]
c.
Dalam
riwayat
ad
Daruquthni
dari
Ibnu
Amr:

Thalaq bagi hamba sahaya itu dua kali dan iddahnya dua kali haid.[40]
Adanya ketegasan bahwa iddah bagi hamba sahaya dua kali haid ini merupakan penjelasan
bahwa yang dimaksud dengan quru adalah haid untuk masa iddah bagi wanita merdeka.[41]
G.
Mujmal
Menurut bahasa al-mujmal berari samar.[42] Dan menurut istilah berarti: lafaz yang dengan
bentuk (shigat)-nya tidak menunjukkan kepada pengertian yang dikehendaki olehnya, dan tidak
tedapat qarinat-qarinat lafaz atau keadaan yang dapat menjelskannya. Maka sebab kesamaran di
dalam al-mujmal ini bersifat lafzhiy, bukan bersifat aridhiy (sifat yang baru datang dari luar
lafaznya).[43]
Contoh lafaz mujmal ialah lafaz yang artinya dipindahkan oleh syara dari arti bahasa ke arti
syara, seperti lafaz salat, zakat, puasa, dan haji. Lafaz salat menurut bahasa diartikan dengan
doa, namun menurut syara ialah suatu perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam.[44] Yang menerangkan arti syara tersebut adalah pembuat peraturan itu
sendiri karena ditemui sunah qauliyah dan sunah filiyah yang menerangkan arti yang dimaksud
oleh
syara.[45]
Sabda
Rasulullah
s.a.w.:

Lakukanlah
shalat
sebagaimana
kamu
melihatku
melakukan
shalat.[46]
Demikian pula beliau menginterpretasikan zakat, puasa, hajji, dan riba, serta segala sesuatu yang
datang
secara
mujmal
dalam
nash-nash
Al-Quran.[47]
Di antara mujmal adalah lafaz yang gharib (asing) yang ditafsirkan oleh nash sendiri dengan
makna khusus, seperti lafaz al-qariah dalam QS. Al-Qariah (101) ayat 1-5:
pt$s)9$# $tB pt$s)9$# !$tBur y71ur& $tB pt$s)9$# tPqt
bq3t $Y9$# #tx9$$2 ^qZ6yJ9$#
bq3s?ur A$t6f9$#
`g9$$2
\qZyJ9$#

Hari kiamat. Apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu Apakah hari kiamat itu? Pada hari itu
manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran. Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang
dihambur-hamburkan.
Apabila penjelasan terhadap mujmal datang dari syari, akan tetapi penjelasan itu tidak tuntas
untuk dapat menghilangkan kemujmalan itu, maka dengan penjelasan itu mujmal menjadi
musykil. Jalanpun terbuka untuk ijtihad dan pembahasan untuk menghilangkan ke-musykilannya.[48]
H.
Mutasybbih
Mutasybbih ialah lafal yang petunjuknya memberikan arti yang dimaksud oleh lafal itu sendiri,
sehingga tidak ada di luar lafal yang dipergunakan untuk memberikan petunjuk tentang artinya
dan
juga
syara
tidak
menerangkan
tentang
artinya.[49]
Di antara lafaz mutasybbih adalah huruf-huruf hijaiyah yang terpotong-potong pada permulaan
sebagian surat-surat Al-Quran, seperti: , , ,
. Dan ayat-ayat yang menurut zhhir-nya
menunjukkan secara samar adanya penyerupaan al-Khlik kepada makhluk-Nya, seperti dalam
hal
Allah
mempunyai
mata,
tangan,
dan
muka.[50]
Contohnya:
a.
QS.
Hud
(11)
ayat
37:
oY$#ur
y7=9$#
$uZ^r'/
Dan
buatlah
bahtera
itu
dengan
mata-mata
Kami.
b.
QS.
Al-Fath
(48)
ayat
10:
t
!$#
s-qs
Nkr&
Tangan
Allah
di
atas
tangan
mereka.
c.
QS.
Ar-Rahman
(55)
ayat
27:
4s+7tur
m_ur
y7n/u
r
@n=pg:$#
Q#t.M}$#ur

Dan tetap kekal muka Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Menurut ulama salaf, adanya kesamaran pada huruf-huruf hijaiyah dan ayat-ayat tersebut
dikarenakan tidak dapat dipahami menurut arti bahasa. Lagi pula Allah dan Rasul-Nya tidak
menjelaskan arti dan maksud yang dikehendaki. Dengan demikian menurut mereka hanya
Allahlah Yang Maha Mengetahui dan Maha Mendengar lagi pula Maha Suci dari segala sesuatu
yang
menyerupai
makhluk-Nya.[51]
Sedangkan menurut ulama khalaf, bahwa ayat-ayat yang menurut arti zhhir-nya mustahil seperti
Allah mempunyai tangan, mata, dan muka, itu semua harus di-tawil-kan dan dipalingkan dari
arti zhhir-nya kepada arti yang sesuai dengan dalil-dalil akal dan aturan bahasa Arab sekalipun
dengan
jalan
majaz.[52]
Sebab terjadinya perbedaan antara ulama salaf dengan ulama khalaf disebabkan oleh perbedaan
mereka
dalam
memahami
surat
Ali
Imran
(3)
ayat
7,
yaitu:
u$tBur Nn=t &s#r's? w) !$# 3 tbq9$#ur O=9$# tbq9q)t
$ZtB#u
m/
@@.
`iB
Z
$uZn/u
Padahal tidak ada yang mengetahui tawilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam

ilmunya berkata: kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasybbihat. Semuanya itu dari sisi
Tuhan
kami.
Dalam ayat ini ulama salaf memberi tanda waqf (berhenti) pada lafaz !$# (Allah). Atas dasar ini
hanya Allahlah yang dapat mengetahui arti ayat-ayat al-mutasybbihat itu. Namun demikian kita
wajib mengimaninya dan menyerahkan pemaknaannya kepada Allah. Oleh karena itu, menurut
mereka, kita tidak punya kewajiban untuk membicarakan dan membahas tawil-nya.[53]
Sedang ulama khalaf memberi tanda waqf pada lafaz tbq9$#ur O=9$# (dan
orang-orang yang mendalam ilmunya). Atas dasar ini ayat-ayat al-mutasybbihat itu dapat
diketahui arti-artinya oleh Allah dan orang-orang yang sangat dalam ilmunya. Mereka mentawil-kan ayat-ayat itu sesuai dengan dalil-dalil akal dan aturan bahasa Arab. Dan mereka
memahasucikan al-Khaliq dari hal-hal yaPng meyerupai makhluk-Nya.[54]

Anda mungkin juga menyukai