Anda di halaman 1dari 13

PENGERTIAN DAN

RUANG LINGKUP
QAWAID
FIQHIYYAH
Disusun oleh :

• Eka Adi Prayuda 2223.02.002


• Ira Susilawati 2223.02.005
• Muhammad Diva 2223.02.010
PENGERTIAN QAWAID FIQHIYYAH
Secara etimologi, berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik
yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah,
maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin
(dasar agama).
Qawa’id Fikhiyah (kaidah-kaidah fikih) secara etimologi adalah dasar-
dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis
fikih. Bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya
dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).
PENGERTIAN Al DHAWABITH
Al Dhawabith diambil dari kata dasar al-Dhabith artinya menurut etimilogi
yaitu "Memelihara, mengikat, kekuatan, dan penguatan".
dhawabith fiqhiyyah adalah setiap juz'iyyah fiqhiyyah yang terdapat dalam satu
bab fiqh. Atau prinsip fiqh yang universal, yang bagian- bagiannya terdapat
dalam satu bab fiqh. Pengertian al-dhawâbith secara bahasa adalah bentuk jamak
dari dhâbith yang berakar kata dh-b-th. Kata ini merujuk pada pengertian luzûm
al-syai wa habsuhu, tetap dan tertahannya sesuatu.
PENGERTIAN NAZHARIYAH
FIQHIYAH
berasal dari nazhir yang berarti mengangan-angan sesuatu dengan mata
(ta’mulus syai’ bi al ain).
Akan tetapi sebagian ulama fuqaha kontemporer mengatakan : bahwa
nazhariyah sinonim dengan qawa’id fiqhiyah, yang termasuk dalam golongan ini
adalah Syekh Muhammad Abu Zahra sebagaimana yang di jelaskan dalam ushul
fiqh. Atau Nadhariyah fiqhiyah juga bisa didefinisikan dengan “Maudhu-
maudhu fiqih atau maudhu yang memuat masalahmasalah fiqhiyah atau
qadhiyah fiqhiyah. Hakikatnya adalah rukun, syarat, dan hukum yang
menghubungkan fiqh, yang menghimpun satu maudhu’ yang bisa digunakan
sebagai hukum untuk semua unsur yang ada.
Perbedaan Qawaid Fiqhiyyah dengan Qawaid
Ushuliyah, Dhawabit Fiqhiyyah
dan Nadhariyah Fiqhiyyah
Qawaid fiqhiyyah dengan qawaid ushuliyah dhawabith fiqhiyyah dan nadhariyah fiqhiyyah

Qawa’id fiqhiyyah lebih umum dari dhawabith Dhawabith fiqhiyyah hanya mengumpulkan dari satu
fiqhiyyah, karena qawa’id fiqhiyyah tidak terbatas bab, dan inilah yang disebut dengan ashal. Menurut As-
Suyuthi dalam Asybah wa Nadhair fi An Nahwi, bahwa
pada masalah dalam satu bab fikih, tetapi kesemua
qawaid fiqhiyyah mengumpulkan beberapa cabang dari
masalah yang terdapat pada semua bab fikih. beberapa bab fiqh yang berbeda, sedangkan dhawabith
Kaidah ushuliyah dalam teksnya tidak fiqhiyyah mengumpulkan bagian dari satu bab fiqh
saja.
mengandung rahasia-rahasia syar‟i tidak pula
mengandung hikmah syar‟i. An-nazariyyat al-fiqhiyyah lebih umum dan lebih luas
cakupannya dari kaidah fikih. fikih di bawah satu
Perbedaan antara kaidah ushuliyah dan kaidah kesatuan tematik yang sistematis. An-nazariyyat al-
fiqhiyyah pun bisa dilihat dari maudhu‟nya fiqhiyyah di bawahnya tercakup kaidah-kaidah fikih.
(objek). Jika Kaidah ushuliyah maudhu‟nya dalil- Hubungan antara keduanya adalah hubungan bagian
dalil sam‟iyyah. Sedangkan kaidah fiqhiyyah dengan keseluruhan di mana bagian adalah kaidah-
maudhu‟nya perbuatan mukallaf, baik itu kaidah hukum Islam dan keseluruhan adalah an-
pekerjaan atau perkataan. Seperti sholat, zakat dan nazariyyat al-fiqhiyyah. Misalnya nazariyyat addarurah
lain-lain. (teori darurat) mencakup sejumlah kaidah yang banyak.
Urgensi dan Kegunaan Qawaid Fiqhiyyah

• Al-qawaid al-fiqhiyyah mempunyai kedudukan penting untuk mempermudah dalam mempelajari fiqh.
Melaluinya furû’(cabang) fiqh yang demikian banyak dapat dipisahkan dalam kaidah fiqh tertentu. Apabila tidak
ada al-qawaid al-fiqhiyyah, tentu persoalan hukum yang demikian banyak tetap berserakan di berbagai kitab
fiqh sehingga sulit untuk dipelajari ahli fiqh dengan mudah dan baik.
• Mempelajari al-qawaid al-fiqhiyyah dapat membantu untuk menguasai fiqh dengan masalah-
masalahnya yang demikian banyak. Sebab, al-qawaid al-fiqhiyyah sebagai jembatan dan sarana melahirkan
hukum-hukum.
• Membantu kalangan yang melakukan studi fiqh untuk membahas bagian hukum dan mengeluarkan
hukum dari topik-topik yang berbeda dan meletakkannya pada satu topik dengan tetap memelihara
pengecualian (istisna’i) dari setiap kaidah. Hal ini akan menghindarkan terjadi pertentangan hukum yang
kelihatan sama.
• Dengan mengikatkan hukum-hukum yang berserakan pada satu ikatan menunjukkan bahwa hukum-hukum
fiqh membawa misi untuk mewujudkan kemaslahatan yang sejalan dengannya atau mewujudkan
kemaslahatan yang lebih besar.
• Mengetahui al-qawaid al-fiqhiyyah penting untuk memperkuat jalan mengetahui furu’ fiqh yang demikian
banyak.
KEHUJJAHAN QAWAID FIQHIYYAH MENURUT 4
MAZHAB

Mazhab Hanafi Mazhab Maliki

Abu Zaid Addabusi menyatakan dengan jelas tentang keutamaan Asy-Syathibi dalam kitabnya yang berjudul Al-Muwafaqat
qawaid fiqhiyyah yang bisa dijadikan hujjah. Hal ini didukung oleh beliau mengemukakan kaidah:
sikapnya yang menjadikan qawaid itu sendiri sebagai penyebab
perbedaan di tubuh ulama hanafiyyah bahkan antar mazhab.
Menurutnya, qawaid fiqhiyyah menghadirkan kemudahan bagi mereka Menghilangkan kesempitan dan kesulitan adalah prinsip
yang ini mengetahui khilafiyyah antar ulama serta latar belakang yang asalnya, dan sesungguhnya kesempitan itu harus dihilangkan.
menggiring terjadinya perdebatan pendapat itu sendiri. Lalu dalam kitabnya beliau pernah ditanya: Bagaimana
hukumnya bila memaksa orang yang mempunyai makanan
Perbedaan yang kemudian disertakan di dalamnya argumen para untuk memberikan makanannya kepada orang yang kelaparan,
ulama dalam kitab beliau (ta’sisun Nazhor) merupakan bukti bahwa karena kalua disimpan akan menghadirkan bahaya bagi orang
para ulama menggunakan qawaid fiqhiyyah untuk memperkuat lain?, lalu beliau menjawab dengan kaidah:
kesimpulan yang mereka raih. Sebagai contoh:
• Tidak boleh membahayakan diri dan membahayakan
• “Hukum asalnya, sesuatu yang apabila ada di awal merubah
keabsahan fardhu, maka dapat merubah keabsahannya juga bila
orang lain.
di akhir.”
Dengan demikian tampak jelas bagi kita bahwa mazhab
Misalnya, orang shalat dengan tayammum karenan tidak menemukan maliki menjadikan qawaid fiqhiyyah sebagai hujjah sepanjang
air, lalu di pertengahan sholat ternyata turun hujan, maka menurut abu kaidah tersebut disepakati oleh ulama dan didukung kuat oleh
Hanifah hal tersebut membatalkan shalat nash.
KEHUJJAHAN QAWAID FIQHIYYAH MENURUT 4
MAZHAB

Mazhab Syafi’i • Mazhab Hanbali


• As-Suyuthi menjadikan qawaid sebagai pedoman • Ibn Qayyim Al-Jawziyyah (w. 751 H/1350 M),
mengidentifikasi hukum dengan cara ilhaq karena
baginya berijtihad sudah tidak mungkin beliau lakukan. Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah dalam kitabnya I’lamul
Muwaqqi’in, ada sebuah kaidah yang dijadikan pijakan
• Taqi Ad-Din As-Subki (w. 756 H/1355 M). beliau dalam berfatwa, yaitu:
Diriwayatkan dari kitabnya (Al-Asybah wa An-Nazhair),
yang mana beliau mengatakan bahwa barang siapa yang Fatwa dapat berubah dengan perubahan waktu,tempat,
ingin mempertajam tashawwur dan Analisa maka harus kondisi, niat, dan kebiasaan setempat.
paham qaw aid fiqhiyyah.
Menurut beliau, penguasaan dalam kaidah ini sangat
• Badr Ad-Din Az-Zarkasyi (w. 794 H/1391 M). Az- penting dalam perkembangan hukum fikih yang tidak
Zarkasyi mengatakan bahwa qawaid fiqhiyyah adalah secara eksplisit dijelaskan dalam nash. Artinya beliau
bagian dari ilmu alat untuk bisa mengidentifikasi hukum menjadikan qawaid fiqhiyyah sebagai salah satu landasan
fikih dan ini menjadi bagian dari ushul mazhab syafi’i
dalam berfatwa.
menurutnya.
Kesimpulannya adalah bahwa mayoritas ulama syafi’iyyah
• Ibn An-Najjar Al-Hanbali (w. 972 H/1564 M)
dengan tegas menempatkan qawaid fiqhiyyah sebagai hujjah. Diriwayatkan bahwa Ibn An-Najjar mengatakan bahwa
Kehujjahan qawaid fiqhiyyah ini terutama saat mereka qawaid fiqhiyyah bukanlah dalil, tapi posisinya sejajar
dihadapkan dengan perkara fikih yang tidak secara tegas
dengan dalil untuk masalah parsial yang butuh ketentuan
ditetapkan hukumnya dalam nash Al-Qur’an dan Hadis.
hukum tanpa dukungan secara eksplisit dari nash.
• Syarat Kaidah Fikih Menjadi Hujjah:
1. Kaidah Fikih dapat menjadi sandaran hukum, jika kaeidah tersebut berasal
dari nash al-Qur’an al-Karim atau dari al-sunnah al-syarifah.
2. Kaidah fikih dapat menjadi sandaran hukum, jika kandungannya sesuai
dengan kandungan beberapa nash syar’i, dan disini tidak dilihat dari
perbedaan kalimat dan lafadznya, karena yang dianggap itu adalah
maksudnya bukan dari lafadz dan kata-katanya.
3. Kaidah fikih dapat dijadikan sandaran hukum apabila dilakukan melalui cara
ijtihad yang benar, atau dengan cara istiqra yang mampu menghilangkan
keraguan.
4. Tidak adanya dalil yang lebih kuat daripadanya, atau dalil yang
menyelisihinya, maka kaidah tersebut tidak digunakan kecuali tidak ada dalil
dari dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
5. Bahwa yang menggunakan kaidah tersebut adalah seorang mujtahid dan
Klasifikasi Qawaid Fiqhiyyah

Abd al-Aziz Muhammad 'Azam membagi beberapa macam yaitu : • Qawa'id 'ammah. kaidah-kaidah fiqih ini diperselisihkan eksistensi dan

cakupannya terhadap persoalan furu'. seperti kaidah fiqih (apakah dugaan


• Qawa'id kulliyyah Kubra. Kaidah-kaidah fiqih ini disepakati semua
kuat dapat batal oleh dugaan kuat). Kaidah-kaidah seperti ini banyak
mazhab fiqih meskipun dalam memasukkan beberapa masalah fiqih beredar di kalangan ahli fiqih, yaitu ketika mereka mengemukakan sebab
padanya terjadi perbedaan pendapat. Kaidah-kaidah fiqih tersebut adalah perbedaan pendapat dalam satu permasalahan, seperti Ibnu Rusyd kitabnya

lima kaidah fiqih yang pokok, yaitu : al-umur bimaqasidiha, al-yaqin la Ta'sis al'Nazar, begitu juga para imam mujtahid seperti Abu Hanifah,

yazul bi al-syakk, al-darar yuzal, al-masyaqqat tajlib al-tasyir, dan Malik, al-Syafi'i, Ahmad Ibn Hanbal, dan lain-lainnya. Kaidah-kaidah fiqih

al-'adah myhakkamah. Qawa'id Kubra. cakupan kaidah-kaidah fiqih ini yang cakupannya sempit terhadap persoalan furu'.

terhadap persoalan furu' tidak sebanyak qawa'id kulliyyah kubra di atas. • Qawa'id Khassah, yaitu kaidah yang secara umum cakupannya khusus

Qawa'id kubra ini disepakati oleh berbagai mazhab fiqih. Diantara qawa'id untuk satu bab fiqih tertentu. Kaidah-kaidah fiqih ini merupakan hukum-

kubra ada yang menjadi cabang kaidah-kaidah fiqih yang lima di atas (al- hukum yang saling menyerupai dari satu bab fiqih tertentu. Di antara

kaidah fiqih ini ada yang disepakati oleh para ahli fiqih, seperti kaidah
qawa'id al-khams), dan ada juga yang tidak menjadi cabang kaidah-kaidah
(setiap kifarat yang penyebabnya maksiat harus dilaksanakan dengan
fiqih yang lima di atas tetapi mencakup persoalan furu' yang banyak
segera) dan kaidah: (setiap air yang tidak berubah salah satu sifatnya
disebut qawa'id far'iyyah atau qawa'id juz'iyyah, seprti kaidah fiqih
adalah suci). Secara umum, kaidah seperti ini disebut dabit.
(mengamalkan suatu kalimat lebih utama daripada mengabaikannya).
Qawaid Fiqhiyyah dalam fiqih ekonomi islam

Contoh lain Diantara qawa’id yang paling mendasar dalam masalah muamalah syar’iyah adalah:
“Segala bentuk muamalah pada dasarnya adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”
Ini menjadi alasan bagi setiap bentuk transaksi perdagangan dan ekonomi menjadi halal kecuali jelas
ada alasan yang melarangnya.Maka Jika dua orang pelaku muamalah atau lebih, berselisih tentang suatu
hal berkaitan dengan akad muamalah, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, akad di bank atau lain-
lain, maka keberpihakan diberikan kepada yang lebih kuat alasannya sesuai prinsip dalil.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa qawaid al fiqhiyyah merupakan komponen
penunjang terpenting bagi mujtahid, mufti, dan faqih dalam melakukan metode istinbath ahkam atau
interpretasi hukum syariat. Bahkan tak dapat diragukan lagi, penguasaan terhadap ilmu ini merupakan
tolak ukur kematangan ilmu sang mujtahid. Dengan berpegang kepada rambu-rambu yang tertata di
dalamnya, para mujtahid akan lebih sistematis dalam mengambil kesimpulan hukum atas suatu masalah,
yakni dengan menggolongkan masalah pada lingkup satu kaidah besar yang nanti dicabangkan pada
kaidah-kaidah lainnya
Klasifikasi Qawa’id Fiqhiyyah Muamalah

Beberapa qa’idah fiqhiyyah memberi ruang kepada pemikiran ataupun praktek-


praktek ekonomi, Seiring perkembangan jaman, keperluan adanya kaidah yang
lebih banyak, nampaknya tidak dapat dihindarkan. Sedangkan Jazuli sendiri
menyebutkan 20 qawa’id yang memberi ruang kepada transaksi ekonomi dan
muamalah.Di antara qawa’id yang paling mendasar dalam masalah ini adalah
al-aslu fi al- mu’amalah al-ibaahah illaa an-yadull daliil ‘alaa tahriimihaa.
Segala bentuk muamalah pada dasarnya adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil
yang mengharamkannya. Ini menjadi alasan bagi setiap bentuk transaksi
perdagangan dan ekonomi menjadi halal kecuali jelas ada alasan yang
melarangnya. Hanya penulis tidak menemukan qawa’id ini dalam al-majallah
THANK
YOU

Anda mungkin juga menyukai