Anda di halaman 1dari 6

Kaidah Fiqhiyah

A. Definisi Qawâid Fiqhiyyah

Ilmu Qawâid Fiqhiyyah tersusun dari dua kata


yaitu Qawâid dan Fiqhiyyah, Qawâid merupakan jama’ dari Qâ’idah artinya adalah
pondasi suatu bangunan[1], sedangkan secara terminologi Fuqaha ialah ketentuan
yang universal (kulliyah) menghimpun seluruh yang perkara
yang parsial( juziyyah) [2]. Sedangkankan al-Fiqhiyah berasal dari kata al-Fiqh yaitu
sebuah pemahaman, adapun menurut fuqaha ialah suatu pengetahuan tentang
hukum syar’i amaliyah yang diproduksi dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Qawâidh Fiqhiyyah,
sebagaimana yng dikatakan oleh Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah :
“dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang
yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang
termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.[3] seperti kaidah :
"‫"العبرة في العقود بالمقاصد و المعاني‬
“yang diianggap dalam akad-akad adalah maksud dan maknanya”
Kaidah tersebut bersifat universal namun hanya mencakup dalam juziyyahnya yaitu
persoalan akad.

B. Sejarah Ilmu Qawâid Fiqhiyah dan Perkembangannya


· Abad ke-3 h-abad ke-6 h
Merupakan hal yang sulit untuk menentukan penetapan tarikh kodifikasi ilmu
Qawaid Fiqhiyah secara detail, namun nampaknya yang membukukan ilmu tersebut
ialah Abul Hasan al-Karkhi (260-340) dalam kitabnya Ushûl al-Karkhi yang
mengembangkan 39 kaidah fikh dari 17 kaidah yang dicetus oleh Abu Thahir Ad-
Dabbâs sebaagai pemuka madzhab Hanafi yang hidup pada abad antar ke-3 dan ke
-4 H, namun banyak dari ahli sejarah muslim ketika mengkisahkan Abul hasan al-
Karkhi tidak menyebutkan kitab al-Ushûl milik Abul Hasan al-Karhi, bahkan sebagian
literatur menyebutkn bahwa yang memodifikasi ilmu Qawâid Fiqhiyyah ialah Abul
Laist As-Samarqondi (w. 373) dengan karyanya kitab Ta’sîsun Nadzâir menyebutkan
74 kaidah fikh.
Sebelum abad ke-7 muncullah beberapa kitab yang membahas tentang Qawâid
Fiqhiyah diantaranya al-Qawaid karya Ibnu Dusat (w. 507), kemudian al-
Qawâid karya Qadhi ‘Iyyadh (w. 544). Jika kita lihat karya yag dimunculkan pada abad
ini masih berjumlah sedikit, belum mencapai puncak kejayaannya, dan kebanyakan
buku tersebut dikarang oleh ulama dari Madzhab Hanafiyah.

· Abad ke-7-abad ke-10


Pada masa ini imam al-Jajurmi (w. 613) mengarang kitab al-Qawâid al-Fiqhiyah
Fi al-Furu’ asy-Syafi’iyah dan kitab ini tampil dengan model baru, sehingga ulama
dahulu banyak yang mengambil faidah dari kitab tersebut, muncul juga kitab yang
masyhur yaitu Qawâidul Ahkâm karya Izzuddin Abdussalam (w. 660). Adapun pada
abad ke-8 maka di sanalah mulai kejayaan ilmu Qawâidh Fiqhiyah berkembang pesat,
banyak karya para ulama tentang ilmu tersebut diantaranya al-Asybâh wa An-
Nadzôir karya Ibnu Wakil (w.716) dengan banyak kaidah yang baru digagas, belum
diciptakan oleh ulama sebelumnya. Sampai Ibnu Nujaim ulama Hanafi memuji atas
karya yang ditulis dalam kitab tersebut. Kemudian ath-Thufi juga menulis kitab yang
berjudul al-Qawâid al-Kubra dan al-Qawâid Ash-Shugra, akan tetapi sayangnya
banyak informasi yang hilang tentang kitab tersebut sehingga tidak bisa diketahui
secara komperhensif.
Pada masa ini juga Ibnu Taimiyyah (w. 728) menulis tentang Qawâidh
Fiqhiyah dengan judul al-Qawâid an-Nurâniyah al-Fiqhiyah dengan penyusunan
sesuai sistematis dengan bab fikh yang dimulai dari bab thaharah, najis, wudhu dan
seterusnya. Diantaranya juga kitab al-Madzhab fi Dhabti Qawâid Madzhab karya
Muhammad bin Rasyid (w. 736) dan kitab tersebut banyak dipuji para ulama dan
dikatakan bahwa Malikiyyah tidak memiliki kitab yang artistik dalam ilmu Qawâidh
Fiqhiyah kecuali buku tersebut.
Pada pertengahan abad 8 juga lahir kitab al-Qawâid karya Abu Abdillah al-Muqri
al-Maliki (w. 758) yang menyebutkan 1200 kaidah Fikh. Pada umumnya pada masa
ini banyak karya Qawâid Fiqhiyah dengan terobosan baru, kaidah fikh dalam
madzhab, antar madzhab, dan bahkan menertibkan kembali pembahasannya secara
elegan dan sistematis.

· Abad ke-11- abad Sekarang.


Pada masa ini, kontribusi ulama dalam bidang ilmu Qawâid Fiqhiyah sangatlah
beragam, namun mayoritas pembahasannya banyak mengikuti kitab-kitab
monumental sebelumnya, diantaranya:
Al-Asybâh wa Nadzâir karya Imam as Suyuti (w. 911), Asybâh wa Nadzâir karya Ibnu
Nujaim, kaidah yag terdapat pada majalah al-Ahkam ‘Adliyah dan karya lainnya yang
bersifat mustaqil (independen). Dapat kita simpulkan bahwa pada masa ini
kebanyakan dari karyanya berkutat pada syarh kitab sebelumnya, meringkas,
menadzmnya, sedikit sekali yang mencetus kaidah baru.[4]

C. Urgensi mempelajari Ilmu Qawâid Fiqhiyah


1. Qawâid Fiqhiyah dapat mencipatkan suatu keahlian dalam mengetahui hukum
syar’i.
2. Membantu seseorang mengumpulkan hukum permasalahan cabang fikh yang
tersebar, kemudian menggabungkan dalam satu kaidah umum.
3. Dapat mengetahui Maqâshid Syarîah.
4. Mengetahui mustastnayât (pengecualian-pengecualin) dari sebuah kaidah.
5. Seorang yang bukan spesialis dalam bidang fiqh akan bisa megumpulkan cabang
dari kaidah-kaidah asas. [5] imam al-Qarafi berkata: “barang siapa yang menguasai
fiqih lewat penguasaan kaedah-kaedahnya,maka dia tidak butuh untuk menghafal
semua permasalahannya satu persatu karena sudah tercangkup dalam keumuman
kaedah tersebut.

D. Literatur ilmu Qawaid Fiqhiyah dari 4 Madzhab:


1. Madzhab Hanafiyah:
Jika Imam Syafi’i sebagai kodifikator ilmu Ushul Fiqh, maka Hanafiyah sebagai
pelopor kodifikasi ilmu Qawaid Fiqhiyah. Diantar kitab Qawâid Fiqhiyah dalam
madzhab Hanafi adalah:
· Ta’sis an-Nadzor karya Abu Thahir
· Ushûl al-Karkhi karya Imam al-Karkhi
· Al-Asybâh wa an-Nadzôir karya Ibnu Nujaim
· ‘Umdatun Nadzir fi al-Asybâh wa an-Nadzôir karya Abi Su’ud al-Husaini
2. Madzhab Malikiyah:
· Ushûl al-Futya karya al-Khusyani
· Al-Furûq karya Imam al-Qarafi
· Al-Furûq karya Imam Syath
3. Madzhab asy-Syafi’iyyah
· Al-Qawâid fil Furûq as-Syâfiiyyah karya al-Jarimi
· Qawâid al-Ahkâm karya Izzuddin bin Abdussalam
· Al-Asybâh wa Nadzôir karya Imam Suyuthi
4. Madzhab Hanabilah
· Qawâid Kubra fi Furu’ al-Hanâbilah karya imam At-Thufi
· Qawâid Shugra karya Imam At-Thufi
· Hawâsyi Qâ’idah Fiqhiyah karya Ibnu Nasr[6]

E. Perbedan antara Qawaid Uhuliyah dengan Qawaid Fiqhiyah


1. Qawâid Ushûliyah bersifat universal tidak terbatas adapun Qawâid
fiqhiyah parsial hanya mencakup beberapa permasalahan.
2. Qawâid Ushûliyah mayoritas kaidah diambil dari pada kaidah bahasa Arab,
sedangkan Qawâid fiqhiyah dibangun atas penelitian terhadap cabang-
cabang (furu’) dengan tujuan mempermudah seorang faqih dalam mengumpulkan
cabang-cabang dari kaidah tersebut.
3. Qawâid Ushûliyah dibangun sebelum adanya cabang-cabang, sedangkan Qawâid
fiqhiyah dibangun setelah adanya cabang-cabang kaidah.
4. Qawâid Ushûliyah sudah paten sedangkan Qawâid Fiqhiyah kaidah yang
berdasarkan hukum yang sering terjadi (ahglabiyah).
5. Perbedaan antara Qawâid fiqhiyah dan Qawâid Ushûliyah.
6. Qawâid Ushûliyah diperoleh secara deduktif, sedangkan fiqhiyah secara induktif.
Kaidah ushuliyah merupakan mediator untuk meng-istinbath-kan hukum syara’
amaliyah, sedangkan kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa
diikat oleh kesamaan ‘illat atau kaidah fiqhiyah yang mencakupnya.

F. Klasifikasi Qawâid fiqhiyah


1. Qawâid fiqhiyah ditinjau dari cakupannya, terbagi menjadi 2:
a. Qawâid Kubra/al-Khams
· ‫( األمور بمقاصدها‬segala sesuatu bergantung pada niatnya)
Asal kaidah ini adalah hadits nabi Muhammad Saw:
"‫[ "إنما األعمال بالنيات‬7]
“Sesunguhnya amalan bergantung pada niatnya”
Contohnya seorang yang menyembelih hewan kurban, maka tergantung pada
niatnya, jika niatnya berkurban untuk Allah maka menjadi ibadah namun apabila
niatnya untuk dipersembahkan kepada sesembahan selain Allah maka hukumnya
haram.[8]

· ‫( اليقين ال يزال بالشك‬keyakinan tidak dapat dihapus dengan keraguan)


Yang dimaksud dengan kaidah ini adalah bahwa suatu perkara yang telah tetap
dengan yakin, tidak akan hilang dengan suatu keraguan, dan keyakinan tersebut
dapat hilang dengan yang sederajat atau semisalnya, karena keraguan itu lemah
sedangkan keyakinan itu kuat. Contohnya memakan makanan milik orang lain yang
kemungkinan besar mendapatkan ridha dari pemiliknya.[9]

· ‫( المشقة تجلب التيسير‬kesulitan mendatangkan kemudahan)


Arti kaidah ini adalah ketika seseorang mendapatkan kesulitan dalam
melaksanakan suatu ibadah, maka akan ada keringan dari syariat. Contohnya jika
seseorang tidak mampu untuk shalat berdiri maka dia shalat dengan keadaan duduk,
dan jika tidak mampu berwudhu maka bertayammum.[10]

· ‫ال ضرر وال ضرار‬


Maksud dari kaidah ini adalah tidak boleh membahayakan diri sendiri dan juga
orang lain. Contohnya jika harta seseorang di rusak, maka pemilik harta tersebut tidak
boleh membalasnya dengan merusak harta orang yang merusak, karena itu
termasuk dharar yang wajib dijauhi.[11]

· ‫( العادة محكمة‬Kebiasaan dapat dihukumi)


Kebiasaan atau adat istiadat masyarakat menjadi rujukan hukum ketika syariat
menetapkan suatu hukum namun tidak meperinci kadarnya. Contohnya ketika syariat
memerintahkan atas suami untuk memberi nafaqah kepada istri atau keluarganya,
maka dikembalikan pada adat setempat.[12]

b. Qawâidh Shugra
Qawâidh shugra adalah kaidah cabang dari kaidah asasnya atau Qawâid Qubra,
berikut kaidah cabang dari setiap kaidah asasi:
1. ‫العبرة في العقود بالمعاني ال باأللفاظ والمباني‬
“Yang dijadikan pegangan dalam akad adalah maksud dan maknanya, bukan
lafazh dan susunan redaksinya”. Kaidah Ini termasuk cabang atau bagian dari kaedah
pertama yakni ‫ األمور بمقاصدها‬.[13] Contohnya pembeli yang ingin menjual pintu berkata
dengan lafal ijarah (sewa) maka yang dibenarkan adalah niatnya yaitu niat menjual
pintu tersebut.
2. ‫ما ثبت بيقين ال يرتفع إال بيقين مثله‬
Kaidah ini merupakan cabang dari kaidah asas yaitu ‫ اليقين اليزال بالشك‬.Maksud dari
kaidah ini ialah perkara yang sah dengan suatu keyakinan tidak dapat hilang kecuali
dengan keyakinan yang semisalnya. Contohnya seorang yang ragu, apakah dia telah
menceraikan istrinya atau belum? Maka dikembalikan pada asalnya yaitu masih
dalam status nikah, karena keadaan nikahnya ditetapkan dengan keyakinan
sedangkan keyakinan tersebut tidak dapat dihilangkan dengan keraguan apakah
sudah cerai atau belum.[14]

3. ‫الضرورات تبيح المحظورات‬


Kaidah ‫الضرورات تبيح المحظورات‬ ini terdiri dari tiga kata yang masing-masing
mempunyai makna tersendiri. Adapun makna ketiga kata tersebut secara bahasa
adalah:
‫ الضرورات‬berasal dari kata ‫ الضرورة‬yang berarti mudharat, yaitu suatu musibah yang
tidak dapat dihindari.‫ تبيح‬berasal dari fi’il madhi ‫ اباح‬yang bermakna
membolehkan.‫ المحظورات‬artinya hal-hal yang dilarang, yaitu semua hal yang dilarang
oleh Allah di dalam Islam. Artinya hukum sesuatu yang dilarang akan menjadi
diperbolehkan dalam keadaan darurat.[15]

4. ‫الضرر اليزال بمثله‬


Kaidah ini menjadi penjelasan lanjutan dari kaidah ‫الضرر يزال‬. Artinya seseuatu
yang membahayakan tidak dapat dihilangkan dengan bahaya semsisalnya atau
sesuatu yang lebih berbahaya. Contohnya dalam situasi perang, orang yang terluka
parah tidak boleh meniban temannya yang sedang terluka para, karena itu akan
memunculkan mudharat yang besar.

5. ‫استعمال الناس حجة يجب العمل بها‬


Arti kaidah ini adalah adat atau kebiasaan manusia adalah hujjah, wajib untuk
diamalkan, selama tidak bertentangan dengan syariat.[16] Contohnya jika seseorang
memberikan makanan di sebuah piring, maka dia harus mengembalikan piringnya
tersebut, karena adat yang berlaku di masyarakat seperti itu, dan juga jika diberikan
makanan di sebuah keresek maka dia tidak perlu mengembalikan keresek tersebut,
sesuai dengan adat.[17]

Perbedaan fundamental antara Qawâidh Fiqhiyah dengan Qawâidh


Ushûliyah diantaranya bahwa Qawâidh Fiqhiyah kumpulan prodak hukum,
sedangkan Qawâidh Ushuliyah adalah suatu instrument dalam mengistinbat
hukum, Qawâid fiqhiyah terbagi menjadi 2 yaitu kaidah yang sifat asasi dan ada yang
yang cabang, dengan contoh-contooh yang telah disebutkan memungkinkan
pembaca untuk lebih paham terhadap setiap kaidah.

[1] Team lembaga Bahasa, Al-Mu’jam al-Wasîth, (Dar Syuruq, 2004) 748
[2] at-Ta’rifât al-Fiqhiyah, Sayid Muhammad Amin, (Lebanon, Dar Kutub ilmiyah, cet I, 2013) 169
[3] Muhammad Zarqa, Syarh Qawâidh Fiqhiyah, (Damaskus, Dar Qalam, cet II, 1989) 34
[4] Ya’qub Ba Husain, al-Mufashshal f^i al-Qawâid al-Fiqhiyah, (Riyadh, at-Tadmuriyah, cet II.
2011) 149-153
[5] Syaik Imad Ali Jumah, al-Qawâid al-Fiqhiyah, (Saudi, Maktabah Malik Fahd, cet I, 2006), 9
[6]‘Imad Ali Jum’ah, Qawâid fiqhiyah al-Muyassararah (Saudi, Maktabah Malik Fahd, cet. I,
2006) 17-19
[7] As-Suyuthi, al-Asybâh wa Nadzâir (Lebanon, Dar Kutub Ilmiyah,, cet. I, 1983 ) 8
[8] Muhammad Musthafa Zuhaili, al-Qawâid al-Fiqhiyah fil Madzâhib Arb’ah, (Damaskus, Dar
Fikr cet III, 2009) 73
[9] Abdul Aziz Muhammad Azzam, al-Wasîth Fi al-Qawâid Fiqhiyah, (Mesir, al-Azhar
University, 2015) 100
[10] Muhammad Shalih al-Utsaimin, Ushul Fiqh wa Qawaiduhu,, (Kairo, Dar Syar’iyyah, cet. I,
2004) 17
[11] Abdul Aziz Muhammad Azzam, al-Wasîth Fi al-Qawâid Fiqhiyah, (Mesir, al-Azhar
University, 2015)al-Azhar) 170
[12] Abdurrahman Sa’di, Qawâid Fiqhiyyah, (Kairo, Dar Mushthafa, 2013) 30
[13] Imad Ali Jum’ah, Qawâid fiqhiyah al-Muyassararah (Saudi, Maktabah Malik Fahd, cet. I,
2006) 11
[14] Ya’qub Ba Husain, al-Mufashshal f^i al-Qawâid al-Fiqhiyah, (Riyadh, at-Tadmuriyah, cet
II. 2011) 23
[15] Ya’qub Ba Husain, al-Mufashshal f^i al-Qawâid al-Fiqhiyah, (Riyadh, at-Tadmuriyah, cet
II. 2011) 239
[16] Abdul Aziz Muhammad Azzam, al-Wasîth Fi al-Qawâid Fiqhiyah, (Mesir, al-Azhar University, 2015)
224
[17] Ya’qub Ba Husain, al-Mufashshal f^i al-Qawâid al-Fiqhiyah, (Riyadh, at-Tadmuriyah, cet II. 2011)
428

Anda mungkin juga menyukai